Wara Dan Meninggalkan Syubhat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1. 2.



3.



4. 5.



WARA DAN MENINGGALKAN SYUBHAT Hadist attarmizi dan annasai Menurut imam annawawi yang dimaksud “tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu”, bahwa semestinya orang yang bertaqwa tidak makan harta yang terdapat syubhatnya sebagaimana diharamkan atasnya makan suatu yg haram dan “berpalinglah pada apa yang tdk meragukanmu”, yakni kepada makanan yang menentramkan hati dan menenangkan jiwa. Imam ibnu daqiq berkata bahwa yaribuka( apa yg meragukanmu) ini semakna dg hadis ke enam yaitu “alhalalu bayyinu walharamu bayyinu wabainahuma musytabihat” yang halal itu jelas dan yg haram itu jelas serta diantara keduanya terdapat perkara yg syubhat. Dalam hadis lain disebutkan “ la yablughul abdu....................... Syaih ibnu usmani berkata Abu muhammad bin ali, adalah cucu rasulullah dan terbaik dari dua hasan Dalam hadis lain nabi juga bersabda “ bainahuma amurun musytabihat............



Sifat wara’ dan sikap meninggalkan hal-hal yang berbau syubhat dilandasi oleh sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam , yaitu yang diriwayatkan dari an-Nu’man bin Basyir, dia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, ‘Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas. Sedangkan di antara keduanya terdapat hal-hal yang samar (syubhat), tidak diketahui oleh banyak orang; siapa saja yang menjauhi syubhat tersebut, maka ia telah berlepas diri bagi agama dan kehormatannya, dan siapa saja yang terjerumus ke hal yang syubhat, maka berarti ia telah terjerumus ke dalam hal yang haram, ibarat seorang penggembala yang menggembala di seputar pagar larangan di mana hampir saja gembalanya memakan tumbuhan yang ada di dalamnya. Ketahuilah, sesungguhnya setiap raja memiliki pagar larangan. Ketahuilah bahwa pagar larangan Allah Subhannahu wa Ta’ala adalah hal-hal yang diharamkan nya. Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal daging; bila ia baik, maka baiklah seluruh jasad dan bila ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, bahwa ia adalah qalbu.” (Muttafaqun ‘alaih) Makna Syubhat Terkait dengan hadits di atas, al-Hafizh Ibn Rajab berkata, “Maknanya adalah bahwa yang halal secara murni itu sudah jelas sekali, tidak ada kesamaran sedikit pun, demikian juga dengan yang haram, akan tetapi di antara kedua hal tersebut terdapat hal-hal yang masih samar bagi kebanyakan orang; apakah ia halal ataukah haram? Ada pun bagi orang-orang yang mumpuni ilmu (agama)-nya, maka tidak ada kesamaran sedikit pun. Mereka mengetahui mana yang termasuk dalam kedua bagian tersebut.”







 



BEBERAPA CONTOH PERKARA SYUBHAT Gaji/ honor yang diperoleh dari bekerja di tempat yang bercampur antara yang halal dan haram. Misalnya bekerja di restoran yang menyediakan makanan/ minuman haram dan halal, bekerja di hotel yang menyediakan wanita penghibur (prostitusi), bekerja di bank yang masih mempraktekkan adanya riba dll Hukum memakan daging kodok Menemukan buah, misalnya mangga di bawah pohon mangga, menemukan makanan yang belum jelas siapa pemiliknya dll



 



Makanan/ minuman yang dicampur dengan zat yang masih diragukan kehalalannya Sebagian ulama mengatakan bahwa sesuatu yang hukumnya makruh termasuk ke dalam perkara syubhat. Ibnu Munir menukilkan dalam Manaqib gurunya, Al-Qibary, (ia meriwayatkan) darinya bahwa ia berkata: Makruh itu tirai penghalang antara seorang hamba dengan sesuatu yang haram, barangsiapa yang banyak melakukan hal yang makruh maka di berjalan menuju yang haram, dan hal-hal yang mubah itu adalah penghalang antara dia dan hal-hal yang makruh, maka barangsiapa yang kebanyakan melakukan hal-hal yang mubah maka hal itu dapat membawanya (jatuh) pada hal yang makruh.



Sikap Manusia terhadap Syubhat Terdapat empat kelompok manusia dalam menyikapi syubhat: Pertama; Orang yang mengetahui hukumnya; apakah ia halal atau haram. Artinya, ia beramal berdasarkan ilmunya. Ini merupakan kelompok yang paling baik. Ke-dua; Orang yang tidak mengetahui hukumnya namun ia mengambil sikap menjauhi. Artinya, ia tidak mau memasukinya karena masih samar baginya. Inilah orang yang disebut telah berlepas diri untuk dien dan kehormatannya itu. Ke-tiga; Orang yang tidak mengetahui hukumnya tetapi ia terjerumus ke dalamnya padahal baginya masih samar. Ini kelompok yang hampir terjerumus ke dalam haram murni. Ke-empat; Orang yang terjerumus ke dalamnya padahal ia mengetahui bahwa syubhat tersebut termasuk dalam jenis haram murni. Ini adalah kelompok paling buruk. Ada lagi kelompok ke lima, yaitu orang yang meninggalkan sesuatu yang diyakininya halal padahal menurut anggapan banyak orang termasuk syubhat. Hal ini ia lakukan (meninggalkannya) sebagai bentuk berlepas diri untuk kehormatannya. Ini pada hakikatnya dapat dimasukkan ke dalam kelompok pertama di atas. Dalam hal ini, Ibn Rajab mengatakan bahwa orang yang semacam ini bila melakukannya, pada dasarnya tidak apa-apa di sisi Allah subhanahu wata’ala, akan tetapi bila ia khawatir mendapat tudingan miring dari orang-orang karena hal itu, maka meninggalkannya merupakan bentuk berlepas diri untuk kehormatannya dan ini adalah baik. Sama halnya dengan bila orang tersebut melakukannya karena menurut keyakinannya adalah halal, baik melalui ijtihad yang dapat ditolerir atau pun taqlid yang dapat ditolerir lalu keyakinannya itu ternyata salah. Sebaliknya, bila ijtihadnya itu lemah atau bukan termasuk taqlid yang dapat ditolerir tetapi hanya karena mengikuti hawa nafsu, maka posisinya sama dengan orang yang melakukan syubhat padahal masih samar baginya. Dan orang seperti ini sebagaimana dikabarkan Nabi shallallahu ‘alihi wasallam telah terjerumus ke dalam hal yang haram. Definisi Wara’ Ibrâhim bin Ad-ham berkata, “Wara’ artinya meninggalkan semua syubhat, sedangkan meninggalkan apa yang tidak menjadi kepentinganmu yaitu meninggalkan hal-hal sampingan (yang melebihi dari urusan).” Tingkatan Wara’ Di dalam kitab Mukhtashar Minhâj al-Qâshidîn hal. 91 disebutkan, “Wara’ memiliki empat tingkatan:



-Pertama, Menarik diri dari setiap hal yang oleh fatwa diindikasikan haram. -Ke dua, Wara’ dari setiap syubhat yang tidak wajib menjauhinya tetapi dianjurkan. -Ke tiga, Wara’ dari sebagian yang halal karena khawatir terjerumus ke dalam hal yang haram. -Ke empat, Wara’ dari semua hal yang bukan karena Allah Ta’ala. Inilah Wara’ ashShiddiqin.



Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa hal positif dalam menghindari perkara syubhat, yaitu:  Termasuk sikap wara’ adalah meninggalkan syubhat .  Menjauhkan perbuatan dosa kecil, karena hal tersebut dapat menyeret seseorang kepada perbuatan dosa besar.  Memberikan perhatian terhadap masalah hati, karena padanya terdapat kebaikan fisik.  Baiknya amal perbuatan anggota badan merupakan pertanda baiknya hati.  Pertanda ketakwaan seseorang jika dia meninggalkan perkara-perkara yang diperbolehkan karena khawatir akan terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan.  Menutup pintu terhadap peluang-peluang perbuatan haram serta haramnya sarana dan cara ke arah sana (hal yang haram).  Hati-hati dalam masalah agama dan kehormatan serta tidak melakukan perbuatanperbuatan yang dapat mendatangkan persangkaan buruk. Dll  Banyak melakukan syubhat akan mengantarkan seseorang kepada perbuatan haram.  syubhat termasuk orang yang terjerumus dalam sesuatu perkara yang haram.  Syubhat Tidak akan sempurna keimanan dan ketaqwaannya.  Dia tidak menjaga kehormatan diri dan agamanya.  Berkurangnya kebaikan perbuatan dan kebaikan hati. Sumber: Kutaib, “Khairu dinikum al-Wara’, al-Qism al-Ilmi Darul Wathan (Abu Shafiyah)