HIV-ARV Beres [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan HIV-AIDS Dosen pembimbing :



Kelas 3C Disusun oleh : Ayudia Anindita



AK 118133



Hilfi Noer Hafizha



AK118074



Irva Nurfadila



AK 118083



Mega alisya



AK 118101



Novia Aprilianti



AK 118137



Nurul Nisa



AK 118130



Poppy Nur S



AK 118133



Rina Milania



AK 118149



Robi Muhamad fazri



AK 118155



Windi Martinia



AK 118200



PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG 2020



KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan Allah SWT yang telah memberi rahmat serta karunia –nya kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan masalah ini tepat pada waktu nya yang berjudul “KEPERAWATAN HIV-AIDS” Bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun slalu kami harapan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, saya ucapkan terimakasih kepada tuhan yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini.



Bandung, 11 Oktober 2020



Penulis



DAFTAR ISI



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) Adalah virus yang termasuk golongan retrovirus yang menyebabkan berbagai gejala penyakit yang disebut Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). World health organization (WHO) pada tahun 2011 menyatakan terdapat 34 juta orang di dunia terinfeksi virus HIV dan Indonesia menduduki peringkat lima besar di asia bersama hindia,Thailand,Myanmar dan nepal. Perke,bangan HIV-AIDS di Indonesia dari tanggal 1 januari 1987 sampai 31 maret 2013 sebanyak 147.106 kasus terdiri dari 103.759 kasuus HIV (+) dan 43.347 kasus AIDS. Sejak AIDS mulai di kenal.telah terjadi perbaikan kualitas dan memanjang usia hidup penderita di Negara industry karena,dikenal infeksi Oportunistik (IO). Pada tahun 1996,terjadi



perkembangan



luar



biasa



yakni



dikembangkannya



terapi



kombinasi



Antretroviral ARV. Meskipun belum mampu menghilangkan virus, ARV mampu mengurangi insidensi IO dan memperpanjang harapan hidup pasien HIV-AIDS. Tujuan pemberian ARV adalah mengurangi morbiditas dan mortalitas terkait HIV,memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan dan menekan reolikasi virus semaksimal mungkin dalam waktu yang lama. Syarat yang harus dipenuhi dalam pemberian ARV yaitu infeksi HIV positif (+) , memenuhi persyaratan medis , IO telah diobati dan sudah stabil, ODHA siap mendapat terapi ARV, adanya tim care, support and treatment (CST) yang mampu memberikan perawatan kronis, persiapan obat yang cukup dan terjamin. 1.2 Rumusan Masalah 1. Mengetahui definisi HIV penatalaksanaan ARV 2. Mengetahui Peran perawat dalam meningkatkan adherence 1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui definisi HIV dan pentalaksanaan ARV 2. Untuk mengetahui peran perawat dan meningkatkan adherence



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Penatalaksanaan dengan klien menggunakan ARV A. Definisi HIV dan penjelasan ARV Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV yang termasuk famili retroviridae. Tahapan akhir dari infeksi HIV adalah AIDS. Infeksi HIV merupakan kejadian pandemik. Infeksi tersebut menjadi penyebab utama kematian menggantikan infeksi Tuberkulosis (TB). Sekitar tahun 2006,Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan satu dari dua human T-cell lymphotropic retrovirus yang utama. Human T-cell leukemia virus (HTCLV) adalah retrovirus utama lainnya. Virus tersebut akan menginfeksi dan menghancurkan limfosit T-helper (CD4), sehingga menyebabkan host kehilangan imunitas seluler. Hal ini menyebabkan pasien mudah terkena infeksi oportunistik. Infeksi HIV ini dapat menyebar melalui kontak seksual, pajanan parenteral ke dalam darah, dan transmisi maternal. Infeksi ini pada manusia merupakan suatu kontinuitas yang secara kasar dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu infeksi HIV primer, infeksi asimtomatik, infeksi simtomatik dengan ekslusi AIDS, dan AIDS. Kecepatan progresi dari penyakit ini bervariasi antara individu yang satu dengan individu yang lain, tergantung pada faktor virus dan faktor host. Penegakkan diagnostik pada HIV/AIDS ada dua macam pendekatan, yaitu secara sukarela dan atas inisiatif petugas kesehatan. Selain itu terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksaan serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Komponen mayor dari terapi HIV ialah vaksinasi, anti ARV, profilaksis dan pengobatan infeksi oportunistik serta kon. Infeksi HIV pada manusia merupakan suatu kontinuitas yang secara kasar dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu infeksi HIV primer, infeksi asimtomatik, infeksi simtomatik dengan ekslusi AIDS, dan AIDS. Fase primer, terjadi selama 1 sampai 4 minggu setelah transmisi. Sindroma tersebut terdiri dari beberapa gejala seperti demam, berkeringat, letargi, malaise, mialgia, arthralgia, sakit kepala, photopobia, diare, sariawan, limfadenopati, dan lesi mukopapular pada ekstremitas. Gejala-gejala tersebut timbul secara mendadak dan hilang dalam waktu 3



sampai 14 hari. Antibodi terhadap HIV muncul setelah hari ke-10 sampai ke-14 infeksi, dan kebanyakan akan mengalami serokonversi setelah infeksi minggu ke 3 sampai 4. Perhatikan ketidakmampuan untuk deteksi antibodi saat waktu tersebut bisa menyebabkan tes serologik yang false- negative. Hal tersebut memiliki implikasi yang penting karena HIV bisa bertransmisi selama periode ini. Fase kedua, seropositif asimtomatik, merupakan fase yang paling lama terjadi dibandingkan dengan 4 fase lainnya, dan paling bervariasi antar masingmasing individu. Tanpa pengobatan, fase ini biasanya terjadi sekitar 4 sampai 8 tahun. Onset dari fase ketiga infeksi HIV ini menunjukkan bukti fisik pertama dari disfungsi sistem imun. Infeksi jamur yang terlokalisir di ibu jari, jari-jari, dan mulut sering kali muncul. Gejala konstusional seperti keringat malam, penurunan berat badan, dan diare sering terjadi. Tanpa pengobatan, durasi dari fase ini berkisar antara 1 sampai 3 tahun. Pada wanita, sering timbul keputihan akibat jamur dan infeksi trikomonas. Oral hairy leukoplakia merupakan gejala yang paling sering terlewatkan pada infeksi HIV dan sering ditemukan pada lidah. Fase AIDS diartikan sebagai supresi imun yang signifikan. Gejala pulmoner, gastrointestinal, neurologik, dan sistemik merupakan gejala yang biasa terjadi yang mengidap HIV/AIDS, dimana tercantum pada teori bahwa HIV dapat menyebar melalui kontak seksual, pajanan parenteral ke dalam darah, dan transmisi maternal. Transmisi melalui kontak seksual dapat secara oral, vaginal, dan anal, sedangkan transmisi melalui darah, dapat melalui transfusi darah, kecelakaan jarum suntik, serta pemakaian jarum suntik secara bergantian, untuk transmisi maternal dapat terjadi melalui plasenta, saat proses kelahiran, atau melalui ASI. Seseorang yang ingin menjalani tes HIV/AIDS untuk keperluan diagnosis harus mendapatkan konseling pra tes. Hal ini harus dilakukan agar ia dapat mendapat informasi sejelas-jelasnya mengenai infeksi HIV/AIDS sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun hasil tesnya nanti. Untuk memberitahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik hasil positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan informasi mengenai pengobatan untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta cara pencegahan penularan. Jika hasilnya negatif, konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak berisiko. Badan Centers for Disease and Prevention (CDC) telah membuat kriteria untuk infeksi HIV pada pasien dengan usia lebih dari 18 bulan, yaitu : Hasil positif dari tes skrining antibodi HIV, seperti Immunoassay enzym reaktif yang berulang, diikuti dengan



hasil positif dari tes konfirmasi antibodi HIV, seperti Western Blot atau Tes antibodi imunoflourecence. Secara umum, penatalaksanaan HIV/AIDS yaitu pengobatan antiretroviral, pengobatan terhadap infeksi oportunistik, dan pengobatan suportif. Pada kasus ini, tatalaksana awal dilakukan dengan pemberian terapi simtomatik, terapi ini diberikan untuk mengatasi gejalagejala yang terjadi pada pasien bersamaan dengan dilakukannya pemeriksaan penunjang yang disarankan. Pemberian cairan isotonik dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan elektrolik pasien dan mencegah terjadinya kekurangan cairan pada pasien, nystatin drop ditujukan untuk mengatasi oral candidiasis pasien, dan paracetamol sebagai antipiretik saat pasien demam. Injeksi ciprofloksasin digunakan untuk mencegah adanya infeksi lebih lanjut, termasuk infeksi nosokomial. Injeksi ranitidin digunakan untuk mencegah stres ulser pada pasien akibat obat-obatan yang diberikan. Edukasi tentang penyakit HIV yang diderita oleh pasien, baik itu secara perorangan maupun keluarga setelah diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan lab, serum anti HIV, dan konseling VCT. Pemberian dukungan membantu pasien untuk meminimalisir isolasi, kesendirian, dan ketakutan. Memberikan dukungan dan pengawasan terhadap pasien dapat meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang diberikan Sebelum memulai terapi, pasien harus diperiksa jumlah CD4 terlebih dahulu, untuk memberikan dosis yang tepat pada pengobatan ARV. Pengobatan ARV pada pasien HIV diberikan ketika perhitungan CD4 telah mencapai nilai kurang dari 350. Hitung sel CD4, kadar RNA HIV serum juga digunakan untuk memantau resiko perkembangan penyakit dan menentukan waktu yang tepat untuk memulai modifikasi regimen obat. Tujuan terapi ARV ini adalah penekanan secara maksimum dan berkelanjutan jumlah virus, pemulihan, atau pemeliharaan(atau keduanya) fungsi imunologik, perbaikan kualitas hidup. Penggunaan ARV (antiretroviral) pada pasien dengan hasil tes HIV positif merupakan upaya untuk memperpanjang umur harapan hidup ODHA (orang dengan HIV AIDS). ARV berfungsi untuk menangani infeksi dengan cara memperlambat proses reproduksi HIV yang ada dalam tubuh. Penggunaan ARV yang efektif digunakan dalam bentuk kombinasi, bukan hanya untuk menyembuhkan, tetapi dapat dipergunakan untuk memperpanjang usia harapan hidup ODHA, membuat mereka lebih sehat, dan lebih produktif dengan mengurangi viraemia dan meningkatkan jumlah sel-sel CD4. Kendala yang sering dijumpai oleh ODHA dalam



memperoleh ARV, antara lain pelayanan kesehatan yang terbatas dan konseling rutin yang membutuhkan biaya. Pemakaian ARV dalam waktu yang lama menimbulkan rasa bosan, kurang displin dan kekhawatiran efek samping. Perilaku ODHA dengan pola hidup yang tidak teratur, stigma dan diskriminasi orang lain merupakan faktor penghambat lain yang dalam penggunaan ARV. Ketidakpatuhan dalam penggunaan ARV dapat dipengaruhi dari social dan kebudayaan masyarakat . Perspektif sosial dapat digunakan dalam pemahaman bahwa kesehatan dan pelayanan kesehatan tidak hanya dijadikan permasalahan medis, tetapi juga permasalahan sosial. Pendekatan sosial dan pendekatan medis dapat dilakukan bersama, ditekankan tidak hanya pada proses sosial terjadinya suatu penyakit dan sakit, tetapi juga pada intervensi



didalam



struktur sosial dan budaya untuk pencegahan atau bahkan



pengobatan penyakit tersebut. B. Terapi Antiretroviral (ARV) Prinsip pemberian ARV menggunakan 3 jenis obat dengan dosis teurapetik. Jenis golongan ARV yang rutin digunakan : 1. NRTI ( Nucleoside and nucleotide reverse transcriptaser inhibitors) dan NNRTI (non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors), berfungsi sebagai pengahambat kinerja enzim reverse transcriptase ( enzim yang membantu HIV untuk berkembang dan aktif dalam tubuh pejamu). 2. PI (protease inhibitors), menghalangi proses penyatuan dan maturasi HIV 3. INSTI (integrase strand transfer inhibitors), mencegah DNA HIV masuk ke dalam nucleus. 4. Pemberian ARV diinisiasi sedini mungkin sejak penderita terbukti menderita HIV. C. Penatalaksanaan ARV 1. Konseling Konseling merupakan bagian dari VCT dan dilakukan oleh tenaga kesehatan. VCT adalah voluntary counselling and testing atau bisa diartikan sebagai konseling dan tes HIV sukarela (KTS). Layanan ini bertujuan untuk membantu pencegahan, perawatan, serta pengobatan bagi penderita HIV/AIDS. VCT bisa dilakukan di puskesmas atau rumah sakit maupun klinik penyedia layanan VCT. Konseling ini dilakukan oleh petugas klinik VCT setiap pengambilan ARV dan pengecekan CD4. Penelitian



tentang konseling pernah dilakukan oleh Permatasari (2014) menyimpulkan bahwa ODHA sebelum melakukan terapi ARV diberi konseling untuk meningkatkan kepatuhan dalam minum ARV 2. Alur penatalaksanaan akses ARV yang dijalani informan yaitu penjelasan gambaran pengobatan yang dilakukan oleh informan mulai dari pemahaman tentang pengobatan, prosedur pengambilan obat, eek samping obat, dan upaya mengatasi efek samping. Informan dalam penelitian ini berusaha memahami bagaimana langkah-langkah dari penanganan penyakit, sehingga dengan pemahaman yang baik ODHA tetap menjalani pengobatan. . Pemahaman dalam penelitian ini berupa jenis pengobatan, waktu konsumsi obat, efek samping pengobatan dan waktu kontrol ke VCT. Pengambilan obat dilakukan sebulan sekali sekaligus untuk berkonsultasi berkaitan dengan keluhan yang dirasakan dengan tenaga kesehatan yang ada di VCT. 3. Pengobatan ARV ini dapat dilakukan untuk menurunkan jumlah virus HIV/AIDS yang ada di tubuh. Mengkonsumsi ARV lini pertama dengan jenis obat Neviral Duviral pernah mengalami efek samping pusing, mual dan muntah. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Dianti (2014) bahwa terdapat efek samping yang sering terjadi gatal-gatal dan mual muntah. Efek samping tidak hanya secara fisik aja yang dialami tetapi dari segi psikososial juga ada yaitu stress, bosan, merasa terbebani dan tersiksa sama halnya yang dialami informan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sari, Endah, Kahija (2014) bahwa efek samping dari ARV menyebabkan mengalami sakit secara psikis dan maupun fisik. Kondisi ini memunculkan stress baru karena kondisi tubuh yang mengalami efek samping dari minum ARV. 4. Motivasi minum ARV yang mempengaruhi ODHA menjalani pengobatan yaitu motivasi dari diri sendiri dan orang lain. Orang lain merupakan motivasi pengaruh bagi tambahan yang sangat berpengaruh bagi ODHA biasanya diperoleh dari keluarga, pendamping dan tenaga kesehatan. Motivasi dari diri sendiri merupakan hal disampaikan oleh petugas ketika mereka melakukan konseling selalu diselipkan kalimat-kalimat yang menumbuhkan motivasi diri untuk ODHA. Hasil penelitian ini didukung oleh Yuniar (2013) yang



menyebutkan motivasi dari dalam diri ODHA untuk sembuh dan bertahan hidup merupakan alasan kepatuhan minum ARV. Optimisme hidup ODHA merupakan motivasi hidup, semngat bekerja dan pikiran yang positif (Danistya, 2012) 5. Dukungan Minum ARV adalah dukungan yang diperoleh informan karena akan mempengaruhi kepatuhan dalam minum ARV. Dukungan merupakan doa yang tersembunyi dan mampu memberikan semangat tersendiri bagi ODHA. Seluruh informan mendapat dukungan dari keluarga, teman pendamping ODHA dan dari tenaga kesehatan. Dukungan merupakan suatu bentuk motivasi serta menjadi kekuatan tersendiri bagi ODHA. Menurut Sarafino (2011) menyatakan bahwa dengan adanya dukungan dari social maka akan menciptakan lingkungan yang kondusif sehingga memberikan motivasi dan wawasan bari bagi ODHA. Dalam penelitian ini informan didukung oleh keluarga, pendamping, petugas kesehatan dan sesama ODHA yang lain untuk tetap menjalankan pengobatan yaitu minum ARV karna ARV diminum selama hidupnya. Keluarga menjadi sumber kekuatan dan dukungan yang utama bagi ODHA dalam menjlani pengobatan. 2.2 Peran perawat dalam meningkatkan adherence Peran perawat merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan kedudukan dalam system, dimana dapat dipengaruhi oleh keadaan social baik dari profesi perawatan maupun dari luar profesi keperawatan yang bersifat konstan. Adherence atau patuh adalah kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku psien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan (Niven, N, 2002). Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah sesuatu keadaan dimana pasien mematuhi pengobatan nya atas dasar kesadaran sendiri, bukan hanya karena mematuhi perintah dokter. Hal ini penting karena diharapkan akan lebih meningkatkan tingkat kepatuhan minum obat. Adherence atau kepatuhan harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap kunjungan. Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan oleh ketidak-patuhan pasien mengkonsumsi ARV. Untuk mencapai supresi virologis yang baik diperlukan tingkat kepatuhan terapi ARV yang sangat tinggi. Penelitian menunjukan bahwa untuk mencapai tingkat supresi virus yang



optimal, setidak nya 95% dari smua dosis tidak boleh terlupakan. Resiko kegagalan terapi timbul jika pasien sering lupa minum obat. Kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dengan pasien serta komunikasi dan suasana pengobatan yang konstruktif akan membantu pasien untuk patuh minum obat. Kepatuhan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku pasien dalam minum obat secara benar tentang dosis, frekuensi dan waktunya. Supaya patuh, pasien dilibatkan dalam memutuskan apakah minum obat atau tidak. Kepatuhan ini amat penting dalam penatalaksanaan ART, karena : a. Bila obat tidak mencapai konsentrasi optimal dalam darah maka akan memungkinkan berkembang nya resistensi. b. Minum dosis obat tept waktu dan meminumnya secara benar. c. Derajat lepatuhan sangat berkolerasi dengan keberhasilan dalam mempertahankan supresi virus. Terdapat kolerasi positif antara kepatuhan dengan keberhasilan, dan HAART sangat efektif bila diminum sesuai aturan. Hal ini berkaitan dengan : a. Resistensi obat. Semua obat antiretroviral diberikan dalam bentuk kombinasi, disamping meningkatkan efektivitas juga penting dalam mencegah resistensi. Kepatuhan terhadap aturan pemakaian obat juga sangat membantu mencegah terjadinya resistensi. Virus yang resisten terhadap obat akan berkembang cepat dan berakibat bertambah buruknya perjalanan penyakit. b. Menekan virus secara terus menerus. Obat-obatan ARV harus diminum seumur hidup secara teratur, berkelanjutan, dan tepat waktu cara terbaik untuk menekan virus secara terus menerus adalah dengan meminum obat secara tepat waktu dan mengikuti petunjuk minum obat dengan benar serta dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi. c. Kiat penting untuk mengingat minum obat. 1) Minumlah obat pada waktu yang ssama setiap hari 2) Harus selalu tersedia obat dimana pun biasanya penderita berada, misalnya dikantor, dirumah, dan lain-lain. 3) Bawa obat kemanapun pergi. 4) Gunakan alarm untuk meningkatkan waktu minum obat.



1. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Atau Faktor Prediksi Kepatuhan: a. Karakteristik pasien : 1) faktor sesiodemografi 2) faktor psikososial b. Paduan terapi ARV: jenis obat yang digunakan dalam paduan,bentuk paduan,dan jumlah pil yang diminum c. Karakteristik penyakit penyerta: stadium klinis dan lamanya terdiagnosis HIV d. Hubungan pasien-tenaga kesehatan: kepuasan dan kepercayaan pasien terhadap tenaga kesehatan dan staf klinik 2. Kesiapan Pasien Sebelum Memulai ARV Mempersiapkan pasien untuk memulai terapi ARV dapat dilakukan dengan cara: a. Mengutamakan manfaat minum obat dari pada membuat pasien takut minum obat dengan semua kemungkinan efek samping dan kegagalan pengobatan b. Membantu pasien agar mampu memenuhi janji berkunjung ke klinik 3. Unsur Konseling Untuk Kepatuhan Berobat a. Membina hubungan saling percaya dengan pasien b. Mendorong keterlibatan kelompok dukungan sebaya dan membantu menemukan seseorang sebagai pendukung berobat 4. Monitoring a. Monitoring berkala b. Monitoring klinis c. Pemeriksaan laboratorium dasar d. Monitoring efektivitas



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Penegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan serum HIV digunakan pada awal penegakan diagnosis, sedangkan pemeriksaan RNA HIV dan pemeriksaan CD4 dilakukan untuk membantu mengetahui prognosis dan dosis awal obat pada terapi ARV. Tatalaksana dilakukan sesuai pedoman yang dikeluarkan WHO, yang bertujuan untuk menekan jumlah virus, memelihara fungsi, dan mengurangi morbiditas dan mortaltas akibat HIV/AIDS.



DAFTAR PUSTAKA Riyarto S, Wijayanti Y, Indriani C,Wilasto N, Lazuardi E,Mahendradatta Y. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan diagnosis HIV dan AIDS di Yogyakarta, Solo, dan Semarang. Yogyakarta: Universitas GajahMada. 2010 Brooks GF, Caroll KC, Butel JS,Morse SA, Mietzner TA, Jawets M,et al. Mikrobiologi kedokteran.Edisi ke-25. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010 DEPKES RI (2011). Pedoman nasional tatalaksana klinis infeksi HIV dana teravi antirotroviral. Kementiran kesehatan republik Indonesia. Nursalam, dkk. 2008. Asuhan keperawatan pada pasien terinfeksi HIV/AIDS Jakarta: salemba Medika Hadisetyono B. Hak Kesehatan Penderita HIV/AIDS : Kendala-kendala yang dihadapi Penderita HIV/AIDS dalam Memperoleh Obat- obat Antiretroviral sebagai Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah. Jakarta: Univ Conrad., P. Leiter, V. Health and Health Care as Social Problems. Oxford. Rowman and Littlefield Publisher. 2003