Hukum Internasional Lotus Case Dan Corfu Channel Case [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Adel
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Nama



: Adelia Azis



NIM



: B011201056



Mata Kuliah : Hukum Internasional



Lotus Case Kasus Lotus Case terjadi antara Prancis dan Turki pada tahun 1926 di laut lepas. Pada 2 Agustus 1926, terjadi tabrakan antara SS Lotus, sebuah kapal vessel Prancis dan SS-Boz Kourt, sebuah kapal vessel Turki, di suatu daerah di utara Mytilene. Sebagai akibat dari kecelakaan itu, terdapatlah delapan warga Turki atas kapal-Boz Kourt tenggelam ketika kapal itu ditabrak oleh Kapal Lotus. Kapten M. Demons sebagai kapten kapal Lotus ditangkap oleh pemerintah Turki yang kemudian dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban dan menyebabkan kerugian terhadap kapal tambang Turki. Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki, karena dianggap tindakan itu tidak sejalan dengan Hukum Internasionl, dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu, dan berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas (Floating Island Theory). sehingga permasalahan ini diajukan ke Mahkamah Internasional Permanen. Pada 7 September 1927, yakni ketika belum adanya Perserikatan Bangsa-Bangsa, kasus tersebut diajukan Mahkamah Internasional Permanen (Permanent-ICJ), yang mana merupakan bagian yudisial dari Liga Bangsa-Bangsa (pendahulu Perserikatan Bangsa-Bangsa). Pihak Perancis berargumen bahwa dalam Konvensi Lausanne 1923 dapat disimpulkan bahwa Turki tidak berhak mengadili warga negara Perancis untuk tindakan kriminalnya yang dilakukan diluar territorial laut Turki. Turki juga dianggap tidak bisa memperluas jurisdiksi pengadilannya terhadap orang asing yang menaiki kapal hanya karena salah satu warga negaranya menjadi korban tindakan kriminal. Argumen Perancis yang lainnya adalah bahwa perilaku Turki yang memperluas jurisdiksinya atas asas “keterkaitan” pada kasus tabrakan tidak mempunyai basis hukum internasional. Turki juga dianggap telah melanggar hukum tidak tertulis di Laut Lepas mengenai kasus tabrakan di laut, karena pada kasus-kasus tabrakan yang terjadi baik di pengadilan sipil maupun pengadilan kriminal, penuntutan hanyalah dilakukan oleh Negara yang benderanya dikibarkan sehingga hal ini dianggap perlu untuk menjadi basis Hukum Internasional.



Prinsip atau pendekatan Lotus biasanya dianggap sebagai dasar hukum internasional, mengatakan bahwa negara-negara berdaulat dapat bertindak dengan cara apapun yang mereka inginkan asalkan tidak bertentangan dengan larangan eksplisit. Prinsip ini merupakan hasil dari kasus Lotus, kemudian ditolak oleh Pasal 11 dari Tinggi Konvensi Laut 1958. Konvensi, yang diadakan di Jenewa, meletakkan penekanan pada fakta bahwa hanya negara atau bendera negara yang tersangka pelaku adalah yang memiliki yurisdiksi nasional atas pelaut tentang insiden yang terjadi di laut lepas. Tampak dari keputusan Permanent Court of Internasional Justice dalam Lotus case bahwa opinion Juris merupakan suatu hal yang merupakan kesimpulan dari semua keadaan, bukan semata-mata tindakan terinci yang merupakan unsur materi dari apa yang dinyatakan kaidah kebiasaan. Keputusan dalam perkara ini adalah, diantaranya: 1. Memutuskan bahwa tidak ada kaidah kebiasaan yang memberikan yurisdiksi pidana eksklusif dalam kasus tabrakan di laut lepas dari pihak Negara bendera kapal, berkenaan dengan semua insiden di atas kapal, karena dari materi yang relevan yang dipertimbangkan, perundangundangan nasional tidak konsisten, tidak ada kecenderungan yang seragam yang dapat disimpulkan dari traktat traktat, serta adanya perbedaan pandangan di antara para sarjana. Untuk itu jurisdiksi dapat dilaksanakan juga oleh Negara bendera kapal atas kapal dimana tindak pidana yang mengakibatkan timbulnya tabrakan. 2. Memutuskan bahwa tidak ada pembatasa atas pelaksanaan yurisdiksi oleh setiap Negara kecuali jika pembatasan itu dapat diperlihatkan dengan bukti konklusif yang keberadaannya sebagai suatu prinsip hokum internasional. PCIJ tidak menerima tesis yang dikemukakan oleh Perancis bahwa suatu klaim yurisdiksi oleh suatu Negara harus dibenarkan oleh hukum internasional dan praktek hukum internasional. Kewajiban tersebut terletak di pihak Negara yang menyatakan bahwa pelaksanaan yurisdiksi itu sah, untuk mempelihatkan bahwa praktek jurisdiksi itu dilarang oleh hokum internasional. 3. Terkait dengan tanggung jawab pidana atau disiplin nahkoda atau setiap orang lainnya dalam kapal, maka tidak boleh ada penuntutan pidana atau disiplin terhadap orang-orang tersebut kecuali di hadapan peradilan atau pejabat pejabat administrasi dari Negara bendera atau Negara dari mana orang tersebut menjadi warga Negara.



Corfu Channel Case Perkara Selat Corfu adalah suatu persengketaan antara Albania dan Inggris yang diadili oleh Mahkamah Internasional pada tahun 1949. Pada tanggal 22 Oktober 1946, dua cruisers Inggris dan dua kapal perusak, datang dari selatan memasuki Selat Corfu Utara. Selat yang mereka susuri yang berada di perairan Albania dinyatakan sebagai aman: selatnya pernah disapu pada 1944 dan disapu kembali pada tahun 1945. Salah satu kapal perusaknya, Saumarez membentur ranjau dan rusak parah. Kapal perusak yang lain, Volage dikirim untuk membantu kapal Saumerez dan ketika sedang mendereknya, membentur ranjau lain dan rusak lebih parah lagi. Empat puluh lima perwira dan pelaut Inggris kehilangan hidupnya dan 42 lainnya terluka. Sebuah insiden juga terjadi di perairan ini, pada bulan Mei 1946: sebuah battery Albania menembakkan ke arah dua cruisers Inggris. Pemerintah Inggris memprotes dan menyatakan bahwa innocent passage lewat selat adalah hak yang dikenal dalam hukum internasional. Pemerintah Albania menyatakan bahwa kapal perang asing dan kapal dagang di larang masuk laut teritorial Albania tanpa izin sebelumnya, dan pada Agustus ke dua 1946, pemerintah Inggris menyatakan bahwa apabila dimasa depan tembakan di lepaskan kepada kapal perang Inggris yang melintasi selat maka kapal Inggris akan membalasnya. Setelah ledakan tanggal 22 Oktober Pemerintah Inggris mengirimkan nota ke Albania perihal niatnya untuk melakukan sweeping di Corfu Chennel. Jawaban Albania adalah bahwa ijin tidak dapat diberikan kecuali operasi penyapuan ranjau berada di luar laut teritorial Albania dan bahwa penyapuan ranjau yang dilakukan di perairan-perairan tersebut merupakan pelanggaran kedaulatan Albania, penyapuan yang dilakukan oleh Angkatan Laut Inggris terjadi pada tanggal 12-13 November 1946, di laut teritorial Albania dan berada dalam jarak yang sebelumnya di sapu, 22 ranjau dijinakkan, ranjau-ranjau tersebut adalah tipe GY buatan Jerman. Inggris menuntut ganti rugi atas kerusakan kapal-kapalnya dan korban-korban yang meninggal. Albania menolak tuntutan tersebut. Inggris mengajukan kasus ini kepada Mahkamah Internasional pada tanggal 22 Mei 1947. Pemerintah Albania mengatakan bahwa ranjau yang ditemukan pada tanggal 13 November, mungkin ditempatkan di situ setelah tanggal 22 Oktober, sehingga kerusakan yang dialami kepal-kapal perang tersebut tidak mungkin disebabkan oleh apa yang terdapat pada daerah tersebut. Namun ahli-ahli Malta berpendapat bahwa kerusakan-kerusakan kapal disebabkan oleh ranjau yang identik dengan ranjau yang ditemukan di ladang ranjau. Inggris menuntut bahwa ladang ranjau telah diadakan oleh Albania atau dengan persetujuan dan sepengetahuan Albania atau sebagai alternatif pemerintah Albania telah mengelabui tentang ladang ranjau yang telah berada di dalam perairan teritorialnya. Hal ini adalah melanggar Konvensi Den Haag ke delapan tahun 1907 dan telah gagal memperingatkan negara-negara lain tentang adanya ladang ranjau. Selanjutnya pemerintah Albania telah mengetahui kedatangan kapal-kapal Angkatan Laut Inggris dan telah gagal memberi peringatan tentang adanya ranjau



dan adanya ladang ranjau tanpa pemberitahuan adalah pelanggaran dari hak lintas damai oleh kapal-kapal asing melalui perairan internasional seperti Selat Corfu. Inggris menuntut ganti rugi 825.000 poundsterling untuk perbaikan kerusakan kepada kedua kapalnya dan 50.000 poundsterling untuk pensiun dan pengeluaran lain-lain bagi awak kapal yang meninggal dan luka-luka. Albania menyanggah bahwa tidak ada bukti yang diajukan, bahwa ranjau-ranjau yang menyebabkan kerusakan kapal-kapal Inggris ditanamkan oleh Albania dan tidak ada bukti yang diajukan bahwa ranjau-ranjau diletakkan oleh pihak ke tiga atas nama Albania dan tidak ada bukti yang diajukan bahwa ranjau-ranjau ditampatkan dengan bantuan, persetujuan atau sepengetahuan Albania. Bahwa nagara pantai berhak dalam hal-hal luar biasa, mengatur lalu lintas kapal-kapal perang asing melalui perairan teritorialnya dan pengaturan ini diterapkan pada Selat Corfu. Bahwa keadaan luar biasa tersebut terdapat pada waktu kejadian tersebut, sehingga kapal-kapal perang asing harus terlebih dahulu memperoleh izin untuk melewati perairan teritorial Albania. Bahwa perlintasan kapal-kapal tanggal 22 Oktober 1946 tanpa izin merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional. Bahwa perlintasan kapal-kapal tanggal 22 Oktober 1946 tanpa izin merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional bahwa perlintasan kapal-kapal Inggris bukanlah merupakan lintas damai, bahwa pembersihan ranjau tanggal 12-13 November 1946, belum memperoleh izin di perairan Albania merupakan pelanggaran hukum internasional. Untuk alasan-alasan tersebut, Albania berpendirian tidak perlu membayar ganti rugi kepada Inggris, malahan seharusnya Inggris memberikan ganti rugi kepada pemerintah Albania atas pelanggaran-pelanggaran dari hukum internasional. Kedua pihak kemudian sepakat melalui bagian pertama dari Persetujuan khusus (special Agreement) mengajukan pertanyaan kepada Mahkamah Internasional : 1. Apakah Albania bertanggungjawab untuk peledakan yang terjadi pada tanggal 22 Oktober 1946 di perairan Albania dan apakah Albania berkewajiban membayar ganti kerugian kerusakan kapal-kapal Inggris dan korban-korban? Mahkamah Internasional dalam hal ini menyatakan bahwa ternyata tidak ada upaya yang diambil oleh pemerintah Albania untuk mencegah malapetaka. Kelalaian yang menimbulkan musibah ini merupakan tanggungjawab menurut hukum internasional atas ledakan-ledakan yang terjadi pada tanggal 22 Oktober 1946 di perairan Albania serta atas kerusakan dan korban-korban dan Albania berkewajiban membayar ganti rugi kepada Inggris. 2. Apakah Inggris melanggar kedaulatan Albania menurut hukum internasional dengan perbuatan kapal-kapal Angkatan Lautnya di perairan Albania pada tanggal 22 Oktober serta pada tanggal 12-13 November 1946, dan apakah dalam hal ini ada kewajiban untuk konpensasi.



Mengenai pertanyaan kedua ini Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kerajaan Inggris tidak melanggar kedaulatan Republik Rakyat Albania dengan alasan kegiatan-kegiatan dari Angkatan Laut Inggris di perairan Albania tanggal 22 Oktober 1946. Keputusan Mahkamah internasional diambil atas pemungutan suara sepuluh lawan enam suara, sedangkan untuk pertanyaan kedua diatas , keputusan Mahkamah Internasional diambil berdasarkan empat belas lawan dua suara den dengan suara bulat (unanimous). Mahkamah Internasional memberikan keputusan bahwa perbuatan Angkatan laut Inggris di perairan Albania tanggal 12-13 November 1946 adalah melanggar Kedaulatan Republik Rakyat Albania, dan bahwa pernyataan sedemikian oleh Mahkamah Internasional mengandung arti di dalamnya untuk suatu konpensasi yang wajar. Dalam kasus corfu Channel, fakta dalam kasus ini yaitu pelaku dari kejahatan adalah individu pribadi (private person) dan bukan agen atau negara. Negara dalam hal ini memiliki kemungkinan membiarkan atau setidak-tidaknya tidak memberikan pertolongan yang cukup sebagai tindakan preventif untuk mencegah kejadian. Kasus ini tidak termasuk ke dalam action karena pemerintah Albania tidak memiliki niatan untuk mencelakakan kapal-kapal Inggris dan tidak pula srict liability karena masih terdapatnya elemen mensrea dan kewajiban internasional Albania terhadap Inggris bukanlah obligation of result. Dengan demikian kasus ini merupakan kasus yang disebut juga dengan kealpaan. Albania melakukan pelanggaran terhadap hukum internasional yaitu pelanggaran terhadap kewajiban internasional, dimana Albania memiliki sarana dalam mencegah kejadian. Sarana yang dimiliki Albania adalah peralatan komunikasi, outposts, penjaga pantai serta beberapa kapal boat yang dimilikinya. Albania juga memiliki kesempatan untuk mencegah kejadian karena sacara geografis selat Corfu dapat dilihat dengan mudah. Salah satu fakta ini Albania seharusnya wajib memberikan due diligence berupa peringatan kepada kapal-kapal Inggris yang lewat dan atau melakukan pembersihan ranjau. Pada faktanya tidak ada hal apapun yang dilakukan Albania untuk mencegah bencana terjadi dan kelalaian berat ini menimbulkan pertanggungjawaban internasional.