Kimed Bu Linda Fix. REVISIdoc [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS KIMIA MEDISINAL HUBUNGAN KUALITATIF STRUKTUR AKTIVITAS GOLONGAN SALISILAT DAN OBAT TARGET



OLEH Putu Wijaya Kusuma I Putu Surya Trisna Lova I Made Arya Wira Guna Cokodra B. Arys Cahaya Sukawati A.A Mirah Aristi Mas Putra



(1308505039) (1308505041) (1308505046) (1308505049) (1308505071)



JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA 2016 A.



Mekanisme Farmakologis Obat Golongan Salisilat Obat golongan salisilat dan obat serupa lainnya yang digunakan untuk mengobati penyakit



reumatik mempunyai kemampuan untuk menekan tanda dan gejala peradangan. Obat-obat ini juga mempunyai efek antipiretik dan analgesik, tetapi efek anti-inflamasinya yang membuat obat-obat ini paling bermanfaat dalam tatalaksana kelainan disertai nyeri yang berhubungan dengan intensitas proses peradangan (Katzung, 2007).



Meskipun semua obat antiinflamasi non steroid (NSAID) tidak disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk semua penyakit reumatik, namun mungkin efektif dalam rheumatoid arthritis, spondiloartropi seronegatif (misalnya, arthritis psoriatik dan arthritis yang terkait dengan penyakit usus inflamatorik), osteoatritis, sindrom musculoskeletal terlokalisasi (misalnya terkilir dan teregang, nyeri punggung bawah) dan gout. Sejak aspirin memiliki berbagai efek samping, banyak NSAID telah dikembangkan dalam usaha untuk meningkatkan efekivitas aspirin dan menurunkan toksisitasnya (Katzung, 2007). Hubungan antara struktur dan aktivitas obat tersebut jika terjadi penambahan subtituen Untuk meningkatkan aktivitas analgesik-antipiretik dan menurunkan efek samping modifikasi struktur turunan asam salisilat telah dilakukan melalui empat cara yaitu: 1. Mengubah gugus karboksilmelalui pembentukan garam, ester atau amida. Turunan tipe ini mempunyai efek antipiretik rendah dan lebih banyak utnuk penggunaan setempat sebagai counterirritant dan obat gosok karena diabsorpsi dengan baik melalui kulit. Contoh: metilsalisilat, asetaminosalol, natrium salisilat, kolin salisilat, magnesium salisilat dan salisilamid. 2. Substitusi pada gugus hidroksil. Contoh: asam asetilsalisilat (aspirin) dan salsalat. 3. Modifikasi pada gugus karboksil dan hidroksil. Modifikasi ini berdasarkan pada prinsip salol, dan pada in vivo senyawa dihidrolisis menjadi aspirin. Contoh: aluminium aspirin dan karbetil salisilat. 4. Memasukkan gugus hidroksil atau gugus yang lain pada cincin aromatik atau mengubah gugus-gugus fungsional. Contoh: flufenisal, difunisal dan meseklazon.



Gambar 1 : Struktur umum asam salisilat Sumber : Siswandono dan Soekardjo, 2008 Tabel 1. Struktur umum asam salisilat R1 H H H COCH3



R2 OH OCH3 NH2 OH



Nama Obat Asam salisilat Metil salisilat Salisilamid Asam asetilsalisilat



Sumber : (Siswandono dan Soekardjo, 2008) Hubungan Kualitatif Struktur dan Aktifitas Golongan Salisilat. 1. Asam Salisilat Senyawa yang aktif sebagai antiradang adalah anion salisilat. Gugus karboksilat penting untuk aktivitas dan letak gugus hidroksil harus berdekatan dengannya. Hubungan Kualitatif Struktur dan Aktifitas a. Turunan halogen, seperti asam 5-klorsalisilat, dapat meningkatkan aktivitas tetapi menimbulkan toksisitas lebih besar. Turunan Halogen Gambar 2.Turunan Halogen b. Adanya gugus amino pada posisi 4 akan aktivitas. Sumber : Siswandono danmenghilangkan Soekardjo, 2008



Gugus Amino Gambar 3 : 2-Hydroxu-4-aminobenzoic acid c. Pemasukan gugus metil pada posisi menyebabkan Sumber : Siswandono dan3 Soekardjo, 2008metabolisme atau hidrolisis gugus asetil menjadi lebih lambat sehingga masa kerja obat menjadi lebih panjang. Gugus Metil



Gambar 4 : Hydroxyl-3-methylbenzoic : Siswandono Soekardjo, 2008 meningkatkan aktivitas. d. Adanya gugus arilSumber yang bersifat hidrofobdan pada posisi 5 dapat



Gambar 5 : Flufenisal Sumber : Siswandono dan Soekardjo, 2008



Gugus Aril



e. Adanya gugus difluorofenil pada posisi meta dari gugus karboksilat (diflusinal) dapat meningkatkan



aktivitas



analgesik,



memperpanjang



masa



kerja



obat



dan



menghilangkan efek samping, seperti iritasi saluran cerna dan peningkatan waktu pembekuan darah.



Gugus Difluorofenil pada posisi meta Gambar 6 :Diflusinal f. Efek iritasi lambung dari aspirin dihubungkan dengan2008 gugus karboksilat. Esterifikasi Sumber : Siswandono dan Soekardjo, gugus karboksil akan menurunkan efek iritasi tersebut. Karbetil salisilat adalah ester karbonat dari etil salisilat, ester ini tidak menimbulkan iritasi lambung dan tidak berasa.



Gambar 7 : Karbetil salisilat Sumber : Siswandono dan Soekardjo, 2008 2. Metil Salisilat Partial Salols adalah senyawa yang mengandung baik asam atau bagian hidroksilat aktif pharmacologically. Contohnya metil salisilat yang mengandung asam salisilat sebagai constituent yang aktif.



Gambar 8 :Struktur Metil Salisilat Hubungan Struktur Aktivitas : Sumber : Ashutosh Kar, 2006 Adanya gugus fenol pada asam salisilat menjadi salol (true Salol) menyebabkan acid meningkatnya aktivitas, tetapi menimbulkan toksisitas yang lebih besar. Dan pemasukan



gugus metil (metil salisilat) menyebabkan metabolism atau hidrolisis gugus etil menjadi lebih lambat sehingga masa kerja obat menjadi lebih panjang (Siswandono dan Soekardjo, 2008). 3. Salisilamid Modifikasi struktur turunan asam salisilat yang dilakukan dengan mengubah gugus karboksil melalui pembentukan garam, ester atau amida. Salah satu contoh: salisilamid. a,b c



Gambar 9: Asam Salisilat Sumber : Rainsford, 1984



Gambar 10 : Salisilamid Sumber : Rainsford, 1984



Hubungan struktur-aktivitas salisilamid: a. Salisilamid diperoleh dengan cara modifikasi struktur turunan asam salisilat yang dilakukan dengan mengubah gugus karboksil melalui pembentukan amida. b. Gugus amino pada salisilamid dapat menurunkan efektivitas. Substitusi gugus -COOH dengan amida menyebabkan penurunan atau mengurangi aktivitas antiinflamasi. c. Posisi orto dari gugus –OH sangat penting dalam aktivitas salisilamida sebagai analgesik dan antipiretik. d. Penghapusan gugus –OH akan menyebabkan penurunan aktivitas salisilamida. e. Pergeseran gugus -OH ke meta atau para akan mengurangi aktivitas salisilamida. f. Salisilamid tidak terhidrolisis menjadi asam salisilat maka yang bertanggung jawab terhadap aktivitas analgesik adalah seluruh molekul. Dibanding aspirin, salisilamid mempunyai awal kerja yang lebih cepat diekskresikan (masa kerja pendek) dan menimbulkan



toksisitas



yang



relative



lebih rendah. Pada sediaan sering



dikombinasikan dengan obat analgesik lain seperti asetaminofen. Absorbsi obat dalam saluran cerna cepat, kadar plasma tertinggi dicapai dalam waktu 0,3-2 jam dengan waktu paruh ± 1 jam. Dosis analgesik 500 mg 3 dd (Siswandono dan Soekardjo, 2008). Salisilamid merupakan turunan asam salisilat yang diperoleh dengan cara modifikasi struktur turunan asam salisilat dilakukan dengan mengubah gugus karboksil melalui pembentukan amida. Turunan tipe ini mempunyai efek antipiretik rendah dan lebih banyak untuk penggunaan setempat sebagai counterirritant dan obat gosok karena diabsorbsi baik



melalui kulit. Berikut ini adalah reaksi pembentukan salisilamid yaitu dengan mereaksikan salisilat klorida dengan ammonia:



Gambar 11 : Sintesis dari salisilamid Sumber : Ashutor Kar, 2005 Salisilamida merupakan turunan salisilat sebagai obat analgetika dan antipiretika golongan salisilat yang efeknya lebih lemah dari salisilat itu sendiri. Pada pemberian oral salisilamida cepat diabsorpsi dan segera didistribusikan. Selanjutnya salisilamida mengalami proses eliminasi lintas pertama digastro intestinal dan dihepar sebesar 80%. Akibatnya obat yang tersedia didalam darah menjadi sangat kecil, lebih lanjut akan mengurangi efek farmakologinya (Darmawan, 2003). Salisinamid (ortho-Hidroksibenzamid) mempunyai aktivitas antipiretik-analgesik hampir sama dengan aspirin, tetapi tidak menunjukan efek antiradang dan antirematik. 4. Asam Asetil Salisilat (Aspirin) Modifikasi turunan asam salisilat dengan cara mensubstitusi pada gugus hidroksil. Salah satu contoh dengan modifikasi ini adalah Asam Asetil Salisilat (Aspirin).



-OCH3 Gambar 12 : Asam Salisilat Gambar 13 :Asam Asetil Salisilat Sumber : Siswandono dan Sumber : Siswandono dan Soekardjo, Soekardjo, 2008 2008 Hubungan Struktur-Aktivitas Asam Asetilsalisilat: a. Asam Asetil Salisilat diperoleh dengan cara modifikasi struktur turunan asam salisilat yang dilakukan dengan mensubstitusi gugus hidroksil dengan –OCH3. b. Efek samping aspirin, terutama gangguan pada GI tampaknya terkait dengan fungsi asam karboksilat. c. Pergantian baik pada karboksilat mempengaruhi potensi dan toksisitas.



atau kelompok



fenolik



hidroksil dapat



d. Menempatkan kelompok hidroksil fenolik dalam posisi meta atau para, akan menghapuskan aktivitas aspirin. (Siswandono dan Soekardjo, 2008) Aspirin (Asam asetil salisilat, asetosal, aspro, rhonal), digunakan sebagai analgesikantipiretik dan antirematik. Pemberian aspirin dalam dosis rendah dan dalam waktu yang lama dapat digunakan untuk mencegah serangan jantung. Aspirin juga digunakan untuk pengobatan trombosis karena mempunyai efek antiplatelat. Absorpsi aspirin dalam saluran cerna cepat, terutama pada usus kecil dan lambung, dan segera terhidrolisis menjadi asam salisilat yang aktif. Asam salisilat terikat oleh protein plasma ± 90%, kadar plasma tertinggi aspirin dicapai dalam waktu 14 menit, sedangkan asam salisilat 0,5-1 jam. Waktu paruh aspirin ± 17 menit sedangkan asam salisilat ± 3,15 jam. Dosis analgesik: 500 mg, setiap 4 jam, bila diperlukan (Foye WO, 1989). Stabilitas maksimum aspirin terjadi pada suhu kamar (25 °C) dan dalam suasana pH 2,5 atau pH 7,0. Pada kondisi ini konstanta kecepatan reaksi peruraian aspirin adalah 3,7 x 10 6



/detik. Bahkan pada kondisi ini, aspirin mampu berada dalam kestabilan dengan waktu



paruh (t ½) 52 jam dan t90 = 8 jam (Connors, dkk. 1979). Katalisis yang disebabkan oleh suasana asam terjadi pada pH 9. Sedangkan pada pH 5-9, katalisis senyawa aspirin menunjukkan profil yang stabil (Connors, dkk. 1979). Aspirin dapat dibuat dengan mereaksikan asam salisilat dengan asam asetat dengan adanya katalis asam. Kelompok fenol pada asam salisilat membentuk ester dengan kelompok karboksil pada asam asetat. Namun, reaksi ini lambat dan memiliki hasil yang relatif rendah. Jika anhidrida asetat digunakan sebagai pengganti asam asetat, reaksi jauh lebih cepat dan memiliki hasil yang lebih tinggi (karena anhidrida asetat jauh lebih reaktif daripada asam asetat) (Soekardjo dkk., 2009). Berikut reaksi pembuatan aspirin:



Gambar 14 : Sintesis dari Asam Asetil Salisilat Sumber : Ashutosh Kar, 2004



Pada penelitian sebelumnya pula telah dilakukan modifikasi struktur dari asam asetilsalisilat, yaitu dengan penambahan gugus benzoil klorida sehingga dihasilkan senyawa asam benzoil salisilat yang mempunyai efek antiinflamasi dan efek analgesik yang lebih tinggi terhadap asam asetilsalisilat (Soekardjo dkk., 2009). Aspirin Dosis 80 mg Dosis aspirin secara oral untuk mendapatkan efek analgetik dan antipiretik adalah 300900mg, diberikan setiap 4-6 jam dengan dosis maksimum 4 g sehari dan konsentrasi dalam plasma 150-300mg/ml. Untuk mendapatkan efek antiinflamasi, dosis yang digunakan adalah 4-6 g secara oral per hari. Untuk mendapatkan efek antiagregasi platelet, dosis yang digunakan adalah 60 – 80 mg seacara oral per hari (Katzung, B.G. 2003). Aspirin sebagai antitrombotik dosis efektif aspirin 80-320 mg per hari. Dosis lebih tinggi selaian meningkatkan toksisitas (terutama perdarahan), juga menjadi kurang efektif karena selain menghambat TXA2 juga menghambat pembentukan prostasiklin (FKUI. 2007). Antiplatelet adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan thrombus yang terutama sering ditemukan pada sistem arteri.



Hubungan Struktur dan Aktivitas Aspirin menghambat sintesis tromboksan A2 (TXA2) di dalam trombosit pada prostasiklin (PG12) di pembuluh darah dengan menghambat secara irreversible enzim sikloksigenase (akan tetapi siklooksigenase terjadi karena aspirin mengasetilasi enzim tersebut. Aspirin dosis kecil hanya dapat menekan pembentukan TXA2, sebagai akibatnya terjadi pengurangan agregasi trombosit. Sebagai antiplatelet dosis efektif aspirin 80-320 mg per hari. Dosis lebih tinggi selain meningkatkan toksisitas (terutama pendarahan), juga menjadi kurang efektif karena selain menghambat TXA2 juga menghambat prostasiklin. Pada pasien stroke iskemik atau transient ischemic attack (TIA) penggunaan aspirin jangka panjang juga bermanfaat untuk mengurangi kekambuhan TIA, stroke karena penyumbatan dan kematian akibat gangguan pembuluh darah (Khalilullah SA. 2011).



Aspirin Dosis 500 mg Obat ini sering digunakan untuk menurunkan anas, mengurangi rasa sakit, dan banyak digunakan oleh masyarakat. Obat ini termasuk dalam golongan obat yang dapat diperjual belikan secara bebas tanpa perlu resep dari dokter. Dosis penggunaan obat ini untuk dewasa adalah diminum 3 kali dalam sehari, sekali minum 500 mg. Salisilamida tergolong obat analgetik nonnarkotika. Selain fungsi



yang



telah



dijelaskan



di



atas,



salisilamida



juga berfungsi sebagai antipiretik (Anonim, 2007) Hubungan Struktur dan Aktivitas Asam asetil salisilat atau biasa disebut aspirin memiliki gugus aktif yaitu karboksil dan hidroksil sehingga bersifat lebih asam daripada salisilamid. Aspirin merupakan turunan asam salisilat yang paling reaktif daripada turunan-turunan yang lain seperti salisilamid. Salisilamida adalah turunan dari asam salisilat yang sering dikombinasikan dengan parasetamol dan kofeina. Salisilamida merupakan zat analgetik. Cara kerja salisilamida kurang kuat apabila dibandingkan dengan asetosal tetapi banyak digunakan karena sifatnya



yang



tidak



terlalu asam. Karena tidak terlalu asam, obat tersebut tidak



menimbulkan radang dan pendarahan padalambung. C7H7NO2. Seseorang yang alergi



terhadap



zat



Rumus kimia dari zat ini adalah salisilamid



sebaiknya



tidak



mengkonsumsi salisilamida. Rumus kimia dari zat ini adalah C 7H7NO2. Seseorang yang memiliki masalah pendarahan, seperti hemofilia, penyakit von Willebrand, atau trombosit



darah rendah



sebaiknya



tidak mengkonsumsi



obat



ini. Begitu



juga



dengan penderita ruam parah, gatal, sesak napas dan pusing (Anonim, 2007) B. 1.



Obat Target Traztuzumab (Herceptin®)  HER-2 Reseptor HER2 (Human Epidermal Growth Factor 2) atau dikenal juga dengan Neu atau ErbB2 merupakan reseptor transmembran yang merupakan salah satu dari golongan EGFR (Epithelial Growth Factor) yang merupakan



kelompok reseptor tirosin kinase



(Hudis, 2007). Dari keempat subtype reseptor EGFR, HER2 merupakan reseptor yang paling banyak dihubungkan dengan kejadian kanker (Ikawati, 2008). Jalur HER2 mendorong pertumbuhan dan pembelahan sel ketika berfungsi normal, namun bila



diekspresikan, mempercepat pertumbuhan sel melampaui batas-batas normalnya (Hudis, 2007). Pada permukaan sel normal payudara, terdapat lebih dari 20.000, namun pada sekitar 25% kasus kanker payudara, terjadi peningkatan jumlah reseptor HER2 pada permukaan sel sebanyak 100x lipat menjadi sekitar 2.000.000 reseptor, sehingga kanker payudara ini disebut dengan HER2 positive breast cancer. Dengan bertambahnya jumlah reseptor HER2 maka proses pensinyalan pada intraselluler bertambah juga, menyebabkan terjadinya proliferasi sel dan pertumbuhan sel yang tidak terkendali sehingga jika tidak segera ditangani maka HER2 positive breast cancer akan semakin parah. Dalam beberapa kanker, terutama jenis tertentu kanker payudara, overekspresi dari reseptor HER2 menyebabkan selsel kanker untuk berkembang biak tak terkendali (Hudis, 2007). Herceptin® (Trastuzumab) adalah antibodi monoklonal yang bekerja dengan cara berikatan reseptor HER2. Herceptin bekerja dengan cara meghambat kerja reseptor HER2 baik pada domain ekstraselluler maupun intraselluler dari reseptor. Herceptin® merupakan satu-satunya metode terapi yang terbukti ditargetkan untuk berikatan reseptor HER2 di bagian ekstraselluler dan merusak sel kanker tersebut dengan sistem imun. Herceptin® mengeblok reseptor dan menghentikan aktivitas pensinyalan intrasellulernya. Dan secara otomatis menghambat proliferasi dari sel kanker tersebut. Berdasarkan uji prelinik, Herceptin® meningkatkan efek dari kemoterapi yang memicu metastasis dan apoptosis. Dengan mekanisme yang beragam tersebut, Herceptin® bekerja secara ektraselluler dan intrasellular untuk melakukan perlawanan ganda melawan sel kanker HER2 yang merupakan bentuk paling agresif dari reseptor yang menyebakan kanker payudara. Kerja Herceptin® meliputi 3 hal, yaitu menghambat transmisi sinyal growth factor menuju nucleus, keberadaan Herceptin menginduksi sel imun untuk segera melakukan apoptosis pada selkanker, dan memaksimalkan pengobatan secara kemoterapi (Nahta et al., 2003). Herceptin® dapat berikatan dengan HER2 protein pada bagian ekstraseluler yang mengakibatkan HER2 protein menjadi inaktif sehingga pertumbuhan tidak terkontrol dari sel payudara terhenti. Trastuzubam bekerja dengan cara mengurangi sinyal yang dimediasi HER2 melalui PI3K (phosphatidylinositol 3-kinase) dan MAPK (mitogen-activated protein kinase) (Kute et al., 2004). Herceptin® juga memiliki kemampuan untuk menginduksi respon imun melalui mekanisme antibody-dependent cellular cytotoxicity (ADCC). Mekanisme ini dapat menyebabkan peristiwa apoptosis sel kanker. Keunggulan mekanisme



seperti inilah yang diharapkan terjadi, karena selama ini obat kanker yang ada, menstimulasi apoptosis tidak hanya pada sel yang terkena kanker namun juga sel normal (Clynes et al., 2000). 2.



Rituximab  Sel B-NHL Rituximab adalah antibodi monoklonal untuk pengobatan kanker sistem limfatik yang disebut Non Hodgkin Limfoma (NHL). Antibodi monoklonal adalah substansi yang diproduksi laboratorium yang akan mengenal dan mengikat suatu target spesifik (seperti misalnya protein) pada permukaan sel kanker. Setiap antibodi monoklonal hanya mengenal satu target protein, atau antigen dan dapat digunakan secara tunggal, atau kombinasi dengan kemoterapi atau sebagai pembawa dari substansi seperti toksin atau radiasi. Setelah terikat pada tempat target, antibodi monoklonal dapat membunuh sel kanker dan atau mengaktifan sistem imun tubuh untuk menyerang sasaran, dan juga dapat membuat sel kanker menjadi sensitif pada kemoterapi (Czuczman et al., 1999). Tidak seperti bentuk umum dari pengobatan, Rituximab melacak dan memusnahkan sel kanker secara spesifik. Rituximab bekerja dengan mengikat suatu protein pada permukaan luar dari sel-B normal dan sel-B ganas (maligna). Lebih dari 85% NHL berasal dari sel-B. Selanjutnya, pertahanan tubuh alamiah akan direkrut untuk menyerang dan membasmi sel-B. Setelah sel ganas dihancurkan, kemudian akan diganti dengan sel-B normal, jadi sistem imun akan diregenerasi oleh sel- B normal (Czuczman et al., 2001). Rituximab, suatu antibodi monoclonal humanized anti-CD20, baik tunggal maupun kombinasi terbukti dapat memperbaiki angka survival pasien-pasien NHL (Jazirehi et al., 2007). Salah satu cara Rituximab membunuh sel-sel tumor adalah secara cross-linking CD20 (Bonavida and Vega, 2005).



3.



TositumomabSel B-NHLimunoterapi Non-Hodgkin’s Lymphoma (NHL) yang berasal dari sel B merupakan penyebab kematian paling umum keenam yang diakibatkan oleh kanker dan frekuensinya terus meningkat, yang bermula dari 85% hingga menjadi 90%. Jenis atau tingkat dari limfoma dapat berubah ke kelas histologis yang lebih tinggi dan kemudian sangat agresif dan bahkan lebih sulit untuk diobati (Wahl, 2005).



Pada Non-Hodgkin’s Lymphoma, limfosit mulai berperilaku seperti sel kanker dan tumbuh serta berlipat ganda secara tidak terkontrol, dan tidak mati seperti pada proses yang seharusnya. Karena hal ini, limfoma non Hodgkin sering disebut sebagai kanker. Limfosit abnormal ini kerap terkumpul dalam kelenjar getah bening, yang mengakibatkan pembengkakan. Karena limfosit bersirkulasi ke seluruh tubuh, kumpulan limfosit abnormal atau ‘limfoma’ juga dapat terbentuk di bagian tubuh lainnya di luar dari kelenjar getah bening (Dillman, 2001). Radioimmunotherapi (RIT) menggunakan antibodi anti-CD20 radiolabeled telah dieksplorasi paling luas di limfoma folikular dan limfoma folikular tersebut telah berubah ke kelas yang lebih tinggi. Saat ini dua radiolabeled antibodi anti-CD20 disetujui oleh Food and Drug Administration AS untuk penggunaan secara klinis di Amerika Serikat yakni diantaranya Tositumomab dan



131



I-tositumomab (Bexxar®; Corixa / GlaxoSmithKline), dan



90



Y-ibritumomab tiuxetan (Zevalin®; Biogen Idec, Inc.) (Wahl, 2005). Regimen terapi tositumomab dan 131I-tositumomab terdiri dari 2 langkah. Pada langkah



dosimetrik, tositumomab berlabel diinfuskan pertama, diikuti dengan dosis dosimetrik dari 131



I-tositumomab. Pada langkah terapi, tositumomab tanpa label diikuti dengan dosis terapi



pasien-spesifik 131I-tositumomab. Tositumomab adalah IgG2a murine λ -murine Monoklonal antibodi yang ditujukan terhadap antigen CD20. Pemilihan CD20 sebagai sasaran antigenik untuk RIT itu memiliki satu alasan, namun spektrum yang luas dari kemungkinan target antigen diekspresikan pada sel-B dan merupakan target yang potensial untuk RIT. Meskipun antibodi tumor spesifik sepenuhnya dapat dihasilkan di NHL dan ditujukan kepada faktorfaktor penentu idiotypic spesifik permukaan immunoglobulin-sel B, antibodi ini tidak mudah diubah menjadi radiofarmasi terapi karena variabilitas bawaan dari tumor ke tumor, sehingga hampir tidak mungkin dalam lingkungan peraturan seperti saat ini untuk mengembangkan antibodi baru yang unik untuk setiap pasien. Sebagian besar usaha yang dilakukan dengan RIT untuk NHL berfokus hanya pada penargetan tumor antigen-sel B. Pada CD37, CD19, CD22, CD52, antibodi idiotypic, dan HLA-DR semuanya telah digunakan sebagai target antigen untuk RIT (Wahl, 2005). CD20 adalah kurang lebih 35-kd transmembran glikoprotein. Antigen CD20 yang padat diekspresikan pada hampir semua permukaan limfoma sel B tetapi pada penanda sel B diekspresikan pada B-sel normal. Namun, CD20 tidak diekspresikan pada sel induk



hematopoietik, tidak cepat diinternalisasi, dan tidak meluruhkan ketika mengikat radioantibody, dan dengan demikian CD20 merupakan target potensial yang menarik untuk RIT. Selain itu, pengikatan antibodi terhadap antigen CD20 dapat mengakibatkan apoptosis, yang tampaknya caspase independen di beberapa eksperimen (Wahl, 2005). Karena antigen CD20 diekspresikan pada normal sirkulasi B-sel dalam darah dan limpa normal, situs-situs nontumor mengekspresikan CD20 yang berpotensi mewakili hambatan mencegah pengiriman antibodi radiolabeled ke situs tumor. Dalam merancang tositumomab dan regimen terapi



131



I tositumomab, ada kekhawatiran bahwa pemberian



massa protein yang relatif rendah (biasanya sekitar 15-30 mg) dari radioantibody mungkin menghasilkan antibodi radiolabeled yang dialihkan dari mencapai tumor karena mengikat CD20- B-sel positif dalam sirkulasi atau limpa (Wahl, 2005). 4.



Gemtuzumab Ozogamicin Imono Toksin Leukimia Imunoterapi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan sistem imunitas tubuh untuk mengalahkan sel-sel kanker dengan cara meningkatkan reaksi kekebalan tubuh terhadap sel kanker (Larson, 2002). Imunoterapi dapat dilakukan secara pasif dan aktif untuk menstimulasi respon imun pada penderita kanker. Imunoterapi secara pasif dilakukan dengan cara mentransfer antibodi dan sel-sel imun ke dalam tubuh penderita. Beberapa antibodi monoklonal yang mampu bereaksi dengan antigen spesifik yang berbagai jenis sel kanker dapat digunakan untuk terapi kanker (Sievers, 2003). Immunotoksin adalah antibodi monoklonal dikonjugasikan dengan racun. Imunotoksin dibuat dengan menempelkan racun yang berasal dari tanaman maupun bakteri pada antibodi monoklonal. Berbagai racun dibuat untuk ditempelkan pada antibodi monoklonal seperti toksin difteri, eksotoksin pseudomonas (PE40), atau yang dibuat dari tanaman, yakni risin A dari Ricinus communis atau saporin dari Saponaria officinalis. Salah satu imunotoksin yang mendapat persetujuan FDA untuk terapi kanker adalah Gemtuzumab ozogamicin (Mylotarg). Obat ini mengandung racun calicheamicin. Racun ini melekat pada antibodi yang langsung menuju sasaran antigen CD33, yang terdapat pada sebagian besar sel leukimia. Saat ini Gemtuzumab ozogamicin yang merupakan new targets for novel antileukemic digunakan untuk terapi Acute Myelogenous Leukimia (AML) yang sudah menjalani kemoterapi atau tidak memenuhi syarat untuk kemoterapi (Sievers, 2003). Gemtuzumab ozogamicin (GO) telah disetujui pada tahun 2000 oleh Amerika Serikat Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan CD33 + AML yang merupakan



relaps pertama pada pasien usia 60 tahun atau lebih yang mana tidak dipertimbangkan untuk melakukan jenis kemoterapi sitostoksik lainnya. Dalam model praklinis, GO selektif dan poten menghambat jalur sel CD33+ AML dan sel AML utama. Fase penting II uji klinis mengungkapkan bahwa GO monoterapi, diberikan sebagai dua dosis terpisah selama 14 hari, menginduksi complete remission (CR) atau CR dengan pemulihan trombosit lengkap di sekitar 30% dari orang dewasa yang disertai dengan relaps CD33 + AML. Toksisitas non hematologik utama pada pasien yang mendapatkan infus demam, menggigil dan hipotensi, dan kelainan tes fungsi hati sementara (Larson, 2002).



DAFTAR PUSTAKA



Anonim, 2007. Sintesis Asetil salisilat (aspirin) dari Asam Salisilat dan Asetat Anhidrida. Ashutosh Kar. 2005. Pharmaceutical Drug Analysis. New Delhi: New Age International Limited Publishers. Bonavida B, and Vega MI. 2005. Rituximab-mediated chemosensitization of AIDS and nonAIDS non-Hodgkin’s Lymphoma. Drug Resist Update. Clynes, RA; Towers, TL; Presta, LG; Ravetch, JV. 2000. Inhibitory Fc receptors modulate in vivo cytoxicity against tumor targets. Articles. USA: Nature America Inc. Connors, K.A., et al. (1986). Stabilitas Kimiawi Sediaan Farmasi. Edisi II. Jilid Kedua. Jakarta: Jhon willey and Sons. Halaman 180, 197-201. Czuczman et al. 001. Progression Free Survival after Six Years (Median) Follow-Up of the First Clinical Trial of Rituximab/CHOP Chemoimmunotherapy. Orlando, Florida, US.



Czuczman MS, Grillo-Lopez AJ, White CA. 1999. Treatment of patients with low-grade B-cell lymphoma with the combination of chimeric anti-CD20 monoclonal antibody and CHOP chemotherapy. J Clin Oncol. Departemen Farmakologi FKUI. 2007. Antikoagulan, antitrombotik, trombolitik dan hemostatik : Farmakologi dan Terapi. Ed.5. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2011 ; 813. Dillman, R.O. Monoclonal antibody therapy for lymphoma: an update. Cancer Pract. 2001;9:71– 80. Foye W.O., Principles of Medicinal Chemistry, Phila delphia, London: Lea & Febiger, 1989; 737. Hudis, CA. 2007. Trastuzumab–mechanism of action and use in clinical practice. N Engl J Med. 357 (1): 39–51. Ikawati, Zullies. 2008. Pengantar Farmakologi Molekuler. Jogjakarta : UGM Press. Jazirehi AR, Vega MI, and Bonavida B. 2007. Development of rituximab-resistant lymphoma clones with altered cell signaling and cross-resistance to chemotherapy. Cancer Res. Katzung, B.G. 2003. Drugs Used in Disorder of Coagulation, In : Basic & Clinical Pharmacology. McGraw-Hill. 9thed.p.775-776. Khalilullah SA. 2011. Penggunaan Antiplatelet (aspirin) Pada Akut Stroke Iskemik. Co-ass Clinical at neurology departement dr. Zainoel Abidin Teaching Hospital: Faculty of Medicine University of Syiah Kuala. Kute, T; Lack CM, Willingham M, Bishwokama B, Williams H, Barrett K, Mitchell T, Vaughn JP. 2004. Development of herceptin resistance in breast cancer cells. Cytometry 57A (2): 86–93. Willey-Liss Inc. Larson, R.A, Boogaerts M., Estey E., Karanes C., Stadtmauer E.A., Sievers E.L., et al. 2002. Antibody-targeted chemotherapy of older patients with acute myeloid leukemia in first relapse using Mylotarg (gemtuzumab ozogamicin). Leukemia. 16: 1627–1636. Nahta, R; Esteva1 FJ. 2003. HER-2-Targeted Therapy–Lessons Learned and Future Directions. Clinical Cancer Research 9 (14): 5078–5048. Rainsford, 1984, Aspirin and The Salicylates, 32 – 108, Butter Worths, London. Sievers, E.L. 2003. Antibody-targeted chemotherapy of acute myeloid leukemia using gemtuzumab ozogamicin (Mylotarg). Science Direct. Vol 7 (10).



Siswandono dan Soekardjo, B., 2008. Kimia Medisinal. Ed.2. Surabaya : Airlangga University Press. Sukardjo dkk.2009. Landasan Pendidikan. Jakarta : Rajagrafindo Persada. Wahl, R.L. 2005. Tositumomab and



131



Nuclear Medicine. Vol 46 (1).



I Therapy in Non-Hodgkin’s Lymphoma The Journal of