HMD Pada BBLR [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Laporan Kasus



Hyaline Membrane Disease (HMD) pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)



Oleh : Rusmia Yuniarti, S.Ked NIM. 1830912320010



Pembimbing : dr. Pudji Andayani, Sp.A (K)



BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK FK UNLAM - RSUD ULIN BANJARMASIN Agustus, 2019



DAFTAR ISI Halaman Judul.................................................................................................. i Daftar Isi............................................................................................................ ii BAB I



PENDAHULUAN............................................................................. 1



BAB II



TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 3 1. Gawat Nafas Pada Neonatus...................................................... 3 2. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)............................................ 9 3. Hyaline Membrane Disease (HMD........................................ 13



BAB III LAPORAN KASUS......................................................................... 16 BAB IV DISKUSI KASUS.............................................................................. 36 BAB V



PENUTUP........................................................................................ 44



DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN



ii



BAB I PENDAHULUAN



Angka kematian neonatal menjadi sangat penting karena menyumbangkan kontribusi sekitar 59% terhadap angka kematian anak. Besarnya pengaruh angka kematian neonatal dalam angka kematian anak, menjadikan angka kematian neonatal sebagai target spesifik dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu 12 kematian neonatal per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2030 yang mana target sebelumnya yang tertera pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012 adalah 19 kematian per 1000 kelahiran hidup.1,2 Salah satu yang mempengaruhi angka kematian neonatal adalah komplikasi neonatal. Komplikasi neonatal adalah neonatus dengan penyakit yang dapat menyebabkan kecacatan dan kematian, seperti asfiksia, ikterus, hipotermia tetanus neonatorum, infeksi/sepsis, trauma lahir, Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), sindroma gangguan pernafasan dan kelainan kongenital.2,3 Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) diartikan sebagai bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram. BBLR merupakan prediktor tertinggi angka kematian bayi, terutama dalam satu bulan pertama kehidupan. Berdasarkan studi epidemiologi, bayi BBLR mempunyai risiko kematian 20 kali lipat lebih besar di bandingkan dengan bayi yang lahir dengan berat badan normal. 4,5 Lebih dari 20 juta bayi di seluruh dunia lahir dengan BBLR dan 95.6% bayi BBLR lahir di negara yang sedang berkembang, contohnya di Indonesia. BBLR disebabkan oleh usia kehamilan yang pendek (prematuritas), Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) yang dalam bahasa Indonesia disebut Pertumbuhan



1



Janin Terhambat (PJT) atau keduanya. Kedua penyebab ini dipengaruhi oleh faktor risiko, seperti faktor ibu, plasenta, janin dan lingkungan. Faktor risiko tersebut menyebabkan kurangnya pemenuhan nutrisi pada janin selama masa kehamilan.5,6 Sindrom gawat nafas atau respiratory stress syndrome (RDS) selain itu juga dikenal sebagai idiopathic respiratory distress syndrome adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis, dan histologis yang terjadi akibat ketidakmaturan paru dengan unit pernafasan yang kecil dan sulit mengembang dan tidak menyisakan udara diantara usaha nafas. Istilah Hyaline Membrane Disease (HMD) sering kali digunakan saling bertukar dengan RDS.7 Respiratory Distress Syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh ketidakmaturan dari sel tipe II dan ketidakmampuan sel tersebut untuk menghasilkan surfaktan yang memadai. Respiratory Distress Syndrome terjadi pada bayi prematur, karena kurangnya produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda usia kehamilan makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Terdapat empat faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes maupun seksio sesaria.7



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



1. GAWAT NAPAS PADA NEONATUS A. Definisi Gawat merupakan suatu kondisi klinis yang ditandai dengan kesulitan bernapas dengan disertai gejala gejala misalnya takipne (frekuensi napas >60 kali/menit), napas cuping hidung, retraksi dinding toraks, atau merintih.8 B. Epidemiologi Gawat napas terjadi pada 45% pada bayi preterm dan 4% pada bayi aterm serta kurang dari 1% pada bayi post matur.9 C. Etiologi Gawat napas pada neonatus dapat disebabkan oleh berbagai etiologi. Berikut berbagai etiologi yang mungkin menyebabkan gawat napas pada neonatus (tabel 1).9 Tabel 1. Etiologi Gawat Napas pada Neonatus.9 Etiologi Cukup Sering



Sering







    



Transient tachypnoea of the newborn Sindrom gawat napas Pneumonia Sindrom mekonium aspirasi Pneumotoraks Hipertensi arteria pulmonal (primer maupun sekunder)



       



Perdarahan pulmonal Efusi pleura Gangguan neuromuskular Asidosis metabolik Kelainan kongenital Hernia diafragma kongenital Fistula trakeoesofagus Atresia koanal



3



Jarang



 



Sindrom defisiensi protein surfaktan Displasia kapiler alveolus



  



Gagal jantung Hypoxic-ischaemic encephalopathy Aspirasi susu atau darah



  



Sekuestrasi pulmonal Emfisema lobaris Hipoplasia pulmonal



D. Faktor Risiko Terdapat beberapa faktor risiko yang meningkatkan risiko terjadinya gawat napas pada neonatus, diantaranya adalah sebagai berikut:10 − Ibu berusia lanjut − Persalinan secara sectio caesaria − Etnis kaukasia − Hernia diafragma kongenital − Diabetes getasional − Hipotermia − Asfiksia intrapartum − Aspirasi mekonium − Kehamilan multiple − Prematuritas − Terdapat riwayat keluarga gawat napas − Hipoplasia pulmonal − Infeksi − Perdarahan



E. Patogenesis dan Patofisiologi Defisiensi surfaktan merupakan faktor utama yang berperan dalam patogenesis gawat napas. Defisiensi surfaktan akan menyebabkan ketidakcocokan antara perfusi dan ventilasi pada alveolus. Pada saat terjadi pengembangan rongga toraks, adanya defisiensi surfaktan akan menyebabkan alveolus hanya mengalami



4



perfusi, tetapi tidak mengalami ventilasi. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya hipoksia dan atelektasis pada pulmo. Akibatnya, akan terjadi penurunan komplians pulmo, penurunan volume tidal, peningkatan ruang rugi fisiologis, peningkatan kerja pernapasan, dan buruknya ventilasi alveolus. Tidak efektifnya proses pernapasan yang pada akhirnya akan memicu terjadinya hiperkapnia. Adanya hiperkapnia selanjutnya akan memicu reaksi kompensasi untuk meningkatkan kadar oksigen dan menurunkan kadar karbon monoksida di dalam darah, yakni dengan melakukan hiperventilasi (takipne). Berikut adalah ringkasan diagram patogenesis dan patofisiologi terjadinya gawat napas (gambar 1).10 F. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis yang dapat ditemui pada gawat napas diantaranya adalah dispne, merintih (grunting), takipne (frekuensi napas>60 kali/menit), pernapasan cuping hidung, retraksi dinding toraks, dan sianosis. Manifestasi klinis yang hampir selalu muncul adalah dispne yang diikuti dengan takipne, pernafasan cuping hidung, retraksi dinding toraks, dan sianosis.11 G. Diagnosis Penegakan diagnosis gawat napas didasarkan pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan gejala-gejala kesulitan bernapas, misalnya dispne merintih, takipne, pernapasan cuping hidung, retraksi dinding toraks, dan sianosis. Untuk membantu menegakkan diagnosis klinis gawat napas, sistem skoring Downe (gambar 2) dikatakan cukup bermanfaat dengan sensitivitas 88% dan spesifisitas 81%.8



5



Intrapartum asphyxia C-section Prematurity Familial disposition Acidosis



Diminished surfactant



Impaired cellular metabolism



Progressive atelactasis



Alveolar hypoperfusion



Hypoventllation (disturbed V/Q)



pCO2 pO2 pH



Pulmonary vasoconstriction



Hypotension “shock” Transient tachypnoea Meonatal asphyxia Apnoea



Gambar 1. Patogenesis dan Patofisiologi Gawat Napas pada Neonatus.10



Intrapartum asfiksia, prematuritas, asidosis, transien takipne, dan apne akan menyebabkan defisiensi surfaktan sehingga terjadi hipoventilasi. Hipoventilasi akan meningkatkan CO2 , menurunkan O2 dan pH serta vasokonstriksi aliran darah pulmo. Hipoperfusi alveolus akan mengganggu metabolisme sel sehingga terjadi atelektasis yang progresif. Selain itu transient takipne, asfiksia neonatal dan apne juga dapat meningkatkan CO2. 10



6



Interpretasi : skor 1-3 gawat nafas ringan, 4-5 gawat nafas sedang, ≥6 ancaman gagal nafas Gambar 2. Skoring Downe dan Interpretasinya.8 Penegakan diagnosis gawat napas juga memerlukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah (meliputi pemeriksaan darah lengkap, C-reactive protein, kultur darah, dan analisa gas darah), pemeriksaan saturasi oksigen, dan pemeriksaan foto toraks.9



7



H. Tatalaksana Berikut adalah alur tatalaksana pada neonatus yang mengalami gawat napas.12,13 Neonatus dengan distres nafas



Berat (PCH, grunting, apneu, sianosis) Ringan (Takipne ringan) Resusitasi :  Bersihkan jalan nafas, hisap lendir (suction)  Pemberian oksigen, pasang OGT  Pasang akses intra vena :  D10% 60ml/kgBB Disesuaikan  Ca-Gukonas 10% 6-8 ml/kgBB menurut usia  Monitor temperatur  Monitor sarurasi  Rontgen toraks(bila memungkinkan)



Evaluasi menggunakan skor Downes



Ya



Perbaikan klinis



Observasi 30 menit



TIDAK (Ancaman gagal nafas/DS>6)



   



Membaik



Intubasi Pemberian antibiotik spektrum luas Ampicillin & Gentamikin (inisial) Pemeriksaan penunjang : Darah rutin & hitung jenis AGD, GDS, elekrolit, rotgen toraks Konsul NICU/rujuk ke RS yang memiliki NICU



Tidak



  



Ya



Pemberian O2 dolanjutkan Monitoring saturasi Rontgen toraks Evaluasi menggunakan Skor Downes



Hasil AGD : Asidosis Metabolik/respirator ik Pila pH < 7,25 Na1-2 Bikarbonat Mtg/kgBB dlm 30 menit



Hasil AGD : Asidosis Metabolik/respirato rik Pila pH < 7,25 Na1-2 Bikarbonat Mtg/kgBB dlm 30 menit



Perawatan Bayi rutin



Perawatan di NICU



Gambar 3. Diagram Tatalaksana Gawat Napas pada Neonatus.12,13



8



2. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia gestasi. Berat saat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir. Dalam pedoman tersebut bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram diukur pada saat lahir atau sampai hari ke tujuh setelah lahir.14 Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan istilah lain untuk bayi prematur hingga tahun 1961. Istilah ini mulai diubah dikarenakan tidak seluruh bayi dengan berat badan lahir rendah lahir secara prematur. World Health Organization (WHO) mengubah istilah bayi prematur (premature baby) menjadi berat bayi lahir rendah (low birth weight) dan sekaligus mengubah kriteria BBLR yang sebelumnya ≤ 2500 gram menjadi < 2500 gram.14,15 Klasifikasi BBLR dapat dibagi berdasarkan derajatnya dan masa gestasinya. Berdasarkan derajatnya, BBLR diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, antara lain :16 1. Berat bayi lahir rendah (BBLR) atau low birth weight (LBW) dengan



berat



lahir 1500 – 2499 gram. 2. Berat bayi lahir sangat rendah (BBLSR) atau very low birth weight (VLBW) dengan berat badan lahir 1000 – 1499 gram. 3. Berat bayi lahir amat sangat rendah (BBLASR) atau extremely low birth weight (ELBW) dengan berat badan lahir < 1000 gram.



9



Berdasarkan masa gestasinya, BBLR dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu :16 1. Prematuritas murni/Sesuai Masa Kehamilan (SMK). Bayi dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu dan berat badan sesuai dengan berat badan untuk usia kehamilan. Kepala relatif lebih besar dari badannya, kulit tipis, transparan, lemak subkutan kurang, tangisnya lemah dan jarang,. 2. Dismaturitas/Kecil Masa Kehamilan (KMK). Bayi dengan berat badan kurang dari berat badan yang seharusnya untuk usia kehamilan, hal tersebut menunjukkan bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauterin. Penyebab dari BBLR dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor ibu dan faktor janin. Faktor dari ibu meliputi berat badan sebelum hamil rendah, penambahan berat badan yang tidak adekuat selama kehamilan, malnutrisi, riwayat kehamilan dengan berat badan lahir rendah, remaja, tubuh pendek, sudah sering hamil, dan anemia.17 Infeksi pada ibu selama kehamilan, sosial ekonomi rendah, dan stres maternal, juga dapat menyebabkan terjadinya kelahiran BBLR. Faktor janin dan plasenta yang dapat menyebabkan BBLR antara lain kehamilan ganda, hidroamnion, dan cacat bawaan. Status pelayanan antenatal (frekuensi dan kualitas pelayanan antenatal, tenaga kesehatan tempat periksa hamil, umur kandungan saat pertama kali pemeriksaan kehamilan) juga dapat beresiko untuk melahirkan BBLR.17,18 Masalah yang sering dijumpai pada BBLR antara lain keadaan umum bayi yang tidak stabil, henti nafas, inkoordinasi reflek menghisap dan menelan, serta



10



kurang baiknya kontrol fungsi motorik oral, sehingga beresiko mengalami kekurangan gizi dan keterlambatan tumbuh kembang. Keterlambatan tersebut dapat dilihat pada fisik BBLR, seperti berat badan rendah (< 2500 gram), panjang badan pendek (≤ 45 cm), dan lingkar kepala kecil (< 33 cm). Kekurangan gizi ini diantaranya disebabkan oleh meningkatnya kecepatan pertumbuhan, serta semakin tingginya kebutuhan metabolisme, cadangan energi yang tidak mencukupi, sistem fisiologi tubuh yang belum sempurna, atau karena bayi dalam keadaan sakit.19 Bayi berat lahir rendah (BBLR) memiliki resiko tinggi dalam mortalitas dan morbiditas pada neonatus. BBLR sangat rentan terhadap infeksi, karena daya tahan tubuh BBLR yang masih rendah. Selain itu, keadaan organ-organ BBLR yang belum matang merupakan faktor resiko terjadinya necrotizing enterocolitis (NEC) pada BBLR. Kejadian NEC tertinggi pada bayi berat lahir < 1500 gram.20 Bayi yang lahir dengan kisaran berat badan antara 2000 – 2500 gram memiliki resiko kematian neonatal 4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan kisaran berat badan 2500 – 3000 gram dan 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan kisaran berat badan 3000 – 3500 gram.16 Kematangan fungsi organ khususnya saluran cerna, sangat menentukan jenis dan cara pemberian nutrisi pada BBLR. Kondisi klinis seringkali merupakan faktor penentu, apakah nutrisi enteral atau parenteral yang akan diberikan. Ketersediaan enzim pencernaan baik untuk karbohidrat, protein, maupun lemak sangat berkaitan dengan masa gestasi. Kemampuan pengosongan lambung



11



(gastric emptying time) lebih lambat pada bayi BBLR daripada bayi cukup bulan.16 Demikian pula fungsi mengisap dan menelan (suck and swallow) masih belum sempurna, terlebih bila bayi dengan masa gestasi kurang dari 34 minggu. Penyebab terjadinya BBLR secara umum bersifat multifaktorial. Namun, penyebab terbanyak yang mempengaruhi adalah kelahiran prematur. Bayi prematur harus dipersiapkan agar dapat mencapai tahapan tumbuh kembang yang optimal seperti bayi yang lahir cukup bulan sehingga akan diperoleh kualitas hidup bayi yang lahir prematur secara optimal pula.16 Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan asupan nutrisi yang mencukupi untuk proses tumbuh kejar pada bayi prematur yang lebih cepat dari bayi cukup bulan. Bayi berat lahir rendah (BBLR) memerlukan penanganan yang tepat untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi. Penanganan BBLR meliputi hal-hal berikut :16 1. Mempertahankan suhu dengan ketat. BBLR mudah mengalami hipotermia. Oleh karena itu, suhu tubuhnya harus dipertahankan dengan ketat. 2.



Mencegah



infeksi



dengan



ketat.



Dalam



penanganan



BBLR



harus



memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan infeksi karena sangat rentan. Salah satu cara pencegahan infeksi, yaitu dengan mencuci tangan sebelum memegang bayi. 3. Pengawasan nutrisi dan ASI. Refleks menelan pada BBLR belum sempurna. Oleh karena itu, pemberian nutrisi harus dilakukan dengan hati-hati.



12



4. Penimbangan ketat. Penimbangan berat badan harus dilakukan secara ketat karena peningkatan berat badan merupakan salah satu status gizi/nutrisi bayi dan erat kaitannya dengan daya tahan tubuh.



3. Hyaline Membrane Disease (HMD) A. Batasan Hyaline Membrane Disease (HMD) juga disebut respiratory distress syndrome (RDS) atau sindrom gawat nafas, merupakan penyakit pernafasan yang terutama mempengaruhi bayi kurang bulan. Keadaan ini terjadi pada sekitar seperempat bayi yang lahir pada usia kehamilan 32 minggu dan insidensinya meningkat sejalan dengan memendeknya periode kehamilan. Semua faktor yang terlibat dalam perubahan fisiologis yang terjadi pada RDS tidak sepenuhnya dipahami tetapi disfungsi primer yang terjadi adalah sintesis surfaktan yang berkurang. 30 B. Faktor Risiko Faktor yang meningkatkan atau menurunkan risiko HMD adalah :30 Peningkatan risiko : 



Kelahiran kurang bulan







Bayi laki-laki







Predisposisi familial







Seksio sesarea tanpa didahului proses persalinan







Asfiksia perinatal







Korioamnionitis



13







Neonatus dari ibu diabetes







Hydrops fetalis



Menurunkan risiko : 



Stres intrauterin yang kronis : KPD dalam jangka panjang, Hipertensi ibu, Pemakaian narkotik, Pertumbuhan janin terhambat (PJT) atau kecil untuk masa kehamilan (KMK)







Kortikosteroid prenatal







Agen tokolitik



C. Presentasi klinis dan radiologis 1. Biasanya ditemui pada saat lahir tetapi mungkin muncul hingga 12 jam setelah kelahiran 2. Ditemui dengan gawat pernafasan yang semakin parah 3. Peningkatan upaya pernafasan dan frekuensi nafas 4. Sianosis pada udara kamar yang terus bertahan atau melaju selama 48 jam pertama kehidupan 5. Takipne (> 60 kali per menit) 6. Merintih pada saat ekspirasi dan retraksi dinding dada 7. Pemeriksaan laboratorium Gas darah mengungkap adanya hipoksia, hiperkapnia dan asidosis Gambaran darah lengkap menyisihkan kemungkinan infeksi Kadar glukosa darah biasanya rendah 8. Foto toraks mengungkap kepadatan retikulogranular bilateral; (penampilan seperti serpihan kaca) dan paru opak (udara bronkogram)



14



D. Penatalaksanaan HMD Umum 30 



Dukungan dasar yaitu pengaturan suhu dan cairan parenteral serta obatobatan (antibiotik)







Pemberian oksigen, lebih disukai O2 40% yang telah dipanaskan dan dilembabkan dengan menggunakan head box







Dukungan pernafasan diperlukan jika pasien terus melemah dibawah kondisi FiO2 lebih dari 60% dan atau jika PaO2 kurang dari 50 mmHg. Pasang Continous Positive Airway Pressure (CPAP)







Jika dengan pemakaian CPAP ditemukan hal berikut : pH 60 mmHg, defisit basa > -10. Apabila ditemukan hal tersebut pada analisa gas darah yang dilakukan dua kali berurutan secara terpisah 20 menit, lanjutkan dengan tindakan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik



Spesifik : terapi penggantian surfaktan



15



BAB III LAPORAN KASUS



A. Identitias Orang Tua Nama ayah



: Tn. J



Nama ibu



: Ny. H



Usia



: 40 tahun



Usia



: 36 tahun



Pekerjaan



: Petani



Pekerjaan



: Pembuat kue



Pendidikan



: -



Pendidikan



: SMP



Alamat



: Jl. Tatah Platar, Pemurus Pal 7 Banjarmasin



B. Data Ibu 1. Riwayat Penyakit Sekarang Ibu datang ke bidan dengan diagnosis G2P1A0 UK 33-34 minggu + inpartu kala I fase aktif (pembukaan 4). Ibu mengeluhkan kencang-kencang dan keluar lendir darah, namun ibu tidak mengetahui pasti sejak jam berapa. Beberapa jam saat di rumah bidan, pembukaan lengkap dan ibu melahirkan spontan dengan dipimpin bidan. 2. Riwayat Obstetri Ibu Riwayat obstetri ibu adalah G2P1A0. Selama kehamilan, ibu mengatakan tidak rutin kontrol kehamilan tiap bulan, satu kali kontrol ke Puskesmas dan tiga kali ke BPM. Taksiran HPHT 15 Januari 2019 dan taksiran persalinan 20 Oktober 2019. Selama hamil trimester I ibu tidak pernah kontrol, pada trimester II, berat badan ibu 40 kg, tekanan darah ibu sekitar 90-100/70 mmHg, dan pada trimester III, berat badan ibu 42 kg, tekanan darah sekitar 100/80. Pada minggu ke 29 ibu



16



mengeluhkan keluar bercak darah dari kemaluan, dan pada minggu ke 33 ibu mengeluhkan hal yang sama (4 hari sebelum kelahiran). Riwayat berhubungan badan disangkal dalam 1 minggu terakhir ini. Riwayat kontak dengan hewan seperti kucing juga disangkal. Riwayat nutrisi ibu kurang selama hamil, ibu jarang makan makanan bergizi. Riwayat meminum obat-obatan juga tidak ada, ibu hanya meminum obat yang diberikan dokter di Puskesmas yaitu Sangobion. 3. Riwayat Penyakit Dahulu Berdasarkan anamnesis, riwayat hipertensi dan diabetes disangkal, serta tidak ada riwayat penyakit keganasan pada keluarga. Riwayat penyakit keluarga serupa seperti yang dialami bayi juga disangkal. Ibu menderita tuberkulosis tahun 2009, saat ini kemungkinan Tuberkulosis relaps karena pasien tidak meminum obat rutin. 4. Riwayat Persalinan Sekarang Diagnosis ibu adalah G2P1A0 UK 33-34 minggu + JTHIU + inpartu kala I fase aktif, cara lahir spontan belakang kepala yang dibantu oleh bidan pada tanggal 9 Agustus 2019 pukul 02.15 WITA. Kondisi bayi saat lahir hidup dengan air ketuban jernih, bayi lambat menangis kuat nilai APGAR score 7-7-8. 5. Faktor Risiko -



Mayor -



KPD > 24 jam Demam intrapartum > 38○C Khorioamnionitis Ketuban berbau DJJ > 160x/menit dan menetap



Minor:



17



+ -



KPD > 12 jam Demam intrapartum > 37,5˚C Nilai APGAR rendah BBSLR < 1500 g Usia gestasi 20 minggu biasanya mengarah ke plasenta previa, solusio plasenta dan vasa previa. Untuk plasenta previa ini cenderung perdarahan banyak dan aktif, pada kasus ini ibu sempat mengalam perdarahan yang terhenti. Solusio plasenta dicurigai apabila terdapat trauma pada abdomen, sehingga memudahkan plasenta lepas dari uterus. Pada solusio plasenta ini akan mempengaruhi kententraman janin, seperti denyut jantung yang tidak normal. Pada kasus ini tidak ada perubahan DJJ yang mengarah ke fetal distres. Vasa previa juga dapat disingkirkan karena ibu tidak ada mengeluhkan keluar air rembesan bersama dengan darah. Kemungkinan besar yang terjadi pada ibu adalah inkompetensi cervix, keadaan dimana cervix mudah menipis dan dilatasi. Hal ini dapat memicu keadaan partus prematurus imminens (PPI).23 Partus Prematurus Imminens (PPI) atau ancaman kelahiran prematur merupakan adanya kontraksi uterus disertai dengan perubahan serviks berupa dilatasi dan effacement sebelum 37 minggu usia kehamilan serta dapat menyebabkan kelahiran prematur. Kelahiran prematur merupakan masalah dengan prevalensi yang tinggi di dunia dan merupakan tantangan bagi dokter khususnya dokter kandungan untuk mengetahui penyebab dan pencegahan kelahiran prematur. Masalah utama kelahiran prematur adalah kurangnya keberhasilan dalam manajemennya.25 Masalah yang sering dijumpai pada BBLR dan prematur antara lain keadaan umum bayi yang tidak stabil, gawat nafas, inkoordinasi reflek menghisap dan menelan, serta kurang baiknya kontrol fungsi motorik oral, sehingga beresiko mengalami kekurangan gizi dan keterlambatan tumbuh kembang. Pada pasien ini



38



terjadi gawat nafas dan saat perawatan mengalami penurunan berat badan dari awalnya 2025 gram menjadi 1835 gram, namun kembali membaik setelah pemberian nutrisi yang cukup saat perawatan. 18 Pada saat lahir, bayi segera menangis dengan skor apgar 7-7-8 dan skor down 5. Interpretasi dari skor apgar 7-7-8 adalah bayi sempat mengalami asfiksia sedang pada menit pertama kehidupannya. Interpretasi skor down 5 juga menunjukkan adanya suatu gangguan pada sistem pernapasan bayi, yakni adanya gawat napas tingkat sedang.8 Gawat napas merupakan suatu kondisi klinis yang ditandai dengan kesulitan bernapas dengan disertai gejala gejala misalnya takipne (frekuensi napas >60 kali/menit), napas cuping hidung, retraksi dinding toraks, atau merintih. Penegakan diagnosis gawat napas secara klinis dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skoring down dengan sensitivitas 88% dan spesifisitas 81%.8 Meskipun sensitivitas dan spesifisitas skor down sudah cukup tinggi, pemeriksaan penunjang masih diperlukan dalam penegakan diagnosis gawat napas. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan darah (meliputi pemeriksaan darah lengkap, C-reactive protein, kultur darah, dan analisa gas darah), pemeriksaan saturasi oksigen, dan pemeriksaan foto toraks.9 Tujuan dilakukannya pemeriksaan penunjang tersebut terutama adalah untuk mencari etiologi yang menyebabkan gawat napas itu sendiri. Pada



By.Ny.H



telah



dilakukan



beberapa



pemeriksaan



penunjang,



diantaranya adalah pemeriksaan darah dan pemeriksaan foto toraks. Berdasarkan hasil pemeriksaan darah tidak ditemukan suatu kelainan yang berarti dan tidak ada



39



bukti yang jelas adanya infeksi. Akan tetapi, hasil bacaan foto toraks masih belum ada hasil pada hari pertama perawatan. Hyaline Membrane Disease atau penyakit membran hialin (PMH). PMH juga disebut Respiratory Distress Syndrome. Patofisiologi dari HMD yaitu pembentukkan paru dimulai dari ke-28 kehamilan dan berakhir 18-24 bulan setelah kelahiran. Ada lima tahap dalam pembentukan paru antara lain 1) embrionik (hari ke-28 sampai dengan minggu ke-7), 2) pseudoglandular (7-16 minggu kehamilan), 3) kanalikular (16-26 minggu kehamilan), 4) saccular (26-36 minggu kehamilan) dan 5) alveolar (minggu terakhir kehamilan). HMD disebabkan oleh defisiensi surfaktan, yang dihasilkan oleh sel pneumosit tipe II sejak minggu ke-20. Adanya defisiensi surfaktan akan menyebabkan peningkatan tegangan pada permukaan alveolus dan menyebabkan pulmo menjadi kolaps. 26 Penyakit ini biasanya terjadi pada bayi kurang bulan dengan tanda klinis takipnea (frekuensi napas > 60 kali/menit), retraksi dinding dada dan sianosis pada udara kamar. Kelainan ini menetap atau bertambah parah selama 48 – 96 jam pertama kehidupan. Pada foto thoraks akan didapatkan gambaran khas berupa gambaran retikulogranuler yang seragam dan air bronchograms. Pada tahap 1 akan ditemukan penurunan transparansi paru namun masih hampir seperti paru normal, tahap 2 ditemukan air bronchograms, tahap 3 ditemukan air bronchograms dengan kabur pada daerah diafragma dan jantung, tahap 4 paruparu berkonsolidasi homogen. 21,26 Pasein ini didiagnosa BBLR dan BKB yang dimana erat hubungannya dengan HMD karena pengembangan paru yang belum sempurna akibat defisiensi



40



surfaktan. Secara teori, HMD akan memberat 48-96 jam perawatan, sesuai dengan pasien ini selama 3 hari perawatan masih memiliki skor down 2 dan memerlukan bantuan Continous Positive Airways Pressure (CPAP) untuk bernafas. Setelah satu hari perawatan hasil bacaan dari radiologi thorax yaitu cor dan pulmo dalam batas normal. Kemungkinan pasien ini HMD ditahap 1. 9,10,22,26 Hipoglikemia neonatus adalah keadaan dimana kadar gula darah dalam plasma < 40 mg/dl. Pada neonatus prematur, jika terjadi keadaan hipoglikemia maka harus dicek ulang sekali lagi, apabila gula darah 24 jam setelah lahir, sehingga berdasarkan gejala klinis tersebut ikterus neonatorum yang terjadi kemungkinan



42



besar merupakan suatu ikterus neonatorum fisiologis, sehingga secara teori tidak memerlukan tatalaksana khusus. Pada saat dirawat di ruang neonatologi RSUD Ulin Banjarmasin pasien mendapatkan terapi berupa terapi sinar. Terapi sinar diberikan pada kasus ini cukup rasional dilakukan mengingat ikterus neonatorum yang terjadi telah mencapai Kramer III dengan prediksi kadar total bilirubin serum berkisar antara 8-16 mg/dl. Berikut adalah tabel prediksi kadar total bilirubin serum berdasarkan Kramer.28 Tabel Prediksi Kadar Total Bilirubin Serum Berdasarkan Kramer.28 Kramer



Prediksi Kadar Total Bilirubin Serum



I



4-8



II



5-12



III



8-16



IV



11-18



V



>15



Berdasarkan prediksi kadar total bilirubin serum tersebut, maka dianjurkan untuk diberikan terapi sinar. Pemberian terapi sinar dianjurkan pada bayi preterm usia 25-48 jam yang mengalami ikterus neonatorum, dengan berat badan > 2000 gram dan dalam keadaan sakit, indikasi terapi sinar dimulai dari kadar bilirubin > 10 mg/dl. 29



43



BAB V PENUTUP



Telah dilaporkan sebuah kasus tentang seorang bayi laki-laki berinisial By.Ny.H yang dirawat di RSUD Ulin Banjarmasin sejak tanggal 9 Agustus 2019 dengan diagnosis BBLR + BKB + SMK + Gawat nafas e.c HMD + Riwayat Hipoglikemia + Ikterus Neonatorum + Suspek Sepsis.



44



DAFTAR PUSTAKA



1. Maurice J. Measuring progress towards SDGs-A new vital science. The Lancet 2016; 388:1455. 2. WHO. SDGs health and health-related target. Dalam: Monitoring health for SDGs. Geneva: WHO Regional Office of South-East Asia, 2015. pg. 29-34. 3. Kementerian Kesehatan RI. Profil kesehatan Indonesia 2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan, 2014. h. 106-10. 4. Usman A. Klasifikasi berat badan dan usia kehmilan. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Edisi I. Usman A Buku ajar neonatologi. Jakarta: IDAI, 2012. h. 11-12. 5. Dinas Kesehatan. Riset kesehatan dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010. 6. Mahayana SA, Chundrayetti E, Yulistina. Faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian berat badan lahir rendah di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas 2015; 4(3): 664-673. 7. Nugraha AS. Low weight birth infant with respiratory distress syndrome. J Agromed Unila 2014; 1(2): 191-194. 8. Rusmawati A, Haksari EL, Naning R. Downes score as a clinical assessment for hypoxemia in neonatus with respiratory distress. Paediatrica Indonesiana 2016; 48(6):342-5. 9. Edwards MO, Kotecha SJ, Kotecha S. Respiratory distress of the term newborn infant. Paediatric respiratory reviews 2013; 14(1):29-37. 10. Holme N, Chetcuti P. The pathophysiology of respiratory distress syndrome in neonatus. Paediatrics and child health 2012; 22(12):507-12. 11. Tobing R. Kelainan Kardiovaskular pada sindrom gawat napas neonatus. Sari Pediatri 2016; 6(1):40-6. 12. Hermansen CL, Lorah KN. Respiratory distress in the newborn. American Family Physician 2007; 76(7):987-4. 13. Mathai SS, Raju U, Kanitkar M. Management of respiratory distress in the newborn. Med J armed India 2007; 63(3):269.



45



14. Mutthaya S. Maternal nutrition and low birth weight–what is really important? The Indian Journal and Medical Research 2009; 130: 600–608. 15. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Buku kesehatan ibu dan anak. Jakarta : Pusat Data dan Informasi Kesehatan, 2016. 16. Khairina, Modjo R. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian bayi berat lahir rendah (BBLR) di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Cipayung Kota Depok Provinsi Jawa Barat tahun 2013. FKM UI, 2013. h. 1-16. 17. Ministry of Health Srilanka. Strategies to promote optimal fetal growth and to minimize the prevalence of low birth weight in Srilanka. Thalawathugoda : Health Sector Response, 2013. 18. Musyarofah, Kamariyah N. Lingkar lengan atas akan mempengaruhi pertambahan berat badan bayi lahir di BPS Ardiningsih Surabaya. Jurnal Ilmiah Kesehatan 2016; 9(1): 98-105. 19. Anggraini D, Adityawarman, Utomo B, Suryawan A. Risk factor of low birth weight (LBW). Folia Medica Indonesiana 2014; 50(4): 270-77. 20. Handoyo. Necrotizing enterocolitis pada neonatus prematur dan suplementasi probiotik. Kalbemed 2018; 5(45): 391-4. 21. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Asphyxia. Dalam: Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology. New York: McGraw Hill, 2006. 22. Liu J, Wang Y, Fu W, Yang CS, Huang JJ. Diagnosis of neonatal transient tachypnea and its differentiation from respiratory distress syndrome using lung ultrasound. Medicine 2014; 93(27). 23. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Kehamilan dan persalinan dengan penyulit obstetri. Dalam: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan. WHO, 2016. h. 96-100. 24. Reiterer F. Neonatal pneumonia in neonatal infection disease. InTech. 2013. 25. Widiana IK, Putra IW, Budiana IN, Manuaba IB. Karakteristik pasien partus prematurus imminens di RSUP Sanglah Denpasar periode 1 April 2016 – 30 September 2017. E-Jurnal Medika 2019; 8(3). 26. Gueye M, Ndouri DD. Diagnostic and management of hyaline membrane disease. EC Paediatrics 2018; 7(8): 810-819.



46



27. Intensive Care Nursery. Neonatal Hypoglicemia. UCF. 2008. Available from: URL: http//www.ucsfbenioffchildrens.org//. 28. Viswanath D, Menon VV, Prabhuji ML, Kailasam S, Kumar M. Neonatal jaundice. J Indian Oral Med Rad 2013; 25(3):200-5. 29. Yunanto A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Panduan Praktik Klinik Neonatologi. Banjarmasin: Danar Wijaya, 2013. h. 110-111. 30. Yunanto A. Sindrom distres respirasi. Dalam: Panduan Praktik Klinik Neonatologi. Banjarmasin: Danar Wijaya, 2013. h. 149-150.



47