Infeksi Oportunistik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Infeksi Oportunistik” ini dengan sebaik baiknya. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah HIV/AIDS. Makalah ini terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Yeni Febrianti, S.Kep, selaku Dosen HIV/AIDS. 2. Teman-teman yang telah membantu penyusunan makalah ini. Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.



Tangerang, 24 September 2018 Penyusun



1



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR .................................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................ 2 C. Tujuan Penulisan .............................................................................. 2 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian infeksi oportunistik ......................................................... 3 B. Jenis-jenis infeksi oportunistik ........................................................ 4 C. Pencegahan infeksi oportunistik........................................................ 15 D. Pengobatan infeksi oportunistik ....................................................... 16 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................................................... 19 B. Saran ................................................................................................. 19 DAFTAR PUSTAKA



2



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adakala penyakit dapat menjadi penyebab timbulnya penyakit lain. Bahkan penyakit penyerta, sebut saja demikian, acapkali terdiagnosis lebih dari satu gejala klinis. Dan tak sedikit dari penyakit penyerta itu sama gawatnya dengan penyakit utama. Oleh karenanya tak heran bila penatalaksanaanya semakin rumit, baik dari diagnosa, terapi hingga membengkaknya biaya pengobatan, yang tentu tak sedikit kocek keluar. Demikian pula halnya dengan penyakit HIV/AIDS. Sejak ditemukan, pada 1981, hingga kini HIV/AIDS, prevalensinya terus meroket tak terkendali, meski katanya telah ada program pencegahan HIV/AIDS. Saat ini, diperkirakan penderita AIDS (Odha) di dunia mencapai 60 juta jiwa. Dan tak satu pun dari penderita AIDS yang terbebas dari ancaman Human Immunodeficiency Virus (HIV). Sementara angka kematian karena HIV ini mencapai 25 juta. "Meninggalnya penderita AIDS disebabkan karena infeksi oportunistik dan bukan karena HIV itu sendiri," kata Prof. Dr. Herdiman Theodorus Pohan, SpPD-KPTI, DTM&H, pada orasi pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, di Auditorium FKUI, 21 Januari lalu. Menurutnya infeksi oportunistik didefinisikan sebagai suatu infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh. Infeksi ini dicetuskan oleh mikroba maupun karena reaktivasi infeksi laten, yang dalam keadaan normal terkendali oleh sistem kekebalan tubuh. Kehadiran HIV di dalam tubuh pada awalnya tidak menunjukan gejala apapun. Namun, lambat laun virus ini menggerogoti sistem imun sampai akhirnya bermanifestasi klinis. Gambaran klinis penderita AIDS sangat bervariasi, dari gambaran klinis ringan hingga berat yang berpotensi menyebabkan kematian. Penderita AIDS dapat mengalami infeksi oportunistik ataupun mengalami keganasan/neoplasma seperti sarkoma kaposi atau limfoma yang berujung kematian. "Infeksi oportunistik menyebabkan kematian pada lebih dari 90 persen Odha."



1



B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian dari infeksi oportunistik? 2. Berapa jenis infeksi oportunistik? 3. Bagaimana cara mencegah infeksi oportunistik? 4. Bagaimana cara pengobatan infeksi oportunistik? C. Tujuan 1. Tujuan Umum a. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami konsep dasar infeksi oportunistik 2. Tujuan Khusus a. Agar mahasiswa mengetahui pengertian dari infeksi oportunistik b. Agar mahasiswa mengetahui jenis-jenis infeksi oportunistik c. Agar mahasiswa mengetahui cara mencegah infeksi oportunistik d. Agar mahasiswa mengetahui bagaimana pengobatan infeksi oportunistik



2



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Infeksi Oportunistik ( IO ) Infeksi oportunistik adalah infeksi yang disebabkan oleh organisme yang biasanya tidak menyebabkan penyakit pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang normal, tetapi dapat menyerang orang dengan sistem kekebalan tubuh yang buruk. Mereka membutuhkan “kesempatan” untuk menginfeksi seseorang. Infeksi



oportunistik



(IO)



adalah



infeksi



yang



mengambil



kesempatan



(‘opportunity’) saat terjadi kerusakan pada sistem kekebalan tubuh untuk menimbulkan penyakit. Kerusakan pada sistem kekebalan tubuh ini adalah salah satu akibat dari HIV, dan menjadi cukup berat sehingga IO timbul rata-rata 7-10 tahun setelah kita terinfeksi HIV. Dalam tubuh terdapat banyak kuman bakteri, protozoa, jamur dan virus. Saat sistem kekebalan bekerja dengan baik, sistem tersebut mampu mengendalikan kumankuman ini. Tetapi bila sistem kekebalan dilemahkan oleh penyakit HIV atau oleh beberapa jenis obat, kuman ini mungkin tidak tertangani lagi dan dapat menyebabkan masalah kesehatan. Infeksi yang mengambil manfaat dari lemahnya pertahanan kekebalan tubuh disebut “oportunistik”. Kata “infeksi oportunistik” sering kali disingkat menjadi “IO”. Kerusakan pada sistem kekebalan tubuh kita dapat dihindari dengan penggunaan terapi antiretroviral (ART) sebelum kita mengalami IO. Namun, karena kebanyakan orang yang terinfeksi HIV di Indonesia tidak tahu dirinya terinfeksi, timbulnya IO sering kali adalah tanda pertama bahwa ada HIV di tubuh kita. Jadi, walaupun ART tersedia gratis di Indonesia, masalah IO tetap ada, sehingga adalah penting kita mengerti apa itu IO dan bagaimana IO dapat diobati dan dicegah. Pasien dapat terinfeksi IO, dan “dites positif” untuk IO tersebut, walaupun pasien tidak mengalami penyakit tersebut. Misalnya, hampir setiap orang dengan HIV akan menerima hasil tes positif untuk sitomegalia (Cytomegalovirus atau CMV). Tetapi penyakit CMV itu sendiri jarang dapat berkembang kecuali bila jumlah CD4 turun di bawah 50, yang menandakan kerusakan parah terhadap sistem kekebalan. Untuk 3



menentukan apakah pasien terinfeksi IO, darah anda dapat dites untuk antigen (potongan kuman yang menyebabkan IO) atau untuk antibodi (protein yang dibuat oleh sistem kekebalan untuk memerangi antigen). Bila antigen ditemukan artinya anda terinfeksi. Ditemukan antibodi berarti anda pernah terpajan infeksi. Anda mungkin pernah menerima imunisasi atau vaksinasi terhadap infeksi tersebut, atau sistem kekebalan anda mungkin telah “memberantas” infeksi dari tubuh, atau anda mungkin terinfeksi. Jika anda terinfeksi kuman yang menyebabkan IO, dan jika jumlah CD4 anda cukup rendah sehingga memungkinkan IO berkembang, dokter anda akan mencari tanda penyakit aktif. B. Jenis – jenis IO Ada beberapa jenis IO yang paling umum, yaitu : 1. Kandidiasis (Thrush) Kandidiasis adalah infeksi oportunistik yang sangat umum pada orang dengan HIV. Infeksi ini disebabkan oleh sejenis jamur yang umum, yang disebut kandida. Jamur ini, semacam ragi, ditemukan di tubuh kebanyakan orang. Sistem kekebalan tubuh yang sehat dapat mengendalikan jamur ini. Jamur ini biasa menyebabkan penyakit pada mulut, tenggorokan dan vagina. Infeksi oportunistik ini dapat terjadi beberapa bulan atau tahun sebelum infeksi oportunistik lain yang lebih berat. Pada mulut, penyakit ini disebut thrush. Bila infeksi menyebar lebih dalam pada tenggorokan, penyakit yang timbul disebut esofagitis. Gejalanya adalah gumpalan putih kecil seperti busa, atau bintik merah. Penyakit ini dapat menyebabkan sakit tenggorokan, sulit menelan, mual, dan hilang nafsu makan. Kandidiasis berbeda dengan sariawan, walaupun orang awan sering menyebutnya sebagai sariawan. Kandidiasis pada vagina disebut vaginitis. Penyakit ini sangat umum ditemukan. Gejala vaginitis termasuk gatal, rasa terbakar dan keluarnya cairan kental putih. Pengobatan Kandidiasis : Sistem kekebalan tubuh yang sehat dapat menjaga supaya kandida tetap seimbang. Bakteri yang biasa ada di tubuh juga dapat membantu mengendalikan kandida. Beberapa antibiotik membunuh bakteri pengendali ini dan



4



dapat menyebabkan kandidiasis. Mengobati kandidiasis tidak dapat memberantas raginya. Pengobatan akan mengendalikan jamur agar tidak berlebihan. Pengobatan dapat lokal atau sistemik. Pengobatan lokal diberikan pada tempat infeksi. Pengobatan sistemik mempengaruhi seluruh tubuh. Banyak dokter lebih senang memakai pengobatan lokal terlebih dahulu. Ini menimbulkan lebih sedikit efek samping dibanding pengobatan sistemik. Selain itu risiko kandida menjadi resistan terhadap obat lebih rendah. Obat-obatan yang dipakai untuk memerangi kandida adalah obat antijamur. Hampir semua namanya diakhiri dengan '-azol'. Pengobatan lokal termasuk: a. Olesan b. Supositoria yang dipakai untuk mengobati vaginitis c. Cairan lozenge yang dilarutkan dalam mulut Pengobatan lokal dapat menyebabkan rasa pedas atau gangguan setempat. Pengobatan yang paling murah untuk kandidiasis mulut adalah gentian violet; obat ini dioleskan di tempat ada lesi (jamur) tiga kali sehari selama 14 hari. Obat yang sangat murah ini dapat diperoleh dari puskesmas atau apotek tanpa resep. Pengobatan sistemik diperlukan jika pengobatan lokal tidak berhasil, atau jika infeksi menyebar pada tenggorokan (esofagitis). Beberapa obat sistemik tersedia dalam bentuk pil. Efek samping yang paling umum adalah mual, muntah dan sakit perut. Kurang dari 20 persen orang mengalami efek samping ini. Kandidiasis dapat kambuhan. Beberapa dokter meresepkan obat anti-jamur jangka panjang. Ini dapat menyebabkan resistansi. Ragi dapat bermutasi sehingga obat tersebut tidak lagi berhasil. Beberapa kasus parah tidak menanggapi obat-obatan lain. Amfoterisin B mungkin dipakai. Obat ini yang sangat manjur dan beracun, dan diberi secara intravena (disuntik). Efek samping utama obat ini adalah masalah ginjal dan anemia (kurang darah merah). Reaksi lain termasuk demam, panas dingin, mual, muntah dan sakit kepala. Reaksi ini biasa membaik setelah beberapa dosis pertama.



5



Terapi Alamiah : Beberapa terapi non-obat tampaknya membantu. Terapi tersebut belum diteliti dengan hati-hati untuk membuktikan hasilnya. a. Mengurangi penggunaan gula. b. Minum teh Pau d'Arco. Ini dibuat dari kulit pohon Amerika Selatan. c. Mengkonsumsi bawang putih mentah atau suplemen bawang putih. Bawang putih diketahui mempunyai efek anti-jamur dan antibakteri. Namun bawang putih dapat mengganggu obat protease inhibitor. d. Kumur dengan minyak pohon teh (tea tree oil) yang dilarutkan dengan air. e. Mengkonsumsi kapsul laktobasilus (asidofilus), atau makan yoghurt dengan bakteri ini. Mungkin ada manfaatnya setelah mengkonsumsi antibiotik. f. Mengkonsumsi suplemen gamma-linoleic acid (GLA) dan biotin. Dua suplemen ini tampaknya membantu memperlambat penyebaran kandida. GLA ditemukan pada beberapa minyak yang dipres dingin. Biotin adalah jenis vitamin B.



2. Virus Sitomegalia (CMV) Virus sitomegalia (cytomegalovirus/CMV) adalah infeksi oportunistik. Virus ini sangat umum. Antara 50 persen sampai 85 persen masyarakat Amerika Serikat adalah CMV-positif waktu mereka berusia 40 tahun. Statistik untuk Indonesia belum diketahui. Sistem kekebalan tubuh yang sehat menahan virus ini agar tidak mengakibatkan penyakit. Waktu pertahanan kekebalan menjadi lemah, CMV dapat 6



menyerang beberapa bagian tubuh. Kelemahan tersebut dapat disebabkan oleh bebagai penyakit termasuk HIV. Terapi antiretroviral (ART) sudah mengurangi angka penyakit CMV pada Odha sampai dengan 75 persen. Namun, kurang-lebih 5 persen Odha masih mengembangkan CMV. Penyakit yang paling lazim disebabkan CMV adalah retinitis. Penyakit ini adalah kematian sel pada retina, bagian belakang mata. Ini secara cepat dapat menyebabkan kebutaan jika tidak diobati. CMV dapat menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksikan beberapa organ sekaligus. Risiko CMV tertinggi waktu jumlah CD4 di bawah 50. CMV jarang terjadi dengan jumlah CD4 di atas 100. Tanda pertama retinitis CMV adalah masalah penglihatan seperti gangguan lapang pandang, pandangan kabur, titik hitam yang bergerak. Ini disebut 'floater' (katung-katung) dan mungkin menunjukkan adanya radang pada retina. Anda juga mungkin akan melihat cahaya kilat, penglihatan yang kurang atau terdistorsi, atau titik buta. Beberapa dokter mengusulkan pemeriksaan mata untuk mengetahui adanya retinitis CMV. Pemeriksaan ini dilaksanakan oleh ahli mata. Jika jumlah CD4 anda dibawah 200 dan anda mengalami masalah penglihatan apa saja, sebaiknya anda langsung menghubungi dokter. Beberapa Odha yang baru saja mulai memakai ART dapat mengalami radang dalam mata, yang menyebabkan kehilangan penglihatan. Masalah ini disebabkan oleh sindrom pemulihan kekebalan. Sebuah penelitian baru beranggapan bahwa orang dengan CMV aktif lebih mudah menularkan HIV-nya pada orang lain. Pengobatan CMV : Pengobatan pertama untuk CMV meliputi infus setiap hari. Karena harus diinfus setiap hari, sebagian besar orang memasang 'keran' atau buluh obat yang dipasang secara permanen pada dada atau lengan. Dulu orang dengan penyakit CMV diperkirakan harus tetap memakai obat anti-CMV seumur hidup. Pengobatan CMV mengalami kemajuan dramatis selama beberapa tahun terakhir ini. Saat ini ada tujuh jenis pengobatan CMV yang telah disetujui oleh FDA di AS. ART dapat memperbaiki sistem kekebalan tubuh. Pasien dapat berhenti memakai obat CMV jika jumlah CD4-nya di atas 100 hingga 150 dan tetap begitu selama tiga bulan. Namun ada dua keadaan yang khusus:



7



a. Sindrom pemulihan kekebalan dapat menyebabkan radang yang parah pada mata Odha walaupun mereka tidak mempunyai penyakit CMV sebelumnya. Dalam hal ini, biasanya pasien diberikan obat anti-CMV bersama dengan ART-nya. b. Bila jumlah CD4 turun di bawah 50, risiko penyakit CMV meningkat. 3. MAC (Mycobacterium Avium Complex) Mycobacterium Avium Complex (MAC) adalah penyakit berat yang disebabkan oleh bakteri umum. MAC juga dikenal sebagai MAI (Mycobacterium Avium Intracellulare). Infeksi MAC bisa lokal (terbatas pada satu bagian tubuh) atau tersebar luas pada seluruh tubuh (DMAC). Infeksi MAC sering terjadi pada paru, usus, sumsum tulang, hati dan limpa. Bakteri yang menyebabkan MAC sangat lazim. Kuman ini ditemukan di air, tanah, debu dan makanan. Hampir setiap orang memiliki bakteri ini dalam tubuhnya. Sistem kekebalan tubuh yang sehat dapat mengendalikan MAC, tetapi orang dengan sistem kekebalan yang lemah dapat mengembangkan penyakit MAC. Hingga 50 persen Odha mengalami penyakit MAC, terutama jika jumlah CD4 di bawah 50. MAC hampir tidak pernah menyebabkan penyakit pada orang dengan jumlah CD4 di atas 100. Tanda dan gejalah MAC : Gejala MAC dapat meliputi demam tinggi, panas dingin, diare, kehilangan berat badan, sakit perut, kelelahan, dan anemia (kurang sel darah merah). Jika MAC menyebar dalam tubuh, bakteri ini dapat menyebabkan infeksi darah, hepatitis, pneumonia, dan masalah berat lain. Gejala seperti ini juga merupakan gejala banyak infeksi oportunistik lain. Jadi, dokter kemungkinan akan memeriksa darah, air seni, atau air ludah untuk mencari bakteri MAC. Contoh cairan tersebut dites untuk mengetahui bakteri apa yang tumbuh padanya. Proses ini, yang disebut pembiakan, perlu beberapa minggu. Bahkan jika anda terinfeksi MAC, sulit menemukan bakteri MAC. Jika jumlah CD4 anda di bawah 50, dokter mungkin mengobati anda seolah-olah anda MAC, walaupun tidak ada diagnosis yang tepat. Ini karena infeksi MAC sangat umum terjadi tetapi sulit didiagnosis.



8



Pengobatan MAC : Bakteri MAC dapat bermutasi dan menjadi resisten terhadap beberapa obat yang dipakai untuk mengobatinya. Dokter memakai kombinasi obat antibakteri (antibiotik) untuk mengobati MAC. Sedikitnya dua obat dipakai: biasanya azitromisin atau klaritromisin ditambah hingga tiga obat lain. Pengobatan MAC harus diteruskan seumur hidup, agar penyakit tidak kembali (kambuh). Orang akan bereaksi secara berbeda terhadap obat anti-MAC. anda dan dokter mungkin harus mencoba berbagai kombinasi sebelum anda menemukan satu kombinasi yang berhasil untuk anda dan menyebabkan efek samping sedikit mungkin. Obat MAC yang paling umum dan efek sampingnya adalah: a. Amikasin: masalah ginjal dan telinga; disuntikkan. b. Azitromisin: Mual, sakit kepala, diare; bentuk kapsul atau diinfus. c. Siprofloksasin: mual, muntah, diare; bentuk tablet atau diinfus; d. Klaritromisin: mual, sakit kepala, muntah, diare; bentuk kapsul atau diinfus. Catatan: Dosis maksimum 500mg per hari. e. Etambutol: mual, muntah, masalah penglihatan; bentuk tablet. f. Rifabutin: ruam, mual, anemia; bentuk tablet. Banyak interaksi obat. g. Rifampisin: demam, panas dingin, sakit tulang atau otot; dapat menyebab air seni, keringat dan air ludah menjadi berwarna merah-oranye (dapat mewarnai lensa kontak); dapat mengganggu pil KB. Banyak interaksi obat. 4. PCP (Pneumonia Pneumocystis) Pneumonia Pneumocystis (PCP) adalah infeksi oportunistik (IO) paling umum terjadi pada orang HIV-positif. Tanpa pengobatan, lebih dari 85 persen orang dengan HIV pada akhirnya akan mengembangkan penyakit PCP. PCP menjadi salah satu pembunuh utama Odha. Namun, saat ini hampir semua penyakit PCP dapat dicegah dan diobati. PCP disebabkan oleh jamur yang ada dalam tubuh hampir setiap orang. Dahulu jamur tersebut disebut Pneumocystis carinii, tetapi para ilmuwan kini menggunakan nama Pneumocystis jiroveci, namun penyakit masih disingkatkan sebagai PCP. Sistem kekebalan yang sehat dapat mengendalikan jamur ini. Namun, PCP menyebabkan penyakit pada anak dan pada orang dewasa dengan sistim kekebalan 9



yang lemah. Jamur Pneumocystis hampir selalu mempengaruhi paru, menyebabkan bentuk pneumonia (radang paru). Orang dengan jumlah CD4 di bawah 200 mempunyai risiko paling tinggi mengalami penyakit PCP. Orang dengan jumlah CD4 di bawah 300 yang telah mengalami IO lain juga berisiko. Sebagian besar orang yang mengalami penyakit PCP menjadi jauh lebih lemah, kehilangan berat badan, dan kemungkinan akan kembali mengalami penyakit PCP lagi. Tanda pertama PCP adalah sesak napas, demam, dan batuk tanpa dahak. Siapa pun dengan gejala ini sebaiknya segera periksa ke dokter. Namun, semua Odha dengan jumlah CD4 di bawah 300 sebaiknya membahas pencegahan PCP dengan dokter, sebelum mengalami gejala apapun. Pencegahan PCP : Cara terbaik untuk mencegah PCP adalah dengan memakai terapi antiretroviral (ART). Orang dengan jumlah CD4 di bawah 200 dapat mencegah PCP dengan memakai obat yang juga dipakai untuk mengobati PCP. ART dapat meningkatkan jumlah CD4 anda. Jika jumlah ini melebihi 200 dan bertahan begitu selama tiga bulan, mungkin anda dapat berhenti memakai obat pencegah PCP tanpa risiko. Namun, karena pengobatan PCP murah dan mempunyai efek samping yang ringan, beberapa peneliti mengusulkan pengobatan sebaiknya diteruskan hingga jumlah CD4 di atas 300. Anda harus berbicara dengan dokter anda sebelum anda berhenti memakai obat apa pun yang diresepkan. Pengobatan PCP : Selama bertahun-tahun, antibiotik dipakai untuk mencegah PCP pada pasien kanker dengan sistim kekebalan yang lemah. Tetapi pada 1985 sebuah penelitian kecil menunjukkan bahwa antibiotik juga dapat mencegah PCP pada Odha. Keberhasilan dalam pencegahan dan pengobatan PCP sangat dramatis. Persentase Odha yang mengalami PCP sebagai penyakit yang mendefinisikan AIDS dipotong kurang lebih separoh, seperti juga PCP sebagai penyebab kematian Odha. Sayang, PCP masih umum pada orang yang terlambat mencari pengobatan atau belum mengetahui dirinya terinfeksi. Sebenarnya, 30-40 persen Odha akan mengembangkan PCP bila mereka menunggu sampai jumlah CD4-nya kurang lebih 50. 10



Obat yang dipakai untuk mengobati PCP mencakup kotrimoksazol, dapson, pentamidin, dan atovakuon. a. Kotrimoksazol (TMP/SMX) adalah obat anti-PCP yang paling efektif. Ini adalah kombinasi dua antibiotik: trimetoprim (TMP) dan sulfametoksazol (SMX). b. Dapson serupa dengan kotrimoksazol. Dapson kelihatan hampir seefektif kotrimoksazol melawan PCP. c. Pentamidin adalah obat hirup yang berbentuk aerosol untuk mencegah PCP. Pentamidin juga dipakai secara intravena (IV) untuk mengobati PCP aktif. d. Atovakuon adalah obat yang dipakai orang pada kasus PCP ringan atau sedang yang tidak dapat memakai kotrimoksazol atau pentamidin. Kotrimoksazol adalah obat yang paling efektif melawan PCP. Obat ini juga murah, dan dipakai dalam bentuk pil, tidak lebih dari satu pil sehari. Namun, bagian SMX dari kotrimoksazol merupakan obat sulfa dan hampir separo orang yang memakainya mengalami reaksi alergi, biasanya ruam kulit, kadang-kadang demam. Sering kali, bila penggunaan kotrimoksazol dihentikan sampai gejala alergi hilang, lalu penggunaan dimulai kembali, masalah alergi tidak muncul lagi. Reaksi alergi yang berat dapat diatasi dengan cara desensitisasi. Pasien mulai dengan dosis obat yang sangat rendah dan kemudian meningkatkan dosisnya hingga dosis penuh dapat ditahan. Mengurangi dosis dari satu pil sehari menjadi tiga pil seminggu mengurangi masalah alergi kotrimoksazol, dan tampak sama berhasilnya. Karena masalah alergi yang disebabkan oleh kotrimoksazol serupa dengan efek samping dari beberapa obat antiretroviral, sebaiknya penggunaan kotrimoksazol dimulai seminggu atau lebih sebelum mulai ART. Dengan cara ini, bila alergi muncul, penyebabnya dapat lebih mudah diketahui. Dapson menyebabkan lebih sedikit reaksi alergi dibanding kotrimoksazol, dan harganya juga agak murah. Biasanya dapson dipakai dalam bentuk pil tidak lebih dari satu pil sehari. Namun dapson kadang kala lebih sulit diperoleh di Indonesia. Pentamidin memerlukan kunjungan bulanan ke klinik dengan nebulizer, mesin yang membuat kabut obat yang sangat halus. Kabut ini dihirup secara langsung ke dalam paru. Prosedur ini memakan waktu kurang lebih 30-45 menit. anda 11



dibebani harga obat tersebut ditambah biaya klinik. Pasien yang memakai pentamidin aerosol akan mengalami PCP lebih sering dibanding orang yang memakai pil antibiotik.



5. Toksoplasmosis Toksoplasmosis (tokso) adalah infeksi yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii. Parasit hidup dalam organisme hidup lain (induknya) dan mengambil semua nutrisi dari induknya. Parasit tokso sangat umum ditemukan pada tinja kucing, sayuran mentah dan tanah. Kuman ini juga umumnya ditemu dalam daging mentah, terutama daging babi, kambing dan rusa. Parasit tersebut dapat masuk ke tubuh waktu anda menghirup debu. Hingga 50 persen penduduk terinfeksi tokso. Sistem kekebalan tubuh yang sehat dapat mencegah agar tokso tidak mengakibatkan penyakit ini. Tokso tampaknya tidak menular dari manusia ke manusia. Penyakit yang paling umum diakibatkan tokso adalah infeksi pada otak (ensefalitis). Tokso juga dapat menginfeksikan bagian tubuh lain. Tokso dapat menyebabkan koma dan kematian. Risiko tokso paling tinggi waktu jumlah CD4 di bawah 100. Gejala pertama tokso termasuk demam, kekacauan, kepala nyeri, disorientasi, perubahan pada kepribadian, gemetaran dan kejang-kejang. Tokso biasanya didiagnosis dengan tes antibodi terhadap T. gondii. Perempuan hamil dengan infeksi tokso juga dapat menularkannya pada bayinya. Tes antibodi tokso menunjukkan apakah anda terinfeksi tokso. Hasil positif bukan berarti anda menderita penyakit ensefalitis tokso. Namun, hasil tes negatif berarti anda tidak terinfeksi tokso. Pengamatan otak (brain scan) dengan computerized tomography (CT scan) atau magnetic resonance imaging (MRI scan) juga dipakai untuk mendiagnosis tokso. CT scan untuk tokso dapat mirip dengan pengamatan untuk infeksi oportunistik yang lain. MRI scan lebih peka dan mempermudah diagnosis tokso.



12



Pengobatan Toksoplasmosis : Tokso diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak. Parasit tokso membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Sulfadiazin menghambat pemakaiannya. Dosis normal obat ini adalah 50-75mg pirimetamin dan 2-5g sulfadiazin per hari. Kedua obat ini mengganggu ketersediaan vitamin B dan dapat mengakibatkan anemia. Orang dengan tokso biasanya memakai kalsium folinat (semacam vitamin B) untuk mencegah anemia. Kombinasi obat ini sangat efektif terhadap tokso. Lebih dari 80 persen orang menunjukkan perbaikan dalam 2-3 minggu. Tokso biasanya kambuh setelah peristiwa pertama. Orang yang pulih dari tokso seharusnya terus memakai obat antitokso dengan dosis pemeliharaan yang lebih rendah. Jelas orang yang mengalami tokso sebaiknya mulai terapi antiretroviral (ART) secepatnya, dan bila CD4 naik di atas 200 lebih dari enam minggu, terapi tokso sudah diselesaikan dan bila tidak ada gejala tokso lagi, terapi pemeliharaan tokso dapat dihentikan. 6. Tuberkulosis (TB) Tuberkulosis adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri. TB biasanya mempengaruhi paru-paru, tapi kadang-kadang dapat juga mempengaruhi organ tubuh lain, terutama pada Odha dengan jumlah CD4 di bawah 200. TB adalah penyakit yang sangat parah di seluruh dunia. Hampir sepertiga penduduk dunia terinfeksi TB, tetapi sistem kekebalan tubuh yang sehat biasanya dapat mencegah penyakit aktif. Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel. Tuberkel adalah tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri TB dalam paru. Ada dua jenis TB aktif. TB primer baru terjadi setelah anda terinfeksi TB untuk pertama kali. Keaktifan kembali TB terjadi pada orang yang sebelumnya terinfeksi TB. Jika sistem kekebalan tubuhnya melemah, TB dapat lolos dari tuberkel dan mengakibatkan penyakit aktif. Kebanyakan kasus TB pada orang dengan HIV diakibatkan keaktifan kembali infeksi TB sebelumnya. TB aktif dapat menyebabkan gejala berikut: batuk lebih dari tiga minggu; hilang berat badan; kelelahan terus menerus; keringat basah kuyup pada malam hari; dan 13



demam, terutama pada sore hari. Gejala ini mirip dengan gejala yang disebabkan PCP, tetapi TB dapat terjadi pada jumlah CD4 yang tinggi. TB ditularkan melalui udara, waktu seseorang dengan TB aktif batuk atau bersin. Anda dapat mengembangkan TB secara mudah jika anda pada tahap infeksi HIV lanjut. Anda dapat terinfeksi TB pada jumlah CD4 berapa pun. TB dan HIV: pasangan yang buruk . Banyak jenis virus dan bakteri hidup di tubuh anda. Sistem kekebalan tubuh yang sehat dapat mengendalikan kuman ini agar mereka tidak menyebabkan penyakit. Jika HIV melemahkan sistem kekebalan, kuman ini dapat mengakibatkan infeksi oportunistik (IO). Angka TB pada Odha sering kali 40 kali lebih tinggi dibanding angka untuk orang yang tidak terinfeksi HIV. Angka TB di seluruh dunia meningkat karena HIV. TB dapat merangsang HIV agar lebih cepat menggandakan diri, dan memperburuk infeksi HIV. Karena itu, penting bagi orang dengan HIV untuk mencegah dan mengobati TB. Bagaimana cara mendiagnosis TB??? Ada tes kulit yang sederhana untuk TB. Sebuah protein yang ditemukan pada bakteri TB disuntik pada kulit lengan. Jika kulit anda bereaksi dengan bengkak, itu berarti anda kemungkinan terinfeksi bakteri TB. Jika HIV atau penyakit lain sudah merusak sistem kekebalan anda, anda mungkin tidak menunjukkan reaksi pada tes kulit, walaupun anda terinfeksi TB. Kondisi ini disebut 'anergi'. Oleh karena masalah ini, dan karena kebanyakan orang di Indonesia sudah terinfeksi TB, jadi tes kulit sekarang jarang dipakai di sini. Jika anda anergi, pembiakan bakteri dari dahak (lihat alinea berikut) adalah cara terbaik untuk diagnosis TB aktif. Bila anda mempunyai gejala yang mungkin disebabkan oleh TB, dokter akan minta anda menyediakan tiga contoh dahak untuk diperiksa, termasuk satu yang anda diminta keluarkan dari paru pada pagi hari. Dokter juga mungkin melakukan x-ray paru, dan mencoba membiakkan bakteri TB dari contoh dahak anda. Tes ini mungkin memerlukan waktu empat minggu. Sulit untuk mendiagnosis TB aktif, terutama pada Odha, karena gejalanya mirip dengan pneumonia, masalah paru lain, atau infeksi lain. Pengobatan TB : Jika anda terinfeksi TB, tetapi tidak mengalami penyakit aktif, kemungkinan anda diobati dengan isoniazid (INH) untuk sedikitnya enam bulan, atau 14



dengan INH plus satu atau dua obat lain untuk tiga bulan. Sebuah penelitian yang diterbitkan pada 2001 menunjukkan bahwa terapi kombinasi lebih efektif dibandingkan INH sendiri. INH dapat menyebabkan masalah hati, terutama pada perempuan. Jika anda mengalami TB aktif, anda diobati dengan antibiotik. Karena bakteri TB dapat menjadi kebal (resisten) terhadap obat tunggal, anda akan diberi kombinasi antibiotik. Juga, TB sulit disembuhkan, dan obat tersebut harus dipakai untuk sedikitnya enam bulan. Jika anda tidak memakai semua obat, TB dalam tubuh anda mungkin jadi resistan dan obat tersebut akan menjadi tidak efektif lagi. Ada jenis TB yang sudah resistan pada beberapa antibiotik. Ini disebut TB yang resistan terhadap beberapa obat atau MDR-TB. Hingga saat ini, Prevalensi MDR-TB di Indonesia belum jelas; surveillans akan segera dilakukan oleh Depkes. Kendati masalah ini, lebih dari 90 persen kasus TB dapat disembuhkan dengan antibiotik. Masalah obat : Beberapa antibiotik yang dipakai untuk mengobati TB dapat merusak hati atau ginjal. Begitu juga beberapa obat antiretroviral yang dipakai untuk memerangi HIV. Bisa jadi sulit untuk memakai obat untuk TB dan HIV sekaligus. INH dapat menyebabkan neuropati perifer, seperti juga beberapa ARV, jadi dapat terjadi masalah bila obat ini dipakai bersamaan. Juga, banyak obat anti-HIV berinteraksi dengan obat yang dipakai untuk memerangi TB. Rifampisin atau rifabutin umumnya dipakai untuk mengobati TB. Obat ini dapat mengurangi kadar ARV dalam darah anda di bawah tingkat yang diperlukan untuk mengendalikan HIV. ARV dapat meningkatkan kadar obat TB ini pada tingkat yang mengakibatkan efek samping yang berat. Rifampisin tidak boleh dipakai jika anda memakai protease inhibitor (PI). Rifabutin dapat dipakai dalam beberapa kasus, tetapi mungkin dosisnya harus diubah. Ada pedoman khusus untuk dokter jika anda memakai obat untuk memerangi TB dan HIV sekaligus. Juga, jika jumlah CD4 anda di bawah 100, anda sebaiknya memakai rifabutin sedikitnya tiga kali seminggu. Ini mengurangi risiko TB-nya menjadi resistan terhadap rifabutin. Untuk alasan ini, TB biasanya disembuhkan sebelum ART dimulai. Namun mungkin ini mustahil bila jumlah CD4 sangat rendah. 15



C. Pencegahan IO Beberapa kuman yang menyebabkan infeksi oportunistik sulit untuk dihindari. Untuk itu, Anda harus menjaga kesehatan diri agar terhindar dari infeksi berbahaya ini, di antaranya: 1. Melakukan kebiasaan hidup yang sehat, termasuk melakukan seks yang aman. Gunakan kondom secara konsisten dan benar untuk mencegah paparan infeksi menular seksual. 2. Mencuci dan memasak makanan dengan baik, hindari daging dan telur mentah atau kurang matang. Hindari juga susu yang tidak dipasteurisasi dan gunakan alat masak yang benar-benar bersih, seperti pisau dan talenan. 3. Gunakan sarung tangan untuk mengambil kotoran hewan peliharaan, dan jauhkan kucing dari dalam ruangan agar tidak membawa kuman yang dapat membahayakan Anda. 4. Gunakan handuk dan peralatan olahraga secara personal tanpa bergantian dengan orang lain. 5. Cobalah untuk tidak menelan atau meminum air yang berasal dari kolam, danau, atau sungai secara langsung. 6. Lakukan vaksin untuk penyakit HIV dan lainnya untuk menjaga sistem kekebalan tubuh. 7. Jika Anda seorang wanita, lakukan pemeriksaan panggul dan tes pap smear untuk menghindari adanya kanker atau infeksi yang lainnya. D. Pengobatan IO Obat ARV terdiri dari tiga golongan utama: nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitors (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI), dan protease inhibitors (PI) (lihat tabel 31). Baku pengobatan adalah Triple therapy. WHO merekomendasikan bahwa rejimen lini pertama adalah 2 NRTI ditambah satu obat NNRTI. Penggunaantriple NRTI sebagai lini pertama, saat ini dianggap sebagai alternatif kedua. Protease inhibitor biasanya



16



direkomendasikan sebagai bagian dari rejimen lini kedua pada sebagian besar fasilitas dengan sumber daya terbatas. Infeksi oportunistik kerap melibatkan banyak patogen dan menyerang secara bersamaan. Berbagai gejala klinis pun terdiagnosa, menambah runyam pengobatan pasien HIV/AIDS. Dengan demikian, diperlukan strategi dalam diagnosis dan pengobatan , termasuk dengan antimikroba yang seringkali harus diberi secara kombinasi. "Pemilihan obat antimikroba idealnya disesuaikan dengan diagnosis dan patogen penyebab infeksi, namun dalam praktik klinik seringkali terapi diberi secara empirik, oleh karenanya kesulitan dan keterbatasan secara diagnosa," jelas Ketua Tim Standar Profesi Penyakit Dalam dan Standar Peralatan Penyakit Dalam ini. Lebih lanjut, Herdiman menjelaskan, pengobatan infeksi oportunistik pada Odha tidak dapat dipisahkan dengan pemberian ARV. Kedua komponen terapi ini mesti diberikan secara beriringan dan sinergis, sebab keduanya akan saling mendukung efektifitas masing-masing. Terapi ARV ditujukan untuk pemulihan daya tahan tubuh melalui meningkatnya jumlah CD4. dengan begitu, peningkatan imunitas pasien akan membantu keberhasilan terapi antimikroba, yang pada akhirnya menurunkan risiko terjadinya infeksi oportunistik. Namun ada kalanya, pengobatan infeksi oportunistik harus didahulukan, dan kemudian dilanjutkan pemberian ARV. Efek sinergis terapi oportunistik dan ARV, oleh beberapa ahli telah dibuktikan efektifitasnya. Kovack, pada 1997, misalnya, telah menunjukan, terjadinya penurunan insiden infeksi oportunistik sebesar 55 persen pada populasi Odha yang menerima ARV. Sementara Astro, peneliti lain, pada 2003 melakukan penelitian untuk menilai efektivitas ARV terhadap perbaikan kualitas hidup penderita AIDS. Hasilnya, disimpulkan bahwa untuk mengoptimalkan kualitas hidup Odha perlu segera dilakukan penanggulangan infeksi oportunistik yang dilanjutkan dengan ARV. "Keberhasilan ini dikaitkan dengan peningkatan imunitas tubuh.Tapi, ARV sendiri tidak memberikan efek perlindungan yang sama bagi setiap komplikasi oportunistik, oleh karenanya perlu upaya lain dengan penggunaan profilaksis, serta pendekatan diagnostik dan terapetik yang lebih baik," tegas Herdiman. Dengan begitu pengobatan infeksi bukan berarti pekara mudah.Tak sedikit para praktisi medis mengalami kegagalan, termasuk akibat keterbatasan non medis seperti 17



terlambatnya diagnosa dini, kesulitan mendapatkan obat, dan biaya yang tinggi. Namun demikian, Herdiman menegaskan, HIV/AIDS bukanlah tanggung-jawab dokter semata, dan bukan sekadar masalah kesehatan. Penyakit "kutukan", pada sebagian masyarakat, ini merupakan tanggung-jawab semua elemen: apapun profesi, status sosial, agama, orientasi politik. AIDS adalah masalah kita semua yang tak bisa ditunda pemecahannya. Segera!! Atau segalanya akan menjadi sangat terlambat.



18



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang ambil kesempatan (‘opportunity’) yang disediakan oleh kerusakan pada sistem kekebalan tubuh untuk menimbulkan penyakit. Kerusakan pada sistem kekebalan tubuh ini adalah salah satu akibat dari infeksi HIV, dan menjadi cukup berat sehingga IO timbul rata-rata 7-10 tahun setelah kita terinfeksi HIV. Kerusakan pada sistem kekebalan tubuh kita dapat dihindari dengan penggunaan terapi antiretroviral (ART) sebelum kita mengalami IO. Namun, karena kebanyakan orang yang terinfeksi HIV di Indonesia tidak tahu dirinya terinfeksi, timbulnya IO sering kali adalah tanda pertama bahwa ada HIV di tubuh kita. Jadi, walaupun ART tersedia gratis di Indonesia, masalah IO tetap ada, sehingga adalah penting kita mengerti apa itu IO dan bagaimana IO dapat diobati dan dicegah. Pencegahan beberapa IO, yang disebut sebagai ‘profilaksis’, dapat dilakukan dengan cara yang cukup sederhana, yaitu dengan memakai dua pil obat kotrimoksazol setiap hari. Pencegahan ini hanya dibutuhkan setelah sistem kekebalan tubuh kita cukup rusak.



B. Saran Dengan mengetahui tentang infeksi oportunistik dan bahayanya, disarankan agar selalu menjaga kesehatan tubuh. Segera konsultasikan ke dokter jika kerap mengalami gejala infeksi oportunistik seperti demam, sakit kepala, menggigil, nyeri sendi,



19



kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan secara drastis, adanya pembengkakan, dan pembesaran kelenjar getah bening.



DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan RI. 2009. Pusat Promosi Kesehatan (Sehat dan Positif) Flexner, C. 1998. HIV-Protease Inhibitor. h. JH. Wartono, Abu Chanif, Dra. Siti Maryanti, Yon Subardiyo BSC. 1999. HIV/AIDS. Jakarta : LEPIN Mandal, dkk. 2008. Penyakit Infeksi. Jakarta : Erlangga Medical Series Mansjoer, Arif. Dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia : Media Aesculapius Patrick, A.K. & Potts, K.E. 1998. Protease Inhibitors as Antiviral Agents.



20