Perilaku Oportunistik Legislatif Dalam Proses Penganggaran Daerah  [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERILAKU OPORTUNISTIK LEGISLATIF DALAM PENGANGGARAN DAERAH: PENDEKATAN PRINCIPAL-AGENT THEORY Oleh Syukriy Abdullah Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala



Abstract The aim of this study is to test empirically the opportunistic behavior of legislator (DPRD) in local government budgeting process. The results confirm the legislator’s (agent) rent-seeking hypothesis. The increasing in local original revenue (PAD) budget positively affects the DPRD and infrastructure budgets, doesn’t affect health budget, and negatively affects education budget. It is found that legislators opportunistically use budget process as a tool to engage their self-interest. The study recommends central government to revise Autonomy Law No. 22/1999 and Government Regulation No. 110/2000, especially on the legislative-executive relationship. Keywords:



Legislative preferences, local budgeting, PAD budget, DPRD budget, education budget, health budget, infrastructure budget, principal-agent theory, rent-seeking, legal corruption.



A. PENDAHULUAN Autonomi daerah di Indonesia telah berjalan menjelang empat tahun. Berbagai persoalan pun muncul tiada henti. Isu korupsi menjadi sangat biasa, bahkan telah sampai ke pengadilan sehingga beberapa pejabat daerah dan anggota legislatif harus rela menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan.1 Sebuah ironi karena ternyata autonomi daerah membuat permasalahan menjadi semakin rumit. Autonomi daerah yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mendekatkan pemerintah sebagai pemberi pelayanan dengan masyarakat sebagai pihak yang dilayani, yang diaplikasikan melalui kebijakan desentralisasi fiskal, justru melahirkan banyak oportunist yang lebih mementingkan diri sendiri dan kelompoknya daripada kepentingan publik/rakyat.



1



Di beberapa daerah terungkap bahwa DPRD terlibat dalam penyalahgunaan anggaran, seperti di Kota Banda Aceh (NAD), Kota Padang, Kota Payakumbuh, dan Kota Solok (Sumatera Barat), Ciamis (Jawa Barat), Propinsi DIY, Kabupaten Sidoarjo (Jawa Timur). Beberapa kasus bahkan sudah sampai ke pengadilan atau dalam proses hukum. Tajuk Rencana Harian Kompas, 9 Juli 2004, berjudul “Makin Banyak Kasus Korupsi DPRD yang Terungkap” dan Tajuk Rencana Harian Suara Merdeka, , 9 Juli 2004, berjudul “Pengungkapan Kasus-kasus Korupsi di DPRD” semakin memperkuat bukti bahwa anggota DPRD berperilaku oportunistik.



1



Beberapa pertanyaan kemudian muncul ke permukaan. Sedikit di antara pertanyaanpertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah ada yang salah dengan perundangan dan peraturan lain yang menjadi panduan dalam pelaksanaan autonomi daerah? Apakah ada persoalan egoisme di antara pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan kebijakan di daerah? Apakah anggaran publik sebagai alat pemerintah untuk merealisasikan setiap kebijakan telah dipahami dengan baik oleh perangkat pemerintah daerah? Apakah ada teori yang dapat menjelaskan mengapa terjadi perilaku oportunistik dalam proses penyusunan anggaran di daerah? Bagaimana solusi yang diperlukan untuk mengurangi costs yang terjadi dalam pelaksanaan autonomi daerah, khususnya dalam hubungan eksekutif-legislatif? Studi ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menggunakan perspektif keagenan (principal-agent theory atau juga sering disebut agency theory). Fokus studi ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai legislatif daerah, yang sekarang memiliki lebih banyak kewenangan dibanding perioda sebelum autonomi daerah. UU No. 22/1999 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 110/2000 telah menempatkan DPRD pada posisi yang sangat kuat, relatif terhadap eksekutif (kepala daerah dan jajarannya). Meski dinyatakan DPRD sebagai mitra pemerintah daerah, adanya hak DPRD untuk meminta pertanggung-jawaban kepala daerah menyebabkan kemitraan tersebut tidak lagi murni horisontal, tetapi cenderung vertikal. Bagaimana tidak, DPRD dapat menolak laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepala daerah dan penolakan tersebut dapat berarti menjadi awal pemberhentian kepala daerah. Dalam konteks perencanaan dan keuangan daerah, DPRD memiliki bargaining position yang sangat strategis sehingga dapat melakukan tekanan kepada pemerintah daerah untuk mengakomodasi preferensi mereka, misalnya, di anggaran belanja daerah dalam APBD (Halim & Abdullah, 2004). Di dalam penelitian ini dianalisis bagaimana preferensi DPRD dalam pengalokasian sumberdaya di dalam anggaran belanja daerah pada saat pembahasan anggaran sampai akhirnya anggaran ditetapkan melalui sebuah peraturan daerah (Perda). Alokasi belanja dalam rancangan atau draf anggaran daerah (RAPBD) dipandang sebagai anggaran preferensi pemerintah daerah, sedangkan APBD sebagai anggaran (preferensi) legislatif atau DPRD. Sampel yang digunakan adalah sembilan kota dan kabupaten di pulau Jawa dan dua belas kota dan kabupaten di luar pulau Jawa, dengan jumlah observasi tiga puluh lima RAPBD/APBD. Hasil analisis menunjukkan bahwa DPRD berperilaku oportunistik ketika terjadi kenaikan dalam anggaran



2



DPRD yang disahkan (di APBD) yang bersumber dari kenaikan dalam anggaran PAD. Kenaikan dalam PAD juga berpengaruh positif pada anggaran infrastruktur dalam APBD dibanding RAPBD. Namun, kenaikan dalam anggaran PAD justru menurunkan (berhubungan negatif dengan) anggaran pendidikan dan tidak berpengaruh terhadap anggaran kesehatan.



B. LANDASAN TEORETIS DAN HIPOTESIS PENELITIAN Hubungan eksekutif dan legislatif dapat dipandang sebagai hubungan principal-agent (Fozzard, 2001; Halim, 2004b; Moe, 1984; Smith & Bertozzi, 1998; Yuhertiana, 2003). Dalam hubungan tersebut, pemerintah daerah sebagai eksekutif adalah agent, sementara DPRD sebagai legislatif adalah principal. Menurut Elgie & Jones (2001), yang berperilaku oportunistik kemungkinan tidak hanya agent, tetapi juga principal. Mardiasmo (2003) berpandangan bahwa DPRD berada dalam posisi dual accountability, akuntabilitas ganda atau dua arah, yang dapat diartikan DPRD sebagai prinsipal bagi eksekutif sekaligus sebagai agent bagi publik atau masyarakat yang memilihnya. Penggunaan teori keagenan dalam menjelaskan fenomena hubungan eksekutif-legislatif memang belum banyak dilakukan mengingat adanya faktor contingency yang sangat besar terhadap bentuk dan konsep demokrasi yang dianut oleh suatu negara serta sifat sektor publik (khususnya pemerintahan) yang tidak selalu terkait dengan self-interest individu yang bekerja di dalamnya (Smith & Bertozzi, 1998; Christensen, 1992). Namun bukan berarti teori keagenan tidak dapat diaplikasikan dalam sektor publik (Lane, 2003). Beberapa studi menggunakan teori keagenan untuk menjelaskan adanya perilaku moral hazard dalam pembuatan kebijakan-kebijakan publik, termasuk dalam proses penyusunan anggaran, namun belum ada yang menganalisis data anggaran pemerintah daerah di Indonesia setelah autonomi daerah (baca: desentralisasi fiskal) diterapkan sejak 1 Januari 2001. Desentralisasi fiskal sendiri sesungguhnya sejalan upaya peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan kepada masyarakat, bukan semakin memperbesar jarak (distance) di antara masyarakat sebagai penerima pelayanan (konsumen) dengan pemerintah sebagai pemberi pelayanan (servant). Dengan demikian, keterkaitan antara semua aspek pelayanan dengan anggaran perlu dipahami secara lebih mendalam karena tidak mungkin pelayanan diberikan jika tidak ada anggarannya atau mustahil kualitas pelayanan akan baik bila alokasi anggaran untuk pelayanan tersebut tidak memadai.



3



Menurut Bryce (2000), devolution and decentralization of power akan meningkatkan anggaran belanja dan besaran pemerintahan daerah karena adanya pengalihan tanggungjawab pengelolaan atas berbagai aset kepada Pemda, yang sebelumnya didanai oleh anggaran pemerintah pusat. Desentralisasi fiskal juga akan merubah perilaku Pemerintah daerah dalam mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya (Kwon, 2003), yang oleh Pemerintah Pusat diimbangi dengan tansfer dana, baik berupa alokasi umum (block grants) atau alokasi khusus (specific grants). Di Indonesia, kebijakan desentralisasi fiskal diiringi pula dengan perubahan dalam pendekatan anggaran yang digunakan2, sehingga terjadi pergeseran dalam perilaku aparatur pemerintahan (eksekutif dan legislatif) dalam pengalokasian sumberdaya dalam anggaran daerah (APBD). Dengan demikian, masalah penggunaan dana sesuai dengan peruntukannya dalam konteks autonomi daerah di Indonesia perlu mendapat perhatian mengingat selama ini belum ada aturan normatif yang memberi “pagar” untuk pengalokasian sumberdaya, kecuali didasarkan pada aturan daerah yang dibuat dalam bentuk arah dan kebijakan umum (AKU) dan strategi dan prioritas (SP) (Mardiasmo, 2002). AKU dan SP merupakan pencerminan dari partisipasi masyarakat sehingga pengalokasian sumberdaya dalam anggaran sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau anggaran ditujukan untuk pencapaian suatu hasil (outcome) yang memberikan dampak pelayanan kepada masyarakat. Namun, perubahan pola hubungan pemerintah (eksekutif) dan DPRD (legislatif) dan penerapan pendekatan kinerja akan menimbulkan masalah keagenan ketika hubungan tersebut dilihat sebagai hubungan prinsipal-agen. Hal ini dikarenakan adanya asimetri informasi antara pengusul anggaran (eksekutif) dan legislator anggaran (legislatif) (Jackson, 1982; Johnson, 1994; Wang, 1999), yang dapat dimanfaatkan oleh kedua belah pihak untuk memenuhi selfinterest-nya. Jackson (1982) menyatakan bahwa dalam proses pengalokasian sumberdaya (resources) selalu muncul masalah-masalah keagenan di antara actors, yakni kecenderungan untuk mengutamakan preferensi atau tujuan pribadi atau kelompoknya sendiri. Hal ini juga didukung oleh Lane (2003) dan Von Hagen (2002). Johnson (1994) menyebut konflik ini dengan nama self-interest model.



2



Anggaran yang diterapkan saat ini adalah anggaran berbasis kinerja atau anggaran kinerja (performance-based budgeting atau performance budgeting), sebagai pengganti anggaran berimbang-dinamis (line-item-incremental budget) (Abdullah & Halim, 2003).



4



Proses penyusunan anggaran sendiri tidak terlepas dari proses politik yang melibatkan banyak pihak dengan kepentingan dan preferensi berbeda. Menurut Rubin (1993:2) penganggaran publik merupakan pencerminan dari relative power dari berbagai budget actors (individu dan organisasi) yang memiliki kepentingan atau preferensi berbeda untuk mempengaruhi outcomes anggaran. Budgeting cannot proceed without some kind of decision process (Rubin, 1993:4). Since funds are limited, a budget becomes a mechanism for allocating resources (Wildavsky, 1975:4). Menurut Smith & Bertozzi (1998), Christensen (1992), dan Von Hagen (2002) teori prinsipal-agen dapat menjelaskan hubungan antara prinsipal dengan agen dalam pengalokasian sumberdaya dalam anggaran. Dalam konteks pemerintahan daerah di Indonesia dalam masa autonomi daerah, eksekutif atau kepala daerah (bupati, walikota atau gubernur) beserta jajarannya (disebut Pemda) dapat dipandang sebagai agent, sedangkan legislatif (Dewan Perwakilan Daerah/DPRD), dengan segala wewenang dan fungsinya, dapat dipandang sebagai principal (Halim, 2004a, 2004b; Yuhertiana, 2003). Hubungan ini menjadi semakin kompleks ketika terjadi perubahan pendekatan dalam penyusunan anggaran dan tidak sempurnanya peraturan perundangan yang mendasari hubungan eksekutif-legislatif. Pasal 16 ayat 2 UU No. 22/1999 menyatakan bahwa DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah daerah. Ini menunjukkan bahwa hubungan DPRD-Kepala Daerah adalah horizontal accountability (Halim, 2004a; 2004b). DPRD mempunyai tugas dan wewenang antara lain memilih bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota3 dan meminta pertanggungjawaban bupati dan walikota4 serta meminta keterangan kepada Pemerintah daerah5. Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya selaku Kepala Daerah, Bupati/Walikota bertanggungjawab kepada DPRD Kabupaten/Kota6. Adanya kewajiban Kepala Daerah untuk mempertanggung-jawabkan pelaksanaan tugasnya kepada DPRD menunjukkan bahwa posisi Kepala Daerah adalah agent bagi legislatif/DPRD. Di sisi lain, legislatif adalah agen bagi pemilih atau publik yang diwakilinya di parlemen (Moe, 1984; Smith & Bertozzi, 1998; Yuhertiana, 2003). Mardiasmo (2003) menyebut posisi DPRD ini sebagai dual accountability. Sebagai agen, seperti halnya individu lain dalam hubungan kontrak keagenan (principal-agent contract), dalam perspektif ekonomi, 3



pasal 18 ayat 1 UU No. 22/1999. pasal 19 ayat 1a UU No. 22/1999. 5 pasal 19 ayat 1b UU No. 22/1999. 6 Pasal 32 ayat 2 UU No. 22/1999. 4



5



anggota legislatif akan berlaku oportunistik untuk meningkatkan utilitasnya, meskipun sebenarnya DPRD harus mengutamakan kepentingan prinsipalnya (rakyat). Oleh karena itu, legislatif harus dapat menyeimbangkan antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik yang menjadi tanggung jawabnya. Eksekutif sebagai penyusun rancangan anggaran memiliki informasi yang lebih lengkap daripada legislatif, yang bermakna adanya asimetri informasi antara keduanya (Dobell & Ulrich, 2002). Asimetri informasi ini akan menimbulkan masalah keagenan (Fozzard, 2001) dalam hubungan legislatif-eksekutif, seperti eksekutif mengajukan anggaran yang lebih besar sebagai antisipasi atas ketidakpastian (uncertaianty) pada masa yang akan datang (Krause, 2002). Di sisi lain, legislatif yang memiliki waktu dan pengetahuan yang sangat terbatas untuk mempelajari rancangan anggaran akan berupaya mempengaruhi anggaran melalui kekuasaan (power) yang dimilikinya sebagai prinsipal. Oleh karena itu, legislatur hanya diharapkan untuk bisa lebih tajam dan selektif dalam mengkaji usulan-usulan anggaran yang mengandung kontroversi dan menyerap belanja dalam jumlah besar (Hyde & Shafritz, 1978). Secara prinsip, parlemen sendiri memiliki peran penting dalam proses anggaran (Dobell & Ulrich, 2002; Krafchik & Wehner, 1999). Above all, budgeting is a legislative process. Whatever the executive branch does in budgeting process, it is in the end subjected to legislative review (Hyde & Shafritz, 1978:324). Kramer (1979:11-12) juga menyatakan: “although legislatures at most levels in United States are laboring under a cloud of public doubt about their competence, they play a key role in budget process… Legislators have the power to approve or deny the budget proposals” Perbedaan motivasi dan kepentingan dalam proses penyusunan anggaran akan berimplikasi pada terjadinya perbedaan antara rancangan yang diusulkan eksekutif dengan anggaran daerah yang kemudian ditetapkan bersama-sama oleh eksekutif dan legislatif (disebut enacted budget), yang merupakan jalan tengah untuk mengakomodasi preferensi eksekutif dan legislatif. Wildavksy (1975, 1992) dan Rubin (1993) menyatakan penganggaran sebagai proses tawar-menawar (bargaining) antara eksekutif dan legislatif dan anggaran merupakan hasil dari kompromi dari kedua belah pihak (Johnson, 1994; Lee & Johnson, 1998). Anggaran merupakan alat kebijakan yang sangat penting (Lee & Johnson, 1998; Mardiasmo, 2002). Alokasi anggaran menunjukkan keberpihakan atau prioritas secara nyata terhadap suatu sektor pelayanan publik (Halim & Abdullah, 2004). Dalam pemerintahan,



6



legislatif sebagai representasi dari publik berperan sebagai epnyambung lidah masyarakat melalui fungsi-fungsi yang dimilikinya: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Menurut Moe (1984), konsep New Public Management (NPM) memberikan penekanan pada kualitas pelayanan publik dengan harmonisasi hubungan eksekutif-legislatif sebagai salah satu determinan penting. Legislatif, secara normatif, selayaknya berupaya seoptimal mungkin mengurangi moral hazard eksekutif/birokrat agar pelayanan publik bisa lebih baik. Proses anggaran yang didasarkan pada sistem demokrasi yang menerapkan separation of power di antara eksekutif dan legislatif, seperti di juga Indonesia (UU No. 22/1999), legislatif memiliki kewenangan untuk merubah (to amend) usulan anggaran yang diajukan eksekutif (Dobell & Ulrich, 2002; Krafchik & Wehner, 1999; Mardiasmo, 2002). Oleh karena itu, perubahan dapat terjadi pada sisi pendapatan (terutama PAD) dan juga sisi pengeluaran atau belanja. Umumnya anggaran belanja lebih mendapat perhatian legislatif daripada anggaran pendapatan (Johnson, 1994; Lee & Johnson, 1998; Rubin, 19993). Dari uraian teoretis dan temuan-temuan empiris di atas, hipotesis alternatif (Ha) yang akan diuji dalam studi ini dapat dinyatakan sebagai berikut: H1: Terdapat perbedaan preferensi terhadap anggaran PAD di antara eksekutif dan legislatif. H2: Terdapat perbedaan preferensi terhadap anggaran DPRD, pendidikan, dan kesehatan di antara eksekutif dan legislatif. Perbedaan preferensi eksekutif dan legislatif atas anggaran pendapatan (PAD) dan anggaran belanja dipengaruhi oleh motivasi atau insentif yang melatari masing-masing pihak. Preferensi eksekutif dalam menganggarkan PAD terkait dengan peceived effort yang harus dilakukannya untuk pencapaian target PAD. Teori keagenan menjelaskan bahwa agent akan membuat target yang lebih rendah dari potensi sesungguhnya (terjadi slack anggaran) agar lebih mudah dicapai sehingga agent dapat memperoleh bonus atau kompensasi lebih besar. Sementara dalam penganggaran belanja eksekutif cenderung mengikuti anggaran tahun sebelumnya, terutama untuk anggaran rutin/belanja administrasi dan umum (BAU), termasuk anggaran per bidang/sektor, sehingga tidak terlalu berfluktuasi. Di sisi lain, legislatif lebih menginginkan anggaran PAD yang lebih tinggi karena jumlah anggaran legislatif sendiri (disebut anggaran DPRD) ditentukan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang dinyatakan dengan PAD (PP No. 110/2000). Selain itu, karena APBD merupakan pencerminan dari alokasi dana, maka legislatif dapat berlaku oportunistik (self-interest) dengan mengambil peran dalam realisasi alokasi dana tersebut. 7



Misalnya terlibat dalam tendering, sebagai fihak ketiga dalam proses procurement barang dan jasa, dan sebagainya, dengan bekerjasama dengan birokrat/aparatur pemerintah (Tanzi, 1999). Ablo & Reinikka (2002) menyatakan bahwa pendidikan dan kesehatan sebagai dua sektor pelayanan publik yang paling mendasar yang harus menjadi prioritas utama pemerintah. Legislatif sebagai wakil rakyat semestinya in-line dengan pemerintah dalam membuat kebijakan untuk kedua sektor ini, yakni saling mendukung dalam upaya peningkatan kualitas dan kuatitas pelayanan melalui berbagai kebijakan, termasuk dalam pengalokasian sumberdaya dalam anggaran. Temuan Mauro (1998a, 1998b) dan Fisman & Gatti (2002a, 2002b) menunjukkan bahwa anggaran dan realisasi pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan sulit dimanipulasi oleh aparatur pemerintah. Dengan demikian, keberpihakan pada pemberian pelayanan publik yang paling mendasar dapat dilihat seberapa besar alokasi anggaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan (Halim & Abdullah, 2004). Hal ini juga dapat digunakan untuk melihat bagaimana perilaku moral hazard eksekutif dan legislatif (Fozzard, 2001; Smith & Bertozzi, 1998) Untuk menganalisis secara lebih mendalam, hipotesis H3 di atas dapat dipertegas lagi dengan menurunkan hipotesis-hipotesis berikut: H3: Perubahan anggaran PAD berpengaruh positif terhadap anggaran DPRD. H4: Perubahan anggaran PAD berpengaruh positif terhadap anggaran pendidikan. H5: Perubahan anggaran PAD berpengaruh positif terhadap anggaran kesehatan. H6: Perubahan anggaran PAD berpengaruh positif terhadap anggaran infrastruktur. Hipotesis H3-H7 digunakan untuk melihat apakah legislatif bersikap oportunistik atau tidak dalam mempengaruhi outcome anggaran. Dengan kata lain, bila anggaran DPRD (dan anggaran infrastruktur) meningkat dan atau anggaran pendidikan dan kesehatan mengalami penurunan (atau tetap/tidak berubah), maka dapat dikatakan legislatif tidak memihak kepentingan publik, atau legislatif berperilaku moral hazard.



C. METODA-METODA PENELITIAN 1. Sampel dan Data Sampel dalam penelitian ini kota dan kabupaten di Indonesia. Data diperoleh dengan mengirimkan formulir isian (kuisioner) kepada bagian keuangan pemerintah daerah (kepala bagian keuangan, kepala sub bagian anggaran, akuntansi, verifikasi, atau perbendaharaan). Data



8



tersebut adalah angka-angka yang ada di dalam RAPBD dan APBD. Jumlah formulir yang dikirimkan adalah 173 buah, tetapi hanya kembali sebanyak 43 buah. Dari jumlah formulir yang kembali tersebut, data yang lengkap dan dapat digunakan hanya sebanyak 26 buah (kabupaten/kota) dengan jumlah observasi 45. Ketidaklengkapan data salah satu disebabkan banyak daerah yang belum menerapkan anggaran berbasis kinerja dalam penyusunan APBDnya. Tabel 1 manyajikan daftar kabupaten dan kota yang menjadi sampel dalam penelitian ini. ---------------------------------------Masukkan Tabel 1 di sini ---------------------------------------2. Definisi Operasional Variabel Penelitian a. Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD merupakan sumber pendapatan daerah yang sarat dengan diskresi atau keleluasaan aparatur pemerintah daerah dalam penetapan jumlah yang ditargetkan. Dalam konsep anggaran partisipatif–yang merupakan aplikasi teori keagenan, agent akan cenderung menetapkan target yang lebih rendah dari potensi yang dimilikinya, sehingga moral hazard eksis secara individual. Slack anggaran ini juga dapat terjadi secara institutional ketika kinerja institusional didasarkan pada pencapaian target. DPRD berkepentingan dengan target PAD ini karena anggaran belanja DPRD didasarkan pada PAD (PP No. 110/2000). Pengukur untuk PAD adalah anggaran PAD dalam usulan eksekutif (RAPBD) dan anggaran PAD yang disahkan (APBD). b. Belanja DPRD. Anggaran belanja DPRD merupakan sumberdaya yang dapat digunakan oleh DPRD dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, seperti untuk gaji, perjalanan dinas, pendidikan/pelatihan, dan belanja lainnya. Anggota DPRD yang ingin melakukan rentseeking akan berupaya untuk memaksimalkan anggaran DPRD, sehingga berperilaku seperti yang sering terjadi pada kepala unit kerja di eksekutif (agencies). Maksimalisasi atas anggaran DPRD ini, secara normatif, harus dikaitkan dengan PAD. Pengukur untuk belanja DPRD adalah alokasi anggaran untuk satuan kerja dalam bidang pemerintahan yang diberi nama satuan kerja atau unit kerja DPRD. c. Belanja Pendidikan. Anggaran pendidikan dapat digunakan sebagai proksi untuk alokasi pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan. Alokasi dalam bidang pendidikan menunjukkan keberpihakan pemerintah daerah dan legislatif daerah terhadap kepentingan publik dan pembangunan yang berkelanjutan di daerah. Anggaran pendidikan cenderung sulit dijadikan objek untuk berlaku rent-seeking (Mauro, 1998a, 1998b; Fisman & Gatti, 2001). 9



Pengukur untuk belanja pendidikan adalah alokasi anggaran dalam bidang pendidikan, yang di dalamnya tercakup antara lain: anggaran dinas pendidikan, anggaran sekolah-sekolah, dan lembaga pendidikan lainnya, yang terdapat dalam RAPBD dan APBD. d. Belanja Kesehatan. Belanja kesehatan adalah bentuk belanja lain yang menggambarkan seberapa jauh kepedulian pemerintah dan legislatif dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada seluruh lapisan masyarakat. Belanja kesehatan diukur dengan anggaran untuk bidang kesehatan dalam RAPBD dan APBD. Sama seperti belanja pendidikan, belanja kesehatan merupakan salah satu komponen belanja yang tidak “difavoritkan” sebagai objek rent-seeking. e. Belanja Infrastruktur. Pemenuhan kebutuhan infrastruktur masyarakat untuk menunjang perekonomian tergambar dari besarnya alokasi anggaran untuk bidang pekerjaan umum. Belanja infrastruktur dapat menjadi objek rent-seeking yang paling populer di pemerintahan karena siapa saja bisa menjadi rekanan bagi pemerintah daerah. Pengukur untuk belanja infrastruktur adalah anggaran untuk bidang pekerjaan umum dalam RAPBD dan APBD. f. Perubahan Anggaran DPRD, Pendidikan, Kesehatan, dan Infrastruktur. Variabel-variabel ini diukur dengan menghitung selisih antara angka anggaran dalam APBD (yang sudah mencakup preferensi atau intervensi DPRD) dengan RAPB (usulan anggaran versi eksekutif). Selisih tersebut menunjukkan preferensi atau intervensi yang dilakukan oleh legislatif dalam proses penyusunan anggaran. Dalam penganggaran kinerja hal ini dapat atau semestinya terjadi karena legislatif merupakan perwakilan (representatives) dari masyarakat sehingga rekomendasi, usulan, atau koreksi yang dibuat terhadap usulan anggaran in-line dengan kepentingan publik. 3. Analisis Regresi Persamaan regresi sederhana yang digunakan adalah Yi = αi + βXi + εi, dengan Y adalah perubahan anggaran belanja DPRD (DDPRD), perubahan anggaran pendidikan (DPDK), perubahan anggaran kesehatan (DKES), dan perubahan anggaran infrastruktur (DPU), dan X adalah perubahan PAD (DPAD). Masing-masing variabel DDPRD, DPDK, DKES, dan DPU diregres dengan DPAD untuk melihat bagaimana pengaruh perubahan PAD terhadap variabel-variabel tersebut. Masing-masing koefisien persamaan regresi dengan variabel terikat DDPRD, DPDK, DKES, dan DPU kemudian dibandingkan untuk melihat variabel manakah yang paling



10



dipengaruhi oleh perubahan PAD. Artinya, kemana sajakah alokasi PAD yang paling besar dalam kelompok belanja pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum atau belanja lainnya.



D. ANALISIS HASIL DAN DISKUSI 1. ANALISIS HASIL Analisis hasil disajikan dalam dua bagian, yakni analisis deskriptif untuk menjelaskan karakteristik data dan analisis inferensi untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat di antara variabel yang diuji. Sementara diskusi merupakan pembahasan lebih jauh tentang hasil analisis statistik dan penjelasan lain yang menyiratkan keterbatasan dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya. a. Statistik Deskriptif Tabel 2 menyajikan ringkasan data yang digunakan. Sampel terdiri dari 10 kabupaten dan 2 kota di pulau Jawa (12 kabupaten/kota) serta 12 kabupaten dan 2 kota di luar pulau Jawa (14 kabupaten/kota). Jumlah observasi yang digunakan adalah 45 dengan rincian 21 Pemda di pulau Jawa (3 observasi untuk kota dan 18 observasi untuk kabupaten) dan 24 Pemda di luar pulau Jawa (3 observasi untuk kota dan 21 observasi untuk kabupaten). ---------------------------------------Masukkan Tabel 2 di sini ---------------------------------------Semua variabel penelitian mempunyai nilai rata-rata yang berbeda antara RAPBD dan APBD. PADR lebih rendah dari PAD (Rp23.939.146.096 berbanding Rp24.907.860.076), DPRDR lebih rendah dari DPRD (Rp5.998.496.359 berbanding Rp5.998.496.359), PDKR lebih tinggi dari PDK (Rp174.598.240.499 berbanding Rp131.560.359.290), KESR lebih rendah dari KES (Rp24.667.420.111 berbanding Rp28.080.224.359), dan PUR lebih rendah dari PU (Rp44.280.779.003 berbanding Rp48.471.791.515). Dengan demikian, anggaran DPRD, kesehatan dan infrastruktur mengalami kenaikan, sementara anggaran pendidikan mengalami penurunan, sebagai akibat dari proses pembahasan anggaran antara eksekutif dan legislatif. Ini bermakna bahwa legislatif merevisi atau mengamandemen usulan anggaran eksekutif. Apakah jumlah perubahan di antara kedua anggaran tersebut berbeda secara statistik atau tidak, berikutnya dilakukan uji beda dengan menggunakan prosedur t-test. b. Analisis Statistik Inferensi



11



1. Uji Beda atas Preferensi Eksekutif dan Legislatif Hasil uji beda dengan menggunakan t-test dapat dilihat dalam Tabel 3. Hasil tersebut menunjukkan bahwa anggaran PAD dalam usulan eksekutif (RAPBD), dalam analisis diberi nama PADR, lebih kecil daripada anggaran PAD yang disyahkan dalam APBD (enacted budget), dalam analisis diberi nama PAD. Artinya, legislatif meminta eksekutif menaikkan usulan anggaran PAD tersebut sebelum disyahkan menjadi APBD. Secara statistik, perbedaan anggaran PAD dalam RAPBD dan APBD signifikan pada derajat signifikansi 0,05 (α=5%), dengan nilai t sebesar -2,490 dan prob-value sebesar 0,018 (Sig.2-tailed). ---------------------------------------Masukkan Tabel 3 di sini ---------------------------------------Salah satu penjelasan mengapa anggaran PAD yang diusulkan oleh eksekutif kelihatan terlalu rendah di mata legislatif adalah konsep kesenjangan anggaran (budgetary slack), yang bersumber dari adanya asimetri informasi dalam penganggaran partisipatif (particiaptory budgeting). Artinya, eksekutif akan membuat anggaran lebih rendah agar lebih mudah pencapaiannya dalam realisasi nantinya, terlebih lagi ketika anggaran PAD dijadikan sebagai dasar dalam menilai kinerja eksekutif di dalam memperoleh pendapatan sendiri. Penggunaan PAD sebagai dasar dalam menilai kinerja keuangan eksekutif sesungguhnya tidak tepat karena Pemerintah Pusat telah memberikan dana desentralisasi (terutama dalam bentuk Dana Alokasi Umum/DAU) untuk membiayai operasional Pemerintah daerah dan juga proporsi PAD terhadap total APBD tidak signifikan (Halim & Abdullah, 2004; Akita & Subhan, 2004). Penjelasan lain mengapa legislatif meminta eksekutif menaikkan anggaran PAD adalah adanya ketergantungan jumlah anggaran DPRD sendiri terhadap anggaran PAD. Dalam PP No. 110/2000 dinyatakan bahwa anggaran DPRD didasarkan pada kemampuan keuangan daerah, yakni kemampuan daerah dalam menghasilkan PAD. Dengan demikian, DPRD menginginkan jumlah PAD yang lebih tinggi agar anggaran DPRD juga bisa lebih besar. Untuk membuktikan hipotesis ini, pada bagian berikutnya dilakukan analisis regresi, yakni meregres PAD terhadap anggaran DPRD. Berbeda dengan variabel anggaran PAD, variabel lain, yakni anggaran DPRD, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, ternyata tidak berbeda secara statistik antara RAPBD dan APBD. Artinya, walaupun secara deskriptif besaran angka dalam RAPBD berbeda dengan APBD, secara statistik tidak terdapat perbedaan.



12



Dari analisis di atas, harus dipahami bahwa kenaikan PAD (yang secara statistik signifikan) akan berkorelasi dengan kenaikan dalam anggaran belanja karena PAD merupakan satu-satunya sumber pendapatan yang jumlahnya sangat tergantung pada kebijakan (discretion) atau kesepakatan antara eksekutif dan legislatif. Apabila PAD mengalami perubahan, maka perubahan tersebut akan mempunyai konsekuensi terhadap alokasi anggaran belanja (Halim & Abdullah, 2004; Mardiasmo, 2002). Ke anggaran belanja yang mana alokasi kenaikan PAD ini digunakan akan ditunjukkan dalam analisis regresi pada bagian berikut ini. 2. Uji Pengaruh (Analisis Regresi) Analisis regresi digunakan untuk melihat pengaruh perubahan dalam anggaran PAD terhadap perubahan dalam anggaran belanja, yakni anggaran belanja DPRD, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Dalam analisis ini dilakukan regresi sederhana (simple regression), dengan satu variabel bebas (perubahan anggaran PAD atau DPAD) dan satu variabel terikat (perubahan anggaran DPRD/DDPRD, perubahan anggaran pendidikan/DPDK, perubahan anggaran kesehatan/DKES, atau perubahan anggaran infrastruktrur/DPU). a. Regresi Perubahan Anggaran PAD (DPAD)-Perubahan Belanja DPRD (DDPRD). DPRD sangat berkepentingan dengan anggaran PAD karena jumlah anggaran PAD akan menentukan seberapa besar anggaran DPRD (PP No.110/2000). Dari analisis deskriptif di atas ditunjukkan adanya perubahan yang sangat signifikan dalam anggaran PAD (rata-rata lebih dari 968 juta rupiah) dan terjadinya kenaikan dalam anggaran DPRD (rata-rata lebih dari 265 juta rupiah). Hasil regresi antara variabel DPAD dengan variabel DDPRD dapat dilihat dalam Tabel 4 Panel A. Koefisien regresi variabel bebas DPAD bernilai 0,287, nilai t-statistic sebesar 2,282, dan nilai sig. 0,029 menunjukkan bahwa perubahan anggaran PAD berpengaruh positif terhadap anggaran belanja DPRD. Artinya, kenaikan dalam PAD sebesar 100 rupiah menyebabkan kenaikan dalam anggaran DPRD sebesar 100 x 0,287 = 28,7 rupiah. ---------------------------------------Masukkan Tabel 4 di sini ---------------------------------------b. Regresi Perubahan Anggaran PAD (DPAD) - Perubahan Belanja Pendidikan (DPDK). Tabel 4 Panel B menunjukkan hasil analisis regresi antara perubahan PAD dengan perubahan belanja pendidikan. Koefisien regresi variabel bebas DPAD sebesar -64,458, nilai t-statistic sebesar -3,623, dan nilai p-value (sig.) sebesar 0,001 menunjukkan adanya pengaruh negatif signifikan variabel DPAD terhadap variabel DPDK. Ini bermakna bahwa permintaan kenaikan 13



dalam anggaran PAD oleh DPRD justru menurunkan anggaran pendidikan, yang berimplikasi pada penurunan anggaran untuk pemberian pelayanan pendidikan kepada masyarakat.



c. Regresi Perubahan Anggaran PAD (DPAD) - Perubahan Belanja Kesehatan (DKES). Panel C dalam Tabel 4 menyajikan informasi tentang pengaruh perubahan PAD terhadap perubahan anggaran kesehatan. Koefisien regresi variabel bebas DPAD sebesar -0,828, nilai Sig. sebesar 0,523, dan nilai t-statistic sebesar -0,646 menunjukkan bahwa pengaruh negatif perubahan PAD terhadap perubahan anggaran belanja kesehatan tidak signifikan secara statistik pada derajat signifikansi 5%. d. Regresi Perubahan Anggaran PAD (DPAD) - Perubahan Belanja Infrastruktur (DPU). Pada Panel D dalam Tabel 4 terlihat bahwa nilai koefisien variabel bebas DPAD sebesar -4,282, nilai p-value (sig.) sebesar 0,004, dan nilai t-statistic sebesar 3,097. Angka-angka ini memberi makna bahwa perubahan PAD berpengaruh positif signifikan terhadap perubahan anggaran belanja infrastruktur. Ketika legislatif meminta eksekutif menaikkan anggaran PAD, maka spread yang terjadi dialokasikan pada anggaran belanja untuk infrastruktur (PU). Secara praktis, yakni apa yang selama ini terjadi di dalam proses penyusunan anggaran di daerah, anggaran untuk proyek-proyek infrastruktur memang mendapat perhatian sangat besar dari anggota DPRD. Tak jarang pembahasan anggaran diisi dengan bargaining tentang alokasi teknis anggaran tersebut.



2. DISKUSI Penganggaran merupakan subjek yang sangat menarik dalam sektor publik, terutama dalam pemerintahan. Anggaran pemerintah daerah di Indonesia memasuki babak baru ketika kebijakan autonomi daerah diiringi dengan desentralisasi fiskal yang bermuara pada keleluasaan Pemerintah daerah bersama DPRD untuk mengalokasikan dana yang dimilikinya dalam anggaran daerah (APBD). Perubahan posisi DPRD sebagai mitra sejajar sekaligus legislatif bagi Pemerintah daerah menyebabkan terjadinya pergeseran mendasar dalam peran DPRD, khususnya yang terkait dengan pembuatan kebijakan publik – yang memiliki implikasi langsung terhadap anggaran. Hasil analisis dalam studi ini menunjukkan bahwa DPRD menggunakan power yang dimilikinya untuk mengamandemen usulan anggaran yang diajukan eksekutif. Dalam



14



perspektif keagenan tradisional, yang mengasumsikan agent sebagai pihak yang oportunis atau self-interest dan principal sebagai pihak yang dirugikan karena pengawasan (monitoring) yang dilakukannya costly, maka posisi DPRD sebagai legislatif dalam konteks penyusunan anggaran tidak hanya dapat dipandang sebagai prinsipal saja, tetapi sekaligus sebagai agent bagi publik pemilihnya. Dual accountability yang dimilikinya ternyata tidak seimbang karena posisi sebagai agent benar-benar terealisir (yakni tercapainya tujuan self-interest-nya dengan memanfaatkan posisi formal sebagai legislatif atau prinsipal bagi eksekutif). Hal ini dapat dilihat dari signifikansi pengaruh perubahan PAD terhadap perubahan anggaran DPRD, yang merupakan anggaran legislatif. Elgie & Jones (2000) menyebut fakta ini sebagai principalcentered principal-agent model. Alokasi anggaran terhadap kebutuhan publik ternyata tidak menjadi pertimbangan utama DPRD dalam mengintervensi usulan anggaran eksekutif. Anggaran pendidikan dan kesehatan, yang selalu menjadi isu penting di negara-negara berkembang – termasuk Indonesia – dan senantiasa disuarakan oleh mahasiswa dan LSM untuk diperhatikan alokasi anggarannya, justru tidak dianggap penting oleh DPRD. Anggaran kesehatan ternyata tidak terpengaruh dengan kenaikan dalam anggaran PAD, bahkan anggaran pendidikan mengalami penurunan ketika anggaran PAD mengalami kenaikan. Apakah ini menunjukkan bahwa kenaikan anggaran PAD digunakan sebagai kamuflase oleh DPRD untuk meningkatkan anggaran DPRD dan anggaran proyek infrastruktur dengan mengambil anggaran pendidikan? Jika Undangundang Pendidikan Nasional sendiri menyatakan anggaran untuk pendidikan sebesar 20% dari APBN, dengan alasan apakah DPRD menurunkan usulan mnegurangi anggaran yang diusulkan oelh eksekutif? Apakah ini merupakan gambaran bahwa para anggota legislatif memang tidak berpendidikan sehingga tidak mengerti arti pendidikan pendidikan bagi pembangunan bangsa ke depan? Hasil studi ini sesungguhnya mengkonfirmasi temuan Mauro (1998a, 1998b) dan Fisman & Gatti (2002a, 2002b) yang menyebutkan anggaran pendidikan dan kesehatan bukan sebagai lahan yang menarik untuk praktik korupsi atau rent-seeking. Untuk menjawab pertanyaan apakah para anggota DPRD mengurangi anggaran pendidikan dengan alasan karena sulit dikorupsi membutuhkan pembuktian dengan pendekatan penelitian yang lain, misalnya dengan menggunakan riset kualitatif. Di sisi lain, meskipun studi ini menemukan bukti bahwa kenaikan anggaran PAD berpengaruh positif terhadap kenaikan anggaran bidang pekerjaan



15



umum (infrastruktur), perlu beberapa kajian yang lebih mendalam untuk menemukan keterkaitan langsung kepentingan para anggota legislatif dengan pelaksaan teknis proyekproyek anggaran infrastruktur tersebut. Penggunaan data usulan anggaran dan anggaran yang disahkan (enacted budget) merupakan hal baru dalam penelitian sektor publik, di Indonesia khususnya. Anggaran sebagai dokumen sumber untuk menilai apakah kinerja Pemerintah daerah baik atau buruk, yakni dengan melihat realisasi pendapatan dan belanja dalam anggaran tersebut dalam laporan keuangan daerah dan hasil pembandingannya dengan realisasi anggaran tahun-tahun sebelumnya, memiliki posisi sangat penting dalam keuangan publik. Penggunaan data usulan anggaran, anggaran yang ditetapkan, anggaran perubahan, dan realisasi anggaran memiliki karakteristik dan interpretasi hasil yang berbeda. Dalam studi ini digunakan data usulan anggaran dan anggaran yang ditetapkan dengan tujuan untuk melihat bagaimana legislatif bersikap oportunistik dalam proses anggaran. Implikasi dari penelitian ini adalah ditemukannya kecenderungan rent-seeking atau korupsi yang dilakukan oleh legislatif melalui proses penyusunan anggaran, sehingga dapat dinyatakan telah terjadi legal corruption, yakni korupsi yang dilegalkan secara hukum karena APBD adalah produk hukum (Halim, 2004b). Perubahan pendekatan dalam penyusunan anggaran ternyata tidak dapat mengurangi kecenderungan rent-seeking karena UU No. 22/1999 dan PP No. 110/2000 menempatkan DPRD pada posisi yang sangat kuat sehingga eksekutif tidak berkutik dalam pembahasan anggaran. Dengan kata lain, jika eksekutif tidak mengakomodasi keinginan legislatif di dalam anggaran, maka ketika eksekutif melalui kepala daerah (bupati atau walikota) menyampaikan laporan pertanggungjawaban (LPJ) setiap tahunnya, legislatif dapat saja menolak LPJ tersebut atau bahkan menjatuhkan kepala daerah melalui LPJ. PAD adalah bagian kecil dari pendapatan daerah (Halim & Abdullah, 2004; Akita & Subhan, 2004), namun satu-satunya sumber penerimaan yang sangat tergantung pada discretion eksekutif dan legislatif di daerah (Mardiasmo, 2002). Setelah kebutuhan mendasar Pemerintah daerah telah terpenuhi dengan dana perimbangan dari Pemerintah Pusat, terutama DAU, maka kenaikan PAD dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas pelayanan dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Pembiayaan untuk infrastruktur tidak harus dari PAD karena masih ada sumber dana lain dari propinsi atau bahkan pusat.



16



E. SIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. SIMPULAN beberapa simpulan yang dapat ditarik dari pembahasan dan analisis sebelumnya adalah sebagai berikut: a. Usulan anggaran eksekutif (RAPBD) yang diajukan akan mengalami perubahan sebelum disahkan menjadi APBD. Perubahan tersebut adalah semakin naiknya anggaran PAD, DPRD, dan bidang pekerjaan umum (infrastruktur), sementara anggaran pendidikan mengalami penurunan. b. Perubahan anggaran PAD berpengaruh positif terhadap anggaran DPRD dan infrastruktur, perpengaruh negatif terhadap anggaran pendidikan, dan tidak berpengaruh terhadap anggaran kesehatan. c. DPRD sebagai legislatif bertindak oportunistik dengan menaikkan anggaran DPRD dan tidak menaikkan anggaran pendidikan dan kesehatan, padahal PAD sebagai salah satu sumber pendanaan mengalami kenaikan. Perilaku moral hazard legislatif ini memberi konfirmasi bahwa ada masalah keagenan dalam proses penyusunan anggaran pemerintah daerah.



2. REKOMENDASI Beberapa rekomendasi dapat diberikan sebagai perbaikan atas keterbatasan yang ada dalam studi ini, sebagai sumbangan gagasan bagi pembuat keputusan di pemerintahan – baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, dan sebagai pembuka cakrawala ide-ide untuk penelitian berikutnya dalam akuntansi dan keuangan sektor publik. Rekomendasi tersebut adalah a. Data dalam studi ini hanya menggunakan sebanyak 21 kabupaten dan kota di Indonesia. Penambahan jumlah sampel kemungkinan dapat memberikan hasil inferensi yang lebih baik. Selain itu, pencampuran kabupaten dengan kota dan kabupaten/kota di pulau Jawa dengan di luar pulau Jawa juga dapat menimbulkan bias dalam analisis karena adanya perbedaan karakteristik. Selain itu, data yang dipakai adalah data dengan skala interval,



17



bukan rasio, sehingga belum mengontrol beberapa faktor yang kemungkinan berpengaruh terhadap hasil analisis dan penarikan kesimpulan, seperti jumlah dan struktur usia penduduk, luas wilayah, dan indeks pembangunan manusia (human development index/HDI). b. PAD adalah bagian kecil dari pendapatan atau sumber pendanaan bagi pemerintah daerah. Oleh karena itu, penggunaan data PAD membutuhkan spesifikasi model yang lebih akurat sehingga bisa dihilangkan gangguan atau bias dari faktor lain yang tidak dimasukkan dalam model analisis. Bisa saja kenaikan dalam anggaran DPRD tidak berasal dari PAD, tetapi dari DAU, bagi hasil pajak/bukan pajak, atau dana perimbangan dari propinsi. c. UU No. 22/1999 dan PP No. 110/2000 sudah saatnya mengalami revisi besar karena menempatkan DPRD pada posisi yang sangat kuat sehingga eksekutif sebagai pihak yang paling memahami manajemen dan kondisi keuangan pemerintah daerah dibuat tidak berkutik. Akibatnya, sebagian besar judgment dalam pengalokasian anggaran belanja tidak didasarkan pada kebutuhan aparatur dan masyarakat, tetapi didasarkan pada kebutuhan para anggota legislatif. Implikasinya adalah tidak dapat dilakukannya penilaian kinerja pelayanan pemerintah daerah dengan konsep value for money (3Es/economy, effectiveness, efficiency). d. Perlu penelitian yang lebih komprehensif untuk membuktikan apakah anggaran belanja yang disahkan akan terealisir seluruhnya sampai ke pelaksana di lapangan. Hal ini untuk membuktikan apakah budget does matter dalam proses pembuatan kebijakan publik. Hal ini akan masuk atau bersinggungan dengan area administrasi publik (public administration) karena sangat berkaitan dengan aspek pemberian pelayanan, transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah. e. Data anggaran yang diusulkan eksekutif (RAPBD) dan yang disahkan (APBD) yang digunakan dalam studi ini dapat dikembangkan dengan menghubungkannya dengan anggaran setelah perubahan (ABT), anggaran realisasi (laporan perhitungan APBD), dan anggaran tahun berikutnya untuk menganalisis bagaimana proses perubahan terjadi dan bagaimana perilaku atau preferensi legislatif terhadap anggaran tersebut. ABT merupakan tahapan yang paling krusial dalam pelaksanaan anggaran karena adanya ketidakpastian, yang kadangkala bersifat sangat subjektif, dalam pelaksanaan



18



pemerintahan di daerah. Realisasi anggaran juga dapat digunakan untuk menganalisis apakah tidak terdapat kebocoran dalam pencairan dananya. Misalnya: apakah alokasi untuk belanja tak tersangka sudah disalurkan dengan tepat? Apakah tidak terjadi penyimpangan karena jika tidak ada peristiwa luar biasa, seperti bencana alam dan bencana sosial, semestinya belanja ini tidak terealisasi?



REFERENSI Ablo, Emmanuel & Ritva Reinikka. 2002. Do budgets really matter? Evidence from public spending on education and health care in Uganda. World Bank, working paper. Abdullah, Syukriy & Abdul Halim. 2003. Pengaruh dana alokasi umum (DAU) dan pendapatan asli daerah (PAD) terhadap belanja pemerintah daerah: Studi kasus kabupaten/kota di Jawa dan Bali. Makalah dipresentasikan dalam Simposium Nasional Akuntansi (SNA) ke 6 di Surabaya, 16-17 Oktober 2003. Akita, Takahiro & Subkhan. 2004. The Optimal Size of Local Government and Fiscal Decentralization in Indonesia. Paper presented at the 6th Indonesia Regional Science Association (IRSA) International Conference, titled “Regional Development in Transition: Governance, Public Services, and Eco-tourism”, Jogjakarta, August 13-14, 2004. Bryce, Herrington J. 2000. Unintended budgetary consequences of devolution and decentralization: The case of Cherepovetz Raion, Russia. Public Administration Quarterly (Spring): 25-45. Dobell, Peter & Martin Ulrich. 2002. Parliament’s performance in the budget process: A case study. Policy Matters 3(2): 1-24. http://www.irpp.org. Eisenhardt, Kathleen M. 1989. Agency theory: An assessment and review. Academy of Management Review 14(1): 57-74. Elgie, Robert & Erik Jones. 2000. Agents, Principals and the Study of Institutions: Constructing a Principal-Centered Account of Delegation. Working documents in the Study of European Governance Number: 5. Center for the Study of European Governance (CSEG). Fisman, Raymond & Roberta Gatti. 2002a. Decentralization and corruption: Evidence across countries. Journal of Public Economics 83: 325-345. _________ & _________. 2002b. Decentralization and corruption: Evidence from U.S. Federal transfer programs. Public Choice 113: 25-35. Fozzard, Adrian. 2001. The basic budgeting problem: Approaches to resource allocation in the public sector and their implications for pro-poor budgeting. Center for Aid and Public Expenditure, Overseas Development Institute (ODI). Working paper No. 147. Hagen, Terje P. 1997. Agenda setting power and moral hazard in principal-agent relationship: Evidence from hospital budgeting in Norway. European Journal of Political Science 31: 287-314. Halim, Abdul. 2004a. Reformasi akuntansi keuangan dan anggaran daerah: Dua pilar utama manajemen keuangan daerah. Pidato pengukuhan jabatan guru besar pada Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, 17 Januari 2004.



19



_________. 2004b. Autonomi daerah, penganggaran daerah, dan korupsi. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dalam Rangka Dies Natalis ke-44 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Semarang, 22 Juni. _________ & Syukriy Abdullah. 2004. Local Original Revenue (PAD) as a source of development financing: A comparison and its implication before and after the implementation of local autonomy (OTDA). Paper presented at the 6th Indonesia Regional Science Association (IRSA) International Conference, titled “Regional Development in Transition: Governance, Public Services, and Eco-tourism”, Jogjakarta, August 13-14, 2004. Jackson, P. M. 1982. The Political Economy of Bureaucracy. Oxford: Philip Allan. Johnson, Cathy Marie. 1994. The Dynamics of Conflict Between Bureaucrats and Legislators. Armonk, New York: M.E. Sharpe. Krause, George A. 2000. Uncertainty, context, and demand: A positive theory of bureaucratic discretion and agency choice. University of South Carolina. Working paper. _________. 2002. Estimating the risk-propensities underlying agency budgetary decision: An empirical analysis of SEC budget requests, 1949-1997. University of South Carolina. Working paper. Kwon, Osung. 2003. The effects of fiscal decentralization on public spending: The Korean case. Public Budgeting & Finance (Winter): 1-20. Lane, Jan-Erik. 2003. Management and public organization: The principal-agent framework. University of Geneva and National University of Singapore. Working paper. Lee, Robert D. Jr. & Ronald W. Johnson. 1998. Public Budgeting Systems. Sixth edition. Gaithersburg, Maryland: Aspen Publishers, Inc. Mardiasmo. 2002. Autonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit Andi. _________. 2003. Perwujudan transparansi dan akuntabilitas publik melalui akuntansi sektor publik: Suatu sarana good governance. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada pada tanggal 29 September 2003 di Yogyakarta. Mauro, Paolo. 1998a. Corruption and the composition of government expenditure. Journal of Public Economics 69: 263-279. _________. 1998b. Corruption: Causes, consequences, and agenda for further research. Finance & Development (March): 11-14. Moe, Terry M. 1984. The new economics of organization. American Journal of Political Science 28(5): 739-777. Rubin, Irene S. 1993. The Politics of Public Budgeting: Getting and Spending, Borrowing and Balancing. Second edition. Chatam, NJ: Chatham House Publishers, Inc. Smith, Robert W. & Mark Bertozzi. 1998. Principals and agents: An explanatory model of public budgeting. Journal of Public Budgeting, Accounting and Financial Management (Fall): 325-353. Stein, Robert M. 1990. The budgetary effects of municipal service contracting: a principalagent explanation. American Journal of Political Science 34(2): 471-502. Swasono, Fauziah .2004. Determinants of local government expenditures: The case of Indonesia pre- and first year of-decentralization. Paper presented at the 6th Indonesia Regional Science Association (IRSA) International Conference, titled “Regional Development in Transition: Governance, Public Services, and Eco-tourism”, Yogyakarta, August 13-14, 2004. 20



Tanzi, Vito. 1999. Why governance matters in the allocation and management of public revenue and expenditure. Asian review of Public Administration 11(2): 1-13. Von Hagen, Jurgen. 2002. Fiscal rules, fiscal institutions, and fiscal performance. The Economic and Social review 33(3): 263-284. _________. 2003. Budgeting institutions and public spending, in Shah, Anwar (ed.). 2003. Handbook on Public Sector Performance Reviews. Volume 1: Ensuring Accountability When There Is No Bottom Line. Washington, D.C.: The World Bank. Wang, XiaoHu. 2202. Conditions to implement outcome-oriented performance budgeting: Some empirical evidence. Journal of Public Budgeting, Accounting and Financial Management 11 (4): 533-552. Wildavsky, Aaron. 1975. Budgeting: A Comparative Theory of Budgetary Process. Boston: Little, Brown and Company. _________. 1984. The Politics of the Budgetary Process. Fourth edition. Boston: Little, Brown and Company. _________. 1991. The New Politics of the Budgetary Process. Second edition. New York, NY: HarperCollins Publishers Inc. _________. 1992. Political implications of budgetary reform: A retrospective. Public Administration Review 52(6): 594-603. Yuhertiana, I. 2003. Principal-agent theory dalam proses perencanaan anggaran sektor publik. Kompak – Jurnal Akuntansi, Manajemen dan Sistem Informasi (September-Desember): 403-422.



21



LAMPIRAN-LAMPIRAN Tabel 1 Daftar Sampel Kota/Kabupaten di Pulau Jawa/Bali Kota/Kabupaten di Luar Pulau Jawa/Bali 1. Kota Cirebon (2004) 1. Kota Sabang (2003, 2004) 2. Kota Tangerang (2003, 2004) 2. Kab. Padang Pariaman (2003, 2004) 3. Kab. Banyuwangi (2003, 2004) 3. Kab. Sawahlunto (2003, 2004) 4. Kab. Nganjuk (2004) 4. Kab. Sarolangun (2003, 2004) 5. Kab. Pekalongan (2003, 2004) 5. Kota Tebing Tinggi (2004) 6. Kab. Wonogiri (2003, 2004) 6. Kab. Tapanuli Tengah (2004) 7. Kab. Kulon Progo (2003, 2004) 7. Kab. Aceh Besar (2003, 2004) 8. Kab. Garut (2003, 2004) 8. Kab. Tanjab Barat (2003, 2004) 9. Kab. Bogor (2004) 9. Kab. Aceh Tenggara (2004) 10. Kab. Temanggung (2003, 2004) 10. Kab. Belu (2003, 2004) 11. Kab. Jembrana (2003, 2004) 11. Kab. Aceh Utara (2003, 2004) 12. Kab. Tasikmalaya (2003, 2004) 12. Kab. Sangihe (2004) 13. Kab. Simalungun (2003, 2004) 14. Kab. Banjarnegara (2003, 2004) Tabel 2 Pengaruh Perubahan PAD (DPAD) terhadap Perubahan Belanja DPRD (DDPRD), Perubahan Belanja Pendidikan (DPDK), Perubahan Belanja Kesehatan (DKES), dan Perubahan Belanja Infrastruktur (DPU) Panel A DDPRD = -13105993 + 0,287DPAD Sig. =0,029 t-statistic = 2,282* F- statistic = 5,208 R (R2) = 0,369 (0,136); Adjusted-R2 = 0,110 Keterangan: * signifikan pada α = 5%. Panel B DPDK = 19403253543 – 64,458DPAD Sig. =0,001 t-statistic = -3,623* F- statistic = 13,126 R (R2) = 0,533 (0,285); Adjusted-R2 = 0,263 Keterangan: * signifikan pada α = 5%. Panel C DKES = 4215067806 – 0,828DPAD Sig. =0,523 t-statistic = -0,646 F- statistic = 0,418 R (R2) = 0,112 (0,013); Adjusted-R2 = -0,017 Panel D DPU = 42908991 + 4,282DPAD Sig. =0,004 t-statistic = 3,097* F- statistic = 9,589 R (R2) = 0,475 (0,225); Adjusted-R2 = 0,202 Keterangan: * signifikan pada α = 5%.



Sumber: Hasil penelitian, 2004 (diolah). 22