Kasus Poli Neuralgia Post Herpetica  [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS



“NEURALGIA POST HERPETICA”



Disusun oleh: dr. Tyas Natasya Citrawati Pendamping dr. Dirhamsyah Rivai



PUSKESMAS TALANG PADANG PERIODE MARET 2013 – FEBRUARI 2014 TALANG PADANG - TANGGAMUS



ILUSTRASI KASUS 1



Pasien datang berobat ke Balai Pengobatan Puskesmas Talang Padang pada tanggal 13 Desember 2013 I. Identitas Pasien Nama



: Tn. L



Umur



: 65 Tahun



Alamat



: Sukarame



Agama



: Islam



Pekerjaan



: Tani



Suku



: Jawa



Jenis Kelamin



: Pria



II. Anamnesis : Dilakukan dengan auto anamnesis pada tanggal 13 Desember 2013 pukul 10.00 Keluhan Utama



: Nyeri pada dada sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu.



Keluhan Tambahan



:-



Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan nyeri pada dada sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu. Nyeri



seperti terbakar dan tertusuk, menjalar ke punggung sebelah kiri. Nyeri dirasakan lebih berat bila terkena angin, air dan pakaian. 2 hari yang lalu timbul bintik-bintik berisi cairan bening di dada sebelah kiri disertai demam dan pegal seluruh tubuh. Tidak ada rasa gatal dan pasien mengaku sakit tidak berkurang saat meminum obat warung. Riwayat Penyakit Dahulu



Riwayat trauma pada dada sebelumnya dan riwayat alergi obat disangkal. Riwayat Penyakit Keluarga



2



Pasien menyangkal ada anggota keluarga yang menderita sakit yang sama.



III. Pemeriksaan Fisik



Keadaan Umum



: Tampak Sakit Sedang



Kesadaran



: Compos Mentis



GCS



: 15



Tanda Vital :    



Tekanan Darah Nadi Suhu Nafas



: 130/80 mmHg : 84x/menit : afebris : 22x/menit



Status Generalis Kepala



: Normocephali



Mata



: Congjungtiva Anemis -/-, Sklera Ikterik -/-



THT



: Telinga normotia, nafas cuping hidung +/+ , deviasi septum (-),tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis.



Leher



: tidak ada pembesaran KGB



Thorax



: dada sebelah kiri terdapat lesi dan papul berisi cairan dengan multiple hiperpigmentasi -



Cor : bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-) , gallop (-) Pulmo : suara napas vesikuler kanan melemah, kiri normal. Ronkhi -/-, wheezing -/-



Abdomen



: Datar, supel, bising usus (+) normal, hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri tekan (-), perkusi timpani.



Extremitas



: Akral hangat ke 4 extremitas, range of movement ekstremitas oedem ke 4 extremitas (-), Sianosis ke 4 extremitas (-) 3



PEMERIKSAAN DERMATOLOGI : -



Distribusi : Regional Ad region : thorax sinistra Lesi : Multiple bentuk bulat, ukuran miliar sampai lentikuler diameter bervariasi antara 0,2-0,5 mm, batas



-



tegas, tepi tidak aktif, lesi kering. Efloresensi : papul berisi cairan



dengan



multiple



hiperpigmentasi IV. Diagnosis Kerja Neuralgia Post Herpetika V. Penatalaksanaan     



Asiklovir zalf 3 x 1 Asiklovir 4 x 500 mg Vitamin B complex 1 x 1 tab Ibuprofen 3 x 500 mg Edukasi: - Pasien harus diberikan penjelasan mengenai penyakitnya dan bagaimana penyakit ini dapat terjadi, yaitu penyakit yang dialami saat ini merupakan akibat penyakit yang telah dialami 1 bulan yang lalu dan nyeri yang dialami dapat berlangsung lama jika pasien tidak patuh mengkonsumsi obat yang diberikan.



-



Dijelaskan juga kepada pasien untuk kembali kontrol jika keluhan nyeri masih dirasakan pasien.



VI.



Prognosis : Ad vitam Ad fungtionam Ad sanationam



: ad bonam : ad bonam : ad bonam



4



TINJAUAN PUSTAKA I. Definisi Neuralgia post herpetik (PHN) merupakan komplikasi yang serius dari herpes zooster yang sering terjadi pada orang tua. Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar,



teriris atau nyeri disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan. Burgoon, 1957, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri yang menetap setelah fase akut infeksi. Rogers, 1981, mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap satu bulan setelah onset ruam herpes zoster. Tahun 1989, Rowbotham mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap atau berulang setidaknya selama tiga bulan setelah penyembuhan ruam herpes zoster. Dworkin, 1994, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri neuropatik yang menetap setelah onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster). Tahun 1999, Browsher mendefinisikan sebagai nyeri neuropatik yang menetap atau timbul pada daerah herpes zoster lebih atau sama dengan tiga bulan setelah onset ruam kulit. Dari berbagai definisi yang paling tersering digunakan adalah definisi menurut Dworkin . Sesuai dengan definisi sebelumnya maka The International Association for Study of Pain (IASP) menggolongkan neuralgia post herpetika sebagai nyeri kronik yaitu nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai atau nyeri yang berlangsung lebih dari tiga bulan tanpa adanya malignitas.



1,10,11



Neuralgia pascaherpetik (NPH) merupakan sindrom nyeri neuropatik yang sangat mengganggu akibat infeksi Herpes zoster. NPH biasanya terjadi pada populasi usia pertengahan dan usia lanjut serta menetap hingga bertahun-tahun setelah penyembuhan erupsi (cacar). Sejumlah pendekatan dilakukan untuk mengatasi nyeri akibat zoster, menghambat progresivitasnya menuju NPH dan mengatasi NPH. NPH umumnya didefinisikan sebagai nyeri yang timbul lebih dari 30 hari setelah onset (gejala awal) erupsi zoster terjadi. Nyeri umumnya diekspresikan sebagai sensasi terbakar (burning) atau tertusuk-tusuk (shooting) atau gatal (itching), bahkan yang lebih berat lagi terjadi allodinia (rabaan atau hembusan angin dirasakan sebagai nyeri) dan hiperalgesia (sensasi nyeri yang dirasakan berlipat ganda).



II. Etiologi 5



Neuralgia post herpetik disebabkan oleh infeksi virus herpes zooster. Virus varisella zoster



merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi manusia. Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari sebuah icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Ditengahnya terdapat DNA untai ganda. Virus varisella zoster memiliki diameter sekitar 180-200 nm. Herpes Zooster adalah infeksi virus yang terjadi senantiasa pada anak-anak yang biasa disebut dengan varicella (chicken pox). Tipe Virus yang bersifat patogen pada manusia adalah herpes virus-3 (HHV-3), biasa juga disebut dengan varisella zoster virus (VZV). Virus ini berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis terutama nervus kranialis V (trigeminus) pada ganglion gasseri cabang oftalmik dan vervus kranialis VII (fasialis) pada ganglion genikulatum. Herpes zoster merupakan infeksi virus (yang sifatnya terlokalisir) dari reaktivasi infeksi virus varicella-zoster endogen (telah ada sebelumnya dalam tubuh seseorang). Virus ini bersifat laten pada saraf sensorik atau pada saraf-saraf wajah dan kepala (saraf kranialis) setelah serangan varicella (cacar air) sebelumnya. Reaktivasi virus sering terjadi setelah infeksi primer, namun bila sistem kekebalan tubuh mampu meredamnya maka tidak nampak gejala klinis. Sekitar 90% orang dewasa di Amerika Serikat pada pemeriksaan laboratorium serologik (diambil dari darah) ditemukan bukti adanya infeksi varicella-zoster sehingga menempatkan mereka pada kelompok resiko tinggi herpes zoster. Angka insidens zoster dalam komunitas diperkirakan mencapai 1.2 hingga 3.4 per-1000 orang tiap tahunnya. Dari angka tersebut, diperkirakan insidennya bisa mencapai lebih dari 500,000 kasus tiap tahun dan sekitar 9-24% pasien-pasien ini akan mengalami NPH. Peningkatan usia nampaknya menjadi kunci faktor resiko perkembangan herpes zoster, insidensnya pada lanjut usia (diatas 60-70 tahun) mencapai 10 kasus per-1000 orang pertahun, sementara NPH juga mencapai 50% pada pasienpasien ini dan mengalami nyeri yang berkepanjangan (dalam hitungan bulan bahkan tahun). NPH sendiri menimbulkan masalah baru akibat disability, depresi dan terisolasi secara sosial serta menurunkan kualitas hidup. Sekali NPH terjadi, akan sangat sulit melakukan penatalaksanaan secara efektif.



III. Patologi dan patogenesis Infeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varisella atau cacar air. Pajanan pertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus ini masuk ke tubuh melalui system respiratorik. Pada nasofaring, virus varisella zoster bereplikasi dan menyebar melalui aliran darah sehingga terjadi viremia dengan manifestasi lesi kulit yang tersebar di seluruh tubuh. Periode inkubasi sekitar 14-16 hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer dilalui, virus ini bersarang di ganglia akar dorsal, hidup secara dorman selama bertahun-tahun. Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella zoster yang hidup 6



secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan bertambahnya usia atau status imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama ‘Lipschutz inclusion body’. Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis hemoragik, dan hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis. Proses perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf. Beberapa perubahan patologi yang dapat ditemukan pada infeksi virus varisella zoster: 1. Reaksi inflamatorik pada beberapa unilateral ganglion sensorik di saraf spinal atau saraf kranial sehingga terjadi nekrosis dengan atau tanpa tanda perdarahan. 2. Reaksi inflamatorik pada akar spinal dan saraf perifer beserta ganglionnya. 3. Gambaran poliomielitis yang mirip dengan akut anterior poliomielitis, yang dapat dibedakan dengan lokalisasi segmental, unilateral dan keterlibatan ‘dorsal horn’, akar dan ganglion. 4. Gambaran leptomeningitis ringan yang terbatas pada segmen spinal, kranial dan akar saraf yang terlibat. Virus herpes zooster kebanyakan memusnahkan sel-sel ganglion yang berukuran besar. Yang luput dari maut dan tersisa adalah sel-sel berukuran kecil. Mereka tergolong dalam serabut halus yang mengahantarkan impuls nyeri, yaitu serabut A-delta dan C. Sehingga semua impuls yang masuk diterima oleh serabut penghantar nyeri. Selain itu pada saraf perifer terjadi perlukaan mengakibatkan saraf perifer tersebut memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah sehingga menimbulkan hyperesthesia yaitu respon sensitifitas yang berlebihan terhadap stimulus. Hal ini menunjukkan adanya kelainan pada proses transduksi. Penghantaran nyeri pada proses transmisi juga mengalami gangguan. Hal ini diakibatkan oleh hilangnya impuls yang disalurkan oleh serabut tebal maka semua impuls yang masih bisa disalurkan kebanyakan oleh serabut halus. Akibatnya sumasi temporal tidak terjadi, karena impuls yang seharusnya dihantarkan melalui serabut tebal dihantarkan oleh serabut halus. Karena sebagian besar dari serabut tebal sudah musnah, maka mayoritas dari serabut terdiri dari serabut halus. Karena itu sumasi temporal yang wajar hilang. 7



Dengan hilangnya sumasi temporal maka proses modulasi yang terjadi pada kornu posterior tidak berjalan secara normal akibatnya tidak terjadi proses antara sistem analgesilk endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior. Kornu posterior adalah pintu gerbang untuk membuka dan menutup jalur penghantaran nyeri. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya gejala hyperalgesia. Maka dari itu impuls yang dipancarkan ke inti thalamus semuanya tiba kira-kira pada waktu yang sama dan hampir semuanya telah dihantarkan oleh serabut halus yang merupakan serabut penghantar impuls nyeri. Kedatangan impuls yang serentak dalam jumlah yang besar dipersepsikan sebagai nyeri hebat yang sesuai dengan sifat neuralgia. Sesuai dengan tipe pada penghantaran serabut saraf masing-masing, yaitu serabut saraf tipe A membawa nyeri tajam, tusuk dan selintas sedangkan serabut saraf tipe C membawa nyeri lambat dengan rasa terbakar dan berkepanjangan. Hal ini mengakibatkan timbulnya allodinia, yaitu nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara normal semestinya tidak menimbulkan nyeri). 4



IV. Epidemiologi Kebanyakan data insidensi herpes zoster dan neuralgia paska herpertika didapatkan dari data Eropa dan Amerika Serikat. Insedensi dari herpes zoster pada negara-negara tersebut bervariasi dari 1.3 sampai 4.8/1000 pasien/tahun, dan data ini meningkat dua sampai empat kali lebih banyak pada individu dengan usia lebih dari 60 tahun. Data lain menyatakan pada penderita imunokompeten yang berusia dibawah 20 tahun dilaporkan 0.4-1.6 kasus per 1000; sedangkan untuk usia di atas 80 tahun dilaporkan 4.5-11 kasus per 1000. Pada penderita imunidefisiensi (HIV) atau anak-anak dengan leukimia dilaporkan 50-100 kali lebih banyak dibandingkan kelompok sehat usia sama. Penelitian Choo 1997 melaporkan prevalensi terjadinya neuralgia paska herpetika setelah onset ruam herpes zoster sejumlah 8 kasus/100 pasien dan 60 hari setelah onset sekitar 4.5 kasus/100 pasien. Sehingga berdasarkan penelitia Choo, diperkirakan angka terjadi neuralgia paska herpetika sekitar 80.000 kasus pada 30 hari dan 45.000 kasus pada 60 hari per 1 juta kasus herpes zoster di Amerika Serikat per tahunnya. V. Faktor resiko Beberapa faktor resiko terjadinya neuralgia paska herpetika adalah meningkatnya usia, nyeri yang hebat pada fase akut herpes zoster dan beratnya ruam HZ. Dikatakan bahwa ruam berat yang terjadi dalam 3 hari setelah onset herpes zoster, 72% penderitanya mengalami neuralgia paska herpetika. Faktor resiko lain yang mempunyai peranan pula 8



dalam menimbulkan neuralgia paska herpetika adalah gangguan sistem kekebalan tubuh, pasien dengan penyakit keganasan (leukimia, limfoma), lama terjadinya ruam. VI. Manifestasi klinis herpes zoster dan neuralgia paska herpetika Tanda khas dari haerpes zooster pada fase prodromal adalah nyeri dan parasthesia pada daerah dermatom yang terkena. Dworkin membagi neuralgia post herpetik ke dalam tiga fase: 1. Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung < 4 minggu, 2. Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan, 3. Neuralgia post herpetik: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster. 1,3 Pada umumnya penderita dengan herpes zoster berkunjung ke dokter ahli penyakit kulit oleh karena terdapatnya gelembung – gelembung herpesnya. Keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu. 1,6 Penyakit ini dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang. 1 Pada masa gelembung –gelembung herpes menjadi kering, orang sakit mulai menderita karena nyeri hebat yang yang dirasakan pada daerah kulit yang terkena. Nyeri hebat itu bersifat neuralgik. Di mana nyeri ini sangat panas dan tajam, sifat nyeri neuralgik ini menyerupai nyeri neuralgik idiopatik, terutama dalam hal serangannya yaitu tiap serangan muncul secara tiba – tiba dan tiap serangan terdiri dari sekelompok serangan – serangan kecil dan besar. Orang sakit dengan keluhan sakit kepala di belakang atau di atas telinga dan tidak enak badan. Tetapi bila penderita datang sebelum gelembung – gelembung herpes timbul, untuk meramalkan bahwa nanti akan muncul 9



herpes adalah sulit sekali. Bedanya dengan neuralgia trigeminus idiopatik ialah adanya gejala defisit sensorik. Dan fenomena paradoksal inilah yang menjadi ciri khas dari neuralgia post herpatik, yaitu anestesia pada tempat – tempat bekas herpes tetapi pada timbulnya serangan neuralgia, justru tempat – tempat bekas herpes yang anestetik itu yang dirasakan sebagai tempat yang paling nyeri. Neuralgia post herpatik sering terjadi di wajah dan kepala. Jika terdapat di dahi dinamakan neuralgia postherpatikum oftalmikum dan yang di daun telinga neuralgia postherpatikum otikum.



6



Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala prodromal rasa terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai dengan dermatom yang terkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu. Intensitas dan durasi dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster dapat dikurangi dengan pemberian acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan famciclovir atau valacyclovir. Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang. VII. Komplikasi Komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus herpes zoster adalah timbulnya neuralgia paska herpetika sehingga neuralgia paska herpetika bukan merupakan kelanjutan dari herpes zoster akut, tetapi merupakan penyakit yang berdiri sendiri yang merupakan komplikasi herpes zoster. Neuralgia paska herpetika merupakan suatu kondisi dimana menetapnya nyeri di tempat lesi walaupun lesi kulit sudah sembuh lama. Dworkin membagi neuralgia paska herpetika ke dalam tiga fase : 10



- Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung < 4 minggu - Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan - Neuralgia paska herpetika: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster. Nyeri digambarkan sebagai rasa seperti terbakar, teiris tajam, rasa tertusuk-tusuk, rasa tersetrum di sepanjang dermatom yang terkena/ terlibat. Didapatkan pula gangguan allodinia dimana sentuhan ringan seperti pada pakaian atau seprei tempat tidur menimbulkan rasa nyeri tajam yang sangat mengganggu pasien. Gangguan nyeri ini dapat menganggu pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi atau saat berpakaian atau saat tidur. Keluhan sensorik lain yang dapat timbul berupa rasa baal daerah lesi, sensitif terhadap perubahan temperatur. 6 Menurut Fields, terdapat dua tipe penilaian terhadap derajat dan luasnya gangguan sensorik pada pasien neuralgia paska herpetika. Fase iritasi, dimana gangguan sensorik (allodinia hilangnya sensorik) terbatas pada lesi kulit dan fase deaferentasi dimana gangguan sensorik meluas dari batas lesi kulit. Pada fase iritasi, penggunaan terapi anastetik lokal intra dermal lebih berguna dibandingkan dengan tipe deaferentasi. Komplikasi lain yang dapat terjadi pada herpes zoster adalah: lesi herpes zoster yang meluas ke seluruh tubuh (biasanya terjadi pada penderita dengan imunodefisiensi), ensefalitis, hepatitis, pneumonitis. VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu: 11 1. Pemeriksaan neurologis pada nervus trigeminus dan pemeriksaan neurologis lainnya. 2. Elektromiografi (EMG) untuk melihat aktivitas elektrik pada nervus 3. Cairan cerebrospinal (CSF) abnormal dlm 61% kasus 4. Pleositosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein 26% dan DNA VZV 22% kasus. 5. Smear vesikel dan PCR untuk konfirmasi infeksi. 6. Kultur viral atau pewarnaan immunofluorescence bisa digunakan untuk membedakan herpes simpleks dengan herpes zoster 7. Mengukur antibodi terhadap herpes zoster. Peningkatan 4 kali lipat mendukung diagnosis herpes zoster subklinis. 11



IX. Tatalaksana terapi neuralgia paska herpetika Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus penderita dengan neuralgia paska herpetika adalah Terapi farmakologis: a. Antivirus Intensitas dan durasi erupsi kutaneus serta nyeri akut pada herpes zoster yang timbul akibat dari replikasi virus dapat dikurangi dengan pemberian asiklovir, Valacyclovir, Famciclovir. Asiklovir diberikan dengan dosis anjuran 5 x 800 mg/hari selama 7 – 10 hari diberikan pada 3 hari pertama sejak lesi muncul. Efek samping yang dapat ditemukan dalam penggunaan obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, diare, pusing, lemah, anoreksia, edema, dan radang tenggorokan. Valasiklovir diberikan dengan dosis anjuran 1 mg/hari selama 7 hari secara oral. Efek samping yang dapat ditemukan da;lam penggunaan obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, dan nyeri perut. Famsiklovir diberikan dengan dosis anjuran 500 mg/hari selama 7 hari selama 7 hari. Efek samping dalam penggunaan opbat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, pusing, nyeri. b. Analgesik Terapi sistemik umumnya bersifat simptomatik, untuk nyerinya diberikan analgetik. Jika diserta infeksi sekunder deberikan antibiotic. Analgesik non opioid seperti NSAID dan parasetamol mempunyai efek analgesik perifer maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil terhadap nyeri neuropatik. Sedangkan penggunaan analgesik opioid memberikan efektifitas lebih baik. Tramadol telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja sebagai agonis mu-opioid yang juga menghambat reuptake norepinefrin dan serotonin. Pada sebuah penelitian, jika dosis tramadol dititrasi hingga maksimum 400 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Namun, efek pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan terjadinya amnesia pada orang tua. Hal yang harus diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat lebih baik dikhususkan pada kasus nyeri yang berat atau refrakter oleh karena efek toleransi dan takifilaksisnya. Dosis yang digunakan maksimal 60 mg/hari .2,8 c. Anti epilepsi Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan 1) memodulasi voltage-gated sodium channel dan kanal kalsium, 2) meningkatkan efek inhibisi GABA, dan 3) menghambat transmisi glutaminergik yang bersifat eksitatorik. Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan memodulasi masuknya kalsium pada kanal kalsium, sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja secara sentral, gabapentin dapat menyebabkan kelelahan, konfusi, dan somnolen. Dosis yang dianjurkan sebesar 1800-3600 mg/d . Karbamazepin, lamotrigine bekerja pada akson terminal dengan memblokade kanal 12



sodium, sehingga terjadi hambatan. Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti halnya gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun berikatan dengan subunit dari voltage-gated calcium channel, sehingga mengurangi influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter (glutamat, substance P, dan calcitonin gene-related peptide) pada primary afferent nerve terminals. Dikatakan pemberian pregabalin mempunyai efektivitas analgesik baik pada kasus neuralgia paska herpetika, neuropati diabetikorum dan pasien dengan nyeri CNS oleh karena trauma medulla spinalis. Didapatkan pula hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas.



2,8



d. Anti depressan Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia paska herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme memblok reuptake (pengambilan kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat mengurangi nyeri melalui jalur inhibisi saraf spinal yang terlibat dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji klinik obat antidepressan trisiklik amitriptilin, dilaporkan 47-67% pasien mengalami pengurangan nyeri tingkat sedang hingga sangat baik. Amitriptilin menurunkan reuptake saraf baik norepinefrin maupun serotonin. dengan pemberian tricyclic antidepressant seperti amiitriptyline dengan dosis, 25-150 mg/d secara oral. Obat ini akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan phenitiazine. TCA telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik dibanding SSRI (selective serotonine reuptake inhibitor) seperti fluoxetine, paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya mungkin dikarenakan TCA menghambat reuptake baik serotonin maupun norepinefrin, sedangkan SSRI hanya menghambat reuptake serotonin. Efek samping TCA berupa sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek kardiovaskular seperti blok konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat meningkatkan berat badan, menurunkan ambang rangsang kejang, dan hipotensi ortostatik. Anti depressan yang biasa digunakan untuk kasus neuralgia pot herpetika adalah amitriptilin, nortriptiline, imipramine, desipramine dan lainnya. 2,8 e. Terapi topikal Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat voltage-gated sodium channels. Inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap terjadinya impuls ektopik spontan. Obat ini bekerja lebih baik jika kerusakan pada neuron hanya terjadi sebagian, fungsi nosiseptor tetap ada, dan adanya jumlah kanal sodium yang berlebih. Mekanisme lainnya adalah dengan memodifikasi aktivitas NMDA. Lidokain topikal merupakan obat yang sering diteliti dengan hasil yang baik dalam mengobati nyeri neuropatik. Sebuah studi menunjukkan efek yang baik dengan penggunaan lidocaine patch 5% untuk pengobatan NPH. Obat ini ditempatkan pada daerah simtomatik selama 12 jam dan dilepas untuk 12 jam kemudian. Obat ini dapat digunakan selama bertahun-tahun dan dipakai sebagai pilihan terapi tambahan pada pasien orang tua. Penggunaan krim topikal seperti capsaicin cukup 13



banyak dilaporkan. Krim capsaicin sampai saat ini adalah satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk neuralgia paska herpetika. Capsaicin berefek pada neuron sensorik serat C (C-fiber). Telah diketahui bahwa neuron ini melepaskan neuropeptida inflamatorik seperti substansia P yang menginisiasi nyeri. Dengan dosis tinggi, capsaicin mendesensitisasi neuron ini. Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai efek sensasi rasa terbakar yang sering tidak bisa ditoleransi pemakainya (1/3 pasien pada uji klinik ini). 2



X. PROGNOSIS Umumnya prognosisnya baik, di mana ini bergantung pada tindakan perawatan sejak dini. pada umumnya pasien dengan neuralgia post herpetika respon terhadap analgesik seperti antidepressan trisiklik. Jika terdapat pasien dengan nyeri yang menetap dan lama dan tidak respon terhadap terapi medikasi maka diperlukan pencarioan lanjutan untuk mencari terapi yang sesuai.



1



Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu fungsi sensorik. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.1 Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko berulangnya HZ masih mungkin terjadi sebagaimana disebutkan dari literatur, selama pasien mempunyai daya tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.1



XI. KESIMPULAN



Neuralgia post herpetik adalah nyeri neuropatik yang menetap setelah onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster). Biasanya di dahului oleh adanya riwayat menderita varicella pada masa kanak-kanak. Ketika telah berumur tua, terutama pada usia 50 tahun ke atas, atau dalam keadaan imunokmpromise maka virus herpes ini akan mengalami reaktivasi. Manifestasi klinis yang sering di jumpai adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Penatalaksanaan penyakit ini dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan non farmakologi. Pemeriksaan penunjang pada penyakit ini tidak terlalu berarti, cukup dengan



14



anamnesis dan pemeriksaan fisis, diagnosa penyakit ini sudah dapat ditegakkan. Prognosisnya tidak buruk, pada umumnya dapat sembuh dengan terapi yang teratur. Sebuah meta-analisis melaporkan bahwa mengobati zoster pada saat ruam dengan antivirus seperti asiklovir tidak mengurangi kemungkinan neuralgia postherpetic. 10



15



DAFTAR PUSTAKA 1. Sidharta, P. NEUROLOGI KLINIS DALAM PRAKTEKU UMUM . Jakarta : Dian Rakyat.2004 2. Mayo Foundation For Medical Education And Research. POST HERPETIC NEURALGIA. 2009 [online].http://www.mayoclinic.com/health/postherpeticneuralgia/DS00277 3. U. S. National library of Medicine and The National Institute of health. MEDICAL ENCYCLOPEDIA : NEURALGIA.2009. [on line]. http://medlineplus.com 4. Pappagallo, M. THE NEUROLOGICAL BASIS OF PAIN : NEUROFISIOLOGI OF NOCICEPTION. New York: McGraw-Hill.2005; (1) : 3-4 5. Lumbantobing. NEUROLOGI KLINIK PEMERIKSAAN FISIK DAN MENTAL : SARAF OTAK. Jakarta: Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia. 2008; (11): 55-60 6. Donald, G. H. NEW ENGLAND JOURNAL OF MEDICINE : NEUROLOGIC COMPLICATIONS OF THE REACTIVATION OF VARICELLA–ZOSTER VIRUS. 2000; (342): 635-645.[on line] http//: New England Journal of Medicine= 635.html 7. Gnann, JW dkk. NEW ENGLAND JOURNAL OF MEDICINE : HERPES ZOSTER. 2002; (347) :340-346. [ on line ] http :// New England Journal of Medicine 340.htm 8. U. S. National Library of Medicine and The National institutes of Health. MEDICAL ENCYCLOPEDIA : NEURALGIA.2009. [on line]. :http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001407.htm 9. Aminoff, M. J. dkk. CLINICAL NEIROLOGY : HEADACHE AND FACIAL PAIN. New York : Mc-Graw-Hill. 2005; (6):84-85 10. Mansjoer,A dkk. 2005. KAPITA SELEKTA.ED.2.Jakarta : Universitas Indonesia. 2005 11. Wikipedia. FREE ENCYCLOPEDIA : POST HERPETIC NEURALGIA. 2009.[on line]. http://en.wikipedia.org/wiki/post herpetic_neuralgia.



16