IUFD [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

IUFD A. Definisi Dan Etiologi IUFD Ketiadaan daya hidup janin pada berbagai tahap merupakan kematian janin. Berdasarkan revisi tahun 2003 dari Prosedur Pengkodean Penyebab dari Kematian Janin ICD-10, Pusat Statistik Kesehatan Nasional mendefinisikan kematian janin sebagai ”kematian yang terutama berkaitan dengan ekspulsi komplet atau ekstraksi hasil konsepsi dari Ibu, pada durasi yang tidak dapatdiperkirakan di dalam masa kehamilan, dan merupakan terminasi kehamilan yang tidak diinduksi”. (Cousens, 2011) Kematian janin diindikasikan oleh adanya fakta setelah terjadi ekspulsi atau ekstraksi, janin tidak bernafas ataumenunjukkan tanda-tanda lain dari kehidupan seperti detak jantung, pulsasi umbilical cord, atau gerakan yang berarti dari otot-otot volunter. Detak jantung tidak termasuk kontraksi transien dari jantung, respirasi tidak termasuk pernafasan yang sangat cepat atau “gasping”. Pengertian ini kemudian diklasifikasikan sebagai kematian awal (28 minggu kehamilan) (Khashogi,2005). IUFD ( Intra Uterine Fetal Death) merupakan kematian janin yang terjadi tanpa sebab yang jelas, yang mengakibatkan kehamilan tidak sempurna (Uncomplicated Pregnancy). Kematian janin terjadi kira-kira pada 1% kehamilan dan dianggap sebagai kematian janin jika terjadi pada janin yang telah berusia 20 minggu atau lebih, dan bila terjadi pada usia di bawah usia 20 minggu disebut abortus. Sedangkan WHO menyebutkan bahwa yang dinamakan kematian janin adalah kematian yang terjadi bila usia janin 20 minggu dan berat janin waktu lahir diatas 500 gram (ACOG, 1996, Khashogi, 2005). Pada dasarnya untuk membedakan IUFD dengan aborsi spontan, WHO dan American College of Obstetricians and Gynaecologists telah merekomendasikan bahwa statistik untuk IUFD termasuk di dalamnya hanya kematian janin intrauterine dimana berat janin 500 gr atau lebih, dengan usia kehamilan 22 minggu atau lebih. Tapi tidak semua negara menggunakan pengertian ini, masing-masing negara berhak menetapkan batasan dari pengertian IUFD (Cousens, 2011). Penyebab dari kematian janin intra uterine yang tidak dapat diketahui sekitar 25-60%, insiden meningkat seiring dengan peningkatan usia kehamilan. Pada beberapa kasus yang penyebabnya teridentifikasi dengan jelas, dapat dibedakan berdasarkan penyebab dari faktor janin, maternal dan patologi dari plasenta (Cunningham, 2005). a. Faktor Ibu 1. Ketidakcocokan Rh darah Ibu dengan janin. 2. Ketidakcocokan golongan darah Ibu dengan janin 3. Berbagai penyakit pada ibu hamil (hipertensi, preeklampsia, eklampsia,diabetes mellitus tidak terkontrol, lupus eritematosus sistemik) 4. Trauma saat hamil. 5. Infeksi pada ibu hamil 6. Prolonged Pregnancy (kehamilan diatas 42 minggu). 7. Hamil pada usia lanjut



8. Ruptur uteri. 9. Kematian Ibu. b. Faktor Janin 1. Gerakan Sangat Berlebihan. 2. Kelainan kromosom 3. Kelainan bawaan bayi 4. Malformasi janin 5. Kehamilan multipel 6. Intra Uterine Growth Restriction 7. Infeksi (parvovirus B19, CMV, listeria) 8. Insufisiensi plasenta yang idiopatik c. Faktor Plasenta 1. Perlukaan cord 2. Ketuban pecah secara mendadak (abruption) 3. Premature Rupture of Membrane 4. Vasa Previa 5. B. Epidemiologi Intra Uterine Fetal Death (IUFD) Janin saat ini dipandang sebagai pasien yang menghadapi resiko mortalitas dan morbiditas yang cukup serius. Secara epidemiologi, angka insidensi kematian janin di seluruh dunia diperkirakan mencapai rentang 2,14 – 3,82 juta jiwa. Angka ini mengalami penurunan pada tahun 2009, yaitu sejumlah 14,5%. Kisaran angka tersebut adalah 18,9 lahir mati per 1000 kelahiranm (MacDorman,2009).Pada tahun 2005, data dari Laporan Statistik Vital Nasional menunjukkantingkat nasional AS kelahiran mati rata-rata 6,2 per 1000 kelahiran (Barfield,2002). Pada tahun 2009, jumlah global diperkirakan saat dilahirkan adalah 2,64 juta (berkisar ketidakpastian, 2,14-3820000). Tingkat kelahiran mati di seluruh dunia menurun 14,5% dari 22,1 bayi lahir mati per 1000 kelahiran pada tahun1995-18,9 lahir mati per 1000 kelahiran pada tahun 2009 (MacDorman, 2009). Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Depkes RI tahun 2003 (POGI,2006) mengenai kegagalan yang terjadi selama masa kehamilan, didapatkan data mortalitas perinatal di Indonesia berkisar 24 dari 1000 kehamilan. Kondisi kesehatan janin memiliki kontribusi tertinggi dalam mengakibatkan mortalitas perinatal (39%) dibandingkan dengan faktor maternal (5,1%). Resiko tingginya angka kematian yang berkaitan dengan faktor maternal kebanyakan berupa jarak 15 bulan kehamilan dari persalinan terakhir dan usia ibu hamil di atas 40 tahun. C. Patogenitas, Patofisiologi dan Tanda-Gejala Intra Uterine Fetal Death Sesuai dengan etiologi dari kematian janin dalam rahim atau Intra UterineFetal Death (IUFD), kematian janin disebabkan oleh tiga permasalahan pokok yaitu kausa dari janin, kausa dari ibu, dan kausa dari plasenta (Cunningham,2005). Penyebab dari janin bisa berasal dari cacat genetik atau malformasikongenital mayor, infeksi janin, gestasi multipel, dan cacat lahir non kromosom (Silver, 2007). Dari penyebab maternal yang berakibat IUFD antara lain faktordiabetes tidak terkontrol, hipertensi kehamilan hingga preeklampsiaeklampsia,kematian ibu, infeksi ibu, SLE, autoantibodi, hemoglobinopati, ruptur uterina,antifosfolipid, dan lainnya (Nybo-Andersen, 2004). Faktor-faktor kausa dariplasenta



berupa adanya ruptura plasenta prematur, vasa previa, insufisiensiplasenta, perdarahan fetomaternal, trauma pada umbilikus, dan semacamnya (Korteweg, 2009 , Suparman, 2003). 1. Kausa Janin Dari 25 – 40% kasus kematian janin, penyebab terseringnya adalah karena faktor janin itu sendiri. Kausa pada janin tersebut mencakup cacat genetik atau malformasi kongenital mayor, infeksi janin, gestasi multipel,dan cacat lahir non kromosom (Cunningham, 2005). Malformasi kongenital mayor merupakan adanya kelainan kromosom autosom. Beberapa dari kelainan tersebut antara lain neural-tube defect, hidrosefalus, penyakit jantung kongenital, hidrops dan lain-lain. Malformasi kongenital mayor ini merupakan kelainan genetis yang mengancam hidup janin dan mengganggu kerja organ-organ vital (Silver, 2007). Infeksi janin merupakan kausa yang konsisten dengan tingkat kegawatdaruratan janin. Semakin parah morbiditas dan virulensi dari infeksiyang diderita janin, semakin buruk kemungkinan janin untuk dapat hidup didalam uterus. Beberapa infeksi janin yang dapat membahayakan janin antara lain infeksi TORCH (CMV, Toxoplasma, Rubella), malaria, infeksi Streptococcus grup A dan Streptococcus grup B, Salmonelosis atau demamtifoid, hingga gangguan pembekuan darah dan syok (Silver, 2007;Cunningham, 2005). Rubella dan Parovirus B19 merupakan salah satu agen palingteratogenik yang diketahui. Sekitar 80% wanita hamil terinfeksi rubella danruam selama 12 minggu akan mengalami infeksi kongenital, usia 1314minggu berjumlah 54 %, dan pada akhir trimester kedua sebanyak 25%. Adanya infeksi virus Rubella dan Parovirus ini akan menyebabkan gangguan tumbuh kembang janin intra uterin yang berakibat pada kegagalan perkembangan jantung, defek susunan syaraf pusat, ikterus, hepatitis, hambatan pertumbuhan janin, trombositopenia, anemia, dan lain -lain. Sitomegalovirus lebih banyak menyebabkan infeksi dan kecacatan perinatal dibandingkan dengan hambatan perkembangan dan pertumbuhan janin intrauterin. Infeksi CMV menyebabkan mikrosefalus, retardasi mental-motorik,defisit sarafsensori, hepatosplenomegali, anemia hemolitik, hingga sindromaanti-fosfolipid (Cunningham, 2005 , Lembar, 2009) Toksoplasmosis akut merupakan penyulit sekitar 1-5 dari 1000 kehamilan. Setidaknya pada wanita hamil, keguguran atau lahirnya bayihidup dengan tanda-tanda kecacatan akibat toksoplasmosis kongenital rentanterjadi. Gejala dan tanda klinis yang didapatkan berupa berat lahir rendah,anemia, ikterus, hepatosplenomegali, kalsifikasi intrakranial, limfadenopati,rasa lelah, nyeri otot, bahkan hingga retardasi mental (Ma’roef, 2003). Infeksi Streptococcus grup A saat ini sudah jarang dijumpai. Walaudemikian, infeksi ini tergolong infeksi yang berat karena menimbulkan syok dan sangat toksik, sehingga berakibat pada kematian ibu – janin. Infeksi Streptococcus grup B berperan dalam menyebabkan gangguan hasil kehamilan (persalinan preterm, ketuban pecah dini, korioamnionitis, dansepsis nifas). Oleh karena itu, infeksi Streptococcus merupakan infeksi yangcukup berbahaya bagi kelangsungan hidup janin di dalam uterus (Silver,2007). Penyakit sistemik lain yang menimbulkan kematian janin sekaliguskematian maternal antara lain malaria, demam tifoid, demam berdarahdengue, gangguan pembekuan darah, dan syok. Semua gangguan sistemik ini membutuhkan adanya penanganan yang lebih komprehensif untuk ibuhamil, dengan mempertimbangkan konsultasi pada ahli-ahli penyakit dalamyang kompeten (Silver, 2007).



2. Kausa Maternal Kasus kematian janin yang diakibatkan oleh faktor maternal ternyatahanya memiliki peranan yang kecil. Beberapa penyakit dari ibu yang mempunyai kausa tersering berupa hipertensi dan diabetes pada kehamilan.Penyakit-penyakit lain seperti autoantibodi, SLE, penyakit rhesus merupakansebab yang jarang jumlah kejadiannya. Pada intinya, kasus kematian janinyang disebabkan oleh kausa ibu diakibatkan oleh adanya gangguan sistemik pada ibu, dimana gangguan sistemik tersebut mengganggu perfusi darah dariibu ke janin (Nicholson, 2009 , Lembar 2009). Penyebab lainnya sepertipenurunan alfa feto protein, cukup memberikan arti yang besar dalammenimbulkan kematian janin, walaupun kejadian tersebut bersifat jarangditemukan (Smith, 2004). Mekanisme inkompatibilitas Rhesus darah antar orang tua mempunyaiperan dalam IUFD. Golongan darah Rhesus yang berbeda tersebutmemberikan suatu bentuk autoantibodi pada tubuh janin, sehingga berakibat pada hiperkoagulitas darah dan reaksi autoimun janin. Hampir semua kasusibu hamil dengan inkompatibilitas Rhesus berakibat pada kematian janin(Cunningham, 2005). Hipertensi dalam kehamilan terbagi menjadi tiga jenis yaitu hipertensigestasional, preeklampsia, dan eklampsia. Ketiga jenis hipertensi kehamilanini merupakan bagian yang berurutan, sesuai dengan tingkat keparahan.Hipertensi gestasional merupakan peningkatan tekanan darah mencapai140/90 mmHg atau lebih untuk pertama kali selama kehamilan, tetapi belummengalami proteinuria. Hipertensi gestasional yang memberat akanmenyebabkan terjadinya pre-eklampsia. Pre-eklampsia adalah sindromspesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel disertai dengan adanya kombinasi antara hipertensi danproteinuria yang nyata selama kehamilan. Bila pre-eklampsia tidak segeraditangani dengan baik, akan menimbulkan stadium pre-eklampsia berat yangakhirnya mengakibatkan eklampsia. Eklampsia adalah terjadinya kejang grand mal pada seorang wanita dengan preeklampsia yang tidak dapatdisebabkan oleh hal lain (Roeshadi, 2006). Hipertensi kehamilan sejatinya mengakibatkan vasospasme daniskemia dalam pembuluh darah ibu. Pada hipertensi gestasional, terjadipeningkatan curah jantung yang bermakna. Hal ini mengakibatkan adanya peningkatan afterload jantung. Hal ini akan semakin parah bila mencapai tahap pre-eklampsia, dimana terjadi peningkatan resistensi perifer akibatvasospasme yang berlebihan dan berakibat pada penurunan mencolok curah jantung. Bila keadaan ini terus dibiarkan, maka akan mengganggu perfusiutero-plasenta dan mengakibatkan hipoksia janin. Hal ini akan berakibatpada kematian janin (Rambulangi, 2003 , Utama, 2009). Gejala dan tanda untuk masing-masing tipe hipertensi kehamilanhampir mempunyai gambaran yang sama, terutama pada keluhan nyerikepala dan epigastrium. Pada hipertensi gestasional, dapat dikenali adanyanyeri kepala, nyeri epigastrium, dan peningkatan tekanan darah yang nyata.Pre-eklampsia berat ditegakkan dengan adanya ekskresi protein urin dalam24 jam sebesar 2 gram atau lebih, dan proteinuria 2+ atau lebih yangmenetap. Sedangkan pre-eklampsia ringan ditemukan proteinuria 1+ atautidak



ada sama sekali, dan merupakan kelanjutan dari hipertensi gestasional (Utama, 2009). Oleh karena itu, pada pre-eklampsia, pembedaan antara pre-eklampsia ringan dengan preeklampsia berat adalah sesuatu yang sangatvital karena berhubungan dengan tekanan onkotik dan volume cairan tubuhyang terganggu (POGI, 2006). Diabetes mellitus tipe 2 lebih merupakan faktor penyulit medistersering pada kehamilan. Pasien dipisahkan menjadi golongan yangmengidap diabetes sebelum hamil (overt ), dan yang mengidap saat hamil(gestasional). Diabetes gestasional mengisyaratkan bahwa gangguan inidipicu oleh kehamilan, yang mungkin terjadi akibat perubahanperubahanfisiologis pada metabolisme glukosa. Keadaan ini dapat menimbulkan efek bagi ibu dan janin. Efek yang akan dialami janin adalah makrosomia disertaitrauma lahir karena distosia bahu. Hal ini disebabkan oleh karenapengendapan lemak yang berlebihan di bahu dan badan. Hiperinsulinemia janin yang disebabkan oleh hiperglikemia ibu pun akhirnya akanmerangsang pertumbuhan somatik yang berlebihan. Berkaitan dengankematian janin, dugaan kematian janin oleh karena diabetes gestasionalmasih merupakan permasalahan yang belum ditemukan secara pastibagaimana teori terjadinya. Kemungkinan paling besar adalah adanya trauma janin saat lahir akibat distosia bahu atau diabetes dipandang sebagai pemicuhipertensi pada kehamilan yang akhirnya menimbulkan pre-eklampsia daneklampsia (Rambulangi, 2003 , Utama, 2009). Ruptur uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akibat dilampauinya daya regang miometrium. Penyebab ruptur uteri ini antara lain adanya diproporsi janin dan panggul, partus macet, atau adanya partustraumatik, dimana terjadi trauma mekanis yang kuat yang dapat merobek miometrium uterus (Suparman, 2003). Penilaian klinis pada rupture uterineini berbeda antara pada uterus normal dengan pada uterus bekas sectiocaesarea. Penilaian klinis rupture uteri pada uterus normal diawali olehadanya lingkaran konstriksi (bald’s ring) hingga umbilicus atau diatasnya,nyeri hebat pada perut bagian bawah, hilangnya kontraksi uterus gravidus yang normal, perdarahan pervaginam, dan syok (Cunningham, 2005).Biasanya, penyebab utama dari ruptura uteri pada uterus normal adalahkarena partus yang macet, trauma atau kecelakaan pada ibu, dan lainlain(Weiss, 2001). Sedangkan pada uterus bekas sectio caesarea, terjadi gejala nyeri yang khas, perdarahan bertambah sedikit dari normal, dan bradikardiapada janin. Ruptur tersebut terjadi sebelum atau pada fase laten persalinan,dan pada fase aktif / kala II bila insisi transversal SBR. Adanya ruptura uteriini secara otomatis akan mengakibatkan adanya perdarahan mendadak padaibu dan trans-plasenta, sehingga berakibat pada perdarahan janin yang masif dan kematian janin (Nybo-Andersen, 2004). 3. Kausa Plasenta Kasus kematian janin yang dikaitkan dengan kausa plasenta relatif bersifat dependent , tidak bisa berdiri sendiri, atau tergantung dari adanyapenyebab yang lainnya. Kasus-kasus yang sering menyebabkan kematian janin antara lain solusio plasenta, infeksi plasenta dan ketuban, infark plasenta, dan perdarahan janin ke ibu (French, 2005) Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinyasebelum janin lahir. Beberapa jenis perdarahan akibat solusio plasentabiasanya merembes di antara selaput ketuban dan uterus kemudian loloskeluar yang menyebabkan perdarahan



eksternal. Solusio plasenta terbagimenjadi solusio plasenta totalis dan parsialis (French, 2005 , Flenady, 2011). Solusio plasenta diawali perdarahan ke dalam desidua basalis. Desiduakemudian terpisah, meninggalkan satu lapisan tipis yang melekat keendometrium. Akibatnya, proses ini pada tahap paling awal akanmemperlihatkan pembentukan hematom desidua yang menyebabkan pemisahan, penekanan, dan destruksi plasenta di dekatnya. Hal inimengakibatkan berkurangnya perfusi darah ke janin melalui plasenta danberakibat pada kematian janin (French, 2005). Pada beberapa kasus, arteri spiralis desidua mengalami ruptur sehinggamenyebabkan hematom retro plasenta, yang sewaktu membesar semakinbanyak pembuluh darah dan plasenta yang terlepas. Karena masih teregangoleh hasil konsepsi, uterus tidak dapat berkontraksi untuk menjepitpembuluh darah yang robek yang memperdarahi tempat implantasi plasenta. Darah yang keluar dapat memisahkan selaput ketuban dari dinding uterusdan akhirnya muncul sebagai perdarahan eksternal atau tetap dalam uterus.Hal inilah yang membedakan antara solusio plasenta parsialis dengan totalis(French, 2005). Gambaran klinis solusio plasenta ringan hingga berat punberbeda. Pada solusio plasenta ringan, terjadi ruptur sinus marginalis yang menyebabkan perdarahan pervaginam warna merah hitam dan agak tegang dengan bagian janin masih teraba. Solusio plasenta sedang terjadi sakit perutterus menerus, nyeri tekan, bagian janin sukar diraba, BJA sukar dirabadengan stetoskop biasa, dan terjadi kelainan pembekuan darah (French,2005). Solusio plasenta berat merupakan gejala terberat dengan pelepasansolusio plasenta lebih dari duapertiga luas, uterus tegang seperti papan, nyerihebat, dan ibu-janin tiba-tiba mengalami syok hingga meninggal.Infark plasenta merupakan kelainan plasenta yang tersering. Infark plasenta terjadi karena akibat dari sumbatan pasokan vaskuler ibu, yaitusirkulasi antarvilus. Secara histopatologis terdapat gambaran degenerasi fibrinoid trofoblas, kalsifikasi, dan infark iskemik akibat oklusi arteri spiralis(French, 2005). Secara umum, etiologi dari infark plasenta ini terjadi karenapenuaan trofoblas yang mengalami perubahan, dan gangguan sirkulasiuteroplasenta. Sinsisium yang mengalami penuaan mengalami degenerasisinsisium. Sinsisium yang terurai tersebut kemudian langsung terpajandengan darah ibu, sehingga menyebabkan bekuan darah pada vilus-vilus. Dari sini, terbentuklah trombosis arteri vilus pada janin dan bahkan berakibatpada kalsifikasi plasenta. Pembentukan trombosis dan kalsifikasi inimengakibatkan gangguan sirkulasi darah ke janin yang berakibat kematian janin (French, 2005). Gambaran infark plasenta ini dapat ditegakkan denganpemeriksaan Patologi Anatomi dan Ultrasonografi.



D. Diagnosis Intra Uterine Fetal Death (IUFD) Pada anamnesis ibu hamil tidak merasakan ada pergerakan janin dan hilangnya tandatanda dan gejala kehamilan Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda pertumbuhan uterus, padapemeriksaan laboratorium terdapat penurunan kadar serial β-Hcg, pada pemeriksaan x-ray ditemukan



Spalding sign dan Robert’s sign, dan pada pemeriksaan USG ditemukan jelas keadaan janin mati intra uterin. E. Komplikasi Intra Uterine Fetal Death (IUFD) Kematian janin akan menyebabkan desidua plasenta menjadi rusak. Plasenta yang rusak akan menghasilkan tromboplastin. Tromboplastin masuk kedalam peredaran darah ibu yang mengakibatkan pembekuan intravaskuler yang dimulai dari endotel pembuluh darah oleh trombosit sehingga terjadi pembekuan darah yang meluas (Disseminated intravascular coagulation atau DIC). Dampak dari adanya DIC tersebut adalah terjadinya hipofibrinogenemia. Hipofibrinogenemia (kadar fibrinogen < 100 mg%), biasa pada 4-5 minggusesudah IUFD. Kadar normal fibrinogen pada wanita hamil adalah 300-700mg%. Akibat kekurangan fibrinogen maka dapat terjadi perdarahan post partum. Perdarahan post partus biasanya berlangsung 2-3 minggu setelah janin mati (Flenady, 2011). Selain dari komplikasi fisik yang serius pada ibu, dampak secara kejiwaanpun dapat terjadi. Dampak psikologis dapat timbul pada ibu setelah lebih dari 2 minggu kematian janin yang dikandungnya (Nybo-Andersen, 2004). Hal tersebut dapat mempengaruhi kesehatan jiwa ibu. Faktor resiko terjadinya depresi pada ibu hingga psikosis dapat terjadi (Rahayu, 2008 ; NyboAndersen, 2004). F. Penatalaksanaan Intra Uterine Fetal Death (IUFD) Bila disangka telah terjadi kematian janin dalam rahim, sebaiknya diobservasi dahulu dalam 2-3 minggu untuk mencari kepastian diagnosis. Selama observasi, 70-90 % akan terjadi persalinan yang spontan (POGI, 2006). Jika pemeriksaan Radiologi tersedia, konfirmasi kematian janin setelah 5 hari. Tanda-tandanya berupa overlapping tulang tengkorak, hiperfleksi kolumna vertebralis, gelembung udara didalam jantung dan edema scalp. USG merupakan sarana penunjang diagnostik yang baik untuk memastikan kematian janin dimana gambarannya menunjukkan janin tanpa tanda kehidupan, tidak ada denyut jantung janin, ukuran kepala janin dan cairan ketuban berkurang (POGI, 2006). Dukungan mental emosional perlu diberikan kepada pasien.Sebaiknyapasien selalu didampingi oleh orang terdekatnya.Yakinkan bahwa kemungkinan besar dapat lahir pervaginam. Pilihan cara persalinan dapat secara aktif dengan induksi maupun ekspektatif, perlu dibicarakan dengan pasien dan keluarganya sebelum keputusan diambil (POGI, 2006). Bila pilihan penanganan adalah ekspektatif maka tunggu persalinan spontan hingga 2 minggu dan yakinkan bahwa 90 % persalinan spontan akan terjadi tanpa komplikasi (POGI, 2006). Jika trombosit dalam 2 minggu menurun tanpa persalinan spontan, lakukan penanganan aktif. Penanganan aktif dilakukan pada serviks matang, dengan melakukan induksi persalinan menggunakan oksitosin atau prostaglandin. Jika serviks belum matang, lakukan pematangan serviks dengan prostaglandin atau kateter foley, dengan catatan jangan lakukan amniotomi karena berisiko infeksi (POGI, 2006). Mekanisme kerja kateter Foley adalah untuk membantu mematangkan serviks. Secara teknis, kateter Foley ukuran no.18 dimasukkan hingga ke Ostium Uteri Internum, mengembangkan balón kateter dengan aquadest 30 mL, dan mempertahankan selama 8– 12



jam. Dari sini, akan terjadi pemisahan antara selaput ketuban dengan Segmen Bawah Rahim. Hal ini akan menimbulkan pelepasan lisosom oleh desidua basalis dan pelepasan enzim lithik fosfolipase Ayang akan membentuk asam arakhidonat. Asam arakhidonat ini akanmeningkatkan pembentukan prostaglandin, sehingga serviks menjadi matang (Suparman, 2003 ; Nicholson, 2009). Efek samping dari kateter Foley ini adalah demam intrapartum atau postpartum, perdarahan per vaginam pasca pemasangankateter, KPD, prolapsus tali pusat, dan lain-lain (Nicholson, 2009). Persalinan dengan sectio cesare merupakan alternatif terakhir. Jika persalinan spontan tidak terjadi dalam 2 minggu, trombosit menurun dan serviks belum matang, matangkan serviks dengan misoprostol: Tempatkan misoprostol 25 mcg dipuncak vagina, dapat diulang sesudah 6 jam (Gomes, 2003). Jika tidak ada respon sesudah 2x25 mcg misoprostol, naikkan dosis menjadi 50mcg setiap 6 jam. Jangan berikan lebih dari 50 mcg setiap kali dan jangan melebihi 4 dosis. Jika ada tanda infeksi, berikan antibiotika. Jika tespembekuan sederhana lebih dari 7 menit atau bekuan mudah pecah, waspadakoagulopati (Dickinson, 2003). Berikan kesempatan kepada ibu dan keluarganya untuk melihat dan melakukan kegiatan ritual bagi janin yang meninggal tersebut. Pemeriksaan patologi plasenta dapat dilakukan untuk mengungkapkan adanyapatologi plasenta dan infeksi (Gomes, 2003). Bila setelah 3 minggu kematian janin dalam kandungan atau 1 minggu setelah diagnosis, pasien belum ada tanda untuk partus, maka pasien harus dirawat agar dapat dilakukan induksi persalinan. Induksi persalinan dapatdimulai dengan pemberian esterogen untuk mengurangi efek progesteron ataulangsung dengan pemberian oksitosin drip dengan atau tanpa amniotomi (Gomes,2003) Penanganan terhadap hasil konsepsi adalah penting untuk menyarankankepada pasien dan keluarganya bahwa bukan suatu kegawatan dari bayi yangsudah meninggal : a. Jika uterus tidak lebih dari 12 minggu kehamilan maka pengosonganuterus dilakukan dengan suction curetase b. Jika ukuran uterus antara 12-28 minggu, dapat digunakan prostaglandinE2 vaginal supositoria dimulai dengan dosis 10 mg c. Jika kehamilan > 28 minggu dapat dilakukan induksi dengan oksitosin. Selama periode menunggu diusahakan agar menjaga mental/psikis pasien yang sedang berduka karena kematian janin dalam kandungannya. Kematian janin adalah suatu kejadian traumatik psikologik bagi wanita dankeluarganya. Radestat mendapatkan bahwa interval yang lebih dari 24 jam sejak diagnosa kematian janin sampai induksi persalinanberkaitan dengan ansietasberlebihan (Barfield, 2002). Faktor lain yang berperan adalah apabila wanitayang bersangkutan tidak melihat bayinya selama yang dia inginkan dan apabiladia tidak memiliki barang kenangan dapat timbul kecemasan pada ibu sampaigejala depresi dan gejala somatisasi yang dapat bertahan sampai lebih dari 6bulan. Seorang wanita yang pernah melahirkan bayi meninggal, telah



lamadianggap memiliki resiko yang lebih besar mengalami gangguan hasil kehamilanpada kehamilan berikutnya (Kashoghi, 2007). Beberapa penelitian menyebutkan kisaran angka kekambuhan lahir matiantara 0 sampai 8 persen. Kematian janin sebelumnya walaupun tidak semua lahir mati menyebabkan gangguan hasil pada kehamilan berikutnya.Evaluasi prenatalpenting dilakukan untuk memastikan penyebab.Apabila penyebab lahir matiterdahulu adalah kelainan karyotipe atau kausa poligenik, pengambilan sampelvillus khorionik atau amniosintesis dapat mempermudah deteksi dini danmemungkinkan dipertimbangkannya terminasi kehamilan (Kashoghi, 2007). Pada diabetes, cukup banyak kematian perinatal yang berkaitan dengankelainan kongenital.Pengendalian glikemik intensif pada periode perikonsepsidilaporkan menurunkan insiden malformasi dan secara umum memperbaiki hasil(Silver, 2007). G. Pencegahan Intra Uterine Fetal Death (IUFD) Beberapa pencegahan yang dianjurkan dari beberapa pustaka yang adaantara lain sebagai berikut (Silver, 2007) : 1. Memberikan nasehat pada waktu ANC mengenai nutrisi dankeseimbangan diet makanan, 2. Hindari merokok, tidak meminum minuman beralkohol, jamu, obat-obatan dan hati-hati terhadapinfeksi yang berbahaya, 3. Mendeteksi secara dini faktor-faktor predisposisi IUFD dan pemberianpengobatan 4. Mendeteksi gejala awal IUFD atau tanda fetal distress, 5. Diberlakukannya tindakan Cut off untuk terminasi kehamilan.



DIC Pada Kehamilan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah sindroma abnormalitas koagulasi dan fibrinolisis, DIC disebut juga konsumtif koagulopati. Kehamilan menyebabkan kondisi status hiperkoagulasi. Terdapat peningkatan aktivitas semua faktor koagulasi kecuali faktor XI dan XIII. Fibrinogen meningkat sejak awal kehamilan sekitar 12 minggu, dan



mencapai puncaknya dengan kadar 400-650 mg/dL pada kehamilan aterm. Sistem fibrinolitik tertekan pada kehamilan dan persalinan, akan tetapi kembali ke normal dalam satu jam setelah plasenta lahir. Banyak kasus DIC berhubungan dengan kehamilan. DIC disebabkan oleh eclampsia/preeclampsia, perdarahan post partum, sepsis, solusio plasenta, missed septic abortion, ruptur uterus, emboli air ketuban, Intra uterine fetal death (IUFD), penyakit trofoblas, dan Sickle Cell Crisis. Penyebab obstetri terbanyak pada DIC adalah solusio plasenta. 1,2 Pada pasien dengan solusio plasenta berat yang disertai kematian janin, DIC terjadi pada 25% pasien. Pada pasien dengan IUFD dan missed abortion DIC terjadi pada 25% pasien, dan timbul 5-6 minggu sesudah kematian janin, dengan hasil perubahan laboratorium pada beberapa kasus sudah nyata berubah sejak awal. Pada Hellp syndrome DIC terjadi pada 92 dari 442 pasien (21%) 2



A. Mekanisme terjadinya pembekuan dan DIC Teori yang paling diterima mengenai koagulasi darah dipopulerkan oleh Ratnoff dan Bennett (1973) dan dikenal dengan cascade theory. Pada dasarnya sistem koagulasi dibagi menjadi sistem intrinsik dan sistem ekstrinsik. Sistem intrinsik mengandung semua komponen intravaskular yang dibutuhkan untuk mengaktifkan trombin, yaitu faktor XII, XI, X, IX, V, dan II (protrombin). Faktor ekstrinsik meliputi tromboplastin jaringan yang akan mengawali aktifasi faktor VII, X, V, dan protrombin. Kedua faktor intrinsik dan ekstrinsik bersamaan mengaktivasi faktor X, yang berikutnya bereaksi dengan faktor V yang teraktifasi dengan adanya Calcium dan fosfolipid, untuk mengubah protrombin menjadi trombin. Trombin adalah enzim proteolitik yang bertanggung jawab untuk memecah rantai fibrinogen menjadi fibrinopeptid, memulai pembentukan fibrin monomer. Jalur intrinsik (PTT) Aktifasi sistem koagulasi juga menstimulasi perubahan plasminogen menjadi plasmin sebagai mekanisme pertahanan terhadap trombosis intravaskular. Plasmin adalah enzim yang menghambat aktivitas enzim V dan VIII, dan dapat mengahancurkan fibrin membentuk Fibrin Degradation Product (FDP). Hemostasis darah yang normal merupakan keseimbangan dinamis antara koagulasi yang membentuk fibrin dan sistem fibrinolisis, yang berfungsi membuang fibrin ketika fungsi hemostasis sudah lengkap. Pada DIC terdapat koagulasi yang berlebihan dan melampaui batas oleh karena lepasnya tromboplastin kedalam sirkulasi maternal. Hal ini menyebabkan konsumsi faktor koagulasi berlebihan, menurunkan kadar faktor pembekuan, sehingga terjadi kecenderungan untuk berdarah. Sebagai respon terhadap koagulasi yang luas dan penumpukan fibrin pada mikrovaskular, proses fibrinolisis menjadi teraktivasi. Ini meliputi perubahan plasminogen menjadi plasmin, yang memecah fibrin menjadi Fibrin degradation products (FDP). FDP mempunyai sifat antikoagulan, menghambat fungsi trombosit dan kerja trombin, sehingga memperburuk kelainan koagulasi.



B. DIC pada kehamilan Pada kasus obstetri DIC selalu merupakan akibat adanya proses yang lain. Aktifasi sistem koagulasi terjadi dengan cara: 1. Pelepasan sistem tromboplastin kedalam sirkulasi maternal dari plasenta dan jaringan desidua. Mekanisme ini terjadi secara cepat pada kasus solusio plasenta, pada kasus IUFD dan missed abortion. 2. Kerusakan pada sel endotelial membuka kolagen utama kedalam plasma dan mengaktifkan faktor koagulasi.2 Eklamsia dan preeclampsia termasuk dalam kategori ini. 3. Kerusakan pada sel darah merah dan trombosit melepaskan pospolipid. Hal ini terjadi pada reaksi transfusi. Kesalahan memperkirakan jumlah perdarahan pada persalinan dengan cairan pengganti yang tidak adekuat dengan kristaloid atau koloid menyebabkan terjadinya vasospasme, menyebabkan kerusakan endotel, dan memicu terjadinya DIC. Hipotensi menurunkan perfusi sehingga terjadi hipoksia lokal dan asidosis pada tingkat jaringan memicu terjadinya DIC. DIC bisa dihindari dengan mengganti cairan yang cukup, meskipun pada anemia yang berat. Gambaran klinis DIC pada kehamilan seringkali gejala dan tanda komplikasi obstetri yang mendasari terjadinya DIC. Manifestasi perdarahan yang muncul bisa berupa hematom, purpura, epistaksis, bekas injeksi yang berdarah, atau yang lebih dramatis terjadinya perdarahan aktif dari luka operasi dan perdarahan post partum.2 Perdarahan bisa berupa hematuria, perdarahan gastrointestinal, intracarnial dan internal bleeding.3 Gejala sisa adanya trombosis jarang ada pada DIC yang terjadi secara akut, gejala lebih banyak ditutupi oleh kecenderungan terjadinya perdarahan. Manifestasi adanya trombosis adalah disfungsi ginjal, hepar, dan paru.2



C. Mekanisme Klinis Terjadinya DIC Patogenesis terjadinya DIC meliputi peningkatan pembentukan trombin, penurunan mekanisme fisiologis antikoagulan, dan terhambatnya proses fibrinolisis. Antikoagulan fisiologis meliputi antitrombin III, protein C dan TFPI (tissue factor pathway inhibitor). Pada DIC kadar antitrombin III, yang merupakan inhibitor trombin utama menurun sebagai respon terhadap proses koagulasi yang sedang berlangsung, degradasi oleh elastase yang dikeluarkan oleh neutrofil aktif, dan gangguan sintesis antitrombin III. Penurunan fungsi sistem protein C disebabkan oleh penurunan aktifitas trombomodulin, penurunan kadar fraksi bebas protein S (kofaktor esensial protein C), disamping penurunan sintesis. Penurunan aktivitas fibrinolitik diperantrai oleh peningkatan inhibitor aktivator plasminogen tipe 1, penghambat utama sistem fibrinolitik, dan penelitian klinik menunjukkan meskipun terdapat aktivitas fibrinolitik, pada DIC aktivitasnya terlalu lemah dibandingkan aktivitas pembentukan fibrin.



D. Diagnosis DIC Kewaspadaan terhadap kondisi obstetri yang dapat menimbulkan DIC penting dilakukan, mengingat pentingnya kecepatan diagnosis DIC, dan kurangnya fasilitas laboratorium yang lengkap menyebabkan tidak dilakukannya tes kelainan hematologi definitif. Tes Pembentukan jendalan darah merupakan tes yang mudah dikerjakan. Hasil yang abnormal menunjukkan adanya abnormalitas menyeluruh dari sistem koagulasi. Tes ini dikerjakan dengan mengambil 5 ml darah dalam tabung gelas (atau dalam spuit injeksi), balikkan tabung tiga atau empat kali dan amati terjadinya jendalan, dan retraksi serta koagulasi jendalan. Waktu penjendalan memanjang apabila lebih dari 10-12 menit. Jendalan harus dapat bertahan ketika tabung dibalik sesudah 30 menit, dan belum lisis dalam 1 jam. Jendalan harus terbentuk paling tidak separuh dari total jumlah sampel darah. Pada DIC berat semua hasil laboratorium untuk menilai fungsi koagulasi dan fibrinolisis menjadi abnormal, sedangkan pada kasus yang lebih ringan hasilnya bervariasi. Uji laboratorium untuk diagnosis DIC terdiri atas uji tapis dan uji penentu. Uji tapis meliputi hitung trombosit, Protrombin time (PT), Partial Tromboplasitin Time, masa trombin, fibrinogen, sedangkan uji penentu adalah pemeriksaan fibrin monomer terlarut (soluble fibrin monomer), D-dimer, Fibrin degradation product dan anti trombin. Dalam pertemuan Scientific and standardization Comittee International Society on trombosis and Haemostasis ke 47, Juli 2001 di Paris disusun sistem skor untuk DIC.



E. Skor DIC. 1. Penilaian risiko : apakah terdapat kelainan dasar/etiologi yang berkaitan dengan DIC ? (jika tidak, penilaian tidak dilanjutkan) 2. Uji koagulasi : hitung trombosit, Protrombin time, Fibrinogen, FDP/D-dimer) Skor : Trombosit



FDP atau D-dimer



: >100.000/mm3



:0



: 50.000-100.000/mm3



:1



: 500 μg/L



: meningkat ringan : 2



Pemanjangan protrombin time (PT) : < 3 detik



:0



: 4-6 detik



:1



: > 6 detik



:2



Fibrinogen



: > 100 mg/dl



:0



: < 100 mg/dl



:1



Jumlah skor ≥ 5 sesuai DIC, skor diulang setiap hari Jumlah skor < 5 sugestif DIC, skor diulang dalam 1-2 hari. Angka trombosit rendah, atau turun sangat rendah, hal ini disebabkan kadar faktor VII dari sel endotelial sering meningkat. Partial tromboplastin time bervariasi dan mungkin hanya memanjang pada proses akhir, ketika faktor pembekuan turun sangat rendah. Protrombin time menjadi memanjang, oleh karena hampir semua faktor koagulasi ekstrinsik turun (terutama II,V,VII,X).4 Trombin time biasanya memanjang. Kadar fibrinogen pada kondisi kehamilan normal meningkat 400-650 mg/dl pada DIC kadarnya turun pada kadar normal orang tidak hamil. Pada DIC berat kadar fibrinogen biasanya kurang dari 150 mg/dl. Kadar FDP 80λ/ml mendukung diagnosis DIC, kadar ini akan menetap tinggi selama 24-48 jam setelah DIC terkontrol. Sediaan apus darah akan menunjukkan bentuk abnormal, dan sel darah merah yang pecah (Schistocytes), yang terbentuk akibat melalui lubang fibrin pada kapiler yang tersumbat.2



F. Manajemen DIC pada Kehamilan Pada kehamilan DIC berlangsung sangat cepat. Terapi harus diutamakan. Proses dan perkembangan DIC sangat dinamis sehingga hasil laboratorium mungkin tidak menggambarkan situasi yang sebenarnya. Namun ini tidak berarti tidak harus mengikuti hasil laboratorium dan pertolongan dari ahli hematologi bila memang tersedia. Bagaimanapun tanpa hasil hematologi yang lengkap, harus punya rencana manajemen yang dapat mengatasi masalah yang bisa menimbulkan komplikasi yang membahayakan. Manajemen yang pertama adalah mengatasi penyebab timbulnya DIC. Umumnya hal ini dilakukan dengan melahirkan produk kehamilan, kemudian dilanjutkan dengan menjaga perfusi organ.2 Pada pasien yang direncanakan dilakukan terminasi secara seksio sesarea pada kondisi trombositopeni berat terdapat beberapa saran, Jika secara klinis terdapat tandatanda perdarahan nyata dilakukan incisi linea mediana, namun jika tidak dapat dilakukan incisi pfanensteal, penggunaan cauter boleh dilakukan lebih bebas , tutup uterus dengan 2 lapis, membiarkan plica vesicouterina tetap terbuka, peritoneum ditutup untuk mencegah perdarahan dari pembuluh darah yang kadang tidak terlihat dan memberikan tempat untuk pemasangan drain, pemakaian skin staples, tutup luka dengan balut tekan pada tempat incisi. Selain hal diatas Sibai menambahkan perlunya dipilih anestesi secara general anestesi, pemberian trombosit 10 unit sebelum operasi bila angka trombosit 30%.2 Penggantian faktor koagulasi sebaiknya dilakukan oleh ahli hematologi. Fresh frozen plasma (FFP) mengganti hampir semua faktor pembekuan dan mempunyai risiko paling rendah menularkan hepatitis. 1 unit diberikan setelah 4-6 unit whole blood, dilanjutkan 1 unit tiap 2 unit whole blood yang diperlukan. FFP diberikan dengan indikasi perdarahan masif, defisiensi faktor koagulasi tertentu, melawan pemberian warfarin sebelumnya, defisiensi antitrombin II, imunodefisiensi dan purpura trombositopeni.1 FFP diberikan bila protrombin time lebih dari 1,5 kali nilai kontrol normal. Tujuan transfusi FFP sampai menjaga angka protrombin time dalam selisih 2-3 detik dari kontrol FFP mengandung semua faktor koagulan, tidak mengandung trombosit.3 Crioprecipitates mungkin diperlukan bila fibrinogen sangat rendah (fibrinogen