22 0 2 MB
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah kista berasal dari perkataan Yunani kustis yang bererti kantong dimana ia merupakan suatu abnormalitas pada pertumbuhan jaringan. Dalam pengertian secara histopatologi, kista adalah ronaaa vans dilapisi sel epitel. Pada kista terdapat duktus yang terdilatasi yang biasanya disebabkan oleh obstruksi, hiperplasia epitel, sekresi berlebihan dan distorsi struktural. Sebagian kista timbul dari sisa-sisa epithelia ektopik atau sebagai hasil nekrosis di tengah-tengah massa epitel. Kista dapat bersifat konaenital atau didaeatka. Cairan kista biasanya bening dan tidak berwama namun dapat iolga viskuos atau mengandung kristal kolestrol sebagai hasil dari nekrosis jaringan. "True cysts" atau kista sesungguhnya harus dibedakan dari "false cysts" atau pseudokista dimana pseudokista ini merupakan timbunan cairan yang terkandung dalam, kavitas yang tidak mempunyai lapisan epithelium. Kista seperti ini biasanya berasal dari suatu proses inflamatori atau degeneratif. Gambaran histopatologi dinding kista hepar yang dilapisi oleh sel epitel. Gambaran histopatologi dinding pseudokista yang tidak mempunyai lapisan sel epitel. Penyakit kistik hepar merupakan suatu spektrum yang secara umum diklasifikasikan mulai dari kista yang bersifat infeksius, kongenital, neoplastik hingga kista akibat trauma pada hepar yang masing-masing berbeda etiologi, cara penanganan dan komplikasi serta prognosis. B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian kista hepar ? 2. Bagaimana anatomi dan fisiologi hepar ? 3. Apa etiologi kista hepar ? 4. Bagaimana patofisiologi kista hepar ? 5. Apa saja klasifikasi hepar ? 6. Apa saja manifestasi klinis kista hepar ? 7. Apa saja pemeriksaan penunjang pada kista hepar ? 8. Apa saja komplikasi kista hepar 9. Bagaimana penatalaksanaan kista hepar ? 10. Bagaimana konsep asuhan keperawatan kista hepar ? 1
C. Tujuan 1. Untuk mengetahui pengertian kista hepar 2. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi hepar 3. Untuk mengetahui etiologi kista hepar 4. Untuk mengetahui patofisiologi kista hepar 5. Untuk mengetahui klasifikasi hepar 6. Untuk mengetahui manifestasi klinis kista hepar 7. Untuk mengetahui pemeriksan penunjang kista hepar 8. Untuk mengetahui komplikasi kista hepar 9. Untuk mengetahui penatalaksanaan kista hepar 10. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan kista hepar
2
BAB II ISI I. Konsep kista Hepar A. Pengertian
kista adalah rongga yang dilapisi sel epitel. Pada kista terdapat duktus yang terdilatasi yang biasanya disebabkan oleh obstruksi, hiperplasia epitel, sekresi berlebihan dan distorsi struktural. Sebagian kista timbul
dari sisa-sisa epitel
ektopik atau sebagai hasil nekrosis di tengah-tengah massa epitel. ( Nursalam, 2011 )
Kista Hepar dapat bersifat kongenital atau didapat. Cairan kista biasanya bening dan tidak berwarna namun dapat juga viskous atau mengandung kristal kolesterol sebagai hasil dari nekrosis jaringan. True cysts atau kista yang sesungguhnya harus dibedakan dari false cysts atau pseudokista, dimana pseudokista ini merupakan timbunan cairan yang terkandung dalam
kavitas yang tidak
mempunyai lapisan epithelium. Kista seperti ini biasanya berasal dari suatu proses inflamasi atau degeneratif. ( Enggram,Barbara.2012 )
Penyakit kistik hepar sering diidentifikasi saat laparotomi dan selama pemeriksaan gejala abdominal yang tidak berhubungan dengan kista. Dalam banyak kasus, penemuan kista hepar yang tidak terduga baik soliter maupun multipel, tidak memiliki arti klinis bila tidak bergejala, walaupun kista hepar ini juga dapat diasosiasikan sebagai proses patologis yang cukup serius. ( Brunner dan Suddarth. 2011 )
B. Anatomi dan fisiologi hepar Anatomi hepar menurut Doherty, GM 2010 Hepar terletak pada kuadran kanan atas abdomen, intraperitoneal tepat di bawah sisi kanan diafragma yang dilindungi oleh costa. Berat hepar kurang lebih 1400 gram pada orang dewasa dan dibungkus oleh sebuah kapsul fibrous.
3
Gambar 1. Posisi hepar dalam tubuh Doherty, GM 2010 Hepar memiliki facies diaphragmatica dan facies visceralis (dorsokaudal) yang dibatasi oleh tepi kaudal hepar. Facies diaphragmatica bersifat licin dan berbentuk kubah, sesuai dengan cekungan permukaan kaudal diafragma, tetapi untuk sebagian besar terpisah dari diafragma karena recessus subphrenicus cavitas peritonealis. Hepar tertutup oleh peritoneum, kecuali di sebelah dorsal pada area nuda, tempat hepar bersentuhan langsung pada diafragma. Area nuda hepar ini dibatasi oleh melipatnya peritoneum dari diafragma ke hepar sebagai lembar ventral (cranial) dan lembar dorsal (kaudal) ligamentum coronarium. Kedua lembar tersebut bertemu di sebelah kanan untuk membentuk ligamentum triangulare. Ke arah kiri lembar-lembar ligamentum coronarium tercerai dan membatasi area nuda hepar yang berbentuk segitiga. Lembar ventral ligamentum di sebelah kiri bersinambungan dengan lembar kanan ligamentum falciforme, dan lembar dorsal bersinambungan dengan lembar kanan omentum minus. Lembar kiri ligamentum falciforme dan omentum minus bertemu untuk membentuk ligamentum triangulare sinistrum. Hepar terbagi menjadi lobus hepatis dekstra dan lobus hepatis sinistra yang masingmasing berfungsi secara mandiri. Masing-masing lobus memiliki pendarahan sendiri dan arteria hepatica dan vena portae hepatis, dan juga penyaluran darah venosa dan empedu bersifat serupa. Lobus hepatis dekstra dibatasi terhadap lobus hepatis sinistra oleh fossa vesicae biliaris dan sulcus vena cava pada facies visceralis hepatis, dan oleh
4
sebuah garis khayal pada permukaan diaphragmatika yang melintas dari fundus vesicae biliaris ke vena cava inferior.
Gambar 2. Anatomi Hepar Doherty, GM 2010 Lobus hepatis sinistra mencakup lobus caudatus dan hampir seluruh lobus quadratus. Lobus hepatis sinistra terpisah dari lobus caudatus dan lobus quadratus oleh fissure ligament teretis dan fissura ligamenti venosi pada facies visceralis, dan oleh perlekatan ligamentum teres hepatis pada facies diaphragmatica. Hepar menerima darah dari dua sumber: arteri hepatica propria (30%) dan vena porta hepatis (70%). Arteri hepatica propria membawa darah yang kaya akan oksigen dari aorta, dan vena porta hepatis mengantar darah yang miskin akan oksigen dari saluran cerna, kecuali dari bagian distal canalis analis. Di porta hepatis arteri hepatica propria dan vena porta hepatis berakhir dengan membentuk ramus dekstra dan ramus sinistra, masing-masing untuk lobus hepatis dekstra. Lobus-lobus ini berfungsi secara terpisah, dalam masing-masing lobus cabang primer vena porta hepatis dan arteri hepatica propria teratur secara konsisten untuk membatasi segmen vascular. Bidang horizontal 5
melalui masing-masing lobus membagi hepar menjadi delapan segmen vascular. Antara segmen-segmen terdapat vena hepatica untuk menyalurkan darah dari segmensegmen yang bertetangga.
Gambar 3. Distribusi vaskular dan duktus hepatikus Doherty, GM 2010 Vena hepatica yang terbentuk melalui persatuan vena centralis hepatis, bermuara dalam vena cava inferior, tepat kaudal dari diaphragm. Hubungan vena ini dengan vena cava inferior membantu memantapkan kedudukan hepar.
Gambar 4. Sistem duktuli dan vaskular intrahepatik Doherty, GM 2010 Hepar memiliki vasa lymphaticum superficial dan vasa lymphaticum profundum. Vasa lymphaticum superficial terbanyak bergabung dengan pembuluh limfe di porta hepatis dan ditampung oleh nodi lymphoidei hepatici.
6
Pembagian anatomi menurut nomenklatur Couinaud sangat penting dalam mempertimbangkan reseksi segmen hepar. Hal ini memungkinkan kita melakukan reseksi pada segmen tertentu atau kombinasi beberapa segmen dengan tetap mempertahankan vaskularisasi dan kontinuitas aliran bilier pada segmen yang tertinggal.
7
Gambar 5. Segmen fungsional hepar – Couinaud’s nomenclature Doherty, GM 2010 Anatomi hepar dapat dideskripsikan menggunakan dua aspek yang berbeda : anatomi morfologis dan anatomi fungsional. Anatomi morfologis tradisional berdasarkan pada penampakan eksternal hepar, dan tidak mempertimbangkan vaskularisasi dan percabangan duktus biliaris, yang sebenarnya penting dalam reseksi hepar.
Klasifikasi Couinaud C. Couinaud (2009) membagi hepar menjadi delapan segmen fungsional yang independen. Setiap segmen memiliki aliran vaskular masuk dan keluar masingmasing, demikian pula dengan duktus biliaris. Di tengah tiap segmen terdapat cabang dari vena porta, arteri hepatis, dan duktus biliaris. Di daerah perifer tiap segmen terdapat aliran darah keluar melalui vena hepatica.
Gambar 6. Segmen fungsional hepar – Couinaud’s nomenclature Doherty, GM 2010 Vena hepatica dekstra membagi lobus kanan menjadi segmen anterior dan posterior. Vena hepatica media membagi hepar menjadi lobus kiri dan kanan (atau hemilever 8
kiri dan kanan). Aliran ini berasal dari vena cava inferior hingga fossa buli-buli. Vena hepatica sinistra membagi lobus kiri menjadi segmen medial dan lateral. Vena porta membagi hepar menjadi segmen atas dan bawah. Vena porta kiri dan kanan bercabang di superior dan inferior dan kemudian terbagi ke pusat tiap segmen. Karena pembagian menjadi unit yang berdiri sendiri seperti ini, tiap segmen dapat direseksi tanpa mengganggu segmen yang ditinggalkan. Agar hepar dapat tetap berfungsi, reseksi harus dilakukan sepanjang pembuluh darah yang memperdarahi perifer dari segmen, yang berarti garis reseksi berjalan paralel dengan vena hepatica. Vena porta di sentral segmen, duktus biliaris, dan arteri hepatica tetap dipertahankan.
Segmentasi Hepar
Gambar 7. Segmentasi hepar secara clockwise Doherty, GM 2010 Terdapat delapan segmen dari hepar. Segmen 4 biasanya dibagi lagi menjadi segmen 4a dan 4b (menurut klasifikasi Bismuth). Penomoran segmen hepar ini diatur searah jarum jam (clockwise). Segmen 1 (lobus caudatus) terletak posterior, yang tidak tampak dalam proyeksi frontal. Couinaud membagi hepar menjadi lobus fungsional kiri dan kanan (gauche et droite foie) oleh vena hepatica media, yang dikenal sebagai Cantlie’s line. Cantlie’s line berawal dari pertengahan buli-buli fossa anterior hingga postero-inferior dari vena cava. 9
Pada gambar di atas, tampak seolah bagian medial dari lobus kiri dipisahkan dari bagian lateral oleh ligamentum falciforme. Sebenarnya bagian medial (segmen 4) dan lateral (segmen 2 dan 3) ini dipisahkan oleh vena hepatica sinistra yang terletak di sebelah kiri, sangat dekat dengan ligamentum falciforme.
Anatomi Transversal
Gambar 8. Potongan transversal segmen superior hepar Doherty, GM 2010 Gambar di atas menunjukkan potongan transversal segmen superior hepar, yang dipisahkan oleh vena hepatica. Gambar di sebelah kanan menunjukkan potongan transversal setinggi vena porta sinistra. Pada tingkat ini vena porta membagi lobus kiri hepar menjadi segmen superior (2 dan 4a) dan segmen inferior (3 dan 4b). Vena porta sinistra terletak sedikit lebih tinggi daripada vena porta dekstra.
10
Gambar 9. Potongan transversal segmen inferior hepar Doherty, GM 2010 Pada gambar di atas, gambar di sebelah kiri adalah potongan setinggi vena porta dekstra. Pada tingkat ini vena porta dekstra membagi lobus kanan hepar menjadi segmen superior (7 dan 8) dan segmen inferior (5 dan 6). Pada potongan setinggi vena lienalis di gambar sebelah kanan, hanya segmen inferior hepar yang terlihat.
Klasifikasi Bismuth
Gambar 10. Segmentasi hepar menurut Klasifikasi Bismuth Doherty, GM 2010
11
Klasifikasi ini sebenarnya mirip dengan klasifikasi Couinaud, dengan sedikit perbedaan. Klasifikasi Bismuth sering digunakan di Amerika, sedangkan klasifikasi Couinaud lebih populer di Asia dan Eropa. Menurut Bismuth 2011, tiga cabang vena hepatica membagi hepar menjadi empat bagian, yang lalu dibagi lagi menjadi segmen yang lebih kecil. Segmen ini dinamakan portal sectors, sebab masing-masing disuplai oleh pedikel vena porta di bagian tengahnya. Garis pemisah antarsektor mengandung sebuah vena hepatica. Oleh karena itu klasifikasi ini dapat digambarkan sebagai vena hepatica dan pedikel vena porta yang saling mengisi, seperti halnya jari-jari tangan yang saling ditautkan. Vena porta sinistra membagi lobus kiri hepar menjadi dua sektor : anterior dan posterior. Sektor anterior kiri terbagi atas dua segmen : segmen IV yaitu lobus quadratus, dan segmen III, yang merupakan bagian anterior dari lobus hepar kiri. Kedua segmen ini dipisahkan oleh fissura hepatica sinistra (fissura umbilicalis). Sektor posterior kiri hanya terdiri atas segmen II, yang berada di bagian posterior dari lobus kiri hepar.
Fisiologi Hepar menurut Doherty, GM 2010 Hepar memiliki banyak fungsi, termasuk fungsi pengambilan, penyimpanan, dan distribusi nutrisi dari darah atau traktus gastrointestinal, sintesis, metabolism, dan eliminasi berbagai substrat endogen, eksogen, dan berbagai macam toksin. Hepar menerima suplai darah ganda dengan 75% dari vena porta, dan 25% dari arteri hepatica. Terdapat autoregulasi dari aliran arteri hepatica, namun tidak dari sistem vena porta. Aliran vena porta meningkat seiring dengan asupan makanan, garam empedu, sekretin, pentagastrin, polipeptida intestinal vasoaktif (VIP), glucagon, isoproterenol, prostaglandin E1 dan E2, dan papaverin. Aliran porta diperlambat oleh serotonin, angiotensin, vasopressin, nitrat, dan somatostatin. Secara umum, hepar memiliki empat unit anatomic-fisiologik yang saling berhubungan dalam membentuk fungsi hepar, yaitu :
1. Sistem sirkulasi Suplai darah ganda berfungsi membawa nutrisi bagi hepar dan berguna sebagai pembawa material yang diabsorbsi dari traktus intestinalis untuk digunakan 12
dalam proses metabolisme. Pembuluh darah yang diikuti dengan sistem limfatik dan serat saraf berkontribusi untuk mengatur aliran darah dan tekanan intrasinusoidal. 2. Saluran empedu Saluran ini berfungsi untuk mengalirkan material yang disekresikan oleh sel-sel hepar, termasuk bilirubin, kolesterol, dan obat-obat yang telah terdetoksifikasi. Sistem ini berasal dari apparatus Golgi, yang melewati mikrovili dari kanalis biliaris dan berakhir pada common bile duct. 3. Sistem retikouloendotelial Sistem ini memiliki 60% elemen pada hepar, termasuk pula sel Kupffer dan sel-sel endothelial. 4. Sel fungsional hepar (hepatosit) Sel ini memiliki aktifitas yang sangat bervariasi. Fungsi metabolik dari hepar membantu menyediakan kebutuhan tubuh. Sel-sel ini membantu proses anabolik maupun katabolik, fungsi sekresi dan penyimpanan.
Empedu dibentuk pada membrana kanalikuli hepatosit dan duktuli empedu, dan disekresikan melalui sebuah proses aktif yang relative tidak tergantung pada aliran darah. Komponen organik utama dari empedu adalah asam empedu terkonjugasi, kolesterol, fosfolipid, pigmen empedu, dan protein. Dalam kondisi normal, 600 hingga 1000 mL empedu diproduksi setiap harinya. Bilirubin, sebuah produk degradasi dari heme, dieliminasi hampir seluruhnya pada empedu. Bilirubin bersikulasi terikat pada albumin dan dikeluarkan dari plasma oleh hepar melalui sistem transpor termediasi. Di dalam hepatosit, bilirubin terikat pada asam glukuronat sebelum disekresikan pada empedu. Hepar mensintesis protein plasma utama, termasuk albumin, gamma-globulin, dan beberapa protein koagulasi. Disfungsi hepar akan memberikan efek koagulasi dengan menurunnya produksi protein koagulasi, atau dalam kasus ikterus obstruktif, terdapat penurunan aktifitas dari faktor II, V, VII, IX dan X, sebagai akibat dari kurangnya modifikasi post-translasi yang bergantung pada vitamin K. Tes Fungsi Hepar Beberapa tes biasanya sering dilakukan untuk menganalisa kondisi hepar, disebut sebagai tes fungsi hepar. Serum aspartate aminotransferase (AST) dan alanine 13
aminotransferase (ALT) adalah pengukuran level enzim yang normal terdapat di dalam hepatosit. Selain itu dapat pula dilakukan pengukuran kadar albumin, faktor pembekuan, dan bilirubin dari sampel darah. Jenis tes
Nilai normal
Serum albumin Total protein Kolesterol Alkali fosfatase AST ALT GGT
3,5 – 4,6 g/dL 6,0 – 7,4 g/dL 135 – 300 mg/dL 24 – 100 IU/dL 10 – 36 unit/dL 10 – 48 unit/dL 0 – 48 unit/dL (pria)
4 – 26 unit/dL (wanita) LDH 180- 225 unit/dL PT 90 – 100% control Lab Total bilirubin < 1,4 mg/dL Bilirubin direk < 0,3 mg/dL Bilirubin indirek < 1,1 mg/dL Tabel 1. Nilai normal tes fungsi hepar Doherty, GM 2010 Keterangan : menurut Riyani, Ani. 2013. a. Serum Albumin merupakan protein yang paling berlimpah dalam plasma darah hingga mencapai sekitar 60% dari total plasma protein. Rentang normal untuk albumin serum adalah 3,6 – 5,5 g/dL. Plasma merupakan 40% dari total albumin tubuh, sedangkan 60% sisanya hadir dalam ekstra vaskular intertisial kola (waktu paruh albumin dalam plasma adalah sekitar 18-20). Fungsi utama dari serum albumin adalah sebagi pemeliharaan tekanan osmotik koloid, transportasi ligan dan konstitusi asam amino. Riyani, Ani. 2013. b. Protein adalah suatu makromolekul yang tersusun atas molekul-molekul asam amino yang berhubungan satu dengan yang lain melalui suatu ikatan yang dinamakan ikatan peptida. Sejumlah besar asam amino dapat membentuk suatu senyawa protein yang memiliki banyak ikatan peptida, karena itu dinamakan polipeptida. Secara umum protein berfungsi dalam sistem komplemen, sumber nutrisi, bagian sistem buffer plasma, dan mempertahankan keseimbangan cairan intra dan ekstraseluler. Berbagai protein plasma terdapat sebagai antibodi, hormon, enzim, faktor koagulasi, dan transport substansi khusus. Total protein terdiri atas albumin (60%) dan globulin (40%). Bahan pemeriksaan yang digunakan untuk pemeriksaan total protein adalah serum. Bila menggunakan bahan 14
pemeriksaan plasma, kadar total protein akan menjadi lebih tinggi 3 – 5 % karena pengaruh fibrinogen dalam plasma. Riyani, Ani. 2013. c. Kolesterol menurut Nurrahmani, dalam tinjauan ilmiah kolesterol adalah senyawa lemak kompleks yang 80% dihasilkan dan dalam tubuh (organ hati) dan 20% sisanya dan luar tubuh (zat makanan). Itu artinya, kolesterol yang berada dalam zat makanan yang kita makan dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Tahapan Nilai Rujukan , normal 5 kali nilai normal) : kerusakan hepatoseluler akut, infark miokard, kolaps sirkulasi, pankreatitis akut, mononukleosis infeksiosa. f. SGPT atau juga dinamakan ALT (alanin aminotransferase) merupakan enzim yang banyak ditemukan pada sel hati serta efektif untuk mendiagnosis destruksi hepatoseluler. Enzim ini dalam jumlah yang kecil dijumpai pada otot jantung, ginjal dan otot rangka. Pada umumnya nilai tes SGPT/ALT lebih tinggi daripada SGOT/AST pada kerusakan parenkim hati akut, sedangkan pada proses kronis didapat sebaliknya. g. Gamma-glutamil transferase (gamma-glutamyl transferase, GGT) adalah enzim yang ditemukan terutama di hati dan ginjal, sementara dalam jumlah yang rendah ditemukan dalam limpa, kelenjar prostat dan otot jantung. Gamma-GT merupakan uji yang sensitif untuk mendeteksi beragam jenis penyakit parenkim hati. Kebanyakan dari penyakit hepatoseluler dan hepatobiliar meningkatkan GGT dalam serum. Kadarnya dalam serum akan meningkat lebih awal dan tetap akan meningkat selama kerusakan sel tetap berlangsung. 15
h. Laktat dehidrogenase (LD, LDH) adalah enzim intraseluler yang terdapat pada hampir semua sel yang bermetabolisme, dengan konsentrasi tertinggi dijumpai di jantung, otot rangka, hati, ginjal, otak, dan sel darah merah. LDH merupakan suatu molekul tetramerik yang mengandung empat subunit dari dua bentuk; H (jantung) dan M (otot), yang berkombinasi sehingga menghasilkan lima isoenzim yang diberi nama LDH1 (H4) sampai LDH5 (M4). Isoenzim-isoenzim tersebut memiliki spesifisitas jaringan yang sangat berguna dalam menentukan organ asal, yaitu :
LDH1 (HHHH) terdapat di jantung, eritrosit, otak
LDH2 (HHHM) terdapat di jantung, eritrosit, otak
LDH3 (HHMM) terdapat di paru, otak, ginjal, limpa, pankreas, adrenal, tiroid
LDH4 (HMMM) terdapat di hati, otot rangka, ginjal
LDH5 (MMMM) terdapat di hati, otot rangka, ileum
i. Protrombin disintesis oleh hati dan merupakan prekursor tidak aktif dalam proses pembekuan. Protrombin dikonversi menjadi thrombin oleh tromboplastin yang diperlukan untuk membentuk bekuan darah. Uji masa protrombin (prothrombin time, PT) untuk menilai kemampuan faktor koagulasi jalur ekstrinsik dan jalur bersama, yaitu : faktor I (fibrinogen), faktor II (prothrombin), faktor V (proakselerin), faktor VII (prokonvertin), dan faktor X (faktor Stuart). Perubahan faktor V dan VII akan memperpanjang PT selama 2 detik atau 10% dari nilai normal. Pada penyakit hati PT memanjang karena sel hati tidak dapat mensintesis protrombin. j. Total bilirubin adalah suatu jenis pemeriksaan jumlah bilirubin dalam darah termasuk bilirubin direk dan indirek. k. Bilirubin Indirek / Bilirubin tak terkonjugasi Bilirubin indirek disebut juga bilirubin tak terkonjugasi. Disebut bilirubin tak terkonjugasi karena bilirubin ini masih melekat pada albumin dan tidak berada dalam kondisi bebas. Bilirubin jenis ini tidak larut dalam air, karena itu tidak akan di temukan di dalam urin. Nilai normal bilirubin indirek adalah 0,1 – 0,4 g/dt. Peningkatan kadar
16
bilirubin indirek sering dikaitkan dengan peningkatan destruksi eritrosit (hemolisis), seperti pada penyakit hemolitik oleh autoimun, transfusi, atau eritroblastosis fatalis. l. Bilirubin Direk / Bilirubin terkonjugasi Bilirubin Direk adalah bilirubin bebas yang terdapat dalam hati dan tidak lagi berikatan dengan albumin. Bilirubin ini akan dengan mudah berikatan dengan asam glukoronat membentuk bilirubin glukorosida atau hepatobilirubin. Dari hati bilirubin ini masuk kesaluran empedu dan dieksresikan ke usus. DI dalam usus, flora usus akan mengubahnya menjadu urobilirubin untuk kemudian di buang keluar dari tubuh melalui urin dan feses. Bilirubin direk bersifat larut dalam air. Dalam keadaan normal, bilirubin direk ini tidak ditemukan dalam plasma darah. Peningkatan kadar bilirubin direk menunjukkan adanya gangguan pada hati (kerusakan sel hati) atau saluran empedu (batu atau tumor).
Fungsi Normal Hepar Metabolisme energi dan interkonversi substrat Produksi glukosa melalui glukoneogenesis dan glikogenolisis Konsumsi glukosa melalui jalur sintesis glikogen, sintesis asam lemak, glikolisis, dan siklus asam trikarboksilat Sintesis kolesterol dari asetat, sintesis trigiliserida dari asam lemak, dan sekresi keduanya pada partikel VLDL Pengambilan kolesterol dan trigliserida melalui endositosis partikel HDL dan LDL dengan ekskresi kolesterol pada empedu, beta-oksidasi asam lemak, dan konversi dari asetil-KoA berlebih menjadi keton Deaminasi asam amino dan konversi ammonia menjadi urea melalui siklus urea Transaminasi dan sintesis de novo asam amino non esensial Fungsi sintesis protein Sintesis berbagai macam protein plasma, termasuk albumin, faktor pembekuan, protein pengikat, apolipoprotein, angiotensinogen, dan insulin-like growth factor I Fungsi solubilisasi, transport, dan penyimpanan Detoksifikasi obat dan racun melalui reaksi biotransformasi fase I dan fase II dan ekskresi melalui empedu 17
Solubilisasi lemak dan vitamin larut lemak pada empedu untuk diambil oleh enterosit Sintesis dan sekresi dari partikel VLDL dan lipoprotein pre-HDL, dan pembersihan sisa HDL, LDL, dan kilomikron Sintesis dan sekresi berbagai macam protein pengikat, termasuk transferin, globulin pengikat hormone steroid, globulin pengikat hormone tiroid, seruloplasmin, dan metalotionein Pengambilan dan penyimpanan vitamin A, D, B12, dan folat Fungsi proteksi dan pembersihan Detoksifikasi ammonia melalui siklus urea Detoksifikasi obat melalui oksidasi mikrosomal dan sistem konjugasi Sintesis dan pengantaran glutathione Pembersihan sel-sel yang rusak dan protein, hormone, obat-obatan, dan faktor pembekuan teraktivasi dari sirkulasi portal Pembersihan bakteri dan antigen dari sirkulasi portal
C. Etiologi Menurut Enggram,Barbara.2012 , berlandaskan etiologi kista hepar terbagi kepada dua yaitu kista hepar non parasitik & kista hepar parasitik / kista hidatid, dimana kista hepar non rasitik paling sering merupakan kelainan yg memiliki sifat kongenital. Istilah ‘kista hepar sendiri umumnya diberdayakan untuk kista yg memiliki sifat non parasitik yg soliter, namun bisa jg multipel (simple cyst). Namun terdapat beberapa tipe lesi kistik pada hepar yg wajib dikenali & dibedakan dad simple cyst ini. Lesi kistik non parasitik pada hepar termasuklah kista hepar kongenital soliter / multipel, kista multiple pada penyakit polycystic liver disease, tumor hepar kistik (kistadenoma, kistadenocarcinoma) & pseudokista yaitu abses hepar piogenik & amoebik serta kista yg terbentuk dampak trauma yaitu kista traumatik. Kondisi-kondisi ini biasanya bisa dibedakan lewat simptom yg dialami pasien serta gambaran radiografik dad lesi. Kista Echinococcal / kista hidatid dikarenakan oleh infestasi parasit cacing pita dari genus Echinococcus & merupakan lesi kista hepar yg paling sering dijumpai di luar Amerika Serikat, terutama di kawasan Mediterranean. Echinococcus bisa menyerang semua organ, namun hepar merupakan organ yg paling sering terlibat,
18
diikuti oleh paru-paru & tak sering pada organ lain seperti ginjal & kelenjar adrenal. Kedua organ ini terlibat pada 90% dad semua kasus echinocossis.
Konginital
D. Patofisiologi parasit cacing pita dari genus Echinococcus, konginital kista hepar
peregangan kapsula hati
gangguan suplay darah normal pada sel-sel hepar
hepatomegali
kerusakan sel parenkim dan sel hati
perasaan tidak nyaman
gangguan metabolisme karbohidrat dan protein
di kuadran kanan atas glikogenesis menurun cemas
nyeri
anoreksia
kesulitan untuk beristirahat/tidur ggg pola tidur
glikoneogenesis menurun
glikogen dalam hepar berkurang
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
glikogenolisis menurun glukosa dalam darah berkurang cepat lelah intoleransi aktivitas
19
Doherty, GM 2010
E.
Klasifikasi kista hepar Kasifikasi kista hepar menurut Doherty, GM 2010 Kista intrahepatik kongenital Parenkimal Soliter Penyakit polikistik hepar Anak Dewasa Fibrosis hepatis kongenital Dilatasi fokal duktus biliaris intrahepatik (Caroli’s disease) Kista intrahepatik didapat (acquired) Inflamatorik Piogenik Amebik Echinococcal (hydatid) Neoplastik Benigna Maligna Traumatik Tabel 3. Klasifikasi Kista pada Hepar Doherty, GM 2010
1. Kista Intrahepatik Kongenital Kista ini dapat tunggal, multipel, difus, terlokalisasi, unilokular, atau multilokular. Kejadian ditemukan kista pada autopsi dilaporkan dalam 0,15% kasus, 1 % pada
20
pemeriksaan CT-scan. Kista soliter maupun penyakit polikistik hepar lebih banyak ditemukan pada wanita usia 40 hingga 60 tahun. Kista non-parasitik soliter biasanya terletak pada lobus kanan hepar. Isi kista berupa material yang bening, dan memiliki karakteristik tekanan internal yang rendah – tidak seperti kista parasitik yang memiliki tekanan tinggi. Biasanya cairan kista ini berwarna kuning kecokelatan, yang diduga berasal dari parenkim yang nekrosis. Penyakit polikistik hepar menunjukkan gambaran honeycomb appearance dengan kavitas yang multipel, dengan lesi yang tersebar merata di seluruh hepar. Baik lesi soliter maupun polikistik tumbuh secara perlahan dan relatif tidak bergejala. Sebuah massa di kuadran kanan atas yang tidak nyeri adalah keluhan yang paling sering, dan ketika gejala muncul, biasanya dihubungkan dengan penekanan pada organ yang berdekatan. Nyeri abdominal yang akut dapat mengikuti komplikasi torsi, hemoragik
intrakistik,
atau
rupturintraperitoneal.
Pemeriksaan
klinis
dapat
mengidentifikasi massa, dan ginjal juga dapat teraba. Ikterus jarang ditemukan. Fungsi hepar biasanya tidak menunjukkan abnormalitas. CT scan, USG, dan arteriografi dapat digunakan untuk menentukan posisi intrahepatik dari massa, dan peritoneoskopi dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Kista soliter yang asimtomatik dan penyakit polikistik hepar biasanya tidak membutuhkan penanganan khusus. Kista yang besar, soliter, dan simtomatik dapat ditangani secara elektif kecuali bila terjadi ruptur, hemoragik intrakistik, atau torsi. Pasien dengan kista hepar telah dapat ditangani dengan baik melalui percutaneus cathether drainage yang dikontrol secara radiologik, pada waktu yang bersamaan dengan injeksi cairan yang menyebabkan sklerosis seperti alkohol. Prosedur ini sering dikaitkan dengan kasus rekurensi. Resolusi permanen diperoleh melalui operasi yang sederhana dengan pembukaan atap kista secara luas dan dihubungkan kembali seperti halnya parenkim hepar yang normal. Prosedur ini dapat dilakukan secara laparoskopik. Pada kasus hemoragik intrakistik yang signifikan, cystectomy mungkin dibutuhkan. Drainase internal ke intestinum mungkin dibutuhkan hanya bila terdapat erosi di dalam duktus hepatikus major yang tidak dapat diperbaiki kembali. a. Simple Liver Cyst Simple hepatic cyst muncul dalam jumlah besar dengan ukuran yang bervariasi, permukaan rata, mengkilat, berwarna biru-keabuan dan sering ditemukan pada lobus kanan. Dindingnya terdiri atas 3 lapisan : lapisan terdalam menyerupai epitel duktus biliaris, lapisan tengah yang berupa jaringan ikat padat, dan lapisan 21
luar yang mengandung jaringan ikat longgar dan duktus biliaris serta pembuluh darah yang terkompresi. Kista soliter dapat berasal dari duktus yang tumbuh abnormal sebagai akibat dari hiperplasia inflamatorik atau obstruksi kongenital. Kista ini dapat mengenai semua usia. 90% dari kista jenis ini unilokular, dan memiliki ukuran yang bervariasi. Sebuah kista yang mengandung 2,5 liter cairan telah dilaporkan pada pasien berusia 2 tahun. Penyebab dari kista jenis ini tidak diketahui, namun diduga muncul secara congenital. Kista ini memiliki epitel tipe bilier, dan mungkin berasal dari dilatasi progresif mikrohemartroma bilier. Kista ini jarang mengandung empedu, hipotesis yang paling diterima adalah kegagalan mikrohemartroma untuk membentuk hubungan normal dengan saluran empedu. Secara khas, cairan yang terkandung di dalam kista ini memiliki komposisi elektrolit yang menyerupai plasma. Empedu, amylase, dan sel darah putih tidak ditemukan. Cairan kista ini disekresikan secara terus-menerus oleh sel-sel epitel di tepi kista. Karena alasan inilah, aspirasi cairan dari simple cyst tidak bersifat kuratif. Apabila ukuran kista besar, mungkin terdapat keluhan yang berhubungan dengan penekanan organ akibat massa yang besar di kuadran kanan atas. Sebagian besar kista soliter tidak membutuhkan penanganan, namun bila diindikasikan, ekstirpasi seluruh kista dipertimbangkan. Bila ukuran kista besar, reseksi dari bagian dindingnya saja yang dilakukan. Lobektomi hepatik jarang dilakukan. b. Policystic Liver Disease Insidens kista hepar congenital sulit ditentukan oleh karena sebagian besar individu dengan lesi ini tidak mengeluhkan gejala. Penyakit polikistik ini biasanya disubklasifikasikan sebagai varian pada anak dan dewasa, karena memiliki perbedaan pada pola pewarisan, status penampilan dan konsekuensi klinis. Penyakit polikistik pada anak diwariskan secara resesif autosomal dengan 4 subtipe secara umum : perinatal, neonatal, infantile, dan juvenile. Semua varian dari polikistik pada anak ini mengenai hepar dan ginjal dengan peningkatan absolut dari duktus biliaris intrahepatik. Sebuah kelainan genetik yang jarang pada anak, infantile polycystic disease of the kidneys and liver, biasanya fatal pada anak-anak. Kista hepatik yang berukuran mikroskopik dapat terlihat, anak-anak ini dapat mengalami hipertensi portal, atau hipertensi arteri renalis dan gangguan renal yang progresif. 22
Penyakit polikistik hepar pada orang dewasa diwariskan secara dominan autosomal. Hepar tampak kistik difus secara makroskopik, walaupun dapat tampak pola yang berbeda dari penyakit ini, seperti kista yang unilobar dan ukuran kista yang bervariasi. Kista dapat ditemukan pada lien, pancreas, ovarium, paru-paru, dan ginjal. Insidens meningkat seiring usia dan lebih sering pada wanita dibandingkan pria. PCLD pada dewasa bersifat kongenital dan biasanya berhubungan dengan autosomal dominant polycystic kidney disease (AD-PKD). Pada pasien ditemukan mutasi dari gen PKD1 dan PKD2. Namun dalam beberapa kasus, PCLD ditemukan tanpa adanya PKD. Pada dengan PKD, kista ginjal biasanya lebih dominan dibandingkan kista pada hepar. PKD sering menyebabkan gagal ginjal, sedangkan kista hepar sangat jarang menyebabkan fibrosis hepar dan kegagalan fungsi hati. Tidak seperti kista non-parasitik soliter, penyakit polikistik hepar sering diasosiasikan dengan kista pada organ lain; 51,6% polikistik hepar diasosiasikan dengan polikistik ginjal. Polikistik hepar juga diimplikasikan sebagai penyebab yang jarang dari hipertensi portal, dan juga diasosiasikan dengan atresia duktus biliaris, kolangitis, dan hemangioma. Pada pasien dengan gejala yang signifikan terkait efek massa dari polikistik hepar, terapi paliatif dapat dicapai dengan reseksi non-anatomik dan fenestrasi yang lebar pada kista yang lebih besar. Prognosis dari penyakit polikistik hepar biasanya bergantung pada penyakit ginjal yang menyertainya. Kegagalan fungsi hati, ikterus, dan manifestasi hipertensi portal jarang ditemukan. Tingkat mortalitas dari kista non-parasitik yang ditangani secara operatif mendekati angka nol. 2. Kista Intrahepatik Acquired (didapat) a. Echinococcal/Kista Hydatid Kista jenis ini dapat ditemukan di seluruh dunia, terutama di daerah peternakan biri-biri. Daerah ini termasuk Mediterania (terutama Yunani), Australia, dan New Zealand, serta negara di Timur Tengah seperti Iran. Infeksi Echinococcal disebabkan oleh Echinococcus granulosa, yang dapat asimptomatis selama bertahun-tahun dan menunjukkan hasil yang efektif dengan pembedahan, atau E. multilocularis, yang lebih virulen dan menyebabkan kista invasif yang multipel
23
dan lebih sulit ditangani secara operatif. Dua pertiga dari kasus kista echinococcal ditemukan pada hepar, dan 75% di antaranya berlokasi pada lobus kanan. Pada hepar host intermediate, terbentuk hydatid unilocular yang tumbuh perlahan dan tidak bergejala selama bertahun-tahun. Dinding hydatid ini memiliki dua lapisan yang terdiri atas ektokista, yang berupa cangkang fibrous non-selular yang berfungsi proteksi, dan sebuah endokista, yang merupakan bagian yang aktif dari kista tersebut. Endokista mensekresi cairan bening yang mengisi kista dan memproduksi kapsul-kapsul (yang dikenal dengan hydatid sand) dan kista anakan. Selama bertahun-tahun kemudian, hydatid ini membesar dengan beberapa liter cairan dan kista anakan yang tak terhitung jumlahnya. Pasien dengan kista multivesikular yang simpel atau belum berkompliasi biasanya tidak bergejala. Gejala hanya timbul bila terjadi tekanan pada organ di sekitarnya. Nyeri tumpul abdomen adalah keluhan yang paling sering ditemukan (80%). Ikterus, demam, pruritus, nausea, dan vomitus ditemukan pada kurang dari sepertiga pasien. Fungsi hepar ditemukan abnormal dan pembesaran hepar yang dapat dipalpasi pada pemeriksaan fisis ditemukan pada 50% pasien, dan eosinofilia hanya ditemukan pada 5-15% individu yang terinfeksi. Komplikasi dari kista hidatid di antaranya :
Ruptur intrabilier, yang mengenai 5% hingga 10% kasus.
Ruptur intraperitoneal, yang sangat jarang namun dapat menyebabkan pembentukan kista baru pada rongga peritoneal.
Infeksi bakteri sekunde, yang menyebabkan pembentukan abses.
Ekstensi transdiafragmatika ke rongga pleura. Kista hidatid berukuran besar yang menimbulkan gejala dapat ditangani secara laparoskopik maupun dengan open surgery. Langkah-langkah manajemen kista ini meliputi :
Isolasi kista dari rongga peritoneal untuk meminimalisasi tumpahan cairan kista.
Aspirasi isi kista sedapat mungkin, dibutuhkan pengalaman yang memadai sebab cairan dalam kista biasanya bertekanan rendah.
Instilasi agen skolekoidal ke dalam rongga kista seperti cairan saline hipertonik maupun alkohol.
24
Eksisi kista hidatid dengan memisahkan kista dari hepar melalui pemisahan di antara lapisan germinal dan adventitia.
Sebagai alternatif, kista dapat dikeluarkan melalui reseksi hepar, atau bila cukup ekstensif, dapat dilakukan marsupialisasi dan pengisian dengan omentum.
b. Kista Neoplastik Lesi kistik neoplastik hepar, jarang merupakan kistadenoma bilier primer atau kistadenokarsinoma. Lesi ini lebih sering merupakan metastasis dari tumor kistik dari organ lain, seperti pancreas atau ovarium, atau sekunder dari degenerasi kistik tumor hepar solid primer atau metastatik. Kistadenoma (benigna) atau kistadenokarsinoma (maligna) hepar lebih sering terjadi pada wanita (lebih dari 75%) dan biasanya muncul sebagai nyeri tumpul dan rasa penuh di perut bagian atas. Lesi ini biasanya dapat didiagnosis dengan USG dan CT scan, yang menunjukkan sebuah massa kistik dengan dinding yang tebal bertepi rata dan septa internal. Sebuah massa solid yang berhubungan dengan dinding kista biasanya dideskripsikan sebagai komponen maligna yang membutuhkan reseksi yang lebih radikal. Angiografi akan menunjukkan SOL yang avaskular dan bayangan tumor pada perifer yang disebabkan oleh proyeksi dinding tumor. Tumor ini tidak berhubungan dengan duktus biliaris, sehingga cholangiografi preoperatif tidak memiliki nilai diagnostik. Setelah didiagnosis, sebuah lesi kistik primer hepar dengan gambaran radiografi berupa kistadenoma harus dieksisi secara utuh walaupun tidak bergejala. Operasi yang kurang defenitif akan menyebabkan rekurensi tumor, pembesaran, atau infeksi, hingga dapat bertransformasi menjadi malignansi. Apabila gambaran kista tampak benigna, kadang dapat dibuang seluruhnya dan memisahkannya dari parenkim hepar. Dinding kista yang menebal di sekitarnya atau penyebaran pada parenkim hepar di sekitarnya menunjukkan malignansi, dan eksisi yang lebih lebar dengan evaluasi histologik melalui frozen section harus dipertimbangkan. Tumor ini, seperti neoplasma kistik di tempat lain, memiliki potensi malignansi yang cukup rendah dan jarang rekuren bila dieksisi secara adekuat.
25
c. Kista Traumatik Tipe kista hepatis ini dibentuk dari resolusi hematoma subscapular atau intraparenkimal yang berasal dari trauma abdominal, di mana peristiwa trauma itu sendiri dapat diingat maupun tidak diingat oleh pasien. Perdarahan di dalam parenkim hepar dapat timbul pada trauma tumpul maupun tajam. Kista traumatic mengandung darah, empedu, dan jaringan hepar yang nekrotik. Lapisan epithelial yang sedikit menggambarkan bahwa sebenarnya kista traumatik adalah pseudokista. Bila riwayat trauma tidak jelas, kista ini biasanya tidak dapat dibedakan dari kista kongenital soliter, dan memiliki penanganan yang sama. Pembedahan dianjurkan bagi pasien yang mengeluhkan gejala. Pada saat laparotomi, kista traumatik biasanya dapat dibedakan dari kista congenital dengan adanya dinding yang sangat fibrotik dan mengandung hemosiderin. Kista yang simptomatik harus dieksisi secara utuh apabila dimungkinkan. Apabila sebagian dinding kista tidak dapat direseksi dengan mudah, evaluasi frozen section harus dilakukan untuk meyakinkan bahwa tidak akan terjadi proses neoplastik setelahnya. Walaupun kista traumatic dapat terinfeksi sekunder, kista ini dapat diharapkan memiliki hasil penanganan yang baik. F. Manifestasi Klinis Biasanya tidak ada gejala yang dapat diamati pada pasien kista hepar yang mengalami hepatomegali, karena hati tudak memiliki saraf. Namun beberapa gejala dapat terlihat ketika rentang hati yang cukup meningkat, menurut Enggram,Barbara.2012 gejala kista hepar meliputi : 1. Rasa sakit dan ketidaknyamanan muncul dan memberikan tekanan pada organ di sekitarnya karena prmbengkakan. 2. Dalam kasus pembesaran hati yang terkait kista hepar, seseorang akan mengalami gejala seperti kulit yang menguning, anoreksia, mual, lesu, sakit perut dan muntah. G. Komplikasi menurut Enggram,Barbara 2012 pada kista hepar dapat timbul komplikasi perdarahan atau ruptur,torsi,infeksi menjadi fibrosis hati, saluran empedu dilatasi dan colangio carcinoma.Efek massa kista dan pembesaran hati yang massif: distensi abdomen,sesak nafas,perut terasa penuh,heart burn,muntah,intake 26
makanan tidak adekuat, hernia dan prolap uteri serta inkontinensia.Obstruksi vena cava inferior,vena porta dan vena hepatica. Obstruksi saluran empedu: ikterus
H. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium Pasien
dengan
kista
hepar
tidak
banyak
memerlukan
pemeriksaan
laboratorium. Hasil pemeriksaan faal hati seperti transaminase atau alkali fosfatase mungkin sedikit abnormal, namun kadar bilirubin, prothrombin time (PT) dan activated prothrombin times (APTT) biasanya berada dalam batas normal. Pada Polycystic Liver Disease (PCLD), dapat dijumpai abnormalitas yang lebih banyak pada pemeriksaan fungsi faal hati, namun gagal fungsi hati jarang dijumpai. Tes fungsi ginjal termasuk kadar urea dan kreatinin darah biasanya abnormal. Pada tumor kistik hepar, tes fungsi hati juga dapat normal seperti pada simple cyst namun bisa terdapat abnormalitas pada sebagian pasien. Terdapat peningkatan kadar Carbohydrate antigen (CA) 19-9 pada sebagian pasien. Cairan kista dapat diambil untuk pemeriksaan CA 19-9 pada saat pembedahan
sebagai
pemeriksaan
marker
untuk
kistadenoma
dan
kistadenokarsinoma. Pasien dengan abses hepar dapat dikenal pasti dari gejala klinis. Pada pemeriksaan darah sering ditemukan leukositosis. Jika terdapat kista hidatid, dijumpai eosinophilia pada sekitar 40% pasien, dan titer antibody echinococcal positif pada hampir 80% dari pasien. Pemeriksaan immunoassay enzim (enzyme immunoassay, EIA) dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi spesifik untuk E. histolytica. Pemeriksaan
histologik
dari
kista
dilakukan
dengan
tujuan
untuk
menyingkirkan kemungkinan suatu keganasan, seperti kistadenokarsinoma. Secara histopatologik kista hepar yang benigna mengandung cairan yang 27
bersifat serosa dan dindingnya terdiri dari selapis sel epitel kuboidal dan stroma fibrosa yang tipis. 2. Pemeriksaan Radiologik Sebelum tersedia modalitas pencitraan abdominal secara luas termasuk ultrasonografi (USG) dan CT scan, kista hepar didiagnosa hanya apabila ia sudah sangat membesar dan bisa dilihat sebagai massa di abdomen atau sebagai penemuan tidak sengaja saat melakukan laparotomy. Saat ini, pemeriksaan radiologik sering menemukan lesi yang asimptomatik secara tidak sengaja. Terdapat beberapa pilihan pemeriksaan radiologik pada pasien dengan kista hepar, seperti USG yang bersifat non-invasif namun cukup sensitif untuk mendeteksi kista hepar. CT scan juga sensitif dalam mendeteksi kista hepar, dan hasilnya lebih mudah untuk diinterpretasikan dibanding USG. MRI, nuclear medicine. scanning dan angiografi hepatik mempunyai penggunaan yang terbatas dalam mengevaluasi kista hepar. Secara umum simple cysts mempunyai gambaran radiologik yang tipikal yaitu mempunyai dinding yang tipis dengan cairan yang berdensitas rendah dan homogenous. PCLD harus dikonfirmasi dengan USG atau CT scan dengan menemukan kista-kista multiple pada saat evaluasi. Kista hidatid bisa diidentifikasi dengan ditemukannya daughter cyst yang terkandung dalam rongga utama yang berdinding tebal. Kistadenoma dan kistadenokarsinoma umumnya terlihat multilokuler dan mempunyai septa internal, densitas yang heterogeneus dan dinding kista yang irregular. Tidak seperti tumor lain pada umumnya, jarang dijumpai kalsifikasi pada kistadenoma dan kistadenokarsinoma. Satu masalah yang sering ditemui dalam mengevaluasi pasien dengan lesi kistik pada hepar adalah untuk membedakan kista neoplasma dan simple cyst. Namun secara umum, neoplasma kistik mempunyai dinding yang tebal, irregular dan hipervaskular, sedangkan dinding kista pada simple cyst tipis dan uniform. Simple cyst memiliki tendensi memiliki bagian interior yang homogenous dan berdensitas rendah, sedangkan neoplasma kistik biasanya mempunyai bagian interior yang heterogenous dengan septasi-septasi. I. Penatalaksanaan 1. Penanganan Medikamentosa 28
Pengobatan secara medikamentosa untuk penanganan kista hepar non-parasitik maupun kista parasitik mempunyai manfaat yang terbatas. Tidak ada terapi konservatif yang ditemui berhasil untuk menangani kista hepar secara tuntas. Aspirasi perkutaneous dengan dibantu oleh USG atau CT scan secara teknis mudah untuk dilaksanakan namun sudah ditinggalkan karena mempunyai kadar rekurensi hampir 100%. Tindakan aspirasi yang dikombinasikan dengan sklerosan dengan menggunakan alkohol atau bahan lain berhasil pada sebagian pasien namun mempunyai tingkat kegagalan dan kadar rekurensi yang tinggi. Sklerosis akan berhasil hanya terjadi dekompresi sempurna dari dinding kista. Hal ini tidak mungkin terjadi jika dinding kista menebal atau pada kista yang sangat besar. Tidak terdapat pengobatan medikamentosa untuk PCLD dan kistadenokarsinoma. Kista hidatid dapat diobati dengan agen antihidatid yaitu albendazole dan mebendazole, namun biasanya tidak efektif. Obat-obatan ini digunakan sebagai terapi adjuvan dan tidak dapat menggantikan peran penanganan bedah atau pengobatan perkutaneus dengan teknik PAIR (Puncture, Aspiration, Injection, Reaspiration). Pengobatan medikamentosa dimulai 4 hari sebelum pembedahan dan dilanjutkan 1 hingga 3 bulan setelah operasi sesuai panduan dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organisation, WHO). 2. Penanganan Operatif Secara umum tujuan terapi operatif adalah untuk mengeluarkan seluruh lapisan epithelial kista karena dengan adanya sisa epitel akan menyebabkan terjadinya rekurensi. Secara ideal, kista direseksi keluar secara utuh tanpa melubangi kavitas kista tersebut. Jika ini terjadi, kista akan kolaps dan ditemukan kesukaran untuk mengenal secara pasti dan mengeluarkan lapisan epitel. a. Teknik PAIR (Puncture, Aspiration, Injection, Reaspiration) Teknik PAIR untuk penanganan kista hepar dilakukan dengan dibantu oleh USG atau CT scan yang melibatkan aspirasi isi kista melalui sebuah kanula khusus, diikuti dengan injeksi agen yang bersifat skolisidal selama 15 menit, kemudian isi kista direaspirasi lagi. Proses ini diulang hingga hasil aspirasi jernih. Kista kemudian diisi dengan solusi natrium klorida yang isotonik. Tindakan ini harus diikuti dengan pengobatan perioperatif 29
dengan obat benzimodazole 4 hari sebelum tindakan hingga 1-3 bulan setelah tindakan. b. Marsupialisasi (dekapitasi) Dekapitasi atau unroofing kista dilakukan dengan cara mengeksisi bagian dari dinding kista yang melewati permukaan hepar. Eksisi seperti ini menghasilkan permukaan kista yang lebih dangkal pada bagian kista yang tertinggal hingga cairan yang disekresi oleh epitel yang masih tertinggal merembes kedalam rongga peritoneal dimana ia diabsorbsi. Sisa epitel dapat juga diablasi dengan menggunakan sinar koagulator argon atau elektrokauter. Sebelumnya penanganan kista seperti ini memerlukan tindakan
laparotomi
(open
unroofing)
namun
seiring
dengan
perkembangan alat dan teknik, ia bisa dilakukan secara laparoskopik.(13)
Gambar 11. Liver Fenestration Enggram,Barbara.2012 Dari hasil penelitian yang dijalankan, didapatkan bahwa unroofing kista secara laparoskopik mempunyai tingkat morbiditas yang rendah, waktu reokupasi yang lebih singkat dan bisa kembali ke aktivitas normal lebih cepat dibandingkan open unroofing secara laparotomi. Faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi terjadi rekurensi dengan teknik ini adalah deroofing yang adekuat, kista yang terletak dalam atau berada di segmen posterior dari hepar, penggunaan sinar argon untuk sisa epitel dinding kista, tindakan omentoplasty untuk cavitas residual, dan tindakan laparoskopi atau laparotomi yang pernah dilakukan sebelumnya yang menyebabkan timbulnya jaringan fibrosis di hepar. c. Reseksi Hepar dan Tranplantasi Hati 30
Prosedur yang lebih radikal seperti reseksi hepar dan transplantasi hati telah digunakan dalam penanganan kista hepar non-parasitik. Walaupun prosedur ini bisa mendapatkan hasil terbaik dari segi kadar rekurensi yang sangat rendah, namun ia mempunyai kadar morbiditas yang tinggi, yang mungkin tidak dapat diterima untuk suatu penyakit yang benigna. Penelitian Martin dkk. menemukan kadar morbiditas 50% pada 16 pasien yang menjalani prosedur reseksi hepar untuk penanganan kista hepar nonparasitik. Di antara komplikasi yang terjadi pada tindakan reseksi hepar, termasuk infeksi paru-paru, efusi pleura, infeksi pada luka operasi, drainase cairan peritoneal dan empedu yang lama dan hematoma subphrenikus.(4) Tranplantasi hepar diindikasikan untuk penyakit polikistik dengan
simptom
yang
menetap
setelah
pendekatan
terapeutik
medikamentosa dan operatif yang lain gagal, atau pada keadaan gagal ginjal. Reseksi hepar layak untuk diaplikasikan pada pasien dengan kista multipel yang rekuren atau terdapat kemungkinan suatu tumor kistik hepar. Anatomi segmental hepar yang pertama dijelaskan oleh Couinaud pada tahun 1957 membagi hepar menjadi delapan segmen dimana setiap segmen mempunyai cabang arteri hepatikum, vena porta dan traktus biliaris yang tersendiri. Hal ini memungkinkan untuk mereseksi setiap segmen ini secara individual apabila diperlukan, dan mengurangi pemotongan tidak perlu dari jaringan hepar yang normal. Kehilangan darah bisa dikurangi dengan menggunakan teknik oklusi vaskular (manoeuvre Pringle). Tujuan dari teknik oklusi vaskular adalah untuk mereseksi hepar dengan perdarahan seminimal mungkin. Penting untuk diperhatikan bahwa dibutuhkan fungsi hepar residual yang cukup setelah dilakukan reseksi, untuk mencegah insufisiensi hepatik post-operatif. Kehilangan darah yang banyak diasosiasikan dengan peningkatan morbiditas peri-operatif. Dalam prakteknya, lebih mudah untuk mereseksi segmen hepar secara keseluruhan. Walaupun pemisah antarsegmen tidak dapat terlihat melalui permukaan hepar, segmen dapat diidentifikasi dengan melakukan oklusi terhadap aliran inflow terhadap segmen yang dituju, maka akan terjadi iskemik dan akan terlihat pembagian fungsional hepar dari permukaan.
31
Gambar 12. Segmentasi hepar menurut Couinaud Enggram,Barbara.2012 Glisson’s capsule diketahui merupakan kondensasi dari fascia yang mengelilingi cabang biliovaskular hepar. Couinaud menerangkan bahwa fascia ini berlanjut dari parenkim hepar hingga segmentasi hepar. Implikasi operatifnya adalah, apabila suplai dari segmen individual dilakukan dari dalam hepar, ligasi dari fascia ini akan menyebabkan devaskularisasi segmen. Teknik ini kemudian dipermudah dengan penggunaan stapler. Beberapa insisi abdominal dapat digunakan untuk reseksi hepar. Insisi subkostal bilateral memberikan akses yang baik dan biasanya dilakukan dengan memperluas insisi eksploratif subkostal kanan untuk menjamin tidak terdapat penyakit peritoneal yang tidak diharapkan. Ekstensi ke arah atas hingga tepi bawah sternum (insisi Mercedes-Benz) juga dapat dilakukan untuk mendapatkan akses yang lebih lebar. Setelah dilakukan laparotomi eksplorasi, hepar dimobilisasi dari peritoneal. Ligamentum falciforme dipisahkan dengan perhatian khusus pada identifikasi lokasi dimana vena hepatika memasuki vena cava inferior. Ligamentum koronaria dekstra, dipisahkan untuk mobilisasis lobus kanan hepar. Ligamentum triangulare sinistra dipisahkan untuk mobilisasi lobus kiri hepar.
32
II.
Konsep Dasar Askep Kista Hepar 1. Pengkajian Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu prosesyang sistematis dalam pengumpulan data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien (Iyer et.al., 2010 dalam Nursalam, 2011 : 17). Dalam pengumpulan data ada 2 tipe data yang ada pada pengkajian yaitu data subyektif dan data obyektif (Nursalam, 2011 : 19). a. Data Subyektif Data Subyektif adalah data yang didapatkan dari pasien sebagai suatu pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian. Data subyektif sering didapatkan dari riwayat keperawatan termasuk persepsi pasien, perasaan dan ide tentang status kesehatan (Nursalam, 2011 : 19). Data Subyektif yang biasanya muncul pada pengkajian dengan kista hepar adalah Keluhan berupa nyeri abdomen, kelemahan dan penurunan berat badan, anoreksia, rasa penuh setelah makan terkadang disertai muntah dan mual. Bila ada metastasis ke tulang penderita mengeluh nyeri tulang. b. Data Obyektif Data Obyektif adalah dan diukurata yang dapat diobservasi dan diukur (Iyer, et.al., 2010, dalam Nursalam, 2011 : 19). Data Obyektif yang dapat dikaji pada pasien dengan kista hepar adalah : penurunan tonus otot, distensi abdomen (hepatomegali, Splenomegali, asites), penurunan BB atau peningkatan (cairan), edema, kulit kering, ikterik, ensefalopati hepatik, takipnea, demam, hipoksia, pernapasan dangkal, perubahan mental, ekspansi paru terbatas, peningkatan suhu tubuh, dan sebagainya. Menurut Doengoes, 2010 hasil pemeriksaan fisik pada pasien kista hepar adalah: 1. Aktivitas / Istirahat Gejala : Kelemahan, kelelahan terlalu lelah. Tanda : Letargi (gelisah), penurunan massa otot/tonus (atropi) 2. Sirkulasi Gejala : Riwayat GJK kronis, perikanditis, penyakit jantung reumatik, kanker (malfungsi hati menimbulkan gagal hati).
33
3. Eliminasi Gejala : Flatus Tanda :Distensi
abdomen
(hepotomegali,
splenomegali,
asites),
penurunan/tak adanya bising usus, melena (pendarahan), urine gelap, pekat 4. Makanan/Cairan Gejala :Anoreksia,
tidak
toleran
terhadap
makanan/tak
dapat
mencerna, mual/muntah Tanda : Penurunan berat badan atau peningkatan (cairan), penggunaan jaringan, edema umumnya pada jaringan, kulit kering, turgor buruk, ikterik angioma spider, napas berbau/fetor hepatikus, pendarahan guso 5. Neurosensori Gejala : Orang terdekat dapat melaporkan perubahan kepribadian, penurunan mental Tanda : Peruhan mental, bingung halusinasi, koma, bicara lambat/tak jelas, asterik (ensefalofati hepatic) 6. Nyeri/Kenyamanan Gejala : Nyeri tekan abdomen/nyeri kuadran kanan atas Tanda : Prilaku berhati-hati/distraksi, fokus pada diri sendiri 7. Pernapasan Gajala : Dispepneu (henti napas) Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas tambahan, ekspansi paru terbatas (asites), hipoksia 8. Keamanan Gejala :Pruritas (gatat) Tanda :Demam (lebih umum pada sirosis alkoholik), Ikterik, ekimosis, petekie 9. Seksualitas Gejala : Gangguan menstruasi, impotent Tanda : Atrafi testis, ginekomastia, kehilangan rambut (dada, bawah lengan pubis)
34
2. Diagnosa Diagnosa yang dapat muncul pada pasien dengan kista hepar menurut NANDA NIC NOC 2013 a. Tidak seimbangan nutrisi berhubungan dengan anoreksia, mual, gangguan absorbsi, metabolisme vitamin di hati. b. Nyeri Akut berhubungan dengan tegangnya dinding perut. c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri. d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O2 dengan kebutuhan e. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit yang diderita. 2. Intervensi menurut NANDA NIC NOC 2013 a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, gangguan absorbsi, metabolisme vitamin di hati. Diagnosa Ketidakseimbangan nutrisi
Tujuan NOC:
intervensi NIC
kurang dari kebutuhan tubuh
1. Nutritional status: Adequacy of nutrient
Definisi : Asupan nutrisi kebutuhan metabolik. Batasan karakteristik : Berat badan 20 % atau
menentukan jumlah
3. Weight Control
kalori dan nutrisi
Setelah dilakukan tindakan
yang dibutuhkan
keperawatan selama….nutrisi
pasien
indikator:
Yakinkan diet yang dimakan mengandung
lebih di bawah ideal
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
and Fluid Intake
kurang teratasi dengan
makanan
2. Nutritional Status : food
tidak cukup untuk memenuhi
Kaji adanya alergi
tinggi serat untuk
Dilaporkan adanya intake
Albumin serum
makanan yang kurang
Pre albumin serum
dari RDA (Recomended
Hematokrit
Daily Allowance)
bagaimana membuat
Hemoglobin
Membran mukosa dan
catatan makanan
Total iron binding
harian.
35
mencegah konstipasi
Ajarkan pasien
konjungtiva pucat
Kelemahan otot yang
capacity
Jumlah limfosit
penurunan BB dan
digunakan untuk
gula darah
menelan/mengunyah
Luka, inflamasi pada
Monitor lingkungan selama makan
rongga mulut
Monitor adanya
Jadwalkan
Mudah merasa kenyang,
pengobatan dan
sesaat setelah mengunyah
tindakan tidak selama
makanan
jam makan
Dilaporkan atau fakta
Monitor turgor kulit
adanya kekurangan
Monitor kekeringan,
makanan
rambut kusam, total
Dilaporkan adanya
protein, Hb dan kadar
perubahan sensasi rasa
Ht
Perasaan ketidakmampuan untuk
Monitor mual dan muntah
mengunyah makanan
Monitor pucat,
Miskonsepsi
kemerahan, dan
Kehilangan BB dengan
kekeringan jaringan
makanan cukup
konjungtiva
Keengganan untuk
Monitor intake nuntrisi
makan
Kram pada abdomen
Tonus otot jelek
klien dan keluarga
Nyeri abdominal dengan
tentang manfaat
atau tanpa patologi
nutrisi
Kurang berminat
Informasikan pada
Kolaborasi dengan
terhadap makanan
dokter tentang
Pembuluh darah kapiler
kebutuhan suplemen
mulai rapuh
makanan seperti
Diare dan atau
NGT/ TPN sehingga
steatorrhea
intake cairan yang adekuat dapat
Kehilangan rambut yang 36
cukup banyak (rontok)
dipertahankan.
Suara usus hiperaktif
Kurangnya informasi,
fowler atau fowler
misinformasi
tinggi selama makan
berhubungan :
Faktor biologis
Faktor ekonomi
Ketidakmampuan untuk
Anjurkan banyak minum
Pertahankan terapi IV line
mengabsorbsi nutrien
Kelola pemberian anti emetik:…..
Faktor-faktor yang
Atur posisi semi
Catat adanya edema,
Ketidak mampuan untuk
hiperemik, hipertonik
mencerna makanan
papila lidah dan
Ketidak mampuan
cavitas oval
menelan makanan
Faktor psikologis
b. Nyeri akut berhubungan dengan tegangnya dinding perut.
Diagnosa Nyeri akut Definisi : Pengalaman tidak
sensori
menyenangkan
Tujuan NOC :
Intervensi NIC :
Pain Level,
Pain Management
pain control,
Lakukan
yang comfort level
pengkajian
nyeri
dan Kriteria hasil:
secara
komprehensif termasuk
pengalaman emosional yang Mampu mengontrol nyeri (tahu
lokasi,
karakteristik,
muncul secara aktual atau
penyebab
mampu
durasi,
frekuensi,
potensial kerusakan jaringan
menggunakan
tehnik
kualitas
atau menggambarkan adanya
nonfarmakologi
untuk
presipitasi
nyeri,
37
dan
faktor
kerusakan
(Asosiasi
Nyeri
Internasional):
serangan pelan
Studi
intensitasnya
dari
diantisipasi
nyeri,
mencari Observasi
reaksi
nonverbal
dari
bantuan)
atau Melaporkan
mendadak
ringan sampai berat yang dapat
mengurangi
bahwa
nyeri
dengan Gunakan
berkurang
menggunakan manajemen nyeri
dengan Mampu mengenali nyeri (skala,
akhir yang dapat diprediksi
intensitas, frekuensi dan tanda
dan dengan durasi kurang
nyeri)
dari 6 bulan.
rasa
nyaman
setelah nyeri berkurang Laporan
Tanda
secara
verbal
Tidak
Fakta dari observasi
tidur
antalgic
mengalami
tidur
mempengaruhi
respon
nyeri pengalaman rentang Evaluasi nyeri masa lampau
gangguan Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain nyeri
masa
pasien
dan
Kontrol
kacau,
Terfokus pada diri sendiri
yang
dapat
mempengaruhi
nyeri
pencahayaan
persepsi
dan
kebisingan
waktu, kerusakan proses
Kurangi
penurunan
faktor
presipitasi nyeri
interaksi dengan orang
Pilih
dan lingkungan) Tingkah laku distraksi,
dan
lakukan
penanganan
nyeri
(farmakologi,
jalan-jalan, orang
lingkungan
seperti suhu ruangan,
menyempit
(penurunan
menemukan
dukungan
menyeringai)
menemui
yang
dan
(mata
gerakan
:
kultur
keluarga untuk mencari
sayu, tampak capek, sulit
contoh
pengalaman nyeri pasien
Bantu
Muka topeng
berpikir,
mengetahui
lampau
Tingkah laku berhati-hati
Fokus
untuk
kontrol
Gerakan melindungi
atau
terapeutik
tentang ketidakefektifan
untuk
menghindari nyeri
Gangguan
dalam
normal
atau non verbal Posisi
vital
teknik
komunikasi
Kaji
Menyatakan
Batasan karakteristik :
ketidaknyamanan
non
farmakologi dan inter
lain
personal) 38
dan/atau
Kaji tipe dan sumber
aktivitas,
aktivitas berulang-ulang)
nyeri untuk menentukan
Respon autonom (seperti diaphoresis,
intervensi Ajarkan tentang teknik
perubahan
non farmakologi
tekanan darah, perubahan
Berikan analgetik untuk
nafas, nadi dan dilatasi
mengurangi nyeri
pupil) Perubahan dalam
Evaluasi
autonomic tonus
keefektifan
kontrol nyeri
otot
(mungkin dalam rentang
Tingkatkan istirahat
dari lemah ke kaku)
Kolaborasikan
dokter jika ada keluhan
Tingkah laku ekspresif (contoh
:
dan tindakan nyeri tidak
gelisah, menangis,
berhasil
waspada, iritabel, nafas
Monitor
merintih,
dengan
penerimaan
pasien
panjang/berkeluh kesah)
tentang
manajemen nyeri
Perubahan dalam nafsu makan dan minum
Analgesic Faktor yang berhubungan :
Administration
Agen injuri (biologi, kimia,
Tentukan
lokasi,
karakteristik,
fisik, psikologis)
dan
kualitas,
derajat
nyeri
sebelum pemberian obat Cek
instruksi
dokter
tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi Cek riwayat alergi Pilih
analgesik
diperlukan
atau
kombinasi
dari
analgesik pemberian satu 39
yang
ketika lebih
dari
Tentukan
pilihan
analgesik
tergantung
tipe dan beratnya nyeri Tentukan
analgesik
pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal Pilih
rute
pemberian
secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur Monitor
vital
sebelum
dan
pemberian
sign sesudah
analgesik
pertama kali Berikan analgesik tepat waktu
terutama
saat
nyeri hebat Evaluasi analgesik,
efektivitas tanda
dan
gejala (efek samping)
c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri Diagnosa
Tujuan
Intervensi 40
Gangguan pola tidur
NOC
NIC
Definisi : gangguan kualitas
Anciety reduction
dan kuantitas waktu tisur
Comfort level
akibat faktor eksternal.
Pain level
efek medikasi
Rest : extent and pattern
terhadap pola tidur
Batasan karakteristik :
Sleep : exten and pattern
Sleep Enhancement –
–
Kriteria hasil :
Perubahan pola tidur normal
Penurunan kemampuan berfungsi
Ketidak puasan tidur
Menyatakan sering terjaga
Jelaskan pentingnya tidur
Jumlah jam tidur dalam batas normal (6-8 jam)
Dterminasi efek-
yang adekuat –
Pola tidur baik , Kualitas
Fasilitas untuk mempertahankan
dalam batas normal
aktivitas untuk
Perasaan segar nyaman
mempertahankan
setelah bangun tidur
aktivitas sebelum
Mampu
tidur ( membaca )
Menyatakan tidak
mengidentifikasikan hal-
mengalami kesulitan tidur
hal yang meningkatkan
lingkungan yang
Menyatakan tidak merasa
tdur
nyaman
–
–
cukup istirahat
Ciptakan
Kolaborasi pemberian obat tidur
Faktor yang berhubungan
–
Kelembaban lingkungan
Diskusikan dengan
sekitar
pasien dan keluarga
Suhu lingkungsn sekitar
tentang teknik tidur
Tanggung jawab memberi
pasien –
asuhan
Instruksikan untuk
Perubahan pajanan
memonitor tidur
terhadap cahaya gelap
pasien –
Gangguan ( misal untuk
Monitor waktu
tujuan terapeutik,
makan dan minum
pemantauan, pemeriksaan
dengan waktu tidur –
laboratorium )
Kurang kontrol tidur
Kurang privasi,
Monitor/ catat kebutuhan tidur pasien setiap hari dan jam
41
pencahayaan
Bising, bau gas
Restrain fisik, teman tidur
Tidak familier dengan perabot tidur
d. Intoleransi aktivitas ketidakseimbangan antara suplai O2 dengan kebutuhan
Diagnosa intoleransi aktivitas
Tujuan NOC :
Intervensi Activity Therapy
Energy conservation
Definisi : Ketidakcukupan
Self Care : ADLs
energu secara fisiologis
Kriteria Hasil :
Medik
maupun psikologis untuk
Berpartisipasi dalam
dalammerencanakan
meneruskan atau
aktivitas fisik tanpa
progran terapi yang tepat.
menyelesaikan aktifitas yang
disertai peningkatan
diminta atau aktifitas sehari
tekanan darah, nadi dan
mengidentifikasi aktivitas
hari.
RR
yang mampu dilakukan
Batasan karakteristik :
Mampu melakukan
Tenaga Rehabilitasi
Bantu klien untuk
Bantu untuk memilih
melaporkan secara verbal
aktivitas sehari hari
aktivitas konsisten
adanya kelelahan atau
(ADLs) secara mandiri
yangsesuai dengan
kelemahan.
kemampuan fisik,
Respon abnormal dari
psikologi dan social
tekanan darah atau nadi
Kolaborasikan dengan
Bantu untuk
terhadap aktifitas
mengidentifikasi dan
Perubahan EKG yang
mendapatkan sumber
menunjukkan aritmia
yang diperlukan untuk
atau iskemia
aktivitas yang diinginkan
Adanya dyspneu atau ketidaknyamanan saat 42
Bantu untuk mendpatkan
beraktivitas.
alat bantuan aktivitas
Faktor factor yang
seperti kursi roda, krek
berhubungan :
Bantu untu
Tirah Baring atau
mengidentifikasi aktivitas
imobilisasi
yang disukai
Kelemahan menyeluruh
Ketidakseimbangan
membuat jadwal latihan
antara suplei oksigen
diwaktu luang
dengan kebutuhan
Bantu klien untuk
Bantu pasien/keluarga
Gaya hidup yang
untuk mengidentifikasi
dipertahankan.
kekurangan dalam beraktivitas
Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas
Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan
Monitor respon fisik, emoi, social dan spiritual
e. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan terhadap penyakit yang diderita Diagnosa
Tujuan
Intervensi 43
Ansietas
NOC :
NIC :
Definisi:
-
Anxiety self control
Anxiety
Perasaan
ketidaknyamanan -
Anxiety level
(penurunan kecemasan)
atau
kekhawatiran
samar
yang -
disertai
koping
respon Kriteria hasil:
autonom (sumber sering kali Klien tidak
spesifik
diketahui
atau
oleh
tidak
mengidentifikasi
dan
individu;
mengungkapkan
gejala
takut
yang
disebabkan
oleh antisipasi Mengidentifikasi,
cemas mengungkapkan
merupakan
menunjukkan
isyarat
kewaspadaan
yang
akan adanya bahaya dan
Nyatakan dengan jelas pasien Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan
dan tehnik
selama prosedur
untuk mengontol cemas normal
Temani
pasien
memberikan
individu Vital sign dalam batas
memperingatkan
pendekatan
harapan terhadap pelaku
terhadap bahaya. Hal ini
Gunakan
yang menenangkan mampu
perasaan
Reduction
untuk
keamanan
dan mengurangi takut
Berikan
informasi
memampukan individu untuk Postur tubuh, ekspresi wajah,
faktual
mengenai
bertindak
diagnosis,
menghadapi bahasa tubuh dan tingkat
ancaman.
aktivitas menunjukkan berkurangnya
prognosis
Batasan karakteristik:
-
Instruksikan pada pasien
Penurunan
untuk
produktivitas
tehnik relaksasi
Gerakan
yang
ireleven
menggunakan
Dengarkan
dengan
penuh perhatian
-
Gelisah
-
Melihat sepintas
-
Insomnia
-
Kontak
mata
Identifikasi
tingkat
kecemasan
yang
karena
perubahan
dalam
yang
menimbulkan kecemasan
Mengekspresikan kekhwatiran
Bantu pasien mengenal situasi
buruk -
Libatkan keluarga untuk mendampingi klien
Perilaku: -
tindakan
Dorong
pasien
untuk
mengungkapkan perasaan, 44
ketakutan,
peristiwa hidup
persepsi
-
Agitasi
-
Mengintai
-
Tampak waspada
-
Gelisah,distres
-
Kesedihan
yang
mendalam Ketakutan
-
Perasaaan
tidak
adekuat -
Berfokus
pada diri
sendiri -
Peningkatan kewaspadaan
-
Iritabilitas
-
Gugup
senang
berlebihan -
Rasa
nyeri
yang
meningkatkan ketidakberdayaan -
Peningkatan
rasa
ketidakberdayaan yang persisten -
Bingung, menyesal.
-
Ragu
atau
tidak
percaya diri
Khawatir
Fisiologis -
obat
untuk
mengurangi kecemasan
Afektif:
-
Berikan
Wajah tegang, tremor tangan
45
-
Peningkatan keringat
-
Peningkatan ketegangan
-
Gemetar atau tremor
-
Suara bergetar
Simpatik -
Anoreksia
-
Eksitasi kardiovaskuler
-
Diare,mulut kering
-
Wajah merah
-
Jantung
berdebar-
debar -
Peningkatan tekanan darah
-
Peningkatan refleks
-
Peningkatan frekuensi pernafasan
-
Pupil melebar
-
Kesulitan bernafas
-
Vasokontriksi superfisial
-
Lemah, kedutan pada otot
Parasimpatik -
Nyeri abdomen
-
Penurunan
tekanan
darah -
Penurunan
denyut
nadi -
Diare, mual,vertigo
46
-
Letih, gangguan tidur
-
Kesemutan
pada
ekstremitas -
Sering berkemih
-
Anyang-anyangan
-
Dorongan
segera
berkemih
Kognitif -
Menyadari
gejala
fisiologis -
Bloking
pikiran,
konfusi -
Penurunan
lapang
persepsi -
Kesulitan berkonsentrasi
-
Penurunan kemampuan
untuk
belajar -
Penurunan kemampuan
untuk
memecahkan masalah -
Ketakutan
terhadap
konsekuensi
yang
tidak spesifik -
Lupa,
gangguan
perhatian -
Khawatir, melamun
-
Cenderung menyalahkan
orang
lain.
47
Faktor yang berhubungan:
Perubahan
dalam(status
ekonomi,
lingkungan,
status
kesehatan,
interaksi,fungsi
pola peran,
status peran)
Pemajanan toksin
Terkait keluarga
Herediter
Infeksi/kontaminan interpersonal
Penularan
penyakit
interpersonal
Krisis maturasi
Krisis situasional
Stres, ancaman kematian
Penyalahgunaan zat
Ancaman ekonomi, status
pada
(status
lingkungan,
kesehatan,
pola
interaksi, fungsi peran, status peran, konsep diri)
Konflik
tidak
disadari
mengenai tujuan penting hidup
Konflik mengenai
tidak
disadari
nilai
yang
esensial atau penting. Kebutuhan yang tidak dipenuhi
48
4.
Implementasi Disesuaikan dengan intervensi keperawatan
5.
Evaluasi Disesuaikan dengan tujuan dan kriteria hasil
49
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Kista Hepar dapat bersifat kongenital atau didapat. Cairan kista biasanya bening dan tidak berwarna namun dapat juga viskous atau mengandung kristal kolesterol sebagai hasil dari nekrosis jaringan. True cysts atau kista yang sesungguhnya harus dibedakan dari false cysts atau pseudokista, dimana pseudokista ini merupakan timbunan cairan yang terkandung dalam kavitas yang tidak mempunyai lapisan epithelium. Kista seperti ini biasanya berasal dari suatu proses inflamasi atau degeneratif. ( Enggram,Barbara.2012 ) Biasanya tidak ada gejala yang dapat diamati pada pasien kista hepar yang mengalami hepatomegali, karena hati tudak memiliki saraf. Namun beberapa gejala dapat terlihat ketika rentang hati yang cukup meningkat, menurut Enggram,Barbara.2012 gejala kista hepar meliputi : Rasa sakit dan ketidaknyamanan muncul dan memberikan tekanan pada organ di sekitarnya karena prmbengkakan. Dalam kasus pembesaran hati yang terkait kista hepar, seseorang akan mengalami gejala seperti kulit yang menguning, anoreksia, mual, lesu, sakit perut dan muntah. B. Saran Diharapkan perawat dapat memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan keluhan pasien khususnya pada pasien kista hepar.
50
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth. 2011. Keperawatan Medikal Bedah vol 2. Jakarta : EGC Carpenito-Moyet,Lynda Juall.2013.Buku Saku Diagnosa Keperawatan.Jakarta:EGC Doenges, Marilynn E. 2010. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Perawatan Pasien. Jakarta : EGC Doherty, GM., Way, LW. Current surgical diagnosis & treatment 11th ed. Benign tumor & cysts of the liver. India : McGraw-Hill. 2010. h.576-7. Enggram,Barbara.2012.Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta: EGC Nursalam. (2011). Keperawatan medikal bedah . Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika Nanda
International.2013. Diagnosis
Keperawatan:
definisi
Klasifikasi 2012- 2014. Penerbit buku kedokteran. Jakarta : EGC Riyani, Ani. 2013. Penuntun Praktikum Kimia Klinik 2. Bandung : Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung Jurusan Analis Kesehatan .
51
&