Kritik Arsitektur - Miftahul Auliza (1704104010103) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

23-03-2020 MIFTAHUL AULIZA 1704104010103 KRIITIK ARSITEKTUR



FILM “PARASITE” Parasite merupakan film Korea Selatan pertama yang mendapatkan penghargaan Palme d’Or (Penghargaan tertinggi) pada Festival Film Cannes 2019. Terlebih, 'Parasite' berhasil menyambar empat penghargaan dari ajang Oscar 2020. Disutradarai oleh sutradara kenamaan dan sering juga disebut seorang auteur yaitu Bong Joon-ho, Awalnya menduga film ini akan menjadi sebuah film komedi ringan bertema con-artist, namun dari pertengahan hingga akhir genre film berubah cepat dan tanpa peringatan apapun dengan berbagai kejadian-kejadian yang akan membuat penonton terhenyak, tegang dan melongo atau unpredictable. Berbagai karakter tokoh tidak ada yang dapat dikatakan protagonis maupun antagonis. Terlihat orang-orang miskin menghalalkan berbagai cara untuk menjadi orang kaya dan bagaimana orang kaya berpandangan negatif dan merendahkan harkat serta derajat orang yang tingkat ekonominya rendah. Dibalik itu semua, menampilkan orang kaya yang sulit merawat anak mereka. Terlihat jelas rumah keluarga kaya yang benar-benar diatas layaknya di bukit, kemudian rumah keluarga miskin itu terpisah dengan berbagai tangga-tangga yang seakan tidak ada habisnya sampai ke dasar, bahkan memang benar-benar di bantaran sungai. Lewat film “Parasite”, Bong Joon-ho mengulik kesenjangan ekonomi antara keluarga kaya dan miskin yang tinggal di Seoul. Salah satu yang menarik perhatian adalah dalam hal tempat tinggal. Berbeda dengan keluarga kaya yang tinggal di rumah mewah dengan halaman luas, keluarga Kim yang miskin tinggal di sebuah apartemen bawah tanah. Dalam film, terlihat jika apartemen tersebut memiliki kondisi yang kumuh dan minim pencahayaan serta sirkulasi. Bahkan, tanaman sekalipun tidak dapat bertahan lama di dalam apartemen bawah tanah tersebut. Dari BBC, Apartemen atau banjiha tersebut nyata adanya yang menunjukkan sisi gelap Seoul seperti: orang di sekitar dapat mengintip ke dalam apartemen lewat jendela, merokok atau meludah tepat di luar banjiha. Pemandangan di luar jendela sangat mengenaskan karena sering ada pemabuk yang kencing sembarangan dan menimbulkan bau busuk, membiarkan fogging memasuki area mereka karena gratis dan bisa membasmi serangga karena pekerjaan meraka kelas bawah yaitu melipat kotak pizza. Kamar mandi di banjiha juga sempit, bahkan para pemain harus berdiri dengan kaki



dilebarkan saat ke kamar mandi agar tidak terantuk. Namun, terlihat seiring berjalannya waktu, terbiasa karena sudah hafal bagian-bagian dari banjiha tempat tinggalnya. Setelah kita saksikan, terlihat Kim Ki-Woo yang punya hidup susah bersama ayah, ibu dan adik perempuannya di basement gedung. Mau mendapat koneksi internet saja mencuri-curi jaringan orang lain, kecoa berkeliaran di sekitar mereka. Tempat kecil di bawah tanah tersebut ternyata produk dari konflik antara Korea Utara dan Selatan pada 1968. Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa banjiha telah menjadi semacam simbol kemiskinan di Korea Selatan dan yang memiliki rumah atau mobil adalah standar kesuksesan. Dalam film “Parasite” sendiri, keluarga Kim memiliki bau yang khas karena tinggal di ruang bawah tanah. Inilah yang membuat mereka dicap sebagai orang miskin. Demi mengatasi stigma tersebut, Park Young-jun mendekorasi ulang banjiha miliknya. Namun, dirinya dan sang kekasih menekankan bahwa mereka juga tak mau hidup selamanya di banjiha. Berbeda dengan keluarga kaya, begitu memandang jendela rumah, mereka menemukan keindahan taman yang benar-benar hijau. Disaat hujan deras, keluarga kaya aman dan tidak terusik. Pencahayaan yang cukup, sirkulasi ruangan yang luas, serta tatanan dekorasi pun terlihat elegan dan minimalis Quotes Menarik dari Film ini adalah, “Kau tahu rencana apa yang tidak akan gagal? Tidak perlu ada rencana. Tanpa rencana tidak akan salah. Tidak perlu merencanakan sesuatu,” kata Tuan Kim, karena memedulikan orang lain dan sebaiknya hidup dengan rencana, karena dengan rencana hidup akan termotivasi lebih baik dan tidak menjadi parasit bagi orang lain. 



23-03-2020 MIFTAHUL AULIZA 1704104010103 KRIITIK ARSITEKTUR



FILM “ROOM” Room adalah film drama independen tahun 2015 yang disutradarai oleh Lenny Abrahamson dan diproduseri oleh Ed Guiney dan David Gross. Naskah film ini ditulis oleh Emma Donoghue berdasarkan novel Room karya Emma Donoghue. Film ini dibintangi Brie Larson, Jacob Tremblay, Joan Allen, Sean Bridgers dan William H. Macy. Film Room mendapatkan review positif dari para kritikus. Berdasarkan Rotten Tomatoes, film ini memiliki rating 94%, 286 ulasan, dengan rating rata-rata 8,5/10. Berdasarkan Metacritic, film ini mendapatkan skor 86 dari 100, berdasarkan 43 kritik, Plato menulis sebuah alegori yang terkenal dengan judul Allegory of the Cave. Dalam tulisan Plato itu, Socrates dan Glaucon membicarakan tentang beberapa orang yang sedari kecil terperangkap di dalam gua, mereka hanya mengenal benda dari bayangan yang terpantul di dinding batu, tanpa pernah melihat sumbernya. Plot twist cerita tersebut datang ketika salah satu dari mereka bebas dan terkagum-kagum dengan dunia luar, kembali ke dalam gua untuk mengajak teman-teman nya. Film Room yang diadaptasi dari karangan novelis Inggris, Emma Donoghue, versi modern dari alegori Plato tersebut. Sajian drama Room dibagi menjadi TIGA BAGIAN SESUAI BABAKNYA. Yang paling mirip Allegory of the Cave adalah yang babak pertama, saat kita melihat kedua tokoh ibu dan anak itu di dalam rumah mereka. Rumah yang tempat tidur, dapur, dan toiletnya menyatu. Si kecil Jack tidak tahu ada dunia yang lebih luas dibalik ruangan yang selama ini jadi tempat tinggalnya bersama Ma. Mereka tidak pernah keluar dari kamar segiempat tersebut. Peran Ma ekuivalen dengan orang yang pertama keluar dari gua dalam alegori Plato.  Pembuka filmnya adalah narasi Jack yang menceritakan ihwal kelahirannya. Tujuh tahun lalu, Nick menculik Joy dan menghamilinya. Joy disekap di ruang tanpa jendela itu. Umur Jack kini hampir lima tahun. Berkali-kali Joy berupaya kabur dengan anaknya, namun gagal.  Joy (Brie Larson) dan anaknya, Jack (Jacob Tremblay), bertahun-tahun tinggal di ruang pengap dengan pintu yang hanya bisa dibuka dengan kode kombinasi angka. Yang tahu kode ini hanya Nick (Sean Bridgers). Jack dan Ma, tinggal di sebuah kamar kecil tanpa jendela seumur hidup Jack. Ada satu akses pintu terkunci dan tidak bisa dibuka tanpa kombinasi angka yang tepat. Jack adalah anak



berusia 5 tahun yang cerdas dan tinggal di sebuah ruangan sempit bersama ibunya. Mereka tidak pernah keluar. Dunia yang diketahuinya hanya sebatas ukuran kamar yang juga dijadikan sebagai tempat tidur, memasak, makan, belajar, mandi, dan bermain. Manusia yang dia kenal hanya Ma dan Old Nick – lelaki misterius yang beberapa hari sekali datang membawakan makanan untuk mereka. Keluar dari Room, Jack menghadapi bahaya lebih besar. Karena 5 tahun tidak pernah menghirup udara di luar, Jack rentan terkena virus. Ma juga terlihat sangat aneh, bahagia sebentar lalu menjadi sedih, dan melukai dirinya sendiri. Sinematografi yang menghadirkan abstraknya konsep ruangan yang mempengaruhi psikologis seseorang. Membawahi isu seputar kemanusiaan yang diceritakan dalam ruang yang filosofis dan menyuruh kita mengeset ulang pandangan kita terhadap dunia luar secara emosional.



23-03-2020 MIFTAHUL AULIZA 1704104010103 KRIITIK ARSITEKTUR



GUA PLATO Plato (428-348 SM) adalah filsuf Yunani Kuno yang paling terkenal yang melalui gagasannya membentuk fondasi peradaban Barat. Mulai dari bidang pemerintahan, etika, hingga ilmu logika, semua tak lepas dari pengaruh pemikirannya. Plato sering menggunakan analogi dan ilustrasi dalam menjelaskan ide serta inpirasinya dengan tujuan agar lebih mudah memahaminya. Salah satu ilustrasi Plato yang paling terkenal adalah “Perumpamaan Gua” (Allegory of The Cave). Lewat ilustrasi tersebut Plato memperkenalkan konsep seperti realitas dan transendensi. Perumpamaan Gua versi Plato melibatkan dialog yang cukup intens: membayangkan sekelompok orang yang ditawan serta dirantai dalam gua sejak lahir. Tangan, kepala, dan kaki diikat erat, dan seumur hidup cuma bisa menatap dinding di depan mereka. Di belakang terdapat api besar. Apabila ada orang atau binatang lewat, maka bayangannya terpantul ke dinding di depan para tawanan. Setiap kali orang atau binatang itu bersuara, suaranya akan bergema sampai ke telinga para tawanan. Mereka tidak menyadari bahwa semua itu sekadar pantulan dari benda di belakang mereka. Manusia menyangka kenyataan berdasarkan persepsi dan menganggap hal itu realititas. Meskipun begitu, ia akan beradaptasi dan akan menyadari kenyataan yang lebih tinggi sekadar refleksi. Kenyataan Tertinggi bersifat transenden; terpisah dari dunia dan mustahil dipersepsi langsung. Hanya citranya saja yang terpancar di dunia kita seperti “lingkaran sempurna” dianggap Plato sebagai contoh kehadiran Forma. “Perumpamaan gua” menjelaskan tentang forma dimana orang terjebak pada persepsi “kenyataan sebenarnya”. Alegori Gua berkisah tentang tawanan yang dibebaskan, berhadapan dengan dunia luar dan mengalami rasa sakit luar biasa, lalu mengalami kebingungan: ternyata ada dunia di luar duadimensi yang selama ini ia tahu, merasakan transendensi. Bagi otaknya yang sederhana, pemandangan di luar gua adalah kenyataan super kompleks yang melampaui akal dan ilmu. Di dalam arsitektur, Plato berpendapat, ruang adalah sesuatu yang dapat terlihat dan teraba, karena memiliki karakter berbeda: berwadah, kasat mata, dan teraba, karena ruang memiliki karakteristik sebagai melingkupi objek yang ada padanya. Dan, keindahan merupakan hal sederhana



melalui warna. Menutut Plato tentang yang indah sebagai sesuatu bersatuan dan berpadu karena keindahan bergantung dari bentuk keindahan luar, yang menyangkut warna dan bentuk. Mengutamakan keindahan dalam bentuk (form), fisik (visual), dan warna luar dari objek desain tersebut. Adapun menurut Plato, semua yang kita amati di dunia aslinya sekadar refleksi kenyataan tertinggi. Bukan kenyataan sebenarnya melainkan sekadar citra. Oleh karena itu amat gegabah jika meyakini apa yang kita persepsi sebagai realitas  seperti apa adanya