Eksepsi 1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Kendari, 27 september 2016



EKSEPSI PENASIHAT HUKUM TERDAKWA



Untuk dan atas nama terdakwa : Atas nama Terdakwa



:



Dr. Rudi Supriono, S.H.



Tempat lahir



:



Konda



Umur/Tanggal Lahir



:



49 Tahun / 9 Juli 19670



Jenis Kelamin



:



Laki-laki



Kebangsaan



:



Indonesia



Tempat Tinggal



:



Jl. Ahmad Yani No. 2 Kendari



Agama



:



Islam



Pekerjaan



:



Gubernur Sulawesi Tenggara



Pendidikan



:



S3



Adalah selaku terdakwa dalam perkara pidana nomor registrasi perkara : 385/PID.TIPIKOR/2016/PN.KENDARI



Errare Humanum Est, Turpe In Errore Perseverare “Membuat kekeliruan ialah sifat manusia, akan tetapi tidaklah baik untuk terus mempertahankan kekeliruan”



Majelis Hakim Yang Kami Muliakan Penuntut Umum yang Kami Hormati Pengunjung sidang sekalian



I.



PENDAHULUAN Dengan hormat, Kami yang bertandatangan dibawah ini : 1. Dr. LA ODE ARSAT, S.H., LL.M 2. MARISA PEPAYOSA BARUS, S.H., M.H



Keduanya adalah advokat dan konsultan Hukum pada kantor advokat dan konsultan hukum Muna Batak and Partner, beralamat di Jl. H.E.A. Mokodompit, untuk bertindak baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, bertindak untuk dan atas nama terdakwa Dr. Rudi supriyono, S.H. berdasarkan kekuatan Hukum Surat Kuasa Tertanggal 20 september 2016. Kami mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang di berikan Majelis Hakim kepada kami untuk mengajukan keberatan/eksepsi terhadap dakwaan saudara Penuntut Umum, bertindak untuk dan atas nama kepentingan hukum terdakwa, perlu untuk menyampaikan eksepsi atas surat dakwaan dari Penuntut Umum Nomor DAK-35/19/09/2016 dan di bacakan pada persidangan perkara a quo.



Merupakan suatu kehormatan bagi kami yang secara bersama-sama dengan Penuntut Umum dalam menegakan supremasi hukum, mendampingi Terdakwa Dr. Rudi Supriono, S.H. dimana kami dan Penuntut Umum adalah sama-sama beranjak dari Hukum yang berlaku, namun dalam perkara ini kami berbeda pendapat dengan Penuntut Umum yang menyatakan Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dibawah ini :



DAKWAAN ALTERNATIF :



Kesatu : Melanggar Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Atau Kedua : Melanggar pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.



Majelis Hakim yang Mulia Penuntut Umum yang kami hormati



Bahwa untuk mengefisiensikan waktu, kami mohon bahwa surat dakwaan dianggap telah dimuat secara lengkap dalam eksepsi ini. Kita semua sependapat saudara Penuntut Umum mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 butir 6 KUHAP, bahwa setiap perbuatan kejahatan yang dilakukan oleh siapapun tidak boleh di biarkan dan haruslah di lakukan penyidikan



serta pelaksanaan hukumnya tidak boleh di tawar-tawar, dalam arti siapapun yang bersalah harus di tuntut dan di hukum setimpal dengan perbuatannya, kecuali di tentukan lain oleh undang-undang menghukum orang yang bersalah merupakan tuntutan dari hukum, keadilan dan kebenaran itu sendiri. Sebab jika tidak dilakukan akan timbul reaksi yang dapat menggoyahkan sendi-sendi dalam penegakkan supremasi hukum. Tetapi disamping itu, tidak seorang pun boleh memperkosa kaedah-kaedah hukum, keadilan dan kebenaran untuk maksud-maksud tertentu dengan tujuan tertentu. Begitu pula dalam perkara ini, kita semua sepakat untuk menegakkan sendi-sendi hukum dalam upaya kita mengokohkan supremasi hukum yang telah diatur dalam kaedah-kaedah hukum didalam KUHAP. Kegagalan dalam penegakkan keadilan (miscarriage of justice) adalah merupakan persoalan universal dan aktual yang dipahami oleh hampir semua bangsa dalam menegakkan sistem peradilan pidananya (criminal justice system). Seorang pejabat yang mempunyai kuasa dan wewenang yang ada padanya untuk memberikan keadilan, ternyata menggunakan kuasa dan wewenangnya yang ada padanya justru untuk memberi ketidakadilan. Demikian parahnya ketidakadilan tersebut, sehingga situasi hukum di Indonesia digambarkan dalam kondisi Disperate, berada pada titik paling rendah (nadir). Persoalan ini juga merupakan isu penting ditengah upaya memajukan dan menegakkan hak-hak asasi manusia dan demokrasi yang merupakan pilar penting dari penegakkan pemerintahan yang baik (good governance). Kegagalan dalam penegakkan keadilan dalam sistem peradilan pidana diulas oleh Clive Walker ; dijelaskan suatu penghukuman yang lahir dari ketidakjujuran atau penipuan atau tidak berdasarkan hukum dan keadilan bersifat korosif atau klaim legitimasi Negara yang berbasis nilai-nilai sistem peradilan pidana yang menghormati hak-hak individu. Dalam konteks ini kegagalan penegakkan keadilan akan menimbulkan bahaya bagi integritas moral proses hukum pidana. Lebih jauh lagi hal ini dapat merusak keyakinan masyarakat akan penegakkan hukum; Bahwa dihadapan majelis Hakim yaitu sebagai Dominus Litis yang tidak berpihak, saat ini ada dua pihak yang berperkara yaitu : Penuntut Umum sebagai Penuntut dan Terdakwa Dr. Rudi Supriono, S.H. yang didampingi



oleh Penasihat Hukumnya yang melihat hukum tersebut dari fungsinya yang berbeda, dan selanjutnya Majelis Hakim memandang kedua belah pihak sama tinggi dan sama rendah, Majelis Hakim memeriksa dan mengadili perkara ini tanpa mempunyai kepentingan pribadi di dalamnya; Dengan demikian, Majelis Hakim akan dapat menempatkan dirinya pada posisi yang netral dan tetap eksis sebagai pengayom keadilan dan kebenaran da lam usaha terwujudnya kepastian hukum (reachable to legal certainity) seperti yang didambakan oleh masyarakat secara luas pada waktu ini;



II. EKSEPSI



Mengacu kepada maksud yang terkandung dalam pasal 156 ayat (1) KUHAP, atas nama Terdakwa Dr. Rudi Supriono, S.H. maka kami sampaikan Eksepsi/Keberatan atas surat dakwaan saudara Penuntut Umum dengan alasan-alasan yuridis sebagai berikut: Bahwa pada kesempatan ini, tepat sekali kiranya Majelis Hakim menyoroti kualitas dakwaan yang telah disampaikan oleh saudara Penuntut Umum, apakah tindakan hukum yang dilakukan, rumusan delik dan penerapan ketentuan undang-undang yang dimaksud oleh KUHAP dalam perkara ini apakah sudah tepat dan benar serta apakah telah sesuai dengan norma-norma hukum, fakta dan bukti kejadian yang sebenarnya, ataukah rumusan delik dalam dakwaan itu hanya merupakan suatu imaginer yang sengaja dikedepankan sehingga membentuk suatu konstruksi hukum yang dapat menyudutkan Terdakwa pada posisi lemah secara yurudis; Jika ditinjau dari sudut Pasal 143 ayat (2) KUHAP yang menuntut bahwa surat dakwaan harus jelas, cermat, dan lengkap memuat semua unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, maka terlihat bahwa dakwaan saudara Penuntut Umum masih belum memenuhi persyaratan yang dimaksud oleh undang-undang tersebut baik dari segi formil maupun dari segi materilnya. Keterangan tentang apa yang dimaksud tentang dakwaan yang jelas, cermat



dan lengkap apabila tidak dipenuhi mengakibatkan batalnya surat dakwaan tersebut karena merugikan Terdakwa dalam melakukan pembelaan; Memperhatikan bunyi Pasal 143 ayat (2) KUHAP terdapat 2 (dua) unsur yang harus dipenuhi dalam surat dakwaan, yaitu : Syarat Formil (Pasal 143 ayat (2) huruf a) Maksudnya adalah suatu surat dakwaan harus memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Selanjutnya Pasal 143 ayat (3) huruf b KUHAP secara tegas menyebutkan bahwa tidak dipenuhinya syarat-syarat materil; surat dakwaan menjadi batal demi hukum atau null and void yang berarti sejak semula tidak ada tindak pidana seperti yang dilukiskan dalam surat dakwaan itu. Berikut ini kami kutip apa yang dimaksud dengan cermat, jelas dan lengkap oleh Pedoman pembuatan Surat Dakwaan yang diterbitkan oleh Kejaksaan Agung RI halaman 12, menyebutkan : Yang dimaksud dengan cermat adalah ; Ketelitian Penuntut Umum dalam mempersiapkan surat dakwaan yang di dasarkan kepada undang-undang yang berlaku, serta tidak terdapat kekurangan dan/atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau tidak dapat dibuktikan, antara lain misalnya : 



Apakah ada pengaduan dalam hal delik aduan;







Apakah penerapan hukum/ketentuan pidananya sudah tepat;







Apakah terdakwa dapat dipertanggung jawabkan dalam melakukan tindak pidana tersebut;







Apakah tindak pidana tersebut belum atau sudah kadaluarsa;







Apakah tindak pidana yang didakwakan tidak nebis in idem;



Penuntut Umum harus mampu merumuskan unsur-unsur dari delik yang didakwakan sekaligus memadukan pada uraian perbuatan materil (fakta) yang dilakukan oleh Terdakwa dalam surat dakwaan. Dalam hal ini harus diperhatikan jangan sekali-kali memadukan pada uraian dakwaan antara delik



yang satu dengan delik yang lain yang unsur-unsurnya berbeda satu sama lain atau uraian dakwaan yang hanya menunjuk pada uraian dakwaan sebelumnya (seperti misalnya menunjuk pada dakwaan pertama) sedangkan unsurnya berbeda, sehingga dakwaan menjadi kabur atau tidak jelas (obscuur libel) yang diancam dengan pembatalan.



Yang dimaksud dengan lengkap adalah : Uraian surat dakwaan harus mencakup semua unsur-unsur yang ditentukan undang-undang secara lengkap. Jangan sampai terjadi adanya unsur delik yang tidak dirumuskan secara lengkap atau tidak diuraikan perbuatan materilnya secara tegas dalam dakwaan, sehingga berakibat perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana menurut undang-undang.



Pengajuan nota keberatan (eksepsi) berdasarkan ketentuan pasal 156 ayat (1) KUHAP tersebut, eksepsi dapat diajukan dalam 3 (tiga) hal, yaitu : 1. Eksepsi tentang kewenangan mengadili (Exeption Obevoiged Van de rechter); 2. Eksepsi tentang dakwaan tidak dapat diterima; 3. Eksepsi mengenai surat dakwaan



batal (Exception Van Rechtswege



Nietig).



Bahwa sehubungan dengan ketentuan yang tersebut dalam pasal 156 ayat (1) KUHAP diatas maka bersamaan dengan ini disampaikan eksepsi terhadap surat dakwaan sebagai berikut : 1. Keberatan menyangkut hak asasi dan prosesual Setelah diundangkannya undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) pada tahun 1981, telah diberikan perhatian khusus terhadap hak asasi manusia dari seorang tersangka atau terdakwa dan hak-hak penasihat hukum dalam suatu roses pidana seperti halnya perkara yang kita hadapi sekarang ini, dengan bertitik tolak pada konsepsi negara hukum rule of law dalam arti menurut konsepsi dewasa ini mempunyai sendi-sendi yang bersifat universal seperti pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi,



legalitas



dan



tindakan



negara



atau



aparatur



negara



yang



dapat



dipertanggung jawabkan secara hukum dan terjaminnya peradilan yang bebas. Konsepsi negara hukum atau the rule of law beserta sendi-sendinya tersebut



diatas



membawa



konsekuensi



adanya



bahasan



yang



mencerminkan sendi-sendi tersebut dalam bidang hukum, khususnya hukum pidana dan hukum acara pidana, dan menimbulkan asas-asas yang merupakan dasar bagi hukum acara pidana yang bersangkutan. Asas-asas tersebut pada dasarnya bersifat universal dan selalu dikaitkan dengan sendi yang utama, yaitu jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi yang interprestasi atau maknanya selalu diletakkan dalam kerangka pandangan dan budaya serta cita-cita hukum dari bangsa dan negara yang bersangkutan. Terhadap hukum acara pidana baru (KUHAP), yang telah memberi jaminan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia (human dignity) yang dalam hal ini mempunyai sifat yang universal, maka deklarasi maupun konvensi-konvensi internasional seperti The Universal Declaration of Human Right yang disahkan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948, serta The International Convenant On Civil and Political Right (ICCPR) beserta opsional protokolnya yang diterima dan disahkan oleh sidang umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966 dapat digunakan untuk mengukur nilai hukum acara pidana baru (KUHAP), khususnya berkenaan pada Pasal 9 dan 14 ICCPR tersebut, yang menunjukkan bahwa deklarasi dan konvensi tersebut diterima dan mendapat tempat dalam KUHAP. Dalam hubungan itu perlu disebutkan pula symposium yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia bekerjasama dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia pada tanggal 11 Februari 1982, yang dalam kaitan ini khusus menunjuk Pasal 50 KUHP, yaitu mengenai hak seorang tersangka agar perkaranya segera dimajukan atau dilimpahkan kepada pengadilan. Dalam ketentuan ICCPR, vide Pasal 9 dan Pasal 14 mengatur hakhak asasi manusia sebagai tersanga dan bantuan hukum dalam suatu



proses pidana. Dan selanjutnya dalam KUHAP ketentuan ICCPR antara lain dapat ditemukan pula dalam Pasal 50 - Pasal 68 KUHAP, yaitu yang berkenaan hak-hak seorang tersangka/terdakwa dilanjutkan dengan Pasal 69 - Pasal 74 KUHAP perihal hak-hak seorang penasihat hukum dalam suatu proses pidana. Ketentuan yang termuat dalam pasal 51 KUHAP tentang hak-hak seorang tersangka/terdakwa dan mereka yang memberikan bantuan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 51 KUHAP tersebut relevan dengan ICCPR. Pasal



51



KUHAP



memberikan



hak



kepada



seorang



tersangka/terdakwa untuk diberikan sangkaan/dakwaan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti tentang apa yang disangkakan/didakwakan kepadanya, pada saat pemeriksaan dimulai (segala sesuatunya untuk mempersiapkan pembelaannya).



Ketentuan ini sejalan dengan pasal 14 ICCPR yang menyatakan : “In the determination of any criminal charge against him, everyone shall be entitled to the following minimum guarantees, in full equality”.



Sehingga dalam menentukan suatu dakwaan pidana/kriminal terhadapnya, setiap orang berhak mendapat jaminan penuh untuk diberitahu dalam bahasa yang dimengerti tentang hakekat dan sebab-sebab dari dakwaan tersebut.



Hak-hak terdakwa yang diatur dalam Pasal 51 KUHAP tersebut dalam hukum pidana internasional, dalam hal ini sistem Inggris dan Belanda sudah diakui dan paralel dengan sistem short indictment yaitu sistem yang sederhana baik dalam statement of offence nya maupun dalam particular of offence. Menjadi persoalan ialah bahwa apakah hak dalam Pasal 51 KUHAP tersebut dapat verstaan dengan dakwaaan yang didalamnya memuat istilah



teknis yuridis yang bersifat formalitas dan tekhnikalitas, karena hal itu dapat menimbulkan persoalan terhadap terdakwa yang notabene bukan sarjana hukum (awam) dan tidak mengerti bahasa yang penuh tekhnikalitas hukum yang mengandung pengertian-pengertian yang masih berkembang terus meski terdakwa memaklumi perkara korupsi adalah eksis dihadapannya.



Sebagaimana



telah



dikemukakan



oleh



terdakwa



dimuka



persidangan, bahwa ia tahu kalau didakwa melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, namun tidak mengerti perihal teknis hukum dari arah dakwaan itu.



Dalam wet op de economische delicten yang mempunyai replika pada Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi 1953, bahkan pernah dilakukan suatu usaha untuk menyederhanakan surat dakwaan dan dinyatakan bahwa menyimpang dari ketentuan yang mengatur surat dakwaan dan dinyatakan bahwa menyimpang dari ketentuan yang mengatur surat dakwaan dan dinyatakan menyimpang dari ketentuan yang mengatur surat dakwaan pada umumnya (atau dakwaan yang uitvoerig), maka didalam economicsche delicten sudah cukuplah apabila dalam surat dakwaan hanya disebutkan feitnya saja. Seperti apa yang dikemukakan oleh Prof. Mr. Taverne, bahwa Jaksa dalam menyusun dakwaan hidup dibawah suatu tirani tuduhan. Dalam pada itu, banyak tuduhan yang dituangkan dalam bentuk tidak menguntungkan leesbarheid



nya



yaitu



mengurangi



pengertian



bagi



terdakwa



dan



menimbulkan kesulitan (ingewikkeldheid), sehingga sudah cukup sempurna apabila di sebutkan secara singkat mengenai feiten disertai penyebutan tempat dan waktu dimana perbuatan itu dilakukan. Perumusan feiten secara singkat dalam suatu dakwaan juga di tuntut oleh Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yaitu Pasal 15 UndangUndang No. 3 Tahun 1971, yang penjelasannya menyatakan bahwa pasal tersebut agak menyimpang dari kebiasaan dalam surat tuduhan (dakwaan), karenanya adalah paralel apabila kehendak adanya feiten secara singkat



yang tertuang dalam Surat dakwaan ini sebagai suatu ungkapan bagi dasar pembelaan Terdakwa. Seperti pada umumnya Hukum Acara Pidana, maka KUHAP selain memuat hak-hak dan kewajiban dari para peserta dalam suatu proses pidana, juga mengatur jalannya suatu proses atau procedurele gang, dari suatu penyidikan, penuntutan dan peradilan dengan upaya hukum yang terbuka, baik yang biasa maupun yang luar biasa. Dalam kaitan Pasal 51 KUHAP dan Pasal 143 KUHAP khususnya ayat 2 menyatakan, Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi : a. Nama lengkap, tempat lahir, umur, atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Selanjutnya diteruskan pada ayat 3, bahwa dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan dalam ayat 2 huruf hukum.



Perumusan



mengenai



surat



b tersebut adalah batal demi



dakwaan



tersebut



menyerupai



tenlastelegging seperti yang terdapat pada surat dakwaan sekarang ini. Seperti diketahui bahwa ilmu hukum yurisprudensi khususnya telah mengembangkan pengertian mengenai dakwaan yang bersifat luas dan lengkap sebagaimana yang diatur dalam Pasal 143 KUHAP, yang juga dianut, bahwa dakwaan itu harus memenuhi syarat, yaitu bersifat feiteljk dan bersifat begrijpelijk. Berdasarkan hal tersebut diatas, ternyatalah bahwa dalam system penyusunan isi surat dakwaan diadakan pemisahan antara Kualifikasi Yuridis (“Yuridicshe Kwalificatie”) dan fakta (“feit”), sedangkan yang biasa dilakukan justru fakta dirumuskan menjadi satu dengan kualifikasi yuridis, kemudian yang berhubungan dengan fakta-fakta tersebut biasanya dibuat panjang lebar secara teknikalitas sehingga menghilangkan sifat begrijpelijk dakwaan itu sendiri. (lihat: Prof.JM Bemmelen, Prof. Mr. Th. Van Veen; Strafprocesrecht, tahun 1984, halaman 215).



Hal demikianlah yang kita jumpai dalam Dakwaan terhadap Dr. RUDI SUPRIONO Dengan melihat perkembangan pembuatan surat dakwaan yang diinginkan oleh yurisprudensi, yaitu memuat 2 syarat yakni “feitelijk” dan “begrijpelijk”, hal mana adalah sejalan dengan pendapat Prof. Mr. Van Bemmelen dan Prof. Mr. Th. Van Veen, yang mengemukakan bahwa suatu Dakwaan adalah batal (Nietig) apabila tidak cukup feitelijk dan begrijpelijk.



Dengan demikian, perkembangan yang dianut dalam yurisprudensi kita, khususnya yang bersangkutan dengan penyusunan suatu Surat Dakwaan yang luas, lengkap, cermat dan dengan persyaratan, yakni feitelijk dan begrijpelijk harus dipenuhi terlebih dahulu oleh Surat Dakwaan barulah dapat dipandang sah, dengan tetap memperhatikan Pasal 51 KUHAP, bahwa seorang Terdakwa harus mengerti- feitelijk-begrijpelijk-mengenai apa yang didakwakan kepada Terdakwa dalam bahasa yang dapat dimengerti olehnya.



2. Keberatan tentang Alat Perekam Sebagai Barang/Alat Bukti Dari BAP terlihat bahwa yang utama digunakan sebagai alat bukti adalah alat perekam berikut transkripsinya. Menurut hukum pembuktian, mendasarkan pada sesuatu yang tidak pasti karena sifatnya biasa berubah atau diubah adalah tidak layak menjadi alat atau materi pembuktian dalam perkara pidana. Sebab dalam hukum pembuktian ada adagium, dalam keragu-raguan lebih baik melepas sepuluh orang jahat dari pada menghukum seorang yang tidak bersalah. Dengan demikian surat dakwaan yang didasarkan pada keteranganketerangan yang validitasnya diragukan kiranya tidak layak diterima sebagai landasan dalam persidangan ini. Oleh karena itu, surat dakwaan yang datadatanya



diambil



oleh



sumber



yang



validitasnya



diragukan



hendaknya



dikesampingkan. Dengan kata lain, surat dakwaan seperti ini harus digolongkan sebagai surat dakwaan yang “tidak cermat dan jelas”.



3. Keberatan Tentang Dakwaan Tidak Dapat Diterima (Niet Ontvankelijk)



Setelah mempelajari Surat Dakwaan Penuntut Umum dalam perkara ini, kami berpendapat bahwa Dakwaan dimaksud mengandung berbagai cacat hukum, sehingga seharusnya Majelis Yang Mulia menyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard), sebagaimana diatur dalam pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 156 (1) Dalam hal Terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada Penuntut Umum menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan; (2) Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan. Walapun KUHAP tidak mengatur secara rinci tentang alasan-alasan mengapa atau dalam hal-hal apa suatu dakwaan dinyatakan tidak dapat diterima, tetapi dalam doktrin dan yurisprudensi dapat ditemui alasan-alasan dimaksud, yang pada intinya dikaitkan dengan cacat hukum yang terdapat dalam dakwaan, baik menyangkut bentuk Surat dengan cacat hukum yang terdapat dalam dakwaan, baik menyangkut bantuk Surat Dakwaan maupun mengenai isinya yang menimbulkan kebingungan di pihak Terdakwa tentang perbuatan dan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.



Surat Dakwaan yang mengandung cacat hukum seperti itu jelas melanggar hakhak asasi Terdakwa dan sangat merugikan dalam hal pembelaan dirinya. M. Yahya Harahap, SH. Dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP”, Edisi Kedua, Cetakan Kedua, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, pada halaman 122 mengemukakan: “ Pengertian yang umum diberikan terhadap eksepsi dakwaan tidak dapat diterima:



apabila dakwaan yang diajukan mengandung “cacat formal” atau



mengandung



“kekeliruan beracara (error inprocedur). Bias catat mengenai



orang yang didakwa, keliru, susunan



atau



bentuk



Surat



Dakwaan



yang



diajukan Penutut Umum, salah atau keliru”.



Majelis Hakim Yang Mulia Penuntut Umum yang terhormat



Cacat formal dan kekeliruan surat dakwaan Penuntut Umum dalam perkara ini akan dikemukakan dalam bentuk keberatan dibawah, sehingga surat dakwaan Penuntut



Umum



dinyatakan tidak



dapat diterima



(niet ontvanjelijk



verklaard).



Rumusan Dakwaan Tidak Sesuai Ketentuan Pasal 143 Ayat (2) Huruf b KUHAP; Sehingga Harus Dinyatakan Batal Demi Hukum Apabila kita cermati rumusan dakwaan dalam perkara terdakwa Dr. Rudi Supriono.S,H tidak jelas apa tindakan dari terdakwa yang dapat dinyatakan sebagai tindak pidana sebagaimana harus dirumuskan sesuai ketentuan pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, rumusan tindakan terdakwa dalam dakwaan hanya didasarkan pada asumsi-asumsi atau indikasi-indikasi yang masih terlalu summier dan prematur untuk dinilai sebagai tindak pidana, karena dalam hal pengeluaran surat izin pertambangan Dr. Rudi Supriono, S.H



telah



melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai gubernur sulawesi tenggara untuk mengeluarkan surat keputusan tentang surat izin eksplrosi pertambangan, surat keputusan tentang persetujuan pencadangan wilayah pertambangan ekplorasi,



surat



ekplorasimenjadi



keputusan IUP



prodiksi,.



mendapatkan sanksi administratif.



tentang



persetujuan



Dimana



terdakwa



peningkatan seharusnya



IUP hanya



Pasal 143 ayat (2) KUHAP menentukan : Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditanda tangani serta berisi: a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka. b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.



Dengan kata lain Surat dakwaan harus memenuhi syarat formil dan materiil. Syarat formil sebagaimana ditentukan dalam huruf a, sedangkan syarat materil sebagaimana huruf b tersebut diatas. Kemudian lebih lanjut pasal 143 ayat (3) KUHAP menyatakan :



Surat Dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan



sebagaimana ayat (2) huruf b di atas batal demi hukum.



Adapun mengenai syarat materiil tersebut Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mempedomani Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, No 492/K/KR/1981, Tanggal 8 Januari 1983 yang menetapkan: “bahwa syarat materiil Surat Dakwaan, adalah adanya perumusan secara lengkap, jelas dan tepat, mengenai perbutan-perbuatan yang didakwakan terhadap Terdakwa, sesuai dengan rumusan delik yang mengancam perbuatanperbuatan itu dengan hukuman pidana yang dilakukan oleh Terdakwa, keseluruhannya harus mengisi secara cermat, tepat, dan benar, semua unsur dari semua delik yang ditentukan undang-undang yang didakwakan kepadanya” Berdasarkan ketentuan KUHAP dan Yurisprudensi tersebut diatas, maka diperoleh konklusi bahwa in casu yang harus diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap oleh saudara Penuntut Umum dalam surat dakwaan a quo adalah : -



Rumusan dan unsur-unsur delik atau tindak pidana yang didakwakan, dan;



-



Rumusan perbuatan-perbuatan materiil mengenai perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa yang keseluruhannya dapat mengisi secara cermat dan benar



semua unsur dari delik yang ditentukan dalam pasal undang-undang yang didakwakan kepada terdakwa tersebut. Apabila kita cermati rumusan dakwaan dalam perkara terdakwa Dr. RUDI SUPRIONO,SH tidak jelas apa tindakan dari terdakwa yang dapat dinyatakan sebagai tindak pidana sebagaimana harus dirumuskan sesuai ketentuan pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, rumusan tindakan terdakwa dalam dakwaan hanya didasarkan pada asumsi-asumsi atau indikasi-indikasi yang masih terlalu summier dan prematur untuk dinilai sebagai tindak pidana, karena dalam menjalankan tugasnya terdakwa Dr. RUDI SUPRIONO,SH telah melaksanakan kewenangannya sebagai gubernur Sulawesi tenggara Dalam melakukan gebrakan-gebrakan untuk menjalankan program kerjanya salah satunya adalah mengeluarkan izin usaha eksplorasi yang bekerja sama dengan perusahaan ristauf corporation asal Australia.



Kemudian ketika kita mencermati dakwaan Penuntut Umum, dimana penuntut umum ternyata telah salah dan keliru menuntut terdakwa dengan dakwaan :



ALTERNATIF : Kesatu : Melanggar Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Atau Kedua :



Melanggar pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.



Karena dakwaan tersebut diatas tidak dapat menguraikan perbuatan terdakwa yang dapat memenuhi unsur dakwaan. Penuntut Umum juga dalam merumuskan dakwaannya nampak ragu untuk menentukan pasal apa yang dilanggar oleh terdakwa sehingga penuntut umum memakai dakwaan alternatif sehingga dalam hal ini telah nampak jelaslah keragu-raguannya. Jadi penasihat hukum yakin dalam dakwaan juga tidak didasari bukti-bukti yang memadai, sehingga Penuntut Umum nampak ragu dalam merumuskan secara jelas dan tegas apa tindakan terdakwa yang dapat memenuhi unsur tindak pidana yang didakwakan, sehingga dakwaan Penuntut Umum menurut Penadapat Penasihat hukum adalah kabur atau obscuur sehingga harus dinilai sebagai dakwaan yang tidak cermat,



tidak



jelas dan tidak lengkap menguraikan tindak pidana, dengan kata lain tidak memenuhi syarat materil sehingga berdasarkan pasal 143 ayat (3) KUHAP dan Yurisprudensi, dakwaan Penuntut Umum adalah batal demi hukum.



III.



PERMOHONAN Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, Penasihat Hukum terdakwa memohon agar yang mulia Majelis Hakim berkenan untuk memutus : -



Menerima dan mengabulkan eksepsi Penasihat Hukum terdakwa;



-



Menyatakan Pengadilan Pajak berwenang untuk mengadili



-



Menyatakan dakwaan batal demi hukum



-



Menghentikan pemeriksaan perkara terdakwa Dr.Rudi Supriyono,SH Apabila mejelis berpendapat lain dan memutus eksepsi bersama-sama dengan pokok perkara mohon putusan seadil-adilnya.



Penasihat Hukum I Terdakwa,



Dr. La Ode Arsat, S.H,.LL M



Penasihat Hukum II Terdakwa,



Marisa Pepayosa Barus, S.H., M.H