Vaksin Dan Imunisasi Dewasa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

A. VAKSIN DAN IMUNISASI PADA ORANG DEWASA Imunisasi adalah proses memicu sistem kekebalan tubuh seseorang secara artifisial yang dilakukan melalui vaksinasi (imunisasi aktif) atau melalui pemberian antibodi (imunisasi pasif). Vaksinasi adalah suatu tindakan dengan sengaja memberikan paparan pada suatu antigen berasal dari suatu patogen. Imunisasi aktif akan menstimulasi sistem imun host untuk menghasilkan antibodi dan respon imun selular untuk melindungi host dari agen penyebab. Imunisasi pasif dilakukan dengan cara memberikan antibodi yang dibentuk diluar tubuh host kedalam tubuh host. Pencegahan



imunisasi



merupakan kemajuan



besar



dalam



usaha



imunoprofilaksis. Belajar dari imuniasi anak, kelompok usia dewasa juga patut mendapat imunisasi. Bahkan, seperti dilansir dalam pertemuan tahunan American Society of Internal Medicine di Atlanta Amerika Serikat, tahun 2001, imunisasi dewasa dapat mencegah kematian seratus kali lipat dibanding pada anak. Jadi terdapat peluang besar untuk mencegah kematian orang dewasa melalui imunisasi. Upaya menggiatkan imunisasi dewasa perlu dimulai dengan meningkatkan kepedulian dan pemahaman petugas kesehatan terhadap pentingnya pencegahan. Penggunaan vaksin pada orang dewasa didasarkan pada beberapa faktor yaitu Health (Kesehatan), Age (Usia), Life Style (Gaya Hidup), dan Occupancy (Pekerjaan). 1. Faktor kesehatan yang perlu dipertimbangkan misalnya, apakah menderita penyakit kronis (jantung, diabetes, kanker, dan sebagainya), sedang



hamil,



memiliki



riwayat



STD



(sexually



transmitted



disease/penyakit seks menular), menderita penurunan imun termasuk HIV, dan sebagainya. 2. Faktor usia antara lain apakah klien termasuk usia dewasa produktif ataukah sudah tidak produktif. Kebutuhan vaksinasi orang usia produktif tentu berbeda dengan usia lanjut. 3. Faktor gaya hidup misalnya apakah seseorang menyukai seks bebas atau tidak, menyukai traveling atau tidak, dan sebagainya.



4. Jenis pekerjaan juga menentukan jenis vaksinasi yang dibutuhkan. Misalnya, faktor risiko seorang dokter tentu berbeda dengan seorang karyawan kantoran. Keempat faktor HALO inilah yang akan membantu pasien atau petugas kesehatan dalam memutuskan jenis vaksinasi yang akan diberikan. Selain HALO, ada variabel lain yang juga perlu dilihat, seperti riwayat vaksinasi, dan apakah ada kontraindikasi atau tidak, misalnya kehamilan, atau ada alergi terhadap bahan vaksin tersebut. Kelompok dewasa yang memerlukan imunisasi yaitu: 1. Usia lanjut --> Imunisasi Influenza 2. Penderita penyakit kronis seperti gagal ginjal--serta petugas kesehatan --> Influenza dan Hepatitis B 3. Penyedia makanan --> Tifoid 4. Perempuan muda --> Rubella dan HPV B. JENIS-JENIS VAKSIN PADA ORANG DEWASA 1. Influenza Influenza (flu) adalah penyakit yang mudah menular dan menyebar. Flu disebabkan oleh virus influenza yang disebarkan melalui batuk, bersin dan kontak erat. Setiap orang bisa terinfeksi flu tetapi resiko tertinggi yaitu pada anak dan orang lanjut usia (>65 tahun), wanita hamil dan seseorang yang menderita jantung, paru, ginjal. Gejala timbul segera dan menetap untuk beberapa hari. Gejala dapat berupa : a. Demam atau menggigil b. Nyeri tenggorok c. Nyeri pada otot d. Lelah e. Batuk f. Sakit kepala g. Hidung pilek atau tersumbat



1.1 Vaksin Influenza



Vaksin flu merupakan pelindung paling baik terhadap flu dan komplikasinya. Vaksin flu mencegah penyebaran flu terhadap orang sehat yang berhubungan dekat dengan penderita flu atau orang-orang yang berada disekitarnya. Vaksin flu yang beredar di Indonesia adalah vaksin flu inactivated (mati) atau



vaksin yang “dinonaktifkan” atau



“rekombinan”. Kedua vaksin ini tidak mengandung virus influenza hidup. Diberikan melalui suntikan dengan jarum dan sering disebut “suntikan flu”. Virus influenza selalu berubah-ubah. Setiap tahun, vaksin flu



dibuat



untuk



melindungi



terhadap



3-4



virus



yang



kemungkinan menyebabkan penyakit tahun itu. Vaksin flu tidak dapat mencegah semua kasus penyakit flu, namun merupakan pertahanan terbaik melawan penyakit flu. Membutuhkan waktu 2 minggu sebelum perlindungan ini berkembang setelah mendapat suntikan, dan perlindungannya bertahan selama beberapa bulan sampai satu tahun. Sebagian penyakit yang tidak disebabkan oleh virus influenza sering disalah mengerti sebagai flu. Vaksin flu tidak akan mencegah semua penyakit ini, melainkan hanya mencegah influenza. Sebagian vaksin influenza yang dinonaktifkan mengandung zat pengawet berbasis merkuri bernama thimerosal. Menurut beberapa penelitian, therimosal dalam vaksin tidaklah berbahaya, namun vaksin influenza yang tidak mengandung thimerosal juga tersedia. 1.2 Larangan Vaksinasi Sebagian orang ada yang tidak boleh mendapakan vaksin flu dengan ketentuan sebagai berikut : a) Jika seseorang mengalami alergi apapun yang parah dan mengancam nyawa. Jika pernah mengalami reaksi alergi yang mengancam nyawa setelah mendapatkan satu dosis vaksin flu, atau menderita alergi yang parah terhadap bagian



apapun dari vaksin ini, termasuk (misalnya) alergi terhadap gelatin, antibiotik, atau telur, sebaiknya tidak mendapatkan vaksin ini. Sebagian besar, tetapi tidak semua jenis vaksin flu mengandung sedikit protein telur. b) Jika seseorang pernah menderita Guillain-Barré Syndrome (GBS/ kelumpuhan yang parah). Sebagian orang yang memiliki riwayat GBS tidak boleh mendapatkan vaksin ini. c) Jika seseorang sedang tidak enak badan. Biasanya tidak apaapa mendapat vaksin flu saat sedang menderita sakit ringan, namun sebaiknya menunggu sampai merasa baikan. 1.3 Risiko Reaksi Vaksin Seperti layaknya obat manapun, vaksinasi dapat mengakibatkan efek samping, yang biasanya ringan dan akan hilang sendiri. Masalah yang dapat terjadi setelah seseorang mendapatkan vaksin flu adalah sebagai berikut. a) Pingsan sesaat bisa terjadi setelah menjalani prosedur medis apapun, termasuk vaksin. Duduk atau berbaring selama kirakira 15 menit dapat membantu mencegah pingsan dan cedera akibat jatuh. Komunikasikan dengan tenaga medis jika merasa pening, mengalami perubahan penglihatan, atau telinga terasa berdering. b) Bisa terjadi nyeri yang parah pada bahu dan gerakan yang berkurang pada lengan di mana suntikan diberikan setelah mendapat vaksin, namun hal ini jarang terjadi. c) Reaksi alergi yang parah akibat vaksin jarang sekali terjadi, diperkirakan kurang dari 1 dalam satu juta dosis. Jika sampai terjadi, biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam setelah mendapat vaksin. Masalah ringan yang dapat timbul setelah mendapatkan vaksinasi flu yang dinonaktifkan antara lain : nyeri, kemerah merahan atau bengkak pada bagian tubuh yang mendapat suntikan, suara serak, mata sakit, mata memerah atau gatal, batuk,



demam, nyeri, pusing, gatal dan letih. Jika masalah - masalah tersebut terjadi, biasanya dimulai segera setelah mendapat suntikan dan berlangsung selama 1-2 hari. Salah satu contoh yang harus diperhatikan sebagai reaksi dari vaksin yaitu tanda-tanda reaksi alergi yang parah bisa berupa berupa kesulitan bernafas, hives (penyakit gatal dengan bintikbintik merah), bengkak pada wajah dan tenggorokan, merasa lemah, detak jantung menjadi cepat dan pening. Reaksi ini bisa berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam setelah vaksinasi. 2. Vaksinasi Hepatitis B Hepatitis B adalah penyakit serius yang mempengaruhi liver. Penyebabnya adalah virus hepatitis B (HBV). Hepatitis B bisa mengakibatkan : Penyakit yang akut (dalam jangka waktu lama) yang



mengakibatkan: hilang nafsu makan , diare dan



muntah , letih, kuning (kulit atau mata menjadi kuning), rasa sakit pada otor, tulang sendi, dan perut. Penyakit yang akut lebih sering terjadi pada orang dewasa. Anak-anak yang tertular biasanya tidak menunjukkan gejala, tapi infeksi ini tetap menjadi sangat serius dan dapat mengakibatkan: kerusakan liver (sirosis) , kanker liver , kematian. Virus Hepatitis B mudah tersebar melalui kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya dari orang yang tertular. Orangorang juga bisa tertular bila mengalami kontak dengan obyek yang terkontaminasi, di mana virus ini bisa bertahan hidup hingga 7 hari. Seseorang bisa tertular melalui: a. Bayi yang ibunya tertular bisa ketularan saat dilahirkan. b. Anak-anak, remaja, orang dewasa bisa tertular melalui kontak. dengan darah dan cairan tubuh melalui kulit yang terbuka seperti gigitan, sayatan, atau luka memar.



c. Kontak dengan benda-benda yang bisa dihinggapi oleh darah atau cairan tubuh manusia, misalnya sikat gigi, alat cukur, atau alat pemantau dan alat perawatan penyakit diabetes. d. Melakukan hubungan seks tanpa pengaman dengan orang yang tertular. e. Berbagi jarum saat menyuntikkan obat tertusuk jarum bekas. 2.1 Vaksinasi Hepatitis B Vaksinasi Hepatitis B bisa mencegah hepatitis B, dan beberapa akibat serius dari infeksi Hepatitis B , termasuk kanker liver dan sirosis. Vaksinasi Hepatitis B secara rutin pada anak-anak di AS dimulai pada tahun 1991. Sejak saat itu, kasus hepatitis B akut di kalangan anak-anak dan remaja dilaporkan mengalami penurunan hingga lebih dari 95% - dan hingga 75% pada semua kelompok usia. Vaksinasi Hepatitis B bisa diberikan secara tersendiri atau dalam suntikan yang sama bersama vaksin lain. Vaksinasi Hepatitis B yang rutin disarankankan untuk sebagian orang dewasa dan anak anak di Amerika pada tahun 1982, dan untuk semua anak pada tahun 1991. Vaksinasi



memberikan



perlindungan



jangka



panjang



terhadap infeksi Hepatitis B, dan mungkin seumur hidup. Berikut adalah klasifikasi pemberian vaksin Hepatitis B. a. Anak-anak dan Remaja, biasanya bayi mendapatkan 3 dosis vaksin Hepatitis B: Dosis pertama: Saat lahir Dosis ke dua: usia 1-2 bulan Dosis ke tiga: usia 6-18 bulan Sebagian bayi mungkin diberi 4 dosis, misalnya jika menggunakan vaksin campuran yang mengandung Hepatitis B . (Satu kali suntikan yang mengandung beberapa vaksin.) Dosis ekstra tidak membahayakan. Semua orang sampai usia



18 tahun yang belum pernah mendapatkan vaksinasi ini sebaiknya juga divaksinasi. b. Orang Dewasa Semua orang dewasa yang belum divaksinasi yang beresiko tertular Hepatitis B sebaiknya divaksinasi. Termasuk di antaranya: 1) Pasangan seks orang yang tertular HBV 2) Pria yang berhubungan seks dengan sesama jenis 3) Orang-orang yang menyuntikkan narkoba yang dijual di jalanan 4) Orang-orang yang memiliki pasangan seks lebih dari satu 5) Penderita penyakit liver kronis atau penyakit ginjal 6) Orang-orang yang pekerjaannya membuat mereka terekspos pada darah manusia atau cairan tubuh lainnya 7) Penderita diabetes di bawah usia 60 tahun 8) Kontak dengan anggota keluarga di rumah yang tertular Hepatitis B 9) Penghuni dan staf panti untuk penderita cacat 10) Penderita cuci ginjal 11) Orang-orang yang bepergian ke negara-negara yang lazim terdapat Hepatitis B 12) Penderita infeksi HIV Mungkin orang-orang lain disarankan oleh dokter mereka untuk mendapatkan vaksin hepatitis B. Misalnya: penderita diabetes usia 60 tahun ke atas. Semua orang lain yang ingin terlindung dari infeksi hepatitis B bisa divaksinasi. Wanita hamil yang berisiko mengalami salah satu hal di atas sebaiknya divaksinasi. Wanita hamil lainnya yang ingin mendapat perlindungan juga bisadivaksinasi. Orang dewasa yang mendapat vaksin hepatitis B sebaiknya diberi 3 dosis – di mana dosis ke dua diberikan 4 minggu



setelah dosis pertama dan dosis ke tiga diberikan 5 bulan setelah dosis ke dua. Dokter Anda akan memberitahu jadwal pemberian dosis Anda yang bisa digunakan dalam keadaan tertentu. 2.2 Yang Sebaiknya tidak Divaksinasi a. Siapapun yang menderita alergi yang mengancam nyawa terhadap ragi atau terhadap bahan apapun dari vaksin ini tidak boleh mendapatkan vaksinasi hepatitis B. Beritahu dokter Anda jika anak Anda menderita alergi yang parah. b. Siapapun



yang



pernah



menderita



reaksi



alergi



yang



membahayakan nyawa terhadap dosis vaksinasi Hepatitis B tidak boleh diberi dosis vaksin ini lagi. c. Siapapun yang menderita penyakit kadar sedang atau ringan saat jadwal vaksin ini harus menunggu sampai sembuh dulu. Dokter Anda bisa memberikan informasi lebih jauh mengenai tindakan pencegahan ini. Catatan: Mungkin Anda diminta menunggu selama 28 hari sebelum menyumbang darah setelah mendapat vaksin hepatitis B. Karena tes penyaringan bisa salah mengartikan vaksin dalam aliran darah (yang bukan merupakan infeksi) sebagai infeksi hepatitis B. 2.3 Risiko Vaksinasi Hepatitis B Hepatitis B adalah vaksin yang sangat aman. Sebagian besar orang tidak mengalami masalah dengannya. Vaksin ini mengandung bahan yang tidak menular dan tidak menyebabkan infeksi hepatitis B. Menurut laporan masalah ringan berikut ini pernah terjadi: a. Rasa nyeri pada bagian tubuh yang disuntik (dialami oleh hingga kira-kira 1 di antara 4 orang). b. Suhu tubuh mencapai 99,9°F atau lebih (dialami oleh hingga kira-kira 1 di antara 15 orang). Masalah yang berat jarang terjadi. Reaksi alergi yang parah diyakini terjadi sekitar satu kali dalam 1,1 juta dosis. Seperti



layaknya obat manapun, vaksinasi dapat mengakibatkan reaksi yang serius. Tetapi resiko vaksinasi yang menyebabkankeadaan berbahaya yang serius atau kematian termasuk kecil. Lebih dari 100 juta penduduk Amerika telah mendapatkan hepatitis B. Apabila terjadi keadaan apapun yang tidak lazim, misalnya demam tinggi atau perubahan perilaku. Tanda-tanda reaksi alergi yang parah dapat berupa kesulitan bernafas, serak atau tersengalsengal, hives (penyakit gatal dengan bintik-bintik merah), pucat, merasa lemah, detak jantung yang cepatr atau pening. Maka hubungi dokter atau langsung antarkan orang tersebut ke dokter. Ceritakan kejadiannya pada dokter, termasuk tanggal dan jamnya, dan kapan vaksinasi tersebut diberikan. Mintalah dokter Anda melaporkan reaksi alergi tersebut dengan mengisi formulir Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS). 3. Vaksinasi Demam Kuning Program imunisasi aktif dilakukan bagi semua bayi berusia 9 bulan ke atas yang oleh karena tempat tinggal, pekerjaanya, atau karena melakukan perjalanan yang menyebabkan mereka mempunyai risiko terpajan dengan infeksi. Satu dosis injeksi subkutan vaksin yang mengandung biakan virus strain 17D dari demam kuning pada embrio ayam, efektif memberi perlindungan hingga 99%. Antibodi terbentuk 7 – 10 hari setelah imunisasi dan bertahan sedikitnya hingga 30 – 35 tahun, mungkin lebih lama. Walaupun demikian imunisasi ulang diharuskan bagi orang yang bepergian ke daerah endemis dalam jangka waktu 10 tahun sesuai dengan International Health Regulation. Sejak tahun 1989 WHO menyarankan bagi negara-negara Afrika yang termasuk didalam apa yang disebut dengan endemic – epidemic belt agar memasukkan vaksin demam kuning kedalam imunisasi rutin mereka yang diberikan pada usia bayi. Sejak bulan Maret 1998 ada 17 negara Afrika yang telah melaksanakan anjuran



tersebut, namun hanya dua negara saja yang mencapai cakupan 50%. Vaksin demam kuning tidak boleh diberikan kepada bayi kurang dari usia 4 bulan.Vaksinasi terhadap bayi usia 4 – 9 bulan hanya diberikan dengan pertimbangan yang sangat kuat bahwa bayi tersebut benar-benar berisiko tertular oleh demam kuning oleh karena kemungkinan mereka terpajan sangat besar. Pemberian vaksinasi pada usia ini dengan memperhitungkan kemungkinan terjadinya ensefalitis pasca vaksinasi. Oleh karena vaksin demam kuning mengandung virus hidup, maka tidak boleh diberikan kepada orang dimana pemberian vaksin yang mengandung virus hidup merupakan kontra indikasi. Begitu pula tidak boleh diberikan kepada ibu hamil pada trimester pertama kecuali bahwa risiko tertulari demam kuning lebih besar daripada risiko vaksinasi terhadap kehamilan. Walaupun belum pernah dilaporkan adanya kematian janin pada wanita hamil yang diberikan vaksinasi demam kuning, serokonversi maternal sangat rendah oleh karena itu perlu diberikan vaksinasi ulang setelah melahirkan. Pemberian vaksinasi dianjurkan bagi penderita HIV yang asimptomatis. Tidak ada bukti yang cukup bahwa pemberian vaksinasi pada penderita HIV yan simptomatik membahayakan penderita tersebut untuk terkena demam kuning. 4. Campak 4.1 Definisi Campak Campak adalah suatu infeksi virus yang sangat menular, yang ditandai dengan demam, batuk, konjungtivitis (peradangan selaput ikat mata/konjungtiva) dan ruam kulit. Campak disebabkan oleh paramiksovirus. Penularan terjadi melalui percikan ludah pada hidung, mulut maupun tenggorokan penderita campak yang terhirup oleh orang yang sehat. Penderita bisa menularkan infeksi ini dalam waktu 2-4 hari sebelum timbulnya ruam kulit dan selama ruam kulit ada. Sebelum vaksinasi campak digunakan secara



meluas, wabah campak terjadi setiap 2-3 tahun. Jika seseorang pernah menderita campak, maka seumur hidupnya dia akan kebal terhadap penyakit ini. Pada anak yang sehat dan gizinya cukup, campak jarang berakibat serius. Orang-orang yang rentan terhadap campak adalah bayi berumur lebih dari 1 tahun, bayi yang tidak mendapatkan imunisasi, remaja serta dewasa yang belum mendapatkan imunisasi kedua. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan ruam kulit yang khas.



4.2 Vaksin Campak Vaksin campak pada bayi telah didapatkan dari gen ibunya saat masih mengandung (jika ibunya kebal campak), kemudian vaksin imunisasi saat balita (imunisasi aktif yang berupa virus yang telah dijinakkan namun efek sampingnya adalah panas tinggi beberapa saat dan imuninasi pasif yang merupakan imunisasi untuk menurunkan morbili). Vaksin campak diciptakan Enders pada akhir tahun 1954 dengan banyak perkembangan diakibatkan oleh efek sampingnya yang cukup berbahaya. Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-anak. Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan campak Jerman (vaksin MMR/mumps, measles, rubella), disuntikkan pada otot paha atau lengan atas. Jika hanya mengandung campak, vaksin diberikan pada umur 9 bulan. Dalam bentuk MMR, dosis pertama diberikan pada usia 12-15 bulan, dosis kedua diberikan pada usia 4-6 tahun.



Vaksinasi campak tidak dapat dilakukan sejak lahir karena vaksin tidak efektif apabila masih ada antibodi maternal, surveillan's campak lebih sulit. Vaksin virus campak mati digunakan pada tahun 1963 sampai 1967, maka konsekuensinya adalah bahwa penyakit ini kini hanya dapat dijumpai pada orang dewasa. Penderita campak dewasa lebih lama sembuh dibandingkan dengan penderita anak-anak. Semua orang dewasa yang lahir setelah tahun 1957–terlebih jika belum pernah mendapat vaksinasi MMR saat masih



kecil



atau



remaja



dan



belum



pernah



menderita



rubella/campak. Setidaknya, perlu 1 dosis vaksin MMR kapan saja. Namun, jika sering bepergian ke mancanegara atau hasil tes darah untuk campak menunjukkan tak ada imunitas, perlu dosis ke-2 dengan jarak tak kurang dari 4 minggu setelah dosis pertama. 5. Tifoid 5.1 Definisi Tifoid Penyakit ini dikenal dengan nama tifus, disebabkan karena bakteri Salmonella Typhi. Penderitanya akan mengalami demam tinggi (> 40ºC), menggigil, sakit kepala, kelelahan, dan kehilangan nafsu makan. Gejala lain yang juga sering timbul adalah gangguan pencernaan, seperti sakit perut, mulas, dan diare. Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi klinik ringan. Makin muda umur anak, gejala klinis demam tifoid makin tidak khas. Perbedaan lain antara demam tifoid pada anak dan dewasa adalah mortalitas demam tifoid pada anak lebih rendah bila dibandingkan dewasa. Resiko terjadinya komplikasi fatal terutama dijumpai pada anak lebih besar dengan manifestasi klinis berat, menyerupai kasus dewasa. 5.2 Vaksin Tifoid Semua orang dewasa memerlukan vaksin tifoid–khususnya jika sering bepergian ke daerah endemis tifoid. Namun, vaksin tifoid tidak dapat diberikan pada penderita gangguan kesehatan yang berhubungan dengan masalah penurunan sistem imunitas tubuh,



seperti penderita kanker dan pengguna steroid karena efek sampingnya cukup berbahaya yaitu memicu penyakit degeneratif untuk semakin berkembang. Hanya ada 1 dosis vaksin untuk demam tifoid yang dapat bertahan selama 3 tahun. Ada dua jenis vaksin tifoid: Vaksin hidup yang diberikan melalui mulut (oral) dan Vaksin mati yang diberikan melalui suntikan. Dianjurkan penggunaannya



pada



pekerja



jasa



boga,



wisatawan



yang



berkunjung ke daerah endemis. Pemberian vaksin Thypim vi perlu diulang setiap 3 tahun. 5.3 Jenis-jenis Vaksin di Indonesia Di Indonesia telah ada 3 vaksin tifoid, yaitu: 1. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik. Lama proteksi 5 tahun. 2. Vaksin parenteral sel utuh: Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi demam, hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama. 3. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar



dengan



penderita



karier



laboratorium/mikrobiologi kesehatan. 6. Vaksin Tetanus



tifoid



dan



petugas



6.1 Definisi Tetanus Vaksin Tetanus adalah vaksin yang terdiri dari toksin yang tidak aktif. Vaksin ini imunogenik (merangsang sistem kekebalan), namun tidak patogenik (tidak menyebabkan penyakitnya) dan digunakan untuk mencegah seseorang terkena tetanus. Tetanus, dikenal juga dengan Lockjaw atau Trismus adalah penyakit yang disebabkan karena bakteri Clostridium tetani yang masuk ke dalam tubuh melalui luka yang terbuka dan bakteri tersebut mengeluarkan racun yang bernama tetanospasmin. Penyakit ini fatal dan mematikan karena racunnya menyerang sistem saraf yang menghambat penyampaian impuls saraf dari saraf spinal ke otot. Namun penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian suntikan Tetanus beberapa dosis diikuti booster 10 tahun sekali. 6.2 Sediaan Vaksin Tetanus 1. Jenis DPT (Difteri – Pertusis whole cell – Tetanus) 2. Jenis Tdap (Difteri – acellular Pertusis – Tetanus) 3. Jenis Td (Difteri – Tetanus) 4. Jenis TT (Tetanus Toxoid – hanya tetanus saja) 6.3 Cara Kerja Vaksin Tetanus Jenis vaksinasi untuk penyakit ini disebut kekebalan aktif buatan. Kekebalan tubuh ini dihasilkan ketika kuman mati atau lemah yang memasuki tubuh dan merangsang respon imun sehingga tubuh memproduksi antibodi. Hal ini bermanfaat bagi tubuh karena suatu saat jika penyakit aslinya datang ke dalam tubuh, sistem kekebalan tubuh akan mengenali antigen dan memproduksi antibodi lebih cepat. Setelah suntikan pertama kali timbul rangsangan terhadap tubuh untuk membentuk antibodi toksin tetanus. Dia terdapat dalam serum setelah 7 hari suntikan pertama, kemudian titernya menarik



dan pada hari ke-28. Kalau pada hari ke-28 itu diberikan suntikan kedua, titernya akan menanjak terus dan akan mencapai 1,0 i.u pada hari ke 60 yaitu jauh di atas garis proteksi minimal walau kemudian ada penurunan, diperkirakan titer itu akan tetap berada di atas garis proteksi minimal selama 5 tahun. Bila suntikan ketiga diberikan 6 bulan sesudah suntikan kedua, titernya jauh lebih tinggi, walau kemudian akan ada penurunan, tetapi tetap berada di atas garis proteksi minimal sampai 10 tahun, bahkan 15 – 20 tahun yang didapatkan pada 85 – 95 % personil perang dunia kedua. 6.4 Cara Pemberian Vaksin Tetanus Setiap vaksin memiliki tempat suntikan tertentu dan waktu suntikan (Namun, jeda waktu injeksi memiliki rentang toleransi karena setiap individu berbeda). Karena DTaP dan DT yang diberikan untuk bayi, lokasi yang direkomendasikan untuk injeksi adalah otot paha anterolateral. Namun, vaksin ini dapat disuntikkan ke dalam otot deltoid jika diperlukan. DtaP pada anak diberikan dalam empat dosis. Dosis pertama harus berusia sekitar dua bulan, kedua pada usia empat bulan, ketiga di enam bulan usia, dan keempat dari lima belas bulan usia delapan belas bulan usia. Ada dosis kelima yang disarankan kepada empat sampai enam tahun usia. TD dan TDaP diberikan kepada anak-anak, remaja, dan orang dewasa jadi karena itu disuntikkan ke dalam otot deltoid. Suntikan lanjutan ini adalah booster (dosis penguat), karena itu harus diberikan setidaknya setiap sepuluh tahun. Namun tidak ada namanya over dosis vaksin walaupun diberikan dalam waktu kurang dari 10 tahun. 6.5 Indikasi Pemberian Vaksin Tetanus 1. Guidelines Vaksinasi Td dalam Kehamilan



Pedoman di Amerika Serikat untuk ibu hamil menegaskan bahwa jika dibutuhkan untuk perlindungan tetanus, vaksin Td harus diberikan pada ibu hamil. Jika ibu hamil sudah mendapatkan vaksin tetanus sebelumnya, vaksinasi Td harus ditunda sampai periode pasca melahirkan. Semua wanita pasca melahirkan yang belum menerima vaksin Td atau Tdap dalam dua tahun terakhir yang direkomendasikan untuk menerima Tdap sebelum keluar dari Rumah Sakit. Jika ibu hamil belum pernah mendapatkan sama sekali vaksin tetanus (DTP, DTaP atau DT waktu masa kanak-kanaknya atau Td atau TT saat sudah dewasa), sangat dianjurkan untuk menerima tiga vaksinasi Td mulai selama kehamilan untuk memastikan perlindungan terhadap tetanus ibu dan bayi. Dalam kasus tersebut, Tdap diberikan setelah hamil 20 minggu dan selanjutnya dapat diberikan Td saja. Remaja – Dewasa – Manula perlu mendapatkan vaksin tetanus untuk melindungi diri dari tetanus jika suatu saat terjadi luka di kulitnya. Pasien yang mengalami kecelakaan dengan luka berisiko tetanus (Tetanus prone wound). Syarat luka ini adalah sebagai berikut : a. Patah tulang terbuka, b. Luka gigitan, c. Luka tusuk dalam, d. Luka tertancap benda asing (kesusupan kayu), e. Luka yang kemungkinan terinfeksi oleh bakteri pyogen, f. Luka dengan kerusakan jaringan hebat (luka memar dan bakar) dan Luka terkontaminasi dengan tanah debu atau kotoran kuda (terlebih lagi jika desinfeksi luka lebih dari 4 jam setelah kejadian) g. Gigi palsu yang ditanam lepas : perlu kumur dengan antiseptik agar reimplantasi gigi berhasil baik. Indikasi Imunisasi pada Luka



DATA VAKSINASI



LUKA BERSIH



LUKA KOTOR



Tetanus Tetanus



Tetanus Tetanus



Toksoid Antitoksin Toksoid Antitoksin Tidak pernah mendapatYa vaksinasi diketahui Satu kali



atau



Tidak



Ya



Ya



Tidak



Ya



Ya



Tidak



Ya



Ya



tidak



mendapatYa



vaksinasi tetanus Dua



kali



mendapatYa



vaksinasi tetanus Tiga



kali



mendapatTidak/Ya Tidak



Tidak/Ya Tidak/Ya



vaksinasi tetanus Penalataksanaan Imunisasi pada Luka Tetanusdose a) Imunisasi aktif. Tetanus toksoid (TFT = VST = vaksin serap tetanus) diberikan dengan dosis sebanyak 0,5 cc IM, diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut – turut. DPT (Dephteri Pertusis Tetanus) terutama diberikan pada anak. Diberikan pada usia 2 – 6 bulan dengan dosis sebesar 0,5 cc IM, 1 x sebulan selama 3 bulan berturut – turut. Booster diberikan pada usia 12 bulan, 1 x 0,5 cc IM, dan antara umur 5 – 6 tahun 1 x 0,5 cc IM. b) Tetanus toksoid. Imunisasi dasar dengan dosis 0,5 cc IM, yang diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut – turut. Booster (penguat) diberikan 10 tahun kemudian setelah suntikan ketiga imunisasi dasar, selanjutnya setiap 10 tahun setelah pemberian booster di atas. Setiap penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada saat cedera, baik sebagai imunisasi dasar maupun sebagai booster, kecuali bila



penderita



telah



mendapatkan



booster



menyelesaikan imunisasi dasar dalam 5 tahun, terakhir.



atau



c) Imunisasi Pasif. merupakan



ATS (Anti Tetanus Serum), dapat



antitoksin bovine (asal



lembu)



maupun



antitoksin equine (asal kuda). Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 1500 IU per IM, dan untuk anak adalah 750 IU per IM. Human Tetanus Immunoglobuline (asal manusia), merk di pasaran adalah Hypertet. Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 250 IU per IM (setara dengan 1500 IU ATS), sedang untuk anak – anak adalah 125 IU per IM. Hypertet diberikan bila penderita alergi terhadap ATS yang diolah dari hewan. Pemberian imunisasi pasif tergantung dari sifat luka, kondisi penderita, dan status imunisasi. Pasien yang belum pernah mendapat imunisasi aktif maupun pasif, merupakan keharusan untuk diimunisasi. Pemberian imunisasi secara IM, jangan sekali – kali secara IV. Kerugian hypertet adalah harganya yang mahal, sedangkan keuntungannya pemberiannya tanpa didahului tes sensitivitas. Tindakan profilaksis Jenis Luka



Belum



imunisasi Mendapat



atau sebagian Ringan, bersih



Mulai



lengkap 1 – 5 tahun atau –



Imunisasi



Aktif



yang



5 – 10 tahun > 10 tahun Toks. 0,5 cc



Toks. 0,5 cc



Toks. 0,5 cc



ATS



melengkapi Imunisasi toks. 0,5 cc hingga lengkap Berat, bersih, atau ATS 1500 IUToks. Toks. 0,5 cc cenderung tetanus 0,5 cc



1500



IUToks. 0,5 cc



Cenderung tetanus, ATS 1500 IUToks. Toks. 0,5 cc



Toks.



debrimen



ccABT



0,5



terlambat,m



ccHingga



0,5 ATS



1500



IUToks. 0,5



atau lengkap ABT



ccABT



tidak bersih Keterangan : ATS



1500



IU



setara



dengan



HTIG



(Humane



Tetanus



Immunoglobuline) 250 IU. Pada anak – anak dosis ATS



=



Toks



=



dosis dewasa Toksoid



(vaksin



serap



tetanus) ABT



=



antibiotika dosis tinggi yang



sesuai untuk Clostridium tetani Efek Samping Demam, kemerahan, pembengkakan di sekitar suntikan, dan rasa sakit atau nyeri di tempat suntikan. Ada kasus yang dilaporkan nyeri tubuh dan kelelahan setelah suntikan Tdap (sampai sekitar 3 di 100). 7. Vaksin Meningitis 7.1 Definisi Meningitis Meningitis adalah radang membran pelindung sistem syaraf pusat. Penyakit meningitis dapat disebabkan mikroorganisme, luka fisik, kanker, atau obat-obatan tertentu. Meningitis adalah penyakit serius karena letaknya dekat otak dan tulang belakang, sehingga dapat menyebabkan kerusakan kendali gerak, pikiran, bahkan kematian. Tingkat kematiannya berkisar antara 5-10 persen dan rata-rata terjadi dalam 24-48 jam setelah gejala muncul. Penderita yang bisa sembuh kemungkinan besar mengalami gejala sisa akibat kerusakan otak seperti tuli dan buta. Daerah endemik meningitis membentang dari Senegal hingga Etiopia, yang disebut sebagai area sabuk meningitis. Wilayah Timur Tengah seperti Arab Saudi juga termasuk dalam kawasan itu.



Pencegahan meningitis paling efektif adalah dengan imunisasi (vaksinasi) meningitis. vaksinasi meningitis meningokokal tidak diberikan secara rutin Vaksinasi meningitis paling efektif dan aman dan dapat memberikan perlindungan selama tiga tahun terhadap serangan penyakit meningitis. Vaksin meningitis dianjurkan bagi orang lanjut usia dan penderita penyakit kronis seperti asma, paruparu kronis, jantung, diabetes, ginjal, gangguan sistem imunitas tubuh, kelainan darah, dll. Vaksin meningitis diwajibkan bagi jemaah haji. Tanpa imunisasi meningitis, dikhawatirkan para jemaah yang tertular meningitis ketika menunaikan ibadah haji, akan membawa pulang kuman meningitis dan menimbulkan wabah meningitis di Indonesia. Vaksin ini boleh diberikan kepada ibu hamil (dengan pertimbangan manfaat yang diperoleh lebih besar dari risiko) dan ibu menyusui. 7.2 Vaksin Meningitis Meningokokus Tetravalen Berbagai usaha untuk membuat vaksin meningitis meningokokus telah dilakukan. Mula-mula digunakan vaksin yang terbuat dari seluruh bakteri yang dimatikan, kemudian dibuat dari toksin yang dilarutkan, dan yang terakhir dibuat dari polisakarida (PS) dan membran protein bagian luar (outer membran protein, OMP ) dari bakteri yang digunakan saat ini. Vaksin bersifat sel T independen dan mengandung polisakarida dari masing-masing serogrup kuman. Vaksin yang tersedia di pasaran saat ini adalah vaksin meningitis meningokokus A,C (bivalen) dan vaksin tetravalen yang terbuat dari kuman serogrup A, C, Y, dan W-135. Vaksin meningitis meningokokus grup B sampai saat ini belum tersedia. Penambahan grup Y dan W-135 terjadi karena 20% dari kasus meningitis meningokokus disebabkan oleh serogrup tersebut. Vaksin tetravalen yang ada saat ini mengandung 50 ug polisakarida dari masing-masing serogrup A, C, Y, dan W-135 serta diberikan melalui suntikan subkutan. Di Amerika, vaksin ini mendapat lisensi pada 1981. Selain itu, vaksin serupa dibuat di Belgia dan Perancis.



Imunogenisitas terhadap polisakarida serogrup Y dan W-135 telah dievaluasi pada orang dewasa dan anak-anak, serta diketahui dapat sebanding dengan polisakarida serogrup A dan C. Keamanan dari vaksin tetravalen terbukti tidak berbeda dengan vaksin bivalen. Vaksin ini meningkatkan titer antibodi bakterisidal 4 kali pada orang dewasa, 3--4 minggu setelah imunisasi. Lebih dari 90% orang dewasa memberikan respons terhadap imunisasi dengan kenaikan titer antibodi bakterisidal 4 kali atau lebih. Titer antibodi bakterisidal terhadap polisakarida Y dan W-135 naik dari kurang dari 4 kali sampai mencapai kira-kira 512 kali. Efikasi vaksin bivalen maupun tetravalen telah diuji di lapangan. Vaksin polisakarida dapat menginduksi kekebalan dan melindungi penyakit, tetapi pada anak-anak tergantung pada umur dan bervariasi menurut serogrupnya. Vaksin memberikan perlindungan jangka pendek, yaitu selama 3 tahun. 7.3 Penggunaan Vaksin Meningitis Di Amerika, vaksinasi hanya disarankan untuk mengotrol wabah. Vaksinasi rutin hanya dianjurkan untuk orang yang akan bepergian ke negara yang dikenal sebagai daerah epidemi atau endemis meningitis meningokokus, seperti Nepal, Arab Saudi, Kenya, dan daerah lingkar meningitis di Sub sahara Afrika. Bila serogrup A, C, Y, W-135 diidentifikasi sebagai penyebab penyakit, di beberapa negara dianjurkan pemberian vaksinasi segera dengan vaksin bivalen atau tetravalen untuk kontak dekat penderita, dan diberikan pada umur di atas 3 bulan2. Serogrup Kuman Meningitis yang Diisolasi dari Jemaah Haji Penderita dan Orang Kontak Pada 1996, dalam melakukan pengamatan penyakit meningitis meningokokus, di Indonesia telah diadakan pelatihan bagi petugas laboratorium daerah. Pelatihan dilakukan di Badan Litbangkes bersama-sama



dengan



Puslabkes



dan



Ditjen



P2M



PLP.



Selanjutnya, pemeriksaan dilakukan di embarkasi/debarkasi haji masing-masing di mana terdapat penderita. Hasil pemeriksaan kuman pada tabel 1 menunjukkan bahwa sejak 1996 serogrup kuman yang diisolasi dari orang kontak penderita



dalam kloter, meliputi semua serogrup kecuali serogrup Y. Pada 2000, pada sampel acak dari kloter yang di dalamnya terdapat penderita meningitis, baik yang diisolasi dari pusat maupun yang berasal dari propinsi Jateng, ditemukan 10 orang pengidap (carrier) serogrup W-135. Jumlah jemaah haji Indonesia penderita meningitis pada 2000 sebanyak 14 orang. Enam orang di antaranya meninggal di Arab Saudi dengan penyebab kematian yang diduga disebabkan meningitis meningokokus serogrup W-135. Selain itu, dua orang lainnya meninggal di Indonesia tanpa sempat dilakukan pemeriksaan kuman. Tabel 2 menunjukkan jumlah kasus meningitis meningokokus pada jemaah haji dan orang kontaknya yang dilaporkan dari berbagai negara. Tabel tersebut menunjukkan bahwa penyebab penyakit yang terbanyak adalah serogrup W-1354. Hasil usap nasofaring 100 orang jemaah haji dari 2 kloter embarkasi Jakarta yang diambil secara acak dan diperiksa di Puslitbang Pemberantasan Penyakit yang dilakukan pada 2001, menemukan 12 orang pengidap serogrup W-135 (Tabel 1). N. meningitidis serogrup W-135 merupakan isolat yang banyak ditemukan pada pengidap jemaah haji Indonesia selama 2 tahun berturur-turut, sedangkan serogrup B tidak ditemukan. Pada 2001, terdapat 18 orang penderita dan 6 orang jemaah haji Indonesia meninggal di Arab Saudi. Dua di antaranya disebabkan oleh serogrup W-135 (WHO). Tabel 35. Pada 2000 dan 2001, telah terjadi peningkatan jumlah penderita yang disebabkan oleh serogrup W-135 di berbagai negara, termasuk Indonesia. Selama ini, beberapa negara masih menggunakan vaksin bivalen yang tidak mengandung kuman W-135. 7.4 Pertimbangan dalam Menentukan



Penggunaan



Vaksin



Tetravalen Sampai saat ini, Indonesia masih melakukan imunisasi meningitis meningokokus menggunakan vaksin bivalen yang mengandung kuman N. meningitidis serogrup A dan C. Meningkatnya jumlah penderita meningitis yang disebabkan oleh serogrup W-135 telah



mendorong perlunya penggunaan vaksin meningitis meningokokus tetravalen. Berbagai pertimbangan yang mendasari penggunaan vaksin tetravalen untuk jemaah haji Indonesia adalah: 1. Beberapa tahun terakhir ada kecenderungan meningkatnya kasus meningitis meningokokus serogrup W-135 pada jemaah haji di Indonesia dan beberapa negara lain. 2. Terjadinya siklus epidemik di daerah meningitis belt Afrika. 3. Banyaknya penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan ke negara Timur Tengah, yang terdiri dari jemaah haji 205.000/ tahun, umroh 80.000/tahun , dan tenaga kerja sebanyak 120.000/ tahun. Selain itu, cakupan vaksinasi terutama pada jemaah umroh dan TKI masih rendah, sehingga masih perlu ditingkatkan. 4. Kementrian Kesehatan Kerajaan Arab Saudi, dalam rangka mencegah



penyakit



meningitis



meningokokus,



telah



mengharuskan negara-negara yang mengirimkan jemaah haji untuk



memberikan



vaksinasi



meningitis



meningokokus



tetravalen pada 2002 sebagai syarat pokok dalam pemberian visa haji dan umroh. Berbagai upaya lain telah dilakukan, yaitu evaluasi nasional haji, pembahasan, dan melakukan review terhadap produk vaksin tetravalen. Akhirnya, keputusan pemerintah mengenai kebijakan penggunaan vaksin meningitis meningokokus tetrvalen pada jemaah haji dan umroh Indonesia dilaksanakan mulai 2002. 8. Vaksin MMR (Measle Mumps Rubella) Rubella disebut juga sebagai penyakit campak Jerman. Penyakit ini disebabkan oleh virus rubella yang ditularkan melalui udara. Gejala yang timbul dari penyakit rubella diantaranya demam ringan selama 1-2 hari dengan suhu 37,2-37,8 0C, pembengkakan kelenjar getah bening, biasanya dibagian belakang leher atau dibelakang telinga. Pada hari kedua atau ketiga muncul binti-bintik (ruam) diwajah dan menjalar kebawah. Penyakit rubella biasanya diderita oleh seseorang yang berusia belasan tahun atau dewasa. Bila infeksi terjadi pada wanita



yang sedang hamil, ia dapat mengalami keguguran atau bayinya bisa lahir dengan kelainan sejak dalam kandungan. Penyakit Rubella dapat dicegah dengan pemberian vaksin MMR (Measle Mumps Rubella). Vaksin MMR merupakan vaksin hidup yang mempunyai efektivitas 90-95 %. Vaksinasi terhadap penyakit ini disarankan dua kali, yakni ketika berusia 18 tahun dan sebelum menikah/hamil. Diperlukan waktu minimal 4 minggu untuk boleh hamil setelah vaksinasi terakhir. Vaksin tidak boleh diberikan kepada ibu hamil. Dampak vaksinasi MMR tersebut dapat menyebabkan beberapa gangguan, diantaranya : a. Gangguan Ringan 1) Demam 2) Ruam ringan 3) Bengkak pada kelenjar pipi atau leher Biasanya masalah ini terjadi dalam waktu 6-14 hari setelah mendapat suntikan. Gangguan ini lebih jarang terjadi setelah dosis kedua. b. Gangguan Sedang 1) Kejang yang disebabkan oleh demam 2) Nyeri dan rasa kaku untuk sementara dalam sendi 3) Gangguan pendarahan. c. Gangguan yang Parah (Sangat Jarang) 1) Reaksi alergi yang serius 2) Tuli 3) Kejang dalam jangka waktu lama, koma, kesadaran berkurang. 4) Kerusakan otak secara permanen. 9. Parotitis Parotitis adalah penyakit yang ditandai dengan pembesaran kelenjar parotis. Parotitis disebabkan oleh virus mumps golongan paramyxovirus yang menyerang kelenjar ludah. Penyebaran virus dapat ditularkan melalui kontak langsung, percikan ludah saat bersin atau batuk, bersentuhan langsung dengan benda-benda yang terkontaminasi oleh ludah penderita, bahan muntah dan urin. Virus dapat ditemukan dalam urin dari hari pertama sampai hari keempat belas setelah terjadi pembesaran kelenjar.



Gejala dan tanda yang muncul pada penderita parotitis diantaranya, pada tahap awal (1-2 hari) penderita mengalami demam (suhu badan 38.5 – 40 0C), sakit kepala, nyeri otot leher, kehilangan nafsu makan, badan terasa lemah, nyeri rahang bagian belakang saat mengunyah dan kaku rahang (sulit membuka mulut). Selanjutnya terjadi pembengkakan kelenjar di bawah telinga (parotis) yang diawali dengan pembengkakan salah satu sisi kelenjar kemudian kedua kelenjar mengalami pembengkakan. Pembengkakan biasanya mencapai puncaknya pada hari ke-3, kemudian berangsur mengecil sampai hari ke-7. Kadang terjadi pembengkakan pada kelenjar di bawah rahang (submandibula) dan kelenjar di bawah lidah (sublingual). Pada pria akil balik terkadang juga terjadi pembengkakan buah zakar (testis), nyeri dan pembengkakan skrotum (buah zakar), karena penyebaran melalui aliran darah. Pencegahan penyakit ini dapat dilakukan dengan pemberian vaksin yang biasanya terdapat dalam bentuk kombinasi dengan campak dan rubella (MMR = Mumps, Morbili, Rubella). Vaksinasi dilakukan sebanyak 2 kali dengan selang penyuntikan 1-2 bulan. Setelah lewat masa kanak-kanak, imunisasi mumps terus dilanjutkan walaupun telah dewasa, bersamaan dengan campak dan rubella (vaksinasi MMR). Pemberian imunisasi MMR akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit mumps, campak dan rubella. Vaksinasi sangat dianjurkan bagi tenaga kesehatan, pelancong, dan orang yang tinggal di asrama/ lingkungan padat, dan saat terjadi wabah. 10. Japanese B Encephalitis (Je) Radang otak atau lebih dikenal dengan nama Japanese ensefalitis adalah infeksi pada otak yang disebabkan oleh virus. Virus yang menyebabkan Japanese encephalitis (JE) ini disebut arbovirus yang merupakan virus yang ditularkan kepada manusia melalui arthropoda (nyamuk). Nama virus ini adalah Flavivirus encephalitis. Virus ini juga termasuk penyebab West Nile fever, St.



Louis encephalitis, dan Murray Valley encephalitis. Virus JE dibawa nyamuk Culex yang hidup di daerah Asia (dari India Timur ke Korea, Jepang, dan Indonesia). Sumber alami virus Japanese B Encephalitis adalah



babi



dan



burung



liar.



Japanese



Encephalitis dapat menyebabkan demam, sakit kepala, dan sawan. Karena jaringan yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang menjadi terinfeksi dan bengkak, penderita biasanya akan mengalami kekakuan pada leher dan merasa sangat menyakitkan. Kemudian dalam dua atau tiga hari, penderita mulai mengalami efek pembengkakan pada otak. Efek ini dapat berupa gangguan dengan keseimbangan dan koordinasi, kelumpuhan pada beberapa kelompok otot, tremor, kejang, dan gangguan dalam kesadaran serta kekakuan pada wajah sehingga tampak seperti memakai topeng. Penderita juga mengalami dehidrasi dan kehilangan berat badan. Jika penderita dapat bertahan dengan sakitnya, demam akan turun pada waktu sekitar hari ke 7, dan gejala akan mulai meningkat lagi sekitar pada hari ke 14. Sementara itu ada juga penderita yang akan terus mengalami demam sangat tinggi dan gejalanya terus bertambah buruk. Dalam kasus ini, biasanya akan diikuti dengan gejala koma dan kemudian kematian yang terjadi dalam 7-14 hari. Banyak juga di antara penderita yang telah sembuh tetapi diikuti dengan cacat permanen



akibat



kerusakan



otak.



Tiap



satu



dari



lima



kasus Japanese Encephalitis bisa berakibat fatal. Pencegahan Japanese Encephalitis paling efektif adalah dengan imunisasi (vaksinasi) Japanese Encephalitis. Saat ini sudah tersedia sebuah vaksin untuk Japanese ensefalitis (JE-VAX) dengan tiga seri dosis, yaitu dosis pertama, dosis kedua pada hari ke 7 setelah dosis pertama, dan dosis ke tiga pada 30 hari setelah dosis pertama. Umumnya vaksin diberikan kepada anak-anak sampai remaja usis di bawah 17 tahun di daerah-daerah endemik JE. Bagi para wisatawan atau pelancong yang akan mengunjungi daerah endemis JE dapat juga memanfaatkan vaksin ini sebagai langkah



pencegahan



Imunisasi Japanese Encephalitis diberikan melalui



suntikan pada hari ke-0, 7, dan 28. Dilakukan vaksinasi booster Japanese



Encephalitis setahun



kemudian.



Vaksinasi Japanese Encephalitis diulang setiap 3 tahun. Beberapa negara seperti Thailand, China, Nepal, India dan Jepang sudah memasukkan imunisasi Japanese encephalitis dalam salah satu program imunisasi rutin. Imunisasi juga dianjurkan untuk orang yang bepergian ke daerah endemik Japanese encephalitis. Vaksin yang beredar saat ini adalah JE-Vax dari Jepang (Biken), Korea (Green Cross), dan SA-14-14-2 (China). Pemberian dengan subkutan. Vaksin SA-14-14-2 memberikan kabar baik karena cukup satu dosis dan memberikan respon antibodi 83-100% pada anak usia 6-7 tahun. Pada anak usia lebih tua dilakukan dua kali dengan selang 1-3 bulan, memberikan respon antibodi cukup tinggi. Meskipun penggunaan vaksin JE terbukti dapat menurunkan kasus JE secara signifikan di Jepang, Korea Selatan, Cina, Taiwan dan Thailand namun di Indonesia penggunaan vaksin JE pada manusia belum disosialisasikan, karena kebijakan penggunaan vaksin masih belum diatur. Hal ini disebabkan tidak cukup data untuk mengidentifikasi daerah beresiko paling tinggi dan waktu paling baik untuk melakukan vaksinasi . 11. Rabies Rabies merupakan penyakit yang serius dan umumnya bersifat fatal. Penyakit ini disebabkan oleh virus yang menyerang binatang. Sedangkan manusia dapat tertular rabies bila digigit oleh hewan yang terinfeksi. Pada awalnya tidak muncul gejala yang menunjukkan penyakit, namun setelah beberap minggu atau bulan maka akan muncul gejala nyeri, lemah, nyeri kepala, demam dan iritabilitas. Gejala-gejala ini diikuti dengan kejang; halusinasi dan kelumpuhan. Di Indonesia hewan penular rabies pada umumnya adalah anjing dan kucing. Hewan liar terutama kelelawar adalah sumber penularan rabies yang paling sering dijumpai di Amerika



Serikat. Gigitan anjing pengidap virus rabies dan tidak divaksinasi merupakan penyebab dari sebagian besar kejadian rabies. Oleh karena itu vaksin rabies juga diberikan pada orang yang berisiko tinggi terkena rabies melalui gigitan anjing atau kucing sehingga mereka terlindungi dari paparan tersebut. Vaksin rabies terbuat dari virus rabies yang dimatikan dan tidak akan menyebabkan rabies. Vaksin ini juga dapat mencegah rabies bila diberikan pada seseorang segera setelah terpapar. Menurut waktu pemberiannya, vaksin rabies dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Vaksinasi Pencegahan (tanpa paparan) : diberikan pada orang yang berisiko tinggi terpapar rabies yaitu dokter hewan, orang yang bekerja dengan binatang, pekerja laboratorium rabies, penjelajah gua, dan pekerja produksi produk biologis rabies. Vaksin ini juga dipertimbangkan akan diberikan pada mereka yang kontak dengan virus rabies atau dengan hewan yang mungkin terinfeksi rabies, pelancong antar negara yang mungkin berkontak dengan hewan dibelahan dunia tempat rabies sering dijumpai serta anak-anak di daerah endemis rabies. Jadwal pemberian vaksin rabies pra-paparan adalah dalam 3 dosis, yang diberikan pada waktu-waktu berikut: a. Dosis 1 : bila dibutuhkan atau pada hari pertama b. Dosis 2 : 7 hari setelah dosis 1 c. Dosis 3 :21 hari atau 28 hari setelah dosis 1 Pekerja laboratorium dan orang lain yang mungkin terpapar dengan virus rabies berulang kali direkomendasikan untuk menjalani pemeriksaan kekebalan berkala, dan dosis booster harus diberikan sesuai kebutuhan (pemeriksaan maupun dosis booster ini tidak direkomendasikan untuk pelancong). 2. Vaksinasi setelah Paparan : diberikan pada setiap orang yang digigit hewan, atau yang dengan cara lain terpapar dengan virus rabies, harus membersihkan luka tersebut dengan air mengalir sekitar 15 menit dan pemberian desinfektan dapat dengan sabun, detergen, betadin, alkohol dan mengunjungi dokter secepatnya.



Selanjutnya dokter akan menentukan apakah orang tersebut perlu divaksinasi apa tidak. Apabila orang yang terpapar belum pernah mendapat vaksinasi maka harus diberikan 4 dosis vaksin rabies (2 dosis segera setelah paparan, dosis tambahan maisngmasing satu dosis pada hari ketujuh dan ke 21).



Selain itu



mereka juga perlu mendapatkan suntik immunoglobulin rabies pada waktu yang bersamaan dengan dosis vaksin rabies pertama. Orang yang sebelumnya sudah divaksinasi harus diberikan 2 dosis vaksin rabies yaitu segera setelah terpapar dan setelah 3 hari terpapar. Selain itu, orang tersebut tidak membutuhkan suntik immunoglobulin. Hal yang harus diperhatikan dan perlu diketahui oleh dokter yang akan memberikan vaksin rabies pada pasiennya antara lain pengalaman alergi serius yang dialami sebelumnya terhadap dosis vaksin rabies sebelumnya dan sistem kekebalan tubuh yang menurun karena menderita HIV/AIDS atau penyakit lainnya, menjalani terapi dengan obat yang mempengaruhi system kekebalan tubuh serta menderita kanker atau sedang menjalani terapi kanker dengan radiasi atau obat-obatan. Seperti halnya obat-obatan lain, vaksin rabies juga memiliki efek samping terhadap pemberiannya antara lain kemerahan, bengkak ataupun gatal pada lokasi penyuntikan, nyeri kepala, mual, nyeri perut, nyeri otot, pusing, gatal-gatal, demam, nyeri sendi, serta gangguan system saraf lainnya. Apabila terdapat tanda-tanda yang mengkhawatirkan atau termasuk dalam alergi berat dan kegawatdaruratan lain maka dapat dibawa ke rumah sakit terdekat.



DAFTAR PUSTAKA Artikel Online. Info Lengkap Imunisasi : Vaksin MMR (Mumps, Measles, Rubella). Diakses melalui http://www.imunisasi.net/Dewasa %20MMR.html. pada 3 Maret 2016 Djauzi S. Kelompok Dewasa yang Memerlukan Imunisasi [Internet]. Info Lengkap Imunisasi. 2011 [cited 2016 Mar 3]. Available from: http://imunisasi.net/Kelompok Dewasa yang Memerlukan Imunisasi.html Frasch C E. Meningococcal Vaccines. Past, Present and Future. Meningococcal Diasease. Edited by Keith Cartwright. John Wiley and Sons Ltd.1995; 245-263. Hadi, Upik Kesumawati. Penyakit Tular Vektor: Radang Otak atau Japanese ensefalitis.



Bagian Parasitologi & Entomologi Kesehatan Fakultas



Kedokteran Hewan IPB,



Bogor, Indonesia.



Iberts B, Johnson A, Lewis J, Raff M, Roberts K, Walters P. Mulecular Biology of the Cell. 4th ed. New York: Garland Science; 2002. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2014. Informasi Vaksin Untuk Orangtua : Vaksin Rabies. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Informasi Vaksin Untuk Orangtua : Vaksin Influenza. http://www.idai.or.id/ (diakses pada tanggal 3 Maret 2016). Juwono. 2004. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. Kristo. “Vaksin Meningitis – Vaksinasi Sebelum Mengunjungi Negara Arab Saudi”



melaui



http://www.klinikvaksinasi.com/vaksin-meningitis-



vaksinasi-sebelum-mengunjungi-negara-arab-saudi/ diakses pada tanggal 3 Maret 2016. Muhtadi, Indra K. Vaksinasi Dewasa. Diakses melalui http://www.indramuhtadi.com/adult-vaccination.html. pada 3 Maret 20156 Muljati Prijanto. Hasil pemeriksaan usap nasofaring dari jemaah haji dan vaksin meningitis



meningokokus



tetravalen.



Disampaikan



pada



evaluasi



penyelenggaraan Kesehatan Haji Indonesia Tahun 2001. Bandung 30 April-3 Mei 2001; 1-7. Novianty AS. Jangan Salah! Orang Dewasa Juga Perlu Imunisasi. Health First Your Health Our Priority Vaccines And Prevention. Jakarta; 2015;30–1. Pediatri, Sari. 2000. Jadwal Imunisasi Rekombinasi IDAI. NO 1, Vol 2. Diakses melalui http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/2-1-7.pdf. pada 3 Maret 2016 Pernyataan Informasi Mengenai Vaksinasi (Interim) Vaksin Influenza yang Dinonaktifkan www.michigan.gov (diakses pada tanggal 3 Maret 2016). Ranuh IGN. Pedoman Imunisasi di Indonesia. 3rd ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. Renganis I. Faktor HALO dalam Imunisai Dewasa [Internet]. Info Lengkap Imunisasi. 2011 [cited 2016 Mar 3]. Available from: http://imunisasi.net/Faktor HALO dalam Imunisasi Dewasa.html Renganis I. Imunisasi Dewasa, Upaya Preventif yang Terabaikan [Internet]. Info Lengkap Imunisasi. 2011 [cited 2016 Mar 3]. Available from: imunisasi.net/Imunisasi Dewasa, Upaya Preventif yang Terabaikan.html Rumintan. 2007. Karakteristik Penderita Demam Tifoid pada Pasien Rawat Inap Di Rumah Sakit Bayangkara Medan. Medan: Universitas Sumatera Utara. Sendow, Indrawati dan Sjamsul Bahri. Perkembangan Japanese Encephalitis Di Indonesia.



Bogor : Balai Penelitian Veteriner, 2005.



Soegijanto, Soegeng. 2001. Vaksinasi Campak. Dalam: I.G.N. Ranuh, dkk. (ed) Buku Imunisasi di Indonesia. Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia. Soegijanto, Soegeng. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi I. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Vaksinasi MMR. 2012. Diakses melalui http://www.immunize.org/vis/indonesian_mmr.pdf. pada 3 Maret 2016



WHO. 2003. The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. Geneva: Department of Vaccines and Biologicals. WHO.



Control



of



epidemic



Meningococcal



disease.



WHO



W135



-



Practical



Guidelines.1995. 47-48. WHO.



Meningococcal



disease,



serogroup



Update



2.



http://www.who.int/disease-outbreak.news/n2001/22 June2001. WHO.



Meningococcal



disease,



serogroup



W135-update.



http://www.who.int/disease-outbreak.news/n2000/may/12may2000.html Windhi, Kresnawati. “Vaksin apa yang diperlukan orang dewasa? “ melalui http://milissehat.web.id/?p=2403 diakses pada tanggal 3 Maret 2016.