Tugas Resume Psikologi Jawa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1. Pengetahuan Jiwa Jawa dan Manusia Indonesia Kontemporer Apabila modernisasi meliputi proses-proses dinamisasi, inovasi, emansipasi, serta humanisasi, seperti ungkapan Soerjanto Poespowardojo (1977), mungkinkah mawas diri mengambil bagian dalam upaya manusia untuk menjadi lebih manusiawi? Apabila kebudayaan kita pahami sebagai perjuangan manusia untuk mempertinggi kualitas hidupnya, mungkinkah mawas diri menjadi inti pokok kebudayaan? Soedjatmoko, dalam buku pengantar untuk buku Toeti Heraty (1984), mengungkapkan harapannya untuk mengangkat mawas diri dari tingkat moralisme semata-mata ke tingkat pengertian psikologis dan historis mengenai peerilaku manusia. Ki Ageng Soerjomentaram dengan kesungguhan hati mencoba untuk mengaktualisasikan mawas diri sebagai bagian dari pendidikan orang dewasa dan bukan sekedar truisme seperti tertulis dalam kitab Wedhatama : Rumangsa melu anduweni Wajib melu angkrungkebi Mulat sarira angrasa wani ( Mangkunegoro IV, 1975) Setelah untuk masa yang lama, Ki Ageng Soerjomentaram mejang Kawruh Begja Sawetah yang diterjemahkan dengan Wejangan Pokok Ilmu Bahagia. Tulisan ini bukan sekadar mempertanyakan apakah tesis Ki Ageng masih berlaku pada masa kini tetapi terlebih merupakan usaha memahami konsep mawas diri dari Ki Ageng Soerjomentaram, kemudian secara kontekstual mengujinya dalam kenyataan hidup masa kini, serta mendialogkannya dengan konsep-konsep serupa dalam Psikologi Modern. Pertambahan penduduk ini berdampak pula pada pola-pola imigrasi. Urbanisasi makin deras dari daerah pedesaan ke kota-kota sehingga menimbulkan urbanisme. Daoed Josoef (1978) melihat pertumbuhan kota-kota sebagai hal yang wajar, namun persoalannya apakah kotakota tujuan dari para migran siap menerima mereka. Apabila tidak, maka akan muncul kantong-kantong lapis –lapis daerah miskin (slums atau shanty town). Pada awal-awal Pelita, gagasan-gagasan tentang modernisasi lebih mengarah pada perubahan mentalitas. Mentalitas bangsa Indonesia memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperbaiki untuk pembangunan, yaitu sifat mentalitas yang meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya kepada diri sendiri, tak berdisiplin murni, dan suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh ( Koentjaraningrat, 1974) Koentjaranigrat (1974) juga mengajukan gagasan dari David McClelland tentang Need for Achievement yang perlu disuntikkan ke dalam mentalitas masyarakat yang sedang berkembang, AMT (Achievement Motivation Training) menjadi terkenal, begitupun gerakan wiraswasta pada awal-awal Pelita di Indonesia.



Perubahan mental melalui pelatihan atau penataran tidaklah cukup apabila tidak dibarengi dengan perubahan struktur sosial yang lebih sesuai dengan pembangunan. Motivasi dengan cara komunikasi telah mempertunjukkan kenaikan tuntutan yang luar biasa dari masyarakat. Kembali kita ke persoalannya: mungkinkah dampak negatif pembangunan dapat dihindarkan dengan memasyarakatkan kembali kode etik satria Jawa ini? Ki Ageng Soerjomentaram memilih mawas diri sebagai suatu ulah, laku untuk menjadi “manusia tanpa ciri”, jauh dari egoisme. Sementara dalam Wedhatama kita baca : Ngelmu iku kelakone kanthi laku Lekase lawan kas Tegese kas, nyantosani Setya budya pengekese dur angkara (Mangkunegoro IV, 1975) Mawas diri telah menjadi bagian dari akal sehat masyarakat Jawauntuk masa yang lama. Dalam kepustakaan kebatinan, istilah ini juga dikenal sangat luas. Bratakesawa (lihat Darminta, 1980), menyatakan adanya tingkatan – tingkatan kualitas pengkajian diri ini: 1. Nanding sarira, di mana seseorang membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain dan mendapatkan dirinya lebih unggul. 2. Ngukur sarira, di mana seseorang mengukur orang lain dengan dirinya sendirisebagai tolak ukur. 3. Tepa sarira, di mana seseorang mau dan mampu merasakan perasaan orang lain. 4. Mawas diri, di mana seseorang mencoba memahami keadaan dirinya sejujur-jujurnya 5. Mulat sarira, lebih dari mawas diri, di mana manusia menemukan identitas yang terdalam sebagai pribadi. Darminta dalam tesisnya yang berjudul Mawas Diri (Self Examination) menunjukan konteks kebatinan mawas diri. Kalau sementara kita menerima pendapat Rasyidi (1976) bahwa kebatinan itu pada dasarnya merupakan campuran antara kegiatan mistik, metafisik, etik dan magik, maka mawas diri pun mendapatkan tafsir makna yang bermacam-macam. Masalahnya adalah bagaimana mawas diri dalam konteks psikologi? Disinilah Ki Ageng Soerjomentaram dalam usahanya untuk mengembangkan pendidikan bagi kaum dewasa, mempelajari tentang manusia, orang yang nyata, yang barangkali bernama Kramaleya dan Kramadangsa. Ia menemukan orang dalam kerinduannyasebagaimana nampak dalam ucapan “Seprana seprene aku durung tau ketemu wong”. Ia medar Pengawikan Pribadi serta gambar (Aku) Kramadangsa, dan mempertanggungjawabkannya sebagai Kawruh Jiwa. Artinya, dengan Kawruh Jiwa ini seseorang diharapkan untuk digdaya tanpa aji seperti ajaran dari Raden Mas Panji Sosrokartono (lihat Koesnadi Partosatmoko, 1970), yang lengkap berbunyi : Sugih tanpa bandha Digdaya tanpa aji Nglurug tanpa bala Menang tanpa ngasorake Dalam mengembangkan kawruhnya pun Ki Ageng tetap memgang ungkapan “sabutuhe, saperlune, sacukupe, sakepenake, samestine, sabenere”. Satu sikap yang mirip dengan iman seseorang ilmuwan bahwa Tuhan tidak akan menciptakan sesuatu lebih rumit dari (se)perlunya.



Semula dorongan ini mirip dorongan yang biasa muncul pada para ahli antropologi atau etnologi untuk memahami gagasan orang Jawa tentang jiwa. Katakanlah satu serpihan dari etnopsikologi. Metode fenomenologi sangat membantu dalam upaya untuk memahami kawruh jiwa ini. Ilmu Jiwa Kramadangsa adalah ilmu jiwa yang paling eksplisit dalam perbendaharaan kawruh jiwa di Jawa, yang sebagian besar merupakan perpaduan antara kawruh jiwa, batin, dan kerohanian. Dalam psikologi pun orang menelaah dengan tajam pengembangan psikologi yang mengacu pada ilmu-ilmu alamiah seperti yang ditulis oleh Heather (1976). Heather tidak saja membuktikan bahwa positivisme adalah ideologi dalam ilmu pengetahuan, ia juga mengaruh pada apa yang kemudian disebut sebagai psikologi pembebasan, yaitu psikologi yang hidup dalam kognisi masyarakat dan menjadi bagi bagian dari cara mereka memecahkan persoalan, karena psikologi akademis telah terlalu mengabdikan diri pada kepentingan kamu elite serta para pemilik modal. Sementara seorang profesional adalah perampas pengetahuan dari kaum awam. Dinyatakan bahwa: “the professional is someone who takes away from the people knowledge and skills which rightfully belong to them (Heather, 1976) Maslow (1969) mengajukan kritik yang tajam terhadap psikologi di Amerika Serikat yang dianggapnya terlalu mekanoformik – memandang manusia sebagai mesin yang rumit -, terlalu memuja metode (metodalatri) , serta terlebih-lebih percaya pada ilmu yang objektif, universal dan bebas nilai. Ia percaya bahwa dibalik segala macam ulah manusia dalam berilmu pengetahuan, terdapat dorongan untuk memuliakan manusia. Artinya untuk terlibat dan bertanggung jawab atas nilai-nilai kemanusiaan. Maslow kemudian dikenal sebagai pelopor dari kekuatan ketiga dalam psikologi Amerika Serikat, disamping psikoanalisis dan behaviorisme. Kekuatan ketiga itu biasa disebut psikologi humanistik. Menurut van Peursen (1985), terdapat setidak-tidaknya empat paham besar tentang kemajuan ilmu pengetahuan yakni paham yang menyatakan bahwa: 1. Kemajuan ilmu pengetahuan terjadi karena penyempurnaan serta pengukuhan bangunan ilmu pengetahuan yang telah ada 2. Kemajuan ilmu pengetahuan terjadi akibat saling tindak dan saling pengaruh antara berbagai sistem pengetahuan 3. Kemajuan ilmu pengetahuan terjadi dengan penggantian bangunan pengetahuan lama dengan bangunan pengetahuan baru. 4. Kemajuan pengetahuan terjadi sebagai sintesis dari berbagai paham pengetahuan Akhirnya, pada masa yang penuh gejolak usaha untuk menemukan identitas, juga dalam psikologi ada baiknya kita kutip sebagai pendapat Brouwer (1983): Sebelum menjadi psikolog (ahli ilmu jiwa) lebih baik menjadi fenomenolog supaya waktu membuat hipotesis, teori dan hitungan, sang psikolog mengetahui apa sebetulNya yang dihitung dan diterangkan.



2. Kawruh Jiwa, dari Pengetahuan ke Ilmu Jiwa



Wejangan Ki Ageng Soerjomentaram oleh para pengamat maupun para pelajarnya sering disebut “kawruh bagja”, “kawruh jiwa”, Pengawikan Pribadi”. Sementara bangunan pokok dari Ilmu Jiwa Kramadangsa yang diwejangkannya adalah masalah bangunan kejiwaan dari (Aku) Kramadangsa. Dengan demikian ia tidak berupa teori-teori yang bersifat abstrak, tetapi selalu kongkret menghadirkan manusianya. Bila istilah seperti “Psikologi Personalistis” atau “Self Psychology” hendak dipergunakan untuk mengidentifikasikan Ilmu Jiwa Kramadangsa, sifat kongkret yang merupakan aspek praktis dari ilmu di Jawa – sebagaimana nampak dalam ungkapan “Ngelmu iku kelakone kanthi laku...” – sangat perlu diperhatikan. Darminta (1980) lebih memilih istilah Self Examination untuk mawas diri daripada introspection. Sekalipun mawas diri dari Ki Ageng Soerjomentaram dikatakannya memiliki ruang lingkup kejiwaan (psikologi) karena merupakan introspection in material world. Identifikasi mawas diri sebagai kegiatan kejiwaan diperlukan karena mawas diri juga merupakan istilah yang dipergunakan dalam kebatinan dan kerohanian. Mawas diri menurut Rahmat Subagyo (1983), merupakan tahap integrasi diri, pembebasan diri dari egoisme dan egosentrisme. Ia merupakan kegiatan pendidikan atau psikoterapi. Uraian Rahmat Subagyo memiliki kesamaan dengan uraian De Jong (1976) tentang ulah batin di Jawa, dengan melalui tahap distansi, kosentrasi serta representasi seperti yang nampak jelas apabila seorang satria bertapa. Ia menyingkirkan diri dari keramaian dunia, ia memusatkan diri (sewiji) pada diri, serta akhirnya ia memancarkan kebesaran ilahi. Von Brentano (lihat Toeti Heraty, 1984) sebagai filusuf dari pakar psikologi, mencoba mencari kriteria yang membatasi masalah fisik dengan gejala psikis pada internasionalitas. Sesuatu gejala disebutnya gejala mental apabila fenomena yang melingkupi mengandung suatu objek secara intensional dalam kesadaran. Disebutkannya tiga gejala mental: 1. Sikap gagasan mengarah pada objek dalam kesadaran. 2. Sikap rasional terhadap objek kesadaran, suka atau tidak suka 3. Sikap emosional terhadap objek, keinginan, cinta, dan benci. Wejangan- wejangan Ki Ageng makin menunjukkan sosok yang lebih nyata dalam laku ketika beliau menyingkir ke desa Bringin, Salatiga mengemban “konsensus” Paguyuban Selasa Kliwon. Beliau bertugas mengembangkan pendidikan orang dewasa, sedang Ki Hadjar Dewantara mengembangkan pendidikan kaum muda. Wejangan–wejangan Ki Ageng mendapatkan wujud yang lebih nyata dalam “Kawruh Jiwa”, sehingga para pelajarnya kemudian menyebut diri juga sebagai “Pelajar Kawruh Jiwa”. Wejangan Ki Ageng kemudian di bukukan dan diterbitkan Yayasan Idayu. Salah satunya diberi judul Ilmu Jiwa Kramadangsa, selain beberapa judul lainnya. Dalam pembahasan ini kita tidak hanya melakukan kajian terhadap buku Ilmu Jiwa Kramadangsa, akan tetapi satu tubuh pengetahuan yang dieksplisitasikan dari seluruh wejangan Ki Ageng. Bangunan utama Ilmu Jiwa Kramadangsa, disusun dari buku: Filsafat Rasa Hidup, Ilmu Jiwa Kramadangsa, Rasa Bebas, Mawas Diri, Serta Tanggapan. Ilmu Jiwa Kramadangsa dalam tesis ini merupakan konstruksi teoretis dari wejangan-wejangan Ki Ageng yang terutama mengupas perkara rasa, gambar Kramadangsa serta maawas diri.



3. Menelaah Kawruh Jiwa Pusat dari telaah pustaka ini adalah kawruh jiwa yang dirinci menjadi rasa, aku (ego), serta mawas diri. Untuk itu perlu di telaah terlebih dahulu Kebudayaan Jawa pada umumnya, kemudian keseluruhan wejangan Ki Ageng Soerjomentaram sebagai suatu sistem, konteks sosial historis yang memusatkan pada riwayat Ki Ageng sendiri, untuk kemudian memusat pada Ilmu Jawa Kramadangsa serta ahkirnya suatu telaah tentang ego dalam psikologi modern terutama menurut psikoanalisis bhviorisme serta psikologi humanistik A. Kawruh Jiwa Dalam Kebudayaan Jawa Adalah cukup rumit untuk menndeskripsikan Kebudayaan Jawa karena sesungguhya kebudayaan jawa ituj tidak homogen apalagi monolitik. Demikianlah, batasan “Kebudayaan Jawa” sebagai wujud penghayatan serta pengungkapan penafsiran hidup orang jawa sesungguhnya telah menembus batasan itu sendiri. Para pengamat Kebudayaan Jawa banyak yang mencoba mendeskripsikan nilai-nilai hidup orang jawa seperti sabar rila dan narima yang oleh De Jong (1976) dianggap sebagai sikap hidup Pangestu (paguyuban ngesti tunggal) sebagai usaha manusia untuk mengambi jarak terhadap “Jagat Cilik Petik Nyak”, serta kemudian murni menjadi urusan Tuhan. Wayang menggambarkan perjalanan hidup manusia dalam mencari makna hidupnya,seperti nampak dalam lakon Dewa Ruci. Wayang juga mengungkapkan karakter manusia ,terutama dari segi perannya didunia ini lakon-lakon wayang mengungkapkan bagaimana peranan ini dimainkan. 1. Rasa “Wong jawa iku nggone rasa”, demikian sebuah ungkapan rasa yang sangat dikenal dikalangan masyarakat orang jawa. orang dianggap bila ia tidak tau rasa orang yang tidak halus perilakunya dianggap durung jawa. rasa menjadi satu dengan jawa apabila Descartes menyatakan “cogito ergo sum”, Debrian dinyatakan “volo ergo sum” dan Fuad hasan mengatakan “respondeo ergo sum” barangkali krama dangsa akan bilang “ngrasa ergo sum”, rasa menjadi istilah yang sangat luas maknanya, mulai dari pengindraan sampai hidup itu sendiri Dalam keppustakaan Jawa, agaknya rasa dipahamkan sebagai substansi atau zat yang mengaliri alam sekalir artinya ia berupa suasana pertemuan antara jagad gede dan jagad cilik. terkadang ia muncul sebagai daya hidup. demikianlah kita kenal hirarki rasa mulai dari yang paling wadhag , berhubungan dengan badan kasar, badan halus, dan roh ketiga bentuk keadaan ini oleh Soemadi Hardjoprakosa disebut sebagai keadaan biologis, psikologis dan rohani, demikian kita kenal : Rasa pangrasa yakni rasa badan wadhag, seperti yang dihayati seseorang melalui indranya : rasa pedas,rasa gatal, kemudian rasa yang hadir dalam kebadanan sesorang, seperti misalnya rasa sakit, rasa enak. Rasa rumangsa, yakni rasa eling, rasa cipta, rasa grahita, seperti misalnya ketika sesorang menyatakan bahwa Kramadangsa telah “ngrumangsani kaluputane” atau “rumangsa amung titah, Kramadangsa amung saos sukur “



Rasa sejati, yakni rasa yang masih mengenal rasa yang merasakan , dan rasa yang dirasakan . Sejatining rasa, yakni rahsa, yang berarti hidup itu sendiri yang abadi. 2. Aku Orang masih ingat huruf alif, yakni huruf pertama dalam abjad Arab, HA dalam abjad Jawa, yang diterakan oleh Sosrokartono di rumahnya yang diberi nama Darussalam di Bandung. Murid-muridnya maish ingat bagaimana Sosrokartono menyebut dirinya sebagai “Mandhor Klungsu”, Penjaga inti terdalam. Apabila manusia dapat diumpamakan kelapa, maka orang perlu mengupas sabutnya untuk ketemu tempurung, perlu mengupasmtempurung untuk ketemu kenthos-nya, klungsu-nya. Hsu (lihat Koentjaraningrat, 1974) mengembangkan psikososiogram yang menarik sebagai hasil pemanduan gagasan Timur dengan pikiran-pikiran Sigmund Freud tentang struktur kepribadian manusia yang berlapis-lapis: 7) 6) 5) 4) 3) 2) 1) 0)



Taksadar Konsep Freud Subsadar Kesadaran yang tak dinyatakan Kesadaran yang dinyatakan Lingkungan hubungan karib Lingkungan hubungan berguna Lingkungan hubungan jauh Dunia Luar



Konsep Manusia berjiwa selaras



3. Mawas Diri Mawas diri telah menjadi bagian tak terpisahkan lagi dari kebudayaan Jawa, dalam tradisi mistis maupun etis. Sekalipun perlu diingat bahwa hampir semua kepustakaan Jawa keterkaitan antara tradisi etis dan mistis adalah sangat erat. Demikian yang terisirat dalam ungkapan “Mulat sarira angrasa wani” dalam Wedhatama. Itulah sebabnya Wedhatama menembangkan : Nuladha laku utama Tumraping wong tanah Jawi Wong Agung ing Ngeksiganda Panembahan Senapati, Kapati amarsudi Sudaning Hawa lan Napsu Pinesu tapa brata Tanapi ing siang ratri Amangun karyenak tyasing sasama (Mangkunegoro IV)



B. Kawruh Jiwa dalam Keseluruhan Wejangan Ki Ageng Soerjomentaram Ki Ageng Soerjomentaram dapat dikatakan telah memulai memberikan uraianuraiannya sejak berumur kurang lebih 30 tahun – pada masa Pagoejoeban



Selasa Kliwon (1921-1922) – sampai saat wafatnya 1962. Ki Ageng menunjukan betapa kesempurnaan hanyalah idam-idaman, cita-cita, keinginan, pamrih, yang justru menghalangi tumbuhnya manusia tanpa ciri. Ki Ageng menunjukan betapa keberanian dan ketabahan itu hanyalah dapat diperoleh dengan mawas diri, hal ini agaknya berpadanan dengan apa yang diajukan oleh Sosrokartono: “sepi ing pamrih, tebih ajrih”. Dalam jiwa persatuan, Ki Ageng kembali menunjukan bahwa rasa bersatu, jujur, cinta, guyub akan menimbulkan rasa enak, puas dan cukup. Demikianlah penenrapan Kawruh Jiwa dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di ungkapkan oleh Ki Ageng dalam berbagai kesempatan sesuai kebutuhan. Dalam perdagangan, dalam bernegara, dalam pergaulan, perkawinan dan pendidikan C. Kawruh Jiwa dalam Konteks Historis Sosial Keyakinan bahwa betapapun orisinalnya pemikiran seseoran (local) jenius, pastilah ia memantulkan mentalitas dari masyarakatnya, boleh jadi hanya truisme dari salah satu paham antropologi budaya belaka. Dengan demikian penempatan gagasan-gagasannya dalam konteks sosial historis akan membantu pengamat untuk lebih memahami gagasan-gagasannya.”Seprana seprene aku kok dhurung tau kepethuk wong, “ demikian dalam ucapan Ki Ageng, karena kehangatan pertemuan antar manusia tidak pernah dirasakannya kecuali formalitas-formalitas yang kelak dikenal masyarakat sebagai empat´de’ (4D) : Dangu, dhawuh, duka, drana (bertanya, memerintah, marah, memberi hadiah).



D. Ilmu Jiwa Kramadangsa, Substansi Kawruh Jiwa Nama Ilmu Jiwa Kramadangsa diambil dari buku yang diberi judul Demikian oleh Panitia Penerbitan Wedjangan-Wedjangan Ki Ageng Soerjomentaram. Buku ini merupakan bahan ceramah Ki Ageng bersama Ki Pronowidigdo di Yayasan Hidup Bahagia di Jakarta pada tahun 1959. Namun keseluruhan dari wejangan-wejangan Ki Ageng yang semula diberi nama “Kawruh Bagja” atau “Kawruh Jiwa” Kramadangsa adalah sekedar nama. Istilah ini dimaksud oleh Ki Ageng sebagai rasa pribadi yang identik dengan namanya sendiri. Tiga pokok penting akan dicoba diuraikan dibawah ini : a) Rasa Makhluk hidup mempunyai rasa hidup. Rasa hidup mendorong manusia bergerak. Gerak ini mempunyai maksud untuk kelangsungan hidup, maka rasa hidup menolak kematian. b) Aku, Kramadangsa Ilmu Jiwa Gambar Kramadangsa diperlukan agar supaya orang tidak tersesat sewaktu mawas diri. Sekalipun tidak kasat mata, tetapi jiwa dapat dirasakan keberadaannya. c) Mawas Diri



Orang sering mendapat kesulitan karena tidak mengetahui dirinya sendiri. Jadi mengetahui diri sendiri dapat memecahkan berbagai kesulitan. Pengetahuan tentang diri sendiri sama dengan pengetahuan hal jiwa, disebut “Pengawikan Pribadi”.



4. Ego dalam Psikologi Modern Psikologi mengenai aliran-aliran empiris, seperti yang dikembangkan oleh Locke yang menganggap manusia lahir sebagai “Tabula Rasa” dan pengalamanlah yang menuliskan segala sesuatu di atasnya, yang diteruskan oleh Herbert sebagai ilmu jiwa asosiasi. Maka kemudian lahirlah aluran-aliran psikologi lain, diantaranya psikolohi personalistis, yang banyak mengingatkan kita pada “Kawruh Jiwa”. dalam psikologi “lama” tersebut, orang, persona mendapatkan cukup perhatian. Objek psikologi bergerak dari kesadaran pengalaman, akhirnya keperilaku nyata yang bisa diamati dan diukur. Dominasi aliran positivistik memperoleh reaksi-reaksi yang cukup tajam dari apa yang kelak dikenal sebagai tokoh-tokoh psikologi humanistik seperti Maslow, Rogres maupun kaum neofreudianisme seperti Fromm yang juga mendapat pengaruh kuat dari fenomenologi dan eksistensialisme. 1. Psikoanalisis tentang Ego Struktur kepribadian jiwa manusia terdiri atas tiga aspek yaitu Id, Ego, dan Super Ego. Id adalah aspek kepribadian yang “gelap” dalam bawah sadar manusia yang berisi instink dan nafsu-nafsu, tak kenal nilai, dan agaknya berupa energi buta. Seorang bayi digambarkan perwujudan dari Id. Perilakunya didasaekan atas prinsip kenikmatan. Dalam perkembangannya tumbuhlah Ego yang perilakunya didasarkan atas prinsip kenyataan. Tindakannya dilakukan secara Rasional. Sedangkan Superego berkembang untuk mengontrol dorongan-dorongan “buta” dari Id. Demikianlah gejala-gejala kecemasan dijelaskan dari ketakutan Ego akan tekanan Superego terhadapnya karena diserang dari Id. Berne telah menyederhanaan konsep kepribadian Freud dalam kaum awam agar kaum awam dapat mempergunakan teknik psikoterapi ini. Berne telah menganalisis bahwa ada tiga ego stess yaitu, Parent Ego States, Adult Ego States, dan Child Ego States.dalam interaksi antar manusia -bagi Berne yang disebut unit adalah transaksiorang tidak selalu melakukan transaksi komplementer antar Adult Ego States tetapidapat saja terjadi transaksi silang, dimana Parent Ego States seseorang berbicara pada Child Ego States lawan bicaranya. Struktur ego dalam psikoanalisi, maupun dalam psikologi analitis bukanlah peta petunjuk yang komperhensif untuk kegiatan tepa sarira maupun mawas diri, sekalipun bisa ditransformasikan sedemikian untuk keperluan mawas diri ini. 2.



Behaviorisme tentang Ego



Behaviorisme memusatkan perhatian pada perilaku yang kasat mata, dan dengan demikian terukur. Usaha untuk menjelaskan perilaku sebagai akibat dari kekuatankekuatau atau daya-daya dari dalam nampak sebagai "atavisme", seperti manusia purba yang mencoba menjelaskan kenapa sebuah benda jatuh kalau dilepaskan dari suatu ketinggian yakni karena benda itu mempunyai kekuatan, daya. Sementara tentang teknologi perilaku. Orang percaya tentang adanya jiwa, pribadi. intinsik, karena mereka menyaksikan bahwa manusia bertindak begini dan begitu. Cara



berpikir demikioleh Skinner dianggap sebagai cara berpikir yang mentalinik. Selanjutnya ia berpendapat bahwa analisis ilmiah enuniukkan bahwa tanggung jawab atas munculnya perilaku tidaklah terletak dalam diri manusia tersebut, tetapi pada lingkungannya. Ahli-ahli psikologi perilaku tidak mempercayai introspeksi sebagai metode dalam pengumpulan data, kecuali sebagai kesimpulan dari suatu perilaku apabila hal ini dikerjakan oleh si pelaku sendiri. Persoalan klasik yang biasa dipergunakan untuk ilustrasi adalah apa yang dikemukakan Oleh James (lihat Skinner, 1972) Apabila Dolard dan Miller (lihat Skinner, 1972) mengakui peran kemampuan mental tingkat tinggi dalam proses kreatif,tidak berati bahwa kempuan ini bersifat Instinctoid atau katakanlah merupakan suatu proses belajar. Lebih lagi dalam konsep Bandura tentang perilaku berperantara dan tak berperantara (mediational dan nonmediational behavior seperti proses-proscs kognitif dm behavioral). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa selfie control adalah suatu ketrampilan yang diperoleh melaui latihan-latihan. Dalam mawas diri atau selfa examination juga dikenal latihan-latihan tetapi "bawa raos salebeting mos" ini tidaklah dapat dikatakan sebagai keterampilan teknis mentalistik. Skinner berpendapat bahwa munculnya gagasan tentang selfini disebabkan karena adanya repertoire yang mesti dilakukan. atau diperankan oleh orang. Dan itulah yang disebut self . Karena repertoire itu bisa banyak, maka tidaklah mengherankan kalau ada seseorang bilang “I'm out of my self”. 3. Psikologi Humanistik tentang Ego Psikologi humanistik menjunjung tinggi kebebasan serta harga diri manusia. Psikologi ini mengacu pada pengembangan manusia untuk mnjadi lebih baik dan lebih baik lagi dalam ungkapan yang khas seperti judul buku yang ditulis oleh beberapa tokoh misalnya Maslow Toward, Pscology of being, atau Rogers, On Becoming a Person. Psikologi hummistik memandang manusia sebagai suatu proses Yang mengandung nilai dalam dirinya sendiri. Pandangan yang melihat pembangunan sebagai suatu proses dinamisasi, inovasi, emansipasi, serta humanisasi menumukkan bahwa filsafat hummistik adalah landasan berpikirnya. Psikologi humanisntik banyak memperoleh pengayaan dari filsafat eksistensialisme serta fenomenologi . Mereka memandang manusia sebagai satu keutuhan. Itulah sebabnya meraka menentang ilmu-ilmu manusia yang meng objektivisasikan manusia. Kritik yang sama juga diajukan dengan tajam oleh Maslow (1969) terhadap psikologi perilaku ymg bersifat positivistik, yang hanya melihat manusia sebagai suatu bangunan perilaku yang kasat mata dan terukur. Teknologi perilaku yang diajukan Skinner dikatakan oleh Rogers berlandaskan asumsi bahwa setiap perilaku itu disebabkan (ada penyebabnya), karenanya setiap kejadian khusus diikuti oleh akibat khusus, dengan tidak mempedulikan kemauan bebas manusia.



Pengawasan perilaku (behavior control) seperti yang diajukan oleh para ahli psikologi. Dalam ungkapan Roger (1967) teknologi perilaku itu bersemboyan: "Set up the purpose, the goals and then proceed the man by the method of science!''. Tidak ada persoalan nilai dalam ilmu pengetahuan itu sendiri. Sementara Rogers berpendapat bahwa manusia adalah sebuah proses kemenjadian, sebuah proses pencapaian makna dan harkat insani melalui pengembangan potensi-potensi. Perbedaan pandangan antara Rogers dengan Skinner ini nampak jelas pada modelmodel psikoterapi yang mereka ajukan. Pada Rogers, tujuan psikotrapi adalah membantu manusia untuk mengaktualisasikan diri, sementara psikoterapi Skinner ditujukan untuk memecahkan masalah. Asumsi-asumsi yang dipergunakan Rogers adalah bahwa manusia im terbuka terhadap pengalamannya sendiri, bahwa manusia melandaskan tindakannya atas kenyataan medan fenomenal yang dihayatinya. Bahwa manusia percaya pada pengalamannya sendiri. Dasar asumsi-asumsi ini tentu saja adalah pengakuan bahwa manusia itu sama. Suryabrata(1983) mengemukakan tiga konsepsi pokok dalam teori Rogers, yakni: 1. Organisme sebagai “the total individual” dalam tiada. kannya untuk memenuhi kebutuhan bereaksi sebagai keseluruhan terhadap medan fenomenalnya. Organisme ini mempunyai satu motif dasar, yakni untuk mengaktualisasikan, mempertahankan serta mengembangkan diri. 2. Medan fenomenal. yakni medan pengalaman dari seseorang. Dengan melalui proses diferensiasi, organisme memisahkan medan fenomenal ini dengan diri fenomenal, yakni kesadaran akan adanya, akan funfsinya. Kesadaran diri inilah yang menyebabkan seseorang suka atau benci terhadap objck-objek dalam medan fenomenalnya. 3. Self, yang kita terjemahkan dengan diri. yang merupakan pusat pengamanan dan pengarahan dari pengalaman. Ia merupakan satu keutuhan yang terorganisasi (organized whole) menuju ke satu tujuan, yaitu tujuan hidup manusia. Selfini berkembang dalam interaksinya dengan orang lain, mengalami proses pematangan sebagaimana nampak dalam integrasi serta konsistensi pelakunya. Pengalaman yang tidak cocok dengan self image seseorang tidak akan diorganisasikan menjadi bagian dari Struktur diri orang tersebut. Bagi Rogers, perilaku seseorang itu padu dcngan konsepsi seseorang akan dirinya (self concept). Dengan demikian, apabila ingin mengubah perilaku seseorang, kita perlu mengubah selfconcept dari orang tersebut. Pendorong utama bagi manusiu untuk mempertahankan dan mengembangkan hidupnya. Manusia menanggapi muncilnya objek-objek di luar dirinya seperti barang, orang maupun gagasan dengan rasa. Ia juga mengorganisasikan pengalamanpengalammnya (cathetan) dalam berbagai macam rasa. Dari rasa-rasa inilah muncul kesadaran: Aku Kramadangsa. Kramadmgsa ini terpisah dari pcngalamanpengalawannya seperti yang dengan jelas dilihat oleh Aku Tetap. Di sini nampak prbedaan umum Ki Ageng dengan Rogers. Ki Ageng menyaksikan Aku Tetap atau “manusia tanpa ciri" ini sebagai 'yang merasa, mengerti, melihat” ulah Kramadangsa,



sementara bagi Rogers, self adalah organized whole yang mengatur pengalaman dan mengarahkan manusia pada suatu tujuan. Bukan saja karena bahasa Jawa dalam bahasa, dimana Ki Ageng menyampaikan wejangannya tidak mengenal pemisahan “i" dan “Me", tetapi juga karena kecenderungan budaya Jawa untuk memadukan “i" dan “Me”. Sebagian barangkali karena cara berpikir mitikalnya, tetapi tampaknya juga karena Ki Ageng sendiri memilah-milahkan dimensi atau ukuran di mana seseorang melakukan hubungan-hubungannya dengan barang, orang ataupun gagasan, yakni pada ukuran kesatu, kedua, ketiga dan keempat Kramadangsa hidup dalam ukuran ketiga dan kalau berhasil mentransendansikan diri, maka ia akan sama Pada ukuran keempat dan menjadi manusia "aku tetap" Sekalipun dalam penyusunan teorinya Rogers mempergunakan cara-cara kualitatif, terutama dari catatan-catatan para pasien mengenai gambar diri mereka, namun teoriteori Rogers ini kemudian banyak yang diuji dengan penelitian empiris maupun eksperimental, antara lain oleh Rainy (1948) dengan Content Analysis, Stephenson dengan QMethod (lihat Sumandi Suryabrata, 1983). Hal inilah yang belum dilakukan pada Ilmu ]iwa Kramadangsa dari Ki Ageng Soerjomentaram.



5. Aku Dalam lmu Jiwa Kradamangsa Kramadangsa adalah nama orang. Ilmu Jiwa kramadangsa adalah ilmu jiwa mengenai orang yang bernama Kramadangsa. kita sendiri adalah orang; jadi mempelajari Ilmu jiwa Kramadangsa adalah mempelajari diri sendiri. Jiwa adalah rasa. Rasa ini menandai hidup orang. Maka mempelajari Ilmu jiwa Kramadangsa adalah mempelajari rasa sendiri dengan rasa dalam rasa. Demikianah ada rasa subjek, rasa objek dan rasa pertemuan subjek-objek. Kramadangsa adalah rasa aku. Rasa aku inilah ukuran ketiga. Hidup selalu dalam ukuran-ukuran. Ukuran kesaru adalah ukuran hidup tumbuh-tumbuhan. Sebagai bayi orang sudah bisa merasa, tetapi belum bisa bertindak menuruti rasa. Ukuran kedua, adalah ukuran hidup hewan. Sebagai anak maka orang sudah merasa, sudah bisa bertindak meuruti rasa, tetapi belum mengenal hukum kenyataan. Ukuran ketiga, adalah ukuran hidup orang. Ia sudah merasa, sudah bertindak menuruti rasa serta tindakannya. Rasa subjek. rasa objek, rasa suasana pertemuan subjek objek dilahirkan oleh rasa hidup. Rasa hidup itu yang mendorong orang untuk bertindak secara mandiri. Orang mcmbuat catatan-catatan dari pengalamannya brtemu dengan kenyataan-kenyataan. Catatan-catatan ini hidup. Makin banyak, makin beragam, mengelompokankan diri sesuai jenis-jenisnya dan memunculkan rasa Aku adalah Struktur yang tumbuh kembang dari catatan-catatan. Rasa itu “mulur-mungkret". Terkadang senang, terkadang susah. Rasa ini muncul karena manusia berhubungan dengan benda, dengan orang lain, sema dengan gagasan lni adalah rasa tanggapan. Orang itu adalah keinginan, “Wong iku karep”. Kramadangsa menyatakan diri dengan keinginannya. Ia berkata “Aku ingin". Karena itu muncul rasa bahagia dan rasa celaka. Rasa bahagia bila keinginannya tercapai, rasa celaka bila keinginanya tidak cercapai. Dengan meneliti rasa sendiri, manusia bebas dari perbudakan rasa tanggapannya, rasa catatannya. Ia merasa damai dan abadi Kramadangsa mengawasi tindak-tanduknya sendiri. dan berkata “Bukan aku!". Dalam berhubungan dengan Orang lain, orang merasakan perasaan orang lain dalam rasanya sendiri. Kramadangsa perlu membedakan rasa nya sendiri. dengan rasa orang lain dalam rasanya sendiri. la perlu merasakan rasa sama dengan orang lain. Dengan demikian kalau orang lain berbuat seperti perbuatan yang tidak dirasakanyanya dalam rasanya, ia bisa berkata “Bukan kamu!. Sehingga dalam diri manusia ada dua aku, yakni aku tak tetap dan aku tetap. Aku tak tetap ini menghadirkan diri sesuai dengan keinginan-keinginannya, sesuai dengan perhubungan-perhubungan dengan kenyataan di luar. Aku ini adahh aku konstektual, Kramadangsa individual yang memusatkan pengalamnya pada dirinya sendiri serta untuk dirinya sendiri. Ia adalah abdi keinginannya. aku tetap adalah aku



yang universal, yang telah bebas dari cantan-catannya sendiri bahkan bisa mengawasi diri sendiri. Mawas diri pada dasarnya adalah meneliti rasa sendiri. Rasa senang dan susahnya sediri, rasa babagia dan celakanya sendiri. Apabila meneliti diri sendiri ini dilakukan sampai tuntas, maka orang akan mencapai ukuran keempat, yakni manusia tanpa ciri. Mawas diri adalah kegiatan manusia dalam dataran psikologi, menembus ke dataran religius etis. Mawas diri dimulai dengan meneliti rasa senang dan rasa susahnya sendiri, yakni rasa orang dalam perhubungannya dangan benda, orang lain serta gagasan. Secara khusus, mawas diri dilaksanakan dalam hubungan Kramadmgsa dengan orang lain. Dengan meneliti rasa sendiri, rasa orang lain dalam rasanya sendiri, orang akan dapat memilahkan rasanya sendiri dengan rasa orang lain. Dengan meneliti rasa akunya sendiri, orang akan tahu bahwa itu"Bukan aku", dan demikian dengan mencari rasa sama dengan orang lain, Kramadangsa akan tahu bahwa itu “Bukan kamu!”. Dengan demikian, maka "kini , di Sini,aku begini“ merupakan putusan laku yang tepat dalam berhubungan dengan orang lain. Beberapa hambatan dalam mawas diri. yang perlu disebutkan adalah ketakutan yang timbul bersama gerak hati sesaat untuk melaksanakan mawas diri. Ketakutan ini biasanyaa timbul dari rasa tak senang karena dalam mawas diri orang menyaksikan kenyataan-kenyataann diri termasuk kelemahan-kelemahan diri sendiri. Perasaan menolak diri sendiri ini akan menimbulkan kebingungan ketika dalam proses mawas diri seseorang meneliti rasa catatan-catatannya serta membela catatan-catatan tcrsebut. Inilah yang kemudian disebut sebagai “rumangsa bener" atau “penganggep bener” . Dalam usahanya untuk menjadi sempurna, orang sering tergoda untuk memperoleh ilham, wahyu. atau anugrah lain yang membuat ia menjadi sempuma. Hal ini menumbuhkan tahayul, yakni menghubung-hubungkan dua hal yang tidak berhubungan. Takhayul ini menghambat proses mawas diri. Penelitian tcrhadap rasa sendiri tidaklah sama dengan mmenghakimi serta menghukum diri sendiri. kesalahan dalam penelitian terhadap rasa sendiri akan menimbulkan munculnya tindakan penghakiman serta penghukuman terhadap diri sendiri. Kerumitan proses mawas diri dengan cermin orang lain yakni dengan can tepa sarira, menggoda orang untuk mencari raaa sama dengan orang lain secaea "nandhing sarira" dan "ngukur sarira", sehingga tujuan dari mawas diri itu sendiri pada peralihan ukuran ketiga ke ukuran keempat, membuka dimensi religius yang menggoda untuk dilanjutkan dalam proses yang oleh Bratakesawa (lihat Darminta, 1980) disebut sebagai "Mulat sarira" yang mengacu pada "jumbubing Kawula-Gusti"



6. Dari Teorima Ke Hipotesis SESANTI dalam kajian ini adalah, Manusia butuh untuk mengalami sendiri buktibukti kebenaran pernyataan ilmiahnya. Karenanya, sekalipun teorema di atas diturunkandari kajian empiris eksistensial yang dikerjakan sendiri oleh Ki Ageng Soerjomentaram, serta diuji secara intersubjekif dengan para sahabatnya, serta diuji pula secara teoretis oleh mereka yang mempelajarinya dan secara khusus diletakkan dalam kerangka pandangan beberapa aliran pentologi yang mempelajari tentang ego. Pengujian secara trasubjektif toh diperlukan, agar supaya kita menghayati sendiri buktibukti kebenaran pernyataan yang kita susun. Itulah sebabnya teorema di atas dipilah, serta dari teorema tersebut diturunkanlah hipotesis yang bisa teruji kebenaran atau kekeliruannya (refutable). Adapun hiporesis yang akan duurunkan dalam kajian ini adalah: "Dengan meneliti rasa sendiri, kita akan bebas dari rasa aku dan menghayati rasa manusia tanpa ciri". Hipotesis ini kemudian diperinci sesuai dengan teorema prosedur mawas diri: 1. Dengan meneliti rasa tanggapan senang dan benci, orang akan bebas dari lingkaran ma “senang-tak senang". 2. Dengan meneliti rasa catatan bahagia dan susahnya sendiri, orang akan bebas dari rasa akunya. 3. Dengan meneliti rasa aku dan rasa samanya dengan orang lain, orang akan tahu bahwa ini “Bukan aku!" dan itu “Bukan kamu!”. 4. Maka orang akan menghayati ras: manusia tanpa ciri yakni menjadi awas akan diri sendiri.



7. Membangun Ilmu Jiwa Kramadangsa



TUJUAN dari penelitian ini adalah menyusun sebuah teori psikologi, yang disebut Ilmu Jiwa Kramadangsa, dari suatu akumulasi wejangan-wejangan Ki Ageng Soerjomentaram yang disebut “Kawruh Begja” atau “Kawruh jiwa”. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan langkah-lang kah yang efisien untuk menemukan unsur-unsur serta strukturstruktur yang diperlukan guna membangun Ilmu Jiwa Kramadangsa tersebut dari “Kawruhjiwa”. Prosedur yang ditempuh untuk melaksanakan ini disebut “metode eksplisimi", yakni metode yang diperlukan untuk mengidentifikasikan, menyeleksi serta mengkategorisasikan unsur-unsur guna membangun suatu tubuh pengetahuan yang semula merupakan campuran antara kebatinan, kerohanian serta kejiwaan. Secara ringkas langkah-iangkah yang ditempuh guna menyusun teorima Ilmu Jiwa Kramadangsa dari Kawruh jiwa ini, diurutkan demikian: 1. mengumpulkan, memilih serta mengatur bahan-bahan kepustakaan tentang Kawru jiwa. 2. Dengan prosedur baca pustaka yang disebut “maba” dicoba untuk memperoleh “insight" dari “kawruh jiwa". 3. Melakukan identifikasi, seleksi serta kategorisasi unsur-unsur kejiwaan yang semula tercampur unsur-unsur kerohanian dan kebatinan dengan acuan psikologi modern sebagai ilmu yang mempelajari “mental states”, “mental process” dan “mental structure”. 4. Menciptakan suatu konstruksi teoritis Ilmu Jiwa Kramadangsa dengan unsur-unsur dan konsep-konsep yang diperoleh. 5. Menetapkan identitas dari konstruksi teoritis ini di antara teori-teori atau aliran-aliran psikologi modern yang dominan yakni: psikoanalis, behaviorisme, serta psikologi humanistik. 6. Dari sinilah diciptakan teorema Ilmu Jiwa Kramadangsa yang diharapkan memenuhi postulat-posmlat ilmu pengetahuan, yakni koherensi internalnya, kompondensinya dengan realitas serta fungsionalnya apabila ia diterapkan. 7. Untuk menguji koherensi dari teorema, perlu dibuktikan bahwa konsep-konsep dalam teorema itu saling terkait, serta saling memperkuat. Sampai di sini diharapkan untuk diperoleh Ilmu Jiwa Kramadangsa yang memenuhi persyaratan disiplin ilmu seperti terungkap dalam tujuannya, objek material maupun formal, ruang lingkup, metodologi serta sistematikanya. Suaru tataran teori yang andal dan siap dimanfaatkan seperti layaknya teori psikologi modern lain. Sekalipun secara resmi penelitian ini baru dimulai pada tanggal 16 Agustus 1982 namun rintisan ke arah penelitian “Kawruh jiwa” sudah dimulai beberapa tahun sebelumya. Dengan berbekal buku-buku wejangan dari Ki Ageng Soerjomcntamm bagi para “Pelajar



Kawruh jiwa”, serta tulisan-tulisan para pelajarnya, karangan dalam majalah, skripsi tingkat sarjana, serta tesis tingkat doktor, penelitian dimulai dengan pengembangan gagasangagasan untuk menciptakan rencana penelitian, termasuk daftar sumber informasi serta jalur yang bisa ditempuh untuk memperoleh bahan-bahan.



Bahan-bahan yang dikumpulkan dipilah-pilahkan dalam beberapa kategori:  Bahan pokok, terutama berupa buku-buku pegangan para pelajar 'Kawru jiwa"  Bahan-bahan penunjang, berupa buku-buku kepujanggaan Jawa dalam tradisi etnik, maupun mistik.  Bahan-bahan tambahan, berupa kepustakaan macam-macam antara lain kitab-kitab kosmologi semacam buku primbon, wayang  Buku-buku acuan, berupa buku-buku yang khusus mempelajari “Kawruh jiwa” termasuk skripsi dan disertasi, serta karangan-karangan lain tentang “Kawruh Jiwa’.  Buku-buku acuan yang berupa studi tentang kebu dayaan Jawa pada umumnya, serta studi tentang kejiwaan, kebatinan serta kerohanian khususnya.



A. Keilmiahan Ilmu Jiwa Kramadangsa Kebenaran ilmiah bukanlah kebenaran yang memutlakkan dalam pernyataannya. Sejauh ini, kebenaran yang memenuhi persyaratan: 1. Korespondensi di dalam hubungan masing-masing unsur penyusunnya serta antan unsur-unsur penyusun dengan keseluruhan. 2. Korespondensi antara pernyataan dengan kenyataan yang disimbolkan 3. Fungsional apabila diterapkan. Karenanya, sebagai teorema perlu diperiksa, apakah persyaratan-persyantan tersebut bisa dipenuhi. 1. Persyaratan pertama, adalah koherensi di antara unsur-unsur penyusun teorema. Apakah dalam Ilmu Jiwa Kramadangsa tidak terdapat unsur-unsur yang tidak koheren. Untuk itu perlu diperiksa struktur konsep rasa, aku, serta mawas diri. Apakah konsep rasa tanggapan, rasa catatan. ma aku itu tidak saling memperlemah dengan konsep Aku Kramadangsa dan Aku Tetap. 4. Persyaratan kedua,yakni korespondensi. Untuk menguji korspondensi antara pernyataan dengan kenyataan itu, dapatlah dipilih jalan menguji teorema Ilmu Jiwa Kramadangsa ini dengan teori lain yang telah teruji melalui penelitian-penelitian empiris maupun eksperimental. Untuk itulah diadakan kajian banding antara Ilmu Jiwa Kramadangsa ini dengan 'Psycholog o/Being', sebuah teori psikologi yang dikembangkan oleh Maslow yang memang telah teruji dalam penelitian empiris. Teori dari Maslow dipilllh dengan beberapa alasan:  Seperti Ki Ageng Soeriomentaram, Maslow berpendapat bahwa dalam kodratnya (nature) manusia itu sama; bahkan Maslow (1971) menyatakan “We must remember



that knowledge of one's own deep nature is also simultaneously knowledge of buman nature in general” . Seperti pada Ki Ageng, pcncmuan-penemuan dasar dari teori Maslow adalah hasil dari penelitiannya terhadap diri sendiri.  Maslow juga dikenal sebagai pelopor Normative psychology dengan mengajukan nilai-nilai kemanusiaan “built in' dalam teorinya. Teon' Maslow bukanlah sekadar teori pengetahuan, tetapi teori yang menganjurkan orang bertindak untuk mengaktualisasikan diri, untuk menggerakkan gaya hidup (way of life) Demikianlah nilai-nilai etis maupun estetis sekalipun terangkum dalam tcori-zeori Maslow yangkita temui pula sebagai ciri utama dari Ilmu Jiwa Kramadangsa.  Maslow dikenal pula sebagai seorang yang mcncoba memahami proses transedensi diri melalui apa yang disebutnya sebagai “peak experiences”, sama kebahagiaan yang dialami seseorang ketika ia membebaskan diri dari egosentrismenya, sementara Ilmu Jiwa Kramadangsa mengenal transendensi dari "Aku Kramadangsa menjadi "Aku Tetap”, yakni aku dalam ukuran keempat.



Maslow memusatkan perhatian pada proses aktualisasi diri manusia dalam menemukan identitasnya. Semua konsep pokok dalam teori Maslow mencoba menjelaskan bagajmana manusia bisa menemukan identitasnya sebagai manusia, “full humans". Istilah seperti “metamotif’, “growth need”, “being cognition”, ”peak experiences “authentic shelfbood" merupakan istiah-istilah pokok yang perlu dipahami apabila kita ingin memahami teori Maslow. Kaji banding yang dilaksankan dalam rangka upaya: 1. Tujuan dari pengembangan teori 2. Objek material dan objek formal 3. Ruang lingkup 4.Metodologi 5.konse-konsep pokok sebagai bagian sistematis teori. Adapun persyaratan yang ketiga yang harus dipenuhi bagi sebuah teorema ilmiah adalah fungsional atau applicable-nya. Untuk itu dipilih penerangan mawas diri pada subjek peneliti sebagai kasus. Cara ini ditempuh dengan beberapa alasan: 1. Asumsi dasar dari IlmuJiwa Kramadangsa adalah bahwa pada dasarnya rasa manusia itu sama., 'mulur-mungkret". 2. Ki Ageng Soerjomentaram menggali teori-teorinya dengan cara meneliti rasanya sendiri dalam proses yang biasa dikenal sebagai mawas diri. 3. Metode trans subjektif dan intersubjektif dalam psikologi memang sedang banyak dicobakan akhir-akhir ini. 4. Lepas dari cara menulis tesis, pengujian mawas diri seperti yang dilaksanakan dalam Kawruh jiwa memang telah dilakukan oleh penulis di luar kerangka penulisan tesis ini. Adapun hasil dari penelitian ini bisa diajukan demikian: 1. Penelitian terhadap ma tanggapan, dipilah-pilah menjadi rasa tanggapan terhadap benda, rasa tanggapan terhadap orang, dan rasa tanggapan terhadap gagasan .



 Tanggapan terhadap benda hidup dan benda mati berbeda sehingga rasa tanggapan terhadap benda ini bisa kita pilah-pilah menjadi rasa tanggapan terhadap benda mati, tumbuh-tumbuhan serta binatang. Rasa tanggapan ini dipengaruhi oleh hidup dan rasa aman.  Rasa tanggapan terhadap benda hidup, tumbuhan dan hewan mempunyai bangun dasar yang sama dengan tanggapan benda mati. Pengetahuan tentang benda hidup tersebut mempengaruhi tanggapan kita terhadap makhluk hidup tersebut. Muncul beberapa jenis ma yang tak ada pada tanggapan kita terhadap benda mati, seperti misalnya rasa “kasihan”, ketika makhluk hidup itu mari. Adapun rasa terhadap mmbuh-tumbuhan pun berbeda daripada rasa terhadap hewan. Rasa yang biasanya kita rasakan ketika kita me nanggapi diri sendiri, ada yang terasa ada pada waktu kita menanggapi diri sendiri, ada yang terasa ada pada waktu kira menanggapi makhluk hidup, misalnya hewan. Ada catatan rasa hubungan khusus, ketika sebuah pohon mati, hanya saja perlu dibedakan catatan rasa “eman” karena hubungan khusus ini, dengan catatan ma makhluk hidup.  Rasa tanggapan terhadap orang lain ternyata sangat berbeda dengan rasa tanggapan terhadap benda mati. Rasa itu bermacam-macam. serta bangunan. Rasa hidup tidak hanya terasa karena kita membutuhkan orang lain, tetapi lebih dalam dari itu, ada rasa sama yang dalam, yang terasa ketika orang tersebut meninggal. Rasa ini menjadi rumit karena bcrmacam-macamnya rasa catatan yang mengikat saya. Ketika saya melihat seseorang menangis, saya merasa sama karena saya pun pernah menangis. 2. Penelitian rasa catatan, dapat dipilah-pilah dalam beberapa kelompok. Ki Ageng Soerjomentaram membuat 11 kelompok catatan, di antaranya yang banyak disebutnya adalah drajat, semar, kramat Catatan-catatan ini menunjukkan betapa pentingnya yang dicatat itu bagi seseorang. Karenanya rasa catatan adalah rasa pamrih. Bangunan hidup dari catatan tersebut, yakni pengikatnya adalah Kramadangsa. 3. Penelitian rasa Kramadangsa bisa pula dilakukan dengan meneliti rasa kita dalam berhubungan dengan orang lain. Ki Ageng Soerdjomentaram membedakan antara rasa orang lain dengan rasa orang lain dalam rasa kita. Kita tidak mungkin merasakan rasa orang lain kemah dengan merasakannya dalam msa kita. Dengan demikian, maka perlu benar kepekaan untuk memisahkan dalam rasa kita, rasa kita sendiri serta rasa orang lain. Dengan cara mencari rasa sama antara rasa. Dalam penelitian Kawruh jiwa, “ilmu titen" mempunyai peran cukup penting. Dalam pelaksanaan mawas diri, selama ini dilaksanakan, dapatlah ditarik beberapa ke smpulan sementara yang berhubungan dengan morif atau dorongan untuk “ulah rasa" pertamatama adalah perbedaan rasa kebutuhan, antara kebutuhan yang intrinsik dan kebutuhan yang ekstrinstik dalam proses mawas diri ini. Kebutuhan untuk mawas diri karena kegiatan ini bertujuan untuk penelitian, bukan saja sering terasa dibuat-buat.



B. Ilmu Jiwa Kramadangsa: Sebuah Refleksi Dalam refleksi ini dipergunakan “cermin” teori-teori kefilsafatan kejiwaan, terutama dari para pemikir fenomenologi serta eksisrensialisme. Tujuan dari refleksi ini adalah untuk mencari makna dari seluruh kegiatan yang telah dilakukan dalam penelitian ini.



Pertama yang perlu dierefleksikan kembali adalah keyakinan-keyakinan tentang ilmu pengetahuan, baik dalam hal tujuan, objek formal maupun material, ruang lingkup, metodologi scna sitematika. Penetapan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan alam ke dalam iimu-ilmu manusia, telah memandang manusia melulu sebagai objek analisis, sehingga manusia tidak pernah ditangkap sebagai satu keutuhan. Kedua, Ilmu Jiwa Kramadangsa menjanijikan dalam pengolahannya suatu transformasi diri, artinya ilmu ini tidak bersemangatkan “mengetahui untuk menguasai”, tetapi memahami untuk mencintai. Demikianlah unsur rasa bukan penghalang dalam menemukan kebenaran, bahkan dalam pengertian “intuisi”, “insight”, rasa ini merupakan wahana mengolah diri ketika seseorang mengolah kenyataan “objektif ". Kebahagiaan bukanlah nilai yang ditempelkan dalam “ulah ngelmi". Ketiga, tentang aku serta identitas aku sebagaimana nampak dalam “ulah ngelmi' tersebut. Penelitian terhadap rasa telah menyadarkan aku akan posisi aku sebagai peneliti. Aku sebagai inti eksistensi telah mengada sebagai pra-self sebelum kemudian mentransendensikan diri menjadi “receptive self” , “afective self”, “individual self" serta akhirnya “transcendental self’, yang menjadi pengawas dari eksistensi manusia secara keutuhan. Keempat, pengawikan pribadi seperti yang terungkap dalam proses mawas diri, bukanlah pengetahuan untuk menguasai tetapi untuk menyatu dengan identitasnya, yakni orang Yang kongkrit. yang ungkapan pribadinya didorong Oleh rasa hidup dan dituntun oleh manusia tanpa ciri.