KLP 5 Vitiligo Melasma Albinisme [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KEPERAWATAN INTEGUMEN ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN VITILIGO, MELASMA, DAN ALBINISME



Disusunoleh: Kelompok V



Noviani Nastiti S



1313 1112 3034



Ahmad Luky A. F



1313 1113 3035



Agida De Argarinta



1313 1112 3037



Siti Hidayati Al Indasah



1313 1112 3039



Yeni Rachmawati



1313 1112 3041



Thurfah Kustiati Azmi



1313 1112 3045



Lina Jumeida



1313 1112 30



Krisna Eka



1313 1112 30



PROGRAM PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2014



BAB 1 PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Vitiligo adalah gangguan berkurangnya pigmentasi kulit yang sebabnya belum diketahui pasti, gangguan yang didapat serta ditandai dengan gambaran makula putih tidak bersisik, hasil dari hancurnya melanosit kulit secara selektif. Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat, berupa makula coklat terang sampai kehitaman dengan pinggir iregular, berkembang lambat, berbentuk simetris pada daerah yang sering terpapar sinar matahari (Lapeere H, et al, 2008). Albinisme merupakan suatu penyakit keturunan yang jarang ditemukan dimana tubuh tidak dapat membentuk melanin. Orang yang menderita albinisme disebut albino, serta Albino timbul dari perpaduan gen resesif. Penyakit kulit ini dapat mengenai semua ras dan kedua jenis kelamin. Insidensi Vitiligo rata-rata hanya 1% di seluruh dunia. Prevalensi melasma pada kulit Asia diperkirakan berkisar 40% terjadi pada wanita dan 20% pada pria. Sedangkan pada albinisme, di Indonesia tidak terlalu banyak laporan yaitu sekitar 1 berbanding 17.000. Penderita vitiligo, melasma, ataupun albinisme terkadang merasa malu, tidak percaya diri, dan bahkan rentan terhadap bahaya di sekitarnya karena tidak mengetahui gangguannya secara mendetail. Perawat sebagai pendamping penderita, wajib memahami ketiga gangguan tersebut untuk dapat memanajemen penderita dalam menerima gangguan pada sistem integumennya.



1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Apakah definisi dari vitiligo, melasma, dan albinisme ? 1.2.2 Bagaimanakah etiologi dari vitiligo, melasma, dan albinisme ? 1.2.3 Bagaimanakah patofisiologi dari vitiligo, melasma, dan albinisme ? 1.2.4 Bagaimanakah manifestasi klinis dari vitiligo, melasma, dan albinisme ? 1.2.5 Bagaimanakah tata laksana dari vitiligo, melasma, dan albinisme ? 1.2.6 Bagaimanakah asuhan keperawatan dari vtiligo, melasma, dan albinisme ?



1.3 Tujuan 1.3.1 Menjelaskan definisi dari vitiligo, melasma, dan albinisme.



1.3.2 Menjelaskan etiologi dari vitiligo, melasma, dan albinisme. 1.3.3 Menjelaskan patofisiologi dari vitiligo, melasma, dan albinisme. 1.3.4 Menjelaskan manifestasi klinis dari vitiligo, melasma, dan albinisme. 1.3.5 Menjelaskan tata laksana dari vitiligo, melasma, dan albinisme. 1.3.6 Menjelaskan asuhan keperawatan dari vtiligo, melasma, dan albinisme.



BAB 2 PEMBAHASAN



2.1 Anatomi Fisiologi dan Pengetahuan Klinis Dasar Pigmentasi dipengaruhi oleh sel-sel dendritik (melanoblas, melanosit) yang membentuk pigmen melanin yang berasal dari “neural chest” yang berpindah selama periode janin dan berkoloni di kulit (epidermis), adneksa kulit (rambut) dan mata. Tetapi juga ditemukan di mukosa, leptominogen dan telinga dalam. 2.1.1 Susunan Sistem pigmen kulit terdiri dari seluruh melanosit kulit beserta fungsi dan mekanisme regulasinya. Lingkungan hidup dari melanosit kulit adalah stratum basalis. Mereka ada sebagai sel dendritik tersendiri (tanpa desmosom) pada membran basalis, kepadatannya mencapai sekitar 1000-2000 sel setiap mm2 permukaan kulit. Sifat: sintesa melanin (eumelanin, phaeomelanin) yang kontinu dan diberikan dalam bentuk granula melanin pada kratinosit yang mengelilinginya. Satu melanosit dan seitar 36 keratinosit menghasilkan satu kesatuan melanin epidermalis. Sifat lainnya adalah kemampuan untuk mitosis dan mengembara pada membran basalis. Tugas yang sangat penting dari melanosit kulit ialah pelindung kulit dari cahaya. Warna kulit yang disebabkan oleh melanin ditentukan oleh: -



Faktor genetik-ras (misalnya kaukasia, ras negro, indian)



-



Faktor genetik-individual (tipe sensitivitas terhadap cahaya)



-



Faktor pemaparan cahaya



-



Faktor regulasi hormonal (MSH, estrogen, melatonin).



Melanosit pada histologi jaringan kulit normal (Shimizu, 2007).



2.1.2 Patologi a. Etiologi: karena perkembangan dari sistem melanin kulit dan fungsinya ada di bawah kontrol beberapa gen khusus, maka dapat terjadi gangguan genetik yang sesuai.



Sejauh



ini



secara



hipotesis



masih



dianggap



sebagai



penyebab



perkembangan nevus melanositik. Penyebab penyakit non-genetik terutama ialah rangsangan cahaya spesifik, agen kimia, faktor humoral dan proses penyakit epidermal lokal non-spesifik. b. Patogenesis: perubahan yang bersifat adaptif seperti pencoklatan warna kulit (browning) dan hipermelanosis dapat terjadi melalui peningkatan sintesis melanin atau proliferasi melanosit. c. Kerusakan sel dapat menimbulkan gangguan pada sintesis melanin atau gangguan transfer pigmen ke dalam keratinosit dengan mengakibatkan penimbunan melanin yang bertumpuk ke dalam makrofag dermis, pada kerusakan yang berat dapat menimbulkan kematian melanosit. d. Gangguan pertumbuhan (jinak, ganas) sering disebabkan oleh UV. Mula-mula berkembang biak dalam ruang lingkup yang alami (intradermal-horizontal), kemudian juga menembus zona membran basalis intradermal (nevus sel nevus, melanoma maligna) 2.1.3 Klinis Gejala klinis relatif monoton: bentuk bercak dengan dua dimensi hiper atau hipopigmentasi dengan tendensi saling berkonfluen (lokalisata, berbentuk bidang difus atau generalisata), pada abnormalitas perkembangan dan neoplasia juga ada 3 dimensi, berbentuk papula-nodosa atau datar. Istilah hiper atau hipomelanosis, depigmentasi (kehilangan warna kulit didapat) dan leukoderm (kehilangan warna kulit-akuisita secara sekunder melalui dermatosis primer, misalnya sifilis, psoriasis)Diskromia sebenarnya bukan merupakan penyakit sistem melanosit kulit, melainkan perubahan warna kulit akuisita melalui penimbunan pigmen lainnya. Diagnosis banding yang perlu diperhatikan ialah keadaan dimana seakan-akan terjadi perubahan warna kulit (biasanya kecoklatan) karena perubahan struktural dari permukaan kulit, misalnya veruka. 2.1.4 Diagnosis dan terapi Selain anamnesis dan gambaran klinis, sering diperlukan pemeriksaan histologik (deteksi sel melanositik, penilaian keadaan). Pemeriksaan dengan mikroskop cahaya semakin sering dilakukan. Pemeriksaan fungsi: pemeriksaan terhadap daya lindung pigmen (atau sensitivitas terhadap cahaya) dan kapasitas beradaptasi melalui



pigmentasi dengan metode diagnostik cahaya. Diagnostik klinis-kimiawi: membuktikan adanya metabolit melanin, saat ini hanya mempunyai arti yang kecil. Kemungkinan pengobatan konservatif dengan obat topikal sangat terbatas (obat topikal untuk depigmentasi maupun hiperpigmentasi). Kemungkinan cara pengobatan lain adalah dengan terapi sinar (pada hipopigmentasi), terapi sitostatik-anti-proliferatif (melanoma maligna) dan terapi operatif. Rassner, Steinert. 1995. Buku Ajar dan Atlas Dermatologi Rassner. Jakarta: EGC



2.2 VITILIGO 2.2.1 DEFINISI Vitiligo adalah gangguan berkurangnya pigmentasi kulit yang sebabnya belum diketahui pasti, gangguan yang didapat serta ditandai dengan gambaran makula putih tidak bersisik, hasil dari hancurnya melanosit kulit secara selektif (Gawkrodger, 2003). Gambaran histologi pada lesi vitiligo, berupa bercak-bercak putih, memperlihatkan akan hilangnya melanosit dan melanin dari lapisan kulit (Moretti, 2003).



2.2.2 EPIDEMIOLOGI Vitiligo pada umumnya dimulai pada masa anak-anak atau usia dewasa muda,dengan 50% kasusnya terjadi pada usia 10-30 tahun, tetapi kelainan ini dapat terjadi pada semua usia. Ras dan jenis kelamin tidak mempengaruhi terjadinya gangguan ini. Pernah dilaporkan bahwa vitiligo yang terjadi pada perempuan lebih berat daripada laki-laki, tetapi perbedaan ini



dianggap



berasal



dari



banyaknya



laporan



dari



pasien



perempuan



yang



dikarenakan masalah kosmetik (Wolff & Johnson, 2009).



2.2.3 ETIOLOGI Penyebab vitiligo sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Namun, diduga ini adalah suatu penyakit herediter yang diturunkan secara poligenik atau secara autosomal dominan. Namun, beberapa faktor diduga dapat menjadi pencetus timbulnya vitiligo pada seseorang: 1. Faktor mekanis Pada 10-70% penderita vitiligo timbul lesi setelah trauma fisik, misalnya setelah tindakan bedah atau pada tempat bekas trauma fisik dan kimiawi. 2. Faktor sinar matahari atau penyinaran ultra violet A



Pada 7-15% penderita vitiligo timbul lesi setelah terpajan sinar matahari atau UVA dan ternyata 70% lesi pertama kali timbul pada bagian kulit yang terpajan. 3. Faktor emosi / psikis Dikatakan bahwa kira-kira 20% penderita vitiligo berkembang setelah mendapat gangguan emosi, trauma atau stres psikis yang berat. 4. Faktor hormonal Diduga vitiligo memburuk selama kehamilan atau pada penggunaan kontrasepsi oral. Tetapi pendapat tersebut masih diragukan. Masih sedikit yang diketahui tentang patogenesis vitiligo, sehingga patofisiologi penyakit ini masih menjadi teka-teki. 1.



Teori Neurogenik Menurut teori ini, suatu mediator neurokemik dilepaskan dan senyawa tersebut menghambat melanogenesis serta dapat menyebabkan efek toksik pada melanosit. Lesi vitiligo yang ditemukan bersifat unilateral, tidak melewati gariis median, dan terletak pada satu atau dua dermatom. Pada pengamatan lain, vitiligo ini disertai oleh penyakit lain seperti neurofibromatosis dan menyerang daerah inervasi suatu saraf perifr yang terkena trauma. Juga pada polineurits diabetika juga sering dijumpai vitiligo pada daerah yang mengalami neuropati. (Harahap, 2000)



2.



Teori Rusak Diri Teori ini menyebutkan bahwa metabolit kuinon timbul dalam sintesis melanin yang menyebabkan destruksi melanosit. Melanosit juga dihancurkan oleh substansi toksik yang terbentuk sebagai bagian dari biosintesis melanin normal. Teori ini disokong oleh bahwa lesi-lesi vitiligo banyak didapatkan di daerahdaerah kulit yang lebih gelap dan pada tepi lesi terlihat hiperpigmentasi. (Harahap, 2000).



3.



Teori Autoimun Teori ini menyebutkan bahwa kelainan sistem imun menyebabkan terjadinya kerusakan pada melanosit. Adanya hubungan antara tiroiditis, anemia pernisiosa, penyakit Addison, alopesia areata dan sebagainya dijumpai pada serum 80% penderita vitiligo. (Harahap, 2000)



4.



Autotoksik Sel melanosit membentuk melanin melalui oksidasi tirosin ke DOPA dan DOPA ke dopakinon. Dopakinon akan dioksidasi menjadi berbagai indol dan radikal bebas. Melanosit pada lesi vitiligo dirusak oleh penumpukan prekursor melanin.



Secara invitro ini dapat dibuktikan tirosin, dopa, dan dopakrom merupakan sitotoksik terhadap melanosit. (Djuanda, 2007) 5.



Pajanan terhadap Bahan Kimia Depigmentasi kulit dapat terjadi terhadap pajanan Mono Benzil Eter Hidrokinon yang terdapat dalam sarung tangan atau detergen yang mengandung fenol. (Djuanda, 2007)



2.2.4 MANIFESTASI KLINIS Vitiligo merupakan perubahan pigmentasi kulit didapat. Kulit vitiligo menunjukan gejala depigmentasi dengan bercak putih yang dibatasi oleh warna kulit normal atau oleh hiperpigmentasi (James, Berger, & Elston, 2006). Pada vitiligo, ditemukan makula dengan gambaran seperti “Kapur” atau putih pucat dengan tepi yang tajam.Proses penyakit ini bisa merupakan suatu pengembangan bertahap dari makula lama atau pengembangan dari makula baru.Trichromevitiligo (tiga warna: putih,coklat muda,coklat tua) mewakili tahapan yang berbeda dalam evolusi vitiligo (Wolff & Johnson, 2009). Vitiligo sering ditemukan pada tangan,pergelangan tangan, lutut, leher dan daerah sekitar lubang (misalnya mulut) (Gawkrodger DJ. 2003). Kadang dapat juga ditemukan gambaran rambut yang memutih atau uban prematur. Gambaran rambut putihpada vitiligo, dianalogikan dengan makula putih, disebut dengan poliosis (Wolff & Johnson, 2009). Diagnosis ditegakkan terutama berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, serta ditunjang oleh pemeriksaan histopatologik serta pemeriksaan dengan lampu Wood. Biasanya, diagnosis vitiligo dapat dibuat dengan mudah pada pemeriksaan klinis pasien, dengan ditemukannya gambaran bercak “kapur putih”, bilateral (biasanya simetris), makula berbatas tajam pada lokasi yang khas. Pada pemeriksaan dengan lampu wood, lesi vitiligo tampak putih berkilau dan hal ini berbeda dengan kelainan hipopigmentasi lainnya. Dalam kasuskasus tertentu, pemeriksaan histopatologik diperlukan untuk melihat ada tidaknya melanosit dan granul melanin di epidermis (Wolff & Johnson, 2009). Kelainan kulit pada vitiligo juga dapat kita temukan pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron. Pada pemeriksaan ini terlihat hilangnya melanosit, dan melanosom pada keratinosit,



juga



terdapat



perubahan



dalam



keratinosit:



spongiosis,



eksositosis,



basilarvacuopathy dan apoptosis. Beberapa penulis menjumpai infiltrat limfositik di epidermis (Wolff & Johnson, 2009).



Gambaran vitiligo pada wajah.



2.2.5 KLASIFIKASI Bermacam-macam klasifikasi dikemukakan oleh beberapa ahli. Koga membagi vitiligo dalam dua golongan yaitu (Moretti, 2003): 1. Vitiligo dengan distribusi sesuai dermatom. 2. Vitiligo dengan distribusi tidak sesuai dermatom. Berdasarkan Moretti (2003) lokalisasi dan distribusinya, Nordlund membagi menjadi: 1. Tipe lokalisata, yang terdiri atas: a) Bentuk fokal: terdapat satu atau lebih makula pada satu daerah dan tidak segmental. b) Bentuk segmental: terdapat satu atau lebih makula dalamsatu atau lebih daerah dermatom dan selalu unilateral. c) Bentuk mukosal: lesi hanya terdapat pada selaput lendir (genital dan mulut). 2. Tipe generalisata, yang terdiri atas: a) Bentuk akrofasial : lesi terdàpat pada bagian distal ekstremitas dan muka. b) Bentuk vulgaris : lesi tersebar tanpa pola khusus. c) Bentuk mixed : lesi campuran segmental dan vulgaris atau akrofasial. 3. Bentuk universalis : lesi yang luas meliputi seluruh atau hampir seluruh tubuh.



2.2.6 PENATALAKSANAAN Ada banyak pilihan terapi yang bisa dilakukan pada pasien dengan vitiligo. Hampir semua terapi bertujuan untuk mengembalikan pigmen pada kulit. Seluruh pendekatan memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing, dan tidak semua terapi dapat sesuai dengan masing-masing penderita.



1.Tabir surya Sunscreen atau tabir surya mencegah paparan sinar matahari berlebih pada kulit dan hal ini dapat mengurangi kerusakan akibat sinar matahari dan dapat mencegah terjadinya fenomena Koebner. Selain itu sunscreen juga dapat mengurangi tanning dari kulit yang sehat dan dengan demikian mengurangi kekontrasan antara kulit yang sehat dengan kulityang terkena vitiligo (Wolff & Johnson, 2009). 2.Kosmetik Banyak



penderita



vitiligo,



terutama



jenis vitiligo



fokal



menggunakan



covermask kosmetik sebagai pilihan terapi. Area dengan lesi leukoderma, khususnya pada wajah, leher atau tangan dapat ditutup dengan make-up konvensional, produk-produk self tanning, ataupengecatan topikal lain. Pilihan untuk menggunakan kosmetik cukup menguntungkan pasien dikarenakan biayanya yang murah, efek samping yang kecil, dan mudah digunakan (James, Berger, & Elston, 2006). 3. Repigmentasi a. Glukokortikoid topikal Sebagai awal pengobatan diberikan secara intermiten (4 minggu pemakaian, 2 minggu tidak) glukokortikoid topikal kelas I cukup praktis,sederhana, dan aman untuk pemberian pada makula tunggal atau multipel. Jika dalam 2 bulan tidak ada respon, mungkin saja terapi tidak berjalan efektif. Perlu dilakukan pemantauan tanda-tanda awal atrofi akibat penggunaan kortikostreoid 3. Pada beberapa penderita vitiligo, terapi dengan kortikosteroid poten tinggi, misalnyabetametason valerat 0,1% atau klobetasol propionat 0,05% efektif menimbulkan pigmen (Djuanda, Hamzah, & Aisah, 2007). b. Topikalinhibitor Kalsineurin Tacrolimus dan pimecrolimus efektif untuk repigmentasi vitiligo tetapi hanya di daerah yang terpapar sinar matahari. Obat ini dilaporkan paling efektif bila dikombinasikan dengan UVB atau terapilaserexcimer (Wolff & Johnson, 2009). c. Topikal fotokemoterapi Menggunakan topikal8-methoxypsoralen (8-MOP) dan UVA. Prosedur ini diindikasikan untuk makula berukuran kecil dan hanya dilakukan oleh dokter yang berpengalaman. Hampir sama dengan psoralen oral, mungkin diperlukan ≥15 kali terapi untuk inisiasi respon dan ≥ 100 kali terapi untuk menyelesaikannya (Wolff & Johnson, 2009). d. Fotokemoterapi sistemik



PUVA oral lebih praktis digunakan untuk vitiligo yang luas. PUVA oral dapat dilakukan bersamaan menggunakan sinar matahari (dimusim panas atau di daerah yang sepanjang tahun disinari oleh matahari) dan 5-methoxypsoralen (5-MOP) (tersedia di Eropa) atau sinar UVA buatan dengan 5-MOP atau 8-MOP. Adanya respon baik dari terapi dengan PUVA ini ditandai oleh munculnya folikuler kecil yang berpigmen di atas lesi



vitiligo.



Foto



kemoterapi



PUVA



oral dengan 8-MOP



atau



5-



MOP keefektifannya mencapai 85% untuk >70% pasien dengan vitiligo di kepala, leher, lengan atas, kaki dan di badan (Wolff & Johnson, 2009). e. UVB Narrow-band (311nm). Efektivitas terapi ini hampir sama denganPUVA, namun tidak memerlukan psoralen. UVB adalah terapi pilihan untuk anak 90% orang dewasa dan > 65% anak-anak dengan vitiligo adalah dari tingkatan baik sampai sangat baik. h. Topikal analog Vitamin D Analog vitamin D, khususnya Calcipotriol, telah digunakan untuk terapi tunggal atau dikombinasikan dengan topikal steroid pada managemen vitiligo. Efek Vitamin D ini mampu menumbuhkan dan mendiferensiasikan melanosit dan keratinosit kembali.Ini telah



dibuktikan



pada



suatu



demonstrasi



mengenai



reseptor



untuk



1-



alphadihydroxyvitamin D3 pada melanosit. Dipercaya bahwa reseptor ini mengatur stimulasi dari melanogenesis. Analog vitamin ini juga biasa dikombinasikan dengan sinar UV (termasuk NB-UVB) dan topikal steroid. i. Topikal 5-Fluorouracil Topikal 5-Fluorouracil digunakan untuk menginduksi repigmentasi pada lesi dengan vitiligo dengan memperbesar stimulasi migrasi dari folicular melanosit ke epidermis selama proses epitelisasi. Bentuk topikal terapi ini bisa dikombinasikan dengan titik dermabrasi



dari



lesi



vitiligo



untuk



meningkatkan



respon



dari



repigmentasi.Didapatkan respon repigmentasi mencapai 73,3% dengan menggunakan kombinasi ini setelah terapi selama 6 bulan. 3.Minigrafting Teknik pembedahan dengan metode Minigrafting (Autolog Thin Thierschgrafting, Suction Blister grafts, autologous mini punch grafts, transplantation of culture dautologous melanocytes) cukup efektif untuk mengatasi vitiligo dengan makula segmental yang stabil dan sulit diatasi (Wolff & Johnson, 2009). 4.Depigmentasi Tujuan dari depigmentasi adalah "kesatuan" warna kulit pada pasien dengan vitiligo yang luas atau pasien dengan terapi PUVA yang gagal, yang tidak dapat menggunakan PUVA atau pasien yang menolak pilihan terapi PUVA (Wolff & Johnson, 2009). Bleaching,



pemutihan



kulit



normal



dengan



krimmonobenzyl



etherdarihydroquinone(MEH) 20% ini bersifat permanen, artinya proses bleaching (pemutihan) ini tidak reversible. Tingkat keberhasilan terapi ini >90%. Tahap akhir warna depigmentasi dengan MEH adalah Chalk white (kapur putih), seperti pada makula vitiligo 3. Monobenzon tersedia dalam bentuk cream 20%, dioleskan 2 kali sehari selama 2 sampai 3 bulan pada daerah kulit yang masih berpigmen. Terapi biasanya dianggap selesai setelah 10 bulan pemberian (James, Berger, & Elston, 2006).



2.2.7 WOC Vitiligo



Hipotesis autositoksik



Hipotesis neurohumoral



Hipotesis imunologik



Melanosit tidak dapat memproteksi monofenol/polifenol



Asetilkolin, epinefrin dan norepinefrin meningkat



Penyakit kelenjar tiroid, anemia pernisiosa, alopesia areata, anemia hemolitik autoimun



monofenol/polifenol meningkat



Merusak melanosit



VITILIGO



Terdapat lesi berupa makula dengan bercak-bercak putih



MK: gangguan citra tubuh



Ada batas inflamasi pada kulit



MK: kerusakan integritas kulit



2.3 MELASMA 2.3.1 DEFINISI Melasma atau kloasma berasal dari bahasa Yunani yaitu melas yang berarti hitam. Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat, berupa makula coklat terang sampai kehitaman dengan pinggir iregular, berkembang lambat, berbentuk simetris pada daerah yang sering terpapar sinar matahari (Lapeere H, et al, 2008). Melasma biasanya melibatkan daerah dahi, pelipis, pipi, hidung, di atas bibir, dagu, dan kadang-kadang leher. Melasma dapat mengenai semua orang, akan tetapi lebih sering pada wanita Asia dan Hispanik berkulit gelap dikarenakan berada pada daerah tropis yang lebih sering terpapar sinar matahari (Scherdin, et al, 2008).



2.3.2 EPIDEMIOLOGI Kejadian melasma belum bisa dipastikan seberapa banyak, hal ini dipengaruhi oleh adanya produk kosmetik pemutih yang dapat mengaburkan insiden pasti melasma (Rigopoulos, Gregoriou, & Katsambas, 2007). Diperkirakan di Amerika Serikat, sekitar 5-6 juta wanita menderita kelainan ini. Prevalensi melasma pada kulit Asia diperkirakan berkisar 40% terjadi pada wanita dan 20% pada pria. Di RSUP. H. Adam Malik Medan, berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis selama periode Januari sampai Desember 2009, dari total 5.369 pasien yang berobat ke Poliklinik Sub Bagian



Kosmetik Departemen Ilmu



Kesehatan Kulit dan Kelamin, 22 orang (0,41%) diantaranya merupakan pasien dengan diagnosis melasma (Rekam Medik Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik, 2009). Melasma terutama mengenai wanita usia produktif, sedangkan pria hanya 10% dari keseluruhan kasus, dan secara klinis serta histologis memberikan gambaran yang sama seperti pada wanita (Chan R, et al, 2008). Di Indonesia perbandingan kasus melasma antara wanita dan pria adalah 24:1, terbanyak pada wanita usia subur berusia 30-44 tahun dengan riwayat terpapar langsung sinar matahari. Sudharmono dkk. (2004) di Jakarta, dari 145 pasien melasma hampir seluruh pasien berjenis kelamin wanita (97,93%), kecuali 3 pasien berjenis kelamin pria (2,07%) (Shudarmono, Febrianti, Rata, & Bernadette, 2006).



2.3.3 ETIOLOGI Etiologi dari melasma belum bisa dimengerti secara pasti atau idiopatik (Perez-Bernal , Munoz-Perez, & Camacho, 2000). Adapun faktor-faktor yang berperan dalam patogenesis



melasma diantaranya faktor endokrin, predisposisi genetik, paparan radiasi UV, dan faktorfaktor lainnya. Faktor-faktor yang terlibat lainnya adalah kandungan tertentu yang terdapat dalam kosmetika, defisiensi nutrisi, obat-obat yang bersifat fototoksik, dan fotosensitif atau fotoalergik, dan obat-obatan antikonvulsan yang apabila berkombinasi dengan sinar matahari akan ikut terlibat dalam patogenesis melasma (Victor, Gelber, & Rao, 2004). Pathak dkk. memperkirakan bahwa pengaruh genetik dan paparan sinar matahari adalah yang sangat berperan (Katsambas & Stefanaki, 2002).



2.3.4 PATOGENESIS a. Sistem Pigmentasi Kulit Sistem pigmentasi manusia terdiri dari 2 (dua) tipe sel, yaitu melanosit dan keratinosit beserta komponen selular yang berinteraksi membentuk hasil akhir yaitu pigmen melanin (Cholis, 1995). Melanosit yaitu suatu sel eksokrin, yang berada di lapisan basal epidermis dan matriks bulbus rambut. Setiap melanosit lapisan basal dihubungkan melalui dendrit-dendrit melanosit dengan 36 keratinosit yang berada pada lapisan malphigi epidermis, ini yang disebut dengan unit melanin lapisan epidermal. Melanosit memproduksi tirosinase dan melanosom. Di dalam melanosit diproduksi dua subtipe melanin, eumelanin dan feomelanin. Tirosinase berperan dalam pembentukan dua subtipe melanin tersebut (Koesoema, 2009). Melanin merupakan pigmen yang dihasilkan oleh melanosit dari polimerisasi dan oksidasi pada proses melanogenesis. Terdapat 2 pigmen melanin yaitu, eumelanin (coklathitam) dan feomelanin (kuning-merah). Eumelanin bersifat lebih dominan (Cholis, 1995).Melanin ditransfer dari melanosit ke epidermis melalui keratinosit. Degradasi melanosom dilakukan oleh asam hidrolase



lisosom selama keratinosit naik menuju



permukaan epidermis, dan akhirnya melanin hilang bersama lepasnya stratum korneum (Koesoema, 2009). Jika terdapat inflamasi kulit dan kemudian kerusakan selular, beberapa melanosom masuk ke dalam dermis dan ditangkap oleh makrofag, maka sel-sel ini yang kemudian dikatakan sebagai melanofag (Jimbow & Minamitsuji, 2001). Karakteristik keadaan untuk melasma yaitu terjadi kelainan proses pigmentasi berupa hipermelanosis epidermal, yang disebabkan oleh peningkatan produksi melanin tanpa perubahan jumlah melanosit, dengan mekanisme peningkatan peningkatan melanisasi dari melanosom,



produksi melanosom,



pembentukan melanosom yang lebih besar,



peningkatan pemindahan melanosom ke dalam keratinosit, dan peningkatan ketahanan melanosom dalam keratinosit (Cholis, 1995).



b. Patogenesis faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya melasma 1). Faktor Endokrin Hormon yang dikenal dapat meningkatkan melanogenesis antara lain : Melanin Stimulating Hormone (MSH), ACTH, lipotropin, estrogen, dan progesteron (Cholis, 1995). Melanin Stimulating Hormon (MSH) merangsang melanogenesis melalui interaksi dengan reseptor membran untuk menstimulasi aktivitas



adenyl cyclase (cAMP) dan juga



meningkatkan pembentukan tirosinase, melanin dan penyebaran melanin. Hipermelanosis yang difus berhubungan dengan insufisiensi korteks adrenal. Peningkatan MSH dan ACTH yang dikeluarkan oleh kelenjar pituitari akan terjadi bila kortisol mengalami defisiensi sebagai akibat dari kegagalan mekanisme inhibisi umpan balik. Estrogen dan progesteron baik natural maupun sintetis diduga sebagai penyebab terjadinya melasma oleh karena sering berhubungannya dengan kehamilan (Snell, 1964), penggunaan obat kontrasepsi yang mengandung estrogen dan progesteron (Esoda, 1963; Resnick, 1967; Cook dkk., 1961), penggunaan estrogen konjugasi pada wanita postmenopause (Parker, 1981) dan pengobatan kanker prostat dengan dietilbestrol (Ross dkk., 1981) dalam (Maeda, Naganuma, Fukuda, Matsunaga, & Tomita, 1996). Meskipun peran estrogen dalam menginduksi melasma belum diketahui, namun dilaporkan bahwa melanosit yang mengandung reseptor estrogen menstimulasi sel-sel tersebut menjadi hiperaktif. Peranan hormon estrogen dan progesteron pada kehamilan yang disertai melasma juga belum diketahui dengan pasti. Pathak dkk. berpendapat bahwa melasma tidak akan hilang setelah proses kelahiran atau penghentian penggunaan obat kontrasepsi. Kelainan ini dapat memudar akan tetapi lebih sering persisten untuk jangka waktu yang lama, dan timbul kembali pada kehamilan berikutnya (Perez-Bernal , MunozPerez, & Camacho, 2000). Walaupun estrogen disangka memegang peranan penting dalam etiologi melasma, terdapat insiden yang rendah diantara para wanita postmenopause yang mendapat terapi pengganti (Cholis, 1995). Perez dkk. mengevaluasi profil endokrinologik pada 9 wanita dengan melasma idiopatik dan menemukan adanya peningkatan level leutinizing hormon (LH) dan level estradiol serum yang rendah, abnormalitas diduga akibat adanya disfungsi ovarium ringan. Pada 15 pasien pria dengan melasma idiopatik juga menunjukkan profil hormon yang abnormal, dengan peningkatan level sirkulasi LH dan level testosteron serum yang rendah dibanding kontrol, mungkin oleh karena testicular resistance (Maeda , Naganuma , Fukuda, Matsunaga , & Tomita, 1996). 2) Predisposisi Genetik



Faktor genetik dan ras mempunyai kontribusi bermakna terhadap patogenesis melasma, seperti yang diduga pada kejadian melasma familial bahwa penyakit ini jauh lebih sering ditemukan pada ras Hispanik, Latin, Oriental dan Indo-Cina (Rigopoulos, Gregoriou, & Katsambas, 2007). Faktor predisposisi genetik pada melasma sering dijumpai pada penderita dengan tipe kulit III-VI (Jimbow & Minamitsuji, 2001). Orang-orang yang berkulit coklat terang dari daerah yang banyak mengandung sinar matahari, menunjukkan lebih dari 30% penderita melasma mempunyai riwayat keluarga dengan melasma juga. Pada kembar identik pernah dilaporkan menderita melasma, sementara saudara kandung lain dengan kondisi yang sama tidak menderita melasma. Sanchas melaporkan 25% penderita melasma mempunyai keluarga yang juga menderita melasma, sedangkan Vasquez melaporkan sebanyak 70% dan Pathak sebanyak 30% (Cholis, 1995). Penelitian Rikyanto (2003), pasien melasma yang terjadi pada usia 21-30 tahun kemungkinan besar terjadi karena faktor genetik. Melasma terjadi pada usia lebih muda bila terdapat riwayat melasma dalam keluarga (Rikyanto, 2006). Meskipun telah dilaporkan beberapa kasus yang familial, bukti bahwa melasma dapat diturunkan sangat lemah (Jimbow & Minamitsuji, 2001). Faktor



genetik



melibatkan



migrasi



melanoblas



dan



perkembangan



serta



diferensiasinya di kulit. Morfologi melanosit, struktur matriks melanosom, aktivitas tirosinase dan tipe dari melanin yang disintesis, semua dibawah kontrol genetik (Damayanti &Listiawan, 2004). 3) Faktor Paparan Sinar Matahari Paparan sinar matahari adalah faktor yang sangat berpengaruh, dan ini berlaku untuk semua pasien yang mengalami perbaikan atau bertambah parah apabila terpapar sinar matahari (Perez-Bernal , Munoz-Perez, & Camacho, 2000). Eksaserbasi melasma hampir pasti dijumpai setelah terpapar sinar matahari yang berlebihan, mengingat kondisi melasma akan memudar selama musim dingin. Lipid dan jaringan tubuh (kulit) yang terpapar dengan sinar, terutama UV dapat menyebabkan terbentuknya singlet oxygen dan radikal bebas yang merusak lipid dan jaringan tersebut. Radikal bebas ini akan menstimulasi melanosit untuk memproduksi melanin yang berlebihan. Panjang gelombang dari radiasi sinar matahari yang paling berisiko dalam pencapaiannya ke bumi adalah UVB 290-320 nm dan UVA 320-400 nm. Semakin kuat UVB maka akan semakin menimbulkan



reaksi di epidermis, dengan perkiraan 10% dapat



mencapai dermis, sementara 50% UVA akan mencapai dermis (Koesoema, 2009). Sinar UV akan merusak gugus sulfhidril yang merupakan penghambat tirosinase sehingga



dengan adanya sinar UV, enzim tirosinase bekerja secara maksimal dan memicu proses melanogenesis (Cholis, 1995) Pada mekanisme perlindungan alami terjadi peningkatan melanosit dan perubahan fungsi melanosit sehingga timbul proses tanning cepat dan lambat sebagai respon terhadap radiasi UV. Ultraviolet A menimbulkan reaksi pigmentasi cepat. Reaksi cepat ini merupakan fotooksidasi dari melanin yang telah ada, dan melanin hasil radiasi UVA hanya tersebar pada stratum basalis. Pada reaksi pigmentasi lambat yang disebabkan oleh UVB, melanosit mengalami proliferasi, terjadi sintesis dan redistribusi melanin pada keratinosit disekitarnya. Melasma merupakan proses adaptasi melanosit terhadap paparan sinar matahari yang kronis (Cholis, 1995). Terjadinya melasma pada daerah wajah karena memiliki jumlah melanosit epidermal yang lebih banyak dibanding bagian tubuh lainnya dan merupakan daerah yang paling sering terpapar sinar matahari. Interaksi antara faktor sinar matahari dan berbagai hormon terjadi di perifer,



kemudian bersama-sama mempengaruhi metabolisme melanin di dalam



melanoepidermal unit (Cholis, 1995). 4) Faktor Kosmetika Berbagai zat yang terkandung didalam kosmetika dapat memberikan faktor positif dan negatif bagi kulit. Perbedaan ras, warna dan jenis kulit seseorang dapat menimbulkan efek kosmetik. Penelitian Tranggono pada bulan Januari sampai Desember 1978 terhadap 244 pasien di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta yang menderita noda-noda hitam, 18,3% diantaranya disebabkan oleh kosmetik (Koesoema, 2009). Bahan kosmetika yang menimbulkan hiperpigmentasi/melasma yaitu yang berasal dari bahan iritan atau photosensitizer misalnya minyak bergamot, tar, beberapa asam lemak, minyak mineral, petrolatum, lilin tawon, bahan pewarna seperti Sudan III, para-fenilen diamin, pewangi, dan pengawet kosmetik.Melasma yang terjadi biasanya difus dengan batas tidak jelas dan akan lebih jelas bila terkena sinar matahari (Cholis, 1995). Patogenesis diduga akibat reaksi fotosensitisasi setelah terkena pajanan sinar matahari. Absorbsi sinar oleh bahan fotosensitizer, kemudian terbentuk hapten yang akan bergabung dengan protein karier dan memicu terjadinya respon imun. Mediator inflamasi yang mempunyai kemampuan merangsang prolifersi melanosit yaitu leukotrien C4 dan D4. Sedangkan sitokin dan interleukin (IL)-1



α, IL6,



menghambat proliferasi melanosit (Cholis, 1995).



Tumor Necrosing Factor (TNF) α



Selain hipermelanosis epidermal, juga terdapat hipermelanosis dermal dan edema kutis. Terdapat peningkatan jumlah makrofag dermis bagian atas dan multiplikasi lamina basalis. Terjadinya respon edema kutis terhadap pemberian bahan-bahan kimia ini menunjukkan adanya degenerasi dan regenerasi sel basal. Dalam proses ini melanosom dalam keratinosit yang mengalami degenerasi berpindah ke dermis dan terjadilah inkontinensia pigmenti, dan hiperpigmentasi dermal (Cholis, 1995). 5) Faktor Obat-obatan Pigmentasi yang ditimbulkan oleh obat mencapai 10-20% dari keseluruhan kasus hiperpigmentasi yang didapat. Patogenesis pigmentasi yang diinduksi oleh obat ini bermacam-macam, berdasarkan pada penyebab pengobatan dan melibatkan akumulasi melanin, diikuti dengan peradangan kutaneus yang non spesifik dan sering diperparah dengan paparan sinar matahari (Koesoema, 2009). Biasanya obat-obat ini akan tertimbun pada lapisan atas dermis bagian atas secara kumulatif, dan juga dapat merangsang melanogenesis.Beberapa obat yang dapat merangsang aktivitas melanosit dan meningkatkan pigmentasi kulit terutama pada daerah wajah yang sering terpapar sinar matahari yaitu, obat-obat psikotropik seperti fenotiazin (klorpromazin), amiodaron, tetrasiklin, minosiklin, klorokuin, sitostatika, logam berat, arsen inorganik, dan obat antikonvulsan seperti hidantoin, dilantin, fenitoin dan barbiturat (Cholis, 1995).



2.3.5 MANIFESTASI KLINIS Lesi melasma tampak sebagai makula coklat terang sampai gelap, dengan pinggir iregular, dan distribusi biasanya simetris pada wajah, menyatu dengan pola retikular. Terdapat tiga pola utama dari distribusi lesi tersebut, yaitu sentrofasial (63%) mengenai daerah pipi, dahi, hidung, di atas bibir dan dagu, merupakan bentuk yang paling sering ditemukan, malar (21%) mengenai pipi dan hidung, dan mandibular (16%) mengenai ramus mandibula (Lapeere H, et al, 2008). Melasma tidak mengenai membran mukosa. Jumlah makula hiperpigmentasi berkisar antara satu lesi sampai multipel dengan distribusi simetris (Djuanda, 2007).



Gambaran penderita melasma



2.3.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Pemeriksaan Laboratorium Tidak diindikasikan, hanya saja dapat dipertimbangkan untuk pemeriksaan fungsi endokrin, tiroid dan hepatik. b. Pemeriksaan histopatologis Lesi kulit melasma terlihat jelas berbeda dibanding dengan kulit normal. Terdapat tiga gambaran histopatologis dari pigmentasi yaitu epidermal, dermal, dan campuran. Pada melasma tipe epidermal, yang terlihat berwarna kecoklatan, terdapat peningkatan melanin di lapisan basal dan suprabasal. Peningkatan jumlah dan aktivitas melanosit masih diamati seiring dengan meningkatnya transfer melanosom ke keratinosit. Tipe epidermal lebih responsif terhadap pengobatan (Jimbow & Minamitsuji, 2001). Pada melasma tipe dermal, yang terlihat berwarna abu-abu kebiruan, pigmen melanin yang diproduksi oleh melanosit epidermal memasuki papilla dermis dan diambil oleh makrofag (melanofag), dimana sering berkumpul di sekitar pembuluh darah kecil dan dilatasi. Pada melasma tipe campuran ditandai dengan adanya deposisi pada lapisan dermal dan epidermal (Victor, Gelber, & Rao, 2004). c. Pemeriksaan lampu Wood Berdasarkan lokalisasi pigmen melasma terbagi dalam empat tipe. Klasifikasi sebelum pengobatan sangat penting oleh karena lokalisasi pigmen dapat menentukan pengobatan yang akan dipilih. Untuk membantu dalam menentukan lokalisasi pigmen, sebelum diterapi maka pasien harus diperiksadengan menggunakan lampu Wood (Rigopoulos, Gregoriou, & Katsambas, 2007). Lawrens berpendapat bahwa pemeriksaan dengan lampu Wood tidak dapat membantu meramalkan respon klinis terhadap pengelupasan kulit pada melasma. Hal ini dikarenakan oleh sebagian besar pasien-pasien melasma memiliki tipe melasma campuran dermalepidermal. Pemeriksaan dengan lampu Wood tetap berguna untuk menentukan prognosis dari pengobatan melasma. Apabila lesi-lesi terlihat lebih jelas dengan pemeriksaan lampu Wood maka kesempatan lebih baik bagi perbaikan klinis.Pada pemeriksaan dibawah lampu Wood, secara klasik melasma dapat diklasifikasikan menjadi : 1) Tipe Epidermal Hiperpigmentasi biasanya berwarna coklat terang apabila dilihat dibawah lampu biasa dan penilaian dengan lampu Wood menunjukkan warna yang kontras antara daerah yang hiperpigmentasi dibanding kulit normal (Lapeere H, et al, 2008). Sebagian besar pasien



melasma termasuk kedalam kategori ini. Pasien dengan hiperpigmentasi tipe epidermal memiliki respon yang lebih baik terhadap bahan-bahan depigmentasi (Perez-Bernal , MunozPerez, & Camacho, 2000). 2) Tipe Dermal Hiperpigmentasi biasanya berwarna abu-abu atau abu-abu kebiruan apabila dilihat dibawah lampu biasa dan dengan lampu Wood tidak memberikan warna kontras pada lesi. Pada tipe ini, eliminasi pigmen bergantung pada transport melalui makrofag dan keadaan ini tidak mampu dicapai oleh bahan-bahan depigmentasi (Damayanti &Listiawan, 2004). 3) Tipe Dermal-Epidermal (Campuran) Hiperpigmentasi biasanya berwarna coklat gelap apabila dilihat dengan lampu biasa dan dengan lampu Wood terlihat pada beberapa daerah lesi akan tampak warna yang kontras sedangkan pada daerah yang lain tidak (Damayanti &Listiawan, 2004). 4) Tipe Indeterminate Lesi yang dijumpai pada sekelompok pasien dengan tipe kulit gelap (tipe V danVI) dan tidak dapat dikategorikan dibawah lampu Wood. Lesi berwarna abu-abu gelap namun sulit dikenali oleh karena sedikitnya kontras warna yang timbul (Damayanti &Listiawan, 2004).



2.3.7 PENATALAKSANAAN a.



Pasien diingatkan akan efek sinar matahari dan kemungkinan kerusakan yang disebabkan kosmetik. Sehingga wanita membutuhkan pelindung atau penghambat sinar matahari.



b.



Penerusan penggunaan hidrokuinon 2% atau 4% memiliki efektifitas moderat. Perbaikan lebih cepat apabila ditambahi asam salisilat 2-3%, tretinoin 0,1% atau steroid topikal.



c.



Dermabrasi untuk menghilangkan pigmentasi melasma sementara. Karena pigmentasi ini akan kembali seperti semula selama 6 bulan. Penyembuhan permanen dapat dengan peel kimia yaitu fenol atau asam trikloroasetat 50%.



d.



Bleaching: hidrokinon 2-5% dalam bentuk krim (dosis makin besar jika iritasi juga makin besar). Atau dengan formula Kligman: krim yang megandung Hidrokinon 5%+tretinoin 0,1%+deksametason 0,1%



e.



Tabir surya: sebaiknya berbentuk opaque (bahan fisik: mengandung Titanium dioksida dan Zink oksida) atau dipakai tabir surya dengan SPF lebih besar dari 30. Tanpa pemakaian tabir surya yang opaque akan menggagalkan terapi.



f.



Bedah kimia atau pengelupasan kimiawi 1) Menggunakan larutan glicolic acid 20-50% 3-4 minggu sekali. 2) Solusio Jessner: asam salisilat 14 g, resorsinol 14 g, asam laktat (85%) 14 g, etanol ad 100ml 3) Bedah laser yaitu dengan laser Q-switched Ruby dna Laser Argon, tapi kekambuhan akan dapat terjadi.



g.



Pengobatan sistemik 1) Asam askorbat/vitamin C. Vitamin C mempunyai efek merubah melanin bentuk oksidasi menjadi melanin bentuk reduksi yang bewarna lebih cerah dan mencegah pembentukan melanin dengan merubah DOPA kinon menjadi DOPA. 2) Glutation. Glutation bentuk reduksi adalah senyawa sufidrhil (SH) yang berpotensi menghambat pembentukan melanin dengan jalan bergabung dengan Cuprum dari tirosinase sehingga mengganggu pembentukan melanin. Untuk epidermal melasma didapatkan formula tabir surya opaque pagi hari,



hidrokinon dan tretinoin malam hari. Hasil pengobatan akan mulai terlihat setelah 2 bulan dan melasma hilang setelah 6 bulan. Untuk dermal melasma: hasil pengobatan minimal dengan terapi pilihan yaitu kosmetika opaque. Pengobatan melasma bersama pemakaian kontraseptif oral mengurangi keberhasilan pengobatan.



2.3.8 WOC Melasma



Faktor eksternal



Faktor internal



Sinar UV



kosmetik



Obat



Merusak gugus sulfhidril epidermis



Fotosen sitivitas



Pemakaian terlalu lama



Tidak ada penghambat enzim tirosinase



Hiperpigmentasi



Hormon



Melanogenesis



MELASMA



Adanya berkas makula di wajah



Klien merasa malu



MK: Koping Individu tidak efektif



Gelisah



MK: Gangguan citra tubuh



MK: ansietas



Genetik



2.4 ALBINISME 2.4.1 DEFINISI Albinisme (dari Bahasa Latin albus, "putih"; atau dalam Bahasa Indonesia: Bulai), merupakan salah satu bentuk kelainan bawaan hipopigmentasi yang dikarakterisasikan oleh kurangnya ataupun tidak adanya pigmen melanin pada mata, kulit, dan rambut. Albinisme merupakan suatu penyakit keturunan yang jarang ditemukan dimana tubuh tidak dapat membentuk melanin. Orang yang menderita albinisme disebut albino. Albino timbul dari perpaduan gen resesif. Diturunkan dari orang tua, walaupun dalam kasus-kasus yang jarang dapat diturunkan dari ayah atau ibu saja. Ada mutasi genetik lain yang dikaitkan dengan albino, terkait perubahan dari produksi melanin.



2.4.2 ETIOLOGI Albino adalah kelainan genetik, bukan penyakit infeksi dan tidak dapat ditransmisi melalui kontak, tranfusi darah, dan sebagainya. Gen albino menyebabkan tubuh tidak dapat membuat pigmen melanin. Sebagian besar bentuk albino adalah hasil dari kelainan biologi dari gen-gen resesif yang diturunkan dari orang tua, walaupun dalam kasus-kasus yang jarang dapat diturunkan dari ayah/ibu saja. Ada mutasi genetik lain yang dikaitkan dengan albino, tetapi semuanya menuju pada perubahan dari produksi melanin dalam tubuh. Albino tidak terpengaruh gender, kecuali ocular albino (terkait dengan kromosom X), sehingga pria lebih sering terkena ocular albino. Karena penderita albino tidak mempunyai pigmen melanin (berfungsi melindungi kulit dari radiasi ultraviolet yang datang dari matahari), mereka menderita karena sengatan sinar matahari, yang bukan merupakan masalah bagi orang biasa.



2.4.3



KLASIFIKASI Ada dua kategori utama dari albino pada manusia : a. Oculocutaneous albinism Albino jenis ini adalah albino yang sering kita temui pada penderita albino. (berarti albino pada mata dan kulit), kehilangan pigmen pada mata, kulit, dan rambut. Tubuh penderita albino ini secara total tidak bisa memproduksi pigmen melamin sehingga penderita tidak memiliki warna pada bagian tubuh seperti mata, rambut, dan kulit.



b. Ocular albinism Albino jenis ini hanya kehilangan pigmen pada mata, sedangakan pada rambut dan kulit mereka normal. Tetapi ada juga yang memiliki penampilan warna mata normal biarpun mata mereka tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Albino biasanya menyerang bagian kulit dan mata sehingga keduan bagian tersebut tidak bisa berfungsi sebagai mana mestinya. Seperti pada mata penderita albino sering sekali mengalami seperti berikut : - Photophobia : hipersensivitas pada cahaya terang. - Strabismus : mata yang cenderung suka menutup seperti orang yang mengantuk - Amblyopia : tidak jelas dalam melihat sesuatu karena buruk nya transmisi sinyal ke otak. Tipe lain, yakni : a. Recessive total albinism with congenital deafness b. Albinism black-lock cell-migration disorder syndrome (ABCD) c. Albinism-deafness syndrome (ADFN) (yang sebenarnya lebih berhubungan dengan vitiligo). Hanya tes genetik satu-satunya cara untuk mengetahui seorang albino menderita kategori yang mana, walaupun beberapa dapat diketahui dari penampilannya 2.4.4



MANIFESTASI KLINIK a. Hilangnya pigmen melanin pada mata, kulit, dan rambut (atau lebih jarang hanya pada mata). b. Kulit dan rambut secara abnormal putih susu atau putih pucat dan memiliki iris merah muda atau biru dengan pupil merah. c. Kulit terlalu sensitif pada cahaya matahari, sehingga mudah terbakar. d. Nystagmus, pergerakan bola mata yang irregular dan rapid dalam pola melingkar e. Strabismus (“crossed eyes” or “lazy eye”). f. Kesalahan dalam refraksi seperti miopi, hipertropi, dan astigmatisma. g. Fotofobia, hipersensitivitas terhadap cahaya h. Hipoplasi foveal, kurang berkembangnya fovea (bagian tengah dari retina) i. Hipoplasi nervus optikus – kurang berkembangnya nervus optikus. j. Abnormal decussation (crossing) dari fiber nervus optikus pada chiasma optikus.



k. Ambliopia, penurunan akuisitas dari satu atau kedua mata karena buruknya transmisi ke otak, sering karena kondisi lain seperti strabismus.



Gambaran penderita albinisme



2.4.5 PENATALAKSANAAN a. Perlindungan Sinar Matahari. Penderita albino diharuskan menggunakan sunscreen ketika terkena cahaya matahari untuk melindungi kulit prematur atau kanker kulit. Baju penahan atau pelindung kulit dari cahaya matahari yang berlebihan. b. Bantuan Daya Lihat. Beberapa penderita albino sangat cocok menggunakan bifocals (dengan lensa yang kuat untuk membaca), sementara yang lain lebih cocok menggunakan kacamata baca. Penderita pun dapat memakai lensa kontak berwarna



untuk



menghalangi



tranmisi



cahaya



melalui



iris.



Beberapa



menggunakan bioptik, kacamata yang mempunyai teleskop kecil di atas atau belakang lensa biasa, sehingga mereka lebih dapat melihat sekeliling dibandingkan menggunakan lensa biasa atau teleskop. c. Pembedahan Pada Mata. Pembedahan mungkin untuk otot mata untuk menurunkan nystagmus, strabis mus, dan kesalahan refraksi seperti astigmatisma. Pembedahan strabismus mungkin mengubah penampilan mata. Pembedahan nistagmus mungkin dapat mengurangi perputaran bola mata yang berlebihan. Efektifitas dari semua prosedur ini bervariasi masing-masing individu. Namun harus diketahui, pembedahan tidak akan mengembalikan fovea ke kondisi normal dan tidak memperbaiki daya lihat binocular. Dalam kasus esotropia (bentuk “crossed eyes” dari strabismus), pembedahan mungkin membantu daya lihat



dengan memperbesar lapang pandang (area yang tertangkap oleh mata ketika mata melihat hanya pada satu titik). 2.4.6WOC Albinisme V



Herediter Mutasi genetik



Perubahan produksi melanin dalam tubuh



Pengaruh tirosinase positif



Pengaruh tirosinase negatif



Produksi tirosinase tidak ada



Enzim tirosinae sedikit



Non fungsional



Melanosit tidak bisa memproduksi melanin



ALBINISME



Tidak ada melanin



Klien terpapar sinar UV



Kulit mudah terbakar



MK: gangguan integritas kulit



Abnormalitas warna kulit dan rambut



Pergerakan bola mata irreguler cepat



Warna putih susu/ abu-abu



nystagmus



Klien tidak percaya diri



MK: Gangguan citra tubuh



Susah melihat secara spontan



MK: resiko cedera



2.5 ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN VITILIGO, MELASMA, ALBINISME 2.5.1 Pengkajian 1. Identitas Pada pengkajian identitas biodata (nama, jenis kelamin, umur, suku, gama, status perkawinan, pekerjaan, pendidikan), tanggal MRS, No. Register, diagnosa medis. 2. Riwayat Kesehatan 2.1.Riwayat Kesehatan Sekarang Pada keadaan melasma akan ditemukan keadaan hiperpigmentasi setempat yang secara selektif mengenai melanosit dahi, area malar, pelipis, daerah antara bibir atas dan hidung; beberapa bagian lateral dagu dan pipi. Terutama mengenai wanita walau keadaan ini juga terdapat pada laki-laki dengan abnormalitas hormonal yang tidak diketahui. Warna dapat bervariasi mulai dari cokelat muda sampai kehitaman dan berbentuk tidak teratur. Ukurannya juga sangat bervariasi. Lesi biasanya simetrik, terutama bila mengenai pipi, sedangkan penyebarannya menyerupai topeng. Pada keadaan vitiligo, biasanya didapatkan makula berwarna putih susu tidak mengandung melanosit dan berbatas tegas. Makula berwarna putih dengan diameter beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter, bulat atau lonjong dengan batas tegas, tanpa perubahan epidermis yang lain. Kadang-kadang terlihat makula hipomelanotik selain makula apigmentasi. Daerah yang sering terkena vitiligo adalah bagian ekstensor tulang terutama diatas jari, periorifisial sekitar mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tagan begian fleksor. Lesi bilateral ddapat simetris atau asimetris. Untuk daeerah mukosa jarang terkena, kadang-kadang mengenai genital eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva. Gejala subyektif biasanya tidak ada, tetapi dapat timbul rasa panas pad lesi. Keluhan umum terutama adalah masalah kosmetik. Pada keadaan albinisme, akan didapatkan keluhan adanya kehilangan pigmen melanin pada mata, kulit, dan rambut (atau lebih jarang hanya pada mata); Kulit dan rambut secara abnormal putih susu atau putih pucat dan memiliki iris merah muda atau biru dengan pupil merah; Kulit terlalu sensitif pada cahaya matahari, sehingga mudah terbakar; Nystagmus, pergerakan bola mata yang irregular dan rapid dalam pola melingkar; Strabismus (“crossed eyes” or “lazy eye”); Kesalahan dalam refraksi seperti miopi, hipertropi, dan astigmatisma; Fotofobia, hipersensitivitas terhadap



cahaya; Hipoplasi foveal, kurang berkembangnya fovea (bagian tengah dari retina); Hipoplasi nervus optikus–kurang berkembangnya nervus optikus; Abnormal decussation (crossing) dari fiber nervus optikus pada chiasma optikus; Ambliopia, penurunan akuisitas dari satu atau kedua mata karena buruknya transmisi ke otak, sering karena kondisi lain seperti strabismus. 2.2. Riwayat Kesehatan Keluarga



Pada kelainan albinisme, harus dikaji riwayat keluarga, karena albinisme diturunkan melalui genetik. Untuk melasma, dilaporkan kasus kesehatan keluarga sekitar 20-70% dan ras yang mana melasma banyak dijumpai pada orang berkulit gelap dan golongan hispanik. Sedangkan untuk vitiligo sendiri tidak ada keterkaitan dengan faktor keluarga. 2.3.Riwayat Obstetri Pada melasma, perlu dilakukan pengkajian riwayat obstetri, kehamilan dan pemakaian kontrasepsi. Karena melasma dapat dipengaruhi oleh hormon misalnya estrogen, progesteron, dan MSH (melanin stimulating hormon) berperan pada terjadinya plasma. Pada kehamilan, melasma biasanya meluas pada trimester ketiga. Sedangkan pada pemakaian pil kontrasepsi, melasma akan tampak pada 1 sampai 2 bulan pasca dimulainya pemakaian pil. Sama halnya dengan vitiligo, yang mana vitiligo diduga akan memburuk selama kehamilan atau pada penggunaan kontrasepsi oral. Sedangkan pada albinisme, tidak ada kaitannya dengan riwayat obstetri ini. 3. Riwayat Psiko, Sosio, Kultural Pada pasien albino, maka pekerjaannya sangat mempengaruhi tingkat keparahan penyakit. Karena orang albino tidak memiliki pigmen melanin (berfungsi melindungi kulit dari radiasi ultraviolet yang datang dari matahari) sehingga mereka akan menderita karena sengatan sinar matahari. Pada pasien vitiligo, riwayat pekerjaan dapat mempengaruhi timbulnya penyakit ini seperti pada pekerja yang menggunakan sarung tangan atau detergen yang mengandung fenol sehingga terjadi depigmentasi kulit karena pajanan Mono Benzil Eter Hidrokinon. Pada melasma, status sosial atau pekerjaan pasien juga berpengaruh, yang mana jika pasien harus menggunakan kosmetika yang mengandung parfum, zat pewarna, atau



bahan-bahan tertentu dapat menyebabkan fotosensitivitas yang dapat mengakibatkan timbulnya hiperpigmentasi pada wajah jika terpajan sinar matahari. Pasien dengan gangguan pigmentasi kulit ini beresiko untuk terkena minder hingga harga diri rendah. Sehingga diperlukan pengkajian lanjutan untuk mengetahui riwayat psikologi pasien. 4. Riwayat Penyakit Dahulu dan Obat-obatan Pada pasien vitiligo, dilakukan pengkajian terhadap riwayat tiroiditis, anemia pernisiosa, penyakit Addison, alopesia areata karena sering dijumpai pada serum 80% penderita vitiligo. Pada melasma, pemakaian obat-obatan seperti difenil hidantion, mesantoin, klorpomasin sitostatik dan minosiklin dapat menyebabkan timbulnya melasma. Obat ini ditimbun di lapisan dermis bagian atas dan secara kumulatif dapat merangsang melanogenesis. Sehingga mesti dikaji riwayat obat-obatan yang pernah dikonsumsi pasien. 5. Kebiasaan sehari-hari (ADL) Pasien dengan gangguan pigmentasi kulit ini cenderung tidak berpengaruh pada kebiasaan sehari-hari mereka. Karena penyakit ini hanya menyerang lapisan epidermis kulit tanpa penyebaran ke organ luas lainnya. sehingga pasien dapat melakukan ADL secara mandiri. 6. Pengkajian Fisik Per Sistem 6.1.B1 (Breathing) Untuk kelainan pigmentasi kulit ini tidak mengganggu sistem pernapasan. Maka pengkajian pada sistem pernapasan akan didapatkan data normal yaitu respiratory rate 12-20 kali/menit, tidak ada suara nafas tambahan serta penggunaan otot pernapasan yang baik. 6.2.B2 (Blood) Untuk kelainan pigmentasi kulit ini juga tidak mengganggu sistem sirkulasi darah. Sehingga akan didapatkan data normal dalam pengkajian ini. 6.3.B3 (Brain) Pada albinisme akan ditemukan strabismus karena adanya penurunan akuisitas dari satu atau kedua mata karena buruknya transmisi ke otak serta adanya abnormal decussation (crossing) dari fiber nervus optikus pada chiasma optikus. Sedangkan untuk melasma dan vitiligo tidak terlalu mempengaruhi persarafan ini.



6.4.B4 (Bladder) Untuk kelainan pigmentasi kulit ini juga tidak mengganggu sistem perkemihan. Sehingga pasien dapat berkemih secara spontan tanpa keluhan dan dengan frekuensi yang normal. Serta pola cairan pasien juga tidak terganggu. 6.5.B5 (Bowel) Pada pasien dengan kelainan pigmentasi ini, bowel juga tidak mengalami gangguan. Sehingga akan diperoleh data normal pada pengkajian seperti frekuensi BAB teratur tanpa keluhan, kondisi gastrointestinal yang baik serta nutrisi yang adekuat tanpa adanya keluhan anoreksia. 6.6.B6 (Bone) Pada melasma, akan ditemukan adanya hiperpigmentasi setempat yang secara selektif mengenai melanosit dahi, area malar, pelipis, daerah antara bibir atas dan hidung; beberapa bagian lateral dagu dan pipi. Warna dapat bervariasi mulai dari cokelat muda sampai kehitaman dan berbentuk tidak teratur. Ukurannya juga sangat bervariasi. Lesi biasanya simetrik, terutama bila mengenai pipi, sedangkan penyebarannya menyerupai topeng. Pada kondisi vitiligo, akan ditemukan bercak putih dengan batas yang tegas pada bagian ekstensor tulang terutama diatas jari, periorifisial sekitar mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tagan begian fleksor. Lesi bilateral dapat simetris atau asimetris. Sedangkan pada albinisme, akan ditemukan kulit dan rambut berwarna putih susu yang abnormal. 2.5.2 DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN 1. Diagnosa keperawatan: 1) Gangguan integritas kulit b.d rasa panas pada kulit 2) Ansietas b.d progresivitas penyakit, kurang informasi tentang penyakit dan tata laksana 3) Gangguan citra tubuh b.d berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak bagus. 4) Koping individu tidak efektif b.d adanya berkas makula pada kulit 5) Resiko cedera b.d hilangnya melanin pada kulit yang mengakibatkan penurunan fungsi penglihatan



2.



Intervensi keperawatan:



2.1



Gangguan integritas kulit b.d rasa panas pada kulit



Tujuan: Integritas kulit pasien dapat dipertahankan Kriteria Hasil: a. Klien melaporkan tidak merasa panas pada area kulit yang mengalami vitiligo. b. Pada kulit klien tidak terdapat luka yang membesar. Intervensi Keperawatan: 1. Kaji terhadap lateks di sekitar klien; menurunkanresikoreaksisistemikterhadaplateks 2. Beriobat



sesuai



advis



medis;



mempersiapkan,



memberikandanmengevaluasikeefektifanobatresepdanobatnonresep 3. Bersihkan dan pantau kondisi vitiligo klien 4. Minimalkanpenekananpadabagiantubuh 5. Kompres dengan air dingin di kulit sekitar lesi vitiligo 6. Motivasi klien untuk tidak menggosok lesi 7. Beri lotion atau bedak dingin pada kulit klien 8. Jika



sudah



terjadi



luka,



beri



perawatanluka



aseptik



untukmencegahkomplikasilukadanmeningkatkanpenyembuhanluka 9. Ajarkan prosedur perawatan luka kepada pasien atau anggota keluarga



2.2



Ansietas b.d progresivitas penyakit, kurang informasi tentang penyakit dan tata laksana



Tujuan: Ansietas pada klien dapat berkurang dan klien dapat mengadaptasinya. Kriteria hasil: a. Klien rileks dan melaporkan kecemasannya sudah berkurang. b. Mengungkapkan secara verbal jika merasa cemas. c. Klien mengetahui caranya mengurangi cemas. d. Klien mampu mendemonstrasikan cara mengatasi masalah e. Kklien mampu memanfaatkan support sistem dengan efektif Intervensi: 1. Kaji tingkat kecemasan klien a. Mengkaji faktor familial atau fisiologis seperti faktor genetik, kelainan psikiatrik, faktor stresor dari lingkungan sekitar klien. Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan klien mengalami cemas. b. Identifikasi persepsi klien terhadap stresor yang dihadapi.



c. Monitor tanda-tanda vital untuk mengidentifikasi respon fisiologis terhadap cemas. d. Observasi tingkah laku klien, untuk menentukan level cemas klien. 2. Bantu klien mengidentifikasi perasaannya dan mampu mengatasinya a. Bangun hubungan terapeutik, berikan empati dan umpan balik positif. b. Sempatkan diri untuk mendengarkan dan berbicara dengan klien. c. Dorong klien untuk mengekspresikan perasaannya seperti menangis, tertawa, takut, menolak, sedih, marah. d. Bantu klien untuk mengembangkan kesadaran diri secara verbal maupun non verbal. e. Bantu klien dengan memberikan informasi yang akurat. f. Berikan lingkungan yang tenang. g. Dampingi klien untuk menggunakan koping terhadap situasi yang sedang terjadi.



3. Dorong kesadaran klien a. Bantu klien dalam mengidentifikasi faktor pencetus kecemasan dan metode untuk koping. b. Menganalisa keadaan yang sedang terjadi, perasaan, serta pikiran saat terjadi kecemasan. c. Identifikasi



koping



yang



digunakan



klien



untuk



menghadapi



kecemasansebelumnya. d. Kumpulkan support system klien. e. Bantu klien dalam menghadapi cemas (contoh: sadar saat ada pikiran negatif, berkata “stop”, dan berpikiran positif). f. Mereview strategi menghadapi cemas seperti role play, menggunakan visualisasi, meditasi,berdoa. 4. Kolaborasi dengan medis untuk pemberian obat jika cemas klien tinggi.



2.3



Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak bagus. Tujuan: Klien lebih percaya diri dengan kondisi yang dialami. Kriteria Hasil: a. Mengembangkan peningkatan kemauan untuk menerima keadaan diri. b. Mengikuti dan turut berpartisipasi dalam tindakan perawatan diri. c. Melaporkan perasaan dalam pengendalian situasi.



d. Menguatkan kembali dukungan positif dari diri sendiri. e.



Mengutarakan perhatian terhadap diri sendiri yang lebih sehat.



f.



Tampak tidak meprihatinkan kondisi.



g. Menggunakan



teknik



penyembunyian



kekurangan



dan



menekankan



teknik



untukmeningkatkan penampilan. Intervensi Keperawatan: a. Kaji adanya gangguan citra diri (menghindari kontak mata,ucapan merendahkandiri sendiri b. Identifikasi stadium psikososial terhadap perkembangan. c. Berikan kesempatan pengungkapan perasaan. d. Nilai rasa keprihatinan dan ketakutan klien, bantu klien yang cemasmengembangkan kemampuan untuk menilai diri dan mengenali masalahnya. e. Dukung upaya klien untuk memperbaiki citra diri , spt merias, merapikan. f. Mendorong sosialisasi dengan orang lain.



2.4



Koping individu tak efektif b.d adanya berkas makula pada kulit



Tujuan: Klien mampu menghadapi masalah dengan koping yang adaptif. Kriteria hasil: a. Mengungkapkankemampuanuntukmenaggulangidanmemintabantuanjikaperlu b. Menunjukkankemampuanuntukmemecahkanmasalahdanikutsertabermasyarakat c. Mempertahankanbebasdariperilaku yang destruktifpadadirisendirimaupun orang lain d. Mengkomunikasikankebutuhandanberundingdengan



orang



lain



untukmemenuhikebutuhan e. Mendiskusikanbagaimanatekanankehidupan yang adamelebihistrategipenanggulangan yang normal f. Menemukankecepatanpenyakitdankecelakaantidakmelebihitingkatperkembangandanusia Intervensi: 1. on goingassesment (pengkajianulang) a. Kaji karakter klien b. Kaji stresor pada klien c. Kaji mekanisme koping yang pernah dan masih digunakan klien dalam menghadapi setiap masalah d. Evaluasi sumber support system klien e. Kaji level keinginan klien untuk belajar dan belajar mengubah gaya hidupnya



f. Kaji kemampuan memutuskan masalah dan cara penyelesaian klien. 2. Intervensiterapeutikperawat a. Amati penyebabtidakefektifnyakopingsepertikonsepdiri yang buruk, kesedihan, kurangnyaketrampilandalammemecahkanmasalah,



kurangnyadukungan,



atauperubahan yang adadalamhidup. b. Amati kekuatansepertikemampuanuntukmenceritakankenyataandanmengenalisumbertekanan c. Monitor risikomembahayakandiriatau orang lain dantanganisecaratepat d. Bantu



pasienmenentukantujuan



yang



realistisdanmengenaliketrampilandanpengetahuanpribadi e. Gunakankomunikasiempatik, dandorongpasien/keluargauntukmengungkapkanketakutan,



mengekspresikanemosi,



danmenetapkantujuan f. Anjurkanpasienuntukmembuatpilihandanikutsertadalamperencanaanperawatandanakti vitas yang terjadwal g. Berikanaktivitasfisikdan mental yang tidakmelebihikemampuanpasien (misalbacaan, televisi, radio, ukiran, tamasya, bioskop, makankeluar, perkumpulansosial, latihan, olahraga, permainan) h. Jikamemilikikemampuanfisik, anjurkanlatihanaerobik yang sedang i. Gunakansentuhandenganizin. Berikanpasienpijatanpunggungberupausapanperlahandanberiramadengantangan. Gunakan



60



kali



usapandalamsemenitselama



3



menitpadaluasan



2



inchipadakeduasisimulaidaridaerahataskebawah j. Berikaninformasiperihalperawatansebelumperawatandiberikan k. Diskusikanperubahandenganpasien l. Diskusikantentangkemampuanpasien/keluargamengubahsu\ituasiataukebutuhanuntuk menerimasituasi m. Gunakanpendengarandanpenerimaanaktifdalammembantupasienmengekspresikanemo sisepertimengangis, bersalah, dan rasa marah (dalambatasan yang tepat). n. Hindaripenenangan yang salah; berikanjawabanjujurdanberikanhanyainformasi yang diminta o. Dorongpasienuntukmenggambarkantekanan dihadapisebelumnyadanmekanismepenganggulangan yang digunakan p. Dukunglahperilakupenanggulangan; berikanpasienwaktuuntukbersantai



yang



q. Bantu pasienuntukmenjelaskanartigejala yang merekamiliki r. Anjurkanpenggunaanrelaksasiperilakukognitif (misalterapimusik,guided imagery) s. Gunakanteknikselinganselamaprosedur yang menyebabkanklienmerasaketakutan t. Gunakancaramenghilangkankepekaan yang sistematisketikamemperkenalkan orangorang



baru,



tempat,



atauprosedur



yang



mungkinmenyebabkanketakutandanmerubahpenanggulangan u. Berikanpasien/keluarga



video



tentangprosedur



yang



menakutkanuntukdilihatsebelumprosedurdilaksanakan v. Tunjukkankonselingselamadiperlukan 3. perawatan di rumah a. Amati



keluargaataspolaperilakukoping.



Dapatkanriwayatpasiendankeluargajikamungkin b. Nilaikecenderunganbunuhdiri. Hubungiperawatkesehatanjiwasesegeramungkinjikaterindikasi c. Hubungilayanansosialmedisuntukevakuasidankonseling, akanmeningkatkankoping Jikatidakada



yang



diagnosis



yang



cukupsebagaibagiandarirencanaperawatanmedis. medisutama



yang



telahdibuat,



mintalayanansosialmedisuntukmembantukontakdukunganmasyarakat d. Jikapasienterlibatdalamsistemkesehatanjiwa, ikutsertasecaraaktifdalamtimperencanaankesehatanjiwa e. Rujukpasien/keluargapadakelompok-kelompokpendukung f. Monitoring pengobatan 4. Pendidikankesehatan a. Ajarkankliencaramengatasimasalah. Tentukanpadamerekapenyebabdanmasalahdantuliskeuntungandankerugiandaripilihan mereka b. Berikaninformasikepadakeluarga yang menyangkutpengobatan c. Ajarkanteknikrelaksasi d. Anjurkanuntukmendengarkanmusik, ajarkan guided imagery e. Jalinkedekatandenganklienuntukmengembangkaninstrumenpendidikan



yang



bertujuanuntukmeningkatkanstrategikoping f. Ajarkanpadakliententangsumber-sumber konselor)



yang



tersedia



di



komunitas



(terapis,



2.5



Resiko cidera b.d hilangnya melanin pada kulit yang mengakibatkan penurunan fungsi penglihatan



Tujuan : klien terhindar dari cedera Kriteria Hasil: Klien menyatakan pemahaman factor yang terlibat dalam kemungkinan cedera 1. Diskusikan dengan klien tentang penyakit yang dideritanya 2. Observasi kondisi mata klien 3. Tentukan ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau kedua mata yang terkena 4. Orientasikan klien terhadap lingkungan, staf, orang lain di sekitarnya 5. Perhatikan tentang penglihatan yang kabur dan iritasi mata dimana dapat terjadi bila klien menggunakan obat tetes mata 6. Ingatkan pasien menggunakan kacamata yang mampu memperbesar penglihatan. 7. Motivasi lingkungan sekitar untuk membantu klien (menulis dengan tulisan besar, dengan warna yang kontras dengan kertas, memberikan tempat duduk paling depan pada saat berada di kelas atau acara pertunjukkan, tidak menghindari klien).



BAB 3 PENUTUP



3.2 SIMPULAN Vitiligo adalah gangguan berkurangnya pigmentasi kulit yang sebabnya belum diketahui pasti, gangguan yang didapat serta ditandai dengan gambaran makula putih tidak bersisik, hasil dari hancurnya melanosit kulit secara selektif. Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat, berupa makula coklat terang sampai kehitaman dengan pinggir iregular, berkembang lambat, berbentuk simetris pada daerah yang sering terpapar sinar matahari (Lapeere H, et al, 2008). Albinisme merupakan suatu penyakit keturunan yang jarang ditemukan dimana tubuh tidak dapat membentuk melanin. Orang yang menderita albinisme disebut albino, serta Albino timbul dari perpaduan gen resesif. Terjadinya vitiligo dipercayai menganut beberapa teori yaitu teori neurogenik, teori rusak diri, teori Autoimun, autotoksik, pajanan terhadap bahan kimia. Pada melasma terjadi kelainan proses pigmentasi berupa hipermelanosis epidermal. Sedangkan albino adalah hasil dari kelainan biologi dari gen-gen resesif yang diturunkan dari orang tua, walaupun dalam kasus-kasus yang jarang dapat diturunkan dari ayah/ibu saja. Ada mutasi genetik lain yang dikaitkan dengan albino, tetapi semuanya menuju pada perubahan dari produksi melanin dalam tubuh. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada vitiligo, melasma dan albino yaitu gangguan integritas kulit b.d rasa panas pada kulit, ansietas b.d progresivitas penyakit, kurang informasi tentang penyakit dan tata laksana, gangguan citra tubuh b.d berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak bagus, koping individu tidak efektif b.d adanya berkas makula pada kulit, resiko cedera b.d hilangnya melanin pada kulit yang mengakibatkan penurunan fungsi penglihatan.



3.2 SARAN 1. Preventif merupakan usaha yang paling efektif untuk meminimalkan terjadinya gangguan pigmentasi. Untuk itu sebaiknya kita menerapkan cara hidup sehat seperti menghindari penggunaan kosmetik yang mengandung bahan kimia tidak aman, menghindari sinar ultraviolet, mengkonsumsi makanan bergizi dan sehat. 2. Vitiligo, melasma, serta albinisme memerlukan penanganan segera agar tidak meluas terlalu cepat. Dibutuhkan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis ketiga gangguan integumen di atas agar tidak terjadi kesalahan diagnosis



3. Penanganan vitiligo, melasma, dan albinisme membutuhkan keterampilan dan sarana yang tidak sederhana dan memerlukan pendekatan multidisiplin kedokteran. 4. Keluarga hendaknya memahami keadan pasien dan mendukung proses pengobatan pasien. 5. Perawat hendaknya lebih memahami konsep vitiligo, melasma, serta albinisme sehingga dapat mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien secara komprehensif.



DAFTAR PUSTAKA



Chan R, et al. (2008). A Randomized Controlled Trial of the Efficacy and Safety of Fixed Triple Combination (Fluocinolone Acetonide 0.01%, Hydroquinone 4%, Tretinoin 0.05%) Compared with Hydroquinone 4% Cream in Asian Patient with Moderate to Severe Melasma. Br J Dermatol 2008;159:697-703. Cholis M. (1995). Patogenesis Melasma. Majalah Kedokteran Indonesia Jakarta, 1995;45(10): 582-7. Damayanti N, Listiawan MY. (2004). Fisiologi dan Biokomia Pigmentasi Kulit. Berkala Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin 2004;16(2): 156-62. Djuanda, A. (2007). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 296-298. Doenges, E. M., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2000). Nursing care plans: guidelines for planning and documenting patient care [Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien] (3rd ed.). Jakarta: EGC. Jimbow K, Minamitsuji Y. (2001). Topical Therapies for Melasma and Disorders of Hyperpigmentation. Dermatologic Therapy 2001;14:35-45. Katsambas A, Stefanaki C. (2002). Disorders of Pigmentation: Unapproved Treatments. Clinics in Dermatology 2002;20:649-59. Koesoema L. (2009). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Melasma pada Pekerja Perempuan di Perkebunan Tebu PTPN II Klumpang. Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara. Lapeere H, et al. (2008). Hypomelanoses and Hypermelanoses. Dalam: Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine (Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ),Vol. 1. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill; 2008.h.622-40. Maeda K, Naganuma M, Fukuda M, Matsunaga J, Tomita Y. (1996). Effect of Pituitary and Ovarian Hormones on Human Melanocytes In Vitro. Pigment Cell Res 1996;9:20412. Menter A. (2004). Rational for the Use of Topical Coticosteroids in Melasma. J Drugs Dermatol 2004; 3(2):169-174. Moertolo. (2009). Pengaruh Astaxanthin (3,3’-dihydroxy-β, β’-carotene-4, 4’-dione) Topikal dan Sistemik terhadap Melasma Tipe Epidermal. Makalah Simposium The Natural Astaxanthin Symposium 2009: An Update on Clinic Research. 2009:1-14.



Perez-Bernal A, Munoz-Perez MA, Camacho F. (2000). Management of Facial Hyperpigmentation. Am J Clin Dermatol 2000;1(5):261-8. Rekam Medik Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2009. Rigopoulos D, Gregoriou S, Katsambas A. (2007). Hyperpigmentation and Melasma. J Cosmet Dermatol 2007;6:195-202. Rikyanto. (2006). Profil Kasus Melasma Pelanggan Klinik Kosmedik di RSUD Kota Yogyakarta. Media Dermato Venerologi Indonesia 2006;33(1). Scherdin U, et al. (2008). Skin-Lightening Effect of a New Face Care Product in Patients with Melasma. J Cosmet Dermatol 2008;7:68-75. Shimizu H. (2007). Shimizu's Textbook of Dermatology. Hokkaido University Press:Japan. Shudarmono A, Febrianti A, Rata I, Bernadette I. (2006). Epidemiologi Melasma di Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Tahun 2004. Media Dermato Venereologi Indonesia 2006;33(1). Victor FC, Gelber J, Rao B. (2004). Melasma: A Review. J Cutan Med and Surg 2004;8(2):97-102. Wolff



K,



Johnson



RA. (2009).Fitzpatrick’sColor



Atlas



And



Synopsis



ClinicalDermatology. 6th Ed. Mcgraw Hill Medical: Newyork. 335-341.



Of