Jurnal Farmakoterapi II PUD (Peptic Ulcer Desease) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

JURNAL AWAL PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI II PRAKTIKUM III : PEPTIC ULCER DISEASE (PUD) / TUKAK LAMBUNG



Tanggal praktikum : Rabu, 6 November 2019 DISUSUN OLEH : Kelompok VII Sindy Astika Damayanti NIM 171200159 A2A Farmasi Klinis



Dosen Pengampu : Ni Putu Aryati Suryaningsih, S. Farm., M-Farm-Klin., Apt



PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL DENPASAR 2019 i



DAFTAR ISI COVER



…………………………………………...…………………………….



DAFTAR ISI



.............................………………………………………………......



i ii



BAB I PENDAHULUAN



……………………………………………………….



1



1.1 Tujuan Praktikum



……………………………………………………….



1



BAB II DASAR TEORI …………………………………………………………..



2



2.1 Definisi PUD………………………………………………………………..



2



2.2 Etiologi PUD …………………………………………………….…….…...



3



2.3 Patofisiologi PUD



……………………………………………………….



4



2.4 Tanda dan Gejala PUD …….………………………….………………..….



8



2.5 Dignosis PUD…………………………….……………….…………..…….



8



2.6 Stratifikasi Resiko Terkait Kasus…………………………………….…….



10



2.7 Tatalaksana Terapi PUD…..………………………………………….…….



12



2.8 Terapi Non Farmakologi PUD….…………………………………….…….



12



2.9 Terapi Farmakologi PUD…..……………………..………………….…….



13



2.8 Mekanisme Kerja Obat….…………………………………………….…….



17



BAB III ALAT DAN BAHAN………………………………………………………



20



3.1 Alat …………………………………………..……………………………



20



3.2 Bahan



……………………………………………………………………



20



3.3 Kasus



……………………………………………………………………



20



DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN SOAP



ii



iii



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tujuan Praktikum 1. Mengetahui Definisi PUD 2. Mengetahui Klasifikasi PUD 3. Mengeahui Patofisiologi PUD 4. Mengetahui Tatalaksana PUD (farmakologi & non farmakologi) 5. Dapat Menyelesaikan Kasus Terkait PUD Secara Mandiri dengan Menggunakan Metode SOAP



BAB II DASAR TEORI 2.1 Definisi Peptic Ulcer Disease (PUD) Peptic Ulcer Disease (PUD) adalah salah satu penyakit pada saluran cerna bagian atas, yang ditandai adanya defek pada lambung (gastric ulcer) atau duodenum (duodenal ulcer), yang diakibatkan karena gangguan sekresi asam lambung dan pepsin. Penyakit terkait asam (gastritis, erosi dan tukak lambung) dari saluran gastrointestinal (GI) bagian atas diinduksi oleh adanya asam lambung. Penyakit ulkus peptik berbeda dengan gastritis dan erosi pada ulkus yang biasanya meluas lebih dalam ke mukosa muscularis. Ada tiga



1



penyebab umum ulkus peptik yaitu Helicobacter pylori (H. pylori), obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), dan stress ulcers (Dipiro, J.T., et al. 2008). Berdasarkan letak tukaknya, PUD dibagi menjadi (Windydaca dan Suryaningsih, 2019): a. Gastric ulcer (GU) yaitu tukak terjadi pada lambung. 80% kasus berhubungan dengan infeksi H.pylori dan penggunaan NSAIDs. Pada pasien dengan GU biasanya sekresi asam normal atau berkurang. b. Duodenal ulcer (DU) yaitu tukak terjadi pada usus halus. 95% kasus berhubungan dengan infeksi bakteri H.pylori. Meningkatnya sekresi asam diamati pada pasien dengan DU dan diduga akibat infeksi H.pylori.



Gambar 1. Lokasi gastric ulcer dan duodenal ulcer (Dipiro, J.T., et al. 2008) 2.2 Etiologi dan Faktor Resiko PUD Ulkus peptik terjadi dengan adanya asam dan pepsin ketika H. pylori, NSAID, atau faktor lainnya mengganggu mekanisme pertahanan dan penyembuhan mukosa normal. Hipersekresi asam adalah mekanisme patogen utama pada keadaan hipersekresi seperti ZES. Lokasi ulcer berhubungan dengan sejumlah faktor etiologi (Dipiro, J.T., et al. 2008). a. Helicobacter Pylori Infeksi H. pylori menyebabkan gastritis kronis yang terinfeksi dan terkait secara kausal dengan kanker PUD, kanker lambung, dan limfoma jaringan limfa (MALT) mukosa. Kofaktor spesifik host dan variabilitas strain H. Pylori memainkan peran penting dalam patogenesis PUD. Pemberantasan H. pylori menurunkan perdarahan berulang (Dipiro, J.T., et al. 2008). 2



b. Obat-obat NSAID NSAID nonselektif yang digunakan dengan berbagai indikasi dapat menyebabkan cedera saluran GI akibat terhambatnya enzim siklooksigenase-1. Perdarahan gaster subepitel terjadi dalam waktu 15 sampai 30 menit setelah menelan, dan berlanjut ke erosi lambung dengan terus mengkonsumsinya. Ulkus gastroduodenal terjadi pada 15% sampai 30% pengguna NSAID reguler dan dapat berkembang dalam waktu seminggu atau dengan perawatan lanjutan (6 bulan atau lebih). Ulkus lambung paling sering terjadi, terutama terjadi pada bagian antrum, dan memiliki perhatian lebih besar daripada erosi karena potensi pendarahan atau perforasi. Ulkus yang diinduksi NSAID jarang terjadi di kerongkongan dan usus besar. Risiko komplikasi NSAID meningkat sebanyak 14 kali lipat pada pasien dengan riwayat komplikasi ulkus atau ulkus sebelumnya. Usia lanjut adalah faktor risiko independen dan meningkat secara linear seiring dengan usia pasien. Insidensi komplikasi ulkus pada individu yang lebih tua terjadi akibat perubahan pertahanan mukosa lambung yang terkait dengan usia. Risiko ulkus dan komplikasi yang disebabkan oleh NSAID adalah terkait dengan dosis (Dipiro, J.T., et al. 2008). c. Merokok Merokok dapat menjadi penyebab PUD melalui mekanisme yaitu pengosongan lambung yang tertunda dari zat padat dan cairan, penghambatan sekresi bikarbonat pankreas, promosi refluks duodenogastrik, dan pengurangan produksi prostaglandin mukosa (PG). Merokok juga dapat menghambat pembaharuan sel epitel di saluran GI; mengurangi tingkat faktor pertumbuhan epitel (EGF) dan dengan demikian menghambat proliferasi sel mukosa; meningkatkan produksi asam lambung dan menurunkan produksi anion bikarbonat; dan menginduksi inkompetensi pilorus dan meningkatkan refluks empedu, sehingga memungkinkan garam empedu merusak mukosa lambung (Dipiro, J.T., et al. 2008; Zatorski, H., 2017). d. Stress Psikologi Tekanan emosional dapat menyebabkan risiko perilaku seperti merokok dan penggunaan NSAID, atau mengubah respons inflamasi atau resistensi terhadap infeksi H. pylori. Peran stres dan pengaruhnya terhadap PUD sangat kompleks dan mungkin multifaktorial (Dipiro, J.T., et al. 2008). e. Faktor Diet 3



Kopi, teh, minuman cola, bir, susu, dan rempah-rempah dapat menyebabkan dispepsia, namun tidak meningkatkan risiko PUD. Kafein adalah stimulan asam lambung, minuman berkarbonasi bebas kafein, bir, dan anggur juga dapat meningkatkan sekresi asam lambung. Kopi dilaporkan memiliki keterkaitan dengan penyakit ulkus peptik dan penyakit refluks gastroesofagus (GERD). Kafein dapat merangsang sekresi asam lambung dengan tindakannya sebagai penghambat phosphodiesterase dan pengaruhnya dalam meningkatkan AMP siklik. Konsumsi alkohol konsentrasi tinggi menyebabkan kerusakan mukosa lambung akut dan perdarahan GI bagian atas . Alkohol mengganggu penghalang mukosa lambung dan meningkatkan permeabilitas mukosa. Konsumsi alkohol berkepanjangan dapat menyebabkan gangguan pada mikrosirkulasi dan perkembangan pada cedera mukosa struktural (Dipiro, J.T., et al. 2008; Zatorski, H., 2017). 2.3 Patofisiologi PUD Pada individu yang sehat memiliki kondisi fisiologis di mana adanya keseimbangan antara sekresi asam lambung dan pertahanan mukosa saluran cerna. PUD dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara faktor agresif (asam lambung, pepsin, garam empedu, H.pylori, dan NSAID) dan faktor protektif yaitu mekanisme pertahanan mukosa terganggu seperti aliran darah mukosa, lendir, sekresi bikarbonat mukosa (dapat menetralkan pH lambung sehingga pepsin dapat rusak), restitusi sel mukosa, dan pembaharuan sel epitel. Sekresi asam lambung oleh sel parietal yang terjadi akibat ikatan reseptor histamin, gastrin dan asetilkolin. Pepsinogen, prekursor pepsin yang tidak aktif, disekresikan oleh sel utama yang terletak di fundus lambung. Pepsin diaktifkan dengan pH asam (pH optimal 1,8 sampai 3,5), tidak aktif secara reversibel pada pH 4, dan dimurnikan secara ireversibel (Dipiro, J.T., et al. 2008).



4



Gambar 2. Ketidakseimbangan faktor agresif dan protektif (Zatorski, H., 2017) Sekresi asam dinyatakan sebagai jumlah asam yang disekresikan di bawah kondisi basal atau puasa, keluaran asam basal (PAB). Setelah stimulasi maksimal, maximal acid output (MAO) atau sebagai respons terhadap makanan. Sekresi asam basal, maksimal, dan stimulasi makanan bervariasi sesuai dengan waktu dan keadaan psikologis, usia, jenis kelamin, dan status psikologis individu. BAO mengikuti ritme sirkadian, dengan sekresi asam meningkat terjadi pada malam hari dan menurun di pagi hari (Dipiro, J.T., et al. 2008). Gastric Ulcer terjadi karena asam lambung dan pepsin, H.pylori (Helicobacter Pylori), NSAID, atau faktor lain yang mengganggu pertahanan mukosa normal dan mengganggu proses penyembuhan. Hipersekresi asam merupakan faktor independen yang memberikan kontribusi terhadap gangguan integritas mukosa. Infeksi H.pylori dapat menyebabkan gastritis kronik yang menginfeksi semua individu, kemudian berkembang menjadi PUD, kanker gastrik (kurang dari 1%) dan MALT. Pada pasien DU biasanya sekresi asam meningkat dimana sekitar 2/3 kasus tukak lambung akibat dari infeksi H.pylori, sedangkan pasien dengan GU ringan biasanya memiliki tingkat sekresi asam normal atau berkurang dapat terjadi dimana saja diperut, meskipun sebagian besar terletak di lengkung kecil (Lesser curvature) dan mukosa lambung bagian antral menjadi (Windydaca dan Suryaningsih, 2019). a. Helicobacter pylori Sebagian besar pasien yang terinfeksi tetap asimtomatik, infeksi H. pylori merupakan predisposisi penyakit ulkus peptik (PUD), karsinoma lambung dan limfoma jaringan limfoid terkait mukosa. H. Pylori memproduksi protein penghambat asam, yang memungkinkannya beradaptasi dengan lingkungan pH rendah di perut. Kolonisasi korpus (tubuh) perut berhubungan dengan tukak lambung. Faktor bakteri dan inang berkontribusi terhadap kemampuan H. pylori untuk menyebabkan luka mukosa 5



gastroduodenal. Mekanisme patogenik meliputi (a) kerusakan mukosa langsung, (b) perubahan respon imun/inflamasi inang, dan (c) hipergastrinemia yang menyebabkan sekresi asam meningkat. H. pylori meningkatkan konversi karsinogenik dari epitel gaster yang rentan sel. Kerusakan mukosa langsung dihasilkan oleh faktor virulensi, menguraikan enzim bakteri (lipase, protease, dan urease). Sekitar 50% strain H. pylori menghasilkan vacuolating sitotoksin (Vac A) yang menyebabkan kematian sel dan penting dalam pengembangan kanker lambung. Strain dengan protein gen terkait cytotoxin (cagA) dikaitkan dengan tukak duodenum, atrofik gastritis, dan kanker lambung. Lipase dan protease menurunkan lendir lambung, amonia yang diproduksi oleh urease dapat menjadi racun bagi sel epitel gastrik, dan kepatuhan bakteri meningkatkan serapan toksin ke sel epitel lambung. Infeksi H. pylori mengubah respons inflamasi inang dan merusak sel epitel secara langsung oleh mekanisme imun yang dimediasi oleh sel, atau secara tidak langsung oleh neutrofil atau makrofag aktif yang mencoba bakteri fagositik atau produk bakteri (Dipiro, J.T., et al. 2008; Sostre, C., Gargallo, C.J., dan Lanas, A. 2014).



b. Obat NSAID NSAID non-selektif termasuk aspirin, menyebabkan ulkus peptik dan komplikasi GI bagian atas dengan menghambat prostaglandin prostat secara sistemik dalam mukosa lambung. NSAID menghambat cyclo-oxygenase (COX), enzim pembatas laju dalam konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin. Siklooksigenase-1 (COX-1), yang ditemukan di perut, ginjal, usus, dan trombosit, dan siklooksigenase-2 (COX-2), yang diinduksi dengan peradangan akut. Penghambatan COX-1 dikaitkan dengan toksisitas GI dan ginjal, sedangkan penghambatan COX-2 terkait dengan efek anti-inflamasi. NSAID non-selektif, menghambat COX-1 dan COX-2 sampai tingkat yang bervariasi dan mengurangi agregasi trombosit, yang dapat meningkatkan risiko pendarahan GI atas. Pemberian 2 obat NSAID dapat menjadi penghambatan prostaglandin yang dapat menyebabkan ulkus gastrik, pengalihan arakhidonat melalui jalur lipoksigenase meningkatkan sintesis leukotrien dan menyebabkan vasokonstriksi dan pelepasan. 6



Radikal bebas oksigen yang juga dapat menyebabkan kerusakan pada pertahanan mukosa. Ada peningkatan bukti bahwa NSAID dapat menyebabkan kerusakan lambung dengan mengganggu sintesis mukosa oksida nitrat dan hidrogen sulfida, mediator penting dalam mempertahankan intergrit gastricmucosal (Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A., Kradjan, W.A., et al., 2013). Aspirin dan nonaspirin NSAID juga memiliki efek iritasi topikal (langsung) pada mukosa lambung, namun peradangan dan erosi yang dihasilkan biasanya sembuh dalam beberapa hari. Kerusakan lambung dikaitkan dengan sifat asam aspirin dan NSAID nonaspirin dan kemampuannya untuk mengurangi hidrofobisitas lapisan gel mukosa dalam mukosa lambung. Oleh karena itu, cedera mukosa langsung tampak berkorelasi dengan pKa senyawa yang menunjukkan adanya menurunkan keasaman obat, semakin sedikit kerusakan topikal jangka pendek. Formulasi seperti aspirin enterik, aspirin buffer, prodrug NSAID, dan sediaan parenteral atau rektal dapat memberi efek topikal pada mukosa lambung, namun semuanya berpotensi menyebabkan Ulkus gaster karena penghambatan sistemik prostaglandin endogen (Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A., Kradjan, W.A., et al., 2013).



2.4 Tanda dan Gejala PUD Presentasi klinis PUD bervariasi tergantung pada tingkat keparahan nyeri epigastrik dan adanya komplikasi. Nyeri yang berhubungan dengan ulkus pada ulkus duodenum sering terjadi 1 sampai 3 jam dan hilang setelah makan. Pada maag gastrik, makanan bisa memicu atau menonjolkan sakit maag. Kekambuhan nyeri epigastrik setelah penyembuhan sering menandakan ulkus yang tidak sembuh atau berulang. Adapun tanda dan gejala dari penyakit ulkus peptik sebagai berikut (Dipiro, J.T., et al. 2008): Gejala PUD: a. Nyeri perut yang sering epigastrik dan digambarkan sebagai terbakar, tapi bisa hadir sebagai ketidaknyamanan yang tidak jelas, kepenuhan perut, atau kram. b. Nyeri nokturnal khas yang membangunkan pasien dari tidur c. Tingkat keparahan sakit maag bervariasi dari pasien ke pasien, dan mungkin musiman, terjadi lebih sering pada musim semi atau musim gugur; episode ketidaknyamanan biasanya terjadi pada kelompok, berlangsung hingga beberapa 7



minggu dan diikuti periode bebas rasa sakit atau remisi yang berlangsung dari minggu ke tahun d. Perubahan karakter rasa sakit mungkin menunjukkan adanya komplikasi e. Mulas, bersendawa, dan kembung sering menyertai rasa sakit f. Mual, muntah, dan anoreksia, lebih sering terjadi pada pasien dengan ulkus gaster daripada ulkus duodenum, tapi mungkin juga merupakan tanda adanya komplikasi terkait ulkus. Tanda PUD: a. Penurunan berat badan berhubungan dengan mual, muntah, dan anoreksia. b. Komplikasi, termasuk perdarahan ulkus, perforasi, penetrasi, atau penyumbatan. 2.5 Diagnosis PUD Kriteria terpenting pada diagnosis tukak duodenum adalah nyeri khas yang hilang oleh makanan. Anamnesis tidak begitu informatif seperti pada penderita tukak lambung, sebab gejala tidak enak pada epigastrum lebih sering timbul. Biasanya tidak mungkin untuk membedakan antara tukak lambung dan duodenum hanya dari anamnesis saja (Wilson dan Lindseth, 2005). Diagnosis tukak peptik biasanya dipastikan dengan pemeriksaan barium radiogram. Bila radiografi barium tidak berhasil membuktikan adanya tukak dalam lambung atau duodenum tetapi gejala-gejala tetap ada, maka ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan endoskopi. Peneraan kadar serum gastrin dapat dilakukan jika diduga ada karsinoma lambung atau sindrom Zolliger-Ellison (Wilson dan Lindseth,2005). Diagnosis tukak gaster ditegakkan berdasarkan pengamatan klinis, hasil pemeriksaan radiologi dan endoskopi, disertai biopsi untuk pemeriksaan histopatologi, tes CLO (Campylobacter Like Organism), dan biakan kuman Helicobacter pylori. Secara klinis pasien mengeluh nyeri ulu hati kadang-kadang menjalar ke pinggang disertai mual dan muntah (Tarigan, 2001) 



Radiologi



: Terlihat gambaran niche atau crater.







Endoskopi



: Terlihat tukak gaster engan pinggir teratur, mukosa licin, lipatan radiasi



keluar dari pinggir tukak secara teratur. 



Hasil Biopsi : Tidak menunjukkan adanya keganasan







Pemeriksaan tes CLO (Compylobacter Like Organism) /PA (Pyloric Antrum) : Untuk mennjukkan apakah ada infeksi Helicobacter pylori dalam rangka eradikasi kuman 8



(Tarigan, 2001). Pemeriksaan endoskopik saluran makanan memudahkan diagnosis tepat ulkus duodenum. Endoskopik tidak diperlukan untuk diagnosis ulkus duodeum jika telah dikenali dengan pemeriksaan radiografik barium. Akan tetapi endoskopi mungkin paling besar nilainya: (1) dalam mendektesi ulkus duodenum yang dicurigai pada tiadanya ulkus yang dapat diperlihatkan secara radiografik, (2) pada pasien dengan deformitas radiografik dan ketidakpastian mengenai aktivitas ulkus, (3) dalam mengenali ulkus yang terlampau kecil atau terlampau dangkal untuk dikenali dengan sinar–x dan (4) dalam mengenali (atau meniadakan), ulkus sebagai sumber pendarahan saluran makanan yang aktif. Endoskopi memungkinkan visualisasi dan dokumentasi fotografik sifat ulkus, ukuran, bentuk dan lokasinya dan dapat memberikan suatu dasar/ basis referensi untuk penilaian penyembuhan ulkus (Mc.Guigan, 2001). Dalam perkembangannya jenis tes diagnostik infeksi Helicobacter pylori adalah sebagai berikut: a) Non Invasif 1. Serologi : I 9G, I 9A anti Helicobacter pylori 2. Urea breath test : 13C, 14C b) Invasif / endoskopik 1. Tes urease : CLO (Campylobacter Like Organism), MIU (Motilit Indole Urease) 2. Histopatologi 3. Kultur mikrobiologi 4. Polymerase chain reaction (Rani, 2001) 2.6 Stratifikasi Resiko Terkait Kasus Stratifikasi pasien berdasarkan kategori risiko perdarahan ulang dan kematian dapat menggunakan sistem penilaian Blatchford dan Rockall (Tabel 1 dan 2). Pasien risiko tinggi perlu dirawat inap di unit intensif. Stratifikasi risiko juga perlu dilakukan untuk menentukan pasien risiko sangat rendah yang tidak memerlukan intervensi dan rawat inap. Skor Blatchford (Tabel 1) menggunakan tanda klinis dan hasil laboratorium awal untuk memprediksi perlunya rawat inap dan intervensi seperti transfusi, terapi endoskopi atau pembedahan pada pasien perdarahan 9



SCBA. Skor Blatchford 0 memiliki sensitivitas sebesar >99% untuk mengidentifikasi pasien yang tidak memerlukan intervensi. Skor 1 atau lebih termasuk risiko tinggi (Stanley, 2012). Penelitian di Singapura dan Malaysia menunjukkan endoskopi dalam 12 jam memperbaiki angka kelangsungan hidup pasien dengan skor Blatchford ≥12. Skor Rockall (Tabel 2) digunakan untuk menilai risiko kematian berdasarkan usia, hemodinamik, komorbid, dan temuan endoskopi. Pasien dengan skor ≤2 digolongkan risiko rendah, 3-7 termasuk risiko sedang, dan ≥8 risiko tinggi (Stanley, 2012).



Tabel 1. Blatchford Score



10



Table 2 Skor Rockall



2.7



Tatalaksana terapi PUD Tujuan terapi untuk menangani PUD pada orang dewasa bergantung pada ulkus berhubungan dengan H. pylori atau dikaitkan dengan NSAID. Tujuan perawatan berbeda tergantung ulkus baru atau berulang/kambuhan dan ada atau tidaknya komplikasi yang terjadi. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan gejala ulkus, menyembuhkan ulkus, mencegah kambuh berulang, dan mengurangi komplikasi ulkus. Tujuan terapi pada pasien dengan ulkus yang disebabkan oleh NSAID adalah menyembuhkan ulkus secepat mungkin. Pasien yang berisiko tinggi terkena ulkus NSAID harus menerima terapi profilaksis atau beralih ke inhibitor COX-2 (jika ada) untuk mengurangi risiko maag dan komplikasi terkait. Bila memungkinkan, rejimen obat dengan biaya paling efektif harus digunakan (Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A., Kradjan, W.A., et al., 2013; Dipiro, J.T., et al. 2008). 2.8 Terapi Non Farmakologi a.



Pasien dengan PUD harus menghentikan NSAID (termasuk aspirin) jika memungkinkan. Jika diperlukan dapat menggunakan terapi alternative seperti acetaminophen, obat non-salisilat, atau obat golongan COX-2 sebagai terapi untuk



11



pereda nyeri (Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A., Kradjan, W.A., et al., 2013; Windydaca dan Suryaningsih, 2019). b.



Pasien yang tidak dapat mentoleransi makanan dan minuman tertentu (mis., makanan pedas, kafein, dan alkohol) dapat memperoleh manfaat dari modifikasi diet. Pasien juga disaran untuk tidak makan secara berlebihan atau menghindari makanan berat karena isi lambung yang tinggi memicu sekresi asam (Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A., Kradjan, W.A., et al., 2013 Windydaca dan Suryaningsih, 2019).



c.



Mengkonsumsi makanan yang rendah kalori (Jaya dan Dwicandra. 2017).



d.



Modifikasi gaya hidup termasuk mengurangi stres dan mengurangi atau menghentikan merokok sangat dianjurkan. Merokok dapat mengganggu proses penyembuhan ulkus, maka kebiasaan merokok harus dihentikan (Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A., Kradjan, W.A., et al., 2013; Windydaca dan Suryaningsih, 2019).



e.



Probiotik, terutama strain bakteri penghasil asam laktat seperti Lactobacillus dan Bifidobacterium, lactoferrin, dan bahan makanan (misalnya, jus cranberry, jahe, cabai, oregano, beberapa protein susu) digunakan untuk melengkapi pemberantasan H.pylori (Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A., Kradjan, W.A., et al., 2013).



f.



Pasien dengan komplikasi terkait ulkus memerlukan pembedahan untuk pendarahan, perforasi, atau penyumbatan (Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A., Kradjan, W.A., et al., 2013).



2.9 Terapi Farmakologi Dalam penatalaksaan PUD, sebelumnya harus dilakukan pemeriksaan endoskopi untuk penegakan diagnosa PUD pada pasien yang memperlihatkan alarm sign. Tahapan awal penatalaksanaan PUD berdasarkan lokasi tukak dapat dibagi menjadi penatalaksanaan terhadap Gastric Ulcer (GU) dan Duodenal Ulcer (DU) dapat dilihat pada bagan berikut :



12



Gambar 3. Bagan tahapan awal Penatalaksanaan PUD berdasarkan lokasi tukak (Jaya dan Dwicandra, 2017) Penentuan terapi farmakologi pada PUD dapat didasarkan atas pemeriksaan dengan endoskopi yang diawali dengan adanya tanda-tanda alarm (anorexia, penurunan berat badan lebih dari 10%, anemia, gejala awal yang progresif dan adanya melaena atau hematemesis). Setelah diketahui lokasi ulkus (ulkus pada gastrik) maka apabila sebelumnya menggunakan obat NSAID diharapkan untuk dihentikan dahulu. Kemudian dilakukan uji H.pylori, bila hasilnya negatif berikan terapi PPI full dose selama 1 atau 2 bulan dan diperiksa kembali dengan endoskopi. Jika hasil endoskopi menyatakan ulkus sembuh maka terapi PPI low dose selama diperlukan dan lakukan pemeriksaan ulang sebelum kembali ke self car, sedangkan untuk endoskopi dengan hasil negatif maka pasien wajib dirujuk ke spesialis secondary care. Uji H.pylori tahap awal dengan hasil positif, maka terdapat 2 pilihan terapi yang diberikan yaitu : a. PPI full dose selama2 bulan : untuk tukak berhubungan dengan penggunaan NSAID. Jika belum membaik diberikan terapi eradikasi dan pemeriksaan endoskopi serta uji H.pylori kembali. Apabila hasil positif berikan terapi eradikasi kembali sehingga tukak sembuh dan menggunakan terapi PPI low dose selama diperlukan. Pemeriksaan ulang tetap dilakukan dengan tujuan memastikan tukak telah sembuh 13



dengan baik, kemudian dapat kembli ke pengobatan sendiri. Apabila saat pemeriksaan dan tes H.pylori negatif, tetapi tukak tidak sembuh dapat dilakukan rujukan ke dokter spesialis. b. Terapi eradikasi : untuk tukak yang tidak berhubungan dengan penggunaan NSAID. Setelah terapi eradikasi diberikan, kemudian dilakukan pemeriksaan endoskopi dan tes H.pylori. Bila H.pylori positif kembali menggunakan terapi eradikasi, tetapi jika H.pylori negatif dan tukak tidak sembuh maka perlu dirujuk ke spesialis. Tukak yang sembuh setelah terapi eradikasi dapat diberikan PPI low dose dan diperiksa ulang untuk memastikan tukak telah sembuh dengan baik, kemudian dapat kembli ke pengobatan sendiri.



Gambar 4. Tatalaksana Gastric Ulcer Disease (Jaya dan Dwicandra, 2017) Terapi Eradikasi (Dipiro, J.T., et al. 2008) Obat 1 Obat 2 Regimen Pengobatan dengan 3 Obat (a) 14



Obat 3



Obat 4



Omeprazole 20 mg 2 Claritromycin Amoxicillin 1 g kali sehari 500 mg 2 kali 2 kali sehari atau atau Lansoprazole 30 sehari Metronidazole mg 2 kali sehari 500 mg 2 kali atau Pantoprazole 40 sehari mg 2 kali sehari atau Esomeprazole 40 mg sehari atau Rabeprazole 20 mg sehari Regimen Pengobatan dengan 4 Obat (b) Omeprazole 40 mg 2 Bismuth Metronidazole kali sehari subsalisilat 250-500 mg 4 atau Lansoprazole 30 525 mg 4 kali kali sehari sehari mg 2 kali sehari atau Pantoprazole 40 mg 2 kali sehari atau Esomeprazole 40 mg sehari atau Rabeprazole 20 mg sehari H2RA 4-6 minggu Keterangan :



Tetrasiklin 500 mg 4 kali sehari atau Amoxicillin 500 mg 4 kali sehari atau Claritromycin 250-500 mg 4 kali sehari



(a) Meski pengobatannya minimal efektif jika digunakan selama 7 hari, 10-14 hari pengobatan dianjurkan. Obat antisecretory dapat dilanjutkan di luar pengobatan antimikroba pada pasien dengan riwayat ulkus yang parah, misal dengan perdarahan atau perokok berat. (b) Dalam setting ulcer aktif, penekanan asam ditambahkan untuk mempercepat rasa sakit.



15



\ Gambar 5. Obat untuk Mengobati Gangguan Saluran Cerna Atas (Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A., Kradjan, W.A., et al., 2013)



16



Gambar 6. Obat Untuk Menangani Ulkus Peptik Dipiro, J.T., et al. 2008) 2.10



Mekanisme Kerja Obat a. PPI PPI hanya menghambat pompa proton yang aktif mensekresi asam sehingga paling efektif jika diberikan 30 – 60 menit sebelum makan. Efek samping PPI meliputi sakit kepala, kemalasan, rash, diare, nyeri abdominal, mual, muntah, flatulence, konstipasi, regurgitasi asam, peningkatan ALT dan AST, angina, anafilaksis dan anemia. Obat – obatan yang termasuk ke dalam kelompok proton pump inhibitor antara lain omeprazole, esomeprazole, lansoprazol dan pantoprazole (Dipiro, J.T., et al, 2008). Seluruh obat tersebut merupakan derivate benzimidazole yang memiliki mekanisme b.



kerja dengan membentuk ikatan kovalen dan menghambat H+, K+, ATP-ase. H2RA H2 bloker bekerja melalui blockade reseptor histamine H2 pada sel parietal, sehingga mengurangi sekresi asam lambung. H2 reseptor antagonis menghambat secara kompetitif dan selektif kerja dari histamine di reseptor H2 pada sel parietal, sehingga menurunkan sekresi asam lambung. Obat – obatan goongan ini yang dapat digunakan dalam mengobati penyakit ulkus peptikum adalah simetidine, famotidine, ranitidine dan nizatidine. Saat ini obat dalam kelas ini sering digunakan dalam pengobatan peptic ulcer (4-6 minggu) dalam bentuk kombinasi denga antibiotic yang dianjurkan untuk eradikasi H. pylori (Lullman, et al., 2000).



c.



Agen Sitoprotektif Mekanisme kerja sukralfat adalah sukralfat bereaksi dengan asam hidroklorik dalam lambung membentuk sebuah cross-linked yang memiliki konsistensi kental seperti bahan perekat yang mampu bereaksi sebagai buffer asam untuk waktu yang lama, yaitu 6-8 jam setelah diminum dalam dosis tunggal. Sukralfat membentuk kompleks ulser adheren dengan eksudat protein seperti albumin dan fibrinogen pada sisi ulser dan melindunginya dari serangan asam, membentuk barier viskos pada permukaan mukosa di lambung dan duodenum, serta menghambat aktivitas pepsin dan membentuk ikatan garam dengan empedu. Sukralfat memiliki beberapa mekanisme aksi antara lain : berperan sebagai barrier fisikokimia; meigkatkan aksi tropic dengan 17



berikatan



dengan



faktor



pertumbuhan



seperti



EGF;



meningkatkan



sintesis



prostalglandin; menstimulasi sekresi mucus dan bikarbonat; dan meningkatkan d.



pertahannan dan perbaikan mukosa (Hasanah, 2007). Amoxicillin Golongan penisilin, karbapenem dan sefalosporin bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mengikat satu atau lebih protein pengikat penisilin (PBPs) yang pada gilirannya menghambat tahap transpeptidifikasi akhir sintesis peptidoglikan di dinding sel bakteri, sehingga menghambat biosintesis dinding sel. Bakteri akhirnya lisis akibat aktivitas enzim autolitik dinding sel yang terus-menerus (autolysins dan murein hydrolases) sementara perakitan dinding sel ditangkap (Aberg, J.A., Alvares,



e.



W., Armstrong, L., et al. 2007). Metronidazole Setelah menyebar ke dalam organisme, berinteraksi dengan DNA menyebabkan hilangnya struktur DNA heliks dan kerusakan untai sehingga menghambat sintesis protein dan kematian sel pada organisme yang rentan (Aberg, J.A., Alvares, W.,



Armstrong, L., et al. 2007). f. Klaritromisin Melakukan tindakan antibakteri dengan mengikat subunit ribosom 50S sehingga menghambat sintesis protein. Metabolit klaritromisin 14-OH dua kali lebih aktif dibandingkan senyawa induknya terhadap organisme tertentu (Aberg, J.A., Alvares, W., Armstrong, L., et al. 2007).



18



BAB III ALAT DAN BAHAN 3.1 Alat 1. Form Soap. 2. Form Medication Record. 3. Catatan Minum Obat 4. Kalkulator Scientific. 5. Laptop dan Koneksi Internet. 3.2 Bahan 1. Text book. 2. Data nilai normal laboratorium. 3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis). 3.3 Kasus 1. Tn Y MRS (UGD) 20 Agustus 2019, sore hari. Usia Pasien 59 tahun. Riwayat penyakit terdahulu Nyeri bagiankaki dan bengkak, Hiperurisemia, Dislipidemia dengan riwayat pengobatan terdahulu Na Diklofenak, Ziloric®, Lipitor®. Tidak ada riwayat alergi obat. Pada pasien dilakukan pemeriksaan endoskopi atas dan bawah. Pemakaian Obat di Rumah Sakit adalah sebagai berikut: Pasien diare selama kurang lebih 2 minggu terakhir, dengan frekuensi diare 3-4 kali perhari. Untuk mengatasi diare tersebut, pasien minum Enterostop®. Selain itu, pasien mengeluh perut terasa kembung, fesesnya ada darahnya, feses tidak mengandung lender, feses cair da nada ampasnya. Parameter



Tekanan darah (mmHg)



Hasil Pemeriksaan 20/8 110/70 19



21/4 120/80



Keterangan



Normal



Temperatur (0C) Nadi (kali/menit) Laju nafas (kali/menit)



36,2 80 18



Berikut adalah hasil pemeriksaan laboratorium:



20



36,2 88 -



Normal Normal Normal



21



DAFTAR PUSTAKA



Aberg, J.A., Alvares, W., Armstrong, L., et al. 2007. Drug Information Handbook, 17th edition. Lexi-Comp Inc. Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A., Kradjan, W.A., et al., 2013. Koda-Kimble & Youngs. Applied Therapeutics The Clinical Use of Drug. Lippincott Williams & Wilkins, Awolters Kluwer Business Amber, et al., 2015. Hyperuricemia Management. OHSU Hospital and Clinic : Portalnd Dipiro, J.T., et al. 2008. Pharmacotherapy A Pathophysiology Approach, Seven Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc Chiorean MV, Locke GR, Zinsmeister AR, Schleck CD, Melton LJ..2002. Changing rates of Helicobacter pylori testing and treatment in patients with peptic ulcer disease. Am J Gastroenterol 2002; 97: 3015-3022. USA : Department of Health Sciences Research Hoogerwerf, W. A. dan P.J. Pasricha. 2008. Pharmacotherapy of Gastric Acidity. Peptic Ulcers and Gastroesophageal Reflux Disease. Dalam Manual of Pharmacology and Theraupetics. Editor Brunton, L., K. Parker, D Blumenthal dan I .Buxton. Chpter 37 th. The Mc Graw-Hill Companies.Inc: USA Windydaca dan Suryaningsih, 2019. Modul Praktikum Farmakoterapi II (Penyakit Sistem Pencernaan, Saluran Pernapasan dan Infeksi). Denpasar: Institut Ilmu Kesehatan Medika Persada Bali Lullmann, et al., 2000. Color Atlas of Pharmacology 2nd ed. New York : Thieme Stuttgart Marshal, B.J. and Warren, J R. 1984. Un indentified curved bacilli in the stoomach of patients with gastritis and peptic ulceration Lancet 16 : 1311-1314 Riccardo, et al. 2012. Update on triple therapy for eradication of Helicobacter pylori: current status of the art. Chinical and Experimental Gastroenterology 2012 September 17. 5:151157 Sostre, C., Gargallo, C.J., dan Lanas, A. 2014. Interaction between Helicobacter pylori infection, nonsteroidal anti-inflammatory drugs and/or low-dose aspirin use: Old question new insights. World J Gastroenterol 2014 July 28; 20(28): 9439-9450. Spain: University Hospital Lozano Blesa, Tarigan, P. 2001. Tukak Gaster. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Fakultas Kedokteran



0



Zatorski, H., 2017. Pathophysiology and Risk Factors in Peptic Ulcer Disease. J. Fichna (ed.), Introduction to Gastrointestinal Diseases Vol. 2. Poland : Medical University of Lodz.



1



FORM SOAP PHARMACEUTICAL CARE PATIENT PROFILE Tn. / Ny. Jenis Kelamin :



Tgl. MRS



:



Usia



Tgl. KRS



:



:



Tinggi badan : Berat badan



:



Presenting Complaint



Diagnosa kerja



:



Diagnosa banding



:



 Relevant Past Medical History:



Drug Allergies:



Tanda-tanda Vital Tekanan darah Nadi Suhu RR



tgl



tgl



tgl



tgl



1



tgl



tgl



tgl



tgl



tgl



No.



Nama Obat



Medication Indikasi Dosis yang digunakan



Dosis Terapi (literatur)



1 2 3 4 5 6 7 8 LABORATORY TEST Test (normal range) WBC (4000-10000/mm3) Hb (L: 13-17 g/dL) RBC (4-6x106/mm3) Hct (L:40-54%) PLT (150000-450000/mm3) Gula darah puasa (76-110 mg/dL) Gula darah 2 jam PP (90-130 mg/dL) Cholesterol (150-250 mg/dL) TG (50-200 mg/dl) Uric acid (L:3,4-7 mg/dL) Albumin (3,5-5,0 g/dL) SGOT (0-35 u/L) SGPT (0-37 u/L) BUN (10-24 mg/dL) Kreatinin (0,5-1,5 mg/dl) Natrium (135-15 mEq/L) Kalium (3,5-5,0 mEq/L)



No



Tgl



Further Information Required



Alasan 2



tgl



Jawaban Terkait FIR



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.



Medical 1 2 3 4 5 6. 7. 8.



Problem List (Actual Problem) Pharmaceutical 1 2 3 4 5 6. 7, 8.



PHARMACEUTICAL PROBLEM Subjective (symptom)



- Objective (signs)



3



Assesment (with evidence)



Plan (including primary care implications)



4



Monitoring  Efektivitas







Efek Samping Obat



5



DAFTAR PUSTAKA



KOLOM ACC



6



2. Form Medication Record Nama Pasien



Tanggal



Waktu



Diberikan Obat



Pemberian Obat



Nama Obat



Dosis Obat



Alergi Obat dan



Tanda



Reaksi Alergi



Tangan Apoteker



7



3. Form Medication Reminder Nama Pasien : Umur :



Dokter Pemeriksa Apoteker



: :



Bulan / Tahun Nama Obat



Waktu



1 2 3



4



5



6



7



8



9



1 0



11



1



(Tanggal Pemberian Obat) 1 1 1 1 1 1 1 2



2



2



2



2



3



1



2



3



4



5



6



7



8



9



0



24



2



2



2



2



2



5



6



7



8



9



Pagi Siang Sore Malam Pagi Siang Sore Malam



KOLOM ACC



8



30



1