17 0 730 KB
Kasus PEMICU 3 Tn R usia 24 tahun adalah korban kecelakaan lalu lintas (KLL) yang diterima di Instalasi Gawat darurat tanggal 1 Januari 2021 pkl 03.00 dengan kondisi kesadaran spoor koma, E2M3V3, TD 70/50mmHg, N 115x/menit sinus ritme, P 28x/menit, perifer dingin, CRT > 3 detik, P battle sign negative, raccoon eye positif, otorrhea, renorrhea (kemerahan), ring sign positif, fraktur tibia dextra terbuka 1/3 distal dan perdarahan ++, foto rongent thorax normal, foto rongent kepala fraktur basis cranii. Pemeriksaan laboratorium tanggal 1 Januari 2021 pkl. 04.10 ditemukan Hb 10g/dl, Hematokrit 30%, eritrosit 4 juta, leukosit 12 ribu uL, trombosit 300 uL, GD 100 mg/dL; SGOT 40uL SGPT 45uL; ureum 40 mg/dL; creatinin 0,9 gr/dL; K 3,5 ; Na 115. Setelah penanganan selama 3 jam di IGD kondisi pasien: kesadaran somnolen, E3M3V3, TD 110/60 mmHg, HR 100 x/menit, P 20 x/menit. Pasien dilakukan operasi craniotomy dan pemasangan oriff pada tibia dextra. Pembedahan anestesi general berlangsung 3 jam dengan kondisi hemodinamik untabil: 60/40 mmHg-100/50 mmHg, HR 100-130x/menit, P dengan ventilator, perdarahan 600 cc, infus RL 2000 cc, tranfusi PRC 500 cc, urine 50 cc. pasien post operasi pindah ke ICU Pasien dipindahkan keruang ICU pada pukul 09.00 dengan kondisi terpasang ventilator, kesadaran DPO (dalam pengaruh obat), TD 90/40 mmHg, HR 115x/menit, saturasi 98%, drain pada kepala, infus RL 20 tts/menit, cairan residu NGT pasien merah segar. Instruksi post operasi knock down; terapi : Fentanyl 2 mcg/KgBB/hari, resofol 4 mg/KgBB/jam, triofusin 1000 1L/24 jam, levofloxacin 2x1 gr, manitol 3x 125 cc diberikan hingga hari ke 5 rawat (tapering off)), PRC 500 cc. Setelah 10 hari dirawat di ICU TD 100/60 – 130/80 mmHg, HR 90 – 110x/menit, P 28 – 40x/menit, S 390C, luka fraktur femur pus+. Pada tanggal 10 januari 2021 pkl 09.00 TD 110/60 mmHg,, Hr 120-130 x/menit, P35-40x/menit, AGD PH 7,30; PCO2 25 mmHg; PO2 110 mmHg; HCO3 15 mmol/L; BE+2, Sat O2 98%; pasien masih menggunakan ventilator pressure controlled CMV. Hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan kultur darah positif pseudomonas aeruginosa; Hb 11g/dl, Hematokrit 33%, eritrosit 6 juta, leukosit 20 ribu uL, trombosit 350 uL,
GD 100 mg/dL; SGOT 100 uL SGPT 120 uL; ureum 75 mg/dL; creatinin 2,0 gr/dL, PCT 10 microgram/L. STEP 1 1. Nurul Azmi : Pemasangan Orif Saffana : Pemasangan fiksasi pada pembedahan Leli : suatu tindakan operasi yang dilakukan ketika terjadi fraktur pada pasien 2. Eneng Erna : Racoon eye Dewi Safira : Lebam di daerah mata karena cedera tulang wajah Dewi Andini : Biasanya menyerupai mata panda, merah kehitaman 3. Dewi Andini : Otorrhea Nurul Azmi : Telinga yang mengeluarkan cairan Hasby : apatadi? Selvi Dianasari : Discharge telinga atau cairan dari telinga 4. Khansaa Adzra : Pseudomonas aeruginosa Eneng Erna : Suatu bakteri yang dapat menyebabkan infeksii Leli : Infeksi nasokomial yang biasa terjadi di rumah sakit 5. Selvi Dianasari : Post operasi knock down Khansaa Adzra : Teknik untuk mendukung jalan nafas & memastikan tekanan darah, denyut jantung, 02 dalam darah dipertahankan di tingkat normal 6. Hasby : Craniotomi Firda Sundusun R : Prosedur penanganan gangguan yang terjadi di bagian kepala yang disebabkan karena cedera untuk memperbaiki perdarahan Selvi Dianasari : Proses pembedahan otak yg dilakukan dengan membuka tulang tengkorak 7. Leli : Triofusin dan Levofloxacin
Khansaa : Triofusin untuk memenuhi kebutuhan total dan parsial secara parenteral
Eneng Erna : Levofloxacin merupakan obat antibiotik untuk meredakan infeksi
Nurul Azmi : Infeksi bakteri
8. Dewi Safira : Ventilator pressure controlled CMV
Dewi Andini : Sebuah ventilator untuk membantu pasien yang mengalami gangguan pada system pernapasan
Firda Sundusun R : Jenis mode ventilator
9. Aprilia : Ring sign positif
Hasby : Nyeri pada kuadran bawah?
10. Dewi Andini : P battle sign negative
Saffana : Memar di daerah tengkorak karena patah tulang
Firda Sundusun R : Memar di daerah belakang telinga
11. Firda Sundusun R : Tapering off
Leli : Penurunan dosis obat yang diberikan kepada pasien secara bertahap
STEP 2 1. Nurul Azmi : Pertolongan pertama untuk orang awam yang bisa dilakukan saat melihat kecelakaan lalu lintas itu seperti apa? 2. Khansaa : Apa saja komplikasi yang terjadi pada operasi kraniotomi? 3. Leli : Sebagai seorang perawat, perawatan yang diberikan kepada pasien yang baru melakukan operasi craniotomy dan dan pemasangan oriff? 4. Eneng Erna : Kondisi seperti apa yang mengindikasikan sebuah obat harus dilakukan tapering off? 5. Saffana : Bagaimana penatalaksanaan fraktur crani dan fraktur Tibia pada kegawatdaruratan kecelakaan pada kasus? 6. Dewi Safira : Apa saja indikasi pasien yang akan dilakukan operasi craniotomy dan pemasangan oriff pada tibia dextra? 7. Aprilia : Kenapa pada hasil pemeriksaan lab kultur darah bisa ditemukan bakteri pseudomonas aeruginosa mengapa bakteri tersebut bisa ditemukan didalam darah pasien? 8. Dewi Andini : Bakteri pseudomonas aeruginosa dapat menyebabkan penyakit apa? apakah dapat memperparah kondisi pasien? 9. Eneng Erna : Didalam kasus Tn. R mengalami fraktur Tibia dextra terbuka dan fraktur crani, sebagi perawat, ketika kita menemukan pasien seperti itu di tempat kejadian prinsip apa yang bisa diterapkan untuk mengurangi risiko terjadinya perparahan dari kondisi pasien tersebut?
10. Hasby : Asuhan keperawatan dari kasus tersebut? 11. Leli : Penyebab TD pasien menurun setelah dilakukan tindakan operasi craniotomy? 12. Selvi : Apa penyebab Tn. R sampai mengalami kesadaran spoor koma ? 13. Khansaa : Pada kasus pasien saat pertama kali ditemukan TD 70/50 dan pernapasan 115x/menit ini ga normal. Lalu bagaimana tindakan pertama perawat dalam menangani pasien spt ini? 14. Dewi Andini : Pemantauan apa saja yang dilakukan perawat pada pasien dengan fraktur tibia dan fraktur basis krani? 15. Firda Sundusun R : Gangguan yang terjadi pada pasien di sistem apa saja? 16. Hasby : Peran perawat dalam menangani pasien dengan kesadaran DPO? 17. Aprilia : Indikasi apa yang dilakukan jika pasien mendapatkan terapi transfusi PRC? 18. Firda Sundusun R : Kontraindikasi dari pemasangan ventilator CMV? 19. Eneng Erna : Kenapa di dalam kasus cairan residu NGT pasien berwarna segar, penyebabnya apa? 20. Aprilia : Pemeriksaan SGOT dan SGPT fungsinya untuk apa? 21. Selvi Dianasari : Apakah kondisi Tn.R setelah dirawat di ICU selama 10 hari apakah membaik? ditandai dengan apa? 22. Dewi Safira : Bagaimana mkbilisasi pasien ketika mengalami fraktur di rs? 23. Saffana : Pada kasus tertulis saturasi oksigen pasien sudah 98%, tetapi kenapa pasien masih terpasang ventilator? STEP 3 1. Firda Sundusun R : Menghubungi ambulance atau rumah sakit terdekat Dewi Andini : Meminta pertolongan kepada orang yang lebih kompeten dalam bidang kesehatan (nakes) agar meminimalisir keparahan yang dialami pasien Leli : Sembari menunggu ambulan datang bisa dengan menutup luka korban terlebih dahulu Hasby : Hal pertama yang harus Anda lakukan adalah bersikap tenang dan memastikan bahwa diri Anda aman terlebih dahulu. Setelah diri Anda aman 2. Nurul Azmi : Risiko infeksi, perdarahan/pembekuan darah, reaksi alergi terhadap anestesi yg dilakukan
Dewi Andini : Berisiko mengalami kerusakan pada syaraf otak Selvi Dianasari : Karena pembedahan tulang tengkorak maka banyak udara yang masuk sehingga dapat menyebabkan emboli Firda Sundusun R : Kerusakan saraf yang nantinya bisa terjadi penurunan fungsi atau kehilangan fungsi dari indera serta kerusakan pada otak Leli : Komplikasi yang mungkin terjadi pembengkakan pada bagian otak 3. Eneng Erna : Edukasi perawatan luka operasi 4. Saffana : Kondisi seperti obat jangka panjang dengan dosis tinggi Dewi Andini : Mengurangi efek samping dari obat tersebut Firda Sundusun R : Karena keadaan pasien sudah lebih baik jadi dapat diberikan pengurangan dosis secara bertahap 5. Selvi : Ketika masih di luar rumah sakit, fraktu terbuka pada tibia bisa dilakukan pembidaian untuk mengurangi risiko perdarahan Firda Sundusun R : Untuk mengurangi dislokasi fraktur yang lebih parah jadi harus segera dibidai untuk fraktur tibia. Untuk fraktur krani mungkin bisa dilakukan bidai untuk mengurangi perdarahan terlebih dahulu dan segera dibawa ke rumah sakit agar dapat penanganan dengan cepat dan tepat Khansaa : Setelah di RS penanganan yang pertama dilakukan yaitu untuk keadaan yang mengancam nyawa, jadi dicek misalnya terdapat sumbatan jalan nafas, henti nafas, atau henti jantung karna pasien faktur cranial 6. Nurul
Azmi
:
Indikasi
kraniotomi:
tumor
otak,
infeksi
otak,
abses
otak
indikasi ORIF: fraktur yg tidak stabil & jika dilakukan terapi lain hasilnya itu kurang maksimal Leli : Pembengkakan pada otak. perdarahan pada otak, pembekuan darah pada otak, dan cedera pada otak maka bisa dilakukan tindakan operasi craniotomy Hasby : Proses pembedahan otak yang dilakukan dengan membuka tulang tengkorak untuk memperbaiki gangguan yang terjadi. 7. Dewi Andini : Dari paparan pasien dengan perawat yang melakukan kontak langsung dengan pasien lain. sehingga terjadi paparan bakteri tsb Dewi Safira : Pseudomonas aeruginosa tersebar luas di alam dan biasanya ditemukan pada lingkungan yang lembab di rumah sakit. Bakteri tersebut membentuk koloni yang
bersifat saprofit pada manusia yang sehat, tetapi menyebabkan penyakit pada manusia dengan pertahanan tubuh yang tidak adekuat. Kemungkinan bakteri menjadi patogenik hanya jika mencapai daerah yang tidak memiliki pertahanan normal, misalnya membran mukosa dan kulit yang terluka oleh cedera jaringan langsung, saat penggunaan kateter urin atau intravena. 8. Khansaa : Bakteri pseudomonas aeruginosa dapat menyebabkan penyakit dijaringan pada saluran pernapasan, mata, saluran kemih dan kulit Eneng Erna : Pseudomonas aeruginosa bisa menyebabkan, pneumonia, infeksi tulang dan otot, endokarditis, infeksi system saraf pusat, dan infeksi jaringan kulit. hal itu bisa memperparah kondisi pasien dimana pasien berisiko mengalami perburukan pada tulang dan ototnya bisa infeksi, begitupun pada sistem saraf pusat dan sistem lainnya. 9. Aprilia : Hal pertama yang dilakukan pada pasien fraktur kranial adalah pastikan dulu 3A aman diri, aman lingkungan dan aman pasien. Nah setelah itu cek ABCD. Airway usahakan jalan napas agar stabil. Breathing pastikan pasien selalu bernafas spontan atau sesak dengan memeriksa saturasi oksigennya pertahankan minimal 95%. lalu selanjutnya circulation pantau tekanan darah, nadi dan denyut jantung pasien dan terakhir disabbility dengan memeriksa kesadaran pasien dengan memberi rangsangan nyeri, pemeriksaan pupil dan juga reflek patologis. Sementara untuk fraktur tibia terbuka nya pertolongan pertamanya adalah minimalisir gerakan pada pasien yang dapat memperburuk keadaan, bersihkan luka dengan air, alkhol atau antiseptik yang ada di sekitar lalu panggil ambulans sembari menunggu ambulans datang sebaiknya buat bidai untuk memudahkan mobilisasi pasien 10. Firda : Risiko perdarahan dan Risiko infeksi Selvi : Risiko syok Dewi Andini : Gangguan pertukaran gas Leli : Gangguan ventilasi spontan Nurul Azmi : Gangguan perfusi serebral, hipovolemia, bersihan jalan napas tidak efektif 11. Selvi : Karena dilakukan pembedahan sehingga banyak mengeluarkan darah sampai 600 cc gg membuat TD Tn.R tidak stabil
12. Eneng Erna : Karena didalam kasus pasien mengalami fraktur basis crani, terjadi perdarahan, serta hemodinamiknya pun tidak stabil, hal itu bisa menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran pada pasien. 13. Dewi Andini : Perdarahan harus segera ditangani 14. Firda : Pemantauan rasa nyeri dari pasien, jika sudah lebih baik bisa dibantu untuk latihan mobilisasi. Lalu, bisa diajak ngobrol juga apakah responnya itu nyambung atau tidak karena takut adanya gangguan pada sarafnya 15. Leli : Sistem saraf dan tulang pasien Nurul Azmi : Muskoloskeletal Eneng Erna : Sirkulasi dan pernapasan 16. Nurul Azmi : Perawat wajib memastikan bahwa kebutuhan terapi pasien terpenuhi dan tepat sasaran 17. Firda : Anemia tetapi dipantau bukan hanya dari hemoglobin dan hematokrit tapi juga dari kondisi klinis pasien Hasbi : Setiap proses transfusi mungkin membutuhkan komponen darah yang berbeda tergantung kondisinya. 18. Leli : Kontraindikasi dengan gangguan napas seperti hipoksia berat 19. Aprilia : Penyebab keluar cairan residu ngt berwarna darah merah segar karena reaksi dari transfusi darah atau PRC tersebut atau karena adanya infeksi di saluran pemasangan NGT atau karena adanya perdarahan di gastritis 20. Firda : SGOT dan SGPT pada sistem pencernaan untuk membantu mencerna protein dalam tubuh Eneng Erna : Untuk memeriksa apakah ada kerusakan pada hati atau tidak, terlebih pasien didalam kasus mengalami syok yg berisiko terjadinya kerusakan pada hati 21. Dewi Andini : Belum membaik, karena masih banyak data yang masih belum normal tapi ada beberapa yang sudah membaik jug 22. Saffana : Pemasangan kateter, alat bantu jalan Firda : Perawat memfasilitasi untuk melatih pasien dalam mobilisasi, bisa dimulai dengan miring kanan, kiri, lalu duduk, dsb. 23. Firda : Masih ada pertimbangan dari data yang lain bukan cuma dari saturasi oksigen Aprilia : Pernapasan pasien masih tinggi 25-40x/menit
STEP 4 PETA KONSEP
HIPOTESA
Tn R usia 24 tahun korban kll, masuk ke igd 1 januari pukul 3 dengan fraktur tibia, kondisi kesadara spoor koma, td rendah, nadi meningkat, pernafasan cepat, crt lebih dari 3 detik, terdapat cairan yang keluar dari telinga, untuk hasil labaratoriumnya Hb 10g/dl, Hematokrit 30%, eritrosit 4 juta, leukosit 12 ribu uL, trombosit 300 uL, GD 100 mg/dL; SGOT 40uL SGPT 45uL; ureum 40 mg/dL; creatinin 0,9 gr/dL; K 3,5 ; Na 115. Setelah 3 jam di igd dilakukan operasi craniotomy dan pemasangan oriff pada tibia dextra. Dengan indikator cedera kepala. Setelah 10 hari dirawat di ICU TD 100/60 – 130/80 mmHg, HR 90 – 110x/menit, P 28 – 40x/menit, S 390C, luka fraktur femur pus+. Pada tanggal 10 januari 2021 pkl 09.00 TD 110/60 mmHg,, Hr 120-130 x/menit, P35-40x/menit, AGD PH 7,30; PCO2 25 mmHg; PO2 110 mmHg; HCO3 15 mmol/L; BE+2, Sat O2 98%; pasien masih menggunakan ventilator pressure controlled CMV. Hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan kultur darah positif pseudomonas aeruginosa; Hb 11g/dl, Hematokrit 33%, eritrosit 6 juta, leukosit 20 ribu uL, trombosit 350 uL, GD 100 mg/dL; SGOT 100 uL SGPT 120 uL; ureum 75 mg/dL; creatinin 2,0 gr/dL, PCT 10 microgram/L. Kemungkinan besar pasien mengalami infeksi. STEP 5 1. Kegawatdaruratan fraktur tibia dan basis krani a. Definisi Fraktur tibia adalah terputusnya hubungan tulang tibia yang disebabkan oleh cedera dari trauma langsung yang mengenai kaki. Pada pasien fraktur harus diusahakan kembali keaktivitas biasa sesegera mungkin. Penyembuhan fraktur dan pengembalian kekuatan penuh dan mobilitas mungkin memerlukan waktu sampai berbulan-bulan. Masalah yang sering muncul pada pasien fraktur adalah nyeri, hambatan mobillitas fisik dan resiko infeksi. Banyaknya kasus fraktur di sebabkan karena cidera. Cidera terjadi karena kecelakaan lalu lintas di jalan raya dan menyebabkan kematian terbanyak. (Muttaqin, 2013). Fraktur basis cranii yaitu fraktur yang meluas melalui dasar fossa kranial anterior, tengah, atau posterior yang terjadi pada sekitar 7% hingga 16% dari cedera kepala nonperforans, disebabkan oleh trauma dengan kecepatan yang relatif tinggi, dan paling sering disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor berkecepatan tinggi. Cedera pejalan kaki, jatuh, dan penyerangan adalah penyebab terkait lainnya.
(Angelika, 2019) b.Etiologi Fraktur tibia, Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang menyebabkan suatu retakan sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot dan jaringan. Kerusakan otot dan jaringan akan menyebabkan perdarahan, edema, dan hematoma. Lokasi retak mungkin hanya retakan pada tulang, tanpa memindahkan tulang manapun. Fraktur yang tidak terjadi disepanjang tulang dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna sedangkan fraktur yang terjadi pada semua tulang yang patah dikenal sebagai fraktur lengkap. (Digiulio, Jackson dan Keogh, 2014). Fraktur basis cranii, etiologi fraktur basis cranii dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang terjadi akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunder yaitu cedera yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea / hipotensi sistemik. Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi. (Greenberg, 2016) b. Manifestasi Fraktur basis crani
Raccoon’s eyes (memar disekitar mata)
Battle’s sign (memar pada daerah belakang telinga)
Rhinorrhea (hidung berair/otorrhea CSF (keluarnya cairan ditelinga)
Perdarahan rongga tympani, laserasi kanalis auditorius eksternal (Greenberg, 2016)
Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrogade dan amnesia pascatraumatik. Gejala tergantung letak frakturnya: 1) Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata dikelilingi lingkaran “biru” (Brill Hematom atau Racoon’s Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia. 2) Fraktur fossa media Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt). 3) Fraktur fossa posterior Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas foramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat mati seketika (Sjamsuhidayat, 2010) Fraktur tibia terbuka Tanda dan gejala terjadinya fraktur antara lain: A). Deformitas Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas rotasional, atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki deformitas yang nyata. B). Pembengkakan Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar. C). Memar Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur. D). Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur. E). Nyeri Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi fraktur, intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-masing klien. Nyeri biasanya terus-menerus , meningkat jika fraktur dimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya. F). Ketegangan Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi G). Kehilangan fungsi Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera saraf. H). Gerakan abnormal dan krepitasi Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau gesekan antar fragmen fraktur. I). Perubahan neurovaskular Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur J). Syok Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau tersembunyi dapat menyebabkan syok (Black dan Hawks , 2014)
Adanya nyeri dan deformitas tampak jelas. Yang perlu diperhatikan adalah adanya pembengkakkan jaringan lunak pada tempat fraktur. Pada fraktur tibia dapat terjadi kerusakan nervus common peroneal dan cabang-cabangnya seperti nervus tibial posterior, nervus sural dan nervus saphenous. Fraktur terbuka adalah suatu jenis kondisi patah tulang dengan adanya luka pada daerah yang patah sehingga bagian tulang berhubungan dengan udara luar, biasanya juga disertai adanya pendarahan yang banyak. Tulang yang patah juga ikut menonjol keluar dari permukaan kulit, namun tidak semua fraktur terbuka membuat tulang menonjol keluar (Wiarto, 2017). Patah tulang terbuka dapat mudah diidentifikasi dari adanya luka di daerah patahan tulang, selain itu juga dapat dilihat adanya darah yang keluar dari luka berwarna agak kehitaman (darah dari intrameduler), tampak juga adanya fat bubble sign, yaitu cairan dari intrameduler yang mengandung fat globule sehingga berwarna kuning keemasan seperti minyak (Soloman, dkk. 2010 dalam Hidayati, dkk. 2018) c. Patofisiologi Fraktur Basis Cranii Adanya cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada paremkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler. Patofisiologi cedera kepala dapat di golongkan menjadi 2 yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat benturan terjadi. Kerusakan primer ini dapat bersifat (fokal) lokal, maupun difus. Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian tertentu saja dari kepala, sedangkan bagian relative tidak terganggu. Kerusakan difus yaitu kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak dan umumnya bersifat makroskopis. Cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer, misalnya akibat hipoksemia, iskemia dan perdarahan. Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma, misalnya epidoral. Hematom yaitu adanya darah di ruang epidural diantara periosteum tengkorak dengan durameter, subdural hematoma akibat
berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan sub arakhnoit dan intra cerebal hematom adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan teriadi geiala-geiala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml /menit/100 gr jaringan otak, yang merupakan 15% dari cardiac output. Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar. Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula; atau efek dari benturan pada kepala (gelombang tekanan yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak). Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai (Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera
batang otak disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak. Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula (Khlilullah, 2019). (Ishman & Friedland, 2014) Fraktur Tibia Patofisiologi fraktur adalah jika tulang mengalami fraktur, maka periosteum pembuluh darah di korteks, marrow dan jaringan disekitarnya rusak. Terjadi pendarahan dan kerusakan jaringan di ujung tulang. Terbentuklah hematoma di canal medulla. Pembuluhpembuluh kapiler dan jaringan ikat tumbuh ke dalamnya, menyerap hematoma tersebut dan menggantikannya. Jaringan ikat berisi sel-sel tulang (osteoblast) yang berasal dari periosteum. Sel ini menghasilkan endapan garam kalsium dalam jaringan ikat yang disebut callus. Callus kemudian secara bertahap dibentuk menjadi profil tulang melalui pengeluaran kelebihannya oleh osteoclast yaitu sel yang melarutkan tulang. Pada permulaan akan terjadi perdarahan disekitar patah tulang, yang disebabkan oleh terputusnya pembuluh darah pada tulang dan periost, fase ini disebut fase hematoma. Hematoma ini kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dengan kapiler didalamnya. Jaringan ini yang menyebabkan fragmen tulang-tulang saling menempel, fase ini disebut fase jaringan fibrosis dan jaringan yang menempelkan fragmen patah tulang tersebut dinamakan kalus fibrosa. Kedalam hematoma dan jaringan fibrosis ini kemudian juga tumbuh sel jaringan mesenkim yang bersifat osteogenik. Sel ini akan berubah menjadi sel kondroblast yang membentuk kondroid yang merupakan bahan dasar tulang rawan.
Kondroid dan osteoid ini mula-mula tidak mengandung kalsium hingga tidak terlihat pada foto rontgen. Pada tahap selanjutnya terjadi penulangan atau osifikasi. Kesemuanya ini menyebabkan kalus fibrosa berubah menjadi kalus tulang. Jika satu tulang sudah patah, jaringan lunak sekitarnya juga rusak, periosteum terpisah dari tulang dan terjadi pendarahan yang cukup berat. Bekuan darah terbentuk pada daerah tersebut. Bekuan akan membentuk jaringan granulasi didalamnya dengan sel-sel pembentuk tulang primitive (osteogenik) berdiferensiasi menjadi chondroblast dan osteoblast. Chondroblast akan mensekresi fosfat yang merangsang deposisi kalsium. Terbentuknya lapisan tebal (callus) di sekitar lokasi fraktur. Lapisan ini terus menebal dan meluas, bertemu dengan lapisan callus dari fragmen satunya dan menyatu. Penyatuan dari kedua fragmen (penyembuhan fraktur) terus berlanjut dengan terbentuknya trabekula dan osteoblast yang melekat pada tulang dan meluar menyebrangi lokasi fraktur. Penyatuan tulang provisional ini akan menjalani transformasi metaplastik untuk menjadi lebih kuat dan lebih terorganisasi. Callus tulang akan mengalami remodeling untuk mengambil bentuk tulang yang utuh seperti bentuk osteoblast tulang baru dan osteoblast akan menyeingkirkan bagian yang rusak dan tulang sementara. (Carter, 2016) d. Penatalaksanaan Konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu: rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi. 1. Rekognisi Pengenalan Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. 2. Reduksi/Manipulasi/Reposisi Yaitu upaya untuk memanipulasi fragmen tulang schingga kembali seperti semula secara optimal. Metode reduksi terbagi atas a. Reduksi Tertutup : dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan). Ektermitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan sementara gips, bidai atau alat lain. Alat imobilisasi akan menjaga reduk si dan menstabilkan ekstemitas untuk penyembuhan tukang, Sinar-X harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
b. Traksi ; alat yang dapat digunakan menarik anggota tubuh yang fraktur untuk meluruskan tulang. Beratnya traksi disesuaikan dengan spaasme otot yang terjadi. • Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan menepelkan plester langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membantu menimbulkan spasme otot pda bagian yang ciden dan biasanya digunakan untuk jangku pendek (48-72jam). • Skeletal traksi adalah traksi yang digurakan untuk meluruskan tulang yang cidera dan sendi panjang untuk mempertahankan traksi, memutuskan pins (kawat) kedalam tulang. • Maintenance traksi menupakan lanjutan dari traksi, kekuatan lanjutan dapat diberikan secara langsung pada tulang dengan kawat atau pins. c. Reduksi Terbuka : dilakukan dengan pembedahan fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interma dalam bentuk pin, kawat, sckrup. plat paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang • OREF (Open Reduction Ekstemal Fixation) adalah reduksi terbuka dengan fiksasi internal dimana tulang di transfiksasikan di atas dan di bawahnya fraktur, sekrup atau kawat ditransfiksi dibagian proksimal dan distal kemudian dihubungkan satu sama lain dengan suatu batang lain. Fiksasi eksternal ini digunakan utnuk mengobati fraktur terbuka dengan kenusakan jaringan lunak. Alat ini memberik an dukungan yang stabil untuk fraktur komunitif (hancur atau remuk). Pin yang telah terpasang dijaga agar tetap terjaga posisinya, kemudian dikaitkan pada kerangkanya. Fiksasi ini memberikan rasa nyaman bagi pasien yang mengalami kerusakan fragmen tulang. • ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah metode penatalaksanaan patah tulang dengan cara pembedahan reduksi terbuka dan fiksasi internal dimana dikakukan insisi pada tempat yang mengalami cedera dan ditemukan sepanjang bidang anatomic temapt yang mengalami fraktur. 3. Retensi/Immobilisasi Merupakan upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang hanus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaan yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi ekstema atau interna. Metode fiksasi
eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu. pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. 4. Rehabilitasi Bertujuan untuk mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan memungk inkan, harus mempertahankan kekuatan
anggota
tubuh
dan
mobilisasi.
segera
dimulai
latihan-latihan
untuk
mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi. (Rasjad, 2012) Penatalaksanaan Fraktur Basis Cranii 1. Operasi Indikasi Pembedahan: • Kebocoran LCS post trauma yang disertai dengan meningitis • Fraktur transversal Os petrosus yang melibatkan optic capsule • Fraktur tulang temporal yang mengakibatkan lesi total otot wajah • Trauma balistik pada temoral yang mengakibatkan kerusakan vaskular • Defek luas dengan herniasi otak kedalam sinus paranasal, Pneumocephalus , atau kebocoran LCS lebih dari lima hari Tindakan bedah yang dilakukan: • Craniotomy • Duraplasty • Cranioplasty 2. Konservatif Perawatan non operatif di ruangan meliputi: a. Observasi GCS, pupil, lateralisasi, dan tanda vital b. Optimalisasi, stabilisasi faal vital, menjaga optimalnya suplai O2ke otak c. Airway: menghisap secret/darah/muntahan bila diperlukan, trakheostomi. Penderita COB dengan lesi yang tidak memerlukan evakuasi dan penderita dengan gangguan analisa gas darah dirawat dalam respirator d. Mempertahankan perfusi otak, memposisikan kepala head up sekitar 30 derajat dengan menghindari fleksi leher
e. Kateter buli-buli diperlukan untuk mencatat produksi urine, mencegah retensi urine, mencegah tempat tidur basah (dengan demikian mengurangi risiko dekubitus) f. Head Up 302 g. Berikan cairan secukupnya (normal saline) untuk resusitasi korban agar tetap normovolemia, atasi hipotensi yang terjadi dan berikan transfuse darah jika Hb kurang dari 10 gr/dl. h. Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain, GCS dan pemeriksaan batang otak secara periodik. i. Berikan obat-obatan analgetik (misal: acetaminophen, ibuprofen untuk nyeri ringan dan sedang) bila didapatkan keluhan nyeri pada penderita j. Berikan obat-obatan anti muntah (misal: metoclopramide atau ondansentron) dan anti ulkus gastritis H2 bloker (misal: ranitidin atau omeprazole) jika penderita Muntah k. Berikan Cairan hipertonik (mannitol 20%), bila tampak edema atau cedera yang tidak operable pada CT Scan. Manitol dapat diberikan sebagai bolus 0,5 – 1 g/kg. BB pada keadaan tertentu, atau dosis kecil berulang, misalnya (4-6) x 100 cc manitol 20% dalam 24 jam. Penghentian secara gradual. l. Berikan Phenytoin (PHT) profilaksis pada pasien dengan resiko tinggi kejang dengan dosis 300 mg/hari atau 5-10 mg kg BB/hari selama 10 hari. Bila telah terjadi kejang, PHT diberikan sebagai terapi. m. Antibiotik Profilaksis e. Komplikasi Komplikasi Fraktur Basis Cranii dan Fraktur Tibia Beberapa komplikasi dari fraktur basis cranii menurut (Smelzer, 2007):
Infeksi Infeksi dapat menyebar langsung dari luka terbuka akibat fraktur/melalui hidung (setelah fraktur tulang ethmoid) dan bisa juga melalui sinus lain (misal mastoid)
Kebocoran CSF Mempengaruhi sekitar 10% dari fraktur cranium, terutama basis cranium. Dapat didiagnosis secara klinis dengan drainase cairan jelas/serosanguineous dari telinga, hidung atau patah tulang terbuka. Cairan dapat diuji menggunakan beta-2 transferin dengan cara elektroforesis immunofixation untuk mengetahui ada tidaknya CSF.
Endoskopi intranasal dapat digunakan untuk menurunkan tekanan intracranial dan untuk mendapatkan CSF untuk memantau komplikasi meningitis.
Meningitis Meningitis dilaporkan dalam 0,7-15,3% kasus fraktur cranium. Faktor risiko meliputi adanya fraktur terbuka, kontaminasi kotor dan keterlambatan dalam pengobatan. Prompi debridemen dan penutupan luka terbuka akan meminimalkan risiko komplikasi infeksi.
Perdarahan Intracranial Biasanya muncul dengan gejala hilangnya kesadaran/menurun, kejang, sakit kepala, kelemahan/perubahan sensoris atau perubahan dalam kognitif, berbicara atau penglihatan. Hasil CT Scan akan menunjukkan pengumpulan cairan subdural/epidural.
Deficit Neurologis Fraktur basilar dapat merusak saraf kranial sehinga dapat terjadi deficit pendengaran, kelumpuhan wajah (VII) atau mati rasa (V) dan nystagmus. Fraktur dasar tengkorak dapat menyebabkan ecchymosis pada tonjolan mastoid pada tulang temporal (Battle’s Sign), perdarahan konjungtiva/ekimosis periorbital (racoon eyes)
Beberapa komplikasi dari fraktur tibia Komplikasi pada fraktur tibia adalah cedera pada pembuluh darah, cedera saraf terutama n. peroneus, pembengkakan yang menetap, pertautan lambat, pseudoartrosis dan kekakuan sendi pergelangan kaki. Sindrom kompartmen sering ditemukan pada fraktur tungkai bawah tahap dini. Tanda dan gejala 5 P harus diperhatikan siang dan malam pada hari pertarna pasea cedera atau pasca bedah, yaitu nyeri (pain) dikeadaan istirahat, parestesia karena rangsangan saraf perasa, pucat karena iskemia, paresis atau paralisis karena gangguan saraf motorik, dan denyut nadi (pulse) tidak dapat diraba lagi. Selain itu didapatkan peninggian tekanan intrakornpartmen yang dapat diukur (pressure), gangguan perasaan yang nyata pada pemeriksaan yang membandingkan dua titik (points) dan kontraktur jari dalam posisi fleksi karena kontraktur otot fleksor jari. Operasi fasiotomi ketiga kompartmen tungkai bawah merupakan operasi darurat yang harus dikerjakan segera setelah diagnosis ditegakkan sebab setelah kematian otot tidak ada kemungkinan fungsinya pulih kembali. (Smeltzer, S, & Bare. 2011)
2. Operasi kraniotomi dan pemasangan oriff a. Indikasi indikasi dilakukannya craniotomy umumnya adalah untuk menangani: • Tumor otak • Infeksi otak • Abses otak • Pembengkakan (edema) otak • Perdarahan dalam tulang tengkorak • Hematoma atau terdapat bekuan darah • Aneurisma atau atriovenous malformation • Cedera otak traumatik dan benda asing pada kepala, contohnya peluru • Penanganan hidrosefalus, yakni pemasangan shunt ke dalam ventrikel otak agar cairan otak yang berlebihan dapat dikeluarkan • Pemasangan deep brain stimulator • Pemasangan monitor tekanan intrakranial • Biopsi jaringan otak • Drainase bekuan darah • Pemasangan endoskopi untuk mengangkat tumor otak • Trauma kepala • Stroke hemoragik (Satya, 2013) Indikasi dilakukan ORIF 1. Fraktur yang tidak dapat direduksi kecuali dengan operasi. 2. Fraktur yang tidak stabil secara bawaan dan cenderung mengalami pergeseran kembali setelah reduksi, selain itu juga fraktur yang cenderung ditarik terpisah oleh kerja otot. 3. Fraktur yang penyatuannya kurang sempurna dan perlahan-lahan terutama fraktur pada leher femur. 4. Fraktur patologik dimana penyakit tulang dapat mencegah penyembuhan. 5. Fraktur multiple, bila fiksasi dini mengurangi resiko komplikasi umum dan kegagalan organ pada bagian system.
6. Fraktur pada pasien yang sulit perawatannya. Metode yang digunakan dalam melakukan fiksasi interna harus sesuai keadaan sekrup kompresi antar fragmen, plat dan sekrup: paling sesuai untuk lengan bawah, paku intra medulla: untuk tulang panjang yang lebih besar, paku pengikat sambungan dan sekrup: ideal untuk femur dan tibia, sekrup kompresi dinamis dan plat: ideal untuk ujung proximal dan distal femur. (Marrelli T.M, 2017) Kontraindikasi Kontraindikasi
tindakan
pembedahan
ORIF
:
1) Tulang osteoporotik terlalu rapuh menerima implan 2) Jaringan lunak diatasnya berkualitas buruk 3) Terdapat infeksi 4) Adanya fraktur comminuted yang parah yang menghambat rekonstruksi. 5) Pasien dengan penurunan kesadaran 6) Pasien dengan fraktur yang parah dan belum ada penyatuan tulang 7) Pasien yang mengalami kelemahan (malaise) (Smeltzer, C. S., & Bare, B. G, 2010) b. Efek samping Efek Samping Kraniotomi Nyeri pasca kraniotomi merupakan komplikasi berulang dari prosedur bedah saraf yang sulit untuk ditangani. Perbedaan lokasi dan teknik bedah dapat menyebabkan nyeri pasca kraniotomi dengan intensitas yang berbeda. Manajemen nyeri yang tidak adekuat mengakibatkan pasien mengalami rasa sakit (seringkali parah) terus menerus terutama pada jam pertama pasca operasi yang dapat terjadi berkepanjangan hingga hari pertama atau kedua pasca operasi. Selain itu, beberapa komplikasi yang dapat terjadi seperti agitasi, muntah, maupun hipertensi dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan berpotensi mengakibatkan perdarahan intrakranial sehingga outcome pasien menjadi tidak baik, nyeri kronik dan masa rawat inap yang lebih lama. Di sisi lain, upaya pengendalian nyeri berlebihan dapat disertai dengan sedasi berlebihan yang menyamarkan defisit neurologis onset baru dan menghambat pemantauan respons
neurologis. Respirasi yang tertekan dapat menyebabkan hiperkarbia yang meningkatkan volume darah otak berakibat meningkatnya tekanan intrakranial (TIK). (Pratama dkk, 2020). Efek Samping ORIF 1) Setiap anastesi dan operasi mempunyai resiko komplikasi bahkan kematian akibat dari tindakan tersebut. 2) Penanganan operatif memperbesar kemungkinan infeksi dibandingkan pemasangan gips atau traksi. 3) Penggunaan stabilisasi logam interna memungkinkan kegagalan alat itu sendiri. 4) Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak, dan struktur yang sebelumnya tak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi. (Smeltzer, C. S., & Bare, B. G, 2010) 3. Patofisiologi sepsis Patofisiologi Sepsis merupakan rantai peristiwa yang sangat kompleks yang melibatkan proses inflamasi dan anti-inflamasi, reaksi humoral dan seluler serta abnormalitas sirkulasi. Respons imun inang terhadap sepsis terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah respons hiperinflamasi awal, yang disebut sebagai badai sitokin, di mana sistem kekebalan tubuh bawaan melepaskan sitokin proinflamasi berlebih untuk memerangi infeksi, sementara juga mengaktifkan sistem imun adaptif untuk memperkuat respons imun. Respons awal ini yang kemudian diikuti oleh compensatory anti-inflammatory response syndrome (CARS), yang didefinisikan sebagai penonaktifan sistem imun yang bertujuan memulihkan fungsi homeostasis dari kondisi inflamasi yang berlebihan. Proses ini dapat menyebabkan gangguan regulasi sehingga terjadi penekanan sistim imun yang persisten dan risiko terjadinya infeksi berulang. Data baru-baru ini menunjukkan bahwa kedua aspek dari tahap pro-inflamasi dan antiinflamasi dari respons imun inang pada sepsis sering terjadi secara bersamaan. Respons inflamasi diawali oleh interaksi antara struktur molekul dari patogen atau pathogen-associated molecular patterns (PAMP) yang diekspresikan oleh patogen dengan pola reseptor pengenalan atau pattern recognition receptors (PRR) yang diekspresikan oleh sel-sel inang. PRR dapat ditemukan pada permukaan sel (toll-like receptors [TLRS] dan C-type lectin receptors (CLRs]), di dalam endosom (TLRs), atau di dalam sitoplasma (retinoic acid inducible gene 1-
like receptors [RLRs] dan nucleotide-binding oligomerization domain-like receptors [NLRs]). Konsekuensi dari inflamasi yang berlebihan adalah kerusakan jaringan kolateral dan kematian sel nekrotik yang menghasilkan pelepasan molekul yang berhubungan dengan kerusakan atau damage-associated molecular patterns (DAMPs) yang dapat memperberat inflamasi, oleh karena DAMP untuk selanjutnya dikenali oleh PRR yang memicu terjadinya respons inflamasi, seperti halnya dengan PAMP. Sepsis dikaitkan dengan trombosis mikrovaskular yang disebabkan oleh aktivasi secara bersamaan koagulasi (dimediasi oleh tissue factor) dan gangguan mekanisme antikoagulan sebagai konsekuensi dari berkurangnya aktivitas jalur antikoagulan endogen (dimediasi oleh protein C, antitrombin, dan tissue factor pathway inhibitor) yang disertai gangguan fibrinolisis karena meningkatkan pelepasan plasminogen activator inhibitor type 1 (PAI-1). Kapasitas untuk menghasilkan activated protein C terganggu oleh karena berkurangnya ekspresi dua reseptor endotel: thrombomodulin (TM) dan endothelial protein C receptor. Pembentukan trombus selanjutnya difasilitasi oleh neutrophil extracellular traps (NETs) yang dilepaskan dari neutrofil yang mengalami kerusakan. Pembentukan trombus menyebabkan hipoperfusi jaringan, yang diperburuk oleh terjadinya vasodilatasi, hipotensi, dan penurunan deformabilitas sel darah merah. Oksigenasi jaringan terganggu oleh hilangnya fungsi penghalang endotelium karena hilangnya fungsi vascular endothelial (VE) cadherin, perubahan pada tight junctions sel endotel, peningkatan angiopoietin 2, dan keseimbangan yang terganggu antara sphingosine-1 phosphate receptor 1 (SIP1) dan SIP3 di dalam dinding pembuluh darah, yang disebabkan oleh induksi S1P3 melalui protease activated reseptor 1 (PAR1) sebagai hasil dari pengurangan rasio activated protein C terhadap trombin. Penggunaan oksigen pada tingkat subselular juga terganggu oleh karena kerusakan mitokondria akibat stres oksidatif. (Rosyid A & Marhana I, 2020) 4. Pemeriksaan penunjang Penatalaksanaan Fraktur basis cranii Penanganan fraktur cranium dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan aman. Pendekatan 'tunggu dulu' pada penderita fraktur kranium sangat berbahaya, karena diagnosis dan penanganan yang cepat sangatlah penting. Primary Survey (ABCDE)
Adalah penilaian utama terhadap pasien, dilakukan dengan cepat, bila ditemukan hal yang membahayakan nyawa pasien, langsung dilakukan tindakan resusitasi. Penanganan atau Pertolongan pertama dari penderita dengan fraktur cranium mengikuti standart yang telah ditetapkan dalam ATLS (Advanced Trauma Life Support) yang meliputi: Pertahankan A (airway) Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil. Dengarkan suara yang dikeluarkan pasien, ada obstruksi airway atau tidak. Jika pasien tidak sadar lihat ada sumbatan airway atau tidak dan suara-suara nafas serta hembusan nafas pasien. Pemeriksaan jalan napas pasien dilakukan dengan cara kepala dimiringkan, buka mulut, bersihkan muntahkan darah, adanya benda asing. Perhatikan tulang leher, Immobilisasi, Cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi ataupun rotasi. Pertahankan B (Breathing) Dapat segera dinilai dengan cara menentukan apakah pasien bernafas spontan'tidak kemudain pasang oksimeter nadi untuk menjaga saturasi O2 minimum 95%. Jika tidak usahakan untuk dilakukan intubasi dan support pernafasan dengan memberikan masker 02 sesuai indikasi. Setelah jalan nafas bebas sedapat mungkin pernafasannya diperhatikan frekwensi normalnya antara 16 - 20X/menit, kemudian lakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO 2 antara 28 - 35 mmHg . Pertahankan C (Circulation) Pada pemeriksaan sistem sirkulasi ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah jika diperlukan pasang EKG. Apabila denyut nadi/jantung, tidak teraba lakukan resusitasi jantung, Kemudian tentukan perdarahan dan kenali tanda-tanda siaonosis. Waspada terjadinya shock dan lakukan penanganan luka secara baik serta pasang infus dengan larutan RL. Disability Pada pemeriksaan disability, pemeriksaan kesadaran memakai glasgow coma scale (GCS). Penilaian neorologis untuk menilai apakah pasien sadar, memeberi respon suara terhadap rangsang nyeri atau pasien tidak sadar. Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya serta catat
reaksi terhadap cahaya, Periksa adanya hemiparese/plegi, Periksa adanya reflek patologis kanan kiri. Exposure Tanggalkan pakaian pasien dan cari apakah ada luka atau trauma lain secara generalis. Tetapi jaga agar pasien tidak hipotermi. Secondary Survey Secondary survey baru dilakukan setelah primary survey selesai dan ABC sudah mulai stabil dan membaik. Dilakukan secondary survey dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik lebih lanjut dan melakukan pemeriksaan tambahan seperti skull foto, foto thorax, MRI dan CT Scan. (ATLS). Operasi Craniotomy Pemeriksaan Diagnostik Prosedur diagnostik praoperasi dapat meliputi : 1. Tomografi komputer (pemindaian CT) Untuk menunjukkan lesi dan memperlihatkan derajat edema otak sekitarnya, ukuran ventrikel, dan perubahan posisinya/pergeseran jaringan otak, hemoragik. Catatan : pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma. 2. Rencitraan resonans magnetik (MRI) Sama dengan skan CT, dengan tambahan keuntungan pemeriksaan lesi di potongan lain. 3. Electroencephalogram (EEG) Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis 4. Angiografy Serebral
Menunjukkan
kelainan
sirkulasi
serebral,
seperti
pergeseran
jaringan
otak
akibat
edema,perdarahan trauma. 5. Sinar X Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang. 6. Brain Auditory Evoked Respon (BAER) : menentukan fungsi korteks dan batang otak. 7. Positron Emission Tomography (PET) : menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak. 8. Fungsi lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid 9. Gas Darah Artery (GDA) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK. 10. Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam meningkatkan TIK/perubahan mental. 11. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran 12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang. Pemasangan Orif Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan Radiologi Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah "pencitraan" menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. X-Ray dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan metalikment. Venogram/anterogram menggambarkan arus vascularisasi. CT scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang kompleks. Pemeriksaan Laboratorium
Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang. Pemeriksaan lain-lain Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur. Fraktur Tibia Menurut (Rasjad, Chairuddin. 2012), pemeriksaan penunjang fraktur tibia berupa: Pemeriksaan radiologis (rontgen), pada daerah yang dicurigai fraktur, harus mengikuti aturan role of two, yang terdiri dari :
Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior (AP) dan lateral.
Memuat dua sendi antara fraktur yaitu bagian proximal dan distal.
Memuat dua extremitas (terutama pada anak-anak) baik yang cidera maupun yang tidak terkena cidera (untuk membandingkan dengan yang normal)
Dilakukan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan. Pemeriksaan laboratorium, meliputi:
Darah rutin,
Faktor pembekuan darah,
Golongan darah (terutama jika akan dilakukan tindakan operasi),
Urinalisa,
Kreatinin (trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin untuk kliren ginjal).
Pemeriksaan arteriografi dilakukan jika dicurigai telah terjadi kerusakan vaskuler akibat fraktur tersebut. 5. Ventilator mekanik CMV Controlled
Minute
Ventilation
(CMV)
Mode ventilasi ini sangat mirip dengan mode yang dipakai diruang operasi dimana laju nafas dan volume tidal ditentukan oleh klinisi. CMV digunakan bila nafas spontan tidak ada atau minimal, misalnya pada penderita dengan hipoksia yang berat. Indikasi Kriteria objektif untuk penggunaan ventilasi mekanik adalah:
Laju nafas > 35
Volume tidal < 5ml/kg
Kapasitas < 15ml/kg
Oksigenasi: PaO2 < 50mmHg dengan fraksi oksigen 60%
Ventilasi: PCO2 > 50mmHg
6. Terapi obat Instruksi post operasi knock down terapi : 1) Fentanyl 2 mcg/KgBB/hari Fentanil merupakan obat golongan opioid yang banyak digunakan sebagai anti nyeri. Fentanil adalah opioid sintesis yang efektif dalam menumpulkan respon simpatis pada laringoskopi dan intubasi serta stimulus pembedahan. Fentanyl memiliki onset yang cepat, durasi yang singkat, pelepasan histamin yang sedikit dan efek depresi kardiovaskuler yang minimal. Pemberian dosis intravena tunggal memiliki onset cepat (30 detik), efek analgetik puncak 2-3 menit dan durasinya 20-40 menit. Penggunaan fentanyl pada sedasi dalam adalah dengan bolus dosis tunggal 1-2 µg/kg sebelum obat sedasi diberikan. Setelah didapatkan pengurangan nyeri yang adekuat, dosis kecil obat sedative dapat diberikan secara titrasi untuk mendapatkan efek analgetik yang diharapkan. Penggunaan fentanyl dengan cara seperti ini dapat menurunkan efek samping depresi napas selama pemilihan prosedur dan pasiennya tepat. (Soenarto, 2016) 2) Resofol 4 mg/KgBB/jam
Induksi dan pemeliharaan anestesi umum; sedasi penderita yang diberi napas buatan (ventilated) dan mendapat perawatan intensif, digunakan hingga 3 hari. Pantau kadar lemak darah pada pasien yang berisiko kelebihan lemak atau apabila sedasi lebih dari 3 hari; kehamilan; menyusui; kontaminasi bakteri. KONTAMINASI BAKTERI. Untuk menghindarkan risiko infeksi akibat kontaminasi bakteri, teknik aseptik yang ketat harus dijalankan ketika menyedot emulsi propofol dalam alat suntik. 3) Triofusin 1000 1L/24 jam GLUKOSA (DEKSTROSE MONOHIDRAT) : penggantian cairan dan pemberian energi. (PIONAS Badan POM, 2015) 4) Levofloxacin 2x1 gr INDIKASI Levofloxacin diindikasikan untuk pengobatan pada orang dewasa (≥ 18 tahun) dengan infeksi ringan, sedang, sampai berat yang disebabkan oleh bakteri yang peka. Sinusitis bakterial akut yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophyllus influenzae, atau Moraxella catarrhalis. - Eksaserbasi akut dari bronkitis kronik yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Haemophyllus influenzae, Haemophyllus parainfluenzae, atau Moraxella catarrhalis. - Pneumonia nosokomial yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus yang resisten terhadap methicillin, Pseudomonas aeruginosa, Serratia marcescens, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Haemophyllus influenzae, atau Streptococcus pneumoniae. Terapi tambahan harus digunakan ketika ada indikasi klinis. Dimana Pseudomonas aeruginosa diduga merupakan bakteri patogen, terapi kombinasi dengan anti-pseudomonas golongan β-lactam direkomendasikan. (First Medi Pharma, 2020) 5) Manitol 3x 125 cc diberikan hingga hari ke 5 rawat (tapering off)) Manitol merupakan jenis diuretik osmotik yang banyak atau sering dipergunakan untuk mengatasi peningkatan tekanan intrakranial dengan cara memindahkan cairan intraseluler ke intravaskular melalui perbedaan gradien osmotik antara otak dan darah. (Batubara dkk, 2016) 6) PRC 500 cc Indikasi umum transfusi PRC, diindikasikan untuk pasien dengan simtomatik defisiensi kapasitas pembawa oksigen atau hipoksia jaringan karena massa sel darah merah yang tidak
cukup beredar. PRC dapat digunakan untuk pasien dengan kehilangan darah akut yang gejala atau kondisinya mungkin tidak membaik dengan pemberian larutan kristaloid. (Nurfallah, 2020) b.
Cara kerja
Fentanyl : Fentanyl bekerja sebagao agonis reseptor. Mula kerja fentanil 15 menit setelah pemberian per oral dan mencapai puncak dalam 2 jam. Efek analgesik timbul lebih cepat setelah pemberian subkutan atau intramuskular yaitu dalam 10 menit, mencapai puncak dalam waktu 1 jam dan masa kerjanya 3-5 jam. Efektivitas fentanyl 75-100µg parenteral kurang lebih sama dengan Morfin 10mg. Karena bioavabilitas oral 40-60% maka efektivitas sebagai analgesik bila diberikan peroral setengahnya bila diberikan parenteral. Fentanyl larut dalam lemak dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak oleh paru ketika pertama kali melewatinya. Dimetabolisir oleh hati dengan Ndealkilasi dan hidroksilasi serta sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin. Resofol : Penyuntikan resofol berhubungan dengan iritasi langsung obat sehingga terjadi stimulasi reseptor vena nosisepsi atau ujung saraf bebas yang berada di sekitar vena. Nyeri pada penyuntikan resofol berhubungan dengan konsentrasi fraksi bebas resofol dalam lipid dan 90% fase air karena bahan dasar resofol adalah minyak dalam air yang mengandung kedelai, gliserol, dan lesitin telur yang menimbulkan iritasi pada mukosa dinding vena. Rangsang nyeri akan ditangkap oleh serabut saraf sensoris bermielin tipe-A-delta dan tipe C, kemudian oleh poly-mechano reseptor rangsang nyeri diubah menjadi impuls listrik, proses tersebut disebut fase transduksi. (BPOM, 2015). Triofusin : Sediaan infus yang mengandung Fruktosa, glukosa, xylitol, elektrolit, vitamin. Triofusin E1000 digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi total dan parsial, vitamin, serta elektrolit yang diberikan secara parenteral (melalui infus pembuluh darah) pada pasien yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit. Levofloxacin : Antibiotik fluorokuinolon generasi ketiga spektrum luas yang bekerja pada bakteri gram-positif dan gram-negatif serta patogen atipikal terutama pada infeksi traktus respiratorius
Manitol : Terdapat dua mekanisme utama manitol dalam mengurangi ICH. Mekanisme pertama adalah meningkatkan gradien osmotik sawar otak, dimana molekul tidak bebas berdifusi (koefisien permeabilitas rendah). Manitol menyebabkan osmosis air dari parenkim otak, sehingga terjadi penurunan kadar air otak dan peningkatan volume ekstraseluler. Pengurangan kadar air otak mengurangi perilesional edema, yang telah dibuktikan dalam beberapa uji klinis dan uji pada hewan. Mekanisme kedua terkait dengan efek rheologi, manitol dapat menurunkan hematokrit, viskositas dan deformabilitas sel darah merah sehingga terjadi peningkatan aliran mikrovaskular dan peningkatan curah jantung serta Mean Arterial Pressure (MAP). Peningkatan aliran darah dan oksigen ke otak serta vasokonstriksi serebral selanjutnya mengurangi volume darah otak, mengurangi TIK dan meningkatkan CPP (BPOM, 2015). PRC : Sel darah merah akan menjadi komponen darah yang paling sering ditransfusikan. Sel ini berfungsi mengalirkan oksigen dari jantung ke seluruh tubuh serta membuang karbon dioksida. c.
Efek samping
Fentanyl : Reaksi lokal seperti ruam kulit, eritema, dan gatal. Demam atau panas dari luar, monitor pasien untuk efek samping yang meningkat bila timbul demam (absorpsi mungkin meningkat). Obat ini lama bekerja, oleh karena itu, pasien perlu dimonitor efek samping selama 24 jam. Resofol : Obat ini sering digunakan untuk tindakan pembiusan, namun menimbulkan nyeri penyuntikan yang mengakibatkan ketidaknyamanan pasien. Triofusin : Demam, nyeri pada saat injeksi, trombosis vena (terjadi penggumpalan darah pada vena), flebitis (peradangan pada pembuluh darah), dan hipervolemia. Levofloxacin : Levofloxacin berpotensi menyebabkan efek samping. Efek samping yang umum terjadi setelah menggunakan obat ini adalah: Gangguan pencernaan, seperti diare dan sembelit, mual dan muntah, pusing, sakit kepala, dan gangguan tidur. Efek samping ini akan hilang dalam beberapa hari. Jika efek tersebut terasa lebih berat atau tidak membaik, segera ke dokter. Anda juga dianjurkan untuk segera ke dokter jika mengalami reaksi alergi obat atau efek samping yang serius, seperti: •
Perubahan volume dan warna urine.
•
Nyeri atau pembengkakan otot, tendon, dan sendi.
•
Kesemutan atau mati rasa.
•
Dada terasa nyeri.
•
Gangguan indra penglihatan, perasa, pencium, atau pendengaran.
•
Diare berat atau terdapat darah pada tinja.
•
Halusinasi
Manitol : Efek samping yang mungkin muncul adalah : •
Vasodilatasi sistemik dan serebral sesaat bilamana diberikan dalam dosis besar dan cepat,
•
Hipovolemia intravaskuler sesaat yang dilanjutkan dengan diuresis dan hipovolemia yang
persisten, •
Gangguan elektrolit serum,
•
Keadaan hiperosmotik,
•
TTIK berulang (rebound phenomenon) pada penghentian pemberian yang mendadak,
•
Eksaserbasi perdarahan intrakranial yang aktif,
•
Dalam dosis tinggi risiko juga dapat berupa hipovolemi, hemokonsentrasi, hiperglikemia,
asidosis metabolik, gagal ginjal. PRC : Meski jarang terjadi, transfusi darah dapat menimbulkan sejumlah efek samping. Efek samping tersebut dapat muncul pada saat transfusi darah berlangsung atau beberapa waktu setelahnya. Berikut ini adalah beberapa efek samping yang dapat terjadi akibat transfusi darah: •
Demam
•
Reaksi alergi (rasa tidak nyaman, nyeri dada atau punggung, sulit bernapas, demam,
mengigil, kulit memerah, denyut jantung cepat, tekanan darah turun, dan mual) •
Reaksi anafilaksis (pembengkakan pada wajah dan tenggorokan, sesak napas, serta
tekanan darah rendah) •
Kelebihan zat besi
•
Cedera paru-paru
•
Infeksi
•
Penyakit graft versus host
•
Acute immune hemolytic reaction
•
Delayed immune hemolytic reaction (Tjay, 2012).
7. Asuhan keperawatan ASUHAN KEPERAWATAN Pengkajian (Saat masuk IGD) Identitas Nama: Tn. R Usia: 24 tahun Jenis kelamin: Laki-laki Tanggal masuk IGD: 1 Januari 2021 pukul 03.00 WIB Tanggal pengkajian: 1 Januari 2021 pukul 03.00 WIB Keluhan utama: Kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan Pengkajian Primer: A (Airway): B (Breathing): P 28x/menit, C (Circulation): TD 70/50 mmHg, N 115x/menit sinum ritme, perifer dingin, CRT>3 detik D (Disability): Kesadaran spoor koma, E2M3V3 Pengkajian Sekunder Riwayat kesehatan sekarang: Fraktur tibia dextra terbuka 1/3 distal dan perdarahan ++ Pengkajian head to toe: P battle sign (-), raccoon eye (+), otorrhea, renorrhea (kemerahan), ring sign (+) Pemeriksaan Penunjang Radiologi: foto rontgent thorax normal, foti rontgent kepala fraktur basis crani Pemeriksaan laboratorium (1 Januari 2021 pkl 04.10): Hb 10 gr/dL, hematokrit 30%, eritrosit 4 juta, leukosit 12 ribu uL, trombosit 300 uL, GD 100 mg/dL; SGOT 40 uL, SGPT 45 uL; ureum 40 mg/dL; creatinin 0,9 gr/dL; K 3,5; Na 115. Pengkajian (3 jam setelah penangan di IGD) Identitas Nama: Tn. R Usia: 24 tahun Jenis kelamin: Laki-laki
Tanggal masuk IGD: 1 Januari 2021 pukul 03.00 Tanggal pengkajian: 1 Januari 2021 pukul 06.00 Keluhan utama: Kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan Pengkajian Primer: A (Airway): B (Breathing): P 20x/menit, C (Circulation): TD 110/60 mmHg, HR 100x/menit D (Disability): Kesadaran somnolen, E3M3V3 Tindakan yang dilakukan: Operasi cranitomy dan pemasangan oriff pada tibia dextra Monitor selama Operasi : TD 60/40 mmHg -100/50 mmHg HR 100-130x/menit P dengan ventilator Perdarahan 600 cc Urin 50 cc Terapi selama Operasi : Infus RL 2000 cc Transfusi PRC 500 Pengkajian (ICU hari pertama) Identitas Nama: Tn. R Usia: 24 tahun Jenis kelamin: Laki-laki Tanggal masuk IGD: 1 Januari 2021 pukul 03.00 WIB Tanggal pengkajian: 1 Januari 2021 pukul 09.00 WIB Keluhan utama: Kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan Pengkajian Primer: A (Airway): B (Breathing): Saturasi oksigen 98%
C (Circulation): TD 90/40 mmHg, HR 115x/menit, D (Disability): Terapi yang diberikan Pengkajian (Setelah 10 hari dirawat di ICU) Identitas Nama: Tn. R Usia: 24 tahun Jenis kelamin: Laki-laki Tanggal masuk IGD: 1 Januari 2021 pukul 03.00 Tanggal pengkajian: 10 Januari 2021 pkl 09.00 Keluhan utama: Kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan Pengkajian Primer: A (Airway): B (Breathing): P 35-40x/menit, saturasi oksigen 98% C (Circulation): TD 110/60 mmHg, HR 120-130x/menit D (Disability): Pengkajian Sekunder Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan AGD: PH 7,30; PCO2 25 mmHg, PO2 110 mmHg; HCO3 15 mmol/L; BE+2 Pemeriksaan laboratorium: kultur darah + pseudomonas aeruginosa; Hb 11g/dl, hematokrit 33%, eritrosit 6 juta, leukosit 20 ribu uL, trombosit 350 uL, GD 100 mg/dL; SGOT 100 uL, SGPT 120 uL; ureum 75 mg/dL; kreatinin 2,0 gr/dL, PCT 10 mcg/L Analisis Data : DI IGD jam pertama Data DS : DO :
Masalah
Etiologi
Diagnosis
Nyeri Akut
agen
Nyeri akut b.d
pencedera
agen pencedera
fisik (trauma)
fisik (trauma) d.d
Frekuensi
Nadi
frekuensi nadi
Meningkat
meningkat,
Pasien
terlihat
gelisah
(ada
respon
rangsan
gelisah
nyeri) Risiko disfungsi
Fraktur
Risiko disfungsi
neurovaskuler
neurovaskuler
perifer
perifer d.d fraktur
Risiko perfusi
Cedera Kepala
Risiko perfusi
serebral tidak
serebral tidak
efektif
efektif d.d cedera kepala
Risiko Syok
Hipotensi
Risiko syok d.d hipotensi
DS :
Gangguan
Kerusakan
Gangguan
-
integritas
jaringan,
integritas
kulit/jaringan
nyeri,
kulit/jaringan b.d
perdarahan
faktor mekanis
dan
d.d. kerusakan
kemerahan
jaringan, nyeri,
DO : Kerusakan jaringan Nyeri Perdarahan
perdarahan,
Kemerahan
kemerahan
DI IGD jam ketiga Data
Masalah
Etiologi
Diagnosis
Risiko Infeksi
Efek prosedur
Risiko Infeksi d.d
invasif
efek prosedur invasif
Risiko Syok
Hipotensi dan
Risiko syok d.d
kekurangan
hipotensi dan
volume cairan
kekurangan volume cairan
DI ICU hari pertama Data
Masalah
Etiologi
Diagnosis
Risiko
Pembedahan
Risiko Disfungsi
Disfungsi
ortopedi
Neurovaskuler
Neurovaskuler
Perifer d.d
Perifer
pembedahan ortopedi
Di ICU hari ke-10 pagi Data
Masalah
Etiologi
Diagnosis
Hpertermi
Proses
Hipertermi b.d
-
penyakit
proses penyakit
DO :
(infeksi)
(infeksi) d.d suhu
DS :
Suhu tubuh diatas nrormal 39° P
28-40x/menit
(takipneu) HR
110x/menit
tubuh 39°, P 2840x/menit (takipneu) dan HR 110x/menit (takikardi)
(takikardi)
Di ICU hari ke-10 pukul 9 pagi Data DS : dispneu
(P
Masalah
Etiologi
Diagnosis
Gangguan
Ketidakseimbangan
Gangguan
ventilasi-perfusi
Pertukaran Gas b.d
35- Pertukaran
40x/menit)
Gas
DO :
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
PCO2
menurun
(25 mmHg) Takikardia
d.d dispneu (P 3540x/menit), PCO2
(N
120-130x/menit) pH arteri menurun
menurun (25 mmHg), Takikardia (N 120130x/menit) dan pH arteri menurun
Diagnosa Prioritas Di IGD jam pertama Risiko syok d.d hipotensi Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (trauma) d.d frekuensi nadi meningkat, gelisah Risiko perfusi serebral tidak efektif d.d cedera kepala Risiko disfungsi neurovaskuler perifer d.d fraktur Gangguan integritas kulit/jaringan b.d faktor mekanis d.d. kerusakan jaringan, nyeri, perdarahan, kemerahan Di IGD jam ketiga Risiko Syok d.d hipotensi dan kekurangan volume cairan Risiko Infeksi d.d efek prosedur invasif Di ICU hari pertama
Risiko Disfungsi Neurovaskuler Perifer d.d pembedahan ortopedi Di ICU hari ke-10 pagi Hipertermi b.d proses penyakit (infeksi) d.d suhu tubuh 39°, P 28-40x/menit (takipneu) dan HR 110x/menit (takikardi) Di ICU hari ke-10 pukul 9 pagi Gangguan Pertukaran Gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi d.d dispneu (P 3540x/menit), PCO2 menurun (25 mmHg), Takikardia (N 120-130x/menit) dan pH arteri menurun Intervensi DI IGD jam pertama SDKI Risiko syok d.d hipotensi
SLKI Setelah
SIKI
dilakukan
intervensi selama 1x24 jam,
diharapkan
Tingkat syok menurun dengan kriteria hasil: -
tingkat
kesadaran meningkat - akral dingin menurun -
tekanan
darah sistolik dan
diastolik
membaik - tekanan nadi membaik -
pengisian
Pencegahan syok Observasi Monitor
status
kardiopulmonal
(frekuensi dan kekuatan nadi, frekuensi nafas, TD, MAP) Monitor status oksigen (oksimetri nadi, AGD) Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor kulit, (CRT) Monitor
tingkat
kesadaran
dan
respon pupil Periksa riwayat alergi Terapeutik Berikan
oksigen
untuk
mempertahankan saturasi >94% Persiapkan intubasi dan ventilasi
kapiler
mekanis, jika perlu
membaik
Pasang jalur IV, jika perlu
-
Pasang kateter urin untuk menilai
frekuensi
nadi membaik -
frekuensi
napas membaik
produksi urin, Jika perlu Lakukan skin test untuk mencegah reaksi alergi Edukasi Jelaskan penyebab atau faktor risiko syok Jelaskan tanda dan gejala awal syok Anjurkan
melaporkan
menemukan
atau
jika
merasakan
tanda dan gejala awal syok Anjurkan
memperbanyak
asupan
cairan oral Anjurkan menghindari alergen Kolaborasi Kolaborasi pemberian IV, jika perlu Kolaborasi
pemberian
transfusi
darah, jika perlu Kolaborasi
pemberian
antiinflamasi Jika perlu Manajemen perdarahan Observasi Monitor
frekuensi
kekuatan nadi Monitor frekuensi napas Monitor tekanan darah
dan
Monitor berat badan Monitor
waktu
pengisian
kapiler Monitor elastisitas atau turgor kulit Monitor jumlah, warna dan berat jenis urine Monitor kadar albumin dan protein total Monitor
hasil
pemeriksaan
serum Identifikasi
tanda-tanda
hipovolemia Identifikasi
faktor
risiko
ketidakseimbangan cairan Terapeutik Atur
interval
pemantauan
sesuai
waktu dengan
kondisi pasien Dokumentasikan
hasil
pemantauan Edukasi Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan Informasikan
hasil
pemantauan, jika perlu
Pemantauan tanda-tanda vital
Observasi Identifikasi
penyebab
perdarahan Periksa adanya darah pada muntah, sputum, feses, urine, pengeluaran NGT dan drainase luka, jika perlu Periksa
ukuran
dan
karakteristik hematoma, jika ada Monitor terjadinya perdarahan (sifat dan jumlah) Monitor nilai hemoglobin dan hematokrit
sebelum
dan
setelah kehilangan darah Monitor tekanan darah dan parameter hemodinamik Monitor intake dan output cairan Monitor koagulasi darah Monitor
tanda
da
gejala
perdarahan masif Terapeutik Istirahatkan
area
yang
mengalami perdarahan Berikan kompres dingin, jika perlu Lakukan penekanan atau balut tekan, jika perlu Tinggikan
esktremitas
yang
mengalami perdarahan Pertahankan akses IV Edukasi Jelaskan
tanda-tanda
perdarahan Anjurkan
melapor
menemukan
jika
tanda-tanda
perdarahan Anjurkan membatasi aktivitas Kolaborasi Kolaborasi pemberian cairan, jika perlu Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika perlu
Terapi oksigen Observasi Monitor tekanan darah Monitor nadi (frekuensi, kekuatan, Irama) Monitor
pernapasan
(frekuensi,
kedalaman) Monitor suhu tubuh Monitor oksimetri nadi Monitor tekanan darah (selisih TDS dan TDD) Identifikasi
penyebab
perubahan
tanda vital Terapeutik Atur interval pemantauan sesuai kondisi pasien Dokumentasikan hasil pemantauan Edukasi Jelaskan
tujuan
dan
prosedur
pemantauan Informasikan hasil pemantauan, Jika perlu Nyeri akut b.d
Setelah
dilakukan
agen pencedera
intervensi selama 1x24
Observasi
fisik (trauma)
jam,
d.d frekuensi
Tingkat nyeri menurun
Lokasi, karakteristik, durasi,
dengan KH :
frekuensi, kualitas, intensitas
nadi meningkat, gelisah
diharapkan
Manajemen nyeri
-
frekuensi
nadi membaik -
tekanan
darah membaik
nyeri Identifikasi skala nyeri Identifikasi respon nyeri non verbal Identifikasi
faktor
memperberat
yang dan
memperingan nyeri Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri Identifikasi
pengaruh
nyeri
pada kualitas hidup Monitor keberhasilan terapi
komplementer
yang
sudah
diberikan Monitor
efek
samping
penggunaan analgetik Terapeutik Berikan
teknik
nonfarmakologis
untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis, akupresur, terapi
musik,
terapi
pijat,
biofeedback, aroma
terapi,
teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain) Control
lingkungan
yang
memperberat rasa nyeri (mis. Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan) Fasilitasi istirahat dan tidur Pertimbangkan
jenis
dan
sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri Edukasi Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri Jelaskan strategi meredakan nyeri Anjurkan
memonitor
secara mandiri
nyri
Anjurkan
menggunakan
analgetik secara tepat Ajarkan
teknik
nonfarmakologis
untuk
mengurangi rasa nyeri Kolaborasi Kolaborasi
pemberian
analgetik, jika perlu
Pemberian analgesic Observasi Identifikasi karakteristik nyeri (mis.
Pencetus,
kualitas,
lokasi,
pereda, intensitas,
frekuensi, durasi) Identifikasi riwayat alergi obat Identifikasi kesesuaian jenis analgesik
(mis.
Narkotika,
non-narkotika, atau NSAID) dengan tingkat keparahan nyeri Monitor sebelum
tanda-tanda dan
vital sesudah
pemberian analgesic Monitor efektifitas analgesik Terapeutik Diskusikan
jenis
analgesik
yang disukai untuk mencapai
analgesia optimal, jika perlu Pertimbangkan
penggunaan
infus
atau
kontinu,
bolus
opioid untuk mempertahankan kadar dalam serum Tetapkan
target
efektifitas
analgesic
untuk
mengoptimalkan respon pasien Dokumentasikan
respon
terhadap efek analgesic dan efek yang tidak diinginkan Edukasi Jelaskan efek terapi dan efek samping obat Kolaborasi Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik, sesuai indikasi Risiko perfusi
Setelah
serebral tidak
intervensi selama 1x24
efektif d.d cedera kepala
dilakukan
jam,
diharapkan
Perfusi
serebral
meningkat
dengan
Manajemen
peningkatan
tekanan intracranial Observasi Identifikasi
penyebab
peningkatan TIK (mis. Iesi,
KH: -
tingkat
kesadaran meningkat -
Tekanan
darah sistolik
gangguan metabolisme, edema serabral) Monitor
tanda/gejala
peningkatan TIK(mis. tekanan darah meningkat, tekanan nadi
dan
diastolik
membaik
melebar, napas
bradikardia, ireguler,
pola
kesadaran
menurun) Monitor MAP (Mean Arterial Pressure) Monitor CVP (Central Venous Pressure), jika perlu Monitor PAWP, jika perlu Monitor PAP, jika perlu Monitar ICP (Intra Cranial Pressure), jika tersedia Monitor
CPP
(Cerebral
Perfusion Pressure) Monitor gelombang ICP (Intra Cranial Pressure) Monitor status pernapasan Monitar
intake
dan
ouput
cairan Monitor cairan serebro-spinalis (mis, warna, konsistensi) Terapeutik Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang tenang Berikan posisi semi Fowler Hindari manuver Valsava Cegah terjadinya kejang Hindari penggunaan PEEP Hindari pemberian cairan IV hipotonik
Atur ventilator agar PaCO2 optimal Pertahankan
suhu
tubuh
normal Kolaborasi Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan, Jika perlu Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika perlu Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu Risiko disfungsi Setelah neurovaskuler perifer d.d fraktur
dilakukan
intervensi selama 1x24 jam,
diharapkan
Pemantauan tanda vital Observasi
Neurovaskuler perifer
Monitor
tekanan
meningkat dengan KH
-monitor
nadi
:
kekuatan , irama) -
nyeri
menurun -
perdarahan
menurun -
nadi
membaik -
tekanan
darah membaik
darah
(frekuensi,
Monitor pernapasan (frekuensi, kedalaman) Monitor suhu tubuh -monitor oksimetri
nadi
-monitor
tekanan nadi (selisih TDS dan TDD) Identifikasi
penyebab
perubahan tanda vital Terapeutik Atur
interval
pemantauan
sesuai kondisi pasien Dokumentasikan
hasil
pemantauan Edukasi Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan Informasikan
hasil
pemantauan, jika perlu
Pencegahan perdarahan Observasi Monitor
tanda
dan
gejala
pendarahan Monitor
nilai
hematokrit/hemoglobin sebelum
dan
setelah
kehilangan darah Monitor
tanda
tanda
vital
ortostatik Monitor koagulasi Terapeutik Pertahankan bed rest selama pendarahan Batasi tindakan invasif, jika perlu Gunakan
kasur
pencegah
decubitus Hindari rektal
pengukuran
suhu
Edukasi Jelaskan
tanda
dan
gejala
pendarahan Anjurkan mrnggunakan kaus kaki saat ambulasi Anjurkan asupan
meningkatkan cairan
untuk
menghindari konstipasi Anjurkan menghindari aspirin atau antikoagulan Anjurkan
meningkatkan
asupan makanan dan vitamin K Anjurkan segera melapor jika terjadi pendarahan Kolaborasi Kolaborasi
pemberian
obat
pengontrol pendarahan Kolaborasi pemberian produk darah Kolaborasi pemberian pelunak tinja Gangguan
Setelah
integritas
intervensi selama 1x24
kulit/jaringan
dilakukan
jam,
diharapkan
b.d faktor
Integritas
kulit
mekanis d.d.
jaringan
meningkat
kerusakan jaringan, nyeri,
dan
Observasi Monitor
karakteristik
luka
(mis, drainase, warna, ukuran, bau)
dengan KH: -
Perawatan luka
kerusakan
Monitor tanda-tanda Infeksi Lepaskan balutan dan plester
perdarahan,
jaringan
secara perlahan
kemerahan
menurun
Cukur rambut di sekitar daerah
-
nyeri
luka, jika perlu
menurun
Bersihkan dengan cairan NaCl
-
atau
perdarahan
menurun - kemerahan menurun
pembersih
nontoksik,
sesuai kebutuhan Bersihkan jaringan nekrotik Berikan salep yang sesual ke kulit/lesi, jika perlu Pasang balutan sesuai jenis Iuka Pertahankan teknik steril saat melakukan perawatan luka Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase Jadwalkan perubahan posisi setiap
2
jam
atau
sesuai
kondisi pasien Berikan diet dengan kalori 3035 kkal/kgBB/hari dan protein 1,25-1,5 g/kg/BB/hari Berikan suplemen vitamin dan mineral
(mis.
vitamin
A,
vitamin C, Zinc, asam amino), sesuai indikasi Berikan
terapi
TENS
(stimulasi
saraf
transkutaneous), jika perlu Edukasi Jelaskan
tanda
dan
gejala
infeksi Anjurkan
mengkonsumsi
makanan tinggi kalori dan protein Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri Kolaborasi Kolaborasi
prosedur
debridement (mis. enzimatik, biologis, mekanis, autolitik), jika pertu Kolaborasi
pemberian
antibiotik, jika perlu
DI IGD jam ketiga SDKI
SLKI
Risiko Syok d.d Setelah hipotensi
SIKI
dilakukan
dan intervensi selama 1x24
kekurangan
jam diharapkan tingkat
volume cairan
Syok menurun dengan
Pencegahan syok Observasi Monitor
status
kardiopulmonal
(frekuensi dan kekuatan nadi,
KH: Output
urin
meningkat Tingkat
kesadaran
meningkat Tekanan
sistolik
membaik Tekanan membaik
diastolik
frekuensi nafas, TD, MAP) Monitor status oksigen (oksimetri nadi, AGD) Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor kulit, (CRT) Monitor
tingkat
kesadaran
respon pupil Periksa riwayat alergi
dan
Tekanan
nadi Terapeutik
membaik Frekuensi membaik
nadi
Berikan
oksigen
untuk
mempertahankan saturasi >94% Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis, jika perlu Pasang jalur IV, jika perlu Pasang kateter urin untuk menilai produksi urin, Jika perlu Lakukan skin test untuk mencegah reaksi alergi Edukasi Jelaskan penyebab atau faktor risiko syok Jelaskan tanda dan gejala awal syok Anjurkan
melaporkan
menemukan
atau
jika
merasakan
tanda dan gejala awal syok Anjurkan
memperbanyak
asupan
cairan oral Anjurkan menghindari alergen Kolaborasi Kolaborasi pemberian IV, jika perlu Kolaborasi
pemberian
transfusi
darah, jika perlu Kolaborasi
pemberian
antiinflamasi Jika perlu Pemantauan Cairan Observasi Monitor
frekuensi
dan
kekuatan nadi Monitor frekuensi napas Monitor tekanan darah Monitor berat badan Monitor
waktu
pengisian
kapiler Monitor elastisitas atau turgor kulit Monitor jumlah, warna dan berat jenis urine Monitor kadar albumin dan protein total Monitor
hasil
pemeriksaan
serum Identifikasi
tanda-tanda
hipovolemia Identifikasi
faktor
risiko
ketidakseimbangan cairan Terapeutik Atur
interval
pemantauan
sesuai
waktu dengan
kondisi pasien Dokumentasikan
hasil
pemantauan Edukasi Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan Informasikan pemantauan, jika perlu
hasil
Manajemen Perdarahan Observasi Monitor
frekuensi
dan
kekuatan nadi Monitor frekuensi napas Monitor tekanan darah Monitor berat badan Monitor
waktu
pengisian
kapiler Monitor elastisitas atau turgor kulit Monitor jumlah, warna dan berat jenis urine Monitor kadar albumin dan protein total Monitor
hasil
pemeriksaan
serum Identifikasi
tanda-tanda
hipovolemia Identifikasi
faktor
risiko
ketidakseimbangan cairan Terapeutik Atur
interval
pemantauan
sesuai
waktu dengan
kondisi pasien Dokumentasikan pemantauan
hasil
Edukasi Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan Informasikan
hasil
pemantauan, jika perlu
Pemantauan Tanda Vital Observasi Identifikasi
penyebab
perdarahan Periksa adanya darah pada muntah, sputum, feses, urine, pengeluaran NGT dan drainase luka, jika perlu Periksa
ukuran
dan
karakteristik hematoma, jika ada Monitor terjadinya perdarahan (sifat dan jumlah) Monitor nilai hemoglobin dan hematokrit
sebelum
dan
setelah kehilangan darah Monitor tekanan darah dan parameter hemodinamik Monitor intake dan output cairan Monitor koagulasi darah Monitor
tanda
da
gejala
perdarahan masif Terapeutik Istirahatkan
area
yang
mengalami perdarahan Berikan kompres dingin, jika perlu Lakukan penekanan atau balut tekan, jika perlu Tinggikan
esktremitas
yang
mengalami perdarahan Pertahankan akses IV Edukasi Jelaskan
tanda-tanda
perdarahan Anjurkan
melapor
menemukan
jika
tanda-tanda
perdarahan Anjurkan membatasi aktivitas Kolaborasi Kolaborasi pemberian cairan, jika perlu Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika perlu Risiko d.d
Infeksi Setelah
dilakukan
efek intervensi selama 1x24
prosedur invasif
jam diharapkan tingkat
Pencegahan Infeksi Observasi
Syok menurun dengan
Monitor
tanda
dan
gejala
KH:
infeksi lokal dan sistemik
Output
urin Terapeutik
meningkat
Batasi jumlah pengunjung
Tingkat
Berikan perawatan kulit pada
kesadaran
area edema
meningkat Tekanan sistolik membaik Tekanan diastolik membaik Tekanan
nadi
membaik
tangan
sebelum
dan
sesudah kontak dengan paslen dan lingkungan pasien Pertahankan
teknik
aseptik
pada pasien berisiko tinggi Edukasi
membaik Frekuensi
Cuci
nadi
Jelaskan
tanda
dan
gejala
infeksi Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar Ajarkan etika batuk Ajarkan
cara
memeriksa
kondisi luka atau luka operasi Anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi Anjurkan
meningkatkan
asupan cairan Kolaborasi Kolaborasi
pemberian
imunisasi, jika perlu
Pemantauan Tanda Vital Observasi
Monitor tekanan darah Monitor
nadi
(frekuensi,
kekuatan, irama) Monitor pernapasan (frekuensi, kedalaman) Monitor suhu tubuh Monitor oksimetri nadi Monitor tekanan nadi (selisih TDS dan TDD) Identifikasi
penyebab
perubahan tanda vital Terapeutik Atur
interval
pemantauan
sesuai kondisi pasien Dokumentasikan
hasil
pemantauan Edukasi Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan Informasikan
hasil
pemantauan, jika perlu
Perawatan Luka Observasi Monitor
karakteristik
luka
(mis. drainase, warna, ukuran, bau)
Monitor tanda-tanda infeksi Terapeutik Lepaskan balutan dan plester secara perlahan Cukur rambut di sekitar daerah luka, jika perlu Bersihkan dengan cairan NaCl atau
pembersih
nontoksik,
sesuai kebutuhan Bersihkan jaringan nekrotik Berikan salep yang sesuaike kulit/lesi, jika perlu Pasang balutan sesuai jenis luka Pertahankan teknik steril saat melakukan perawatan luka Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase Jadwalkan perubahan posisi setiap
2
jam
atau
sesuai
kondisi pasien Berikan diet dengan kalori 3035 kkalikg8B/hari dan protein 1,25-1,5 g/kgBB/hari Berikan suplemen vitamin dan mineral
(mis.
vitainin
A,
vitamin C, Zinc, asam amino), sesuai indikasi Berikan (stimulasi
terapi
TENS saraf
transkutanecus), jika perlu Edukasi Jelaskan
tanda
dan
gejala
infeksi Anjurkan
mengkonsumsi
makanan tinggi kalori dan protein Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri Kolaborasi Kolaborasi
prosedur
debridement (mis. enzimatik, biologis, mekanis, autolitik), jika perlu Kolaborasi
pemberian
antibiotik, jika perlu
Di ICU hari pertama SDKI
SLKI
SIKI
Risiko
Setelah
Disfungsi
intervensi selama 2x24
Neurovaskuler
jam
Perifer
dilakukan diharapkan
d.d Neurovaskuler Perifer
pembedahan
klien
meningkat
ortopedi
dengan kriteria hasil: Nadi membaik Tekanan
darah
Pengaturan Posisi Observasi Monitor
status
oksigenasi
sebelum
dan
sesudah
mengubah posisi Monitor alat traksi agar selalu tepat
membaik
Terpeutik Tempatkan pada matras/tempat tidur terapeutik yang tepat Tempatkan
pada
posisi
terapeutik Tempatkan bel atau lampu panggilan dalam jangkauan Sediakan matras yang kokoh dan padat Atur posisi untuk mengurangi sesak Atur posisi yang meningkatkan drainage Posisikan
pada
kesejajaran
tubuh yang tepat Imobilisasi dan topang bagian tubuh yang cedera dengan tepat Berikan bantal yang tepat pada leher Posisikan
untuk
mempermudah ventilasi/perfusi Hindari
menempatkan
pada
posisi yang dapat meningatkan nyeri Pertahankan
pisisi
dengan
teknik log roll Edukasi Informasikan
saat
akan
dilakukan perubahan posisi Pemantauan Tanda Vital Observasi Monitor tekanan darah Monitor
nadi
(frekuensi,
kekuatan, irama) Monitor pernapasan (frekuensi, kedalaman) Monitor suhu tubuh Monitor oksimetri nadi Monitor tekanan nadi (selisih TDS dan TDD) Identifikasi
penyebab
perubahan tanda vital Terapeutik Atur
interval
pemantauan
sesuai kondisi pasien Dokumentasikan
hasil
pemantauan Edukasi Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan Informasikan pemantauan, jika perlu
Di ICU hari ke-10 pagi SDKI
SLKI
SIKI
hasil
Hipertermi
b.d Setelah
1x24
jam
proses penyakit diharapkan (infeksi)
d.d Termoregulasi
suhu tubuh 39°, membaik
Klien dengan
Manajemen Hipertermi Observasi Identifkasi
P 28-40x/menit kriteria hasil:
hipertermi
(takipneu)
terpapar
dan
HR 110x/menit (takikardi)
Takikardi
dehidrasi
lingkungan
panas
Monitor suhu tubuh
Takipnea
Monitor kadar elektrolit
menurun membaik
(mis.
penggunaan incubator)
menurun
Suhu
penyebab
tubuh
Monitor haluaran urine Terapeutik Sediakan
lingkungan
yang
dingin Longgarkan
atau
lepaskan
pakaian Basahi dan kipasi permukaan tubuh Berikan cairan oral Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami hiperhidrosis
(keringat
berlebih) Lakukan pendinginan eksternal (mis. selimut hipotermia atau kompres dingin pada dahi, leher, dada, abdomen, aksila) Hindari pemberian antipiretik atau aspirin Batasi oksigen, jika perlu
Edukasi Anjurkan tirah baring Kolaborasi Kolaborasi
cairan
dan
elektrolit intravena, jika perlu
Regulasi Temperatur Observasi Suhu sampai stabil (36,5°C37,5°C) Monitor suhu tubuh tiap 2 jam Jika perlu Monitor
tekanan
darah,
frekuensi pernapasan dan Nadi Monitor warna dan suhu kulit Monitor dan catat tanda dan gejala
hipotermia
atau
hipertermia Terapeutik Pasang alat pemantau suhu kontinu, Jika perlu Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang adekuat Gunakan matras penghangat, selimut
hangat,
penghangat
ruangan
dan untuk
menaikkan suhu tubuh, jika
perlu Gunakan
kasur
pendingin,
water circulating blankets, ice pack
atau
gel
pad
dan
intravaskular
cooling
catherization
untuk
menurunkan suhu tubuh Sesuaikan
suhu
lingkungan
dengan kebutuhan pasien Edukasi Jelaskan cara pencegahan heat exhaustion dan heat stroke Jelaskan
cara
hipotermi
pencegahan
karena
terpapar
udara dingin Kolaborasi Kolaborasi
pemberian
antipiretik, Jika perlu
Di ICU hari ke-10 pukul 9 pagi SDKI
SLKI
Gangguan
Setelah
dilakukan
Pertukaran Gas b.d intervensi ketidakseimbanga
SIKI
selama
2x24 jam diharapkan
Pemantauan Respirasi Observasi
n ventilasi-perfusi Pertukaran Gas klien
Monitor
d.d dispneu (P 35- meningkat
kedalaman, dan upaya napas
dengan
frekuensi,
irama,
40x/menit), PCO2 Kriteria Hasil:
Monitor pola napas (seperti
menurun
bradipnea,
(25
takipnea,
mmHg),
Dispneu
hiperventilasi,
menurun
Cheyne-Stokes,
120-130x/menit)
Pco2 membaik
ataksik)
dan
Takikardi
Monitor kemampuan batuk
membaik
efektif
Takikardia pH
menurun
(N arteri
pH membaik
arteri
Monitor
Kussmaul,
adanya
Biot,
produksi
sputum Monitor adanya sumbatan jalan napas Palpasi kesimetrisan ekspansi paru Auskultasi bunyi napas Monitor saturasi oksigen Monitor nilai AGD Monitor hasil x-ray toraks Terapeutik Atur
interval
waktu
pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien Dokumentasikan
hasil
pemantauan Edukasi Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan Informasikan pemantauan, jika perlu Terapi Oksigen Observasi
hasil
Monitor
kecepatan
aliran
oksigen Monitor posisi alat terapi oksigen Monitor aliran oksigen secara periodic dan pastikan fraksi yang diberikan cukup Monitor
efektifitas
oksigen
(mis.
terapi
oksimetri,
analisa gas darah ), jika perlu Monitor melepaskan
kemampuan oksigen
saat
makan Monitor
tanda-tanda
hipoventilasi Monitor tanda dan gejala toksikasi
oksigen
dan
atelektasis Monitor tingkat kecemasan akibat terapi oksigen Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan oksigen Terapeutik Bersihkan secret pada mulut, hidung dan trachea, jika perlu Pertahankan kepatenan jalan nafas Berikan oksigen tambahan, jika perlu
Tetap berikan oksigen saat pasien ditransportasi Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengat tingkat mobilisasi pasien Edukasi Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan oksigen dirumah Kolaborasi Kolaborasi penentuan dosis oksigen Kolaborasi oksigen
penggunaan saat
aktivitas
dan/atau tidur
Manajemen
Ventilasi
Mekanik Observasi Periksa
indikasi
ventilator
mekanik (mis. keielahan otot napas, disfungsi neurologls, asidosis respiratorik) Monitor
efek
ventilator
terhadap
status
oksigenasi
(mis. bunyi paru, X ray paru, AGD, SaO2, SvO2, ETCO2,
respon subyektif pasien) Monitor
kriteria
perlunya
penyapihan ventilator Monitor efek negatif ventilator (mis.
deviasl
barotrauma,
trakea, volutrauma,
penurunan curah Jantung,
distensi
gaster,
emfisema subkutan) Monitor gejala peningkatan pernapasan (mis. peningkatan denyut
jantung
atau
pernapasan, Peningkatan tekanan darah, diaforesis, perubahan status mental) Monitor
kondisi
meningkatkan oksigen
(mis.
yang konsumsi demam,
menggigil, kejang, dan nyeri) Monitor
gangguan
mokusa
oral, nasal, takea dan laring Terapeutik Atur posisi kepala 45-60* untuk mencegah aspirasi Reposisi pasien setiap 2 jam, jika perlu Lakukan perawatan mulut secara rutin, termasuk sikat gigi setiap 12 jam
Lakukan
fisioterapi
dada,
jika perlu Lakukan penghisapan lendir sesuat kebututan Ganti sirkuit ventilator setiap 24 jam atau sesuai instruksi Siapkan bag-valve mask di samping tempat tidur untuk antisipasi malfungsi mesin Berikan
media
untuk
berkomunikasi (mis. kertas, pulpen) Dokumentasikan
respon
terhadap ventilator Kolaborasi Kolaborasi pemllihan mode ventilator
(mis.
kontrol
volume, kontrol tekanan atau gabungan) Kolaborasl pemberian agen pelumpuh
otot,
sedatif,
analgesik, sesual kebutuhan Kolaborasi Penggunaan PS atau PEEP untuk
meminimalkan
hipoventilasi alveolus.
DAFTAR PUSTAKA Angelika, Irene dan Eko Prasetyo. 2019. Evaluasi Radiologi pada Kasus Fraktur Basis Kranii. Diambil dari https://ejournal.unsrat.ac.id. Diakses pada 3 November 2021 pukul 15.21 WIB. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2015. Pusat Informasi Obat Nasional, Badan POM RI. Jakarta. Diperoleh dari http://pionas.pom.go.id. Diakses pada tanggal 03 November 2021 Pukul 12.40 WIB. Batubara, Budi Harto dkk. 2016. Perbandingan Osmolaritas Plasma Setelah Pemberian Manitol 20% 3 mL/ kgBB dengan Natrium Laktat Hipertonik 3 mL/kgBB pada Pasien Cedera Otak Traumatik Ringan-Sedang. Jurnal Anestesi Perioperatif 4 (3). Diperoleh dari http;//journal.fk.unpad.ac.id diakses pada 3 November 2021 23:57 WIB Black, J dan Hawks, J. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. Jakarta: Salemba Emban Patria. Carter Michel A. 2016. Fraktur dan Dislokasi dalam: Price Sylvia A, Wilson Lorraine McCarty. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC. DiGiulio Mary, Donna Jackson, Jim Keogh. 2014. Keperawatan Medikal bedah, Ed. I. Yogyakarta: Rapha publishing. Elon, Yunus, Dkk. 2021. Teori dan Model Keperawatan. Medan: Yayasan Kita Menulis. First Medi Pharma. 2020. Levofloxacin Hemihydrate. Diperoleh dari http;//firstmedipharma. Co.id Ishman & Friedland. 2014. Temporal Bone Fractures: Tradutional Classification and Clinical Relevance. Laryngoscope Greenberg, M. S., 2016, Handbook of Neurosurgery, 8th edn, Thieme Medical Publishers Inc, New York. Greenberg. 2016. Seri Buku Kecil Terapi Alternatif. Yogyakarta : Yayasan Spritia. Hidayati, Afif Nurul, dkk. (Ed.) 2018. Gawat Darurat Medis dan Bedah. Surabaya: Airlangga University Press.
PIONAS
Badan
Pengawas
Obat
dan
Makanan.
2015.
Propofol.
Diperoleh
dari
http;//poinas.pom.go.id diakses pada 3 November 2021 23:21 WIB Pratama, Razi Ageng., dkk. 2020. Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi. Journal Of Anaesthesia and Pain. Volume 1 No. 3 E-ISSN 2722-3205. Diakses dari https://jap.ub.ac.id pada tanggal 3 November 2021 pukul 16.30 WIB. Rasjad, Chairuddin. 2012. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif Watampone. Rosyid A & Marhana I. 2020. Bunga Rampai Kedokteran Respirasi 2020. Surabaya : Airlangga University Press. Marrelli T.M. 2017. Buku saku keperawatan. Jakarta:EGC Muttaqin, Arif. 2013. Buku Saku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika. Nurfallah, Hamidah. 2020. GAMBARAN PENGETAHUAN DAN TATALAKSANA DOKTER BEDAH DALAM HAL TRANSFUSI PACKED RED CELL (PRC). Diperoleh dari http;//repositori.usu.ac.id diakses pada 4 November 2021 00:05 WIB Satya, 2013. Ilmu bedah syaraf. Penerbit:PT Gramedia Pustaka Utama. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta. EGC. Smeltzer, C. S., & Bare, B. G. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Philadelphia: Lippincott william & Wilkins Smeltzer, S, & Bare. 2011. Brunner & Suddarths Textbook of Medical Surgical Nursing. Philadelpia : Lippin cott Smelzer, Suzanne. C. 2011 . Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Ed. 8 Vol. 3. Jakarta: EGC. Soenarto, R. F., 2016. Opioid Intraanestesi. In: S. Chandra & E. Harijanto, eds. Opioid dalam Praktik Anestesi dan Terapi Intensif. Jakarta: Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia.
Solomon, L., Warwick, D., and Nayagam, S. 2010. Apley’s System of Orthopaedic and Fractures. 9th Ed. London: Hodder Arnold. Spesialis
Bedah
Saraf
Unair.
2016.
Trauma.
[Online]
diakses
dari
https://spesialis1.ibs.fk.unair.ac.id pada tanggal 03 November 2021 pukul 21.00 WIB. Tjay Tan Hoan. 2012. Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan Dan Efek Sampingnya. Pt Elex Media Komputindo : Jakarta Wiarto, G. 2017. Nyeri Tulang dan Sendi. Gosyen Publisihing.