Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal (KPEL) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

“Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal (KPEL)” Paradigma Perencanaan Pembangunan Ekonomi Berbasis Permintaan Solusi Alternatif Atas Program-Program Pemberdayaan Bernuansa Karitatif



I. Pengembangan Ekonomi Lokal (Local Economic Development) Dari sisi masyarakat, Pengembagan Ekonomi Lokal diartikan sebagai upaya untuk membebaskan masyarakat dari semua keterbatasan yang menghambat usahanya guna membangun kesejahteraannya. Kesejahteraan tersebut dapat diartikan secara khusus sebagai jaminan keselamatan bagi adat istiadat dan agamanya, bagi usahanya, dan bagi harga dirinya sebagai manusia. Semua jaminan tersebut tidak dapat diperoleh dari luar sistem masyarakat karena tidak berkelanjutan, dan oleh karena itu harus diupayakan dari sistem masyarakat itu sendiri yang kerap kali disebut kemandirian. Dengan demikian, pembangunan ekonomi lokal merupakan upaya pemberdayaan masyarakat ekonomi dalam suatu wilayah dengan bertumpukan kepada kekuatan lokal, baik itu kekuatan nilai lokasi, sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi, kemampuan manajemen kelembagaan (capacity of institutions) maupun asset pengalaman (Haeruman, 2001). Seiring dengan dinamika pembangunan, peningkatan kesejahteraan masyarakat telah menumbuhkan aspirasi dan tuntutan baru dari masyarakat untuk mewujudkan kualitas kehidupan yang lebih baik. Aspirasi dan tuntutan masyarakat itu dilandasi oleh hasrat untuk lebih berperan serta dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur dan sejahtera. Dalam ekonomi yang makin terbuka, ekonomi makin berorientasi pada pasar, peluang dari keterbukaan dan persaingan pasar belum tentu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang kemampuan ekonominya lemah. Dalam keadaan ini harus dicegah terjadinya proses kesenjangan yang makin melebar, karena kesempatan yang muncul dari ekonomi yang terbuka hanya dapat dimanfaatkan oleh wilayah, sektor, dan golongan ekonomi yang lebih maju. Secara khusus perhatian harus diberikan dengan pemihakan dan pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan ekonomi lokal. Pengembangan ekonomi lokal erat kaitannya dengan pemberdayaan sumberdaya manusianya, lembaganya dan lingkungan sekitarnya. Untuk mengembangkan ekonomi lokal tidak cukup hanya dengan meningkatkan kemampuan sumberdaya manusianya, tetapi juga diperlukan adanya lembaga yang terlatih untuk mengelola sumberdaya manusia yang sudah maju, dan memerlukan lingkungan yang kondusif untuk memungkinkan lembaga ekonomi lokal tersebut berkembang. Pengembangan ekonomi lokal melalui pengembangan lembaga kemitraan semua stakeholders (pemerintah, dunia usaha dan masyarakat) dengan demikian membutuhkan kemampuan komunikasi diantara semua lembaga yang bersangkutan yang menjamin kesinambungan mitra kerja dan mitra usaha. Untuk selanjutnya, komunikasi multi arah menjadi kebutuhan dasar dalam pengembangan lembaga kemitraan tersebut.



II. Kemitraan (Partnership) Halaman 1



Kemitraan pada hakekatnya merupakan wujud yang ideal dalam meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Kemitraan didasari atas hubungan antar pelaku yang bertumpu pada ikatan usaha yang saling menunjang dan saling menguntungkan serta saling menghidupi berdasarkan asas kesetaraan dan kebersamaan. Dengan kemitraan diharapkan dapat menumbuhkan dan menjamin keberlanjutan jaringan kelembagaan untuk mendukung inisiatif lokal dalam pengembangan ekonomi lokal (Haeruman, 2001). Keikutsertaan sektor swasta dan wakil dari masyarakat sangat berperan dalam meningkatkan dinamika suatu kemitraan. Bahkan kalau perlu lembaga kemitraan tersebut dipimpin oleh wakil dari swasta atau wakil dari masyarakat. Hal ini akan sangat mempengaruhi kinerja dari kemitraan itu sendiri. Dengan prinsip “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi”, para anggota akan lebih untuk mengutarakan berbagai masalah atau tantangan yang dianggap menjadi ganjalan dalam membangun daerahnya. Banyak pengamat menunjukkan bahwa kecenderungan didunia usaha sekarang bukan kepada membangun usaha yang semakin besar, tapi kepada unit usaha kecil atau menengah dan independen sehingga menjadi lincah dan cepat tanggap dalam menghadapi perkembangan dan perubahan yang cepat di pasar. Peluang pasar akan terdiri bukan atas peningkatan permintaan yang besar, melainkan atas peluangpeluang kecil. Secara sederhana, Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal atau disingkat dengan akronim “KPEL” adalah suatu pendekatan untuk mendorong aktivitas ekonomi melalui pembentukan kemitraan masyarakat-swasta-pemerintah dan memfokuskan pada pembangunan aktivitas kluster ekonomi, sehingga terbangun keterkaitan (linkage) antara pelaku-pelaku ekonomi dalam satu wilayah atau region (perdesaan/ kota/ kecamatan/ kabupaten/ propinsi) dengan market (pasar lokal, nasional dan pasar internasional). KPEL juga merupakan instrumen untuk mendukung terciptanya : 1. pembangunan ekonomi yang mendayagunakan sumber daya lokal 2. peningkatan pendapatan dan penciptaan peluang lapangan kerja 3. perencanaan yang terintergrasi - baik vertikal dengan horizontal maupun sektoral dan regional (daerah) pemerintahan yang baik (good governance).



III. Demand-Driven Sebagai Basis ”KPEL” Dalam konteks desentralisasi ekonomi dan otonomi daerah yang masih mencari bentuk seperti sekarang ini, pemilihan dan aplikasi suatu strategi pengembangan ekonomi lokal menjadi begitu krusial. Tidak sedikit daerah otonom di Indonesia yang hanya mengetahui aspek kewenangannya sebagai birokrasi di daerah, bukan sebagai stimulator pembangunan ekonomi di daerah. Juga terdengar agak ironis apabila suatu daerah otonomi tidak persis mengetahui posisi dan berkah sumberdayanya sendiri karena selama ini tidak pernah secara sistematis membuat dan mengembangkan peta potensi sumberdaya ini. Dengan logika paling sederhana pun, cukup sukar bagi suatu daerah untuk merumuskan arah dan sasaran pengembangan ekonomi lokal apabila tempat awal berpijaknya (initial steps) tidak diketahui atau tidak dikuasainya (Arifin, 2001). Lebih lanjut, Arifin (2001) menjelaskan bahwa pendekatan, strategi atau paradigma perencanaan pembangunan ekonomi berbasis permintaan (demand-driven) ini sebenarnya Halaman 2



telah lama dikembangkan oleh para ahli ekonomi regional, walaupun tidak pernah secara baik diterapkan di Indonesia. Dalam konteks pengembangan ekonomi lokal, pendekatan ini dilandasi dan diturunkan dari teori-teori ekonomi pembangunan yang sudah mapan, dan didukung dengan bukti empiris yang cukup. Pada intinya, pendekatan berbasis permintaan ini menyakini bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang luas (broad-base) suatu daerah minimal harus memiliki dua kondisi sebagai berikut: Pertama, daerah tersebut harus mampu dan berhasil dalam memasarkan produk (barang dan jasa) ke wilayah lain dalam suatu negara atau ekspor ke luar negeri. Kedua, penerimaan ekspor itu harus menghasilkan dampak ganda (multiplier effect) atau perputaran tambahan pendapatan dalam perekonomian lokal, minimal melalui pembelian faktor produksi dan pengeluaran rumah tangga terhadap barang konsumen oleh segenap aktor ekonomi yang terlibat dalam aktivitas produksi dan ekspor. Kedua prakondisi ini hanya dapat terjadi apabila suatu daerah memiliki suatu keterkaitan yang efisien, yang menghubungkan produsen, pedagang dan supplier di daerah perdesaan dan perkotaan di daerah tersebut dan sekitarnya. Dalam terminologi ekonomi regional, argumen seperti diatas dikenal dengan istilah pengembangan keterkaitan desa-kota Pengembangan ekonomi lokal dengan basis permintaan ini tentu saja diarahkan untuk meningkatkan tingkat keterkaitan atau integrasi daerah-daerah otonomi di Indonesiakhususnya lagi daerah-daerah yang tertinggal-kedalam pasar yang lebih luas atau ke dalam arus utama perekonomian (economic mainstream). Oleh karenanya, pendekatan berbasis permintaan ini sering pula disebut pendekatan berbasis pasar (market-driven) karena orientasi utamanya adalah untuk memperbaiki akses pasar, minimal menghubungkan atau bahkan menciptakan pasar, di tingkat domestik dan internasional, bagi aktor ekonomi produksi dan ekspor di daerah. Fokus pendekatan ini dapat bermacam-macam, namun yang sering dipilih dalam suatu disain implementasi pendekatan berbasis permintaan untuk pengembangan ekonomi lokal adalah dengan kluster ekonomi (economic clusters), terutama yang merupakan kunci atau “starting point” utama di daerah. Pertimbangan fokus kluster ekonomi -bukan semata wilayah geografis – tetapi adalah untuk menerapkan suatu kombinasi strategi keunggulan komparatif (comparative advantage) dan kompetitif sekaligus (competitive advantage).



Strategi Program KPEL Dalam pelaksanaan Program KPEL, terdapat dua strategi inti yang diformulasikan sedemikian rupa dan memiliki keterkaitan satu dengan lainnya sebagai berikut : 1. Memfasilitasi forum kemitraan pada setiap jenjang kepemerintahan dengan melibatkan semua stakeholder (masyarakat, pemerintah, swasta), untuk berdialog mengenai pembangunan ekonomi. Melalui forum ini, seluruh stakeholder berpartisipasi dalam proses perencanaan, formulasi kebijakan, pembuatan keputusan, monitoring dan evaluasi. 2. Mendorong forum kemitraan untuk menstimulasi kegiatan kluster ekonomi sebagai suatu sarana untuk menciptakan kesempatan peningkatan pendapatan dan peluang lapangan kerja. Hal ini dapat dicapai melalui identifkasi pasar serta pengembangan, diversifikasi dan pemasaran dari cluster komoditas terpilih. Halaman 3



Strategi 1, terkait dengan aransemen dan penguatan kelembagaan yang menhasilkan dua demarkasi penting, yaitu konvensi (conventions) dan aturan main (rules of the game). Strategi 2, berupaya mendorong kerangka kelembagaan yang terbentuk untuk melakukan kluster aktivitas ekonomi yang terencana, jelas, dan terarah sebagai “starting point”. Kriteria untuk pemilihan kluster aktivitas ekonomi yang dapat diterapkan pada pengembangan ekonomi lokal dengan basis atau pendekatan permintaan adalah sebagai berikut: 1. potensi permintaan dari luar daerah (pasar ekspor) besar. 2. potensi mampu tumbuh tinggi di atas rata-rata dan sustainable. 3. melibatkan usaha kecil-menengah. 4. menciptakan lapangan kerja produktif bagi kelompok rumah tangga miskin.



Langkah Metodologi KPEL Untuk mendukung pelaksanaan strategi (1) dan (2) berdasarkan pengalaman empiris, telah diformulasikan 13 langkah metodologi dalam implementasi KPEL, hanya sebagai “guideline” yang dapat dilaksanakan oleh semua stakeholders dalam suatu region secara generik. Ketiga belas langkah tersebut dikelompokkan kedalam 3 phase yaitu “phase initiation”, “phase implementation” dan “phase institutionalise”, dimana ketiga phase tersebut tidak bersifat “linear” dan “sequen” sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan daerah 1. “Phase – Initiation”, adalah phase untuk menjelaskan bagaimana mengawali sebuah program yang terdiri atas : 



Sosialisasi Program KPEL. Sosialisasi merupakan tahap awal untuk dapat memperkenalkan dan menjelaskan Program KPEL kepada semua stakeholder, apa yang menjadi tujuan dan sasarannya, siapa yang akan dilibatkan, serta bagaimana mekanisme pelaksanaannya dan manfaat yang diperoleh baik bagi masyarakat, bagi swasta mupun bagi pemerintah.







Seleksi dan pelatihan kader PEL. Pelatihan kader ini dimaksudkan sebagai agen implementasi (fasilitasi persiapan dan pelaksanaan) dan “prime mover” dalam mendukung berjalannya Program KPEL di daerah. Kehadiran kader selaku “change agent” diharapkan akan semakin mempercepat proses transpormasi, perubahan dan reformasi sesuai dengan kebutuhan semua stakeholder.







Indentifikasi dan Pemilihan Kluster. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memfokuskan pengembangan kegiatan ekonomi melalui kluster terpilih sebagai “starting point”. Tahapan yang dilakukan adalah mengidentifikasi sejumlah cluster potensial, kemudian memilih cluster yang akan dikembangkan sesuai dengan kesepakatan dari stakeholder daerah.



Halaman 4



2. “Phase Implementation” adalah fase untuk menjelaskan bagaimana mengimplementasikan program KPEL yang terdiri atas: 



Membangun/memperkuat kemitraan daerah di tingkat Kabupaten/Kota (KPLED). Kegiatan ini dilakukan dengan mengidentifikasi stakeholder (pemerintah, masyarakat dan swasta) untuk kemudian secara bersama-sama membangun kemitraan yang berfungsi sebagai forum dialog, penyusunan strategi dan pengambilan keputusan, khususnya yang terkait dengan pengembangan ekonomi lokal.







Mengadakan penelitian baseline survey. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi guna membantu forum kemitraan dalam membuat keputusan yang terkait dengan potensi pasar bagi kluster aktivitas ekonomi dan diversifikasi komoditas yang akan dikembangkan.







Pemberdayaan kelompok produsen (UKM). Hal ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dan keahlian kolektif dari masyarakat produsen tersebut, mengingat kelompok ini merupakan relatif kelompok terlemah dalam forum kemitraan.







Fasilitasi dukungan teknis. Fasilitasi ini bertujuan untuk meningkatkan mutu, perbaikan proses produksi dan meningkatkan nilai jual dalam pengembangan kluster bagi kemitraan di daerah. Dukungan teknis dapat berasal dari semua stakeholder seperti Bappeda, Dinas, Departemen Teknis, BUMN/BUMD, Swasta, Pengusaha, Konsultan, serta instansi terkait lainnya.







Deseminasi informasi pasar. Mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi pasar dimaksudkan untuk memastikan semua anggota forum kemitraan khususnya kelompok produsen memperoleh akses yang sama terhadap informasi pasar (harga, peluang, transaksi), stakeholder dan kluster sehingga terjamin adanya hubungan yang setara dan saling menguntungkan dalam setiap proses transaksi.







Fasilitasi input dan umpan balik bagi kebijakan dan perencanaan. Memanfaatkan dan mendayagunakan forum kemitraan sebagai forum untuk memberikan masukan bagi kebijakan perekonomian daerah, perencanaan infrasruktur ekonomi dan proses-proses pembangunan lainnya.







Mobilisasi sumber daya. Untuk menjamin keberlanjutan dan kelangsungan forum kemitraan di daerah, maka perlu dilakukan mobilisasi sumber daya baik sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya keuangan, aset pengalaman, teknologi dalam konteks kerjasama sektoral dan daerah. Sumberdaya tersebut dapat berasal dari pemerintah, lembaga donor, pihak swasta, pengusaha lokal, masyarakat.







Branding. Mengidentifikasi peluang, akses pemasaran, dan meningkatkan nilai jual komoditas dengan mempromosikan”brand” atau produk ekonomi lokal.







Membangun/memperkuat kemitraan di tingkat Propinsi (Pro-PLED). Kemitraan di tingkat propinsi mempunyai posisi kunci dan peran penting yaitu menstimulasi pertumbuhan ekonomi regional dan sebagai “aliansi strategis” untuk mendorong terciptanya “lingkage” antar satu kabupaten dengan kabupaten lainnya, kabupaten dengan propinsi, propinsi dengan dengan propinsi lainnya, propinsi dengan nasional dan dunia internasional.



Halaman 5



3. “Phase Institutionalise” adalah phase untuk meformalkan institusi yang terbentuk sebagai pranata pembangunan yaitu : 



Melembagakan/melegalisasikan forum kemitraan. Untuk memperkuat peran dan posisi yang dilakukan oleh forum kemitraan serta keberlanjutannya, maka perlu dilembagakan. Forum kemitraan ini dapat berada di 1) dalam koordinasi dan legalisasi pemerintah, 2) dapat berdiri sendiri dan merupakan suatu lembaga yang independen, 3) serta dapat pula berada dalam suatu lembaga pelaksana tertentu seperti misalnya LSM atau organisasi masyarakat lainnya. Pilihan untuk ketiga “options” di atas sangat tergantung dari kemauan dan kesepakatan forum kemitraan yang terbentuk.



.



Halaman 6