(Klp.2) Penyakit Pada Masa Kehamilan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS KELOMPOK MAKALAH KEPERAWATAAN MATERNITAS II “PENYAKIT PADA MASA KEHAMILAN” (FASILITATOR : JUSMALA SARI, S.ST, M.Keb.)



DI SUSUN OLEH : KELOMPOK 2 NAMA



NIM



 DIANA PEBRIANTI



(1709MK692)



 HASRUL FAUZY



(1709MK694)



 IRMA SRI WAHYUNI



(1709MK695)



 MUH. ISMAIL



(1709MK700)



 SUDI LESTARI



(1709MK704)



PRODI S1 ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) HAMZAR LOMBOK TIMUR 2019



PEMBAHASAN “PENYAKIT PADA MASA KEHAMILAN”



A.



DIABETES MELLITUS 1.



Definisi. Diabetes Melitus Gestasional (DMG) adalah suatu gangguan toleransi karbohidrat yang terjadi atau diketahui pertama kali pada saat kehamilan sedang berlangsung (PERKENI, 2002). Keadaan ini biasa terjadi pada saat 24 minggu usia kehamilan dan sebagian kadar glukosa darah penderita akan kembali normal setelah melahirkan (Depkes RI, 2008). Namun, pada hampir setengah angka kejadiannya, diabetes akan muncul kembali (Nurrahmani, 2012).



2.



Epidemiologi. Perubahan hormonal dan metabolisme selama kehamilan menyebabkan kehamilan tersebut bersifat diabetogenik, yang mana DMG cenderung menjadi lebih berat selama kehamilan dan akan mempermudah terjadinya berbagai komplikasi. Menurut David., et., al (2010), bahwa ibu - ibu DMG kira - kira 1,7% dapat menyebabkan mortilitas perinatal, 4,3 % melahirkan anak secara operasi, 7,3 % melahirkan anak yang berat badan lahirnya lebih dari 4,5 kg dan 23,5 % bisa menimbulkan kasus distosia bahu pada proses persalinan. Insiden DMG di Indonesia sekitar 1,9-3,6% dan 40-60% wanita yang pernah mengalami DMG pada pengamatan lanjut pasca persalinan akan mengidap diabetes mellitus atau gangguan toleransi glukosa. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu dan 2 jam post prandial (pp). Bila hasilnya belum dapat memastikan diagnosis DMG, dapat diikuti dengan test toleransi glukosa oral. DMG ditegakkan apabila kadar glukosa darah sewaktu melebihi 200 mg%. Jika didapatkan nilai dibawah 100 mg% berarti bukan DMG dan bila nilainya diantara 100-200 mg% belum pasti DMG (Prawiroharjo, 2002).



1



Berdasarkan penelitian Osgood., et al.,(2011), DMG menjadi masalah kesehatan masyarakat sebab penyakit ini berdampak langsung pada kesehatan ibu dan janin. Dampak yang ditimbulkan oleh ibu penderita DMG adalah ibu beresiko tinggi terjadi penambahan berat badan berlebih, terjadinya preeklamsia, eklamsia, bedah sesar, dan komplikasi kardiovaskuler hingga kematian ibu. Setelah persalinan terjadi, maka penderita beresiko berlanjut terkena diabetes tipe 2 atau terjadi DMG yang berulang pada masa yang akan datang. Bayi yang lahir dari ibunya yang mengalami DMG beresiko tinggi untuk terkena makrosomia, trauma kelahiran. Selain itu, bayi berisiko



tinggi



hiperbilirubinemia,



untuk



terkena



sindrom



hipoglikemia,



gangguan



hipokalsemia,



pernafasan,



polisitemia,



obesitas dan diabetes melitus tipe 2 (Perkins, 2007). 3.



Etiologi. Belum diketahui secara pasti apa penyebabnya. Akan tetapi, kondisi ini diduga terkait dengan perubahan hormon pada masa kehamilan. Pada masa kehamilan, plasenta akan memproduksi lebih banyak hormon, seperti hormon estrogen, HPL (human placental lactogen), termasuk hormon yang membuat tubuh kebal terhadap insulin (hormon yang menurunkan kadar gula darah), akibatnya kadar gula darah meningkat dan menyebabkan diabetes mellitus (Aldo dokter, 21 Januari 2019).



4.



Faktor resiko. Semua lbu hamil beresiko mengalami daiabetes gestasional, akan tetapi lebih beresiko terjadi pada lbu hamil dengan faktor-faktor berikut : a. Memiliki berat badan berlebih. b. Memiliki riwayat tekanan darah tinggi (hipertensi). c. Pernah



mengalami



diabetes



gestasional



pada



kehamilan



sebelumnya. d. Pernah mengalami keguguran. e. Pernah melahirkan anak dengan berat badan 4,5 kg atau lebih.



2



f. Memiliki riwayat diabetes dalam keluarga (Aldo dokter, 21 Januari 2019). 5.



Tanda dan gejala. Tanda dan gejala saat kehamilan muncul ketika kadar gula darah melonjak tinggi (hiperglikemia). Diantaranya : a. Sering merasa haus. b. Frekuensi buang air kecil meningkat. c. Mulut kering. d. Tubuh mudah lelah. e. Penglihatan buram. Perlu diketahui bahwa tidak semua tanda dan gejala di atas menandakan diabetes gestasional, karena bisa juga dialami oeh lbu hamil. Oleh karena itu, bicarakan dengan dokter bila mengalami kondisi di atas (Aldo dokter, 21 Januari 2019).



6.



Pemeriksaan/penatalaksanaan. a. Pemeriksaan. Dokter



dapat



menduga



pasien



mengalami



diabetes



gestasional apabila terdapat gejala disertai riwayat medis yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun untuk memastikannya, dokter dapat menjalankan pemeriksaan lanjutan seperti :  Tes toleransi glukosa oral (TTGO) awal. Dalam TTGO awal, dokter akan memeriksa kadar gula darah pasien, satu jam sebelum dan sesudah diberikan cairan gula. Bila hasil TTGO awal menunjukkankadar gula darah di atas 130-140 mg/dL, dokter akan melakukan toleransi glukosa oral lanjutan.  Tes toleransi glukosa oral (TTGO) lanjutan. Pada tes ini, pasien akan diminta berpuasa semalaman sebelum menjalani tes darah di pagi hari. Setelah darah pertama diambil, dokter akan memberikan air gula dengan kadar gula yang lebih tinggi dibanding TTGO awal. Kemudian, kadar gula darah akan diperiksa 3 kali setiap jam. Apabila 2 dari 3 pemeriksaan



3



menunjukkan kadar gula darah tinggi, pasien akan didiagnosis diabetes mellitus. Pada pasien yang telah didiagnosi diabetes gestasional, dokter akan menyarankan dilakukannya tes darah secara rutin, terutama pada 3 bulan terakhir masa kehamilan. Bila terjadi komplikasi kehamilan, dokter akan memeriksa fungsi plasenta pasien guna memastikan bayi mendapat oksigen dan nutrisi yang tepat dalam rahim. Dokter juga akan kembali menjalankan tes darah setelah pasien melahirkan dan pada 6-12 minggu setelahnya, untuk memastikan kadar gula darah pasien sudah kembali normal. Pasien juga disarankan menjalani tes darah tiap 3 tahun sekali, meskipun kadar gula darah sudah kembali normal. b. Penatalaksanaan. Penatalaksanaan



diabetes



gestasional



bertujuan



untuk



mengendalikan kadar gula darah dan mencegah terjadinya komplikasi



saat



hamil



dan



melahirkan.



Berikut



metode



penatalaksanaannya meliputi :  Pemeriksaan kadar gula darah rutin. Dokter akan menganjurkan pasien memeriksa darah 4-5 kali sehari, terutama di pagi hari dan tiap selesai makan. Pasien dapat memeriksa darah secara mandiri, menggunakan jarum kecil, dan meletakkan darah di alat cek gula darah.  Diet sehat. Dokter akan menyarankan pasien untuk mengonsumsi makanan berserat tinggi seperti buah, sayuran, dan biji-bijian. Pasien juga disarankan untuk membatasi konsumsi makanan manis, serta makanan



dengan



kandungan



lemak



dan



kalori



tinggi.



Menurunkan berat badan saat sedang hamil tidak disarankan, karena tubuh sedang memerlukan tenaga ekstra. Oleh karena itu, bila



ingin



menurunkan



berat



badan,



lakukan



sebelum



merencanakan kehamilan. Pola diet juga tidak sama pada setiap



4



pasien. Oleh karena itu, konsultasikan dengan mengenai pola diet yang tepat.  Olahraga. Olahraga dapat merangsang tubuh memindahkan gula dari darah ke dalam sek untuk diubah menjadi tenaga. Manfaat lain dari olahraga rutin adalah membantu mengurangi rasa tidak nyaman saat hamil seperti sakit punggung, kram otot, pembengkakan, sembelit, dan sulit tidur.  Obat-obatan. Bila diet dan olahraga sehat belum mampu menurunkan kadar gula darah, dokter akan meresepkan metformin. Bila metrofin efektif atau menimbulkan efek samping obat, dokter akan memberi suntikan insulin. Sekitar 10-20 persen pasien diabetes gestasional memerlukan obat-obatan untuk menormalakan kadar gula darah. Bila kadar gula darah lbu hamil tetap tidak terkontrol atau belum juga melahirkan pada usia kehamilan lebih dari 40 minggu, dokter dapat memilih melakukan operasi caesar atau induksi untuk mempercepat persalinan. Diabetes gestasional dapat meningkatkan risiko bayi terlahir dengan komplikasi. Oleh karena itu, penting untuk



melakukan



konsultasi



kehamilan



secara



rutin



agar



perkembangan bayi tetap terpantau (Aldo dokter, 21 Januari 2019).



B.



HYPEREMESIS GRAVIDARUM 1.



Definisi. Hyperemesis gravidarum adalah keadaan dimana penderita mengalami mual dan muntah/ tumpah yang berlebihan, lebih dari 10 kali dalam 24 jam atau setiap saat,sehingga mengganggu kesehatan dan pekerjaan sehari-hari (Arief.B, 2009). Hiperemesis Gravidarum didefinisikan sebagai kejadian mual dan muntah yang mengakibatkan penurunan berat badan lebih dari 5%, asupan cairan dan nutrisi abnormal, ketidakseimbangan elektrolit,



5



dehidrasi, ketonuria serta memiliki konsekuensi yang merugikan janin. Mual dan muntah merupakan gangguan yang paling sering ditemui pada kehamilan tremister I, yaitu pada minggu 1 sampai minggu ke 12 selama masa kehamilan (Runiari, 2010). Menurut Sandven (2010) mengatakan bahwa Hiperemesis Gravidarum juga bisa terjadi sebelum akhir minggu ke 22 kehamilan atau pada trimester II kehamilan. Hiperemesis gravidarum merupakan ibu hamil yang mengalami mual muntah yang berlebih, dapat menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari sehingga membahayakan kesehatan bagi janin dan ibu, bahkan dapat menyebabkan kematian. Selain itu, mual muntah juga berdampak negatif bagi ibu hamil, seperti aktivitas sehari-hari menjadi terganggu.



Biasanya



mual muntah sering terjadi saat pagi hari, bahkan



dapat timbul kapan saja maupun terjadi kadang dimalam hari. Gejala tersebut 40-60% biasa terjadi pada multigravida (Rocmawati, 2011). Mual (nausea) dan muntah (emesis gravidarum) adalah suatu yang wajar pada ibu hamil trimester 1. Kondisi ini akan berubah jika mual muntah terjadi >10 kali dalam sehari, sehingga dapat mengganggu keseimbangan gizi, cairan elektrolit, dan dapat memengaruhi keadaan umum serta menganggu kehidupan sehari-hari (Morgan, 2009). 2.



Epidemiologi. Menurut WHO sebagai badan PBB yang menangani masalah bidang kesehatan, mengatakan bahwa Hiperemesis Gravidarum terjadi diseluruh dunia, diantaranya negara-negara di benua Amerika dengan angka kejadian yang beragam. Sementara itu, kejadian Hiperemesis Gravidarum juga banyak terjadi terjadi di Asia contohnya di Pakistan, Turki dan Malaysia. Sementara itu, angka kejadian Hiperemesis Gravidarum di Indonesia adalah mulai dari 1% sampai 3% dari seluruh kehamilan (Aril., et al, 2010). Prevalensi Hiperemesis Gravidarum yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009), menjelaskan



6



bahwa lebih dari 80% wanita hamil di Indonesia mengalami mual dan muntah yang berlebihan. Menurut Vikanes, et al (2013) insidensi terjadinya kasus Hiperemesis Gravidarum sebesar 0,8 sampai 3,2% dari seluruh kehamilan atau sekitar 8 sampai 32 kasus per 1.000 kehamilan di negara Norwegia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Savira (2014), data yang didapatkan di Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul periode 1 Januari 2011 sampai 30 November 2013, terdapat 5.683 ibu hamil dan yang mengalami Hiperemesis Gravidarum sebanyak 120 (2,1%) ibu hamil atau sekitar 21 kasus per 1.000 kehamilan, 101 (84,2%) diantaranya harus dirawat di Rumah Sakit karena kejadian Hiperemesis Gravidarum. Dampak dari Hiperemesis Gravidarum tidak hanya mengancam kehidupan wanita, namun juga dapat menyebabkan efek samping pada janin seperti abortus, berat bayi lahir rendah, kelahiran prematur, serta malformasi pada bayi baru lahir (Runiari, 2010). Oleh karena itu dukungan keluarga sangat penting bagi ibu yang sedang hamil. Terkadang ibu hamil dihadapkan pada rasa kecemasan dan ketakutan akan gangguan yang dihadapi pada masa kehamilannya (Indriyani, 2013). Keluarga diharapkan selalu memotivasi, membantu dan mendampingi ibu hamil dalam menghadapi keluhan kehamilannya sehingga ibu hamil merasa tenang dan nyaman setiap ada masalah yang dialaminya selama masa kehamilan (Indriyani, 2013). 3.



Etiologi. Penyebab Hiperemesis Gravidarum sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, namun terdapat bebarapa teori yang menjelaskan penyebab terjadinya, dimana Hiperemesis Gravidarum berhubungan dengan terjadinya peningkatan kadar estrogen atau human chorionic gonadotropin (HCG) dan mungkin juga berhubungan dengan terjadinya hipertiroidisme selama kehamilan (Sandven, 2010). Penyebab lain adalah peningkatan kadar hormon progestron serta peningkatan hormon estrogen (Runiari, 2010). Faktor psikologis



7



juga berperan terhadap terjadinya Hiperemesis Gravidarum seperti tekanan pekerjaan, rumah tangga yang retak dan dapat menyebabkan konflik mental sehingga memperparah mual dan muntah (Runiari, 2010). 4.



Faktor resiko. Adapun



faktor



yang



dapat



meningkatkan



resiko



terjadinya



hyperemesis gravidarum pada lbu hamil, antara lain : a. Riwayat kehamilan sebelumnya dengan hyperemesis gravidarum. b. Riwayat



keluarga,



mungkin



ada



yang pernah



mengalami



hyperemesis gravidarum selama kehamilan. c. Berat badan berlebih. d. Adanya penyakit trofoblas atau penykit lain dalam rahin. e. Mengandung bayi kembar. Semakin banyak bayi kembar yang dikandung (kembar 2,3 atau lebih) maka semakin besar resikonya. f. Kehamilan pertama. Diduga karena belum “terbiasa” dengan janin, dan kemungkinannya akan berkurang pada saat kehamilan ke-2,3, dan



seterusnya.



(https://www.honestdocs.id/hiperemesis-



gravidarum : 2019). 5.



Tanda dan gejala. Selain timbul gangguan pada sistem saluran pecernaan hingga menimbulkan mual dan muntah yang hebat, pasien hyperemesis gravidarum juga dapat merasakan beberapa bebrapa tanda dan gejala yang menjadi keluhan, seperti : a. Penurunan berat badan >5% dari berat badan sebelum hamil. b. Produksi air liur berlebih. c. Volume urine berkurang. d. Lemas, defresi, cemas, dan sulit konsentrasi. e. Pusing, mudah tersinggung, dan mood yang mudah berubah. f. Gangguan tidur. g. Indera penciuman menjadi sangat sangat sensitive h. Gangguan



indera



pengecap.



(http://www.honestdocs.id/hyperemesis gravidarum : 2019).



8



6.



Pemeriksaan/penatalaksanaan. a. Pemeriksaan. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada pasien hyperemesis gravidarum, adalah :  Dipstik urine : ketonuria (keton+1 atau lebih), keton berdampak buruk terhadap perkembangan janin.  Pemeriksaan darah lengkap untuk mendeteksi penyulis seperti anemia dan infeksi.  Ureum dan kreatin, dilakukan bila dicurigai ada gangguan ginjal.  Elektrolit, pada muntah yang hebat bisa terjadi electolyte imbalance.  Glukosa darah sewaktu (GDS), karena p asien yang mual muntah umumnya sulit makan sehingga bisa mengalami hipoglikemia. Selain pemeriksaan laboratorium, USG juga dapat dilakukan untuk mengetahui kesejahteraan janin dan memeriksa kemungkinan adanya



kehamilan



multiple



atau



penyakit



troboplastik.



(https://www.alomedika.com/penyakit/obstetrik-danginekologi/hiperemesis-gravidarum/diagnosis : 2018). b. Penatalaksanaan. Penatalaksanaan gejala hiperemesisi



gravidarum harus



dilakukan sedini mungkin agar hasilnya efektif. Karena itu harus disarankan untuk menemui dokter atau ke Rumah Sakit jika merasakan mual dan muntah berkepanjangan. Jika hiperemesis gravidarum



belum



terlalu



parah,kemungkinan



dokter



akan



meresepkan obat-obatan sebagai berikut :  Obat-obatan steroid.  Vitamin B6 dan B12.  Obat antiemitik atau antimual.



9



Selain obat-obatan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meringankan gejala hiperemesis gravidarum, diantaranya :  Menghindari aroma-aroma yang bisa membuat mual, suara bising.  Banyak istirahat.  Menggunakan pakaian longgar.  Mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat tapi rendah lemak.  Mengonsumsi kudapan kering (misal : biskuit) secara berkala. Untuk kasus hiperemesis yang parah, penanganannya harus dilakukan di Rumah Sakit untuk mencegah timbulnya komplikasi lebih lanjut. Pada kasus ini, biasanya obat antimual akan disuntikkan langsung oleh dokter. Selain itu juga pemasangan infus untuk menjaga asupan cairan supaya Ibu terhindar dari dehidrasi. (https://www.aldodokter.com/hiperemesis-gravidarum : 2017).



C.



HIPERTENSI 1.



Definisi. Hipertensi pada masa kehamilan adalah hipertensi yang terjadi saat kehamilan berlangsung dan biasanya pada bulan terakhir kehamilan atau lebih setelah 20 minggu usia kehamilan pada wanita yang sebelumnya normotensif, tekanan darah mencapai nilai 140/90 mmHg, atau kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg dan tekanan diastolik 15 mmHg di atas nilai normal (Junaidi, 2010).



2.



Epidemiologi. Hipertensi pada kehamilan berperan besar dalam morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal. Hipertensi diperkirakan menjadi komplikasi sekitar 7-10% seluruh kehamilan. Dari seluruh ibu yang mengalami hipertensi selama hamil, setengah sampai dua pertiganya didiagnosis mengalami preeklampsi atau eklampsi. Di Indonesia, mortalitas dan morbiditas hipertensi pada kehamilan juga masih cukup



10



tinggi. Hal ini disebabkan oleh etiologi yang tidak jelas, dan juga perawatan dalam persalinan masih ditangani petugas non medik serta sistem rujukan yang belum sempurna. Hipertensi pada kehamilan dapat dipahami oleh semua tenaga medik baik di pusat maupun di daerah ( Prawirohardjo, 2013). Angka kematian ibu (AKI) di Provinsi Lampung pada tahun 2012 berdasarkan laporan dari kabupaten terlihat kasus kematian ibu (kematian ibu pada saat hamil, melahirkan, dan nifas) seluruhnya sebanyak 179 kasus dimana kasus kematian ibu terbesar (59,78%) terjadi pada saat persalinan dan 70,95% terjadi pada usia 20 – 34 tahun, dan kasus kematian ibu tertinggi berada di Kota Bandar Lampung (Profil Kesehatan Lampung, 2012). 3.



Etiologi. Etiologi hipertensi dalam kehamilan beragam, tergantung dari subtipe kehamilan. Hipertensi kronis yang sekunder dapat disebabkan oleh beberapa etiologi yakni sebagai berikut : a. Parenkimal ginjal (misal : ginjal polikistik). b. Penyakit vaskuler ginjal (misal : stenosi arteri ginjal, displasia fibromuskuler). c. Gangguan endokrin (misal : kelebihan adrenokortikosteroid). d. Koarktasio aorta. (https://www.alomedika.com/penyakit/obstetrikdan- ginekologi/hipertensi-dalam-kehamila : 2018).



4.



Faktor resiko. Hipertensi



dalam



kehamilan



merupakan



gangguan



multifaktorial. Beberapa faktor risiko dari hipertensi dalam kehamilan adalah (Katsiki N et al., 2010) : a. Faktor maternal  Usia maternal Usia yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah usia 20-30 tahun. Komplikasi maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi dari pada kematian maternal yang terjadi pada usia 20-29 11



tahun. Dampak dari usia yang kurang, dapat menimbulkan komplikasi selama kehamilan. Setiap remaja primigravida mempunyai risiko yang lebih besar mengalami hipertensi dalam kehamilan dan meningkat lagi saat usia diatas 35 tahun (Manuaba C, 2009)  Primigravida Sekitar 85% hipertensi dalam kehamilan terjadi pada kehamilan pertama. Jika ditinjau dari kejadian hipertensi dalam kehamilan, graviditas paling aman adalah kehamilan kedua sampai ketiga (Katsiki N et al., 2010).  Riwayat keluarga Terdapat peranan genetik pada hipertensi dalam kehamilan. Hal tersebut dapat terjadi karena terdapat riwayat keluarga dengan hipertensi dalam kehamilan (Muflihan FA, 2012).  Riwayat keluarga Riwayat hipertensi kronis yang dialami selama kehamilan dapat meningkatkan risiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan, dimana komplikasi tersebut dapat mengakibatkan superimpose preeclampsi dan hipertensi kronis dalam kehamilan (Manuaba, 2009).  Tingginya indeks massa tubuh Tingginya indeks massa tubuh merupakan masalah gizi karena kelebihan kalori, kelebihan gula dan garam yang bisa menjadi faktor risiko terjadinya berbagai jenis penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus, hipertensi dalam kehamilan, penyakit jantung koroner, reumatik dan berbagai jenis keganasan (kanker) dan gangguan kesehatan lain. Hal tersebut berkaitan dengan



adanya



timbunan



lemak



berlebih



dalam



tubuh



(Muflihan FA, 2012).  Gangguan ginjal Penyakit ginjal seperti gagal ginjal akut yang diderita pada ibu hamil dapat menyebabkan hipertensi dalam kehamilan. Hal



12



tersebut berhubungan dengan kerusakan glomerulus yang menimbulkan gangguan filtrasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (Muflihan FA, 2012). b. Faktor kehamilan Faktor kehamilan seperti molahilatidosa, hydrops fetalis dan kehamilan ganda berhubungan dengan hipertensi dalam kehamilan. Preeklampsi dan eklampsi mempunyai risiko 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda. Dari 105 kasus bayi kembar dua, didapatkan 28,6% kejadian preeklampsi dan satu kasus kematian ibu karena eklampsi (Manuaba, 2009). 5.



Tanda dan gejala. Berikut adalah tanda dan gejala umum darihipertensi pada lbu hamil yang sebagian diantaranyamerupakan tanda kehamilan normal : a. Mual muntah b. Sakit kepala hebat. c. Penglihatan kabur atau sangat sensitive terhadap cahaya d. Penurunan kadar trombosit dala darah. e. Gejala gangguan ginjal (misal : adanya kelebihan protein dalam urine).



(http://mm.tribunnews.com/tribunners/2017/03/13/cara-



menurunkan-hipertensi-pada-Ibu -hamil : 2017). 6.



Pemeriksaan/penatalaksanaan. a. Pemeriksaan. Pemeriksaan yang perlu dilakukan dalam kasus hipertensi sebagai komplikasi kehamilan adalah proteinuria, untuk diagnosis dini preeklampsi yang merupakan akibat dari hipertensi kehamilan. Pemeriksaan proteinuria dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu secara Esbach dan Dipstick. Pengukuran secara Esbach, dikatakan proteinuria jika didapatkan protein ≥300 mg dari 24 jam jumlah urin. Nilai tersebut setara dengan kadar proteinuria ≥30 mg/dL (+1 dipstick) dari urin acak tengah yang tidak menunjukkan tandatanda infeksi saluran kencing. Interpretasi hasil dari proteinuria dengan metode dipstick adalah (POGI, 2010) :



13



+1 = 0,3 – 0,45 g/L +2 = 0,45 – 1 g/L +3 = 1 – 3 g/L +4 = > 3 g/L. Prevalensi kasus preeklampsi berat terjadi 95% pada hasil pemeriksaan +1 dipstick, 36% pada +2 dan +3 dipstick (Prasetyo R, 2006). b. Penatalaksanaan.  Konsumsi makanan yang mengandung kalium. Naiknya tekanan darah akibat ketidakseimbangan kadar kalium dan natrium. Jika kadar natrium terlalau tinggi dalam darah akan mengakibatkan hipertensi. Maka dari itu kurangi asupan makanan dengan kandungan natrium dan perbanyak asupan kalium.  Perhatikan pola makan. Jangan sembarangan mengonsumsi makanan yang kurang sehat dan mengandung kolesterol tinggi.perbanyak mengonsumsi makanan bernutrisi tinggi yang baik untuk ibu hamil seperti asam folat, vitamin, dan mineral penting lainnya.  Olahraga. Lakukan olahraga secara teratur, misalnya dengan jalan santai pagi hari selama 30 menit secara rutin atau lakukan yoga. Olahraga bisa membantu memperbaiki sirkulasi darah sehingga kembali normal seperti semula dan hipertensi perlahan turun secara alami.  Perhatikan waktu istirahat. Ibu hamil jangan stress, ibu hamil harus perbanyak waktu istirahat. Karena jika stress maka kemungkinan bisa terjadi hipertensi yang sangat membahayakn kesehatan janin dan ibu hamil sendiri. Untuk itu sebaiknya Ibu hamil harus memiliki pola istirahat yang baik.  Konsultasi dengan dokter.



14



Disamping melakukan pola hidup yang sehat, lakukan juga konsultasi dengan dokter kandungan untuk mengatasi seputar keluhan tersebut. Tentunya tim medis bisa memberikan solusi terbaik



untuk



mengatasi



semua



permasalahan



tersebut.



(https://babylogist.com/blog//penangananhipertensipadakehamil an-n1569 : 2017).



D.



GANGGUAN KARDIOVASKULAR 1.



Definisi. Kehamilan dengan penyakit jantung selalu saling mempengaruhi karena kehamilan dapat memberatkan penyakit jantung yang dideritanya. Dan penyakit jantung dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim. Penyakit jantung dalam kehamilan merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian yang tinggi pada kehamilan atau persalinan. Pasien dengan penyakit jantung biasanya dibagi dalam 4 golongan. Klasifikasi fungsional yang diajukan oleh New York Heart Association adalah:1,2,3,4 a. Klas I : aktivitas tidak terganggu (tidak perlu membatasi kegiatan fisik). b. Klas II : aktivitas fisik terbatas, namun tak ada gejala saat istirahat (bila melakukan aktifitas fisik maka terasa lelah, jantung berdebardebar, sesak nafas atau terjadi angina pektoris). c. Klas III : aktivitas ringan sehari-hari terbatas (kalau bekerja sedikit saja merasa lelah, sesak nafas, jantung berdebar). d. Klas



IV



:



waktu



istirahat



sudah



menimbulkan



keluhan



(memperlihatkan gejala-gejala dekompensasio walaupun dalam istirahat). Penyakit jantung yang berat dapat menyebabkan partus prematurus atau kematian intrauterin karena oksigenasi janin terganggu. Dengan kehamilan pekerjaan jantung menjadi sangat berat sehingga klas I dan II dalam kehamilan dapat masuk ke dalam klas III atau IV.



15



2.



Epidemiologi. Di Indonesia, angka kematian ibu akibat penyakit jantung dalam kehamilan berkisar antara 1 –2%. Penyakit jantung rematik merupakan jenis penyakit jantung terbanyak, dan lebih dari 90% biasanya dengan kelainan katup mitral (stenosis katup mitral), disusul penyakit jantung kongenital dan penyakit otot jantung. Meskipun banyak kasus penyakit jantung dengan kehamilan dijumpai di klinik dan rumah sakit di Indonesia, akan tetapi hanya sedikit yang pernah dilaporkan dalam tulisan ilmiah. Dari laporan pendahuluan mengenai insiden kelainan jantung pada kehamilan diperoleh angka 3,1 % dari sekitar 20 % penderita yang dirawat di Bagian Kebidanan dan Kandungan RSCM/FKUI Jakarta dan dikonsulkan ke kardiologis (Aziz, Hartanuh, Sugeng dan Samil). Menurut Samil angka kematian penyakit jantung di Bagian Kebidanan dan Kandungan RSCM Jakarta merupakan urutan keempat setelah eklamsia, perdarahan dan infeksi. Mortalitas terbanyak pada multipara sebesar 1,6 %, dengan insiden 1,21 % dari seluruh kasus obstetric/ginekologis yang dirawar di bagian tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Bambang DW, Suhatno Djoko Sumantri terhadap 4741 kasus persalinan di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama empat tahun (1990-1993), didapatkan ibu hamil dengan penyakit jantung (tidak termasuk hipertensi dalam kehamilan) adalah 31 kasus per tahun atau 0,65 % per tahun dengan angka kematian sebesar 4,88 %. Dibandingkan dengan 0,3 % per tahun 91972-1973) dan 0,5% per tahun (1978-1982), angka kejadian ibu hamil dengan penyakit jantung tersebut menunjukkan adanya peningkatan dari tahun ke tahun.



3.



Etiologi. Etiologi kelainan jantung dapat primer maupun sekunder. Kelainan primer akibat kelainan kongenital, katup, iskemik dan kardiomiopati. Sedangkan sekunder akibat penyakit lain seperti hipertensi, anemia berat, dan lain-lain.



4.



Faktor resiko.



16



a. Hipertensi. b. DM. c. Merokok. d. Dislipidemia. (https://www.slideshare.net/mobile/progestian/penyakitkardiovaskuler-dalam-kehamilan-dr-prima : 2016) 5.



Tanda dan gejala. a. Palpitasi. b. Detak jantung yang bertambah cepat. c. Selalu merasa lelah. d. Pembengkakan pada kaki, tangan, pergelanngan kaki, dan lengan akibat bertambahnya jumlah cairan dan garam yang disimpan di dalam tubuh. e. Sesak napas, bahkan saat tidak sedang melakukan aktivitas berat. (https://www.docdoc.com/id/info/condition/penyakit-jantung-saat hamil).



6.



Pemeriksaan/penatalaksanaan. a. Pemeriksaan.  Laboratorium rutin, seperti hematologis, kimia darah, gula darah.  EKG, bila perlu dapat dilakukan monitor 24 jam.  Phonokardiogram, untuk menilai bunyi jantung dan murmur.  Ekokardiografi.  Lain-lain, seperti kultur tenggorok (throat culture), C-reactive protein, ASTO, kultur darah. b. Penatalaksanaan  Penatalaksanaan Non-Obstetri Penatalaksanaan non-obstetri dilakukan bagi ibu hamil dengan penyakit jantung dengan pemberian tatalaksana medikamentosa maupun non medikamentosa. Tujuan dari penatalaksanaan ini adalah untuk menghindari atau mengurangi tingginya risiko komplikasi gagal jantung pada ibu hamil dengan penyakit



17



jantung yang sudah memasuki kelas III atau IV pada klasifikasi NYHA, atau meminimalisasikan terjadinya kenaikan tingkat kelas pada ibu hamil dengan penyakit jantung yang masih dalam kelas I dan II.  Penatalaksanaan Obstetri  Antenatal Care Ada satu hal penting pada pemeriksaan antenatal, yaitu penentuan usia gestasi karena dapat timbul sejumlah



penyulit



kehamilan



yang penanganan



optimalnya bergantung pada usia janin. Wanita dengan



penyakit



jantung



kongenital



akan



meningkatkan risiko penyakit jantung kongenital pada bayi yang dikandungnya. Sehingga, diperlukan juga pemeriksaan pada janin dengan melakukan scanning pada usia kehamilan 20 minggu. Pertumbuhan janin dan cairan amnion yang melindunginya di dalam uterus pun bisa discan apabila diindikasikan, terutama jika ibu hamil mengonsumsi β-blocker.  Persalinan Pervaginam. Secara



umum,



persalinan



pervaginam



lebih



dianjurkan. Persalinan biasanya tidak diinduksi secara prematur, karena dapat mengakibatkan persalinan yang lama dan memberikan tambahan beban bagi jantung ibu. Sehingga, persalinan yang diindikasikan adalah yang cukup bulan dan spontan. Kelahiran normal pervaginam diantisipasi, kecuali komplikasi obstetrik membutuhkan seksio sesarea.  Persalinan Perabdominam. Pada dasarnya, persalinan perabdominam dapat membantu beban ibu selama proses persalinannya, karena ibu tidak perlu mengejan yang dapat meningkatkan beban curah jantung, hal tersebut juga



18



dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan pada beberapa negara maju bahwa mortalitas perinatal dan mortalitas maternal memberikan hasil yang lebih rendah insidensinya pada kelahiran perabdominam (caesarean-section) (1,6%), jika dibandingkan dengan kelahiran pervaginam (5%). Namun, berdasarkan penelitian di Amerika Serikat sejak tahun 1998-1999 hingga



2004-2005



angka



komplikasi



obstetris



meningkat berat pada kelahiran perabdominam, angka morbiditas ibu meningkat dua kali lipat pada kelahiran



perabdominam



daripada



pervaginam.



Karena, prosedur bedah akan meningkatkan beban jantung berupa stress karena dioperasi, infeksi, anestesi yang lama, perdarahan yang banyak, serta risiko tromboemboli yang makin meningkat.  Perawatan Postpartum Beban kerja jantung yang lebih berat pada masa hamil masih dapat dijumpai pada fase dini masa nifas. Pada wanita normal yang tidak memperlihatkan tandatanda distres jantung selama kehamilan, persalinan maupun kelahiran masih tetap dapat mengalami dekompensasi postpartum. Maka dari itu, selama masa nifas diperlukan perawatan yang cermat.



E.



ANEMIA 1.



Definisi. Anemia adalah penurunan jumlah sel darah merah atau penurunan konsentrasi hemoglobin di dalam sirkulasi darah. Definisi anemia yang diterima secara umum adalah kadar Hb kurang dari 12,0 gram per 100 mililiter (12 gram/desiliter) untuk wanita tidak hamil dan kurang dari 10,0 gram per 100 mililiter (10 gram/desiliter) untuk wanita hamil. (Varney, 2009).



19



Anemia adalah defisiensi pada kuantitas dan kualitas sel darah merah, yang mengakibatkan penurunan kapasitas pembawa-oksigen darah. (Walsh, 2010). Pembagian



anemia berdasarkan pemeriksaan



hemoglobin



menurut Manuaba (2012), adalah : a. Tidak anemia



: Hb 11,00 gr%



b. Anemia ringan



: Hb 9,00-10,00 gr%



c. Anemia sedang



: Hb 7,00-8,00 gr%



d. Anemia berat



: Hb < 7,00 gr%



Menurut Setiawan Y (2013), anemia dalam kehamilan dapat dibagi menjadi : a. Anemia Zat Besi Anemia dalam kehamilan yang paling sering ialah anemia akibat kekurangan zat besi. Kekurangan ini disebabkan karena kurang masuknya unsur zat besi dalam makanan, gangguan reabsorbsi, dan penggunaan terlalu banyaknya zat besi. b. Anemia Megaloblastik/ Anemia pernisiosa Anemia megaloblastik dalam kehamilan disebabkan karena defisiensi asam folat. c. Anemia Hipoplastik Anemia pada wanita hamil yang disebabkan karena sumsum tulang kurang mampu membuat sel-sel darah merah. Dimana etiologinya belum diketahui dengan pasti kecuali sepsis, sinar rontgen, racun dan obat-obatan. d. Anemia Hemolitik. Anemia yang disebabkan karena penghancuran sel darah merah berlangsung lebih cepat, yaitu penyakit malaria. 2.



Epidemiologi. Berdasarkan data SKRT tahun 1995 dan 2001, anemia pada ibu hamil sempat mengalami penurunan dari 50,9% menjadi 40,1% (Amiruddin, 2007). Angka kejadian anemia di Indonesia semakin tinggi dikarenakan penanganan anemia dilakukan ketika ibu hamil



20



bukan dimulai sebelum kehamilan. Berdasarkan profil kesehatan tahun 2010 didapatkan data bahwa cakupan pelayanan K4 meningkat dari 80,26% (tahun 2007) menjadi 86,04% (tahun 2008), namun cakupan pemberian tablet Fe kepada ibu hamil menurun dari 66,03% (tahun 2007) menjadi 48,14% (Depkes, 2008). Frekuensi timbulnya anemia dalam kehamilan tergantung pada suplementasi besi. Taylor dkk melaporkan rata-rata kadar hemoglobin sebesar 12,7 g/dl pada wanita yang mengkonsumsi suplemen besi sementara rata-rata hemoglobin sebesar 11,2 g/dl pada wanita yang tidak mengkonsumsi suplemen. 3.



Etiologi. Menurut



Mochtar



(2011),



disebutkan



bahwa



penyebab



terjadinya anemia adalah : a. Kurang Gizi (Mal Nutrisi). Disebabkan karena kurang nutrisi kemungkinan menderita anemia. b. Kurang Zat Besi dalam diet. Diet berpantang telur, daging, hati atau ikan dapat membuka kemungkinan menderita anemia karena diet. c. Mal Absorbsi. Penderita gangguan penyerapan zat besi dalam usus dapat menderita anemia. Bisa terjadi karena gangguan pencernaan atau dikonsumsinya substansi penghambat seperti kopi, teh atau serat makanan tertentu tanpa asupan zat besi yang cukup. d. Kehilangan banyak darah. Semakin sering seorang anemia mengalami kehamilan dan melahirkan akan semakin banyak kehilangan zat besi dan akan menjadi anemia. Jika cadangan zat besi minimal, maka setiap kehamian akan menguras persediaan zat besi tubuh dan akan menimbulkan anemia pada kehamilan berikutnya. e. Penyakit-Penyakit Kronis Penyakit-penyakit kronis seperti : TBC Paru, Cacing usus, dan Malaria dapat menyebabkan anemia.



21



4.



Faktor resiko. a. Sering muntah karena morning sickness. b. Tidak mendapatkan cukup zat besi dari makanan mereka dan vitamin prenatal. c. Vegetarian yang ketat, sehingga mereka beresilo lebih besar mengalami



kekurangan



vitamin



B12.



(http://www.hamilmaksimal.com/anemia-pada-Ibu -hamil : 2019) 5.



Tanda dan gejala. a. Peningkatan kecepatan denyut jantung karena tubuh berusaha memberi oksigen lebih banyak ke jaringan. b. Peningkatan



kecepatan



pernafasan



karena



tubuh



berusaha



menyediakan lebih banyak oksigen pada darah c. Pusing akibat kurangnya darah ke otak d. Rasa cepat lelah karena meningkatnya oksigenasi berbagai organ termasuk otot - otot jantung dan rangka. e. Kulit pucat karena berkurangnya oksigenasi f. Mual akibat penurunan aliran darah saluran cerna dan susunan saraf pusat (Wasnidar, 2010). 6.



Pemeriksaan/penatalaksanaan. a. Pemeriksaan.  Jumlah Hb lebih rendah dari normal ( 1 2 – 1 4 g/dl )  Kadar Ht menurun ( normal 37% – 41 %)  Peningkatan bilirubin total ( pada anemia hemolitik )  Terlihat retikulositosis dan sferositosis pada apusan darah tepi.  Terdapat pansitopenia, sumsum tulang kosong diganti lemak (pada anemia aplastik). c. Penatalaksanaan Menurut Setiawan Y (2013), dijelaskan bahwa pencegahan dan terapi anemia pada kehamilan berdasarkan klasifikasi anemia adalah sebagai berikut:  Anemia Zat Besi Bagi Wanita Hamil



22



Saat hamil zat besi dibutuhkan lebih banyak daripada saat tidak hamil. Pada kehamilan memerlukan tambahan zat besi untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan membentuk sel darah merah janin dan plasenta, kebutuhan zat besi pada setiap trimester berbeda. Terutama pada trimester kedua dan ketiga wanita hamil memerlukan zat besi dalam jumlah banyak, oleh karena itu pada trimester kedua dan ketiga harus mendapatkan tambahan zat besi.  Anemia Megaloblastik Pencegahannya adalah apabila pemberian zat besi tidak berhasil maka ditambah dengan asam folat, adapun terapinya adalah asam folat 15-30 mg/hari, vitamin B12 1,25 mg/hari, sulfas ferrosus 500 mg/hari, pada kasus berat dan pengobatan per oral lambat sehingga dapat diberikan transfusi darah.  Anemia Hipoplastik Anemia hipoplastik ini dianggap komplikasi kehamilan dimana pengobatan adalah tranfusi darah.  Anemia Hemolitik Pengobatan adalah tranfusi darah.  Anemia Lain Dengan pemeriksaan darah dilakukan minimal dua kali selama kehamilan yaitu pada trimester I dan III. Dengan pertimbangan bahwa sebagian besar ibu hamil mengalami anemia, maka dilakukan pemberian tablet besi sebanyak 90 tablet pada ibu hamil di Puskesmas, artinya ibu hamil setiap hari mengkonsumsi 1 tablet besi.



23



DAFTAR PUSTAKA https://www.honestdocs.id/hiperemesis-gravidarum : 2019 OsgoodND, Roland FD, Winfried KG. The inter-and intragenerational impact of gestasional diabetes on the epidemic of type 2 diabetes.American J of Public Health. 2011;101(1):173-9. http://id.scribd.com/doc/27499460/HIPEREMESIS-GRAVIDARUM http://makalahcyber.blogspot.com/2012/07/askeb-hiperemesis-gravidarum.html http://www.google.co.id/#hl=id&output=search&sclient=psyab&q=+Hiperemesis+Gravidarum+&oq=+Hiperemesis+Gravidarum+&g s_l=hp.3...4004.6873.1.7759.4.3.1.0.0.1.1376.2609.72.2.0...0.0...1c.1.wyld0Ht1uGg&psj=1&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.&fp =97e91e2f68670f21&bpcl=38897761&biw=1366&bih=602 http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=+Hiperemesis+Gravidarum+&source =web&cd=3&cad=rja&ved=0CCoQFjAC&url=http%3A%2F%2Fikextx. weebly.com%2Fuploads%2F4%2F6%2F9%2F3%2F469349%2Fhiperem esis_gravidarum.ppt&ei=rhasUOzjOOWemQXYICgBg&usg=AFQjCNF6GLEjDHOp002EFxDreO7AbMmwdQ



24