TKSDL Tgas 2 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

STUDI KASUS PENANGANAN EROSI TANAH PADA PERKEBUNAN KOPI DI SUMBERJAYA LAMPUNG LATAR BELAKANG Manusia hidup dan berkembang dari generasi ke generasi selanjutnya, makin berkembangnya kehidupan manusia maka makin banyak kebutuhan bahan pangan yang harus dicukupi oleh manusia itu sendiri. Perkembangan manusia dan keadaan tanah untuk memproduksi bahan pangan tersebut berada dalam keadaan yang tidak seimbang, yang artinya faktor tanah keadaannya tetap sedang faktor manusia akan selalu bertambah. Keadaan yang tidak seimbang itu, lebih tidak seimbang lagi oleh karena perbuatanperbuatan dan perlakuan- perlakuan manusia itu sendiri. Saat ini sudah banyak tanah yang produktif terancam punah, karena kelalaian dari manusia, bahaya erosi yang akhir- akhir ini banyak terjadi di negeri kita ini telah menurunkan produktivitas tanah. Bahaya erosi yang menimpa lahan- lahan pertanian serta penduduk sering terjadi pada lahan-lahan yang memiliki kemiringan lereng lebih dari 15%. Bahaya ini ditimbulkan selain karena perbuatan- perbuatan manusia yang terlalu mementingkan pemuasan kebutuhan diri sendiri, juga dikarenakan pengelolaan tanah dan pengairan yang keliru. Proses perubahan penggunaan lahan, selain menghasilkan manfaat yang dapat dinikmati oleh masyarakat juga tidak lepas dari resiko terjadinya kerusakan lahan akibat erosi, pencemaran lingkungan, banjir dan lainnya. Erosi akan menyebabkan terjadinya pendangkalan waduk, penurunan kapasitas saluran irigasi, dan dapat mengganggu sistem pembangkit tenaga listrik. Erosi yang tinggi, banjir pada musim penghujan tidak hanya menimbulkan dampak negatif pada aspek bio-fisik sumberdaya alam dan lingkungan tetapi juga berdampak pada aspek sosial ekonomi masyarakat. Erosi dan banjir dapat menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam. Produksi pertanian, perikanan dan penggunaan sumberdaya alam yang berkaitan dengan air akan menurun. Wilayah DAS merupakan suatu kesatuan ekosistem dengan komponen utama tanah, air, vegetasi dan manusia. Faktor ini berinteraksi dan manusia berperan sebagai pengelola sumberdaya tanah, air dan vegetasi. Di DAS Tulangbawang hulu khususnya di Way Besai, pengelolaan lahan masih berlangsung bebas, hal ini mengakibatkan penggunaan lahan menjadi kurang optimal. KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN KERUSAKAN LAHAN Kecamatan Sumberjaya secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung, dan secara geografis terletak antara 4°45’- 5°15’ LS dan 104°15’-104°45’ BT. Kecamatan yang batas-batasnya hampir berimpitan dengan batas sub DAS Way Besai ini, terletak di bagian hulu DAS Tulang Bawang yang luasnya kurang lebih 478 km2. Kecamatan Sumberjaya memiliki ketinggian antara 700–1.700 m dpl, dan batas wilayahnya berupa pegunungan yang bersambungan. Daerah aliran sungai (DAS) dapat diartikan sebagai kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya ke sungai yang akhirnya bermuara ke danau/laut (Manan, 1979). Upaya pokok yang dilakukan dalam pengelolaan DAS adalah melakukan; (i) pengelolaan lahan melalui usaha konservasi tanah dalam arti luas; (ii) pengelolaan air melalui pengembangan sumberdaya air; (iii) pengelolaan vegetasi khususnya pengelolaan hutan yang memiliki fungsi perlindungan terhadap tanah dan air; dan (iv) pembinaan kesadaran manusia dalam pengelolaan sumberdaya alam secara bijaksana. Stalling (1957) mengatakan tujuan pengelolaan DAS adalah melakukan prinsip konservasi tanah dan air untuk produksi air (kuantitas dan kualitas) serta pemeliharaan tanah (pencegahan erosi dan banjir).



Dalam pengelolaan DAS, upaya pengelolaan tanah harus sesuai dengan tingkat kemampuannya dan terhindari dari kerusakan (erosi) dengan mengatur penggunaan lahan sehingga terwujud penggunaan lahan yang optimal. DAS Besai Hulu terdapat di Kecamatan Sumber Jaya – Kabupaten Lampung Barat, Wilayah keseluruhan seluas 54.967 ha berupa daerah yang berbukit-bukit dengan wilayah datar sampai berombak 15%, berombak sampai berbukit 65% dan wilayah berbukit sampai bergunung 20%. Luas wilayah ini terdiri dari 3.868 ha sawah dan 51.099 ha areal lahan kering. Pada wilayah tangkapan DAS Besai dijumpai adanya kawasan hutan lindung yaitu Register 45 B. Register 45B ini berbatasan dengan kawasan hutan lindung regsiter 34 (Tangkit Tebak), Register 32 (bukit Rindingan) dan Register 39 (Kota Agung Utara). Register 45B ini ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung pada masa penjajahan Belanda melalui Beslut Residen No. 117 tanggal 19 Maret 1935 dengan luas 8295 Ha. Wilayah DAS Besai mempunyai iklim tropis yang dapat dibedakan antara musim hujan dan kemarau. Hal ini menunjukkan bahwa daerah DAS Besai masih mendapat pengaruh dari angin moonson dimana musim hujan terjadi pada bulan November sampai dengan bulan April dan musim kemarau pada bulan Mei sampai bulan Oktober. Keadaan topografi di wilayah DAS Besai bervariasi, mulai dari datar, bergelombang, berbukit dan bergunung dengan kemiringan lahan lebih dari 40%. Lampung dalam perkembangannya menerima sejumlah transmigrasi untuk menambah populasi penduduk. Keberadaan transmigrasi ternyata pada kondisi tertentu mempercepat perubahan penggunaan lahan di Lampung. Dalam pengelolaan kebun, terjadi perubahan pengelolaan dari mono kultur menjadi campuran dan ini mulai terlihat mulai tahun 1984. Pengelolaan lahan di daerah berbukit ini memperlihatkan penurunan luas areal usahatani tanaman pangan yang cukup besar, yaitu dari 21% pada tahun 1970 menjadi 0,1% pada tahun 1990. Perubahan ini terutama diakibatkan berkembangnya kebun rakyat, terutama kebun kopi (Syam et al, 1997). Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi areal pertanian, perumahan dan industri merupakan kenyataan yang terjadi sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Untuk Sumberjaya, misalnya, areal penanaman kopi meluas dan sebaliknya areal hutan menciut secara cepat. Persepsi umum tentang perubahan penggunaan lahan yang berkembang dewasa ini adalah bahwa apabila hutan dialih-fungsikan menjadi perkebunan (termasuk perkebunan kopi) atau lahan pertanian lainnya, fungsi hutan dalam mengatur tata air dan mengontrol erosi akan menurun drastis sehingga beda debit air puncak dan debit dasar akan melebar dan erosi akan berlipat ganda. Dengan demikian kawasan hutan yang sudah beralih menjadi lahan perkebunan atau yang sudah berubah fungsi menjadi kawasan produksi perlu dihutankan kembali. Dalam rangka mengembalikan fungsi hutan, maka pada awal tahun 1980-an pemerintah melancarkan program penghutanan kembali kebun kopi di kawasan hutan lindung yang telah digunakan untuk perkebunan kopi semenjak tahun 1950- an. Penghutanan kembali dilakukan dengan jalan mencabuti kopi dengan bantuan tentara bergajah dan menggantinya dengan Kaliandra (Calliandra calothirsus) serta memindahkan penduduk yang bermukim di dalam kawasan hutan di Sumberjaya, Lampung. Dalam waktu singkat, Kaliandra mampu menutupi lahan dengan rapat, namun petani kopi kehilangan mata pencaharian dari tanaman kopinya. Setelah pergantian pemerintahan dari pemerintahan Orde Baru pada tahun 1997, petani yang dipindahkan menuntut kembali wilayah hutan yang dulu mereka gunakan dengan jalan menebas, mencabut dan membakar Kaliandra. Mereka menanam kembali dan/atau memelihara bekas tunggul kopi yang masih aktif. Dengan perasaan lebih bebas dengan suatu semboyan yang disebut dengan reformasi, perluasan kebun kopi berlanjut ke hutan yang berlereng lebih curam (kadangkadang mencapai kelerengan 100%). Kebanyakan petani, terutama yang berladang pada lahan berstatus hutan lindung membersihkan lantai kebun kopi mereka. Adanya gulma di lantai kebun kopi dianggap sebagai tanda kemalasan. Selain itu berkembang kepercayaan pada sebagian petani bahwa hasil kopi akan meningkat bila penyiangan dilakukan secara intensif.



Berdasarkan hal di atas maka permasalahan yang dijumpai antara lain adalah : 1. Sampai sejauh mana proses perubahan lahan dan sistem agroteknologi yang ada berpengaruh terhadap kualitas bio-fisik di Way Besai 2. Kombinasi penggunaan lahan dan agroteknologi apa yang sebaiknya dikembangkan sehingga dampak erosi, sedimentasi dan debit sungai kecil tetapi memberikan manfaat ekonomi besar. 3. DAS Way Besai khususnya bagian hulu berpotensi menjadi areal kritis akibat kondisi lahan yang berlereng curam dan penduduk yang besar sehingga diperlukan upaya untuk menjaga kondisi wilayah hulu Way Besai yang memberikan manfaat ekonomi cukup besar. 4. Pendangkalan waduk, penurunan kapasitas saluran irigasi, dan dapat mengganggu sistem pembangkit tenaga listrik STRATEGI KONSERVASI TANAH BAIK TINDAKAN VEGETATIF MAUPUN MEKANIS (SIPIL TEKNIS), Tingkat erosi dan kerusakan lahan cukup tinggi (melebihi batas toleransi atau batas aman) pada lahan hutan berlereng curam yang baru dibuka. Erosi dipercayai masih tinggi pada lahan pertanaman kopi monokultur (yang hanya ditanami kopi) yang berlereng curam apalagi bila penyiangannya dilakukan secara intensif. Untuk mengurangi erosi sampai tingkat aman yaitu < 5 ton/ha/tahun diperlukan penerapan teknik agroforestri/ konservasi tanah antara lain: penanaman tanaman naungan dan sistem multistrata, saluran buntu (dead end trench), rorak, guludan, dan pembuatan strip tumbuhan alami (natural vegetative strips, NVS). Teknik-teknik ini pada dasarnya dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi dan menjaga agar tanah tidak hanyut dibawa air aliran permukaan. Perlu atau tidaknya teknik konservasi tanah diterapkan sangat ditentukan oleh panjang dan kemiringan lereng, kepekaan tanah terhadap erosi, curah hujan, tingkat pertumbuhan tanaman kopi, dan keadaan penutupan tanah oleh tajuk dan serasah. Pada sistem multistrata, dengan semakin besarnya tanaman kopi dan tanaman pelindung, tajuk tanaman yang bertingkat dan serasah yang makin tebal mengurangi pukulan air hujan terhadap permukaan dan meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah. Pada umur sekitar 8 tahun, efektivitas sistem multistrata menahan erosi akan mendekati hutan. Selain melindungi tanah, tanaman lain dalam sistem ini seperti kemiri, alpukat, cempedak, merupakan sumber pendapatan tambahan yang penting terutama apabila harga kopi rendah. Perlu tidaknya suatu perlakuan konservasi tanah diterapkan sangat ditentukan oleh panjang dan kemiringan lereng, kepekaan tanah terhadap erosi (struktur tanah), curah hujan, tingkat pertumbuhan tanaman kopi, dan sistem pertanaman (apakah monokultur atau multistrata). Pada tanah yang landai (misalnya dengan lereng