Kasus 1 TB [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Ragil
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH STUDI KASUS RUMAH SAKIT “TUBERKULOSIS”



Dosen pengampu : Dr. apt. Lucia Vita I.D., M.Sc



Disusun oleh : 1.



Tu Bagus Ragil Permadi (2120424778)



2.



Venestesia Ayu Suliustita (2120424779)



PROFESI APOTEKER UNIVERSITAS SETIA BUDI SURAKARTA 2021



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa, mycobacterium bovis serta Mycobacterium avium, tetapi lebih sering disebakan oleh Mycobacterium tuberculosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Interaksi host, agent dan lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit ini. 1) Faktor Agent (Mycobacterium tuberculosis) Karakteristik alami dari agen TBC hampir bersifat resisten terhadap disifektan kimia atau antibiotika dan mampu bertahan hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang lama. Pada Host, daya infeksi dan kemampuan tinggal sementara Mycobacterium Tuberculosis sangat tinggi. Patogenesis hampir rendah dan daya virulensinya tergantung dosis infeksi dan kondisi Host. Sifat resistensinya merupakan problem serius yang sering muncul setelah penggunaan kemoterapi moderen, sehingga menyebabkan keharusan mengembangkan obat baru. Umumnya sumber infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi. Untuk transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak langsung, serta transmisi kongenital yang jarang terjadi. 2) Faktor Lingkungan Distribusi geografis TBC mencakup seluruh dunia dengan variasi kejadian yang besar dan prevalensi menurut tingkat perkembangannya. Penularannya pun berpola sekuler tanpa dipengaruhi musim dan letak geografis. Keadaan sosial-ekonomi merupakan hal penting pada kasus TBC. Pembelajaran sosiobiologis menyebutkan adanya korelasi positif antara TBC dengan kelas sosial yang mencakup pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan tekanan ekonomi. Terdapat pula aspek dinamis berupa kemajuan industrialisasi dan urbanisasi komunitas perdesaan. Selain itu, gaji rendah, eksploitasi tenaga fisik, penggangguran dan tidak adanya pengalaman sebelumnya tentang TBC dapat juga menjadi pertimbangan pencetus peningkatan epidemi penyakit ini. Pada lingkungan biologis dapat berwujud kontak langsung dan berulang-ulang dengan hewan ternak yang terinfeksi adalah berbahaya.



3) Faktor Host Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC. Terdapat 3 puncak kejadian dan kematian. (a) Paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua penderita, (b) Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan pertumbuhan, perkembangan fisik mental dan momen kehamilan pada wanita, (c) Puncak sedang pada usia lanjut. Dalam perkembangannya, infeksi pertama semakin tertunda, walau tetap tidak berlaku pada golongan dewasa, terutama pria dikarenakan penumpukan grup sampel usia ini atau tidak terlindung dari resiko infeksi. Pria lebih umum terkena, kecuali pada wanita dewasa muda yang diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi. Penduduk pribumi memiliki laju lebih tinggi daripada populasi yang mengenal TBC sejak lama, yang disebabkan rendahnya kondisi sosioekonomi. Aspek keturunan dan distribusi secara familial sulit terinterprestasikan dalam TBC, tetapi mungkin mengacu pada kondisi keluarga secara umum dan sugesti tentang pewarisan sifat resesif dalam keluarga. Kebiasaan sosial dan pribadi turut memainkan peranan dalam infeksi TBC, sejak timbulnya ketidakpedulian dan kelalaian. Status gizi, kondisi kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental dan tingkah laku sebagai mekanisme pertahanan umum juga berkepentingan besar. Imunitas spesifik dengan pengobatan infeksi primer memberikan beberapa resistensi, namun sulit untuk dievaluasi. B. Periode Pathogenesis (Interaksi Host-Agent) Interaksi terutama terjadi akibat masuknya Agent ke dalam saluran respirasi dan pencernaan Host. Contohnya Mycobacterium melewati barrier plasenta, kemudian berdormansi sepanjang hidup individu, sehingga tidak selalu berarti penyakit klinis. Infeksi berikut seluruhnya bergantung pada pengaruh interaksi dari Agent, Host dan Lingkungan.



Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lainlain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru. Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentukbentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen. Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber



produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC. Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC. C. Gejala Penyakit Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik. a) Gejala sistemik/umum



- Demam tidak terlalu tinggiyang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.



- Penurunan nafsu makan dan berat badan. - Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah). - Perasaan tidak enak (malaise), lemah. b) Gejala khusus



- Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.



- Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.



- Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.



- Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan ± 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah. D. Klasifikasi Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis memerlukan suatu definisi kasus yang memberikan batasan baku setiap klasifikasi dan tipe penderita. Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting dilakukan untuk menetapkan paduan OAT yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai. Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan definisi-kasus, yaitu: a) Organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru; b) Hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung: BTA positif atau BTA negatif; c) Riwayat pengobatan sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati; d) Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat. Tuberkulosis dibagi berdasarkan organ tubuh yang terkena yaitu: 1. Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, (tidak termasuk



pleura (selaput



paru).



Berdasarkan



hasil pemeriksaan dahak, TB paru



dibagi dalam: a. Tuberkulosis paru BTA (+) -



Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasil BTA positif.



-



Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukan gambaran tuberkulsis aktif.



b. Tuberkulosis paru BTA (-) Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasil BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukan gambaran tuberkulosis aktif.



TB paru BTA negatif rontgen positif



dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan yang luas, dan atau keadaan umum penderita buruk. 2. Tuberkulosis Ekstra Paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru. TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu: (Depkes RI, 2008) a. TBC ekstra paru ringan Misalnya: TB kelenjar limphe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal b. TBC ekstra paru berat Misalnya: meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin. Sedangkan berdasarkan riwayat pengobatan penderita, dapat digolongkan atas tipe : 1. Kasus Baru Penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian). 2. Kambuh (Relaps) Penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. 3. Pindahan (Transfer In) Penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah (Form TB. 09).



4. Lalai (Pengobatan setelah default/drop-out) Penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. 5. Gagal Penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau lebih; atau penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan. 6. Kronis Penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2. E. Penegakan Diaknosis Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:



- Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya - Pemeriksaan fisik - Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak) - Pemeriksaan patologi anatomi (PA) - Rontgen dada (thorax photo) - Uji tuberkulin



F. Tatalaksana Terapi



a) Kategori 1 (2HRZE/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Obat ini diberikan untuk: -



Penderita baru TB Paru BTA Positif.



-



Penderita baru TB Paru BTA negatif Röntgen Positif yang “sakit berat”



-



Penderita TB Ekstra Paru berat b) Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)



Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya pernah diobati yaitu: -



Penderita kambuh (relaps)



-



Penderita gagal (failure)



-



Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).



c) Kategori 3 (2HRZ/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk: -



Penderita baru BTA negatif dan röntgen positif sakit ringan,



-



Penderita TB ekstra paru ringan.



G. Tatalaksana Pada Kondisi Khusus a.



Kehamilan Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan



TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus



barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan



terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. b.



Ibu menyusui dan bayinya Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan



pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya. c.



Pasien TB pengguna kontrasepsi Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk



KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg). d.



Pasien TB dengan hepatitis akut Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,



ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E)



maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan. e.



Pasien TB dengan kelainan hati kronik Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum



pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE. f.



Pasien TB dengan gagal ginjal Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu



dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR. g.



Pasien TB dengan Diabetes Melitus Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat



oral anti diabetes (sulfonil urea)sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan antidiabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut. h.



Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa



pasien seperti: • Meningitis TB • TB milier dengan atau tanpa meningitis • TB dengan Pleuritis eksudativa • TB dengan Perikarditis konstriktiva.



Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan. i.



Indikasi operasi Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah: Untuk TB paru: •



Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.







Pasien dengan fistula bronkopleuradan empiemayang tidak dapat diatasi secara konservatif.







Pasien TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.



Untuk TB ekstra paru: Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai kelainan neurologik.



BAB II KASUS DAN PEMBAHASAN



DAFTAR PUSTAKA KEMENKES RI. 2020. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis.



Jakarta : Indonesia.