Teori Pelanggaran Harapan [PDF]

  • Author / Uploaded
  • maudy
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Teori Komunikasi



TEORI PELANGGARAN HARAPAN (Expectancy Violations Theory)



Maira Salsabila Zahri Program Studi Hubungan Masyarakat, Universitas Padjadjaran [email protected] NPM : 210310170049 Humas B 2017



Dra. Hj. Kokom Komariah, M.Si Dosen Pengampu Mata Kuliah Teori Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran



ABSTRAK Artikel ini memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai teori pelanggaran harapan atau expectancy violations theory dilihat dari asal-usul teori, asumsi dasar teori, konsep dari teori, model teori serta aplikasi penelitian dari teori ini. Artikel ini membahas detail dari konsep dan model guna mengerti teori pelanggaran harapan dengan baik.



Kata Kunci : teori pelanggaran harapan, asumsi, konsep, model, aplikasi penelitian



A. ASAL-USUL TEORI Teori Pelanggaran Harapan Teori pelanggaran harapan pada awalnya disebut sebagai Teori Pelanggaran Harapan Nonverbal (Nonverbal Expectancy Violations Theory), tetapi kemudian dihapus kata nonverbal karena sekarang teori ini juga mencakup isu-isu di luar area komunikasi nonverbal1, teori ini merupakan kelanjutan dari teori adaptasi interaksi, Burgoon dan beberapa rekannya melanjutkan studi dengan mencermati cara-cara manusia memberikan tanggapan dalam hal harapan mereka tidak terpenuhi atau dilanggar.2 Pengamatan mereka menghasilkan teori yang disebur teori pelanggaran harapan atau expectancy violations theory (EVT) pada tahun 1978 untuk menjelaskan konsekuensi atau dampak dari perubahan jarak dan ruang pribadi selama interaksi komunikasi antarpribadi. Sehingga teori ini dapat digunakan oleh masing-masing pelaku komunikasi untuk menyerang harapan-harapan pihak lawan bicaranya, baik dalam artian positif maupun negatif, tergantung kepada perasaan suka atau tidak suka para pelaku komunikasi. Setiap orang memiliki harapan mengenai perilaku orang lain berdasarkan : 1) norma-norma sosial; 2) pengalaman sebelumnya dengan orang itu; dan 3) situasi dimana perilaku itu terjadi. Hal yang menarik adalah pelanggaran harapan dapat menyebabkan orang yang menerimanya menjadi ‘bergairah’ (aroused). Jika orang lain melanggar harapan kita dikarenakan perilaku mereka yang tidak biasa, maka hal itu akan menimbulkan perasaan yang berbeda pada diri kita. Rasa gairah yang timbul tidak selalu memiliki arti negatif, dalam beberapa kasus bisa menjadi menyenangkan, khususnya jika orang lain itu memiliki ketertarikan kepada kita atau sebaliknya. Namun, perubahan tak terduga yang terjadi dalam interaksi komunikasi antara para komunikator dapat menimbulkan suatu perasaan tidak nyaman. Ketika seseorang dapat memenuhi harapan kita, maka kita cenderung tidak memperhatikan perilakunya dan karenanya kita tidak memberikan penilaian, namun ketika apa yang kita harapkan terjadi dalam suatu interaksi tidak terjadi, maka kita akan merasa terganggu yang membuat kita memberikan perhatian lebih terhadap berbagai kejadian yang ada dan memberikan penilaian terhadap perilaku orang tersebut.



1



West, Richard dan Turner, Lynn H. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: PT. Salemba Humanika. 2012. Hlm 154. 2 Judee K. Bargoon dan Jerold L. Hale, “Nonverbal Expectancy Violations: Model Elaboration and Application”, Communication Monograph 55, 1988.



Hubungan Ruang Ilmu yang mempelajari penggunaan ruang seseorang disebut sebagai proksemik (proxemics). Proksemik membahas cara seseorang menggunakan ruang dalam percakapan mereka dan juga persepsi orang lain akan penggunaan ruang.3 Mark Knapp dan Judith Hall (2002) menyimpulkan, penggunaan ruang seseorang dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Penggunaan ruang juga dapat memengaruhi makna dan pesan. Bugroon (1978) mulai dari sebuah premis bahwa manusia memiliki dua kebutuhan yang saling bertarung: afiliasi (manusia senantiasa memiliki keinginan untuk dekat dengan orang lain) dan ruang pribadi. Menurutnya, ruang personal (personal space) adalah sebuah ruang tidak kelihatan dan dapat berubah-ubah yang melingkupi seseorang, yang menunjukkan jarak yang dipilih untuk diambil oleh seseorang terhadap orang lain. Manusia senantiasa memiliki keinginan untuk dekat dengan orang lain, tetapi juga menginginkan adanya jarak tertentu. Hal ini realitsis bagi banyak dari kita karena sedikit orang dapat hidup dalam keterasingan, tetapi sering kali orang-orang juga tetap membutuhkan privasi. 1. Zona Proksemik Studi tentang penggunaan ruang dan jarak dalam berkomunikasi atau lebih popular disebut dengan Proksemik sebenarnya telah dikembangkan oleh Edward T. Hall sejak tahun 1960-an4. Setelah mempelajari tentang orang-orang Amerika Utara, Hall mengklaim bahwa terdampat empat zona proksemik dan setiap zona digunakan untuk alasan-alasan yang berbeda. Hall juga memasukkan range dari jarak spasial dan perilaku yang sesuai untuk tiap zona. Zona-zona proksemik ini digambarkan sebagai berikut.



3



West, Richard dan Turner, Lynn H. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: PT. Salemba Humanika. 2012. Hlm 155. 4 Syaiful Rohim, Haji. Teori Komunikasi : Perspektif, Ragam dan Aplikasi, Jakarta : Rineka Cipta, 2009. Hlm 78.



a. Jarak Intim, zona ini mencakup perilaku yang ada pada jarak antara 0 – 18 inchi (46 cm). Perilaku-perilaku ini termasuk perilaku yang bervariasi mulai dari sentuhan hingga mengamati bentuk wajah seseorang. b. Jarak Personal, zona yang berkisar antara 18 inchi (46 cm) – 4 kaki (1,2 meter), digunakan untuk keluarga dan teman. Perilaku dalam jarak personal termasuk bergandengan tangan hingga menjaga jarak dengan seseorang sejauh panjang lengan. Hall menyatakan bahwa dalam zona jarak personal, volume suara yang digunakan biasanya sedang, panas tubuh dapat dirasakan, dan bau napas atau bau badan dapat tercium. c. Jarak Sosial, zona yang berkisar antara 4-12 kaki (1,2 – 3,6 meter), digunakan untuk hubungan-hubungan yang formal seperti hubungan dengan rekan sekerja. Hall mengingatkan bahwa kita masih dapat melihat tekstur rambut dan kulit pada fase dekat dari kategori ini. Fase jauh dikaitkan dengan orang yang harus berbicara dengan lebih keras dan dianggap lebih formal dari fase dekat. d. Jarak Publik, zona yang berjarak 12 kaki (3,7 meter) dan selebihnya. Titik terdekat dari jarak publik biasanya digunakan untuk diskusi formal.



2. Kewilayahan Kewilayahan (territoriality), yaitu kepemilikan seseorang terhadap suatu area atau benda. Ada tiga jenis wilayah. (Altman, 1975; Lyman & Scott, 1990), yaitu : Wilayah primer (primary territories), merupakan wilayah eksklusif seseorang. Wilayah sekunder (secondary territories) menunjukkan hubungan personal seseorang dengan sebuah area atau benda, tidak eksklusif kepada satu orang saja, tetapi orang tersebut merasakan hubungan khusus dengan dengan wilayah itu. Wilayah publik (public territories) tidak melibatkan suatu afiliasi personal dan termasuk area terbuka bagi semua orang.5 Kewilayahan sering kali diikuti dengan pencegahan dan reaksi (Knapp & Hall, 2002). Orang akan berusaha untuk mencegah kita memasuki wilayah mereka atau akan memberikan respons begitu wilayah mereka dilanggar. Beberapa geng menggunakan penanda wilayah untuk mencegah geng lain melanggar wilayah kekuasaan mereka. Knapp & Hall melihat bahwa jika suatu pencegahan tidak berfungsi dalam



5



West, Richard dan Turner, Lynn H. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: PT. Salemba Humanika. 2012. Hlm 157.



mempertahankan wilayah seseorang, orang itu mungkin akan bereaksi dengan cara tertentu, termasuk menjadi tertantang secara fisik maupun kognitif. Manusia menandai wilayah mereka dengan empat cara : menandai (menandai wilayah kita), melabeli (memberikan simbol untuk identifikasi), menggunakan tanda atau gambar yang mengancam (menunjukkan penampilan dan perilaku agresif), dan menduduki (mengambil tempat terlebih dahulu dan tinggal di sana untuk waktu yang paling lama dari orang lain) (Knapp, 1978).



B. ASUMSI TEORI Teori Pelanggaran Harapan berakar pada bagaimana pesan-pesan ditampilkan pada orang lain dan jenis-jenis perilaku yang dipilih orang lain dalam sebuah percakapan. Terdapat tiga asumsi yang menuntun teori ini:6 1. Harapan mendorong terjadinya interaksi antarmanusia Orang memiliki harapan dalam interaksinya dengan orang lain. Harapan (expectancy) dapat diartikan sebagai pemikiran dan perilaku yang diantisipasi dan disetujui dalam percakapan dengan orang lain. Termasuk dalam harapan ini adalah perilaku verbal dan nonverbal. Burgoon (1978) menyatakan bahwa orang tidak memandang perilaku orang lain sebagai sesuatu yang acak, sebaliknya, mereka memiliki berbagai harapan mengenai bagaimana seharusnya orang berfikir dan berperilaku. Harapan adalah hasil dari norma-norma sosial, stereotip, rumor, dan sifat idiosinkratik dari komunikator. Burgoon dan peneliti EVT lainnya berargumen bahwa orang memasuki suatu percakapan dengan beberapa harapan mengenai bagaimana suatu pesan harus disampaikan dan bagaimana si pembawa pesan menyampaikannya. Judee Burgoon dan Jerold hale (1988) menyatakan bahwa ada dua jenis harapan : prainteraksional dan interaksional. Harapan prainteraksional (pre-interactional expectation) mencakup jenis pengetahuan dan keahlian interaksional yang dimiliki oleh komunikator sebelum ia memasuki sebuah percakapan. Orang tidak selalu mengetahui apa yang dibutuhkan untuk memasuki dan mempertahankan sebuah percakapan. Harapan interaksional (interactional expectation) merujuk pada kemampuan seseorang untuk menjalankan interaksi itu sendiri. Kebanyakan orang mengharapkan orang lain untuk menjaga jarak sewajarnya dalam sebuah percakapan.



6



West, Richard dan Turner, Lynn H. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: PT. Salemba Humanika. 2012. Hlm 156 – 159.



2. Harapan terhadap perilaku manusia dipelajari Orang mempelajari harapannya melalui budaya secara luas dan juga individuindividu dalam budaya tersebut. Beberapa institusi masyarakat (keluarga, media, bisnis dan industri, dst) peranan penting dalam menentukan pola budaya apa yang harus diikuti. Ketentuan budaya yang berlaku umum ini dapat diikuti oleh individu-individu dalam percakapan mereka satu sama lain. Individu-individu



dalam



sebuah



budaya



juga



berpengaruh



dalam



mengomunikasikan harapan. Burgoon dan Hale (1988) menyatakan bahwa sangat penting bagi kita untuk memerhatikan perbedaan-perbedaan berdasarkan pengetahuan awal kita mengenai orang lain, sejarah hubungan kita dengan mereka, dan observasi kita. Selain itu, harapan juga merupakan hasil dari pengamatan kita. Skenario-skenario yang menarik muncul dalam percakapan ketika individu-individu yang terlibat di dalamnya memiliki norma yang berbeda; harapan akan jarak dalam percakapan bervariasi dan dapat memengaruhi persepsi terhadap interaksi atau bahkan memiliki konsekuensi.



3. Orang membuat prediksi mengenai perilaku nonverbal Terkait dengan prediksi yang dibuat oleh orang mengenai komunikasi nonverbal. Judee Burgoon dan Joseph Walter (1990) memperluas pemahaman awal EVT melalui ruang personal ke area-area lain dalam komunikasi nonverbal, termasuk sentuhan dan postur. Mereka menyatakan bahwa keatraktifan orang lain memengaruhi evaluasi akan harapan. Dalam percakapan, orang tidak hanya sekedar memberikan perhatian pada apa yang dikatakan oleh orang lain. Perilaku nonverbal memengaruhi percakapan, dan perilaku ini mendorong orang lain untuk membuat prediksi. Sebelum kita mulai memercayai dugaan akan adanya ketertarikan, ingatlah bahwa reaksi dapat menjadi salah sama sekali. Tanpa memerhatikan tingkat percaya diri, komunikasi nonverbal sering kali ambigu dan dapat menimbulkan banyak interpretasi.



C. KONSEP TEORI Manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki ruang pribadi sendiri, tentu tidak ingin ruang pribadinya dilanggar oleh orang lain. Kebebasan hanya dapat diberikan kepada orang-orang terdekat. Oleh karena itu, suatu hubungan dapat mempengaruhi interaksi dan kebebasan ruang pribadi. Burgoon berharap dapat menunjukkan keterkaitan perilaku dan atraksi interpersonal, kredibilitas, pengaruh dan keterlibatan. Agar kita dapat memahami hubungan di antara konsep-konsep tersebut makan kita perlu memahami tiga konsep dasar dari EVT, yaitu expectancies, violation valence, dan communicator reward valence. 7 1. Harapan (Expectancies) Kita membentuk harapan melalui norma-norma sosial tentang bagaimana orang lain perlu bertindak secara nonverbal dan secara lisan ketika kita saling berinteraksi dengan mereka. Harapan terhadap tingkah laku nonverbal apa yang pantas dilakukan orang lain terhadap diri kita. Jika perilaku nonverbal seseorang ketika berkomunikasi dengan kita sesuai atau kurang lebih sama dengan pengharapan kita, maka kita akan merasa nyaman secara fisik maupun psikologis. Namun, jika perilaku orang lain menyimpang dari apa yang kita harapkan secara khas, maka suatu pelanggaran pengharapan telah terjadi. Hal ini menyebabkan kita untuk mengambil reaksi khusus (menyangkut) perilaku itu. Suatu pelanggaran dari harapan nonverbal kita dapat menganggu emosional (Infante, 2003:177). Harapan didasarkan pada konteks, hubungan, dan karakter komunikator. Konteks berkaitan dengan norma-norma budaya. Termasuk di dalamnya adalah jarak personal yang berbeda-beda di setiap budaya. Konteks juga mencakup setting dari sebuah percakapan, seperti di sebuah ruang kelas atau pembicaraan pribadi. Hubungan (relationship) mencakup kesamaan, kekeluargaan, rasa suka, dan status. Status seseorang seringkali membuat orang tersebut menjaga jarak dari orang lain yang dianggap memiliki status berbeda. tetapi kesamaan, kekeluargaan, dan rasa suka cenderung mendekatkan orang satu dengan yang lain. Karakteristik komunikator (communicator characteristic) mencakup semua aspek demografis, seperti usia, jenis kelamin, tempat lahir. Termasuk dalam unsur ini juga adalah semua penampilan seseorang yang mungkin mempengaruhi ekspektasi, misalnya penampilan fiaik, kepribadian, dan gaya komunikasi.



7



Santoso, Edi; Setiansah, Mite. Teori Komunikasi. Yogyakarta; Graha Ilmu, 2010. Hlm 31.



2. Valensi Pelanggaran (Violations Valence) Ketika harapan dilanggar, banyak orang mengevaluasi pelanggaran tersebut berdasarkan sebuah valensi. Valensi pelanggaran merujuk pada penilaian positif atau negatif dari sebuah perilaku yang tidak diprediksi atau diharapkan akan terjadi. Valensi pelanggaran melibatkan pemahaman suatu pelanggaran melalui interpretasi dan evaluasi (Burgoon & Hale, 1988). Untuk bisa memberikan penilaian, tahap pertama yang dilakukan seseorang adalah mencoba untuk menginterpretasikan makna dari pelanggaran itu kemudian memikirkan apakah kita menyukainya atau tidak. EVT berpendapat bahwa jika perilaku yang diberikan lebih positif dibandingkan dengan apa yang diharapkan, dalam arti kita menyukai tindakan pelanggaran tersebut, hasilnya adalah pelanggaran harapan yang positif. Sebaliknya, jika perilaku yang diberikan lebih negatif dibanding apa yang diharapkan, artinya kita tidak menyukai pelanggaran tersebut, maka akan menghasilkan pelanggaran harapan yang negatif. Ketika sebuah perilaku telah memiliki makna yang dikenal secara sosial, maka komunikator akan dengan mudah menentukan apakah akan menembus apa yang diharapkan orang lain atau tidak. Tetapi kadang-kadang expectancy violations kerap bermakna ambigu dan sangat terbuka terhadap interprestansi ganda. Misalnya, sentuhan yang tidak diprediksi sebelumnya, bisa bermakna tidak disengaja, bisa merupakan pelecehan, atau bisa juga upaya untuk menjadi lebih dekat. Pada saat demikian kita perlu mempertimbangkan reward valence of communicator seperti halnya the valence of violation. 8



3. Valensi Ganjaran Komunikator (Communicator Reward Valence) Valensi ganjaran komunikator adalah keseluruhan sifat-sifat positif maupun negatif yang dimiliki oleh komunikator termasuk kemampuan komunikator dalam memberikan keuntungan/ganjaran atau kerugian kita di masa datang. Burgoon mengategorikan orang yang melanggar menjadi dua, yaitu High Reward Person adalah pelanggar yang dianggap sebagai sumber ganjaran yang potensial karena memiliki status sosial, jabatan, keahlian tertentu atau penampilan fisik yang menarik dan Low Reward Person adalah pelanggar yang dianggap sebagai sumber yang tidak potensial dalam memberikan keuntungan berkomunikasi, misalnya kebodohan dan kejelekan9. 8



Santoso, Edi; Setiansah, Mite. Teori Komunikasi. Yogyakarta; Graha Ilmu, 2010. Hlm 32. Syaiful Rohim, Haji. Teori Komunikasi : Perspektif, Ragam dan Aplikasi, Jakarta : Rineka Cipta, 2009. Hlm 81. 9



Apabila kita menyukai orang yang melanggar tersebut, kita tidak akan terfokus pada pelanggaran yang dibuatnya, justru kita cenderung berharap agar orang tersebut tidak mematuhi norma-norma yang berlaku. Sebaliknya bila orang yang melanggar tersebut adalah orang yang tidak kita sukai, maka kita akan terfokus pada pelanggaran atau kesalahannya dan berharap orang tersebut mematuhi atau tidak melanggar normanorma sosial yang berlaku. NEV Theory berargumen bahwa siapa yang melakukan berbagai hal pelanggaran masih harus dikelompokkan dalam rangka menentukan apakah suatu pelanggaran akan dilihat sebagai negatif atau positif. Tidak sama dengan model interaksi nonverbal lainnya seperti teori penimbulan pertentangan. NEV Theory meramalkan bahkan suatu “pelanggaran yang ekstrim dari suatu harapan” boleh jadi dipandang secara positif jika itu dilakukan oleh komunikator yang mendapat penghargaan tinggi (Burgoon & Hale, 1988, hal.63) dalam buku (Infante, 2003: 179). Dalam tiap konteks ini, pelanggaran harapan dalam hal perilaku dapat diinterpretasikan secara berbeda tergantung baagaimana kita menerima komunikatornya.



1. Rangsangan Burgoon awalnya merasa bahwa penyimpangan harapan memiliki konsekuensi. Penyimpangan, atau pelanggaran ini, memiliki apa yang disebut sebagai “nilai rangsangan” (Burgoon, 1978 : 133). Maksudnya, ketika harapan seseorang dilanggar, minat atau perhatian orang tersebut akan dirangsang, sehingga ia akan menggunakan mekanisme tertentu untuk menghadapi pelanggaran yang terjadi. Ketika rangsangan (arousal) terjadi minat atau perhatian seseorang terhadap penyimpangan akan meningkat dan perhatian terhadap pesan akan berkurang sementara perhatian pada sumber rangsangan akan meningkat (LaPoire dan Burgoon, 1996). Burgoon dan Hale (1988) kemudian menyebut hal ini “kesiagaan mental” atau “respons yang berorientasi” yaitu perhatian dialihkan pada sumber penyimpangan. Seseorang dapat terangsang secara kognitif maupun fisik. Rangsangan kognitif (cognitive arousal) adalah kesiagaan atau orientasi terhadap pelanggaran. Ketika kita terangsang secara kognitif, indera intuitif kita meningkat. Rangsangan fisik (physical arousal) mencakup perilaku-perilaku yang digunakan komunikator dalam sebuah interaksi, seperti keluar dari jarak pembicaraan yang membuat tidak nyaman, menyesuaikan pandangan selama interaksi berlangsung, dan seterusnya.



Kebanyakan penelitian EVT telah menginvestigasi rangsangan kognitif (melalui catatan mengenai laporan diri), tetapi sedikit penelitian menelaah mengenai rangsangan psikologis.



2. Batas Ancaman Begitu rangsangan timbul, ancaman akan muncul. Batas ancaman (threat threshold) oleh Burgoon (1978) didefinisikan sebagai “jarak dimana orang yang berinteraksi mengalami ketidaknyamanan fisik dan fisiologis dengan kehadiran orang lain”. Dengan kata lain, batas ancaman adalah toleransi bagi pelanggaran jarak. Burgoon melanjutkan bahwa “ketika jarak disamakan dengan ancaman, jarak yang lebih dekat dilihat lebih mengancam dan jarak yang lebih jauh lebih aman”. Dalam hal ini, jarak diinterpretasikan sebagai pernyataan mengancam dari seorang komunikator. Orang dapat saja memberikan penghargaan maupun hukuman terhadap sebuah ancaman. Burgoon mencapai kesimpulan ini dengan mempelajari penelitian terhadap kesukaan dan ketertarikan. Penelitian ini menyatakan bahwa jarak dekat digunakan untuk orang-orang yang kita suka atau kepada siapa kita tertarik. Beberapa orang tidak masalah ketika orang berdiri dekat dengan mereka; batas ancaman mereka, karenanya tinggi. Beberapa menjadi tidak nyaman ketika orang berdiri terlalu dekat dengan mereka; bagi mereka, batas ancamannya rendah. Burgoon melihat bahwa ukuran batas didasarkan pada bagaimana kita memandang pelaku ancaman, yang telah dibahas sebagai valensi penghargaan komunikator. Begitu pelanggaran terjadi, kita lagi-lagi akan menginterpretasikan pelanggaran tersebut. Walaupun Burgoon kemudian memutuskan bahwa batas ancaman tidak selalu diasosiasikan dengan lawan bicara, konsep ini merupakan konsep yang penting untuk dipikirkan ketika Anda sedang berusaha memahami EVT (West & Turner, 2008 : 163).



D.



MODEL TEORI



Skema diatas menggambarkan model dari proses pelanggaran dan evaluasi dalam suatu percakapan. Skema menunjukkan bahwa harapan timbul dari persepsi seseorang terhadap diri orang lain sebagai komunikator, yang mencakup tiga hal berikut. 1. Karakteristik komunikator. Bagaimana kondisi atau sifat orang lain yang menjadi lawan bicara yang mencakup jenis kelamin, kepribadian, umur, penampilan, reputasi atau gaya. 2. Karakteristik hubungan. Bagaimana keadaan hubungan yang mecakup pengalaman dengan orang itu sebelumnya, tingkat keakraban, kesukaan, daya tarik dan lainnya. 3. Konteks di mana perilaku terjadi. Situasi yang melingkupi, formil atau nonformil dalam pekerjaan, hambatan lingkungan, dan lain sebagainya.



Pelanggaran terhadap harapan akan memperkuat penilaian yang dibuat dalam proses ini. Dalam hal derajat manfaat yang diperoleh besar, maka pelanggaran menimbulkan gairah, yang pada gilirannya memperkuat evaluasi komunikasi dengan orang lain dan memberikan makna terhadap pesan. Jika perilaku orang lain itu memiliki makna positif, maka hasilnya juga akan positif. Skema menunjukkan kemungkinan lain, di mana suatu perilaku dapat memiliki lebih dari satu makna atau ambigu (pada skema ditunjukan dengan tanda “?” ) sehingga orang tidak terlalu yakin untuk memberikan tanggapan. teori ini memperkirakan bahwa perilaku ambigu akan dinilai positif jika orang lain itu dianggap memiliki derajat kemanfaatan, tetapi jika orang itu dianggap tidak memiliki derajat kemanfaatan, maka perilakunya akan dinilai negatif.



E. APLIKASI PENELITIAN Pada awalnya teori Burgoon ini hanya diterapkan dalam konteks penggunaan jarak dan ruang dalam berkomunikasi (Spatial Violations), namun sejak pertengahan tahun 1980-an Burgoon menyadari bahwa perilaku penggunaan jarak dan ruang sebenarnya hanyalah bagian dari sistem isyarat nonlinguistic dalam komunikasi nonverbal. Berdasarkan pertimbangan ini kemudian Burgoon mulai menerapkan teori ini pada aspekaspek komunikasi nonverbal lainnya seperti ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan sampai pada isyarat gestural lainnya. Dengan perluasan ini maka keberlakuan dan pemanfaatan teori ini semakin luas. Banyak yang menerapkan teori ini dalam konteks komunikasi antarpribadi dalam hal keterkaitan teoritis. Setidaknya ada tiga teori yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan teori pelanggaran harapan nonverbal. Ketiga teori



tersebut adalah Proxemics Theory, Anxiety/Uncertainty Management (AUM) Theory, dan Social Exchange Theory (SET). Proxemics Theory merupakan akar dari perumusan asumsi-asumsi dalam teori pelanggaran harapan nonverbal. Teori ini berbicara mengenai jarak dan ruang personal antar individu yang mempengaruhi terbentuknya suatu kelompok. Bertolak dari konsep penggunaan jarak dan ruang dalam proxemics, karena itu kedua teori ini berhubungan erat dan tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara



teori



NEV



dengan



Anxiety/Uncertainty



Management



(AUM) Theory, menurut Ting Tomey dan Chung memiliki kaitan yang cukup erat jika dilihat terutama dari penggunaan konsep ekspektasi dalam proses interaksi, konsep ketidaknyamanan dalam komunikasi yang ambigu atau tindakan-tindakan mengevaluasi suatu perilaku komunikasi. Social Exchange Theory keterkaitan teori ini dapat terlihat dalam hal penggunaan konsep keuntungan dan kerugian. Dalam hal ini kedua teori berpendapat bahwa orang yang dipandang dapat memberikan ganjaran lebih akan menciptakan situasi komunikasi yang lebih favourable. Demikian berlaku sebaliknya bagi individu dalam kategori Low Reward Person.



F. KRITIK DAN PENUTUP Teori Pelanggaran Harapan/Expectancy Violations Theory (EVT) adalah salah satu teori yang secara khusus memiliki fokus kepada apa yang diharapkan orang dan reaksi mereka kepada orang lain dalam sebuah percakapan. Asumsi dan konsep intinya menjelaskan pentingnya pesan-pesan nonverbal dan proses pengolahan informasi. EVT meningkatkan pemahaman kita akan bagaimana harapan memengaruhi jarak dalam percakapan. Teori ini menemukan apa yang terjadi di dalam benak komunikator dan bagaimana komunikator memonitor perilaku nonverbal dalam percakapan mereka. Meski didukung oleh beberapa ilmuwan komunikasi terhadap keberlakuan EVT, teori ini mendapat kritikan yang disampaikan Griffin (2000) yang menyatakan bahwa teori ini tidak sepenuhnya memperhitungkan mengenai hubungan timbal balik di antara pelaku komunikasi dalam suatu proses interaksi. Tampak jelas bahwa penilaian terhadap pelanggaran nonverbal dilakukan hanya oleh pihak yang dilanggar bukan oleh kedua belah pihak.



DAFTAR PUSTAKA - Judee K. Bargoon dan Jerold L. Hale, “Nonverbal Expectancy Violations: Model Elaboration and Application”, Communication Monograph 55, 1988. - Rohim, H. Syaiful, M.Si. 2009. Teori Komunikasi: Perspektif, Ragam, & Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta - Santoso, Edi., Mite Setiansah. 2010. Teori Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu - West, Richard dan Turner, Lynn H. 2012. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi. Jakarta : PT. Salemba Humanika.