Tata Cara Berperkara Pada Badan Peradilan Agama [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah Peradilan di Indonesia merupakan suatu bentuk usaha negara untuk mewujudkan kesejahteraan di tengah-tengah masyarakatnya, namun untuk menciptakan dan mengerti dengan bentuk usaha negara tersebut, tentu kita dituntut untuk tau seperti peradilan di Indonesia tersebut dan terdapat di dalam peradilan diindonesia tersebut terdapat peradilan yg bersifat khusus dalam jobdes kerjanya adalah mengadili perkara-perkara yg bersifat khusus dan hanya khusus untuk orang-orang muslim. Lembaga peradilan adalah salah satu upaya hukum Negara untuk lebih menertibkan dasar-dasar hukum baik yg terdapat dalam pancasila ataupun UUD yg kesemuanya tersebut mempunyai tujuan yang sama yakni keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita harus mengetahui mulai dari pengertian peradilan sampai pada bentukbentuk lembaga peradilan di Indonesia ataupun tata cara berperkara yg baik dalam pengadilan maka dari itu pemakalah mencoba mengurai dari segi kesejahteraan masyarakat.Di dalam makalah ini kami akan mencoba untuk menyajikan beberapa pengertian peradilan, mulai dari para pakar hukum sampai menurut undang-undang, kami juga akan membahas tentang dasar hukum peradilan di Indonesia, cakupan studi peradilan di Indonesia dan juga hubungan studi peradilan di Indonesia dengan studi lain.



B. Rumusan Masalah 1. Gambaran singkat hukum acara peradilan agama? 2. Penerimaan, pemeriksaan, dan penyelesaian perkara? 3. Upaya hukum, banding, kasasi, dan peninjauan kembali?



1



BAB II PEMBAHASAN



A. Gambaran Singkat Hukum Acara Peradilan Agama Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan dalam Bab IX pasal 24 ayat (2) bahwa peradilan agama merupakan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman. Peradilan agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan terakhir diganti dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 dalam pasal 2 disebutkan:“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini” Pengertian Hukum AcaraHukum acara (hukum formil) bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materil, oleh karena itu hukum acara memuat tentang cara bagaimanammelaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidahkaidah yang termuat dalam hukum perdata materil.Adapaun hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus (Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989).1 1. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama. Adapun sumber utama hukum acara peradilan agama adalah: a. HIR/RBg (Hukum acara perdata yang berlaku bagi Peradilan Umum). b. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diganti dengan UU No. 4/2004. c. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. d. Undang-undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No.5 Tahun 2004. e. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UndangUndang Nomor Tahun 2006. f. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947. 1



2



g. PP Nomor 9 Tahun 1975. h. RV (Reglement op de Burgerlijke Rechsvordering). i. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI. j. Surat Edaran Mahkamah Agung. k. Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum/Kitab-kitab Fiqih. l. Dan lain-lain. Sumber utama Hukum Materil Peradilan Agama ialah: a. Hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. d. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. e. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977. f. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI. g. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 TAhun 1987. h. Yuriprudensi. i. Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum dalam Kitab-kitab Fiqih. j. Hukum positif yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan Peradilan Agama. 2. Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama a. Asas Bebas Merdeka b. Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman c. Asas Ketuhanan d. Asas Fleksibelitas e. Asas Non Ekstra Yudisial f. Asas Legalitas g. Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama h. Asas Personalitas Ke-islaman i. Asas Ishlah (Upaya perdamaian) j. Asas Terbuka Untuk Umum k. Asas Equality l. Asas “Aktif” memberi bantuan m. Asas Upaya Hukum Banding



3



n. Asas Upaya Hukum Kasasi o. Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali p. Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi) q. Kewenangan Mengadili Peradilan Agama.2



B. Penerimaan, Pemeriksaan, Dan Penyelesaian Perkara 1. Penerimaan Perkara Pendaftaran perkara diajukan kepada Pengadilan Agama melalui petugas kepaniteraan di meja I. Aktivitas yang dilakukan meja I dalam proses penyelesaian perkara Pengadilan adalah sebagai berikut: a. Menerima gugatan permohonan, perlawanan, pernyataan banding, kasasi, permohonan peninjauan kembali (PK), eksekusi, penjelasan dan penaksiran biaya perkara dan biaya eksekusi. b. Membuat Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap tiga dan menyerahkan SKUM tesebut kepada calon penggugat atau pemohon. c. Menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan kepada calon penggugat atau pemohon. d. Menaksir biaya perkara sebagaimana ditetapkan dalam pasal 121 HIR atau pasal 145 RBG yang kemudian dinyatakan dalam SKUM. e. Memberikan penjelasan-penjelasan yang diangap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan sesuai dengan Surat Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan lingkungan Peradilan Agama tanggal 11 Januari 1994, Nomor: MA/Kumdil/012/I/K/1994.3 2. Pemeriksaan Dan Penyelesaian Perkara Pemeriksaan perkara dilakukan di depan sidang Pengadilan melalui tahaptahap sebagai berikut: a. Tahap sidang pertama. Tahap ini terdiri dari: (1) hakim membuka sidang,(2) hakim menanyakan identitas para pihak , (3) pembacaan surat gugatan atau permohonan oleh penggugat / pemohonan, dan (4) anjuran untuk berdamai.



2 3



4



b. Tahap jawab-berjawab (replik-duplik). Setelah pembacaan gugatan/permohonan, kemudian upaya damai tidak berhasil, ketua majelis akan bertanya kepada tergugat atau termohon, apakah ia akan menjawab lisan atau tertulis. Jika akan menjawab tertulis, maka ditanyakan kembali, apakah sudah siap. Jika belim siap, kapan tergugat / termohon memiliki kesiapan. Sejak saat itu, masuklah pada proses jawab-menjawab, baik antara pihak, maupun antara hakim dengan para pihak. c. Tahap pembuktian. Tahap pembuktian dimulai setelah tidak ada lagi yang akan dipertanyakan oleh hakim. Setelah itu, hakim memeriksa bukti-bukti yang diajukan pihak berperkara. d. Tahap penyusunan konklusi, setelah tahap pembuktian berakhir, sebelum majelis bermusyawarah, pihak-pihak diperbolehkan mengajukan konklusi (kesimpulan-kesimpulan dari sidang-sidang menurut pihak yang bersangkutan). Karena konklusi ini sifatnya untuk membantu majelis, pada umumnya hal ini tidak diperlukan bagi perkara-perkara yang ringan, sehingga hakim boleh meniadakannya. e. Musyawarah Majelis Hakim. Musyawarah hakim dilakukan secara rahasia, tertutup untuk umum. Semua pihak maupun hadirin disuruh meninggalkan ruangan sidang. Panitera sidang sendiri, kehadirannya dalam musyawarah majelis adalah atas izin majelis. keputusan sidang musyawarah majelis ditandatangani oleh semua hakim tanpa panitera. Ini merupakan lampiran Berita Acara Sidang yang nanti akan dituangkan kedalam dictum keputusan. f. Pengucapan Keputusan, pengucapan keputusan selalu dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum. Selesai keputusan diucapkan, ketua majelis akan bertanya kepada pihak penggugat atau tergugat, apakah menerima keputusan tersebut atau tidak. Bagi pihak yang menyatakan menerima, maka baginya tertutup upaya untuk melakukan banding. Sedangkan bagi pihak yang menyatakan tidak menerima atau pikir-pikir dulu, melakukan upaya untuk banding.4



C. Upaya Hukum, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali 1. Banding 4



5



a. Pengertian Banding Banding adalah permohonan yang diajukan oleh salah satu pihak yang terlibat dalam perkara, agar penetapan atau putusan yang dijatuhkan pengadilan agama diperiksa ulang dalam tingkat banding oleh Pengadilan Agama Tinggi, karena merasa belum puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama. b. Dasar Hukum Pengajuan banding Dalam pasal 21 ayat (1) Uandang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dinyatakan bahawa “terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain. Sebagai aturan organic dari pasal 21 ayat (1) di ats, khusus untuk peradilan Agama, ketentuan mengenai putusan Pengadilan Agama yang dapat diajukan banding kepada pengadilan Agama Tinggi Agama disebuitkan dalam pasal 61 undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agma sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang peradialn Agama, yait”Atas penetapan dan putusan pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh yang berperkara, kecuali apabila undang-undang menentukan lain”. Pengecualian yang disebutkan di atas dapat dilihat dari dua kategori. Kategori pertama perkara yang bersifat financial sebagaimana diatur dalam pasal 49 huruf I Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan Atas undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama mengenai Ekonomi Syariah, maka perkara yang diajukan banding mengacu kepada nilai standar obyek terperkara sebagaimana diatur dalam Pasal 6 undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulang di jawa dan Madura, yaitu tidak boleh kurang dari seratus rupiah. Kategori kedua adalah bahwa perkara yang dapat diajukan banding adalah perkara Contensiosa, buka voluntair.Jadi, keputusan Pengadilan Agama atas perkara voluntair yang diformulasikan dalam bentuk penetapan tidak dapat diajukan banding.5 c. Syarat-syarat banding Syarat-syarat banding adalah: 1) Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara 5



6



2) Diajukan masih dalam masih masa tenggang waktu banding 3) Putusan tersebut, menurut hukum, boleh dimintakan banding 4) Membayar panjar biaya banding, kecuali dalam hal prodeo 5) Menghadapi



di



kepaniteraan



Pengadilan



Agama



yang



putusannya



dimohonkan banding. d. Tata cara pengajuan banding Mengenai tata cara banding, melihat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 199 sampai dengan 205 R.Bg dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947. e. Mencabut Permohonan Banding Sebelum



permohonan



banding



diputus



oleh



Pengadilan



Tinggi



Agama,maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon.6 Apabila berkas perkara belum dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi Agama, maka: 1) Pencabutan disampaiakan kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan; 2) Kemudian oleh panitera dibuatkan akta pencabutan kembali permohonan banding; 3) Putusan baru memperoleh kekuatan tetap setelah waktu banding berakhir 4) Berkas perkara banding tidak perlu diteruskan kepada Pengadilan Tinggi Agama Apabila berkas perkara banding telah dikirimkan kepada pengadilan Tinggi Agama, maka: 1) Bagi pencabutan banding disampaikan melalui Pengadilan Agama yang bersangkutan



atau



langsung



ke



Pengadilan



Tinggi



Agama. 2) Apabila pencabutan itu disampaikan melalui pengadilan Agama, maka pencabutan itu segera dikirim ke Pengadilan Tingi Agama. 3) Apabila permohonan banding belum diputus maka Pengadilan Tinggi Agama akan mengeluarkan “penetapan” yang isinya, bahwa mengabulkan pencabutan kembali permohonan banding dan memerintahkan untuk mencoret dari daftar perkara banding. 4) Apabila perkara telah diputus maka pencabutan tidak mungkin dikabulkan. 6



7



5) Apabila permohonan banding dicabut, maka putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap sejak pencabutan dikabulkan dengan “penetapan” tersebut. 6) Pencabutan banding tidak diperlukan persetujuan pihak lawan. f. Waktu Pengajuan Banding: 1) Bagi pihak yang bertempat kediaman di daerah hukum Pengadilan Agama yang putusannya dimohonkan banding tersebut maka bandingnya ialah 14 hari terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengumuman putusan kepada yang bersangkutan. 2) Bagi pihak yang bertempat kediaman dilauar daerah hukum Pengadilan Agama yang putusannya dimohonkan banding tersebut, maka masa bandingnya ialah 30 Hari terhitung mulai hari kerja berikutnya dari pengumuman putusan kepada yang bersangkutan (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 tahun 1947). 3) Dalam hal permohonan banding dengan prodeo, maka masa banding dhitung m,ulai hari berikutnya dari hari pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi Agama tenatang ijin berperkara secara prodeo tersebut diberitahukan kepada yang bersangkutan oleh Pengadilan Agama (Pasal 7 ayat (1), (2), (3), Undang-Undang No.20 Tahun 1947) 2. Kasasi a. Pengertian Upaya hukum Kasasi Kasasi artinya mohon pembatalan terhadap putusan/penetapan Pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama) atau terhadap putusan Pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi Agama ke Mahkamah Agung di jakarta, mlalui pengadilan tingkat pertama yang memutus karena adanya alasan tertentu, dalam waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu. b. Dasar Hukum Kasasi Dasar hukum kasasi adalah pasal 22 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa terhadap putusan Pengadilan dalam tingkat banding dapat dimntkan kasasi ke Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-udang menentukan lain. Dalam pasal 43 Undamg-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang mahkamah 8



Agung dinyatakan, bahwa permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah upya hukum banding, Karena lain oleh undang-undang. c. Syarat-syarat Kasasi Syarat-syarat untuk mengajukan kasasi ialah: 1) Diajukan oleh pihak yang berhak mengajukan kasasi 2) Diajukan masih dalah tenggang waktu kasasi 3) Putusan atau penetapan judex factie, menurut hukum dapat dimintakan kasasi. 4) Membuat memori kasasi 5) Membayar uang panjar biaya kasasi 6) Menghadap di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang bersangkuta d. Tata cara kasasi 1) Permohonan dajukan pada Pengadilan Agama, dengan melenngkapi semua kelengkapan administrasinya. 2) Setelah Proses administrasi di Pengadilan Agama selesai, maka akan dilanjutkan pada tingkat mahkamah Agung dengan melalui tahapan-tahapan tertentu seperti pencatatan permohonan kasasi oleh panitera mahkamah Agung dan tahapan lainnya. 3) Setelah Mahkamah Agung memberi putusan maka, putusan mahkamah Agung dikirim pada Pengadilan Agama pada meja III, selanjutnya memberitahukan kepada kedua belah pihak melaui jurusita pengganti. e. Tenggang waktu untuk kasasi Permohonan kasasi hanya dapat diajukan dalam masa tenggang waktu kasasi yaitu 14 hari setelah putusan atau penetapan pengadilan diberitahukan kepada yang bersangkutan (pasal 46 ayat (1)). UU NO.14 Tahun 1985 f. Pencabutan Permohonan kasasi (pasal 49 UU No.14 Tahun 1985) 1) Sebelum permohonan kasasi di putus oleh mahkamah Agung maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh permohonan, tanpa persetujuan pihak lawan. Apabila berkas perkara belum dikirimkann ke mahkamah Agung, maka: Pencabutan disampaikan kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan, baik



9



secara tertulis maupun lisan.Kemudian oleh panitera dibuatkan Akta Pencabutan kemudian permohonan kasasi.Pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi dalam perkara itu meski pun tenggang waktu kasasi belum lampau.Dan berkas itu tidak perlu diteruskan ke Mahkamah Agung. 2) Apabila berkas perkara telah dikirimkan kepqada Mahkamah Agung, maka: Pencabutan disampiakan melalui Pengadilan Agama yang bersangkutan atau langsung ke Mahkamah Agung. Apabila permohonan kasasi belum diputus, maka mahkamah Agung akan mengeluarkan “penetapan” yang isinya, bahwa mengabulkan permohonan pencabutan kembali perkara kasasi dan memerintahkan untuk mencoret perkara kasasi. Apabila permohonan kasasi telah diputus, maka pencabutan tidak mungkin dikabulkan. 3) Apabila permohonan kasasi permohonan kasasi dicabut maka tidak bolehdiajukan lagi permohonan kasasi baru. 4) Apabila permohonan kasasi telah dicabut maka putusan yang dimintkan kasasi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terghitung sejak tanggal dibuatkan akta pencabutan kasasi atau dikeluarkanya “penetapan” pencabutan kasasi. 3. Peninjauan Kembali a.



Pengertian Peninjauan kembali Peninjauan kembali atau request civiel yaitu memeriksa dan mengadili atau memutus kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap karena diketahui terdapat hal-hal baru yang dulu tidak dapat diketahui, yang apabila terungkap maka keputusan hakim akan menjadi lain.



b.



Dasar Hukum peninjauan kembali Peninjauan kembali hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah agung.Peninjauan kembali diatur dalam Undang-undang No14 Tahun 1985 tentahg mahkamah Agung.Apablia terdapat hal-hal atau keadaaan-keadaan yang ditentukan undangundang, terhadap putusan pengadilan yang telah memperolah kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana, oleh pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 21 UU No.14/11970).



c.



Syarat-syarat permohonan peninjauan kembali 10



Syarat-syarat permohonan peninjauan kembali ialah; 1)



Diajukan oleh pihak yang berperkara, ahli warisnya, ataui wakilnya yang secara khusus diberi kuasa untuk itu



2)



Putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap



3)



Membuat permohonan peninjauan kembali yang memuatalasan-alasannya.



4)



Diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Agung melalui ketua pengadilan Agama yang memutus perkara dalam tenggang waktu 180 hari (atau sesuai alasan yang disebutkan).



5)



Membayar uang panjar (uang muka) biaya peninjauan kembali



d.



Tata cara permohonan peninjauan kembali Tata cara permohonan peninjauan kembali adalah sebagai berikut:



1)



Permohonan diajukan oleh pemohon (ahli warisnya atau wakilnya) kepada Mahkamah Agung yang memutus perkara dalam tingkat pertama (pasal 70 ayat (1) UU No.14 Tahun 1985 ).



2)



Permohonan diajukan oleh pemohon secara tertulis dengan menyebutkan dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan dasar permohonan.



3)



Apabila pemohon tidak dapat menulis maka ia menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua pengadilan Agama yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakin yang ditunjuk oleh ketua pangadilan yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut (pasal 71 UU No.14 Tahun 1985).



4)



Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang-sekurangnya dengan tiga orang hakim (pasal 40 ayat (1) UU No.14 tahun 1985).



5)



Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya satu kali (pasal 66 ayat (1) UU No.14 Tahun 1985).



6)



Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menantikan pelaksaan putusan (pasal 66 ayat (2) UU No.14 Tahun 1985).



7)



Mahkamah Agung berwenang memerintahkan Pengadilan Agama yang memeriksa perkara dalam tingkat pertama atau tingkat pertama atau Pengadilan Tinggi (tingkat banding) mengadakan pemeriksaan tambahan, atau meminta segala hal keterangan serta pertimbangan dari pengadilan yang dimaksud (pasal 73 ayat (1) UU No.14 Tahun 1985).



11



8)



Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus.



BAB III KESIMPULAN



Kita sebagai mahasiswa/i jurusan siyasah, hendaknya mengetahui apa saja dan bagaimana cara berperkara di Pengadilan. Diharapkan tulisan ini menambah wawasan kita. Peradilan agama adalah sebutan (literatur) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan peradilan negara atau kekuasaan kehakiman yg sah di indonesia untuk di jadikan sebuah kelembagaan hukum dalam proses keadilan bagi seluruh rakyat dindonesia yg tertuang dalam pancasila dasar, Peradilan agama adalah salah satu diantara peradilan khusus di indonesia, dua peradilan khsusus lainnya adalah peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Dikatakan peradilan khusus karena peradilan agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu dan pemakalah dapat menyimpulokan mengenai tata cara berperkara yg baik di pengadilan baik peradilan khusus ataupun peradilan umum. Makalah yang jauh dari kesempurnaan ini diharapkan dapat membantu proses menuntut ilmu kita di sini. Mohon kritik dan sarannya agar makalah ini dapat diluruskan jika mengandung kata-kata yang tidak pas dalam penulisannya.



12



13



DAFTAR PUSTAKA



Roihan A. Rasyid, ‘’Hukum Acara Peradilan Agama’’ , PT. Rajawali Pres, Jakarta, 2001, R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta. 2008.



[1] Roihan A. Rasyid, ‘’Hukum Acara Peradilan Agama’’ , PT. Rajawali Pres, Jakarta, 2001, h. 43



[3] R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta. 2008 h.13 [4] Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, h. 50



[5] Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, h. 54 [6] Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, h. 56



14