Telaah Kepengarangan Sastrawan Indonesia Angkatan '66 PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA ANGKATAN ‘66



disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Sejarah Sastra Indonesia dari Dra. Sunarti Mustamar, M.Hum



oleh SANTUSO NIM 120110201005



JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS JEMBER 2015



PRAKATA



Penulis panjatkan puji syukur atas segala limpahan rahmat, nikmat dan karunia Allah Swt sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Telaah Kepengarangan Sastrawan Indonesia Angkatan ‘66”. Penulis susun makalah ini untuk memenuhi tugas matakuliah Sejarah Sastra Indonesia dari Dra. Sunarti Mustamar, M.Hum. Penulis telah dibantu oleh berbagai pihak, sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik tepat pada waktunya. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dra. Sunarti Mustamar, M.Hum., selaku dosen pengampu matakuliah Sejarah Sastra Indonesia yang telah membimbing penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. 2. semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis juga menerima segala kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat.



Jember, November 2015



Penulis



ii



DAFTAR ISI



Halaman HALAMAN JUDUL .................................................................................... i PRAKATA .................................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................. iii BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ..................................................................... 2 1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................... 2 1.4 Manfaat Penulisan..................................................................... 2 BAB 2. PEMBAHASAN .............................................................................. 3 2.1 Latar Belakang Munculnya Angkatan ‘66 ............................. 3 2.2 Ciri-Ciri Karya Sastra Angkatan ‘66 ...................................... 4 2.3 Sastrawan Angkatan ‘66 ........................................................... 6 BAB 3. KESIMPULAN ............................................................................... 17 DAFTAR BACAAN ..................................................................................... 18



iii



1



BAB 1. PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Sejarah sastra membicarakan pertumbuhan dan perkembangan sastra, hasil karya sastra serta corak-coraknya. Hal ini sangat penting untuk menentukan dasardasar penggolongan karya sastra dan penciptaanya, baik menurut bentuk maupun zamannya. Sejarah sastra Indonesia dimulai pada abad ke-20 yang diwakili karya pengarang-pengarang Balai Pustaka. Dengan demikian, karya sastra yang dihasilkan sebelum abad 20 digolongkan ke dalam sastra Melayu. Masing-masing angkatan sastra dimulai dengan munculnya sekumpulan sastrawan yang tahun kelahirannya hampir sama dan menulis dalam gaya yang hampir sama dalam majalah atau penerbitan yang sama. Sastra Balai Pustaka dimulai tahun1920. Para penulis Balai Pustaka yang mula-mula menulis sekitar tahun 1920-an adalah mereka yang dilahirkan sekitar tahun 1895-an. Ada yang lebih dahulu ada yang lebih kemudian. Sastra Pujangga Baru diisi oleh para sastrawan yang dilahirkan sekitar tahun 1910-an. Pada periode 60-an muncul adanya angkatan, yaitu angkatan ’66. Lahirnya angkatan ’66 ini didahului adanya kemelut dalam segala bidang kehidupan di Indonesia yang disebabkan ulah teror politik yang dilakukan PKI dan ormas-ormas yang bernaung di bawahnya. Angkatan ’66 mempunyai cita-cita ingin adanya pemurnian pelaksanaan Pancasila dan melaksanakan ide yang terkandung di dalam Manifest Kebudayaan. Tumbuhnya angkatan ’66 yang dipelopori oleh KAMMI/KAPPI untuk memperjuangkan Tritura. Munculnya nama angkatan ’66 telah diumumkan oleh H.B. Jassin dalam majalah horison nomor 2 tahun 1966. Pada tulisan tersebut dikatakan bahwa angkatan ’66 lahir setelah ditumpasnya pengkhianatan G.30S/PKI. Penanaman angkatan ’66 ini pun mengalami adu pendapat. Sebelum nama angkatan ’66 diresmikan, ada yang memberi nama angkatan Manifest Kebudayaan (MANIKEBU).



2



Masih menurut Jassin, “nama-nama seperti Ajib Rosidi, Rendra, Yusach Ananda, Bastari Asnin, Hartoyo Adangdjaja, Mansur Samin, Saribi Afn., Goenawan Mohamad, Taufik Ismail, Soewardi Idris, Djamil Suherman, Bokor Hutta Suhhut, dan banyak lagi yang lain dapat dicatat sebagai angkatan 66. Jadi yang termasuk angkatan 66 ini tidak hanya mereka yang baru menulis sajak-sajak perlawanan pada permulaan tahun 1966, melainkan juga mereka yang telah tampil beberapa tahun sebelumnya dengan suatu kesadaran”. Itulah tentang angkatan 66, walaupun mengundang beberapa pendapat yang pro dan kontra, tentang ada tidaknya angkatan 66 ini. Namun, sebagai peristiwa sastra patut dicatat sebagai peristiwa sejarah sastra Indonesia. Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis dalam makalah ini akan menelaah kepengarangan sastrawan Indonesia angkatan ‘66.



1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, dapat ditarik rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut. a.



Bagaimana latar belakang munculnya angkatan ’66?



b.



Bagaimana ciri-ciri karya sastra Indonesia angkatan ’66?



c.



Apa saja karya sastra Indonesia yang telah diciptakan pada angkatan ’66?



1.3 Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk mendeskripsikan tentang: a.



latar belakang munculnya angkatan ’66;



b.



ciri-ciri karya sastra Indonesia angkatan ’66;



c.



karya sastra Indonesia yang telah diciptakan pada angkatan ’66.



1.4 Manfaat Penulisan Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi dalam mengenal dan mempelajari sejarah sastra Indonesia, khususnya pada angkatan ’66.



3



BAB 2. PEMBAHASAN 2.1 Latar Belakang Munculnya Angkatan ‘66 Perbedaan-perbedaan pandangan mengenai seni dan sastra yang berpangkal pada perbedaan-perbedaan politik, sudah sejak lama kelihatan dalam dunia sastra Indonesia. Pada awal tahun 50-an terjadi polemik yang seru antara orang-orang yang membela hak hidup angkatan 45 dengan orang-orang yang mengatakan “Angkatan 45 sudah mati” yang berpangkal pada suatu sikap politik. Para seniman muda tidak mau mengelompokkan diri dalam kelompok seniman untuk menyamakan persepsi. Semangat yang dimiliki seniman Angkatan 45 tidak mereka warisi dan mereka tidak menghayati revolusi fisik dengan baik. Seniman muda ini lebih memfokuskan diri pada menulis cerpen, puisi, dan naskah drama. Periode 50 bukan saja sebagai pengekor Angkatan 45, tetapi sudah merupakan penyelamat setelah melalui masa-masa kegoncangan. Ciri-ciri periode ini antara lain: 1.



pusat kegiatan sastra telah meluas keseluruh pelosok indonesia, tidak hanya berpusat di Jakarta atau Yogyakarta saja;



2.



kebudayaan daerah lebih banyak diungkapkan demi mencapai perwujudan sastra nasional indonesia;



3.



penilaian keindahan dalam sastra tidak lagi didasarkan pada perasaan kepada perasaan dan ukuran nasional. Pada tahun 1959, merupakan tahun yang membawa perubahan dalam dunia



kesusastraan sebagai imbas dunia politik. Tujuan sastra pada mulanya mengangkat harkat dan martabat manusia dalam kehidupan yang memiliki nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan. Pada tahun ini sastrawan ingin mengembangkan karya sastranya, di lain pihak tekanan-tekanan partai politik yang mulai mengendalikan pemuda Indonesia sehingga muncul PKI, LEKRA, LKN, LESBUMI, HSBI, LESBI dan lain sebagainya.



4



Pada akhirnya Manikebu menjadi konsep sikap dan kepentingan dan kepentingan mereka sebagai angkatan dalam kesustraan yang kemudian dikenal dengan ankatan 66. Akibat fitnah PKI, Manikebu dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Setelah bangkitnya Orde Baru, tahun 1966, maka, Manikebu sebagai konsepsi Angkatan Kesusastraan terbaru, dijadikan landasan ideal Angkatan 1966. Isi Manikebu tersebut antara lain sebagai berikut. 1.



Kami para seniman cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah manifes kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita politik kebudayaan kami.



2.



Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi kehidupan manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan lain. Setiap sektor perjuangan bersama- sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.



3.



Dalam melaksanakan kebudayaan nasional, kami berusaha mencipta dengan kesungguhan



yang



sejujur-jujurnya



sebagai



perjuangan



untuk



mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa indonesia ditengah-tengah masyarakat dunia. 4.



Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.



2.2 Ciri-Ciri Karya Sastra Indonesia Angkatan ‘66 Karya sastra masa 60-an dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama masa antara tahun 60-sebelum 66, dan kelompok kedua tahun 60-70. Pada kurun masa pertama (60-sebelum 66), merupakan masa kejayaan para pengarang Lekra yang bernaung dibawah panji-panji PKI. Pada masa ini pengarang yang tidak tergabung di dalam Lekra kurang berkembang kreativitasnya karena manifes kebudayaan yang menjadi konsepsi pemikiran dilarang. Walaupun demikian, mereka tetap berkarya dan menghasilkan puisi-puisi yang bercorak keagamaan. Masa 66 sampai 70 didominasi oleh karya-karya yang beraliran realisme sosial kanan. Termasuk di dalamnya puisi-puisi demonstrasi Taufik Ismail, Mansur Samin, Bur Rusuanto, Slamet Sukirnanto, dll. Pada masa ini karya sastra lebih



5



banyak dikenal adalah karya sastra berbentuk puisi, terutama uisi-puisi demonstrasi atau protes sosial. Dengan demikian, dalam membicarakan ciri karya sastra, masa 60-an lebih banyak berbicara tentang ciri puisi. Ciri-ciri struktur fisik puisi pada angkatan ’66 sama dengan puisi periode 50-an. Berhubung tema protes sosial dikemukakan begitu berapi-api, maka slogan dan retrorik sangat kuat. Berikut dipaparkan tentang ciri-ciri karya sastra angkatan ’66.



1) Ciri-Ciri Puisi Stuktur Fisik berbentuk balada menggunakan gaya repetisi



Struktur Tematik bercorak kedaerahan masalah sosial; kemiskinan, penagguran, perbedaan kaya/miskin; demonstrasi



menggunakan gaya slogan dan retorik



keagamaan



2) Ciri-Ciri Prosa dan Drama Struktur Fisik Karya prosa fiksi dan drama tahun 60-an 1.



Struktur Tematik perjuangan



masih menunjukan struktur fisik konvesional.



(berlatar revolusi)



Kaidah mimesis dalam sastra masih dipatuhi 2.



kehidupan pelacur



dalam penulisan sastra drama tahun1950-an dan 3.



sosial



60-an di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa 4.



kejiwaan



belum terjadi perubahan dalam hal penokohan, 5.



keagamaan



alur, dan latar ceritanya. Bahkan dari 55 drama yang ada sebanyak 45 drama memasang tokoh yang jelas sekali nama, usia, watak,dan latar belakang sosiologisnya.



6



2.3 Sastrawan Angkatan ’66 dan Karya-Karyanya Seperti yang telah diuraikan di atas, periode 60-an ini telah mulai bermunculan para pengarang baru, namun para pengarang lama pun masih tetap aktif berkarya. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan di bawah ini.



1) Taufik Ismail Taufik Ismail merupakan pelopor puisi-puisi demonstrasi. Puisi-puisi Taufik Ismail menjadi ciri bagi apa yang disebut angkatan 66 oleh H.B. Jassin. Puisi-puisinya adaalah puisi yang mengungkapkan tuntutan membela keadilan dan kebenaran. Puisi Taufik juga disebut sebagai puisi yang menandakan suatu kebangkitan angkatan 66 dalam perpuisian Indonesia yang selama kurang lebih lima tahun dikuasi oleh pengarang-pengarang Lekra. Taufik Ismail dilahirkan di Bukit Tinggi pada tanggal 25 Juni 1937. Ia menamatkan pendidikannya di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia (sekarang IPB) di Bogor. Pernah menjadi ketua Federasi Teater Bogor, anggota Dewan Kesenian Jakarta (sejak 1973). Sejak tahun 1966 menjadi redaktur majalah Horizon. Selain itu, ia juga pernah mengikuti Konferensi PEN Asia di Taipe dan Seoul pada tahun 1970, Festival Penyair Internasional di Rotterdam (1971), Internasional Writing Program di Universitas Lowa (1971-1972), dan Kongres Penyair Sedunia di Taipe (1973). Ia menerima Anugerah Seni dari pemerintah RI pada tahun 1970. Kumpulan sajak-sajaknya ialah Tirani (1966), Benteng (1966), Puisi-Puisi Sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971), Buku Tamu Musium Perjuangan (1969), dan Sajak-Sajak Ladang Jagung (1973). Puisi-puisinya kebanyakan bersifat naratif dan prosais. Puisi-puisinya tidak semua uisi demonstrasi, bahkan lebih banyak puisi yang bukan puisi demonstrasi. Umpamanya puisi-puisi dalam Sajak-Sajak Ladang Jagung yang berlatar belakang suasana Lowa City Amerika Serikat, atau puisi-puisinya yang bersumber pada tarih dan hadits yang lebih bernuansa keagamaan. Seperti halnya kesuksesannya dalam menulis puisi demonstrasi, Taufik sukses pula dalam puisi yang bernuansa keagamaan.



7



Puisi-puisi Taufik banyak yang ditransformasikan ke dalam lagu bernuansa keagamaaan oleh kelompok musik Bimbo (dari Bandung).



2) Goenawan Mohamad Goenawan Mohamad lahir di Batang (Jawa Tengah) pada tanggal 29 Juli 1941. Mengikuti pendidikan di Fakultas Psikologi UI (1960-1964), kemudian memperdalam pengetahuan di College d’Europe, Bruge, Belgia (1965-1966), Universitas Oslo, Norwegia (1966), dan Universitas Harvard (1989/1990). Ia pemimpin redaksi majalah Tempo (sejak 1971), pemimpin majalah Swasembada (198 5). Pernah juga menjadi wartawan Harian Kami (1966-1970), anggota Dewan Kesenian Jakarta (1968-1971), pemimpin redaksi majalah Ekspress (1970-1971), redaktur Horison (1967-1972). Sejak 1972 menjadi salah seorang Dewan Penasehat majalah ini. Ia juga tercatat sebagai pemimpin redaksi majalah Zaman (1979-1985). Selain karirnya di bidang kewartawanan, redaktur, dan penulis, ia juga pernah menjadi anggota MPR (1987). Mengenai penghargaan, penanda tangan Manifes Kebudayaan ini menerima Anugerah Seni dari pemerintah RI pada tahun 1972. Tahun 1981 mendapat Hadiah Sastra Asean. Beberapa esainya yang mendapat hadiah dan penghargaan adalah “Alam dalam Tangkapan Pertama Puisi” dan “Agama Alam Penciptaan Seni” memenangkan hadiah pertama Majalah Sastra tahun 1962. “Revolusi sebagai Kesusastraan dan Kesusastraan sebagai Revolusi” dan “Seribu Slogan dan Sebuah Puisi” mendapat hadiah pertama Majalah Sastra tahun 1963. “Sex Sastra Kita”, mendapat penghargaan majalah Horison tahun 1969. Karya-karyanya berupa sajak telah dibukukan dengan judul “Parikesit” (1971), dan Interlude (1973). Sedangkan kumpulan esainya berjudul Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Sex Sastra Kita (1981), Catatan Pinggir 2 (1989).



3) Mansur Samin Lahir pada tanggal 29 April 1930 di Batangtoru, Sumatra Utara. Pendidikan terakhir SMA Solo. Sejak pemulaan tahun 66 ia pindah ke Jakarta dan mengikuti dari dekat pergolakan mahasiswa dan pelajar dalam KAMI dan KAPPI. Pernah



8



menjadi guru, redaktur Siaran Sastra RRI Solo, redaktur Mingguan Adil (Solo), wartawan Harian Mardeka (Jakarta), dan redaktur majalah Cerpen. Sajaknya “Raja Singamangaraja” memperoleh hadiah kedua Majalah Sastra tahun 1963. Karyanya yang lain, nerupa kumpulan sajak : Perlawanan (1966), Tanah Air (1969), Dendang Kabut (1985), dan karya drama Kebinasaan Negeri Senja (1968). Selain itu, ia juga banyak menulis cerita anak-anak. Di bawah ini dikutipkan sajaknya yang berjudul “ Pidato Seorang Demonstran”, dan cuplikan dari sajak panjangnya yang berjudul “Sibagading Sirajagoda”.



4) Hartojo Andangdjaja Hartojo lahir di solo pada tanggal 4 Juli 1930. Pendidikan terakhirnya ialah Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama. Ia pernah menjadi guru SMP dan SMA di Solo (1953-1956) dan Simpan gempat Sumatra Barat (1957-1962), serta guru STN di Kartasura. Kini ia menetap di Pajang, Jawa Tengah.Ia juga pernah menjadi redaktur harian Dwiwarna Solo (1954-1955), Si Kuncung, Jakarta (19621964), Relung Pustaka Solo (1970), dan terakhir majakah MadyantaraSolo (1974). Esainya yang bejudul “Pola-pola Pantun dalam Persajakan Modern” memperoleh hadiah ketiga Majalah Sastra tahun 1962. Esai ini kemudian dimuat oleh Satyagraha Hoerip dalam buku Sejumlah Masalah Sastra (1982). Kumpulan sajaknya Simponi Puisi (bersama D.S. Moeljanto, 1954), Manifestai (bersama Taufik Ismail, Goenawan Mohamad, dll.,1963), dan Buku Puisi (1973). Terjemahannya berjudul Tukang Kebun (1976) dari karya Rabindranath Tagore.



5) Toeti Heraty Toeti lahir di bandung pada tanggal 27 november 1933. Kuliah di Fakultas Kedokteran UI hingga sarjana muda (1951-1955). Setelah itu pindah studi ke fakultas Psikologi UI sampai tamat (1962). Tahun 1974 meraih gelar sarjana filsafa dari Universitas Leiden. Belanda tahun 1979 meraih gelar dokter dari UI di bidang filsafa pernah mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Bandung. Pada tahun 1968-1971 menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta dan pernah menjadi salah seorang ketuanya (1982-1985). Tahun 1981 mengikuti



9



Festival Internasional di Rotterdam dan tahun 1984 mengikuti Internasional Writing Program di Universitas lowa, Lowa City, Amerika Serikat. Karya-karyanya sejak 33(1973), Mimpi dan Pretens (1982), dan Aku dari Budaya (1984). Selain itu, Toeti menjadi penyunting bunga rampai penyair wanita Indonesia Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (1979) edisi dua bahasa, bahasa indonesia dan bahasa inggris. Bersama A. Teeuw, ia menjadi penyunting bunga rampai dwibahasa Manifestasi Puisi Indonesia (1986): bahasa Indonesia dan bahasa Belanda.



6) Bur Rasuanto Bur Rasuanto Lahir tanggal 6 April 1937 di Palembang. Ia menempuh pendidikan di SMA B dan jurusan Filsafat Fakultas Sastra UI. Ia pernah berkerja di Stanvac Palembang (1957-1960), selain itu menjadi wartawan Harian Kami (19661977), dan koordinator penerbitan Yayasan ilmu-ilmu Sosial, Jakarta, serta menjadi direktur Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Cerpennya “Discharge” mendapat hadiah kedua dari Majalah Sastra tahun 1961. Cerpennya yang lain, berjudul “Pertunjukan dan Ethyl Plant”, memenangkan hadiah pertama Majalah Sastra tahun 1962. Tahun 1964 dua buah bukunya, Bumi Tak Berpeluh (1963) dan mereka Akan Bangkit (1963), dipilih untuk memenangkan Hadiah Sastra Yamin, tetapi dibatalkan karena hasutan pihak Lekra. Novelnya yang lain Tuyet (1978), memperoleh hadiah dari Yayasan Buku utama Dapartemen P dan K. Karya-karyanya yang lain ialah Mereka Telah Bangkit (1966), dan Manusia Tanah Air (1969).



7) Abdul Hadi WM Prof. Dr. Abdul Hadi WM atau nama lengkapnya Abdul Hadi Wiji Muthari (lahir di Sumenep, 24 Juni 1946; umur 69 tahun) adalah salah satu sastrawan, budayawan dan ahli filsafat Indonesia. Ia dikenal melalui karya-karyanya yang bernafaskan sufistik, penelitian-penelitiannya dalam bidang kesusasteraan Melayu Nusantara dan pandangan-pandangannya tentang Islam dan pluralisme.



10



Sekitar tahun 1970-an, para pengamat menilainya sebagai pencipta puisi sufis. Ia memang menulis tentang kesepian, kematian, dan waktu. Seiring dengan waktu, karya-karyanya kian kuat diwarnai oleh tasawuf Islam. Orang sering membandingkannya dengan sahabat karibnya Taufik Ismail, yang juga berpuisi religius. Namun ia membantah. “Dengan tulisan, saya mengajak orang lain untuk mengalami pengalaman religius yang saya rasakan. Sedang Taufik menekankan sisi moralistisnya.” Saat itu sejak 1970-an kecenderungan estetika Timur menguat dalam sastra Indonesia kontemporeran, puitika sufistik yang dikembangkan Abdul Hadi menjadi mainstream cukup dominan dan cukup banyak pengaruh dan pengikutnya. Tampak ia ikut menafasi kebudayaan dengan puitika sufistik dan prinsip-prinsip seni Islami,ikut mendorong masyarakat ke arah pencerahan sosial dan spiritual yang dianggap sebagai penyeimbang pengaruh budaya Barat hedonis dan sekuler. Sampai saat ini Abdul Hadi telah menulis beberapa buku penelitian filsafat di antaranya Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik (Pustaka Firdaus, 1999), Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya (Pustaka Firdaus, 1999), Tasawuf Yang Tertindas, serta beberapa buku kumpulan puisi antara lain At Last We Meet Again, Arjuna in Meditation (bersama Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Yatman), Laut Belum Pasang, Meditasi, Cermin, Tergantung pada Angin, Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Anak Laut Anak Angin, Madura: Luang Prabhang dan Pembawa Matahari, sejumlah karya terjemahan sastra sufi dan sastra dunia, terutama karya Iqbal, Rumi, Hafiz, Goethe, penyair sufi Persia dan penyair modern Jepang. Selain itu, ia juga menulis beberapa buku dongeng anak-anak untuk Balai Pustaka. Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Belanda, Jepang, Jerman, Cina, Thailand, Arab, Bengali, Urdu, Korea dan Spanyol.



8) Sapardi Djoko Darmono Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir di Surakarta, 20 Maret 1940; umur 75 tahun) adalah seorang pujangga berkebangsaan Indonesia terkemuka. Ia dikenal melalui berbagai puisi-puisinya yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga



11



beberapa di antaranya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum. Sajak-sajak SDD, begitu ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah. Ia tidak saja menulis puisi, namun juga cerita pendek. Selain itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esei, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola. Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD.



9) Umar Kayam Umar Kayam (lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 – meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun) adalah seorang sosiolog, novelis, cerpenis, dan budayawan juga seorang guru besar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1988-1997-pensiun). Umar Kayam termasuk yang banyak melakukan terobosan dalam banyak bidang kehidupan yang melibatkan dirinya. Ketika menjadi mahasiswa di Universitas Gadjah Mada, ia dikenal sebagai salah seorang pelopor dalam terbentuknya kehidupan teater kampus. Ketika menjadi Dirjen Radio dan Televisi, ia dikenal sebagai tokoh yang membuat kehidupan perfilman menjadi semarak. Sewaktu menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-1972), dia mempelopori pertemuan antara kesenian modern dengan kesenian tradisional. Pada saat menjadi dosen di almamaternya, ia mengembangkan studi sosiologis mengenai sastra, memperkenalkan metode grounded dengan pendekatan kultural untuk penelitian sosial, memberikan inspirasi bagi munculnya karya-karya seni kreatif yang baru, baik di bidang sastra, seni rupa, maupun seni pertunjukan, mendirikan pasar seni di kampus, dan sebagainya.



12



Berikut karya-karya dari Umar Kayam: Seribu Kunang-kunang di Manhattan (kumpulan cerpen, 1972) mendapat hadiah majalah Horison (1966/1967); Totok dan Toni (cerita anak, 1975); Sri Sumarah dan Bawuk (1975); Seni, Tradisi, Masyarakat (kumpulan esai, 1981); Sri Sumarah (kumpulan cerpen, 1985, juga terbit dalam edisi Malaysia, 1981); Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya (bersama Henri Peccinotti, 1985); Para Priyayi (novel, 1992) Mendapat Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P dan K, diberikan pada tahun 1995); Parta Karma (kumpulan cerpen, 1997); dan Jalan Menikung (novel, 2000). Cerpen-cerpennya diterjemahkan oleh Harry Aveling dan diterbitkan dalam Sri Sumarah and Other Stories (1976) dan From Surabaya to Armageddon (1976).



10) Putu Wijaya I Gusti Ngurah Putu Wijaya (lahir di Puri Anom Tabanan, Tabanan, Bali, 11 April 1944; umur 71 tahun) adalah seorang sastrawan yang dikenal serba bisa. Ia penulis drama, cerpen, esai, novel dan juga skenario film dan sinetron. Karya-karyanya yang berupa drama, antara lain: Dalam Cahaya Bulan (1966); Lautan Bernyanyi (1967); Bila Malam Bertambah Malam (1970); Invalid (1974); Tak Sampai Tiga Bulan (1974); Anu (1974); Aduh (1975); Dag-Dig-Dug (1976); Gerr (1986); Edan (1988); Hum-Pim-Pah (1992); Konspirasi Kemakmuran; Blong; Ayo; Awas; Labil Ekonomi; Aum; Zat; Tai; Front; Aib; Wah; Hah; Jepretin tuh Staples! (2011); Aeng; Aut; Dar-Dir-Dor. Adapun karya-karyanya yang berupa novel antara lain: Bila Malam Bertambah Malam (1971); Telegram (1972); Stasiun (1977); Pabrik (1976); Keok (1978); Aduh; Bali; Dag-dig-dug; GURU; Gres; Lho (1982); Merdeka; Nyali; Byar Pet (Pustaka Firdaus, 1995); Kroco (Pustaka Firdaus, 1995); Dar Der Dor (Grasindo, 1996); Aus (Grasindo, 1996); Sobat (1981); Tiba-Tiba Malam (1977); Pol (1987); Putri; Terror (1991); Merdeka (1994); Perang (1992); Lima (1992); Nol (1992); Dang Dut (1992); Cas-Cis-Cus (1995). Karya-karnya yang berupa cerpen, antara lain: Karyanya yang berupa cerpen terkumpul dalam kumpulan cerpen Bom (1978); Es Campur (1980); Gres (1982); Klop; Bor; Protes (1994); Darah (1995); Yel (1995); Blok (1994); Zig Zag



13



(1996); Tidak (1999); Peradilan Rakyat (2006); Keadilan (2012) karya-karyanya yang berupa novelet antara lain: MS (1977); Tak Cukup Sedih (1977); Ratu (1977); Sah (1977).



11) Iwan Simatupang Iwan Martua Dongan Simatupang lahir di Sibolga, 18 Januari 1928. Ia adalah seorang novelis, penyair, dan esais Indonesia. Ia belajar di HBS di Medan, lalu melanjutkan ke sekolah kedokteran (NIAS) di Surabaya tapi tidak selesai. Kemudian belajar antropologi di Universitas Leiden (1954-56), drama di Amsterdam, dan filsafat di Universitas Sorbonne, Paris, Perancis pada Prof. Jean Wahl pada 1958. Ia pernah menjadi guru SMA di Surabaya, redaktur Siasat, dan terakhir redaktur Warta Harian (1966-1970). Tulisan-tulisannya dimuat di majalah Siasat dan Mimbar Indonesia mulai tahun 1952. Karya novel yang terkenal Merahnya Merah (1968) mendapat hadiah sastra Nasional 1970, dan Ziarah (1970) mendapat hadiah roman ASEAN terbaik 1977. "Ziarah" merupakan novelnya yang pertama, ditulis dalam sebulan pada tahun 1960; diterbitkan di Indonesia pada 1969. Pada 1972, "Kering", novelnya yang ketiga diterbitkan. "Kooong" (1975) mendapatkan Hadiah Yayasan Buku Utama Department P Dan K 1975. Pada tahun 1963, ia mendapat hadiah kedua dari majalah Sastra untuk esainya "Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air". Menurut Benedict Richard O'Gorman Anderson, Iwan Simatupang dan Putu Wijaya merupakan dua orang penulis fiksi yang berpengaruh dari Indonesia sejak kemerdekaan dan keduanya memiliki kelekatan yang kuat dengan realisme gaib (magical realism). Karya-karya dari sastrawan yang satu ini antara lain: Bulan Bujur Sangkar - drama (1960); Petang di Taman - drama sebabak (1966, judul asli Taman, diubah penerbit menjadi Petang di Taman); RT Nol /RW Nol - drama sebabak (1966); Merahnja merah - novel (1968); Ziarah - novel (1969); The Pilgrim - terjemahan bahasa Inggris oleh Harry Aveling (1975); Kering - novel (1972); Drought terjemahan bahasa Inggris oleh Harry Aveling (1978); Kooong: kisah tentang seekor perkutut (1975); Tegak lurus dengan langit: lima belas cerita pendek (1982,



14



penyunting: Dami N. Toda); Surat-surat politik Iwan Simatupang, 1964-1966 (1986, penyunting: Frans M. Parera); Sejumlah Masalah Sastra - kumpulan esai (1982, penyunting: Satyagraha Hoerip); Ziarah - novel (1983); Ziarah - terjemahan bahasa Perancis (1989); Poems - selections (1993); Square moon, and three other short plays - terj. John H. McGlynn (1997); Ziarah malam: sajak-sajak 1952-1967 - penyunting: Oyon Sofyan, S. Samsoerizal Dar, catatan penutup, Dami N. Toda (1993); Kebebasan pengarang dan masalah tanah air: esai-esai Iwan Simatupang, editor, Oyon Sofyan, Frans M. Parera (2004); Iwan Simatupang Pembaharu Sastra Indonesia (Korrie Layun Rampan, ed), Yayasan Arus, 1985.



12) Titis Basino Titis Retnoningrum Basino (lahir di Magelang, Jawa Tengah, 17 Januari 1939; umur 76 tahun) adalah seorang sastrawati Indonesia pada kurun waktu 19601990-an. Sebelum tahun 1980-an namanya tidak banyak dikenal, mungkin karena Titis lebih banyak menulis cerita pendek daripada novel. Baru pada akhir 1980-an dan tahun 1990-an novel-novelnya bermunculan. Anak pasangan Basino Atmodisuryo dan Suparmi ini menempuh pendidikan dasar dan pendidikan menengahnya di kota Purwokerto. Dia menyelesaikan pendidikan dasarnya pada tahun 1945; SMP diselesaikannya pada tahun 1955, dan SMA pada tahun 1958. Setamat SMA, Titis pindah ke Jakarta dan melanjutkan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ia menyelesaikan tingkat sarjana mudanya pada 1961, lalu bekerja sebagai karyawan Perpustakaan FSUI selama satu tahun (1962). Kemudian, Titis bekerja sebagai pramugari pada maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airways (1963-1964). Pada [1998] Titis mendapatkan Penghargaan Sastra Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa atas karyanya Dari Lembah ke Coolibah. Pada 1999 pemerintah Malaysia menganugerahkan kepadanya penghargaan Mastra, sebuah penganugerahan karya sastra yang kompetitif di Asia Tenggara. Meskipun Titis menulis tentang berbagai topik, ia paling dikenal untuk cerita-ceritanya mengenai kaum perempuan dan masalah dalam hubungan pribadi kaumnya.



15



Karya-karyanya dalam bentuk cerpen, antara lain: Pelarian (1962); Dia, Hotel, Surat Keputusan (1963); Aku Melihat Senyumnya (1964); Lesbian (1976); Rumah Dara (1977); Sarang Burung (1997); Mendaratnya Sebuah Kapal (1997); Mawar Hari Esok (1997); Susuk (cerpen, dalam John H. McGlynn, Menagerie I, Jakarta: Lontar Foundation). Adapun karya-karyanya dalam bentuk novel antara lain: Bukan Rumahku (1976); Pelabuhan Hati (1978); Di Bumi Aku Bersua di Langit Aku Bertemu (1983); Trilogi: Dari Lembah Ke Coolibah (1997); Welas Asih Merengkuh Tajali (1997); Menyucikan Perselingkuhan (1998); Aku Supiah Istri Wardian (1998); Tersenyumpun Tidak Untukku Lagi (1998); Terjalnya Gunung Batu (1998); Aku Kendalikan Air, Api, Angin, dan Tanah (1998); Rumah Kaki Seribu (1998); Tangan-Tangan Kehidupan (1999); Bila Binatang Buas Pindah Habitat (1999); Mawar Hitam Milik Laras (1999).



13) A.A Navis Haji Ali Akbar Navis (lahir di Kampung Jawa, Padangpanjang, Sumatera Barat, 17 November 1924 – meninggal 22 Maret 2003 pada umur 78 tahun) adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah cerita pendek Robohnya Surau Kami. Navis 'Sang Pencemooh' adalah sosok yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi, agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para koruptor. Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu resikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu. Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya, dan delapan antologi luar



16



negeri, serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002. Beberapa karyanya yang amat terkenal adalah: Surau Kami (1955); Bianglala (1963); Hujan Panas (1964); Kemarau (1967); Saraswati; Si Gadis dalam Sunyi (1970); Dermaga dengan Empat Sekoci (1975); Di Lintasan Mendung (1983); Dialektika Minangkabau (editor, 1983); Alam Terkembang Jadi Guru (1984); Hujan Panas dan Kabut Musim (1990); Cerita Rakyat Sumbar (1994); Jodoh (1998).



BAB 3. KESIMPULAN



Karya sastra masa 60-an dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama masa antara tahun 60-sebelum 66, dan kelompok kedua tahun 60-70. Pada kurun masa pertama (60-sebelum 66), merupakan masa kejayaan para pengarang Lekra yang bernaung dibawah panji-panji PKI. Masa 66 sampai 70 didominasi oleh karya-karya yang beraliran realisme sosial kanan. Karya sastra yang dihasilkan pada angkatan ’66 pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut. a)



Tema yang diangkat banyak mengenai masalah kegelisahan batin dan rumah tangga. Kegelisahan tersebut bersumber pada situasi budaya belum mapan dan situasi-situasi tersebut karena adanya norma politik, norma ekonomi.



b) Adanya sastra protes, contoh: kumpulan sajak Tirani dan Benteng karya Taufik Ismail. c)



Arti penting sajak angkatan ’66 pertama bukanlah sebagai seni, tetapi merupakan curahan hati khas anak-anak muda yang mengalami kelegaan perasaan setelah masa penindasan. Sastrawan-sastrawan yang muncul pada angkatan ’66 di antaranya ialah (1)



Taufik Ismail; (2) Goenawan Mohamad; (3) Mansur Samin; (4) Hartojo Andangdjaja; (5) Toeti Heraty; (6) Bus Rasuanto; (7) Abdul Hadi WM; (8) Sapardi Djoko Darmono; (9) Umar Kayam; (10) Putu Wijaya; (11) Iwan Simatupang; (12) Titis Basino; dan (13) A.A Navis.



DAFTAR BACAAN



Al-Hadi, S. 2011. Sastra 60-an (Sejarah Sastra Periode 1960-1970). http://berbahasa-bersastra.blogspot.co.id/2011/03/sastra-60-sejarah-sastraperiode-1960.html [25 November 2015] Fanda. 2013. Makalah Periodisasi Sastra Angkatan 66. http://fandanaksaleh18.blogspot.co.id/2013/05/makalah-periodisasi-sastraangkatan-66.html [25 November 2015] Istanti, D. R. 2010. Sastra: Sastrawan Angkatan 66 . https://danririsbastind.wordpress.com/2010/02/04/98/ [25 November 2015] Ramadhan, R. 2014. Sastra Angkatan ’66. http://robiramadhanpbsi.blogspot.co.id/2014/03/sastra-angkatan-66.html [25 November 2015] Rosidi, A. 1988. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: PT Bina Aksara. Rumi. 2013. Karya Sastra Angkatan 66. http://mimirumi.blogspot.co.id/2013/04/karya-sastra-angkatan-66.html [25 November 2015] Teeuw, A. 1980. Sastra Baru Indonesia Jilid 1. Flores: Nusa Indah. Wikipedia. 2012. Tokoh Angkatan 66. https://id.wikipedia.org/wiki/Kategori: Tokoh_Angkatan_66 [25 November 2015] Yudiono, K. S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.