Tiroiditis Hashimoto [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1.



TIROIDITIS HASHIMOTO



Gara Samara Brajadenta Penerima Beasiswa Unggulan Kemendiknas Master Biologi Santé, Sciences du Médicament Université de Poitiers, France



BAB I. PENDAHULUAN



Hormon tiroid merupakan satu hormon yang dibutuhkan oleh hampir semua proses tubuh termasuk proses metabolisme, sehingga perubahan hiper atau hipotiroidisme berpengaruh atas berbagai peristiwa. Status tiroid seseorang ditentukan oleh kecukupan sel atas hormon tiroid dan bukan kadar normal hormon tiroid dalam darah. Definisi lama bahwa hipotiroidisme disebabkan oleh faal tiroid berkurang sudah tidak tepat lagi. Kini dianut keadaan dimana efek hormon tiroid di jaringan kurang. Hipotiroidisme merupakan kumpulan tanda dan gejala yang manifestasinya tergantung dari: a). Usia pasien b). Cepat tidaknya hipotiroidisme terjadi c). Ada tidaknya kelainan lain.1 Hashimoto’s Thyroiditis/Chronic Lymphocytic Thyroiditis atau yang selanjutnya disebut Tiroiditis Hashimoto merupakan salah satu dari penyakit autoimun dari 80 penyakit autoimun lainnya. Kejadian penyakit autoimun pada kajian kuantitatif sebenarnya relatif jarang, namun demikian jika ditinjau dari kualitas dan obyek penderitanya, maka kasusnya cukup perlu mendapat perhatian, sebagai gambaran berjuta-juta orang Amerika menderita penyakit autoimun. Umumnya penyakit autoimun menyerang wanita lebih banyak dibandingkan pria,



khususnya pada wanita usia kerja dan wanita pada usia membesarkan anak. Alasan mengapa wanita lebih banyak menderita penyakit autoimun belum dapat diketahui, namun diperkirakan karena peranan hormon. Peranan hormon ini patut mendapatkan kecurigaan karena penyakit autoimun pada wanita ini sering terjadi setelah monopause, dan penelitian lainnya menyebutkan pula selama kehamilan. Ratio kejadian penyakit Hashimoto perempuan dibandingkan laki-laki adalah 7 : 1. Tiroiditis Hashimoto dianggap penting oleh karena merupakan penyebab hipotiroidisme di daerah non-endemik, dan merupakan penyebab utama struma pada daerah non-endemik.1, 2, 3 Kurangnya informasi tentang penyakit Hashimoto ini juga ikut mempersulit bagi perkembangan dan kemajuan khususnya di bidang penelitian medik tentang penyakit Hashimoto di lapangan. Untuk dapat mencapai suatu tahap optimalisasi penatalaksanaan penyakit Hashimoto, tentu saja sangat membutuhkan berbagai informasi tersebut. Fakta terakhir inilah yang mendorong disusunnya Tiroiditis Hashimoto sebagai pokok bahasan dalam referat ini sehingga diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna bagi kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran tentang penyakit Hashimoto di Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya. Oleh karena itu, dalam referat ini akan disajikan pegangan yang obyektif mengenai etiologi, patofisiologi, diagnosis klinis dan laboratorium, dan tatalaksana pada umumnya. Namun alangkah baiknya untuk memahami penyakit Tiroiditis Hashimoto kita terlebih dahulu memahami tentang anatomi, histologi, metabolisme serta fisiologi hormon tiroid, pengaturan hormon tiroid di perifer serta efek metabolik hormon tiroid serta patomekanisme dari suatu penyakit autoimun, sehingga dengan mengetahui dasar-dasar ilmu tersebut akan mempermudah kita dalam mempelajari kelainan pada kelenjar tiroid. Oleh sebab itu pada awalawal pembahasan akan dijelaskan terlebih dahulu tentang faal dari hormon tiroid dan patomekanisme terjadinya suatu penyakit autoimun.



BAB II. PEMBAHASAN



A. I.



HORMON TIROID



Anatomi Kelenjar Tiroid Kelenjar tiroid secara anatomis terletak di leher depan, berbentuk seperti kupu-kupu dan terdiri dari 2 lobus yang dihubungkan dengan daerah sempit disebut isthmus dan menutupi



cincin trachea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fascia pre tracheal sehingga pada gerakan menelan kelenjar akan terangkat ke atas ke arah kranial. Berikut adalah gambaran anatomi dari kelenjar tiroid.4



Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid 5 Setiap lobus tiroid yang berbentuk lonjong berukuran panjang 2,5-4 cm, lebar 1,5 cm dan tebal 1-1,5 cm. Berat kelenjar tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan masukan yodium. Pada orang dewasa beratnya berkisar antara 10-20 gram. Vaskularisasi kelenjar tiroid amat baik. A. tiroidea superior berasal dari a. karotis komunis atau a. karotis eksterna, a. tiroid inferior dari a. subklavia, dan a. tiroid ima berasal dari a. brakiosefalik salah satu cabang arkus aorta. Ternyata setiap folikel tiroid diselubuni oleh jala-jala kapiler dan limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus perifolikular yang menyatu di permukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior. Aliran darah ke kelenjar tiroid diperkirakan 5 ml/gram kelenjar/menit.1, 4 II. Histologi Kelenjar Tiroid Secara histologi kelenjar tiroid terdiri dari banyak folikel berbentuk bulat, berdinding epitel selapis dengan puncak menghadap ke lumen yang di dalamnya mengandung koloid. Pada keadaan inaktif koloid menjadi banyak dan sel yang mengelilingi akan tampak gepeng. Dalam keadaan aktif sel berbentuk torak dan bagian tepi koloid membentuk “reabsorbtion lacunae”.4



Gambar 2. Histologi Kelenjar Tiroid



Gambar 3. Sketsa Kelenjar Tiroid III. Metabolisme Hormon Tiroid Aktivitas biologik kelenjar tiroid dalam memproduksi hormon tiroid memerlukan unsur iodium yang berasal dari makanan yang diserap melalui usus kecil kemudian diubah dalam



bentuk ion iodida (I-). Iodium yang diabsorbsi usus sebagian besar dibawa ke ginjal untuk diekskresikan melalui urin, dan sebagian lagi ke kelenjar tiroid.1, 4 Kelenjar pituitirin (hipofise) memproduksi TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang akan merangsang kelenjar tiroid untuk memproduksi hormon T3 dan T4. Produksi TSH sendiri dipacu oleh TRH (Thyroid Releasing Hormone) dari hipotalamus. Sekresi TSH dipengaruhi oleh ritme harian dan puncaknya antara pukul 22.00-04.00.4



Gambar 4. Metabolisme Hormon Tiroid Pada keadaan normal T4 adalah produk sekresi utama kelenjar tiroid. Sebagian besar T3 (80%) berasal dari monodeiodinasi T4 di jaringan perifer, sedangkan yang 20% diproduksi oleh kelenar tiroid. Dalam plasma, T3 (99,75%) dan T4 (99,98%) terikat dan diangkut oleh protein pengikat seperti Thyroxine Binding Globulin (TBG) , Thyroxine Binding Pre Albumin (TBPA), dan Thyroid Binding Albumin (TBA), dimana ini berfungsi sebagai cadangan. Sedangkan hormon yang bebas sajalah yang mempunyai aktivias biologik, dan aktivitas T3 besarnya adalah 3-5 kali dari T4.4



Gambar 5. Biosintesis Hormon Tiroid TRH Disintesa oleh neuron supraoptic dan nucleus supraventrikuler. Melalui system vena porta sampai ke hipofisis anterior dan terikat pada reseptor membaran spesifik jaringan tirotrof dan Prolactine Secreting Cell. TRH akan merangsang sintesis dan pelepasan TSH dan prolaktin. Kecuali itu TRH akan merangsang proses glikosilasi sehingga aktivitas biologik TSH akan meningkat.4 TSH Molekul TSH terdiri dari subunit alfa dan beta, dimana subunit alfa juga dipunyai oleh molekul LH, FSH, dan HCG. Sedangkan untuk dapat membedakannya yaitu dengan mengikat subunit beta yang hanya sedikit dimiliki oleh TSH. Efek TSH terhadap kelenjar tiroid antara lain : a.



Menyebabkan perubahan morfologi sel epitel (pada proses resorbsi koloid dan hidrolisis tiroglobulin).



b.



Menyebabkan pertumbuhan sel sehingga terjadi penambahan vaskularisasi sehingga terjadi gondok.



penambahan



ukuran



kelenjar



dan



c.



Meningkatkan metabolisme iodium dalam hal “up take”, iodinasi, dan sekresi.



d.



Meningkatkan mRNA utuk tiroglobulin dan enzim TPO, selanjutnya akan terjadi onkorporasi dengan iodida sehingga terbentuklah MIT, DIT, T3, dan T4.



e.



Meningkatkan aktivitas lysosom sehingga sekresi T3 dan T4 meningkat.



f.



Meningkatkan aktivitas enzim 1,5 deiodinase sehingga terjadi pemeliharaan kadar iodium intra tiroid.4 IV. Pengaturan Hormon Tiroid di Perifer 1.



Autoregulasi oleh kelenjar tiroid yang dipengaruhi kadar iodium plasma dan intra tiroid. Bila terjadi kenaikan kadar iodin akan terjadi kenaikan proses “trapping” dan organifikasi, di mana hal tersebut disebut dengan efek dari Wolf-Chaikof.



2.



Regulasi ektra tiroid. T3, T4, dan dopamin akan menyebabkan mekanisme umpan balik terhadap hipotalamus sehingga akan terjadi hambatan sekresi TRH dan TSH. Sedangkan hal berlawanan terjadi akibat dari rangsangan/pengaruh estrogen. 4



V. Efek Metabolik Hormon Tiroid a.



Terjadi peningkatan pemakaian O2 di jaringan.



b.



Meningkatkan produksi panas tubuh.



c.



Memacu metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein.



d.



Memacu proses konversi pro vitamin A menjadi vitamin A.



e.



Berperan dalam pertumbuhan syaraf otak dan perifer pada 3 tahun pertama kehidupan. 4 B.



PENYAKIT AUTOIMUN



I. FAKTOR PENYEBAB PENYAKIT AUTOIMUN Genetik : Telah ditunjukkan pada manusia bahwa gen major histocompatibility complex (MHC)dikaitkan dengan kejadian spesifik dari penyakit autoimun. Gen MHC ada pada semua vertebrata, gen ini menandai 2 katagori pokok molekul yang membentuk bagian dari sel membran dan seluruh bagian membran. Secara khusus gen tersebut memiliki peranan dalam menseleksi antigen yang dapat dikenali oleh sel-T. Sebuah analisa keturunan dari anjing beardies menunjukan bahwa hypoadrenocorticism mempengaruhi sifat keturunan yang dihasilkan. Kejadian ini disebabkan adanya autosomal recessive gene yang melakukan penetrasi secara tidak lengkap. Para peneliti berharap dapat mengidentifikasi gen atau gen-gen pada satu atau lebih loci yang memiliki hubungan dengan hypoadrenocorticism. Analisa pedigree pada populasi besarOld English Sheepdogs dan breeds lainnya yang pada populasi lebih kecil, menunjukkan bahwa hampir semua kasus autoimun terjadi pada hewan yang memiliki darah segaris. Namun demikian data tersebut juga menjelaskan bahwa anjing-anjing yang dalam segaris keturunan tidak selalu menderita penyakit autoimun dimana mayoritas dalam kondisi normal, sehat walaupun beberapa menderita gangguan subklinis penyakit autoimun. Kesimpulan yang dapat ditarik dari kasus diatas bahwa; Tampaknya anjing memiliki kecendurungan secara genetik untuk menderita penyakit autoimun.6, 7, 8 Fakta lain menunjukkan bahwa gen spesifik atau kelompok gen sebagai predisposisi suatu keluarga terhadap Psoriasis. Sebagai tambahan, individu anggota suatu keluarga dengan penyakit autoimun dapat berperan dalam membentuk abnormalitas gen yang mendorong kejadian penyakit autoimun walaupun mungkin menurunkan penyakit autoimun dalam jenis penyakit autoimun lainnya. Sebagai contoh: salah satu orangtuanya menderita lupus, maka keturunannya dimungkinkan menderita dermatomyositis dan mungkin keturunan lainnya menderita Rheumatoid arthritis. Perkembangan penyakit autoimun dalam tubuh dipengaruhi oleh faktor gen yang menurun bersama-sama pada saat tubuh mendapatkan sistem kekebalan yang dipicu oleh suatu kondisi dan lingkungan tertentu. 9 Beberapa penyakit autoimun diketahui terjadi dan makin terjadi karena adanya faktor pemicu seperti infeksi virus. Sinar matahari tidak saja berperan sebagai pemicu kejadian lupus akan tetapi sinar matahari malahan dapat memperburuk kondisi penderita lupus. Hal ini perlu disadari sehingga faktor-faktor tersebut dapat dihindari oleh individu yang rentan dalam rangka mencegah atau meminimalisasikan jumlah kerusakan yang ditimbulkan oleh karena penyakit autoimmune pada penderita. Faktor-faktor lainnya seperti: stress kronis, hormonal dan kehamilan, belum banyak diketahui dampaknya terhadap sistem kekebalan dan penyakit autoimun.6 Kesehatan sistem imun tubuh merupakan faktor utama lain sebagai penentu kejadian penyakit autoimun. Anjing memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita penyakit autoimune jika mengalamai stress. Hal inilah yang mendasari, sering tidak dilakukannya vaksinasi manakala



anjing dalam keadaan stress atau sakit. Bebrapa tulisan menyebutkan bahwa kondisi peningkatan sanitasi dan peningkatan polusi dapat menjadikan problematika.6 II. PATOMEKANISME PENYAKIT AUTOIMUN Jika tubuh dihadapkan sesuatu yang asing maka tubuh memerlukan ketahanan berupa respon immun untuk melawan substansi tersebut dalam upaya melindungi dirinya sendiri dari kondisi yang potensial menyebabkan penyakit. Untuk melakukana hal tersebut secara efektif maka diperlukan kemampuan untuk mengenali dirinya sendiri sehingga dapat memberikan respon pada kondisi asing atau bukan dirinya sendiri. Pada penyakit autoimmune terjadi kegagalan untuk mengenali beberapa bagian dari dirinya.9 Ada 80 grup penyakit autoimun serius pada manusia yang memberikan tanda kesakitan kronis yang menyerang pada hampir seluruh bagian tubuh manusia. Gejala-gejala yang ditimbulkan mencakup gangguan nervous, gastrointestinal, endokrin sistem, kulit dan jaringan ikat lainnya, mata, darah, dan pembuluh darah. Pada gangguan penyakit tersebut diatas, problema pokoknya adalah terjadinya gangguan sistem immune yang menyebabkan terjadinya salah arah sehingga merusak berbagai organ yang seharusnya dilindunginya. 2 Dampak dari penyakit autoimun ini dapat pada single organ, daerah terlokalisasi atau pada seluruh bagian tubuh hewan. Konsekuensinya dapat berbagai bentuk dari bentuk minimal sampai pada bentuk yang sangat luas tergantung pada bagian mana tubuh itu dirusak. Pada penyakit autoimun, tanda-tanda patologis memberikan gambaran sebagaimana hasil dari suatu respon imun itu sendiri. Seringkali lebih dari satu jenis penyakit autoimun terjadi pada satu hewan, demikian halnya peningkatan kepekaan tubuh hewan itu terhadap penyakit bakterial infeksiosa. Ada empat dasar mekanisme yang menyebabkan kejadian penyakit autoimun: 1.



Mediasi Antibodi : Keberadaan antibodi spesifik melakukan perlawanan terhadap antigen tertentu (protein) mendorong kerusakan dan timbulnya tanda-tanda penyakit. Contohnya: auto-immune mediated hemolytic anemia, dimana targetnya adalah permukaan sel darah merah; myesthenia gravis dimana targetnya adalah acetylcholine receptor pada neuromuscular junction; hypoadrenocorticism (Addisons’s) dimana targetnya adalah sel dari kelenjar adrenal.2, 6



2.



Mediasi Immune Kompleks: Antibodi diproduksi melawan protein didalam tubuh, komplek ini dalam bentuk molekul besar yang bersikulasi keseluruh tubuh. Pada systemic lupus erythematosus (SLE), antibodi dibentuk justru merusak beberapa komponen-komponen didalam inti selnya (sehingga anti-



nuclear antibody test (ANA) dilakukan untuk SLE). Sebagian besar antibodi-antibodi yang diproduksi merusak double stranded DNA, dan membentuk komplek terlarut yang tersirkulasi yang akan memecah kulit dan menyebabkan peningkatan sensitivitas pada ultraviolet dan berbagai gejala lainnya. Karena darah tersaring melalui ginjal, maka kompleks tersebut akan tertahan dalam glomeruli dan pembuluh darah yang menyebabkan ginjal kekuarangan protein sehingga mengalami glomerulonephritis. Kondisi ini juga merusak pembuluh darah lainnya, dan dimungkinkan terjadinya haemorhagi, sebagaimana akumulasi dari cairan synovial dan menyebabkan tanda-tanda arthritis dan kesakitan persendian. Rheumatoid arthritis diakibatkan dari imun compleks (kelompok antibodi IgM mengikat rheumatoid factor) merusak bagian dari sistem kekebalan hewan (bagian dari molekul Ig G). Bentuk komplek ini dideposit di ruang persendian synovial yang menyebabkan respon peradangan, pembengkakan persendian dan kesakitan. Kolagen dan kartilago dirusak dan seringkali digantikan dengan fibrin sehingga menyebabkan fuses dari persendian – ankylosis.2, 6 3.



Mediasi Antibodi dan sel T cell : Sel T adalah salah satu dari dua tipe (yang satunya disebut sel B) sel darah putih yang memediasi reaksi imun. Ketika dihadapkan pada suatu antigen tertentu, sel T terprogram untuk mencari dan merusak protein tertentu itu pula dikemudian hari. Jika seekor hewan terekspose pada suatu antigen, maka menjadi lebih berkemampuan untuk memberikan respon lebih banyak dan lebih cepat dalam memberikan perlawanan terhadap antigen tertentu itu dikemudian hari. Inilah dasar pelaksanaan vaksinasi. Pada kejadian Thyroiditis ( autoimmune hypothyroidism) tampaknya memberikan dampak mixed ethiology, dimana beberapa antigen yang menjadi target dan juga sekaligus hormon penting thyroglobulin yang diproduksi oleh tyroid menjadi dikenali. Autoantibodi terhadap antigen-antigen pada ephitel sel thyroid juga dikenali. Thyroid menjadi terinvasi oleh sejumlah besar sel T, sel B demikian pula sel Makrophage yang akan “menelan” dan menghancurkan sel-sel lainnya. Sel T yang terprogram secara spesifik terhadap thyroglobulin ini telah diidentifikasi.2, 6



4.



Difisiensi komplemen : Ketika antigen dan antibodi bereaksi, maka akan mengaktivasi kelompok enzim serum (sistem komplemen) yang memberikan hasil akhir berupa lisis dari molekul antigen atau memungkinkan sel fagosit seperti makrofag untuk lebih mudah melakukan pengrusakan. Hewan yang mengalami defisiensienzimes activated pada awal sistem komplemen akan penderita penyakit autoimun, seperti pada kasus penyakit SLE.2, 6 C.



TIROIDITIS HASHIMOTO



Istilah tiroiditis mencakup segolongan kelainan yang ditandai dengan adanya inflamasi tiroid. Termasuk di dalamnya keadaan yang timbul mendadak disertai rasa sakit yang hebat pada tiroid (misalnya subacutelymphocytic thyroiditis dan infectious thyroiditis), dan keadaan dimana secara klinis tidak ada inflamasi dan manifestasi penyakitnya terutama dengan adanya disfungsi tiroid atau pembesaran kelenjar tiroid (misalnyasubacute lymphocytic painless thyroiditis) dan tiroiditis fibrosa (Riedels thyroiditis).10 Pada golongan tiroiditis subakut pola perubahan fungsi tiroid biasanya dimulai dengan hipertiroid, diikuti dengan hipotiroid dan akhirnya kembali eutiroid. Hipertiroid terjadi karena kerusakan sel-sel folikel tiroid dan pemecahan timbunan tiroglobulin, menimbulkan pelepasan yang tidak terkendali dari hormon T3 dan T4. Hipertiroid ini berlangsung sampai timbunan T3 dan T4 habis. Sintesis hormon yang baru terhenti tidak hanya karena kerusakan sel-sel folikel tiroid tetapi juga karena penurunan TSH akibat kenaikan T3 dan T4. Hipotiroid yang terjadi biasanya sementara. Bila inflamasinya mereda, sel-sel folikel tiroid akan regenerasi, sintesis dan sekresi hormon akan pulih kembali.1 Tiroiditis dapat dibagi berdasar atas etiologi, patologi, atau penampilan klinisnya. Penampilan klinis dapat berupa perjalanan penyakit dan ada tidaknya rasa sakit pada tiroid. Ada tidaknya rasa sakit ini penting karena merupakan pertimbangan utama untuk menegakkan diagnosis. Berdasarkan perjalanan penyakit dan ada tidaknya rasa sakit tiroiditis dapat dibagi atas : 1.



Tiroiditis Akut dan disertai rasa sakit : a.



Tiroiditis infeksiosa akut/tiroiditis supurativa



b.



Tiroiditis oleh karena radiasi c. Tiroiditis traumatika



2. a.



Tiroiditis Subakut : Yang disertai rasa sakit : Tiroiditis granulomatosa/tiroiditis non supurativa/tiroiditis de Quervain. b.



1)



Yang tidak disertai rasa sakit :



Tiroiditis limfositik subakut



2)



Tiroiditis post partum



3)



Tiroiditis oleh karena obat-obatan



3.



Tiroiditis Kronis :



a.



Tiroiditis Hashimoto



b.



Tiroiditis Riedel



c.



Tiroiditis infeksiosa kronis oleh karena mikrobakteri, jamur, dan sebagainya.1 Tiroiditis Hashimoto (Tiroiditis autoimun) adalah peradangan kronis kelenjar tiroid yang sering menyebabkan hipotiroidisme. Tiroiditis Hashimoto merupakan jenis tiroiditis yang paling sering ditemukan. Paling sering terjadi pada wanita usia lanjut (45-65 tahun) dan cenderung diturunkan. Tiroiditis Hashimoto yang juga dikenal dengan sebutan penyakit Hashimoto, penyakit ini dikenalkan oleh Hashimoto Hakaru (1881-1934) seorang dokter di Fakultas Kedokteraan Univesitas Kyushu, Jepang. Beliau adalah orang pertama yang menjelaskan gejala penyakit tersebut pada tahun 1912.11 Untuk alasan yang tidak diketahui, tubuh melawan dirinya sendiri dalam suatu reaksi autoimun, membentuk antibodi yang menyerang kelenjar tiroid. Penyakit ini 50 kali lebih sering terjadi pada wanita dan bisa terjadi pada orang-orang yang memiliki kelainan kromosom tertentu, seperti sindroma Turner, sindroma Down dan sindroma Kleinefelter.12 Hipotiroidisme adalah satu keadaan penyakit disebabkan oleh kurang penghasilan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid. Hipotiroidisme adalah suatu keadaan dimana kelenjar tiroid kurang aktif dan menghasilkan terlalu sedikit hormone tiroid. Hipotiroid yang sangat berat disebut miksedema. Hipotiroidism terjadi akibat penurunan kadar hormon tiroid dalam darah. Kelainan ini kadang-kadang disebut miksedema. Lebih dari 95% penderita hipotiroidisme mengalami hipotiroidisme primer atau tiroidal yang mengacu kepada disfungsi kelenjar tiroid itu sendiri. Apabila disfungsi tiroid disebabkan oleh kegagalan hipotalamus disebut sebagai hipotiroidisme sentral (hipotiroidisme sekunder) atau pituitaria. Jika sepenuhnya disebabkan oleh hipofisis disebut hipotiroidisme tersier.10 1. Primer



a. Goiter : Tiroiditis Hashimoto, fase penyembuhan setelah tiroiditis, defisiensi yodium.



Non-goiter : destruksi pembedahan, kondisi setelah pemberian yodium radioaktif atau radiasi eksternal, agenesis, amiodaron. 2. Sekunder : kegagalan hipotalamus (penurunan kadar TRH, TSH yang berubah-ubah, penurunan kadar T4 bebas) atau kegagalan pituitari (penurunan kadar TSH, penurunan kadar T4 bebas). 10 I. ETIOLOGI Penyakit ini sering disebut tiroiditis autoimun kronis, merupakan penyebab utama hipotiroid di daerah yang iodiumnya cukup. Karakter utamanya berupa kegagalan tiroid yang terjadi pelan-pelan, adanya struma atau kedua-duanya yang terjadi akibat kerusakan tiroid yang diperantarai autoimun. Hampir semua pasien mempunyai titer antibodi tiroid yang tinggi, inflamasi limfositik termasuk sel B dan T, dan apoptosis sel folikel tiroid. 3 Penyebab tiroiditis Hashimoto diduga kombinasi dari faktor genetik dan lingkungan. Suseptibilitas gen yang dikenal adalah HLA-DR5 dan CTLA-4. Mekanisme imunopatogenetik terjadi karena adanya ekspresi HLA antigen sel tiroid yang menyebabkan presentasi langsung dari antigen tiroid pada sistem imun. Adanya hubungan familial dengan penyakit Graves dan penyakit Graves sering terlibat pada tiroiditis Hashimoto atau sebaliknya menunjukkan bahwa kedua penyakit tersebut patofisiologinya sangat erat, walaupun manifestasi klinisnya berbeda. 1, 13 Sel T adalah salah satu dari dua tipe (yang satunya disebut sel B) sel darah putih yang memediasi reaksi imun. Ketika dihadapkan pada suatu antigen tertentu, sel T terprogram untuk mencari dan merusak protein tertentu itu pula dikemudian hari. Jika seekor hewan terekspos pada suatu antigen, maka menjadi lebih berkemampuan untuk memberikan respon lebih banyak dan lebih cepat dalam memberikan perlawanan terhadap antigen tertentu itu dikemudian hari. Inilah dasar pelaksanaan vaksinasi. Pada kejadian Thyroiditis ( autoimmune hypothyroidism) tampaknya memberikan dampak mixed ethiology, dimana beberapa antigen yang menjadi target dan juga sekaligus hormon penting thyroglobulin yang diproduksi oleh tyroid menjadi dikenali. Autoantibodi terhadap antigen-antigen pada ephitel sel thyroid juga dikenali. Thyroid menjadi terinvasi oleh sejumlah besar sel T, sel B demikian pula sel Makrophage yang akan “menelan” dan menghancurkan sel-sel lainnya. thyroglobulin ini telah diidentifikasi.6



Sel T yang terprogram secara spesifik terhadap



Gamb



ar 6. Skema Etiologi Tiroiditis Hashimoto 13 Tiroiditis Hashimoto dapat ditemukan dengan faktor penyakit autoimun lainnya seperti DM tipe 1, celiac disease, rheumatoid arthritis, multiple sclerosis, vitiligo, dan lain sebagainya. Tiroiditis hashimoto juga dapat ditemukan sebagai bagian dari penyakit autoimun polyendocrine syndrome type 2 (APS-2), dimana biasanya diikuti oleh dua atau lebih penyakit yang mengikutinya seperti Addison's disease (selalu ada), AITD dan atau DM tipe 1 pada pasien yang sama.13 Umumnya pada seluruh penyakit autoimun, interaksi yang berbahaya antara faktor internal (genetik) dan eksternal (lingkungan dan endogen) dapat menginisiasi terjadinya penyakit Tiroiditis Hashimoto. Faktor pencetus dari lingkungan termasuk asupan iodin, infeksi bakteri dan virus, terapi sitokin dan mungkin juga kehamilan. Penelitian epidemiologi tentang diet iodin telah banyak dilaporkan dan pada percobaan dengan hewan disimpulkan bahwa faktor lingkungan sangat signifikan dalam menyebabkan tiroiditis.13 II. PATOGENESIS TIROIDITIS HASHIMOTO



Berkembangnya kegagalan tiroid karena autoimun merupakan proses yang memiliki beberapa langkah dan juga membutuhkan genetik dan lingkungan yang abnormal untuk menjadikan penyakit tersebut berkembang. Pada onset penyakitnya Major histocompatibility complex (MHC) class II-positive antigen-presenting cells (APC),particularly dendritic sel, dan macrophages subklas, terakumulasi di kelenjar tiroid. APC merangsang thyroid-specific autoantigens ke sel T, memulai aktivasi dan klonal ekspansi selanjutnya. Selanjutnya pada inisial stage pada penyakit tersebut diikuti oleh fase ekspansi klonal dan maturasi dari autoreaktif T dan limfosit B pada nodus limfatikus.13



Gambar 7. Skema Patogenesis Autoimun Pada Tiroiditis Hashimoto 13 Pada inisial stage antigen presenting cell (APC), yakni sel dendritik dan makrofag menginfiltasi kelenjar tiroid. Infiltrasi tersebut dapat dipicu oleh faktor trigger dari lingkungan (asupan iodin, toksin, infeksi virus dan sebagainya yang akhirnya menyebabkan “insult of thyrocytes” dan pelepasan thyroid-specific protein. Protein ini kemudian bertindak sebagai self antigenic peptides yang ada pada permukaan sel APC. Setelah menangkap relevan autoantigen, APC berjalan dari tiroid menuju nodus limfatikus. Fase sentral terjadi pada limfe nodus dimana terjadi interaksi antara APC, autoreaktif (AR) sel T dan sel B yang pada akhirnya menginduksi produksi dari tiroid autoantibodi. Pada tahap selanjutnya, antigen-producing B lymphocytes, cytotoxic T cell dan makrofag menginfiltrasi dan berkumpul di tiroid melalui ekspansi limfosit clones dan propagasi dari jaringan limfoid di dalam kelenjar tiroid. Proses tersebut dimediasi oleh sel T helper tipe 1 (T H1) yang mensekresikan regulatory sitokin (interleukin-12 interferon-γ and tumor necrosis factor-α). Pada tahap akhir autoreaktif sel T, sel B dan antibody menyebabkan deplesi masif dari thyrocytes melalui antibody-dependent, sitokin



mediasi dan mekanisme apoptosis cytotoxity yang merupakan awal terjadinya hipotiroidisme pada penyait Hashimoto.13 III. GEJALA DAN TANDA KLINIS Ada 2 bentuk tiroiditis Hashimoto, yaitu bentuk goitrous (90%) dimana terjadi pembesaran kelenjar tiroid dan bentuk atrofi (10%) dimana kelenjar tiroidnya mengecil. Tiroiditis Hashimoto ummnya terdapat pada wanita dengan rasio wanita : laki-laki adalah 7:1. Bentuk varian tiroiditis Hashimoto termasuk subacute lympocyticpainless dan post partum thyroiditis.1 Perjalanan penyakit tiroiditis Hashimoto ini pada awalnya mungkin dapat terjadi hipertiroid oleh karena adanya proses inflamasi, tetapi kemudian akan diikuti terjadinya penurunan fungsi tiroid yang terjadi pelan-pelan. Sekali mulai timbul hipotiroid maka gejala ini akan menetap. Berikut adalah gejala-gejala dari hipotiroidisme: 1.



Kelambanan, perlambatan daya pikir, dan gerakan yang canggung lambat.



2.



Penurunan frekuensi denyut jantung, pembesaran jantung (jantung miksedema), dan penurunan curah jantung.



3.



Pembengkakkan dan edema kulit, terutama di bawah mata dan di pergelangan kaki.



4.



Penurunan kecepatan metabolisme, penurunan kebutuhan kalori, penurunan nafsu makan dan penyerapan zat gizi dari saluran cerna.



5.



Konstipasi.



6.



Perubahan-perubahan dalam fungsi reproduksi.



7.



Kulit kering dan bersisik serta rambut kepala dan tubuh yang tipis dan rapuh. 10 Pemeriksaan fisik menunjukkan tertundanya pengenduran otot selama pemeriksaan refleks. Penderita tampak pucat, kulitnya kuning, pinggiran alis matanya rontok, rambut tipis dan rapuh, ekspresi wajahnya kasar, kuku rapuh, lengan dan tungkainya membengkak serta fungsi mentalnya berkurang. Tanda-tanda vital menunjukkan perlambatan denyut jantung, tekanan darah rendah dan suhu tubuh rendah. Pemeriksaan rontgen dada bisa menunjukkan adanya pembesaran jantung. Berikut adalah Sistem scoring dari Billewicz W.Z untuk membantu menentukan adanya hipotiroid.11



IV.



DIAGNOSIS LABORATORIUM Untuk menilai fungsi tiroid dewasa ini tersedia berbagai metode pemeriksaan in vitro yang dapat menentukan kadar hormon tiroid T4 (tiroksin) dan T3 (triiodotironin) toal atau bebas, serta kadar TSH (Thyroid Stimulating Hormon) konvensional atau sensitif. Metode penentuannya dapat berupa metode isotopik seperti RIA (radioimmunoassay) dan IRMA (immunoradiometric assay) atau metode non-isotropik seperti ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay), ICMA (immunochemiluminescent assay), FPIA (fluorescence polarization immunoassay) dan lain-lain. Secara tidak langsung fungsi tiroid dapat ditentukan pula melalui pemeriksaan isotopik yaitu uji tangkap iodium (iodine uptake test) yang menggambarkan kinetik iodium intratiroid. Morfologi kelenjar tiroid dapat dilihat melalui pencitraan isotopik (sidik tiroid, thyroid scan) menggunakan perunut NaI123, NaI131, atau Tc99m pertechnetate, atau melalui pencitraan non-isotropik seperti ultrasonografi, CT Scan dan MRI. Pemeriksaan yang banyak dilakukan untuk mengetahui etiologi kelainan tiroid adalah penentuan antibodi antitiroid, yaitu untuk menegakkan diagnosis penyakit tiroid autoimun.3



Diagnosis tiroiditis hanya dapat ditegakkan dengan dengan pasti secara histologis melalui biopsi. Sayangnya hasil biopsi sering tidak dapat dipercaya. Diagnosis presumptif dapat dibuat atas dasar gambaran klinis dan tingginya titer antibodi yaitu lebih dari 1/32 untuk antibodi mikrosomal atau 1/100 untuk antiodi tiroglobulin.3 Dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid pada contoh darah untuk menentukan apakah fungsi kelenjar masih normal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala, hasil pemeriksaan fisik dan adanya antibodi yang menyerang kelenjar (antibodi antitiroid) di dalam darah. Berikut adalah algoritma dalam diagnosis hipotiroidisme dalam menentukan hipotiroidisme primer, sekunder, atau tersier.4



Ada 4 antigen yang berperan pada TH yaitu tiroglobulin, tiroid peroksidase, reseptor TSH dan sodiumiodine symporter. Hampir semua pasien TH mempunyai antibodi terhadap tiroglobulin dan TPO dengan konsentrasi yang tinggi. Pada penyakit tiroid yang lain dan pada orang normal kadang-kadang didapatkan juga antibodi ini tetapi dengan kadar yang lebih rendah. Antibodi terhadap reseptor TSH dapat bersifat stimulasi atau memblok reseptor TSH. Pada penyakit Graves antibodi yang bersifat memacu lebih kuat dan karenanya menimbulkan hipertiroid, sedangkan pada TH antibodi yang besifat memblok lebih kuat dan karenanya menimbulkan hipotiroid. Antibodi terhadap reseptor TSH ini bersifat spesifik pada penyakit Graves dan TH. Antibodi terhadap sodium iodide symporter terdapat pada 0-20% pasien TH. Antibodi ini dapat menghambat RAIU yang dipacu TSH. Berikut adalah interpretasi hasil untuk pemeriksaan penyakit tiroid autoimun.14



Pasien TH yang disertai adanya nodul perlu dilakukan aspirasi jarum halus (AJH) untuk memastikan ada tidaknya limfoma atau karsinoma. Walaupun jarang resiko limfoma tiroid ini meningkat pada TH.4 V.



GAMBARAN PATOLOGI ANATOMI Gambaran PA-nya berupa infiltrasi limfosit yang profus, lympoid germinal centers dan destruksi sel-sel folikel tiroid. Fibrosis dan area hiperplasi sel folikuler (oleh karena TSH yang meningkat) terlihat pada TH yang berat. Berikut adalah gambaran PA dari tiroiditis hashimoto. 15



Gambar 8. Struma Limfomatosa (Hashimoto) Tiroiditis Hashimoto merupakan bentuk kronik tiroiditis, yang ditandai oleh banyak sebukan sel limfosit dan sel plasma, disertai imunoblas, makrofag. Kadang-kadang terdapat folikel limfoid. Kelenjar tiroid membesar moderat, difus, asimetri, tidak nyeri, konsistensi kenyal sampai keras. Walaupun pembesarannya difus kadang-kadang membentuk lobulasi. 3



Gambar 9. Makroskopis Tiroiditis Hashimoto VI. PENATALAKSANAAN TIROIDITIS HASHIMOTO Penatalaksanaan untuk penyakit Hashimoto meliputi observasi dan medikasi. Jika tidak ada defisiensi hormon tiroid dan fungsi tiroid normal tidak diperlukan pengobatan karena strumanya kecil dan asimtomatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk tiroiditis Hashimoto. Sebagian besar penderita pada akhirnya akan mengalami hipotiroidisme dan harus menjalani terapi sulih hormon sepanjang hidupnya. Hormon tiroid juga bisa digunakan untuk mengurangi pembesaran kelenjar tiroid.3 Pengobatan TH ditujukan terhadap hipotiroid dan pembesaran tiroid. Levotiroksin diberikan sampai kadar TSH normal dan sebaiknya tetap dilakukan pengecekan kadar TSH tiap 12 bulan sekali. Pada pasien dengan struma baik hipotiroid maupun eutiroid pemberian levotiroksin selama 6 bulan dapat mengecilkan struma 30%. Berikut adalah dosis beberapa replacement terapi pengganti hormone tiroid.3 Levothyroxine Na (Euthyrox*) Tab. 50 ug, 100 ug, 150 ug D = Dws : 1 x 75 – 200 ug/ hari



Remaja : 1 x 50 – 150 ug/hari Anak, awal : 1 x 12,5 – 50 ug/hari L : 1 x 100 – 150 umg/ m2 luas permukaan tubuh L-thyroxine Na (Thyrax*) Tab 100 ug D : 50 – 100 ug/hari L-Thyroxine Na D= Dws, awal : 50 – 100 ug/hari L : Tiap 2 mgg dinaikan 25-50 sampai dosis optimal Maintenance : 100-200 ug/hari Anak >12 th



: 150 –200 ug/hari



6-12 th



: 100 –150 ug/hari



1-5 th



: 75 –100 ug/hari



6-12 bln : 50 –75 ug/hari 60 tahun sebesar 150 g (Pria) ; 3) umur 10 – 59 dan > 60 tahun sebesar 150 g ; 4) Wanita Hamil mendapat tambahan + 25 g ; wanita laktasi 0 – 12 bulan sebesar + 50 g (Muhilal, dkk. 1998). Khusus bagi kelompok ibu hamil tambahan tersebut sebagian dapat dipergunakan untuk keperluan aktivitas kelenjar tiroid dan sebagiannya lagi untuk pertumbuhan dan perkembangan janin khususnya perkembangan otak. Bagi ibu hamil yang mengkonsumsi iodium tidak mencukupi kebutuhan maka bayi atau janin yang dikandung akan mengalami gangguan perkembangan otak (berat otak berkurang), gangguan perkembangan fetus dan pasca lahir, kematian perinatal (abortus) meningkat, kemudian setelah bayi dilahirkan mempunyai berat lahir rendah (BBLR) dan terdapat gangguan pertumbuhan tengkorak serta perkembangan skelet, sedangkan bagi tubuh ibu hamil akan mengalami gangguan aktivitas kelenjar tiroid. Pada kondisi ini tubuh akan mengalami penyesuaian yang pada akhirnya akan mengalami pembesaran kelenjar tiroid yang dikenal dengan sebutan gondok (Djokomoeldjanto, 1993 dan WHO, 1994). Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) adalah sekumpulan gejala atau kelainan yang ditimbulkan karena tubuh menderita kekurangan iodium secara terus – menerus dalam waktu yang lama yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup (manusia dan hewan) (DepKes RI, 1996). Makin banyak tingkat kekurangan iodium yang dialami makin banyak komplikasi atau kelainan yang ditimbilkannya, meliputi pembesaran kelenjar tiroid dan berbagai stadium sampai timbul bisu-tuli dan gangguan mental akibat kretinisme (Chan et al, 1988). Kodyat (1996) mengatakan bahwa pada umumnya masalah ini lebih banyak terjadi di daerah pegunungan dimana makanan yang dikonsumsinya sangat tergantung dari produksi makanan yang berasal dari tanaman setempat yang tumbuh pada kondisi tanah dengan kadar iodium rendah. Masalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) merupakan masalah yang serius mengingat dampaknya secara langsung mempengaruhi kelangsungan hidup dan kulitas manusia. Kelompok masyarakat yang sangat rawan terhadap masalah dampak defisiensi iodium adalah wanita usia subur (WUS) ; ibu hamil ; anak balita dan anak usia sekolah (Jalal, 1998). Faktor – Faktor yang berhubungan dengan masalah GAKI antara lain : 1.



Faktor Defisiensi Iodium dan Iodium Excess Defisiensi iodium merupakan sebab pokok terjadinya masalah GAKI. Hal ini disebabkan karena kelenjar tiroid melakukan proses adaptasi fisiologis terhadap kekurangan unsur iodium dalam makanan dan minuman yang dikonsumsinya (Djokomoeldjanto, 1994). Hal ini dibuktikan oleh Marine dan Kimbell (1921) dengan pemberian iodium pada anak usia sekolah di Akron (Ohio) dapat menurunkan gradasi pembesaran kelenjar tiroid. Temuan lain oleh Dunn dan Van der Haal (1990) di Desa Jixian, Propinsi Heilongjian (Cina) dimana pemberian iodium antara tahun 1978 dan 1986 dapat menurunkan prevalensi gondok secara drastic dari 80 % (1978) menjadi 4,5 % (1986). Iodium Excess terjadi apabila iodium yang dikonsumsi cukup besar secara terus menerus, seperti yang dialami oleh masyarakat di Hokaido (Jepang) yang mengkonsumsi ganggang laut



dalam jumlah yang besar. Bila iodium dikonsumsi dalam dosis tinggi akan terjadi hambatan hormogenesis, khususnya iodinisasi tirosin dan proses coupling (Djokomoeldjanto, 1994). 2. Faktor Geografis dan Non Geografis Menurut Djokomoeldjanto (1994) bahwa GAKI sangat erat hubungannya dengan letak geografis suatu daerah, karena pada umumnya masalah ini sering dijumpai di daerah pegunungan seperti pegunungan Himalaya, Alpen, Andres dan di Indonesia gondok sering dijumpai di pegunungan seperti Bukit Barisan Di Sumatera dan pegunungan Kapur Selatan. Daerah yang biasanya mendapat suplai makanannya dari daerah lain sebagai penghasil pangan, seperti daerah pegunungan yang notabenenya merupakan daerah yang miskin kadar iodium dalam air dan tanahnya. Dalam jangka waktu yang lama namun pasti daerah tersebut akan mengalami defisiensi iodium atau daerah endemik iodium (Soegianto, 1996 dalam Koeswo, 1997). 3. Faktor Bahan Pangan Goiterogenik Kekurangan iodium merupakan penyebab utama terjadinya gondok, namun tidak dapat dipungkiri bahwa faktor lain juga ikut berperan. Salah satunya adalah bahan pangan yang bersifat goiterogenik (Djokomoeldjanto, 1974). Williams (1974) dari hasil risetnya mengatakan bahwa zat goiterogenik dalam bahan makanan yang dimakan setiap hari akan menyebabkan zat iodium dalam tubuh tidak berguna, karena zat goiterogenik tersebut merintangi absorbsi dan metabolisme mineral iodium yang telah masuk ke dalam tubuh. Giterogenik adalah zat yang dapat menghambat pengambilan zat iodium oleh kelenjar gondok, sehingga konsentrasi iodium dalam kelenjar menjadi rendah. Selain itu, zat goiterogenik dapat menghambat perubahan iodium dari bentuk anorganik ke bentuk organik sehingga pembentukan hormon tiroksin terhambat (Linder, 1992). Menurut Chapman (1982) goitrogen alami ada dalam jenis pangan seperti kelompok Sianida (daun + umbi singkong , gaplek, gadung, rebung, daun ketela, kecipir, dan terung) ; kelompok Mimosin (pete cina dan lamtoro) ;kelompok Isothiosianat (daun pepaya) dan kelompok Asam (jeruk nipis, belimbing wuluh dan cuka). 4. Faktor Zat Gizi Lain Defisiensi protein dapat berpengaruh terhadap berbagai tahap pembentukan hormon dari kelenjar thyroid terutama tahap transportasi hormon. Baik T3 maupun T4 terikat oleh protein dalam serum, hanya 0,3 % T 4 dan 0,25 % T3 dalam keadaan bebas. Sehingga defisiensi protein akan menyebabkan tingginya T3 dan T4 bebas, dengan adanya mekanisme umpan balik pada TSH maka hormon dari kelenjar thyroid akhirnya menurun. Meskipun hanya sedikit dibutuhkan, iodium berpengaruh besar pada kualitas kesehatan seseorang. Bukan cuma menyebabkan gondok, tetapi juga membuat cebol dan bodoh. Selain garam beriodium, makanlah rumput laut dan aneka ikan. Salah satu masalah gizi yang sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia dewasa ini adalah gangguan akibat kekurangan iodium, biasa disingkat GAKI. Tiga macam strategi yang telah dilakukan pemerintah untuk menurunkan jumlah penderita GAKI adalah: (1) memberikan suplemen kapsul minyak beriodium di daerah endemik, (2) program iodisasi garam, serta (3) diversifikasi konsumsi pangan sumber iodium. Program pemberian suplemen kapsul beriodium merupakan program jangka pendek yang sangat mahal biayanya, sehingga tidak mungkin diterapkan secara nasional dan berkesinambungan. Program iodisasi garam yang telah dilakukan pemerintah sejak tahun 1990,



hingga saat ini memang belum berjalan dengan baik. Sekitar 20% penduduk (lebih kurang 40 juta jiwa) tidak memiliki akses terhadap garam beriodium. Bertitik tolak dari belum berhasilnya penanggulangan masalah GAKI dengan program suplementasi kapsul beriodium dan iodisasi garam, dirasakan perlunya kehadiran program lain yang lebih membumi. Program itu melalui pendekatan food based, yaitu pengembangan diversifikasi konsumsi pangan yang secara alami memiliki kandungan iodium tinggi. Iodium merupakan mineral yang termasuk unsur gizi esensial walaupun jumlahnya sangat sedikit di dalam tubuh, yaitu hanya 0,00004% dari berat tubuh atau sekitar 15-23 mg. Itulah sebabnya iodium sering disebut sebagai mineral mikro atau trace element. Manusia tidak dapat membuat unsur iodium dalam tubuhnya seperti ia membuat protein atau gula. Manusia harus mendapatkan iodium dari luar tubuhnya (secara alamiah), yakni melalui serapan dari iodium yang terkandung dalam makanan dan minuman. Kebutuhan tubuh akan iodium rata-rata mencapai 1-2 mikrogram per kilogram berat badan per hari. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi menganjurkan konsumsi iodium per hari berdasarkan kelompok umur seperti tercantum pada Tabel 1. Sesungguhnya kebutuhan terhadap iodium sangat kecil, pada orang dewasa hanya 150 mikrogram (1 mikrogram = seperseribu miligram). Iodium diperlukan tubuh terutama untuk sintesis hormon tiroksin, yaitu suatu hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang sangat dibutuhkan untuk proses pertumbuhan, perkembangan, dan kecerdasan. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi dalam waktu lama, kelenjar tiroid akan membesar untuk menangkap iodium, yang lebih banyak dari darah. Pembesaran kelenjar tiroid tersebutlah yang sehari-hari kita kenal sebagai penyakit gondok. GAKI merupakan masalah yang sangat serius karena akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dan kualitas sumber daya manusia. Survei pemetaan GAKI tahun 1998 menunjukkan 87 juta penduduk Indonesia tinggal di daerah risiko kekurangan iodium. Diperkirakan 20 juta penduduk menderita penyakit gondok dan 290.000 kretin (cebol dan keterbelakangan mental), akibat kekurangan iodium. Akibat negatif dari GAKI ternyata jauh lebih luas dari sekadar terjadinya pembesaran kelenjar gondok. Yang sangat mengkhawatirkan adalah akibat negatif pada susunan saraf pusat yang akan berpengaruh pada perkembangan otak, kecerdasan, dan dampak sosial/ekonomi masyarakat pada umumnya. Dewasa ini Indonesia diperkirakan kehilangan 140 juta poin kecerdasan inteligensi (intelligence quotient/IQ) akibat GAKI. Perhitungan ini didasarkan pada hasil perkalian jumlah penderita dengan klasifikasi pengurangan IQ point, yaitu sebagai berikut: 50 poin akibat kretin (GAKI berat), 5 poin gondok, 10 poin GAKI pada bayi, dan 10 poin akibat GAKI bentuk lain. IQ point merupakan ukuran kemampuan seseorang dalam hal berpikir, memecahkan masalah, dan menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru. Rata-rata IQ point manusia normal adalah 110 poin, dan IQ di bawah 80 poin tergolong bodoh (Bina Gizi Masyarakat DepKes RI, 1995). Selain mengakibatkan penurunan IQ, kekurangan iodium juga menyebabkan keguguran kandungan, gangguan perkembangan saraf, serta penyakit kretinisme yang menyebabkan orang menjadi cebol dan bodoh. Namun, penyakit gondok masih dianggap sebagai akibat GAKI yang utama. Hingga saat ini angka gondok nasional masih mencapai 9,8%, jauh di atas standar WHO



yang mensyaratkan angka gondok di bawah lima persen. Di beberapa provinsi seperti Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera Barat, angka gondok bahkan mencapai 30%. Saat ini terdapat 1.779 kecamatan di Indonesia yang menderita epidemik gondok dengan derajat yang bervariasi. Karena itu, konsumsi iodium perlu ditingkatkan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusiaIndonesia dan mencegah terjadinya generasi yang hilang (lost generation). Hal ini sangat penting dilakukan karena berdasarkan data indeks pengembangan sumber daya manusia (Human Development Index = HDI) dari UNDP (tahun 2000) Indonesia berada pada urutan 109 dari 174 negara, yaitu terendah di Asia. HDI untuk Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei, dan Singapura, masing-masing berada pada peringkat 77, 67, 56, 25, dan 22. Dari penelitian di Universitas Diponegoro Semarang terungkap bahwa pemberian iodium pada siswa sekolah dapat mengurangi angka drop out. Selain mempengaruhi tingkat kecerdasan, iodium ternyata dapat menaikkan semangat hidup dan kesehatan seseorang, sehingga memperbesar daya juang. Susunan saraf terdiri dari sel-sel neuron dan sel-sel glia yang mulai dibentuk pada stadium embriologis yang terus berlangsung dalam waktu singkat sesudah bayi dilahirkan. Sel-sel neuron tersebutlah yang sangat terkait dengan proses kecerdasan. Fungsi iodium dalam meningkatkan kecerdasan adalah dalam kaitannya dengan pertumbuhan sel-sel otak, yaitu sel neuron. Jumlah sel neuron di dalam otak umumnya mencapai sekitar 10 miliar. Kekurangan iodium pada masa kehamilan dan awal masa kehidupan anak dapat menurunkan jumlah sel neuron yang ada di otak. Karena itu, masa-masa tersebut merupakan masa yang sangat kritis dan perlu mendapatkan zat-zat gizi dalam jumlah cukup, seperti asam amino, asam lemak, vitamin, dan mineral (terutama iodium). Neuron mempunyai empat bagian penting, yaitu badan sel, dendrit, akson, dan terminal akson. Akson merupakan bagian sel saraf yang berfungsi membawa pesan dengan perantara benang saraf. Neuron mempunyai kemampuan konduktivitas (penghantar) dan eksitabilitas (dapat dirangsang). Sel ini berkemampuan memberikan reaksi atas rangsangan dari sumber luar, seperti rangsangan mekanik, elektrik, kimiawi atau fisik, yang menimbulkan impuls dan dihantar melalui saraf. Sebuah impuls saraf selalu dihantar melalui dendrit ke sel, kemudian dari sel ke akson. Hubungan satu neuron dengan neuron yang lain tidak membentuk jalinan yang sambung-menyambung melainkan terpisah oleh celah yang sangat sempit (1/5.000 mm) yang disebut synapsis. Untuk melalui synapsis, impuls saraf memerlukan suatu zat pembawa yang disebut neurotransmitter. Terdapat sekitar 30 neurotransmitter yang telah diketahui, di antaranya adalah serotonin, norepineprin, epineprin, dopamin, dan asetilkolin.Neurotransmitter tersebut dibentuk dari bahan baku yang berupa asam amino (protein). Kekurangan protein akan berdampak pada berkurangnya jumlah neurotransmitter, sehingga penyampaian pesan menjadi lambat. Dengan kata lain, orang akan menjadi bodoh. Itulah sebabnya mengapa protein sangat dibutuhkan selama janin ada di dalam kandungan dan pada awal-awal masa kehidupan. Pencegahan dan Penanggulangan Kegiatan pencegahandan penaggulangan GAKI yang telah dilakukan oleh pemerintah meliputi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) terhadap penaggulangan GAKI yang tertuju pada 3 ( tiga ) kelompok sasaran yaitu : a. Para perencana, pengelola dan pelaksana program.



b. Masyasarakat didaerah gondok endemik. c. Masyarakat di luar daerah gondok endemik. Intervensi GAKI terus dilakukan dengan bantuan sejumlah badan dunia. Program intensifikasi penanggulangan GAKI yang berlangsung tahun 1997 – 2003 bertujuan menurunkan prevalensi GAKI lewat pemantauan status GAKI pada penduduk, meningkatkan persediaan garam beriodium serta meningkatkan kerja sama lintas sektoral. Upaya penanggulangan GAKI







sudah dimulai sejak pemerintahan Belanda melalui distribusi garam beryodim ke daerah endemik berat. Penanggulangan GAKI dilakukan dalam dua jangka waktu, yaitu : Jangka Panjang: suplementasi tidak langsung melalui fortifikasi garam konsumsi







dengan iodium dimana program ini disebut garam iodium. Jangka pendek: suplementasi langsung dengan ,minyak iodium baik secara oral maupun suntikan lipiodol. Upaya ini hanya ditunjukkan pada daerah endemik berat dan telah dilaksanakan sejak tahun 1974 Menurut ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan RI 1986, kandungan KIO3 yang dianjurkan adalah 40 ppm. Iodium diperlukan semata – mata untuk biosintesis hormon thyuroid yang mengandung iodium. Kebutuhan iodium meningkat pada kaum remaja dan kehamilan.







Banyaknya metoda suplementasi Iodium tergantung pada beratnya GAKI pada populasi, grade iodium urine dan prevalensi goiter dan kretinism. GAKI ringan: Prevalensi goiter : 5 – 19,9% (anak sekolah)







Iodium urine : 50 - 99mg/l Dieliminasi dengan garam berjodium. GAKI sedang : Prevalensi goiter : 20 – 29,9% dan beberapa hypothyroidism. Iodium urine : 20 – 49 mg/hr Dapat dikontrol dengan garam berjodium (biasanya 20 – 40 mg/kg pada tingkat rumahtangga)







Disamping itu minyak beriodium diberi secara oral atau suntik yang dikoordinasi melalui puskesmas. GAKI berat : Prevalensi goiter : ³ 30%, endemic cretinism Iodium urine : < 20 mg/l Penanganannya : minyak beriodium diberikan sampai sistim garam berjodium efektif, jika sistim saraf pusat dicegah dengan sempurna. Diet Adanya iodium dalam diet akan meningkatkan fungsi hormon thyroid. Iodium sebaiknya tercukupi dari pangan yang dikonsumsi sehari-hari. Berikut adalah tabel kebutuhan iodium menurut kelompok umur. Tabel 1. Kebutuhan Iodium dan Besi pada bayi hingga orang dewasa.



Bayi Anak – anak Pria Wanita



Iodium , mg 35 – 45 60 – 110 130 – 150 100 – 115



Besi , mg 10 – 15 10 – 15 10 – 18 18



Wanita hamil Masa laktasi



125 150



18 18



Sumber : Depkes 1996 Anjuran konsumsi Wanita dewasa  19 th: 150 µ g Pria dewasa  19 th : 150 µ g Dosis toksik > 2000  g/hr pada orang dewasa Pangan sumber Yodium Garam beryodium (2 gr garam beriodium ~< ½ sdt dpt memenuhi anjuran konsumsi Iodium org dewasa) Pangan laut (ikan laut: 300-3000 µg I/kg, ikan darat: 20-40 g µI/kg) Adonan roti Produk unggas Tanaman yang ditanam di tanah kaya yodium III.



KESIMPULAN



Iodium merupakan salah satu unsur mineral mikro yang sangat dibutuhkan oleh tubuh walaupun dalam jumlah yang relative kecil. Namun apabila diabaikan dapat menimbulkan efek atau dampak yang cukup berpengaruh dalam kehidupan semua orang. Dan korban penderita GAKI akan menjadi beban semua orang yang ada disekitar kehidupannya.



DAFTAR PUSTAKA Astawan, Made. 2003 Guru Besar Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi IPB Sumber: Tabloid Senior, 16 Januari 2003 Anonim. 2006. Penaggulangan GAKI. http:// www.google.com. [14 September 2008]. Anonim. 2006. Penaggulangan GAKI. http:// www.litbang.depkes.co.id. [14 September i 2008]. DepKes RI. 1996. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium dan Garam Beriodium . Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat. Jakarta. DitJen Pembinaan Kesehatan Masyarakat. 1995. Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Kapsul Minyak Beriodium. DirJen Pembinaan Gizi Masyarakat. DepKes Jakarta. Djokomoeldjanto, R. 1993. Hipotiroidi di Daerah Defisiensi Iodium. Kumpulan Naskah Simposium GAKI. Hal. 35-46. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Ganong, W.F. 1989. Review of medical Physiology, 14th Ed. A Lange Medical Book. Prentice Hall International Inc. Gibson, R.S. 1990. Principles of Nutritional Assessment. Oxford University Press. Oxford. Harper, L.J., Deaton and J.A. Driskel. 1985. Pangan, Gizi dan Pertanian (Penerjemah : Soehardjo). UI Press,Jakarta. Hetzel, B.S. 1989. An Overview of the Prevention and Control of Iodine Deficiency Disorder ; in Hetzel, J.T. Dunn and J.B. Stanbury (ed) Hal. 7-29. Elvsevier Science Plubbisher. New York. Jalal, F. 1998. Agenda Perumusan Program Gizi Repelita VII untuk Mendukung Manusia yang Pengembangan Sumberdaya Berkualitas. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. Jakarta.



Kodyat, B. 1996. Nutritional in Indonesia : Problems, Trends, Strategy and Program Directorate of community Nutrition, Departemen Health, Jakarta. Muchtadi. dkk.1992. IPB. Bogor.



Masalah-Masalah Fortifikasi Iodium dalam Penanggulangan GAKI. PAU.



Muhilal, Jalal dan Hardinsyah. 1998. Angka Kecukupan Gizi Rata – Rata yang Dianjurkan. Widyakarya Pangan dan Gizi Nasional VI. LIPI. Jakarta. Nurlaila,A., R. Syukur, J. Genisa dan L. Mathius. 1997. Studi Pengembangan Menu Makanan Rakyat Kaya Iodium dengan Subtitusi Rumput Laut dan Analisa Daya Terima. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Rusmiati, Y. 2006. Penaggulangan GAKI. http://:www.kompas.co.id. [September 2008 Sauberlich, H.E. 1999. Assessment of Nutritional Status. Raton London New YorkWashington, DC.



Second Edition.



CRC Press. Boca



Soehardjo. 1990. Petunjuk Laboratorium Penilaian Keadaan Gizi Masyarakat. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Thaha, A.R. 1996. Pemetaan GAKI di Propinsi Maluku. Kerjasama FKM Unhas dengan Kanwil DepKes Propinsi Maluku WHO. 1994. Indicator for Assesing Iodine Deficiency Disorder and Their Control Through Salt Iodization. Geneva. Williams, S.R. 1974. Nutrition and Diet Therapy. The CV Mosby Company. Sant Louis.



Diposkan 10th August 2013 oleh gara brajadenta 0



Tambahkan komentar



Memuat Template Dynamic Views. Diberdayakan oleh Blogger.