Kekurangan Energi Protein Devinisi Klasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KEKURANGAN ENERGI PROTEIN MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Epidemiologi Penyakit Tidak Menular Yang dibina oleh Ibu drg. Rara Warih Gayatri, M.PH



Oleh : Betrix Rifana K.I Emma Dhara Marini Putri Sarifatul Mila Rahma Ismayanti



130612607896/2013 130612607872/2013 130612607845/2013 130612607891/2013



UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT MARET 2015



i



DAFTAR ISI Halaman Sampul ................................................................................................ i Daftar Isi ............................................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 2 1.3 Tujuan .......................................................................................................... 2 BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 3 2.1 Kekurangan Energi Protein ......................................................................... 3 2.1.1 Definisi Kekurangan Energi Protein .................................................. 3 2.1.2 Klasifikasi Kekurangan Energi Protein ............................................ 3 2.1.3 Tanda dan Gejala Kekurangan Energi Protein



.............. 4



2.1.4 Pemeriksaan dan Diagnosa Kekurangan Energi Protein ................... 6 2.1.5 Penatalaksanaan Kekurangan Energi Protein ....................................16 2.1.6 Pencegahan Kekurangan Energi Protein ............................................28 2.2 Distribusi Frekuensi Kekurangan Energi Protein .......................................29 2.2.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia ..............................................30 2.2.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin ..............................30 2.2.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Waktu ..........................................32 2.2.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Penghasilan ....................33 2.3 Faktor Resiko Kekurangan Energi Protein .................................................34 BAB III PENUTUP ..........................................................................................38 3.1 Kesimpulan ..................................................................................................38 Daftar Pustaka ....................................................................................................40



ii



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang



KEP (Kekurangan Energi dan Protein) atau Protein Energy Malnutrition merupakan salah satu gangguan gizi yang penting bagi



banyak



negara



yang sedang



berkembang di Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. KEP terdapat terutama pada



anak-anak



(balita).



Dari



di



bawah



berbagai



lima



hasil



tahun



penelitian



menunjukan bahwa KEP merupakan salah satu bentuk kurang gizi yang mempunyai dampak



menurunkan



mutu



fisik



dan



intelektual, serta menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat meningkatkan resiko kesakitan



dan



kematian



terutama



pada



kelompok rentan biologis. Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari defisiensi makro nutrien ke defisiensi mikro nutrien, namun beberapa daerah di Indonesia prevalensi KEP masih tinggi (> 30 %) sehingga memerlukan penanganan intensif dalam upaya penurunan prevalensi



KEP.



Berbagai



upaya



untuk



menanggulangi kejadian KEP antara lain pemberdayaan



keluarga,



perbaikan



lingkungan, menjaga ketersediaan pangan, perbaikan



pola



konsumsi



dan



pengembangan pola asuh, melakukan KIE, melakukan penjaringan dan pelacakan kasus KEP,



memberikan



pendampingan



PMT petugas



penyuluhan, kesehatan,



mengoptimalkan Poli Gizi di Puskesmas, dan 1



revitalisasi Posyandu. Meskipun berbagai telah



upaya dilakukan,



namun



tetap



kasus



saja KEP



bermunculan



di



setiap tahunnya. Hal ini



disebabkan



kompleksnya penyebab KEP itu sendiri. Mengingat pentingnya pengetahuan



akan



KEP



tersebut,



maka



kami



menyusun makalah berjudul “Kekurangan Energi Protein” ini yang didalamnya memaparkan hal-hal yang dengan



berhubungan KEP



itu



sendiri.



2



1.2 Rumusan Masalah Berikut rumusan masalah yang terkait dengan makalah ini; 1. Apa definisi dari kekurangan energi protein ? 2. Apa saja jenis dari kekurangan energi protein ? 3. Apa tanda dan gejala kekurangan energi protein ? 4. Bagaimana pemeriksaan dan diagnosa kekurangan energi protein ? 5. Bagaimana penatalaksanaan kekurangan energi protein ? 6. Bagaimana pencegahan kekurangan energi protein ? 7. Bagaimana distribusi frekuensi kekurangan energi protein ? 8. Apa saja faktor resiko kekurangan energi protein ? 1.3 Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini antara lain; 1. Mengetahui definisi dari kekurangan energi protein 2. Mengetahui jenis dari kekurangan energi protein 3. Mengetahui tanda dan gejala kekurangan energi protein 4. Mengetahui pemeriksaan dan diagnosa kekurangan energi protein 5. Mengetahui penatalaksanaan kekurangan energi protein 6. Mengetahui pencegahan kekurangan energi protein 7. Mengetahui distribusi frekuensi kekurangan energi protein 8. Mengetahui faktor resiko kekurangan energi protein



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Kekurangan Energi Protein 2.1.1 Definisi Kekurangan Energi Protein Kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (Pudjiani, 2000). Sedangkan menurut Depkes RI (1999) Kurang Energi Protein (KEP) adalah masalah gizi kurang akibat konsumsi pangan tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. KEP sendiri lebih sering dijumpai pada anak prasekolah (Soekirman, 2000). Jadi dapat disimpulkan bahwa Kekurangan Energi Protein adalah keadaan kurang gizi yang dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu konsumsi energi dan protein kurang dan gangguan kesehatan. 2.1.2 Klasifikasi Kekurangan Energi Protein Penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat beratnya KEP. Tingkat KEP I dan KEP II disebut tingkat KEP ringan dan sedang dan KEP III disebut KEP berat. KEP berat ini terdiri dari marasmus, kwashiorkor dan gabungan keduanya. Maksud utama penggolongan ini adalah untuk keperluan perawatan dan pengobatan. Untuk menentukan klasifikasi diperlukan batasan-batasan yang disebut dengan ambang batas. Batasan ini di setiap negara relatif berbeda, hal ini tergantung dari kesepakatan para ahli gizi di negara tersebut, berdasarkan hasil penelitian empiris dan keadaan klinis. Klasifikasi KEP menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI Tahun 1999 dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu KEP I(ringan), KEP II (sedang) dan KEP III (berat). Baku rujukan yang digunakan adalah WHO-NCHS, dengan indeks berat badan menurut umur.



Klasifikasi KEP menurut Depkes RI (1999) : Kategori



Status



BB/U (%Baku WHO-NCHS, 1983)



KEP I (KEP Ringan)



Gizi Sedang



70 % – 79,9 % Median BB/U



KEP II (KEP Sedang)



Gizi Kurang



60 % – 69,9 % Median BB/U



KEP III (KEP Berat)



Gizi Buruk



< 60 % Median BB/U



Sumber: Depkes RI (1999) Sedangkan klasifikasi kurang Energi Protein menurut standar WHO:



Klasifikasi Malnutrisi sedang



Malnutrisi Berat



Edema



Tanpa edema



Dengan edema



BB/TB



-3SD s/d -2 SD



< -3 SD



TB/U



-3SD s/d -2 SD



< -3 SD



2.1.3 Tanda dan Gejala Kekurangan Energi Protein Berikut beberapa tanda klinis dari Kekurangan Energi Protein (KEP): 1. Pada Rambut terdapat tanda-tanda kurang bercahaya (lack of clustee): rambut kusam dan kering;



Rambut tipis dan jarang (thinness and



aparseness); Rambut kurang kuat/ mudah putus (straightness); Kekurangan pigmen rambut (dispigmentation): berkilat terang, terang pada ujung, mengalami perubahan warna : coklat gelap/ terang, coklat merah/ pirang dan kelabu; Tanda bendera (flag sign) dikarakteristikkan dengan pita selang-seling dari terang/ gelapnya warna sepanjang rambut dan mencerminkan episode selang-seling. 2. Sementara tanda-tanda pada wajah diantaranya terjadi penurunan pigmentasi (defuse depigmentation) yang tersebar berlebih apabila disertai anemia; 3. Wajah seperti bulan (moon face), wajah menonjol ke luar, lipatan naso labial; Pengeringan selaput mata (conjunction xerosis); Bintik bilot (Bilot’s sport); Pengeringan kornea (cornea xerosis).



4. Tanda-tanda pada mata,



antara lain



pada



Selaput mata



pucat;



Keratomalasia, keadaan permukaan halus/ lembut dari keseluruhan bagian tebal atau keseluruhan kornea;



Angular palpebritis. Sedangkan pada bibir



terjadi Angular stomatitis; Jaringan parut angular; Cheilosis. 5. Tanda-tanda pada lidah, Edema dari lidah; Lidah mentah atau scarlet; Lidah magenta; Atrofi papila (papilla atrophic). 6. Tanda-tanda pada gigi: Mottled enamel; Karies gigi; Pengikisan (attrition); Hipolasia enamel (enamel hypoplasia); Erosi email (enamel erosion). 7. Tanda-tanda pada gusi : Spongy bleeding gums, yaitu bunga karang keunguan atau merah yang membengkak pada papila gigi bagian dalam dan atau tepi gusi. 8. Tanda pada Kulit, antara lain : Xerosis, yaitu keadaan kulit yang mengalami kekeringan tanpa mengandung air;Follicular hyperkeratosis; Petechiae. Bintik haemorhagic kecil pada kulit atau membran berlendir yang sulit dilihat pada orang kulit gelap; Pellagrous rash atau dermatosis (spermatitis). Lesi kulit pelagra yang khas adalah area simetris, terdemarkasi (batas) jelas, berpigmen berlebihan dengan atau tanpa pengelupasan kulit (exfoliasi); Flaky-paint rash atau dermatosis;Scrotal and vulval dermatosis; Lesi dari kulit skrotum atau vulva, sering terasa sangat gatal. Infeksi sekunder bisa saja terjadi. 9. Sedangkan tanda-tanda pada kuku, diantaranya : Koilonychia, yaitu keadaan kuku bagian bilateral cacat berbentuk sendok pada kuku orang dewasa atau karena sugestif anemia (kurang zat besi). Kuku yang sedikit berbentuk sendok dapat ditemukan secara umum hanya pada kuku jempol dan pada masyarakat yang sering berkaki telanjang Marasmus 1. sangat kurus, tampak tulang terbungkus kulit 2. wajah seperti orang tua 3. cengeng dan rewel 4. kulit keriput 5. jaringan lemak sumkutan minimal/tidak ada sering disertai diare kronik dan penyakit kronik ,tekanan darah dan jantung serta pernafasan kurang.



Kwashiorkor 1. Edema yang dapat terjadi di seluruh tubuh, 2. wajah sembab dan membulat 3. mata sayu 4. rambut tipis, kemerahan seperti rambut jagung, mudah dicabut



dan



rontok 5. cengeng, rewel dan apatis 6. pembesaran hati, otot mengecil (hipotrofi), bercak



merah ke coklatan di



kulit dan mudah terkelupas (crazy pavement dermatosis) sering disertai penyakit infeksi terutama akut, diare dan anemia. Marasmus-Kwashiorkor Gabungan dari marasmus dan kwashiorkor 2.1.4 Pemeriksaan dan Diagnosa Kekurangan Energi Protein Kekurangan Energi Protein mempengaruhi penampilan, pertumbuhan dan perkembangannya, kondisi kesehatan serta ketahanan tubuh terhadap penyakit. Pengkajian status gizi adalah proses yang digunakan untuk mengetahui apakah seseorang mengalami kekurangan energi protein. Mengkaji status gizi sebaiknya menggunakan lebih dari satu parameter sehingga hasil kajian lebih akurat. Pengkajian status gizi pada usia lanjut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Anamnesis Hal-hal yang perlu diketahui antara lain: Identitas, orang terdekat yang dapat dihubungi, keluhan dan riwayat penyakit, riwayat asupan makanan, riwayat operasi yang mengganggu asupan makanan, riwayat penyakit keluarga, aktivitas sehari-hari, riwayat buang air besar atau buang air kecil, dan kebiasaan lain yang dapat mengganggu asupan makanan (Supariasa, 2002). b. Pengukuran antopometri Pengukuran antropometri adalah pengukuran tentang ukuran, berat badan, dan proporsi tubuh manusia dengan tujuan untuk mengkaji status nutrisi dan ketersediaan energi pada tubuh serta mendeteksi adanya masalahmasalah nutrisi pada seseorang. (Nurachmah, 2001).



Pengukuran antropometri yang dapat digunakan untuk menetukan status gizi meliputi tinggi badan, berat badan, tinggi lutut (knee high), tebal lipatan kulit (pengukuran skinfold), dan lingkar lengan atas. Cara yang paling sederhanan dan banyak digunakan adalah dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT) (Fatmah, 2010). Adapun beberapa pengukuran antropometri yang dapat dilakukan pada adalah sebagai berikut: 1) Tinggi Badan Tinggi Badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, TB tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Tinggi Badan merupakan parameter paling penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat, serta dapat digunakan sebagai ukuran kedua yang penting, karena dengan menghubungkan BB terhadap TB (quac stick) faktor umur dapat dikesampingkan. Pengukuran tinggi badan dapat menggunakan alat pengukur tinggi badan microtoise dengan kepekaan 0,1 cm dengan menggunakan satuan sentimeter atau inci. pengukuran dilakukan pada posisi berdiri lurus dan tanpa menggunakan alas kaki. 2) Berat Badan Merupakan ukuran antropometri terpenting dan paling sering digunakan. Pengukuran berat badan juga dapat memberikan gambaran status gizi seseorang dengan mengetahui indeks massa tubuh. Pengukuran berat badan ini menggunakan timbangan injak seca. 3) Tinggi Lutut Tinggi lutut erat kaitannya dengan tinggi badan, sehingga data tinggi badan bisa didapatkan dari tinggi lutut bagi orang tidak dapat berdiri atau lansia. Tinggi lutut dapat dilakukan pada usia lanjut yang tulang punggungnya mengalami osteoporosis, sehingga terjadi penurunan tinggi badan (Fatmah, 2010). Dari tinggi lutut dapat dihitung tinggi badan sesungguhnya dengan rumus persamaan Chumlea (1988): Tinggi Badan (laki-laki)



=



64,19- (0,04-usia dalam tahun) +(2,02 – tinggi lutut dalam cm)



Tinggi Badan (perempuan) =



84,88 - (0,24-usia dalam tahun) +(1,83 – tinggi lutut dalam cm)



4) Tebal lipatan kulit Pengukuran ketebalan lipatan kulit merupakan salah satu cara menentukan presentasi lemak pada tubuh. Lemak tubuh merupakan penyusun komposisi tubuh yang merupakan salah satu indikator yang bisa digunakan untuk memantau keadaan nutrisi melalui kadar lemak dalam tubuh .Pengukuran lipatan kulit mencerminkan lemak pada jaringan subkutan, massa otot dan status kalori. Pengukuran ini dapat juga digunakan untuk mengkaji kemungkinan malnutrsi, berat badan normal atau obesitas (Nurachmah, 2001) Untuk menentukan tebal lipatan kulit digunakan sebuah jangka lengkung (caliper) yang dijepit pada bagian-bagian kulit yang telah ditentukan. Adapun standar tempat pengukuran Skinfold menurut Heyward Vivian H dan Stolarczyk L.M. dalam Supariasa (2002) ada sembilan tempat, yaitu dada,subscapula, midaxilaris, suprailiaka, perut, trisep, bisep, paha, dan betis. Berikut pengukuran skinfold.



menunjukkan tempat-tempat dan petunjuk



(Sumber: Supariasa, 2002) Hasil pengukuran tebal lipatan lemak bawah kulit pada empat sisi tubuh yakni trisep, bisep, suprailiaka, dan subskapula dapat digunakan untuk melihat presentase lemak tubuh melalui rumus matematis menurut Durmin & Wormersley dalam Budiharjo, Romi, & Prakosa (2004). Persen lemak tubuh :



Sumber: Durmin & Wormersley Body Fat Assessed from total body Density and its estimation from skinfold Thickness dalam Budiharjo, Romi, & Prakosa (2004) Hasil dari persentase lemak tubuh berdasarkan rumus matematis dari Durmin & Wormersley kemudian dibandingkan dengan kategori nilai presentasi lemak tubuh berdasarkan jenis kelamin dan umur pada tabel berikut (Morrow et al, 2005)



Rumus persamaan prediksi persentasi total lemak tubuh yang ditemukan oleh Durmin & Wormersley dengan pengukuran tebal lemak bawah kulit berdasarkan empat titik pada tubuh ini telah banyak digunakan dalam penelitian luar maupun dalam negeri. Budiharjo, Romi, & Prakosa (2004) telah menggunakan persamaan Durmin & Wormersley



tersebut untuk melihat pengaruh latihan fisik



terhadap persentase lemak tubuh wanita lanjut usia di Yogyakarta. 5) Lingkar lengan atas Lingkar lengan atas merupakan pengkajian umum yang digunakan untuk menilai status nutrisi. Pengukuran LLA dilakukan dengan menggunakan sentimeter kain (tape around). Pengukuran dilakukan pada titik tengah lengan yang tidak dominan (Nurachmah, 2001). 6) Indeks Massa Tubuh (IMT) IMT merupakan indikator status gizi yang cukup peka digunakan untuk menilai status gizi orang dewasa diatas umur 18 tahun dan mempunyai hubungan yang cukup tinggi dengan persen lemak dalam tubuh (Fatmah,



10



2010). IMT juga merupakan sebuah ukuran “berat terhadap tinggi” badan yang umum digunakan untuk menggolongkan orang dewasa ke dalam kategori Underweight (kekurangan berat badan), Overweight (kelebihan berat badan) dan Obesitas (kegemukan). Rumus atau cara menghitung IMT yaitu dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan kuadrat dari tinggi badan dalam meter (kg/m2) (Andaka,2008).



Pengukuran berat badan menggunakan timbangan dengan ketelitian hingga 0,5 kg dengan pakaian seminimal mungkin dan tanpa alas kaki. Pengukuran tinggi badan dapat menggunakan alat pengukur tinggi badan dengan kepekaan 0,1 cm. pengukuran dilakukan pada posisi berdiri lurus dan tanpa menggunakan alas kaki. Status gizi ditentukan berdasarkan indeks IMT.



7) Pemeriksaan Biokimia Dalam pengkajian nutrisi umumnya digunakan nilai-nilai biokimia seperti kadar total limposit, serum albumin, zat besi, serum transferin, kreatinin, hemoglobin, dan hematokrit. Nilai-nilai ini, bersama dengan hasil pemeriksaan antropometrik akan membantu memberi gambaran tentang status nutrisi dan respon imunologi seseorang (Arisman, 2004). Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan resiko status nutrisi kurang bila hasilnya menunjukkan penurunan hemoglobin dan hematokrit, penurunan nilai limposit, serum albumin kurang dari 3,5 gram/dl dan peningkatan atau penurunan kadar kolesterol (Nurachmah, 2001). a. Hemoglobin dan Hematokrit



Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas (daya gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah. Dengan melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari paru-paru ke jaringan-jaringan (Evelyn, 2009). Pengukuran Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) adalah pengukuran yang mengindikasikan defisiensi berbagai bahan nutrisi. Pada malnutrisi berat, kadar hemoglobin dapat mencerminkan status protein. Pengukuran hemoglobin menggunakan satuan gram/desiliter dan hematokrit



menggunakan satuan



persen.



Adapun



kadar



normal



hemoglobin berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin menurut WHO dalam Arisman (2004) terdapat pada tabel dibawah ini:



b. Transferrin Nilai serum transferin adalah parameter lain yang digunakan dalam mengkaji status protein viseral. Serum transferin dihitung menggunakan kapasitas total ikatan zat besi atau total iron binding capacity (TIBC), dengan menggunakanrumus dibawah ini (Nurachmah, 2001) Satuan yang digunakan dalam rumus diatas adalah miligram/desiliter. Nilai normal transferin serum adalah 170-250 mg/dl. c. Serum Albumin Nilai serum albumin adalah indikator penting status nutrisi dan sintesa protein. Kadar albumin rendah sering terjadi pada keadaan infeksi, injuri, atau penyakit yang mempengaruhi kerja hepar, ginjal, dan saluran pencernaan. d. Keseimbangan nitrogen Pemeriksaan keseimbangan nitrogen digunakan untuk menentukan kadar pemecahan protein di dalam tubuh. Dalam keadaan normal tubuh



memperoleh nitrogen melalui makanan dan mengeluarkannya melalui urine dalam jumlah yang relatif sama setiap hari. Transferrin Serum = (8 X TIBC)-43 Ketika katabolisme protein melebihi pemasukan protein melalui makanan yang dikonsumsi setiap hari maka keseimbangan nitrogen menjadi negatif. Bila nilai keseimbangan nitrogen yang negatif berlangsung secara terus menerus maka pasien beresiko mengalami malnutrisi protein (Nurachmah, 2001). 8. Mini Nutritional Assesment Mini Nutritional Assesment (MNA) merupakan bentuk screening gizi yang dilakukan untuk mengetahui apakah seorang mempunyai resiko mengalami malnutrisi akibat penyakit yang diderita dan atau perawatan di rumah sakit. MNA ini merupakan metoda yang banyak dipakai karena sangat sederhana dan mudah dalam pelaksanaannya. Penelitian yang dilakukan pada 200 pasien preoperasi gastrointestinal menunjukkan bahwa MNA dapat dilakukan oleh para klinis terlatih, mempunyai reprodusibilitas tinggi dapat menapis pasien yang mempunyai resiko menderita malnutrisi. Kesimpulan pemeriksaan MNA adalah menggolongkan pasien dalam keadaan status gizi baik, beresiko malnutrisi atau malnutrisi berat. MNA mempunyai 2 bagian besar yaitu screening dan assesment, dimana penjumlahan semua skor akan menentukan seorang pada status gizi baik, beresiko malnutrisi atau beresiko underweight (Darmojo,2010). 9. Pemeriksaan Klinis Pemeriksaan klinis adalah penilaian keadaan fisik yang berhubungan dengan adanya malnutrisi. Prinsip pemeriksaan yang digunakan adalah ”cephalo caudal” atau ”head to feet” yaitu dari kepala ke kaki. Tanda-tanda dan gejala gejala klinik defisiensi nutrisi dapat dilihat pada tabel dibawah ini:



Selain cara-cara diatas KEP juga dapat diketahui dengan mengamati timbulnya gejala. Salah satu gejala dari penderita KEP ialah hepatomegali, yaitu pembesaran hepar yang terlihat sebagai pembuncitan perut. Anak yang menderita tersebut sering pula terkena infeksi cacing. Kedua gejala pembuncitan perut dan infeksi cacing ini diasosiasikan dalam pendapat oleh para ibu-ibu di Indonesia bahwa anak yang perutnya buncit menderita penyakit cacingan dan bukan karena kurang energi protein (USU, 2004). Kejadian gizi buruk perlu didetekesi secara dini melalui intensifikasi pemantauan pertumbuhan dan identifikasi faktor risiko yang erat dengan kejadian luar biasa gizi seperti campak dan diare melalui kegiatan surveilans (Krisnansari, 2010). Pada keadaan kekurangan energi protein terdapat perubahan nyata dari komposisi tubuh seperti jumlah dan distribusi cairan, lemak, mineral, dan protein terutama protein otot. Tubuh mengandung lebih banyak cairan. Keadaan ini merupakan akibat hilangnya lemak, otot dan jaringan lain. Cairan



ekstra sel terutama pada anak-anak dengan edema terdapat lebih banyak dibandingkan tanpa edema. Kalium total tubuh menurun terutama dalam sel sehingga menimbulkan gangguan metabolik pada organ-organ seperti ginjal, otot dan pankreas. Dalam sel otot kadar natrium dan fosfor anorganik meninggi dan kadar magnesium menurun. Kelainan organ sering terjadi seperti sistem alimentasi bagian atas (mulut, lidah dan leher), sistem gastrointestinum (hepar, pankreas), jantung, ginjal, system endokrin sehingga gizi buruk harus segera ditangani dengan cepat dan cermat.(Krisnansari, 2010) Keadaan kekurangan protein dalam tubuh apabila secara berlebihan dapat menyebabkan penyakit kekurangan energi kronik seperti marasmus dan kwashiorkor. Gejala penyakit tersebut yang paling spesifik adalah adanya oedem, ditambah dengan adanya gangguan pertumbuhan serta terjadinya perubahan-perubahan psikomotorik. Anak-anak yang menderita penyakit kekurangan engergi protein menjadi apatis, nafsu makan kurang, rewel, dan wajahnya bengkak berbentuk bulan. Terjadinya oedem mula-mula dianggap sebagai akibat turunnya kadar serum albumin. Hal ini selalu terjadi pada penderita kuashiorkor. Turunnya serum albumin akan menyebabkan turunnya tekanan osmotik darah, akibatnya terjadi perembesan cairan menerobos pembuluh darah masuk ke dalam jaringan tubuh, sehingga terjadi oedem (USU, 2004) Sedangkan penyakit lain akibat kekurangan energi protein adalah marasmus. Tipe marasmus ditandai dengan gejala tampak sangat kurus, wajah seperti orang tua, cengeng, rewel, kulit keriput, perut cekung, rambut tipis, jarang dan kusam, tulang iga tampak jelas, pantat kendur dan keriput (Krisnansari, 2010) Terdapat gejala lain seseorang terkena kekurangan energi protein, antara lain berat badan kurang dari 40 kg atau tampak kurus dan LILA (lingkaran lengan atas) kurang dari 23,5cm. Menurut Depkes RI (1994) pengukuran LILA pada kelompok wanita usia subur(WUS) adalah salah satu deteksi dini yang mudah dan dapat dilaksanakan masyarakat awam, untuk mengetahui kelompok beresiko KEK. Wanita usia subur adalah wanita usia 15-45 tahun.



Ambang batas LILA pada WUS dengan resiko KEK di Indonesia adalah 23,5cm, apabila ukuran LILA kurang dari 23,5cm atau dibagian merah pita LILA, artinya wanita tersebut mempunyai resiko KEK, dan diperkirakan akan melahirkan berat bayi lahir rendah (BBLR). BBLR mempunyai resiko kematian, kurang gizi, gangguan pertumbuhan dan gangguan perkembangan anak (USU, 2004) Diagnosis KEP ditegakkan berdasarkan perubahan atau kelainan yang dijumpai pada penyediaan makanan, pola konsumsi, perubahan metabolik dan fisiologi, keadaan fisik yang ditimbulkan, dan perubahan yang terjadi pada komposisi cairan tubuh (laboratorium). Secara garis besar penegakkan diagnosis KEP dilapangan maupun dirumah sakit adalah berdasarkan (Krisnansari, 2010): 1.



Jumlah asupan zat gizi rendah atau kurang seperti karbohidrat, lemak, dan protein.



2.



Klinis sesuai dengan jenisnya.



2.1.5 Penatalaksanaan Kekurangan Energi Protein Pasien dengan KEP tidak kompleks



(KEP tipe I dan KEP tipe II)



seharusnya diobati di luar rumah sakit sejauh memungkinkan. Perawatan rumah sakit meningkatkan resiko infeksi silang dan situasi yang tidak umum, meningkatkan apatis dan anoreksia pada anak-anak, sehingga makannya akan sulit. Berikut penatalaksanaan terhadap Kekurangan Energi Protein (KEP); a. KEP I (KEP ringan) Penatalaksanaan terhadap Kekurangan Energi Protein tipe I (KEP ringan); 1. Penyuluhan gizi/nasehat pemberian makanan di rumah (bilamana penderita rawat jalan) 2. Dianjurkan memberikan ASI eksklusif (bayi < 4 bl) dan terus memberikan ASI sampai 2 th 3. Bila dirawat inap untuk penyakit lain, maka makanan disesuaikan dengan penyakitnya agar tidak menyebabkan KEP sedang/berat dan untuk meningkatkan status gizi. b. KEP II (KEP sedang)



Penatalaksanaan terhadap Kekurangan Energi Protein tipe II (KEP sedang); 1. Rawat jalan : Nasehat pemberian makanan dan vitamin serta teruskan ASI, selalu dipantau kenaikan BB. 2. Tidak rawat jalan : Dapat dirujuk ke puskesmas untuk penanganan masalah gizi 3. Rawat inap : Makanan tinggi energi dan protein dengan kebutuhan energi 20-50% di atas AKG. Diet sesuai dengan penyakitnya dan dipantau berat badannya setiap hari, beri vitamin dan penyuluhan gizi. Setelah penderita sembuh dari penyakitnya, tapi masih menderita KEP ringan atau sedang rujuk ke puskesmas untuk penanganan masalah gizinya. c. KEP III (KEP Berat) Pada tata laksana rawat inap penderita KEP berat/Gizi buruk di rumah sakit terdapat 5 (lima) aspek penting, yang perlu diperhatikan : a. Prinsip dasar pengobatan rutin KEP berat/Gizi buruk (10 langkah utama) Pengobatan rutin yang dilakukan di rumah sakit berupa 10 langkah penting yaitu : 1.



Mengatasi/mencegah hipoglikemia



2.



Mengatasi/mencegah hipotermia



3.



Mengatasi/mencegah dehidrasi



4.



Mengkoreksi gangguan keseimbangan elektrolit



5.



Mengobati/mencegah infeksi



6.



Mulai pemberian makanan



7.



Fasilitasi tumbuh-kejar (“catch up growth”)



8.



Mengkoreksi defisiensi nutrien mikro



9.



Melakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental



10. Menyiapkan dan merencanakan tindak lanjut setelah sembuh. b. Pengobatan penyakit penyerta.



Pengobatan ditujukan pada penyakit yang sering menyertai KEP berat, yaitu : defisiensi vitamin A, dermatosis, parasit/cacing, diare melanjut, dan tuberkulosis obati sesuai pedoman pengobatan. c. Kegagalan pengobatan. d. Penderita pulang sebelum rehabilitasi tuntas. e. Tindakan pada kegawatan. Strategi pengobatan dibagi ke dalam 3 tingkat (Penny, 2004; WHO, 1999): a) Fase inisial atau akut (fase stabilisasi dan fase transisi) (2-10 hari) Pada fase ini diusahakan mengatasi komplikasi berupa dehidrasi, hipoglikemia dan infeksi, bersamaan dengan dimulainya terapi nutrisi. Pada fase inisial terdapat 10 langkah yang harus diperhatikan, yaitu; 1. Pengobatan /Pencegahan Hipoglikemia Semua



anak



dengan



malnutrisi



berat



berisiko



mengalami



hipoglikemia (kadar gula darah 6 bulan dan belum pernah diimunisasi (bila keadaan anak



sudah



memungkinkan,



paling



lambat



sebelum



anak



dipulangkan). Ulangi pemeberian vaksin setelah keadaan gizi anak menjadi baik. Beberapa ahli memberikan metronidazol (7,5 mg/kgbb, setiap 8 jam selama 7 hari) sebagai tambahan pada antibiotika spektrum luas guna mempercepat perbaikan mukosa usus dan mengurangi risiko kerusakan oksidatif dan infeksi sistemik akibat



pertumbuhan



bakteri



anaerob



dalam



usus



halus.



Pilihan antibiotika spektrum luas, bila tanpa penyulit Kotrimoksazol 5 mL suspensi pediatri p.o. 2x/hari selama 5 hari (2,5 mL bila berat badan < 4 kg). Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada penyulit (hipoglikemia, hipotermia, infeksi kulit, saluran nafas atau saluran kencing), berikan Ampisillin 50mg/kgbb im/iv setiap 6 jam selama 2 hari, kemudian p.o. amoksisilin 15mg/kgbb setiap 8 jam selama 5 hari. Bila amoksisilin tidak ada, teruskan ampisilin 50 mg/kgbb setiap 6 jam p.o. dan Gentamisin 7,5 mg/kgbb/i.m./i.v. sekali sehari selama 7 hari. Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis, tambahkan kloamfenikol 25 mg/kgbb/i.m/i.v. setiap 6 jam selama 5 hari. Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan antibiotik spesifik yang sesuai. Tambahkan obat malaria bila pemeriksaan darah untuk malaria positif. Bila anoreksia menetap setelah 5 hari pengobatan antibiotika, lengkapi pemberian hingga 10 hari. Bila masih tetap ada, nilai kembali keadaan anak secara lengkap, termasuk lokasi infeksi, kemungkinan adanya organisme yang resisten serta apakah vitamin dan mineral telah diberikan dengan benar. 6. Mulai pemberian Makanan



Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat hati-hati karena keadaan faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostasis berkurang. Pemberian makanan harus segera dimulai setelah anak dirawat dan dirancang sedemikian rupa sehingga energi dan protein cukup



untuk



memenuhi



metabolisme



basal



saja.



Formula khusus seperti F WHO 75 yang dianjurkan dan jadwal pemberian makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip tersebut di atas (tabel pemberian diet dan cairan). Berikan formula dengan cairan/gelas. Bila anak terlalu terlalu lemah, berikan dengan sendok/pipet. Pada anak dengan selera makan baik tanpa edema, jadwal pemberian makanan pada fase stabilisasi ini dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja (1 hari untuk setiap tahap). Bila masukan makanan < 80 Kkal/kgbb/hr, berikan sisa formula nasogastrik.



Jangan



memberikan



makanan



lebih



dari



100



Kkal/kgbb/hr pada fase stabilisasi ini. Pantau dan catat jumlah yang diberikan dan sisanya, muntah, frekuensi buang air besar dan konsistensi tinja dan berat badan harian. Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan-lahan berkurang dan berat badan mulai naik, tetapi pada penderita dengan edema, berat badannya akan menurun dulu bersamaan dengan menghilangnya edema, baru kemudian BB mulai naik. Bila diare berlanjut atau memburuk walaupun pemberian nutrisi sudah berhati-hati, lihat bab diare persisten. 1. Perhatikan Tumbuh Kejar Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagi pendekatan secara gencar agar tercapai masukan makan yang tinggi dan pertambahan berat badan lebih dari 10 gram/kgbb/hari. Awal fase rehabilitasi ditandai dengan timbulnya selera makan, biasanya 1-2 minggu, setelah dirawat. Transisi secara perlahan dianjurkan untuk menghindari risiko gagal jantung yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan dalam jumlah banyak secara mendadak.



a. Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahanlahan dari formula khusus awal ke formula khusus lanjutan. b. Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0,9-1 g per 100 ml) dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2,9 g per 100 ml) dalam jangka waktu 48 jam. c. Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan dengan kandungan energi dan protein yang sama. d. Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit formula tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgBB/kali (=200 ml/kgBB/hari). Pemantauan pada masa transisi a. Frekuensi nafas b. Frekuensi denyut nadi Bila terjadi peningkatan detak nafas > 5 x/ menit dan denyut nadi > 25 x/ menit dalam pemantauan setiap 4 jam berturut-turut, kurangi volume pemberian formula. Setelah normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti di atas. Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi; a. Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering b. Energi 150-220 Kkal/kgBB/hari c. Protein 4-6 g/kgBB/hari d. Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh kejar. Pemantauan setelah periode transisi Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan berat badan, timbang anak setiap pagi sebelum anak diberi makan. Setiap minggu, kenaikan



BB



dihitung



(g/kgBB/hari).



Bila



kenaikan



BB



kurang (< 5 g/kgBB/hr) perlu re-evaluasi menyeluruhJika BB Sedang (5-10 g/kgbb/hr), maka perlu evaluasi mengenai masukan makanan sudah mencapai target atau apakah infeksi telah dapat diatasi.



2. Koreksi Defisiensi Nutrien-mikro Semua KEP berat, menderita kekurangan vitamin dan mineral. Walaupun anemia biasa dijumpai, jangan terburu-buru memberikan preparat besi (Fe), tetapi tunggu sampai anak mau makan dan berat badannya mulai naik (biasanya setelah minggu ke-2). Pemberian besi pada



masa



awal



dapat



memperburuk



keadaan



infeksinya.



Berikan setiap hari multivitamin, asam folat 1 mg/hr 95 mg pada hari pertama), seng (Zn) 2 mg/kgbb/hr, tembaga (Cu) 0,25mg/kgbb/hr. Bila berat badan mulai naik : Fe 3 mg/kgbb/hr atau sulfas ferrosus 10 mg/kgbb/hr. Vitamin A oral pada hari ke-1 Anak > 1 tahun : 200.000 SI 6-12 bulan : 100.000 SI 0-5 bulan : 50.000 SI (jangan berikan bila pasti sebelumnya anak sudah mendapat vitamin A) b) Fase pemulihan atau rehabilitasi (2-6 minggu) Pada fase ini, terjadi peningkatan jumlah masukan nutrisi dan terjadi peningkatan berat badan. Selain itu stimulasi emosi dan fisik ditingkatkan, sedangkan ibu atau pengasuh dilatih untuk melanjutkan pengasuhan di rumah hingga persiapan anak dipulangkan. Seorang anak dianggap memasuki fase rehabilitasi bila nafsu makannya telah membaik. Sebaliknya bila pemberian makannya masih tetap melalui NGT maka ia belum bisa memasuki fase rehabilitasi (WHO, 1999). Kriteria pemindahan terapi nutrisi anak ke fase rehabilitasi: 1. Nafsu makan baik 2. Status mental membaik: tersenyum, dapat menerima rangsangan, tertarik terhadap lingkungan 3. Duduk, merangkak, berdiri atau berjalan (sesuai usia) 4. Suhu tubuh normal (36.5–37.5 °C) 5. Tidak ada muntah dan diare 6. Tidak ada edema



7. Peningkatan berat badan > 5gr/kgbb/hari Berikut langkah-langkah dalam penatalaksanaan fase rehabilitasi; 1. Memberikan Stimulasi Sensorik dan Dukung Emosional Anak dengan KEP berat memiliki keterlambatan perkembangan mental dan perilaku yang bila tidak diobati akan menjadi masalah serius jangka panjang. Stimulasi fisik dan emosional yang dilalukan melalui program yang dimulai sejak rehabilitasi hingga pasien pulang, akan mengurangi risiko retardasi mental dan gangguan emosional. Wajah anak jangan ditutup; anak harus bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi disekelilingnya. Anak jangan dibungkus kain atau diikat untuk mencegah ia berpindah dari tempat tidurnya. Sangat penting keberadaan ibu atau pengasuh anak ini di rumah sakit dan ia didorong untuk terus memberi makan, menjaga anak agar tetap nyaman dan terus bermain dengannya jika memungkinkan. Setiap orang dewasa disekelilingnya harus berbicara berinteraksi, tersenyum kepada anak. Bial ada prosedur medis yang tidak nyaman (setelah penyuntikan atau pemasangan infus) sebaiknya orang tua atau pengasuhnya mendukung anak pada posisi yang nyaman. Lingkungan Suasana rumah sakit yang biasa tidak menunjang untuk pengobatan anak KEP.Ruang rawat inap yang dihias dengan dinding berwarna warni akan menarik perhatian anak. Jikalau memungkinkan staf dan pegawai ruang rawat tidak memakai seragam melainkan pakaian seharian.Apron yang berwarna boleh dipakai untuk melindungi baju mereka. Musik dari radio yang mengiringi dapat menambah susasana ceria di ruang rawat. Mainan yang aman,mudah dicuci dan sesuai berdasarkan usia dan perkembangan anak harus selalu tersedia.Pada dasarnya suasana di ruang rawat inap harus santai, ceria, dan menarik.



Kegiatan main anak Anak yang kekurangan gizi perlu berinteraksi dengan anak-anak lain pada saat rehabilitasi Setelah fase awal rehabilitasi,anak-anak ini perlu menghabiskan waktu yang lama dengan bermain dengan anakanak lain sambil diawasi oleh ibu atau play guide. Aktivfitas ini tidak meninggikan resiko infeksi silang namun memberi keuntungan yang



besar



pada



anak.Perawat



atau



sukarelawan



harus



bertanggungjawab menyediakan kurikulum untuk aktifitas main anak-anak. Aktifitas yang dijalankan bertujuan mengembangkan skill motorik dan bahasa. Waktu 15-30menit disediakan tiap hari untuk bermain dengan setiap anak secara individual.Skill baru harus didemonstrasikan terlebih dahulu oleh yang bersangkutan diikuti oleh anaknya. Effort dari anak harus selalu dipuji. 2. Tindak Lanjut di Rumah Bila anak berat badannya sudah mencapai 80% BB/U, dapat dikatakan anak sembuh. Pola pemberian makanan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah setelah penderita dipulangkan. Oleh karena itu Peragakan kepada orang tua pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang padat. Serta terapi bermain yang terstruktur. Sarankan agar membawa anaknya



kembali



untuk



kontrol



secara



teratur,



pemberian



suntikan/imunisasi dasar dan ulangan (booster) serta pemberian vitamin A setiap 6 bulan. Orang tua harus diberi pengetahuan bagaimana cara mencegah rekurensi dari malnutrisi. Sebelum anak dipulangkan orang tua harus memahami penyebab dan cara mencegah malnutrisi yang meliputi feeding yang benar,dan stimulasi mental dan emosional yang berterusan. Pengetahuan tentang cara mengobati diare dan infeksi lain harus adequate sehingga penyuluhan harus diberi kepada orang tua. Aktifitas main (play activity) yang sesuai untuk anaknya juga harus diajarkan kepada ibunya.



Kriteria memulangkan pasien Seorang anak dikatakan sembuh dan dapat dipulangkan apabila BB/U > 80% atau BB/TB >90% menurut standard NCHS/WHO. Pada saat tertentu anak dapat dipulangkan sebelum mencapai standard diatas tetapi dipantau terus sebagai outpatient. Sebelum dipulangkan pasien harus diimunisasi mengikut ketentuan di Negara



masing-masing.Orang



membawa



anaknya



tua



untuk



harus



imunisasi



diinformasikan ulang



dan



untuk booster.



Follow-up Pasien diinformasikan untuk kontrol seminggu sejak tanggal dia dipulangkan. Follow up lebih baik dilakukan di klinik yang khusus untuk anak kekurangan gizi daripada klinik pediatrik biasa. Bilamana mugkin volunteer diatur untuk melakukan homevisit dan mencari solusi mengatasi masalah sosial dan ekonomi keluarga pasien selain kounseling c) Fase tindak lanjut (6-26 minggu) Fase ini anak telah dipulangkan. Anak dan keluarga dipantau untuk mencegah adanya kekambuhan serta menilai adanya perkembangan fisik, mental dan emosi anak. 2.1.6 Pencegahan Kekurangan Energi Protein Pencegahan dari KEP pada dasarnya adalah bagaimana makanan yang seimbang dapat dipertahankan ketersediannya di masyarakat. Langkahlangkah nyata yang dapat dilakukan untuk pencegahan KEP adalah (Wayan, 2011): 1. Mempertahankan status gizi yang sudah baik tetap baik dengan menggiatkan kegiatan surveilance gizi di institusi kesehatan terdepan (Puskesmas, Puskesmas Pembantu). 2. Mengurangi resiko untuk mendapat penyakit, mengkoreksi konsumsi pangan bila



ada



yang kurang, penyuluhan pemberian



makanan



pendamping ASI (bagi balita). 3. Mengkonsumsi makanan dalam variasi dan jumlah yang sesuai. Hal ini dikarenakan kandungan zat gizi pada setiap jenis makanan ini berbeda-



beda dan tidak ada satu pun jenis makanan yang mengandung zat gizi secara lengkap, maka untuk memenuhi kebutuhan sebagian besar zat gizi diperlukan konsumsi makanan yang beragam. Bagi ibu menyusui dan ibu hamil dianjurkan menambah jumlah konsumsi, karena kebutuhan energi dan zat gizi lainnya pada ibu hamil dan menyusui meningkat. 4. Memperbaiki/mengurangi efek penyakit infeksi yang sudah terjadi supaya tidak menurunkan status gizi. 5. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam program keluarga berencana. 6. Meningkatkan status ekonomi masyarakat melalui pemberdayaan segala sektor ekonomi masyarakat (pertanian, perdagangan, dan lain-lain) 2.2 Distribusi Frekuensi Kekurangan Energi Protein Hampir separuh dari semua kematian pada anak di bawah 5 tahun disebabkan oleh kekurangan gizi. Kekurangan gizi menempatkan anak-anak pada kondisi berisiko lebih besar meninggal akibat infeksi umum, meningkatkan frekuensi dan keparahan infeksi tersebut, dan memberikan kontribusi untuk pemulihan tertunda. Selain itu, interaksi antara gizi dan infeksi dapat membuat siklus yang berpotensi mematikan, memperburuk penyakit dan memperburuk status gizi (UNICEF, 2015). Gizi buruk pada 1.000 hari pertama kehidupan seorang anak



juga



dapat



menyebabkan



pertumbuhan terhambat,



yang



menyebabkan kemampuan kognitif terganggu. Berikut peta persebaran mengenai anak dibawah 5 tahun yang mengalami hambatan pertumbuhan atau stunting (tubuh pendek)



(Sumber: UNICEF, 2015)



2.2.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia Kekurangan Energi Protein (KEP) bisa terjadi pada semua usia, akan tetapi hingga saat ini yang menjadi sorotan utama dunia adalah Kekurangan Energi Protein pada anak-anak, hal ini dikarenakan malnutrisi (yang salah satunya adalah KEP) diperkirakan berkontribusi dalam sepertiga dari semua kematian anak, meskipun jarang terdaftar sebagai penyebab langsung (WHO, 2015). Di Indonesia kurangnya konsumsi energi yang paling banyak justru pada individu dengan usia antara 16-18 tahun. Sedangkan kurangnya kosumsi protein yang paling banyak pada individu dengan usia >56 tahun



(Sumber: Riskesdas, 2010) 2.2.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Di dunia internasional, salah satu tolak ukur mengenai Malnutrisi sekaligus KEP yaitu angka stunting (tubuh pendek), hampir semua negara dengan data yang tersedia, tingkat stunting (tubuh pendek) lebih tinggi di kalangan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Analisis untuk menentukan penyebab fenomena ini masih sedang berlangsung , review awal literatur menunjukkan bahwa stunting lebih tinggi di kalangan anak laki-laki karena tingginya angka kelahiran prematur anak laki-laki ( yang terkait erat dengan berat lahir rendah ) adalah alasan potensial untuk menjelaskan perbedaan berdasarkan jenis kelamin pada stunting (tubuh pendek).



30



(Sumber: UNICEF, 2015) Di Indonesia sendiri berdasarkan data Riskesdas tahun 2010 kekurangan energi dan protein paling banyak juga diderita oleh individu dengan jenis kelamin laki-laki



(Sumber: Riskesdas, 2010)



2.2.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Waktu Pada tahun 2013, 99 juta anak di bawah usia 5 tahun di seluruh dunia memiliki berat badan kurang. Prevalensi Gizi kurang terus menurun , akan tetapi lambat. Antara tahun 1990 dan 2013 , gizi kurang pada balita di seluruh dunia mengalami penurunan dari 25 persen menjadi



5 persen. Jika



penurunan ini terus berlanjut , sasaran MDG 1 ( prevalensi gizi kurang pada tahun 2015 berkurang hingga 50% dibanding tahun 1990 ) tidak akan terpenuhi.



(Sumber: UNICEF, 2015) Sedangkan di Indonesia, kecenderungan prevalensi status gizi anak balita menurut ketiga indeks BB/U, TB/U dan BB/TB terlihat prevalensi gizi buruk dan gizi kurang meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2013. Prevalensi sangat pendek turun 0,8 persen dari tahun 2007, tetapi prevalensi pendek naik 1,2 persen dari tahun 2007 (Riskesdas, 2013).



(Sumber: Riskesdas, 2013)



2.2.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Penghasilan Anak-anak dari keluarga miskin beresiko dua kali lebih besar mengalami stunting atau pertumbuhan terhambat dibanding anak-anak yang berasal dari keluarga kaya. Di Asia Selatan, kesenjangan antara anak-anak kaya dan miskin dalam hal pengerdilan lebih besar daripada di daerah lain.



(Sumber: UNICEF, 2015) Di India prevalensi gizi juga menunjukkan ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya penurunan yang signifikan telah dicatat dalam prevalensi underweight pada anak dari kuintil termiskin selama periode dari sekitar 1993 sampai sekitar 2006. Sementara itu, anakanak di kuintil terkaya menunjukkan penurunan sekitar sepertiga.



(Sumber: UNICEF, 2015)



2.3 Faktor Resiko Kekurangan Energi Protein Berdasarkan data distribusi frekuensi yang sudah disajikan dalam sudah sebelumnya, dapat disimpulkan bahwasanya Kekurangan Energi Protein dipengaruhi oleh banyak faktor. Ada dua penyebab terjadinya KEP, yaitu penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung antara lain ketidakcukupan konsumsi makanan, dan penyakit infeksi. Sedangkan, penyebab tidak langsung antara lain adalah kurangnya pengetahuan ibu tentang kesehatan, kondisi sosial ekonomi yang rendah, ketersediaan pangan ditingkat keluarga yang tidak mencukupi, besarnya anggota keluarga, pola konsumsi keluarga yang kurang baik, pola distribusi pangan yang tidak merata, serta fasilitas pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau (Suyadi, 2009). Masalah KEP dipengaruhi oleh berbagai macam faktor-faktor penentu baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah kemiskinan, yang menyebabkan terbatasnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan sehingga mengakibatkan kemampuan untuk memperoleh pangan menjadi sangat rendah, penyakit infeksi yang berkaitan erat dengan kondisi sanitasi lingkungan tempat tinggal; kurangnya perhatian ibu terhadap balita karena bekerja; akses yang sulit terhadap sumber pelayanan kesehatan; dan kurangnya pengetahuan ibu tentang manfaat makanan bagi kesehatan anak, hal ini dikarenakan pendidikan ibu yang rendah. Menurut UNICEF (1998) pokok masalah timbulnya kurang gizi di masyarakat adalah kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga, kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat, pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan. Sedangkan yang menjadi akarnya masalah adalah krisis ekonomi, politik dan sosial. Berikut peta konsep mengenai penyebab Kekurangan Energi Protein (KEP):



a.



Penyebab Lang Penyakit Infeks Penyakit infeksi dapat dijelaskan KEP terjadi kek kemampuan tub kemudian meny sehingga tubuh Pada anak yan diperoleh dari ib sangat rentan se Disamping itu a



menyebabkan masukan gizi kurang dan pada akhirnya akan berdampak pada status gizinya (Jalal, 1998). Konsumsi Energi dan Protein Konsumsi energi dan protein yang rendah secara otomatis akan menyebabkan Kekurangan Energi Protein (KEP) baik ringan, sedang ataupun berat. b. Penyebab Tidak Langsung Pendidikan Orang Tua Tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi status gizi pada anak maupun keluarga. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang yang memiliki pendidikan lebih tinggi cenderung memilih bahan makanan yang lebih baik dalam kualitas maupun kuantitas. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka kemungkinan anak berstatus gizi baik semakin besar. Tingkat pendidikan ayah yang tinggi akan meningkatkan status ekonomi rumah tangga, hal ini karena tingkat pendidikan ayah erat kaitannya dengan perolehan lapangan kerja dan penghasilan yang lebih besar sehingga akan meningkatkan daya beli rumah tangga untuk mencukupi makanan bagi anggota keluarganya. Pendapatan Keluarga Di negara berkembang, termasuk Indonesia masih banyak penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan merupakan akar masalah kesehatan dan gizi. Dikatakan bahwa rata-rata persen BB/U pada kelompok ekonomi rendah selalu lebih rendah daripada kelompok ekonomi tinggi. Hal ini karena pedapatan mereka tidak cukup untuk membeli makanan yang bergizi (Budiningsari, 1999) Jumlah Anggota Keluarga Semakin tinggi pendapatan dan semakin rendah jumlah anggota keluarga maka semakin baik pertumbuhan anaknya, dengan jumlah anggota keluarga yang besar dan dibarengi dengan distribusi makanan yang tidak merata akan menyebabkan balita dalam keluarga tersebut menderita KEP. Rumah tangga yang mempunyai anggota keluarga besar beresiko mengalami kelaparan 4 kali lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yang anggotanya kecil,



36



dan beresiko pula mengalami kurang gizi sebanyak 5 kali lebih besar dari keluarga yang mempunyai jumlah anggota keluarga kecil (Berg, 1986) Umur Prevalensi KEP ditemukan pada usia balita dan puncaknya pada usia 1-2 tahun. Hal ini dikarenakan kebutuhan gizi pada usia tersebut meningka tajam sedangkan asi sudah tidak mencukupi, selain itu makanan sapihan tidak diberikan dalam jumlah dan frekuensi yang cukup serta adanya penyakit diare karena konsumsi pada makanan yang diberikan (Abunain dalam Lismartina 2000) Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan salah satu faktor internal yang menentukan kebutuhan gizi, sehingga



jenis kelamin berkaitan erat dengan status gizi



balita. Laki-laki lebih banyak membutuhkan energi dan protein daripada perempuan, karena laki-laki cenderung lebih aktif dan lebih kuat dibanding perempuan. Berdasarkan



distribusi



frekuensi



yang



telah



disajikan



sebelumnya,



menunjukkan bahwa laki-laki beresiko lebih besar terkena KEP. Hal ini didukung denganhasil penelitian Lismartina (2001) bahwa kejadian KEP lebih besar pada anak laki-laki (25,9%) dibanding anak perempuan.



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini, antara lain; 1. Definisi dari kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu konsumsi energi dan protein kurang dan gangguan kesehatan. 2. Klasifikasi KEP menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI Tahun 1999 dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu KEP I(ringan), KEP II (sedang) dan KEP III (berat). 3. Tanda dan gejala kekurangan energi protein antara lain; pada rambut terdapat tanda-tanda kurang bercahaya (lack of clustee): rambut kusam dan kering; rambut tipis dan jarang (thinness and aparseness); rambut kurang kuat/ mudah putus (straightness); tanda-tanda pada wajah diantaranya terjadi penurunan



pigmentasi (defuse



depigmentation)



yang



tersebar



berlebih



apabila



disertai anemia; wajah seperti bulan (moon face), wajah menonjol ke luar, lipatan naso labial; Edema dari lidah; lidah mentah atau scarlet; lidah magenta; atrofi papilla; karies gigi; pengikisan (attrition). 4. pemeriksaan dan diagnosa kekurangan energi protein berdasarkan perubahan atau kelainan yang dijumpai pada penyediaan



makanan, pola konsumsi,



perubahan metabolik dan fisiologi, keadaan fisik yang ditimbulkan, dan perubahan yang terjadi pada komposisi cairan tubuh (laboratorium). 5. Penatalaksanaan kekurangan energi protein bervariasi antara tiap jenis KEP, pada KEP berat terdapat 3 fase dalam penatalaksanaan yaitu Fase inisial atau akut (fase stabilisasi dan fase transisi) (2-10 hari), Fase tindak lanjut (6-26 minggu, Fase pemulihan atau rehabilitasi (2-6 minggu) 6. Pencegahan kekurangan energi protein dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut; (1) Mempertahankan status gizi yang sudah baik tetap baik dengan menggiatkan kegiatan surveilance gizi di institusi kesehatan terdepan (2) Mengurangi resiko untuk mendapat penyakit, mengkoreksi konsumsi pangan bila ada yang kurang, penyuluhan pemberian makanan pendamping ASI (bagi balita). (3) Mengkonsumsi makanan dalam variasi dan jumlah yang sesuai.



(4) Memperbaiki/mengurangi efek penyakit infeksi yang sudah terjadi supaya tidak menurunkan status gizi. (5) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam program keluarga berencana. (6) Meningkatkan status ekonomi masyarakat melalui pemberdayaan segala sektor ekonomi masyarakat (pertanian, perdagangan, dan lain-lain) 7. Distribusi frekuensi kekurangan energi protein didunia pada tahun 2013, 99 juta anak di bawah usia 5 tahun di seluruh dunia memiliki berat badan kurang. Prevalensi Gizi kurang terus menurun , akan tetapi lambat. Antara tahun 1990 dan 2013 , gizi kurang pada balita di seluruh dunia mengalami penurunan dari 25 persen menjadi 15 persen. 8. Ada dua penyebab terjadinya KEP, yaitu penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung antara lain ketidakcukupan konsumsi makanan, dan penyakit infeksi. Sedangkan, penyebab tidak langsung antara lain adalah kurangnya pengetahuan ibu tentang kesehatan, kondisi sosial ekonomi yang rendah, ketersediaan pangan ditingkat keluarga yang tidak mencukupi, besarnya anggota keluarga, pola konsumsi keluarga yang kurang baik, pola distribusi pangan yang tidak merata, serta fasilitas pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau



DAFTAR PUSTAKA Andaka. 2008. Normalkah Body Mass Index Bmi Anda? (Online), (http://www.andaka.com/normalkah-body-massindex-bmi-anda.php.) diakses pada 3 Februari 2015 Arisman . 2004. Gizi dalam daur Kehidupan.. Jakarta: EGC. Berg A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan. Jakarta. Penerbit Rajawali. Budiharjo, S., Romi, M.M., & Prakosa, D. 2004. Pengaruh latihan fisik intensitas sedang terhadap persentase lemak badan wanita lanjut usia. Berkala Ilmu Kedokteran Vol. 36, No.4: 195-200. Darmojo, R.B. dan Subagio, H.W. 1998. Laporan penelitian pengamatan kebiasaan makan pada manusia usia lanjut: studi kasus pada 100 orang manula di Kelurahan Bergota Kota Madya Semarang. Semarang: Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro. Depkes RI, 1999. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia. Sehat 2010. Jakarta. Evelyn, Pearce. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Erlangga. Jelliffe DB, EFP Jelliffe. 1989. Community Nutritional Assesment with Special Reference to Less Technically Developed Countries. Oxford: Oxford Universitas Press Krisnansari, 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4, Nomor 1, Januari 2010 Morrow, JR. Jackson,A. Disch,J. & Mood,D. 2005. Measurement and Evaluation in Human Performance. Third Edition. Human Kinetics:USA (http://books.google.co.id/book) Nurachamah, E. 2001. Nutrisi dalam Keperawatan. Jakarta: Sagung Seto. Pudjiadi. S. 2000. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Edisi Keempat FKUI. Jakarta.



40



Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Riskesdas. 2010. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Soekirman. 2000. Besar dan karakteristik masalah gizi Di Indonesia. Jakarta : Akademi Gizi. Sulistya Hapsari. 2013. Hubungan Tingkat Asupan Energi dan Protein Dengan Kejadian Gizi Kurang Anak Usia 2-5 Tahun. KJURNAL GIZI UNIVERSITAS



MUHAMMADIYAH



SEMARANG



VOLUME



2,



NOMOR 1. Supariasa, IDN. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. Suyadi, Edwin Saputra. 2009. Kejadian KEP. Jakarta: Universitas Indonesia UNICEF. 1998. The State on the World Children. Oxford Univ. Press. UNICEF. 2015. Undernutrition contributes to half of all deaths in children under 5



and



is



widespread



in



Asia



and



Africa



(Online),



(http://data.unicef.org/nutrition/malnutrition) diakses pada 31 Maret 2015 USU (Universitas Sumatera Utara). 2004. Kurang Energi Protein (Protein Energi Malnutrition). Medan: Universitas Sumatera Utara. Wayan,



Sujana.



2011.



Kekurangan



Energi



Protein



(KEP),



(Online)



(http://www.idijembrana.or.id/index.php?module=artikel&kode=10 diunduh 31 Maret 2015 WHO. 2015. Malnutrition (Online) (http://www.who.int/) diakses pada 31 Maret 2015