Tugas Kel.5 - BAB 13 Psikoterapi Humanistik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PSIKOLOGI KLINIS “PSIKOTERAPI HUMANISTIK” DOSEN PENGAMPU : St. Syawaliah Gismin, S.Psi., M.Psi., Psikolog



DISUSUN OLEH : KELOMPOK 5 (C)



WA ODE RIFANA ALI (4518091035)



SRI WAHYUNI HASAN (4518091089)



FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS BOSOWA 2020



i



KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, atas rahmat dan karuniaNya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Psikoterapi Humanistik” dengan baik, penulisan laporan ini merupakan salah satu tugas kelompok dari mata kuliah Psikologi Klinis. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang turut membantu dan memberikan masukan dalam penyelesaian makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya. Demikian pula penulisan laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami perlukan demi kesempurnaan penulisan laporan ini.



Makassar, 26 Maret 2020



Kelompok 5



ii



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii DAFTAR ISI ..................................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1 A. LATAR BELAKANG...........................................................................................1 B. RUMUSAN MASALAH......................................................................................1 C. TUJUAN................................................................................................................1 BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... A. KONSEP HUMANISTIK: IMPLIKASI KLINIS.................................................2 B. TUJUAN PSIKOTERAPI HUMANISTIK...........................................................2 C. UNSUR-UNSUR PSIKOTERAPI HUMANISTIK..............................................4 D. REFLEKSI : SALAH SATU RESPONS PENTING TERAPIS...........................8 E. BERBAGAI ALTERNATIF UNTUK HUMANISME.........................................9 BAB III PENUTUP.......................................................................................................15 A. KESIMPULAN...................................................................................................15 B. SARAN................................................................................................................15 DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................16



iii



BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Aliran humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Pada akhir tahun 1950-an, para ahli psikologi, seperti : Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya untuk mengkaji secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang : self (diri), aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya. Konseling dengan pendekatan humanistik berfokus pada kondisi manusia. Humanistik memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki otoritas atas kehidupan dirinya. Manusia bebas untuk menjadi apa dan siapa sesuai keinginannya. B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana Konsep Humanistik dalam Implikasi Klinis? 2. Apa Tujuan Psikoterapi Humanistik? 3. Apa saja unsur-unsur Psikoterapi Humanistik? 4. Bagaimana Refleksi Menjadi salah satu Respons penting Terapis? 5. Apa saja Alternatif yang digunakan untuk Humanisme ? C. TUJUAN 1. Untuk mengetahui Konsep Humanistik dalam Implikasi Klinis 2. Untuk memahami tujuan Psikoterapi Humanistik 3. Untuk mengetahui unsur-unsur Psikoterapi Humanistik 4. Untuk mengetahui bagaimana Refleksi menjadi salah satu Respons penting Terapis 5. Untuk mengetahui berbagai Alternatif yang digunakan untuk Humanisme



1



BAB II PEMBAHASAN A. KONSEP HUMANISTIK : IMPLIKASI KLINIS Menurut pendekatan humanistik, terdapat paralel yang menarik antara tanaman ini dan manusia. Humanis mengasumsikan bahwa manusia, seperti tanaman, hadir dengan kecenderungan bawaan untuk tumbuh. Humanis menyebut kecenderungan ini aktualisasi-diri dan mengasumsikan bahwa jika lingkungan orang itu mendukung pertumbuhannya, aktualisasi-diri berjalan tanpa interferensi (Cain, 2002, 2010). Humanis juga mengakui bahwa manusia membutuhkan hal-hal tertentu untuk hidup, dan persis seperti tanaman membutuhkan sinar matahari, manusia membutuhkan perhatian positif. Perhatian positif, dari sudut pandang humanistik, pada dasarnya adalah kehangatan, cinta dan penerimaan dari orang-orang di sekitar kita. (Rogers sering menggunakan istilah menghargai yang mungkin menangkap dengan baik pengalaman menerima perhatian positif dari orang Iain ini; misalnya, Rogers, 1959). Sebagai anak-anak, kita tersipu-sipu senang menerima perhatian positif dari orangtua kita; seperti tanaman dengan sinar matahari, kita butuhkan hal ini untuk tumbuh. Jika kita menemukan bahwa orangtua kita memberikan perhatian positif hanya jika kita berperilaku dengan cara tertentu, kita akan menekankan aspek-aspek tertentu ("cabang") dari diri kita sendiri dan menekan yang lain untuk mendapatkan perhatian positif tersebut. Hasil akhirnya mungkin adalah sebuah versi diri kita sendiri yang sangat berbeda dengan versi yang mungkin berkembang jika orangtua kita memberikan perhatian positif tanpa syarat apa pun. B. TUJUAN PSIKOTERAPI HUMANISTIK Tujuan utama psikoterapi humanistik adalah untuk mendukung perkembangan aktualisasi-diri. Kaum humanis percaya bahwa masalah psikologis —depresi, kecemasan, gangguan kepribadian, gangguan makan dan kebanyakan bentuk psikopatologi lain— adalah produk sampingan dari proses pertumbuhan yang terhambat. Orang-orang yang mencari bantuan profesional untuk masalah psikologis di dalam dirinya memiliki kapasitas dan kemauan untuk tumbuh ke arah sehat, tetapi, entah bagaimana, pertumbuhan mereka terganggu atau terdistorsi. Tugas terapis humanistik adalah, melalui hubungan terapeutik, menciptakan sebuah iklim sehingga klien dapat mengembalikan pertumbuhan alamiah mereka ke arah kesejahteraan psikologis. 2



Kalau semua orang sejak awal hidupnya dibimbing oleh kecenderungan aktualisasi-diri, bagaimana kita bisa menemukan diri kita merasa depresi, cemas atau bergulat dengan berbagai isu psikologis? Jawabannya terletak di dalam fakta bahwa kebutuhan akan perhatian positif kadang-kadang dapat melampaui kecenderungan alamiah untuk mengaktualisasikan diri. Artinya, ketika kita menghadapi pilihan dan/atau antara menerima perhatian positif dari orang-orang penting di dalam kehidupan kita dan mengikuti kecenderungan alamiah kita sendiri, maka kita, berdasarkan kebutuhan tersebut, memilih perhatian positif Masalah timbul ketika perhatian positif ini bersyarat, bukan tanpa syarat. perhatian positif bersyarat mengomunikasikan bahwa kita diberi hadiah ''hanya jika" Kita memenuhi kondisi/syarat tertentu. Jika Anda mempertimbangkan keluarga Anda sendiri atau keluarga sahabat masa kanak-kanak Anda, Anda barangkali dapat mengidentifikasi beberapa persyaratan yang bernilai yang diterapkan orangtua pada anak-anaknya. Kondisi-kondisi ini tidak ditempelkan di kulkas sebagai sebuah daftar, tetapi bagaimanapun juga, dikomunikasikan dengan jelas: Kami akan menyayangimu hanya jika kamu mendapat nilai bagus, berpakaian seperti yang kami suka, mengadopsi nilai-nilai kami, unggul dalam olahraga, berat badanmu tidak semakin bertambah, menghindari masalah, dan seterusnya. Biasanya, anak-anak dapat merasakan syarat-syarat yang dituntut Oleh orangtuanya untuk penerimaan mereka, dan karena mereka membutuhkan penerimaan orangtuanya, mereka berusaha sebaik-baiknya untuk memenuhi syarat-syarat tersebut. Akan tetapi, di dalam prosesnya, mereka sering kali melenceng dari kecenderungan aktualisasi-dirinya sendiri, yang dapat membawa mereka ke arah Iain. Jadi, ketika mereka membandingkan diri aktualnya —diri sejati mereka— dengan diri yang seharusnya mereka miliki jika mereka memenuhi potensinya sendiri —diri ideal— maka mereka melihat sebuah ketidaksesuaian. Humanis menggunakan istilah inkongruensi untuk mendeskripsikan ketidaksesuaian ini, dan mereka melihatnya sebagai akar psikopatologi. Sebaliknya, kongruensi —kesesuaian antara diri sejati dan diri ideal— dicapai jika aktualisasi-diri dibiarkan membimbing kehidupan seseorang tanpa interferensi oleh persyaratan yang bernilai apa pun, dan, sebagai hasilnya, kesehatan mental teroptimalkan. Artinya, kongruensi terjadi ketika seseorang mengalami perhatian positif tanpa syarat dari orang Iain. Tidak ada syarat "hanya jika" dibebankan pada mereka agar diterima, sehingga mereka bebas untuk berkembang dan tumbuh menurut kecenderungan aktualisasi-dirinya sendiri (Cain, 2010). Penting untuk dicatat bahwa meskipun persyaratan yang bernilai awalnya berasal dari orang lain, mereka pada akhirnya dapat menjadi merasuk ke dalam pandangan kita tentang 3



diri kita sendiri. Artinya, perhatian positif bersyarat dari orang Iain melahirkan perhatian positif bersyarat terhadap diri sendiri, sementara perhatian positif tanpa syarat dari orang Iain melahirkan perhatian positif pada diri sendiri yang tanpa syarat. Orang-orang yang penting di dalam hidup kita mengomunikasikan kepada kita tentang apa yang bisa dicintai, bisa diterima, atau "layak diberi penghargaan" tentang diri kita sendiri —diri secara keseluruhan atau hanya aspek-aspek tertentu dari diri kita— dan, akhirnya, kita mengadopsi pandangan tersebut di dalam evaluasi kita tentang diri kita sendiri. C. UNSUR-UNSUR PSIKOTERAPI HUMANISTIK Karena aktualisasi-diri adalah kecenderung alamiah utama semua orang, terapis hanya perlu menciptakan kondisi yang tepat agar hal itu terjadi. Terapis tidak secara langsung menyembuhkan klien; sebaliknya, terapis mendorong kecenderungan menyembuhkan diri sendiri klien ke arah pertumbuhan. Terapis melakukan ini dengan menciptakan hubungan terapis-klien yang ditandai oleh tiga kondisi terapeutik esensial 1. Empati Seorang terapis mengalami empati terhadap seorang klien ketika terapis mampu merasakan emosi-emosi klien, seperti apa yang akan dipersepsikan dan dipahami klien tentang berbagai peristiwa dalam hidupnya dengan cara yang penuh welas asih. Empati melibatkan pemahaman yang mendalam dan tidak menghakimi pengalaman klien, sementara menahan nilai-nilai dan sudut pandang terapis. Terapis melihat kehidupan klien melalui kacamata klien dan mengadopsi kerangka acuan klien (Rogers, 1980). Bahkan, istilah terapi berpusat-klien, sering digunakan secara sinonim dengan terapi humanistik kanan pada pemahaman empati ini (Bozarth, 1997). Jika seorang terapis menekankan secara akurat dan mengomunikasikan empati tersebut secara efektif, maka ia dapat memiliki dampak positif yang kuat pada klien. Empati dapat memampukan klien untuk mengklarifikasikan perasaannya sendiri untuk dirinya sendiri dan memiliki rasa percaya diri yang lebih besar pada emosi-emosi yang dialaminya. Ini juga dapat membuat klien merasa dihargai dan didukung sebagai individu.



4



2. Perhatian Positif Tanpa Syarat Perhatian positif tanpa syarat (Unconditional Positive Regard) (UPR) esensinya adalah penerimaan penuh atas orang lain secara "apa adanya" Rogers (1959) menyatakan bahwa : terapis yang membuktikan UPR kepada seorang klien menghargai klien secara total, bukan dengan syarat. [Terapis] tidak menerima perasaan-perasaan tertentu yang dialami klien dan tidak menerima perasaan-perasaan lainnya.... Ini berarti tidak menghakimi. Ini melibatkan perasaan penerimaan atas ekspresi perasaaan yang menyakitkan, bermusuhan, defensif, atau abnormal [klien] seperti halnya penerimaan atas ekspresi perasaan-perasaan menyenangkan, positif, matang [klien] (hlm 13-14). Ingat metafora tanaman di atas, Sinar matahari bagi tanaman sama seperti perhatian positif bagi manusia. Jadi, seorang terapis yang memberikan UPR sangat mirip dengan Sinar matahari tanpa penghalang yang datang dari semua arah. UPR memungkinkan klien untuk tumbuh dengan cara yang murni ditu jukan pada dirinya sendiri, tanpa perlu mengkhawatirkan tentang kehilangan hormat atau penerimaan dari orang lain di dalam hubungan. Ini memberikan kontribusi pada sebuah iklim sehingga klien menyadari bahwa mereka bebas untuk sepenuhnya jujur pada dirinya sendiri, tanpa memodifikasi, mengubah, atau merevisi dirinya sendiri agar memenuhi standar orang lain. Jika terapis menghargai klien tanpa syarat, dari waktu ke waktu, klien akan dapat menghargai dirinya sendiri tanpa syarat, yang memfasilitasi tingkat kongruensi dan ak tualisasi-diri yang lebih tinggi. Setiap orang pernah mengalami hubungan ketika kita diapresiasi bukan untuk diri secara keseluruhan, tetapi untuk fitur-fitur tertentu dari diri kita sendiri ciri sifat kepribadian, perilaku dan bahkan hal-hal yang bersifat material. Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, orang-orang lain di dalam hubungan-hubungan ini menunjukkan dengan jelas bahwa mereka akan terus menerima kita selama kita menunjukkan sisi-sisi yang mereka sukai dan menyembunyikan sisi-sisi yang tidak mereka sukai. Menurut kaum humanis, hubungan semacam



itu menghambat pertumbuhan dan pada akhirnya



menyebabkan kita menjauh dari diri sejati kita. Oleh sebab itu, sebagai terapis, terapis humanistik menjadikan prioritas tertinggi untuk menerima klien secara utuh dan tanpa syarat. Ini memberikan kesempatan kepada klien untuk tumbuh secara alamiah menjadi diri potensialnya sendiri dan bukan seperti yang ditekan oleh orang lain untuk tumbuh ke berbagai arah (Cain, 2010; Tudor & Worrall, 2006).



5



3. Ketulusan Empati dan UPR tidak ada artinya jika tidak tulus. Terapis humanistik, oleh sebab itu, harus tulus dalam hubungan mereka dengan klien. Mereka tidak bertindak empati terhadap klien atau bertindak seakan-akan mereka menghargai mereka tanpa syarat. Sebaliknya, mereka benar-benar empati terhadap klien dan benar-benar menghargai mereka tanpa syarat. Ketulusan ini — yang oleh Rogers dan para pengikutnya disebut kongruensi terapis, karena ada kesesuaian antara diri sejati dan diri ideal terapis — yaitu Iawan dari sebuah peran atau berpura-pura. Jika kita merasa bahwa orang lain (teman, keluarga atau terapis) melakukannya, kita cenderung tidak banyak mengungkapkan tentang diri kita sendiri. Di lain pihak, jika kita merasa bahwa orang lain benar-benar tulus peduli dengan kita dan menerima kita, kita cenderung terbuka dan terlibat lebih utuh dalam hubungan tersebut (Gillon, 2007; Rogers, 1959; Tudor & Worrall, 2006). Bersikap tulus dengan klien membantu terapis humanistik untuk membangun hubungan terapeutik yang terasa "nyata”. Hubungan semacam itu sangat berbeda dengan hubungan terapis-klien, yaitu terapis bersembunyi di balik topeng profesionalisme; sebaliknya, kepribadian terapis memainkan peran yang lebih menonjol. Seperti yang diduga, Rogers dan kaum humanis lain mendorong derajat transparansi yang relatif tinggi oleh terapis. Berbeda dengan terapis psikodinamik dengan peran ”layar kosong”, humanis cenderung lebih terusterang dan terbuka tentang pikiran dan perasaannya sendiri selama sesi-sesi. Namun, mereka memahami bahwa sesi-sesi itu adalah demi kebaikan klien, bukan terapis, dan pengungkapan-diri mereka dipedomani oleh tujuan ini (Rogers, 1957). Ketiga kondisi ini —empati, UPR dan ketulusan— adalah unsur-unsur esensial hubungan antara terapis humanistik dan kliennya, Yang, pada gilirannya, merupakan landasan pendekatan psikoterapi humanistik (Cain, 2010). Seperti dijelaskan Oleh Rogers, (1961). Jika saya dapat menciptakan hubungan yang berkarakter di pihak saya: 



ketulusan dan transparansi, saya dengan perasaan sejati saya;







penerimaan yang hangat dan menghargai orang Iain sebagai seorang individu yang terpisah;







kemampuan sensitif untuk melihat dunia dan dirinya seperti yang dilihat olehnya sendiri.



6



Maka orang Iain di dalam hubungan tersebut: 



akan mengalami dan memahami aspek-aspek dirinya yang sebelumnya telah direpresi;







akan menemukan dirinya menjadi lebih utuh, lebih mampu untuk berfungsi secara efektif;







akan menjadi lebih mirip dengan orang yang diinginkannya;







akan lebih mengarahkan diri dan percaya diri;







akan lebih menjadi seorang pribadi, lebih unik, dan lebih mengekspresikan diri;







akan lebih memahami orang Iain, lebih menerima orang Iain;







lebih mampu mengatasi masalah hidup secara memadai dan dengan lebih nyaman. (hlm. 37-38)



Ketika Rogers mendeskripsikan empati, UPR dan ketulusan sebagai tiga kondisi inti untuk psikoterapi yang sukses, ia tidak hanya mengatakan bahwa ketiganya mungkin efektif bagi sebagian klien. Klaimnya lebih tegas: Ketiga kondisi tersebut perlu dan mencukupi untuk psikoterapi agar sukses dengan semua klien (Rogers, 1957). Dengan kata Iain, Rogers mengatakan bahwa untuk memfasilitasi pertumbuhan dan aktualisasi-diri pada klien dengan segala jenis masalah, terapis hanya harus memberikan empati, UPR dan ketulusan. Tidak ada teknik atau prosedur tambahan yang dibutuhkan. Pendapat Rogers bahwa ketiga unsur ini perlu dan sekaligus mencukup untuk psikoterapi yang sukses telah melahirkan cukup banyak kontroversi penelitian. Selama pertengahan 1970-an, penelitian pada umumnya mendukung klaim Rogers ini, tetapi sejak itu hasilhasilnya lebih tidak pasti dan tidak konsisten. Penelitian yang lebih mutakhir menunjukkan bahwa kandungan inti terapi Rogers mungkin memang perlu tetapi tidak selalu mencukupi untuk membuat psikoterapi sukses. Barangkali mereka sebaiknya dipahami sebagai prasyarat untuk terapi yang baik, seperangkat kondisi yang mungkin cukup untuk memfasilitasi kemajuan signifikan pada sebagian klien atau menjadi dasar bagi metode-metode terapeutik tambahan yang akan menyebabkan perbaikan signifikan pada orang lain. Cara lain yang menarik untuk memahami ketiga kondisi inti Rogers —sebuah cara yang didukung oleh penelitian empiris— adalah mengapresiasi mereka sebagai bagian-bagian esensial dari hubungan terapeutik, terle pas dari apakah terapisnya secara eksplisit humanistik atau bukan. Dinyatakan dengan cara yang berbeda, empati, UPR dan ketulusan tampaknya merupakan faktor-faktor umum, yang memberikan kontribusi besar pada kesuksesan semua jenis 7



psikoterapi (Bozarth, Zimring & Tausch, 2003; Zuroff, Kelly, Leybman, Blatt & Wampold, 2010). Sikap Terapis, Bukan Perilaku Terlepas apakah empati, UPR dan ketulusan perlu, mencukupi, atau kedua-duanya, penting untuk diingat bahwa kaum humanis melihat mereka sebagai sikap, bukan perilaku (Bozarth, 1997; Tudor & Worrall, 2006). Kaum humanis menolak keras pendekatan formulamekanis, dan oleh sebab itu, mereka cenderung tidak menawarkan banyak usulan spesifik tentang apa yang seharusnya dilakukan terapis dengan kliennya. Sebaliknya, mereka menekankan bagaimana terapis seharusnya bersikap dengan klien: Berlawanan dengan pendapat banyak psikoterapis, saya sejak lama berpen-dapat bahwa bukan keterampilan teknis atau pelatihan terapis yang menentukan kesuksesannya — bukan, misalnya, interpretasi mimpinya yang piawai, refleksi perasaan sensitifnya, cara penanganan transferensinya, penggunaan penguatan positifnya. Sebaliknya, saya percaya bahwa adanya sikap-sikap tertentu pada diri terapis, yang dikomunikasikan pada, dan dipersepsi oleh klienlah yang memengaruhi kesuksesan dalam psikoterapi. D. REFLEKSI : SALAH SATU RESPONS PENTING TERAPIS Refleksi terjadi ketika seorang terapis merespons seorang klien dengan mengubah pandangan atau mengemukakan kembali pernyataan dengan cara menyoroti perasaan atau emosi klien. Refleksi pun bukan sekedar mengulangi kata-kata klien untuk menunjukkan bahwa kata-kata itu sudah didengar, tetapi komentar oleh terapis yang menunjukkan apresiasi terapis terhadap pengalaman emosional klien. Faktanya humanis sering menggunakan frasa “refleksi perasaan” daripada disingkat “refleksi” untuk mengilustrasikan penekanan pada emosi.) ketika melakukan refleksi, terapis humanis mencerminkan perasaan klien, bahkan perasaan tersebut tidak dinyatakan secara eksplisit. Rogers mengungkapkan penyesalan tentang bagaimana “refleksi perasaan” telah di gunakan oleh banyak orang di dalam maupun di luar gerakan humanistic. Ia digunakan oleh banyak orang di dalamnya maupun di luar gerakan humanistic. Ia terutama tidak senang dengan kenyataan bahwa refleksi telah diajarkan dan di pahami secara keliru sebagai sebuah tekik dan kadang sebagai sebuah teknik yang sangat kaku. Selain itu Rogers percaya bahwa refleksi seharusnya adalah sebuah sikap bukan sebuah keterampilan teknis dan sikap ini seharusnya termasuk kerendahan hati yang bisa hilang jika terapis melakukan refleksi secara 8



mekanis. Ketika melakukan refleksi terapis seharusnya tidak memberi tahu klien tentang bagaimana dan apa yang di rasakannya tetapi seharusnya menanyakan kepada klien apakah pemahamannya tentang perasaan klien benar. Dengan kata lain, terapis seharusnya tidak menjadi terlalu yakin dengan kemampuannya untuk membaca emosi klien dan seharusnya selalu menghormati keahlian klien tentang perasaan mereka sendiri. E. BERBAGAI ALTERNATIF UNTUK HUMANISME 1. Alternatif Histori Psikoterapi eksistensial adalah sebuah pendekatan terapi yang awalnya dikembangkan oleh Rollo May, Victor Frankl dan Irvin Yalom. Psikoterapi ini berpusat pada premis bahwa setiap orang pada dasarnya sendirian di dunia ini dan kesadaran tetang kenyataan ini dapat membanjiri kita dengan kecemasan. Kecemasan ini dapat memiliki sejumlah bentuk dan merupakan akar dari semua psikopatologi. Selain kesimpulan kesendirian yang tak terhindarkan ini, teori eksistensial mengatakan bahwa hal-hal tak terelakkan lain dalam kehidupan manusia, khususnya kematian, memberikan kontribusi pada perasaan tak berarti yang kuat pada banyak orang.Terapi eksistensial memberikan tekanan kuat pada kemampuan klien untuk mengatasi ketidakberartiannya dengan menciptakan makna sendiri melalui keputusan yang dibuatnya. Terapi Gestalt didirikan oleh Fritz Peris dan terapi ini menekankan pada pendekatan holistic untuk memperkuat pengalaman klien. Pengalaman ini termasuk persepsi mental maupun fisik dan terapis Gestalt memperhatikan kedua aspek komunikasi klien ini. Dalam praktiknya terapis Gestalt mendorong klien untuk meraih potensi penuh mereka. Sering kali melalui penggunaan teknik-teknik bermain peran. Mereka tidak menekankan pengalaman masa lalu klien dan secara ekslusif focus pada masa sekarang. Konseling dengan pendekatan humanistik berfokus pada kondisi manusia. Humanistik memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki otoritas atas kehidupan dirinya. Manusia bebas untuk menjadi apa dan siapa sesuai keinginannya. Manusia adalah makhluk hidup yang menentukan sendiri apa yang ingin dia lakukan dan apa yang tidak ingin dia lakukan, karena manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab atas segala apa yang dilakukannya. Pendekatan eksistensial humanistik tidak memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat. Prosedur-prosedur terapeutik bisa bisa menggunakan beberapa pendekatan terapi lainnya, seperti terapi Gestalt dan Analisis Transaksional sering digunakan. Pada konseling eksistensial-humanistik yang paling diutamakan adalah hubunganya dengan 9



klien. Proses konseling dengan pendekatan humanistik sangat memperhatikan hubungan terapeutik dengan melihat konselor dan klien sebagai manusia. Tujuan



konseling



Eksistensial



humanistik



yaitu:



1).



Agar



klien



mengalami



keberadaannya secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak berdasarkan kemampuannya, seperti: menyadari sepenuhnya keadaan sekarang, memilih bagaimana hidup pada saat sekarang, memikul tanggung jawab untuk memilih. 2). Meluaskan kesadaran diri klien, dan karenanya meningkatkan kesanggupan pilihannya yakni menjadi bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya. 3). Membantu klien agar mampu menghadapi kecemasan sehubungan dengan tindakan memilih diri, dan menerima kenyataan bahwa dirinya lebih dari sekadar korban kekuatankekuatan deterministic di luar dirinya. Intinya dalam konseling humanistik ini adalah bagaimana seorang konselor bisa memanusiakan manusia dengan memanfaatkan segala potensi yang ada di dalam diri klien dengan berbagai teknik dan cara yang memungkinkan. 2. Wawancara Motivasional Sebuah terapi yang telah menghimpun bukti empiris signifikan dan pengaruh yang luas di bidang ini adalah wawancara motivasional yang dikembangkan oleh William Miller. Miller mendeskripsikan pendekatan terapi MI-nya sebagai sebuah revisi dari penerapan prinsip-prinsip humanistic dasar. MI awalnya dikembangkan untuk menangani perilaku adikrif seperti penyalahgunaan narkoba tetapi ia telah di gunakan untuk berbagai macam masalah klien. Prinsip-prinsip sentral MI mengungkapkan akar humanistiknya (Arkowitz & Westra,2009; Miller & Rollnick,2002;Mayor,1998) : 



Mengekspresikan empati, mengambil sudut pandangan klien dan menghormati perasaan mereka mengenai pengalaman-pengalaman mereka yang vital bagi MI.







Mengembangkan ketidaksesuaian, Terapis MI menyoroti bagaimana perilaku seorang klien tidak konsisten dengan tujuan atau nilai-nilainya.







Menghindari argumentasi, terapis MI tidak mengonfrontasi klien secara langsung bahkan jika klien harus memilih untuk berubah dan bukan karena dipaksa oleh seorang terapis.



10



3. Intervensi Positif Dan Konseling Berbasis Kekuatan Psikologi positif adalah sebuah pendekatan berbasis luas yang lebih menekankan kekuatan manusia daripada patologi dan menumbuhkan kebahagiaan di samping mengurangi gejala-gejala di dalam psikoterapi. Pendekatan ini mengakui potensi bawaan untuk mengembangkan dan mempertahankan atribut positif yang didasarkan pada asset-aset seperti harapan, kearifan, kreativitas, keberania, kemandirian, optimize, tanggung jawab dan pertumbuhan. Para praktis kebanyakan bentuk psikoterapi terkini lain yang berfokus secara lebih ekslusif pada sebuah model berbasis penyakit, terapis yang dipengaruhi oleh psikologi posiif menjalankan peran terapeutik yang menyembuhkan yang lemah dan memelihara yang kuat. Terapi-terapi yang diderivasi dari psikologi positif memiliki beragam nama, tetapi mereka paling sering diberi label intervensi positif atau konseling berbasis kekuatan. Pendekatan empat bidang yang dikembangkan oleh Beatric Wright dan lain-lain :  Kelemahan dan ciri-ciri yang bersifat melemahkan atau merusak di dalam diri orang itu sendiri  Kekuatan dan asset di dalam diri orang itu sendiri  Faktor-faktor destruktif dan sumber daya yang tidak ada atau kurang di lingkungan  Sumber daya dan peluang yang ada di lingkungan 4. Alternative kontemporer lain Adaptasi modern dari humanism telah dikembangkan oleh Arthur dan Kren. Bohart dan Tallman berpendapat bahwa terapi paling efektif jika terapis mengakui bahwa “klien adalah kreatif, menjadi aktif, mampu menghasilkan solusinya sendiri untuk berbagai masalah pribadi jika diberikan iklim belajar yang baik. Bagi kami, terapi adalah proses mencoba menciptakan sebuah iklim yang lebih baik untuk mengatasi masalah daripada mencoba memperbaiki individunya ”. Jadi peran terapis bukan sebagai seorang teknis melainkan seorang borator dengan klien yang pandangan dan pendapatnya di hormati.



11



BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Carl Rogers dan rekan-rekan sejawatnya mendirikan pendekatan psikoterapi huma nistik berdasarkan pandangan tentang manusia yang secara bawaan berupaya untuk tumbuh dengan cara yang sehat dan positif. Kecenderungan aktualisasi-diri ini kadang-kadang bertentangan dengan kebutuhan akan perhatian positif (atau ”menghargai”) dari orang lain terhadap diri kita sendiri, khususnya ketika orang lain memberikan perhatian positif bersyarat kepada diri kita sendiri. Di dalam situasi ini, individu mengalami inkongruensi antara diri sejati dan diri idealnya,



dan masalah psikologis mulai



muncul. Terapis humanistik



membantu



perkembangan aktualisasi diri pada diri klien dengan membangun hubungan terapeutik tanpa persyaratan yang bernilai dan lebih memotivasi kongruensi. Lebih spesifiknya, terapis humanistik memberikan tiga kondisi yang oleh Rogers diidentifikasi sebagai sesuatu yang diperlukan dan akan mencukupi untuk kesuksesan terapi, yaitu: empati, UPR dan ketulusan. Unsur-unsur berbasis-hubungan fundamental terapi humanistik mungkin merupakan faktorfaktor umum di banyak bentuk terapi yang dipraktikkan oleh para terapis yang tidak mengidentifikasikan dirinya sebagai terapis humanistik. Beragam pendekatan kontemporer, termasuk wawancara motivasional dan intervensi positif/konseling berbasis-kekuatan, sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip humanistik.



B. SARAN Setelah membaca makalah ini, diharapkan pembaca dapat mengetahui tentang psikoterapi humanistik. Demikian makalah ini kami buat, kami menyadari makalah kami masih jauh dari kata sempurna maka kiranya kami akan senang hati jika para pembaca ingin menambahkan dan menyempurnakan materi yang kami buat.



12



DAFTAR PUSTAKA Pomerantz, Andrew M. 2014. Psikologi Klinis Ilmu Pengetahuan, Politik, dan Budaya. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR Zulfikar. dkk. 2017. Konseling Humanistik: Sebuah Tinjauan Filosofi. Jurnal Konseling GUSJIGANG. Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus. 3(1): 146-151.



13