Hollywood: Industri Budaya Global (Cultural Imperialism Theory) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Komunikasi Global Hollywood: Industri Budaya Global Oleh Melia Halim 1006695135 Hollywood. Semua pasti pernah mendengar nama tersebut. Hampir semua bioskop di dunia, termasuk di Indonesia terlihat “sepakat” untuk memutar film-film terbaru buatan industri film Hollywood. Kita akrab dengan film Titanic, Harry Potter series, dan Twilight SAGA. Kecintaan masyarakat Indonesia terhadap film-film Hollywood terlihat jelas dari panjang antrian untuk menonton film-film tersebut, apalagi film Hollywood dengan serial yang sudah lama ditunggu-tunggu. Dari segi jumlah penonton, film-film produksi lokal, seperti Laskar Pelangi, Arisan, dan CIN(T)A justru selalu seperti tamu di negaranya sendiri. Fenomena yang sama bisa dikatakan juga terjadi di negara-negara lain, bahkan di negara-negara maju seperti negara di Eropa sekalipun. Globalisasi, Dasar Industri Budaya Jika ditilik lebih dalam, terjadinya fenomena ini harus ditarik mundur sejak globalisasi menjadi sebuah fenomena yang -sesuai dengan namanya- amat universal. Kata globalisasi pertama kali muncul pada tahun 1960-an dan makin populer digunakan pada tahun 1900-an1. Globalisasi berasal dari kata “global” yang berarti universal. Memang hingga saat ini, definisi yang mapan terhadap istilah globalisasi masih belum ditentukan. Hal ini disebabkan karena tiap-tiap kelompok memiliki definisi globalisasi yang sesuai dengan ideologi maupun cara pandang yang digunakan. Sebagai contoh, bagi kaum skeptis seperti Paul Hirst dan Grahame Thompsone, mereka berpendapat bahwa globalisasi hanyalah khayalan yang berlebihan (overstated)2 karena tidak lebih daripada “internasionalisasi”. Ada lagi kalangan yang melihat bahwa globalisasi adalah sebuah “bungkus baru” kapitalisme dari negaranegara adidaya3.



1



Martin Wolf, Globalisasi: Jalan Menuju Kesejahteraan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Freedom Institute),h. 15 2 Ibid., h. 16 3 Robert H. Imam, Esai-Esai Untuk Frans Magnis Suseno: Sesudah Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius), h. 165



1



Terlepas dari segala perdebatan mengenai makna globalisasi, secara singkat bisa dikatakan bahwa terminologi “globalisasi” memiliki ciri umum4 seperti hilangnya batasan-batasan sehingga memungkinkan terjadinya aliran global di bidang teknologi, ekonomi, barang, informasi, hingga manusia. Hampir semua ahli sepakat bahwa globalisasi tidak mungkin bisa dihindarkan. Frederick W. Smith, CEO dari FedEx bahkan memberikan pernyataan “Globalization is inevitable and inexorable and it is accelerating...Globalization is happening, it’s going to happen. It does not matter whether you like it or not, it’s happening, it’s going to happen”5 Penjelasan globalisasi sebelumnya menjadi penegasan bahwa globalisasi, terlepas apapun namanya, sedang terjadi. Dan hal ini tidak lepas kaitannya dengan Hollywood, yang saat ini bisa dikatakan merupakan suatu industri budaya yang bernilai ekonomi fantastis. UNESCO memberikan definisi6 industri budaya sebagai industri yang meliputi percetakan, penerbitan, produksi multimedia, audio visual, fonografi (rekaman suara), sinematografi, termasuk kerajinan tangan dan desain. Tentu saja industri budaya tidak jauh dengan kreatifitas, karena kreatifitas-lah yang menjadi nilai tambah dari industri ini. UNESCO mengatakan bahwa industri budaya merupakan industri yang



memiliki ciri khas budaya dan ekonomi yang kental.



Dalam hal ini, industri budaya yang akan dibahas tentunya Hollywood, yang produknya didominasi oleh film. Hollywood, Hasil dari Kesuksesan Sejarah Keberhasilan Hollywood menjadi industri budaya yang besar -kalau bukan yang terbesar- didukung oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor sejarah. Menurut Lorenzen7, sejak awal memang film dimulai, atau bisa dikatakan, lahir di Amerika. Pada tahun 1915, pembuatan film-film Amerika sudah mayoritas dilakukan di studio-studio Los Angeles, tempat Hollywood berada. Didukung oleh populasi warga Amerika Serikat yang bertambah pesat, industri film pada waktu itu cukup berkembang pesat mengingat terbatasnya hiburan yang ada pada masa itu. Tidak



4



Ibid., h. 177. Manfred B. Steger, Globalization: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press), h.100. 6 Culture, Trade, and Globalization (Paris: UNESCO), h.15. 7 Mark Lorenzen. On the Globalization of the Film Industry, (Copenhagen: Copenhagen Business School), h 3 5



2



mengherankan jika Lorenzen berpendapat bahwa memang sudah sejak pertama kalinya ditemukan film, Amerika merupakan produsen film yang terbesar. Pada pertengahan tahun 1980-an, mulai terjadi apa yang disebut Allen J. Scott 8 sebagai “New Hollywood”, di mana terjadi perubahan, tidak hanya pada studio, tetapi juga teknologi sehingga merubah segi estetika perfilman. Kesemua perubahan ini tidak bisa dipungkiri disebabkan pula oleh hal yang mendorong terjadinya globalisasi, yakni perubahan teknologi yang mulai menggunakan komputer, serta hilangnya batas-batas geografis dunia yang mempermudah terjadinya ekspor film. Tentunya, perubahan teknologi pada akhirnya mendorong pula cara berbisnis di Hollywood. Perluasan pasar akibat munculnya pasar non-domestik membuat nilai ekonomi Hollywood menjadi menggiurkan bagi para pemilik modal. Tidak heran, terjadi penguasaan-penguasaan studio-studio film di Hollywood oleh para pemilik media raksasa, atau yang sering dikenal sebagai konglomerat media. Lorenzen9 mengatakan pasar yang besar membuat terjadinya kesulitan untuk mengatur selera konsumen, sehingga sulit mengatakan apakah sebuah film akan laku di pasaran global atau tidak. Untuk mengatasi hal ini, Hollywood pun berusaha memanjakan para penikmatnya dengan teknologi-teknologi terbaru yang memukau penonton. Dengan ini, Hollywood pun berhasil membuat “standard” kepuasan bagi masyarakat global. Lahirlah film-film yang dinamakan sebagai film blockbuster10, yakni film yang menggunakan modal yang besar serta menuai penghasilan atau kesuksesan atau popularitas yang besar pula. Tentunya untuk menghasilkan film blockbuster diperlukan aktor/aktris yang terkenal, serta teknologi yang canggih, dan beragam aset lain untuk memanjakan mata penonton seperti setting film. Tentu hal-hal tersebut mendorong biaya produksi film, di sinilah logika ekonomi “New Hollywood”, sebagaimana disebutkan Scott sebelumnya bekerja. Untungnya dengan digitalisasi, data bisa dibuat kopiannya dengan mudah sehingga dibuatlah VCD, DVD, blu-ray, hingga merchandise dari film-film tersebut sehingga keuntungan



8



Allen J. Scott, A New Map of Hollywood: The Production and Distribution of American Motion Pictures, (Los Angeles: Carfax Publishing), hal. 957–975. 9 Lorenzen, Op. Cit. h. 3. 10 http://www.merriam-webster.com/dictionary/blockbuster



3



yang diraih oleh Hollywood bisa semaksimal mungkin karena tidak lagi mengandalkan pemutaran film di bioskop.



Penguasaan Bisnis Hulu ke Hilir: Keuntungan Maksimal Hollywood Ketidakpastian selera pasar serta logika ekonomi liberal membuat terjadinya perubahan struktur bisnis di Hollywood. Integrasi bisnis baik secara horisontal ataupun



vertikal



pun



terjadi



untuk



memaksimalkan



keuntungan.



Lorenzen



mengatakan bahwa jika dahulu Hollywood menggunakan pekerja kreatif dalam waktu lama, saat ini untuk memaksimalkan keuntungan, Hollywood pun memilih sistem outsourcing karena sistem tersebut memberikan keuntungan yang lebih besar bagi industri serta fleksibilitas untuk membuat inovasi dalam film. Scott11 mengatakan bahwa saat ini, perusahaan Hollywood tidak lagi terfokus pada metode tradisional yang hanya fokus pada satu jenis produk (film saja), melainkan melakukan diversifikasi. Telah disebutkan sebelumnya bahwa saat ini film tidak hanya sekadar film yang diputar di bioskop, melainkan meliputi produk turunannya seperti VCD, blu-ray, hingga merchandising. Faktanya adalah hampir semua produk turunan tersebut juga dikuasai oleh pemilik studio Hollywood, sehingga bisa dibayangkan betapa besar perputaran uang industri budaya ini. Belum lagi dalam satu unit perusahaan, terdapat pula unit diversifikasi jenis film yang akan dihasilkan, sehingga bisa dikatakan hampir tidak ada kendala produksi karena modal yang dimiliki memang besar, serta ketersediaan materi (seperti tenaga kerja) untuk memproduksi itu semua. Dalam kegiatan ekonomi, kemampuan produksi yang tinggi tidak akan ada gunanya jika tidak mempunyai kemampuan distribusi. Kegiatan distribusi film merupakan hal yang amat vital dalam kesinambungan industri film karena distribusi merupakan cara untuk memperluas pasar yang tentunya akan berdampak pada peningkatan pendapatan. Biaya produksi film blockbuster pun terkadang bisa kalah besar jika dibandingkan dengan biaya promosi, pemasaran, dan distribusi film12. Namun, bagi Hollywood yang dikuasai oleh konglomerat media global, nampaknya hal ini 11



Scott. Op.cit. hal. 961 Cones J. W., The Feature Film Distribution Deal, (Illinois: Southern Illinois University Press) 12



4



bukanlah hambatan besar. Jaringan yang memang sudah global serta ketersediaan modal besar membuat rantai distribusi berjalan mulus. Tidak heran, film-film Hollywood mampu merambah hampir semua negara-negara di dunia. Industri Film Hollywood VS Film Lokal Dengan berbagai keuntungan tambahan seperti bahasa yang menggunakan bahasa Inggris (bahasa yang diakui sebagai bahasa internasional di dunia), kemampuan mendikte selera pasar, kemampuan produksi untuk memenuhi beragam selera pasar, serta kemampuan distribusi yang tidak mengenal batas, maka tidaklah mengherankan bahwa sebagai industri budaya, Hollywood sulit –atau bahkan tidak mungkin- untuk dikalahkan oleh industri budaya lainnya di tingkat global, seperti industri film Eropa ataupun secara disaingi oleh industri film lokal di tingkat negara sendiri. Untuk mengatasi masalah persaingan industri film Hollywood dengan film lokal buatan Indonesia, mau tidak mau diperlukan regulasi pemerintah, yang jelas sekali akan mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan regulasi ini. Masih segar di dalam ingatan bagaimana kasus embargo film-film Hollywood diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia. Tidak hanya pelaku bisnis impor film13, pemilik bioskop14, pengusaha mal15, pemerintah daerah16, hingga masyarakat pun menentang keras hal ini. Pelaku bisnis impor film khawatir akan terjadinya pengurangan profit, pengusaha mal khawatir terjadinya penurunan pengunjung akibat ketiadaan film Hollywood, pemerintah daerah khawatir pajak hiburan daerah menurun, dan masyarakat khawatir tidak mendapatkan hiburan yang layak di tengah kondisi perfilman nasional yang masih belum mampu menghadirkan film berkualitas secara rutin. Tidak bisa disangkal pula bahwa pada saat ini, film Hollywood bukan lagi sekadar hiburan semata. Berkat film-film Hollywood yang demikian akrab dengan kehidupan masyarakat Indonesia, selera masyarakat pun berhasil didikte untuk menyukai segala sesuatu yang berbau Hollywood, dan sudah merupakan kebutuhan bagi masyarakat Indonesia saat ini.



13 14 15 16



http://bataviase.co.id/node/592620 http://showbiz.vivanews.com/news/read/205441-industri-bioskop-paling-terpukul http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/383307/ http://metro.vivanews.com/news/read/205700-pajak-film-hollywood-buat-cemas-dki



5



Cultural Imperialism Theory Salah satu teori yang mampu memberikan penjelasan tentang betapa kuatnya efek industri Hollywood Amerika adalah teori Cultural Imperialism Theory. Cultural imperialism theory17 (teori imperialisme budaya) adalah teori yang dikemukakan oleh Herb Schiller18 pada tahun 1973. Secara ringkas, teori ini mengatakan bahwa negara-ngeara Barat mendominasi media di seluruh dunia sehingga menghasilkan efek yang besar dalam mempengaruhi budaya Negara Dunia Ketiga dengan memaksa mereka untuk menggunakan persepsi Barat sehingga menghancurkan budaya asli daripada Negara Dunia Ketiga tersebut. Teori ini berkata bahwa Negara Barat memproduksi mayoritas dari media seperti film, berita, komik, dan lainnya karena mereka didukung oleh sumber daya yang besar (uang). Negara-negara lain membeli produk-produk Negara Barat tersebut dikarenakan membeli produk tersebut jauh lebih murah daripada memproduksi produk media tersebut sendiri. Oleh karena itu, Negara Dunia Ketiga



banyak



mengonsumsi media yang dipenuhi dengan cara Negara Barat hidup, apa yang Negara Barat percayai, dan yang mereka pikir. Negara Dunia Ketiga lalu perlahan tapi pasti pun mengingini hal yang sama di Negara Barat tersebut ada di negara mereka dan dengan sendirinya menghancurkan kebudayaan asli mereka sendiri19. Memang industri film Hollywood saat ini belum sampai tahap mempengaruhi hingga hancurnya atau punahnya budaya industri film lokal. Dan sejauh ini tidak ada paksaan secara legal agar negara Dunia Ketiga untuk membeli produk hasil produksi Hollywood. Tapi ketersediaan awal yang mayoritas diproduksi oleh Hollywood membuat masyarakat Negara Dunia Ketiga tidak mempunyai pilihan lain untuk memproduksi film-film tersebut. Selain itu, selera pasar lokal Indonesia perlahan tapi pasti berhasil diubah menjadi selera pasar Barat, dalam hal ini Amerika. Standar nilai budaya asli Indonesia pun perlahan luntur, mengikuti terpaan media film-film Hollywood. Di sinilah teori imperialisme budaya menggambarkan efek daripada film produksi Hollywood terhadap audiens lokal. 17



http://www.uky.edu/~drlane/capstone/mass/imperialism.htm Schiller, H. J. (1973). Communication and Cultural Domination. White Plains, NY: International Arts and Sciences Press. 19 Griffin, E. (2000). A first look at communication theory (4th ed.). Boston, MA: McGrawHill. N/A 18



6