Ilmu Al-Nasikh Wa Al Mansukh Kel 6 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH



Ilmu al-nasikh wa al mansukh Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah studi al quran Dosen Pengampu: H.Mahdi M.AG



Disusun Oleh Kelompok 6: 1.



Aris gunawan (1908104095)



2.



Laila syiva n (1908104110)



3.



Fadhlika mulyawati p (1908104124)



JURUSAN TADRIS ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN IAIN SYEKH NURJATI CIREBON 2020/2021



KATA PENGANTAR



Alhamdulillah, senantiasa kita ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang hingga saat ini masih memberikan kita nikmat iman dan kesehatan, sehingga kami diberi kesempatan yang luar biasa ini yaitu kesempatan untuk menyelesaikan tugas penulisan makalah tentang Ilmu alnasikh wa al mansukh ” Sholawat serta salam tidak lupa selalu kami haturkan untuk junjungan nabi agung kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah petunjuk yang paling benar yakni Syariat agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam semesta. Adapun penulisan makalah ini merupakan bentuk dari pemenuhan beberapa Tugas Kelompok dari mata kuliah studi alquran. Kami juga berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi setiap pembaca. Tak lupa dengan seluruh kerendahan hati, kami meminta kesediaan pembaca untuk memberikan kritik serta saran yang membangun mengenai penulisan makalah kami ini, untuk kemudian saya akan merevisi kembali pembuatan makalah ini di waktu berikutnya.



Cirebon, 14 Oktober2020



Penulis



DAFTAR ISI



Kata Pengantar..................................................................................................................i Daftar isi.............................................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1 A. Latar Belakang.........................................................................................................1 B. Rumusan Masalah....................................................................................................2 C. Tujuan......................................................................................................................2 BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3 A.pengertian nasakh dan mansukh ................................................................................3 B.rukun dan syarat naskh ...............................................................................................5 C. klasifikasi naskh wal mansukh ..................................................................................7 D.hikmah nashkh dan mansukh E. pendapat ulama tentang nasikh dan mansukh BAB III PENUTUP...........................................................................................................12 A. Kesimpulan....................................................................................................................12 B. Saran...............................................................................................................................12 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................13



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Al-qur’an bersumber dari Allah, baik lafaz maupun maknanya, maka di dalamnya tidak akan ditemukan kontradiksi. Dan berdasarkan ayat ini pula umat islam memegang teguh prinsip dan meyakini kebenarannya. Namun demikian, jika ditemukan adanya kontradiksi dalam Al-Qur’an, hal ini disebabkan pemahaman para ulama yang berbeda dalam memahami ayat yang seolah-olah (secara zahir) menunjukkan adanya gejala kontradiksi. Dari sinilah muncul adanya pembahasan nasikh mansukh. Walau demikian, perlu digarisbawahi bahwa para ulama telah menyepakati tidak ditemukan ikhtikaf (kontradiksi) dalam kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu dinilai memiliki gejala kontradiksi, mereka mempromosikannya. Hal tersebut dilakukan oleh salah satu pihak tanpa menyatakan adanya alat yang telah dibatalkan, dihapus, atau bahkan tidak berlaku lagi. Tetapi, ada pula yang menyatakan bahwa ayat yang turun kemudian telah membatalkan ayat sebelumnya, akibat perubahan kondisi sosial. B. Rumusan Masalah 1.



Apa pengertian nasikh dan mansukh?



2.



Bagaimana rukun dan syarat nasikh?



3.



Bagaimana klasifikasi nasikh dan mansukh?



4.



Apa perbedaan antara nasikh dan mansukh?



5.



Apa hikmah adanya nasikh dan mansukh?



6.



Bagaimana pendapat para ulama tentang nasikh dan mansukh?



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Nasikh Wal Mansukh Al-Qattan berkata, istilah nasikh menurut bahasa berarti izalah yakni menghilangkan. Misalnya nasakhati ayamsu az-zilla ( matahari menghilangkan bayang-bayangan ). Selanjutnya, Al-Qattan menyebutkan bahwa kata nasikh juga dipergunakan untuk menghapuskan jejak pertahanan. Juga bermakna memindahkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain. Lebih lanjut Rosihin Anwar dengan mengutip beberapa ulama ulumul qur’an, seperti AzZarqani As-Suyuthi bahwa selain bermakna tersebut diatas, nasikh juga bermakna tabdil yang artinya penggantian, tahwil yang berarti memalingkan, dan naql yang berarti memindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain. Menurut Quraish Shihab, secara etimologis kata nasikh dipakai untuk beberapa makna, antara lain pembatalan, penghapusan, pemindahan sesuatu dari suatu wadah ke wadah yang lain. Oleh karena sesuatu yang bermakna yang membatalkan, menghapus, memindahkan dan sebagainya, dinamai nasikh. Adapun yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dan sebagainya dinamakan mansukh.1 Adapun pengertian nasikh sacara termonologis (istilah) sebagaimana dikemukakan oleh Manna’khalil al-qattan adalah mengangkat(menghapuskan) hukum syarak dengan dalil hukum (khitab) syarak yang lain. Adapula yang mendefinisikan nasikh adalah menghapuskan hukum syarak dengan khitab syarak pula. Maksud menghapuskan di sini adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seseorang mukalaf, dan bukan terhapusnya substansi hukum itu sendiri. Para ulama mutaqadimin yakni para ulama yang hidup sekitar abad ke-1 sampai dengan abad ke-3 hijriah, sebagaimana dikemukakan oleh Asy-Syaitibi dalam Al-Mufawaqat Fi Usul Asy-Syari’ahb yang dikutip oleh Quraish Shihab, memperluas makna nasikh sehingga mencakup beberapa hal berikut : 1. Pembatalan hukum yang ditetapakan terdahulu oleh hukum yang ditetapakan kemudian; 2. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukumyang bersifat khusus yang datang kemudian; 1



3. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar, 4. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat. Bahkan menurut Muhammad Abd.Azhim al-Zarqaniy, seperti juga yang dikemukakan oleh Quraish Shihab, diantara mereka ada yang beranggapan, bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan berdasarkan suatu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda. Misal, perintah untuk bersabar dan menahan diri, pada periode Makkah disaat kaum muslimin masih dalam keadaan lemah, dianggap telah dinasakh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah.2 Sementara itu, para ulama mutaakhirin (para ulama yang datang kemudian sebagaimana dikemukakan oleh Quraish Shihab, bahwa nasikh itu terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah hal yang ditetapkan diakhir. Dalam pandangan kelompok yang pro-nasakh mensinyalir, bahwa penetapan maupun pencabutan suatu hukum oleh al-Qur’an terhadap ayat al-Qur’an lain didasarkan oleh pertimbangan kemaslahatan. Sehingga, dalam konteks ini, ada yang menganalogikannya dengan turunnya al-Qur’an kepada nabi secara berangsur-angsur. Ayat al-Qur’an, diturunkan oleh Allah sesuai dengan realitas yang berkembang serta memperhatikan kesanggupan umat manusia yang mukallaf terhadap pesan yang dibawa oleh al-Qur’an itu sendiri.3 Adapun yang dimaksud dengan mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan atau mansukh bermakna hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan. B. Rukun dan Syarat Naskh 1. Adat Naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada. 2. Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dia-lah yang membuat hukum dan Dia pula lah yang menghapusnya. 3. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan atau dipindahkan. 4. Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum. 2 3



Adapun syarat-syarat naskh adalah 1. Yang dibatalkan adalah hukum syara’ 2. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’ 3. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti dinaskh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut. 4. Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian. Dengan demikian, ada dua lapangan yang tidak menerima nasakh, yaitu: a. Seluruh khabar/aqidah baik dalam al-Qur’an maupun As-Sunnah. Sebab, pembatalan khabar berarti mendustakan khabar itu sendiri pula. Sedangkan al-Qur’an dan as-Sunnah tidak mungkin berbohong. b. Hukum-hukum yang disyariatkan secara abadi.4 C. Klasifikasi Nasikh Wal Mansukh Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam al-Qur’an dibagi menjadi empat macam yaitu: 1. Naskh sharih, yaitu ayat yang jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu. Misalnya ayat tentang perang (qital) pada ayat 65 surat al-anfal yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir:



َ‫ا ِمنَ الَّ ِذين‬Sً‫وا أَ ْلف‬Sُ‫ةٌ يَ ْغلِب‬Sَ‫ائَتَ ْي ِن َوإِ ْن يَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم ِمائ‬S‫صابِرُونَ يَ ْغلِبُوا ِم‬ َ َ‫ِّض ْال ُم ْؤ ِمنِينَ َعلَى ْالقِتَا ِل إِ ْن يَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم ِع ْشرُون‬ ِ ‫يَا أَيُّهَا النَّبِ ُّي َحر‬ ‫)بِأَنَّهُ ْم قَوْ ٌم ال يَ ْفقَهُون‬٦٥( ‫َكفَرُوا‬ “Hai Nabi, kobarkanlah semangat orang mukmin untuk berperang. Jika ada dua pulub orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang sabar diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab orangorang kafir adalah kaum yang tidak mengerti.”(QS. Al-Anfal:65)



4



Yang kemudiandinasakholehayatselanjutnya



ٌ S‫ائَتَ ْي ِن َوإِ ْن يَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم أَ ْل‬SS‫صابِ َرةٌ يَ ْغلِبُوا ِم‬ ُ ‫إ ِ ْذ ِن هَّللا ِ َوهَّللا‬Sِ‫وا أَ ْلفَي ِْن ب‬SSُ‫ف يَ ْغلِب‬S َ ٌ‫ض ْعفًا فَإ ِ ْن يَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم ِمائَة‬ َ ‫اآلنَ َخفَّفَ هَّللا ُ َع ْن ُك ْم َو َعلِ َم أَ َّن فِي ُك ْم‬ ٦٦( َ‫َم َع الصَّابِ ِرين‬ “Sekarang, Allah telah meringankan kamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan. Maka jika diantara kamu ada seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantara kamu terdapat seribu orang yang sabar, mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.” (QS. Al-Anfal:66) 2. Naskh dhimmy, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan, dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta keduanya diketahui waktu turunnya, ayat yang kemudian menghapus ayat-ayat terdahulunya. Contohnya: ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orangorang yang akan mati yang terdapat dalam surat al-Baqarah 180.



“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu-bapak serta karib-kerabatnya secara ma’ruf.” Menurut pendukung teori nasikh-mansukh ayat ini dinaskh oleh hadis “la wahiyyah li waris” (Tidak ada wasiat bagi ahli waris). 3. Nash kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contoh: ketentuan ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat al-Baqarah ayat 234 dinaskh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 di surat yang sama. 4. Naskh juz’iy, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku pada sebagian individu. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat AnNur ayat 4, dihapus oleh ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah jika si penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.5 5



Ditinjau dari keberadaan ayat dan hukumnya, nasikh dan mansukh dalam Al-Quran dapat dibagi menjadi tiga: 1. Penghapusan Hukum Dan Bacaan Secara Bersamaan (nasikh al-hukmi wa at-tilawah ma’a) Ayat-ayat yang termasuk dalam kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan diamalkan. Misalnya disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan dari Aisyah r.a



ْ َ‫أَنَّهَاقَال‬،َ‫ع َْن عَائِ َشة‬ ٍ ‫ا‬SS‫س َم ْعلُو َم‬ ٍ ‫ا‬SS‫ت َم ْعلُو َم‬ ٍ ‫ض َعا‬ َ ‫ َع ْش ُر َر‬:‫" َكانَ فِي َماأ ْن ِز َل ِمنَ ْالقُرْ آ ِن‬:‫ت‬ ِ‫و ُل هللا‬S‫ ُوفِّ َي َر ُس‬Sُ‫فَت‬،‫ت‬ ِ ‫بِ َخ ْم‬، َ‫ ْخن‬S‫ثُ َّم نُ ِس‬، َ‫ ِّر ْمن‬S‫ت يُ َح‬ ‫آن‬ َ َ ‫"صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ْ‫وه َُّن فِي َما يُ ْق َرأُ ِمنَ ْالقُر‬، "Diriwayatkan dari 'Aisyah, dia berkata: Adalah di antara yang diturunkan dari AlQur'an adalah sepuluh kali susuan yang maklum (jelas diketahui) itu menyebabkan mahram, kemudian ketentuan ini dinasakh dengan lima kali susuan yang maklum, sampai Rasulullah SAW wafat lima kali susuan ini termasuk ayat Al-Qur'an yang dibaca." (H.R. Muslim) Maksud dari hadist diatas, bahwa ketentuan tentang susunan ini tidak ada lagi di dalam Al-Qur’an, baik bacan maupun hukumnya. Naskh ayat tentang radha’ah itu tidak sampai kepada semua orang, sehingga sampai Rasulullah SAW wafat masih ada yang membacanya. Karena sudah di nasakh tilawahnya, maka ayat tersebut tidak terdapat di dalam mushaf ‘Utsmani’. 2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaan tetap ada (nasikh al-hukmi wa tilawatuha yabqa) Misalnya, ajarkan para penyembah berhala dari kelompok musyrikin kepada orangorang muslim untuk bergantian dalam beribadah telah dihapus oleh ayat qital. Contoh nasikh jenis ini adaah (surat al-mujadilah ayat 12) dinasakh oleh surat yang sama ayat 13 berikutnya. Yang dinasakh hanya hukumnya, sedangkan tilawah keduanya tetap ada dalam mushf ‘Utsmani’. ْ َ‫ك خَ ْي ٌر لَ ُك ْم َوأ‬ )١٢(‫طهَ ُر فَإ ِ ْن لَ ْم تُ ِجدُوا فَإ ِ َّن هللاَ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬ َ ِ‫ص َدقَةً ذل‬ َ ‫ُول فَقَ َّد ُموا بَ ْينَ يَ َديْ نَجْ َوا ُك ْم‬ َ ‫يَاأَيُّهَاالَّ ِذ ينَ آ َمنُوا إِذا نَا َج ْيتُ ُم ال َّرس‬ "Hai



orang-orang



beriman,



apabilakamumengadakanpembicaraankhususdenganRasulhendaklahkamumengeluarkanse



dekah



(kepada



orang



miskin)



demikianitulebihbaikbagimudanlebihbersih;



sebelumpembicaraanitu. jikakamutidakmemperoleh



yang (yang



akandisedekahkan) makasesungguhnya Allah MahaPengampunlagiMahaPenyayang." (Q.S. Al-Mujâdilah 58: 12) َّ ‫أَقِي ُموا‬SSَ‫َاب هللاُ َعلَ ْي ُك ْم ف‬ ُ‫ولَهُ َوهللا‬S‫اةَ َوأَ ِطيعُواهللاَ َو َر ُس‬SS‫وا ال َّز َك‬SSُ‫الَةَ َوآت‬S‫الص‬ ٍ ‫ص َدقَا‬ َ ‫ت فَإ ِذلَ ْم تَ ْف َعلُوا َوت‬ َ ‫َءأ ْشفَ ْقتُ ْم أَ ْن تُقَ ِّد ُموا بَ ْينَ يَ َديْ نَجْ َوا ُك ْم‬ )١٣( َ‫خَ بِي ٌر بِ َما تَ ْع َملُون‬ "Apakahkamutakutakan



(menjadimiskin)



karenakamumemberikansedekahsebelummengadakanpembicaraandenganRasul? Makajikakamutiadamemperbuatnyadan



Allah



telahmemberitaubatkepadamumakadirikanlahshalat, tunaikanlah zakat, taatlahkepada Allah danRasul-Nya; dan Allah Mahamengetahuiapa yang kamukerjakan." (Q.S. Al-Mujâdilah 58: 13) Hukum memberikan sedekah terlebih dahulu kepada orang miskin sebagai syarat untuk rasulullah saw pada ayat 12 diatas, dinasakh oleh ayat 13 berikutnya sebagai keringanan bagi umat. 3. Penghapusan terhadap tilawah atau bacaanya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku (nasikh at-tilawah, wa hukmuha yabqa) Contoh naskh jenis ini adalah apa yang diriwayatkan dari umar bin khatab dan ubayya ibn ka’ab bahwa keduanya berkata, diantara ayat yang pernah diturunkan adalah ayat: ‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ِ ‫ال َّش ْي ُخ َوال َّشيْخَ ةُ فَارْ ُج ُموهُ َما ْالبَتَّةَ نَ َكاالً ِمنَ هللاِ َوهللاُ ع‬ "Orang



tualaki-



lakidanperempuanapabilakeduanyaberzinamakarajamlahkeduanyadenganpastisebagaisiks aandari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagiMahaBijaksana" (H. R. IbnuHibbandan Ibn Majah) Hukum rajam masih berlaku tetapi ayat tersebut adalah dinasakh sehingga tidak ditemukan dalam mushaf ‘Utsmani’.6



6



D. Hikmah Nasikh Dan Mansukh Hikmah keberadaanNasikhdan Mansukh diantaranyasebagaiberikut: 1. Memelihara kepentingan hamba. 2. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia. 3. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak. 4. Menghendaki kebaikan bagi umat.Sebab jika Nasikh itu beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala,dan jika beralih ke hal yang mengandung kemudahan dan keringanan. Pengetahuan



yang



benarterhadapteks



yang



nasikhdan



yang



mansuh,disampingdapatmembantuseseorangdidalammemahamikonteksditurunkannya.7 E. Pendapat Ulama Tentang Nasikh Dan Mansukh Terjadi perbedaan pendapat di kalangan yang menerima adanya nasikh mansukh dan ada pula yang menolaknya. Kedua kelompok ulama ini memberikan argumentasinya masing-masing, sebagaimana dijelaskan berikut ini: 1. Kelompok Yang Menolak Adanya Nasikh Dalam Al-Qur’an Kelompok pertama adalah kelompok yang menolak keberadaan nasikh dalam AlQur’an. Di antaranya adalah Abu Muslim Al-Asfahani dan Iman Ar-Raji. Menurut al-ashafani bahwa secara logika nasikh bisa saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi pula itu ditinjau dari syariat. Selanjutnya al-ashafani sebagaimana dikutip ash-shidiqy berkata, jika ada hukum dalam al-qur’an dan ada ayat yang telah dimansukh berarti



membatalkan



sebagian



MembatalkanituberartimenetapkanbahwadalamAlquranada Olehkarenaitu,



yang



isinya. batalatausalah.



iadengantegasmenolaksepenuhnyanasikhdalamAlquran.



Hal



iniberdasarkanayatAlquran “ ‫الَيَأْ تِ ْي ِه ْالبَا ِط ُل ِم ْن ۢبي ِْن يَ َد ْي ِه َوالَ ِم ْن خَ ْلفِ ِه ۗ تَ ْن ِز ْي ٌل ِّم ْن َح ِكي ٍْم َح ِم ْي ٍد‬ Yang tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang (pada masa lalu dan yang akan dating, yang diturunkan dari tuhan yang bijaksana, maha terpuji.” (QS Fushilat :41-42)



7



Lebih lanjut Asfahani berkata, mengingatkan bahwa Alquran itu syariat yang diabadikan hingga hari kiamat dan menjadi hujjah atas manusia sepanjang masa, maka tidaklah pantas jika padanya ada ayat ayat yang mansukh. Kalau sunnah boleh saja dinasikh, karena ia sebagiannya datang untuk seketika saja, lalu dinasikh dengan sunnah yang datang sesudahnya. Dan mengingatkanbahwakandunganAlquranbersifatkulliyah (general),



bukanjuziyyah



(lebihkhusus).



Hukum-hukum



yang



diterangkanjugabersifatijmali (umum), bukansecaratafsili (terperinci). Dengandemikian, menurutnyahukum-hukumAlqurantidakakanada



yang



dibatalkanataudinasikhuntukselamanya. Dan ayat-ayattentangnasikhsemuaiatasiskan. Adanyakelompokulama



yang



menolakadanyanasikhdalamAlquranini,



karenamerekaberbedapendapatketikamenafsirkan



kata



(ayat)



yang



terdapatdalamsurat(Albaqarahayat 106) di atas. Merekamengatakanbahwaayat yang dimaksudadalahmukjizat para nabi. Selanjutnya untuk memperkuat argumentasi ini, mereka mengemukakan firman Allah yang artinya sebagai berikut “Tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, (karena) ia diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushilat: 42). Menurut al-Ashfani, bertolak dari ayat diatas, al-Qur’an tidak mungkin disentuh pembatalan. Sudah tentu, mayoritas ulama’ merasa keberatan terhadap pendapat alAshfani, sebab bagi mereka, ayat tersebut tidak berbicara tentang “pembatalan”, tetapi tentang “kebatilan” yang merupakan lawan dari “kebenaran”. Juga, menurut mereka, hukum Tuhan yang dibatalkannya tidak mengandung keharusan bahwa hukum itu batil, sebab suatu yang dibatalkan penggunaannya ketika terdapat perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu, bukan berarti hukum itu menjadi tidak benar. Lebih jauh lagi, Quraish Shihab menyimpulkan, bahwa semua ayat al-Qur’an pada dasarnya berlaku. Ayat hukum yang tidak kondusif (berlaku) pada suatu waktu, pada waktu yang lain akan tetap berlaku bagi orang-orang yang memiliki kesesuaian kondisi dengan apa yang ditunjuk oleh ayat yang bersangkutan.8 2. Kelompok yang Menerima Adanya Nasikh Mansukh dalam Alquran



8



Kelompok kedua ini diikuti oleh mayoritas jumhur ulama untuk memperkuat pendapatnya, kelompok ini mengemukakan berbagai argumentasi, baik yang bersifat aqliyah (berasal dari rasio) maupun naqliyah (berasal dari Alquran) : a. Bahwaperbuatan







perbuatan



Allah



tidakbergantungpadaalasandantujuan.



Iabolehsajamemerintahkansesuatupadasewaktu-waktudanmelarangpadasewaktuwaktu yang lain. KarenahanyaDia-lah yang lebihmengetahuikepentinganhukumnya. b. Nas-naskitab (Alquran) dansunnahmenganjurkanadanyakebolehannasdanterjadinya. Hal inisebagaimana yang dikemukakanadalahFirman Allah berikut.“ ‫ت بِ َخي ٍْر ِّم ْنهَآاَلَ ْم تَ ْعلَ ْم اَ َّن هللاَ ع َٰلى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِد ْي ٌر‬ ِ ْ‫َمانَ ْن َس ْخ ِم ْن ٰايَ ٍة اَوْ نُ ْن ِسهَانَأ‬ “Ayat yang Kami batalkanatau Kami hilangkandariingatan,pasti Kami gantidengan



yang



lebihbaikatau



yang



sebandingdengannya.



Tidakkahkamutahubahwa Allah Mahakuasaatassegalasesuatu” (Q.S.Al-Baqarah {2{:106) ُ ۚ ِ‫يَ ْمحُواهللاُ َمايَ َشآ ُء َوي ُْثب‬ ‫ب‬ ِ ‫ت َو ِع ْندَه أُ ُّم ْال ِك ٰت‬ “Allah menghapusdanmenetapkanapa yang Diakehendaki. Dan di sisi-Nya terdapatUmmul-Kitab.”(Q.S.Ar-Rad{13}:39) Berdasarkanduaayat di atas, dapatdipahamibahwadalam Al-Qur’an ituterdapatnasikh. Dan menurutmerekamaksudkata ”ayat” yang di-nasikhituadalahayat Al-Qur’an yang mengandungketentuan-ketentuanhukum. Gagasan lain yang diungkapkanoleh para ulama yang mendukungadanyanasikhdalam AlQur’an adalahpenerapanperintah-perintahtertentukepadakaummuslimin di dalam Al-Qur’an hanyabersifatsementaradanjikakeadaantelahberubah, yang



baru.



Akan



tetapi,



perintahdihapusdandigantidenganperintah



karenaperintah-perintahituadalahkalam



Allah



iaharusdbacasebagaibagiandari Al-Qur’an. Selanjutnya, para ulama yang mendukung adanya nasikh dalam Al-Qur’andidukung oleh berbagai dalil (argumentari) yang kuat. Diantara dalil-dalil yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut. a.



Nasikh tidak merupakan hal yang terlarang menurut akal pikiran, dan setiap yang tidak dilarang berarti boleh.



b.



Seandainya nasikh tidak dibolehkan akal dan tidak terjadi dalam nasikh, syar’i tidak boleh memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya, dengan perintah sementara dan melarang dengan larangan sementara pula.



c.



Seandainya nasikh tidak boleh menurut akal dan terjadi menurut sam’iyat, tidak akan ditetapkan risalah Muhammad saw. Kepada seluruh alam, sedangkan semuanya mengakui bahwa risalah berlaku untuk seluruh alam dengan dalil yang pasti.



d.



Terdapat dalil yang menunjukkan nasikh terjadi menurut nasikh. Oleh karena itu, keadaan terjadi (al-wuqu’) membawa pengertian boleh bertambah (al-jawad wa azziyadah).9



Maka jelaslah apa yang dikatakan oleh para ulama bahwa ayat di-nasikh itu masih tetap ayat Al-Qur’an



yang



mengandung



ketentuan



hukum.



Dengandemikian,



menurut



para



pendukungnasikh, hukumTuhan yang di-nasikhataudibatalkan (diganti) bukanberartibatil, sebagamanadikemukakanoleh Al-Asfahani. Sesuatu yang dibatalkanpengggunanya, karena adaperkembangandankemaslahatanpadasuatuwaktu,



bukanberartibahwa



yang



dibatalkanituketikadiberlakukanmerupakansesuatu yang tidakbenar. Dengandemikian, yang dibatalkandanmembatalkanadalahhakdanbenar, bukanbatil. Perbedaanpendapattentangadadantidaknyanasikh, menurut para ahli



disebabkan oleh



perbedaan pandangan tentang ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Sebagamana dilansirkan oleh Rosihon Anwar, Ibn Kasir, Al-Maragi, dan Al-Asfahani memiliki perbedaan diametral



dalammemandangpersoalannasikh.



Maragmenetapkanadanyapembatalanhukumdalam



Ibn Al-Qur’an.



Kasirdan Akan



Al-



tetapi,



Asfahanidengantegasmenyebutkanbahwa



Al-



Al-Qur’an



tidakmungkindisentuhpembatalanmeskpunpadaumumnyadiasepakattentangadanya,



(a)



pengecualian Ibn Kasir memandang ketiga hal tersebut sebagai nasikh, sedangkan Al-Asfahani mengatakan bukan naskh, tetapi takhsis (pengkhususan) karena menurutnya tidak ada nasikh dalam Al-Qur’an. Jika memang dalam Al-Qur’an ditemukan hukum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasikannya dapat dilakukan proses pen-takhsis-khukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang emudian, (b) penjelasan susulan terhadap hukum terdahulu yang ambigu, (c) penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.



9



Ibn Kasir memandang ketiga hal tersebut sebagai nasikh,sedangkan Al-Asfahani mengatakan bukan nasikh, tetap takhsis (pengkhususan) karena menurutnya tidak ada nasikh dalam AlQur’an. Jikamemangdalam Al-Qur’an ditemukanhukum yang bersifatumum, untukmengklasifikasikannyadapatdilakukan proses pen-takhsis-an. Dengandemikian, menurutnya, takhsisadalahmengeluarkansebagiansatuandarisatua-satuan yang tercakupdalamlafadz yang ‘amm. Selanjutnya, MuhammmadAbduhdalamRasyidRidhomenolakadanyanasikhdalamartipembatalan. Ialebihsetujudenganadanya



“tabdil”



yang



bermaknapenggantian,



pengalihan,



pemindahanayathuumditempatayathukum yang lain. Dengandemikian, pemahamanAbduh di sinisamadengansebagiandefinisinasikhdiatas, yakni “pemindahansesutudarisatuwadahkewadah yang



lain.”



Berdasarkanpendapatnyaini,



dalamnyatidakadakontadiksi,



yang



tertentu,



yang



karenakondisi



seuaayat



Al-Qur’an



tetapberlaku,



dan



adahanyalahpergantianhukumbagimasyarakatatau berbeda.



Dengandemikian,



tidakberlakulagibaginyatetapdapatberlakubagi



orang



di



orang



ayathukum



yang



lain



yang



kondisinyasamadengankondisimerekasemula. Pemahamandemikianakansangatmembantudakwah Islam



sehinggaayat-ayathukum



yang



bertahaptetapdapatdijalankanolehmereka



yang



kondisinyasamaataumiripdengankondisiumat Islam pada masa awal Islam.10



PENUTUP KESIMPULAN Adapun pengertian nasikh adalah mengangkat (menghapuskan) hukum syarak dengan dalil hukum (khitab) syarak yang lain. Adapula yang mendefinisikan nasikh adalah menghapuskan hukum syarak dengan khitab syarak pula. Adapun yang dimaksud dengan mansukh adalah 10



hukum yang diangkat atau dihapuskan atau mansukh bermakna hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan. Perbedaan nasikh wal Mansukh, Nasikh yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Sedangkan mansukh adalah hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan. Pendapat ulama’ tentang nasikh mansukh, ada yang menolak adanya Nasikh dalam AlQur’an. Di antaranyaadalah Abu Muslim Al-AsfahanidanImanAr-Raji. Dan kelompok yang menerima adanya Nasikh Mansukh dalam Alquran yang diikuti oleh mayoritas jumhur ulama.



DAFTAR PUSTAKA Gunawan, Heri Dan Deden Suparman, 2015, Ulumul Quran (Studi-Studi Ilmu Al Qur’an),Bandung: CV Arfino Raya. Ilyas, Yunahar, 2014, Kuliah Ulumul Qur’an, Yogyakarta, ITQAN Publishing. Usman, Ulumul Qur’an. 2009.Yogyakarta,PenerbitTeras,



Anwar, Rosihon, Ulum Al-Qur’an. 2007.Bandung,PustakaSetia.