Laporan Kasus Akut Sinusitis Maksilaris [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS



SINUSITIS MAKSILARIS AKUT DEKSTRA



DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK MADYA



Oleh: RAHMADANI ALFITRA SANTRI 22004101053 Pembimbing:



dr.H. ERIE TRIJONO, Sp.THT-KL



KEPANITERAAN KLINIK MADYA LABORATORIUM ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK- KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG RSUD MARDI WALUYO KOTA BLITAR 2021



KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahnya, sholawat serta salam yang saya junjungkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita menuju jalan kebenaran sehingga dalam penyelesaian tugas ini kami dapat memilah antara yang baik dan buruk. Saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing pada Laboratorium Ilmu THT-KL yang memberikan bimbingan dalam menempuh pendidikan ini. Tak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak sehingga dalam penyusunan laporan kasus ini dapat terselesaikan. Laporan kasus ini membahas terkait definisi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, dan manajemen penatalaksanaan pada Sinusitis Maksilaris Akut Dekstar . Saya menyadari dalam laporan ini belum sempurna secara keseluruhan oleh karena itu saya dengan tangan terbuka menerima masukan-masukan yang membangun sehingga dapat membantu dalam penyempurnaan dan pengembangan penyelesaian laporan selanjutnya. Demikian pengantar saya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua amin



Blitar, 05 April 2021 Penyusun



Rahmadani Alfitra Santri



i



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1 1.1. 1.2. 1.3. 1.4.



LATAR BELAKANG ............................................................................................. RUMUSAN MASALAH ........................................................................................ TUJUAN ................................................................................................................. MANFAAT .............................................................................................................



1 2 2 2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 3 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 2.8. 2.9.



ANATOMI SINUS PARANASAL ........................................................................ 3 FUNGSI SINUS PARANASAL ............................................................................. 4 DEFINISI ................................................................................................................ 5 ETIOLOGI .............................................................................................................. 5 PATOFISIOLOGI ................................................................................................... 5 MANIFESTASI KLINIS ........................................................................................ 6 DIAGNOSA ............................................................................................................ 7 PENATALAKSANAAN ...................................................................................... 10 KOMPLIKASI ...................................................................................................... 13



BAB III DATA PASIEN .................................................................................................... 14 BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................................. 28 BAB V KESIMPULAN ..................................................................................................... 30 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 31



ii



DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Anatomi Sinus Paranasal .................................................................................. 3 Gambar 2.2 Pembengkakak Pipi Pada Pasien Sinusitis ........................................................ 7 Gambar 2.3 Foto posisi Caldwell ......................................................................................... 8 Gambar 2.5 foto posisi Water’s ............................................................................................ 9 Gambar 2.4 adanya gambaran air fluid level pada sinus maksila ........................................ 9 Gambar 2.6 Foto posisi submentoverteks ............................................................................ 10



iii



BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sinusitis merupakan suatu peradangan yang terjadi pada rongga sinus paranasal. Peradangan dapat diakibatkan adanya infeksi bakteri, virus dan jamur, alergi, maupun masalah autoimun. Sinusitis dibagi menjadi kelompok akut dan kronik, hal ini didasarkan pada lamanya infeksi berlangsung. Secara anatomi, sinus maksilaris, berada di pertengahan antara hidung dan rongga mulut dan merupakan lokasi yang rentan terinvasi oleh organisme patogen lewat ostium sinus maupun lewat rongga mulut.1 Keluhan utama yang dirasakan pasien berupa hidung tersumbat dan disertai dengan adanya nyeri tekan pada pipi dan didapatkan sekret purulen, bisa disertai dengan gejala sistemik seperti demam.2 Sinusitis menjadi salah satu masalah kesehatan dengan angka prevalensi yang meningkat tiap tahunnya di setiap negara. Insiden sinusitis di Amerika Serikat pada tahun 2010 diperkirakan sebesar 14,1 % dari populasi orang dewasa. Menurut American Academy of Otolaringology, kondisi ini menghabiskan langsung dana kesehatan sebesar 3,4 milyar dolar per tahun.3 Data dari Kemenkes RI tahun 2013 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2016 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis.4 Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang kepala sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid,



dan



sinus



sfenoid.



Sinus



maksila disebut juga antrum



High more,



merupakan sinus yang sering terinfeksi, oleh karena merupakan sinus paranasal yang terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia. Dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila. Ostium sinus maksila terletak di meatus medius, disekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat. Sinusitis maksilaris akut dapat disebabkan oleh rhinitis akut, infeksi faring seperti faringitis, adenoiditis, tonsillitis akut, infeksi gigi rahang atas P1, P2, serta Ml, M2, M3 (dentogen).1 1



Sinusitis maksilaris diawali dengan sumbatan ostium sinus akibat proses inflamasi pada mukosa rongga hidung. Proses inflamasi ini akan menyebabkan gangguan aerasi dan drainase sinus. Kejadian sinusitis ini dipermudah oleh factor - faktor predisposisi baik lokal atau sistemik. Sinusitis maksilaris dapat terjadi berulang, namun dapat sembuh sempurna dengan terapi dan penanganan yang baik.1,3



1.2. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi dari sinusitis maksilaris ? 2. Bagaimana penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan dari sinusitis maksilaris ?



1.3. TUJUAN PENULISAN 1. Mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi dari sinusitis maksilaris ? 2. Mengetahui penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan dari sinusitis maksilaris ?



1.4. MANFAAT PENULISAN Meningkatkan pengetahuan penulis mengenai sinusitis maksilaris. Menjadi bahan pembelajaran bagi dokter muda pada kepaniteraan klinik madya bagian ilmu penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala, leher.



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. ANATOMI SINUS PARANASAL Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan sel-sel dari sinus etmoid, sebelah kranial adalah sinus frontal, dan sebelah dorsal adalah sinus sphenoid. Sinus sphenoid terletak tepat di depan klivus dan atap nasofaring. Sinus paranasal juga dilapisi dengan epitel berambut-getar. Lendir yang dibentuk di dalam sinus paranasal dialirkan ke dalam meatus nasalis. Alirannya dimulai dari sinus frontal, sel etmoid anterior, dan sinus maksila kemudian masuk ke meatus-medius. Sedangkan aliran dari sel etmoid posterior dan sinus sfenoid masuk ke meatus superior. Aliran yang menuju ke dalam meatus inferior hanya masuk melalui duktus nasolakrimalis. Secara klinis, bagian yang penting ialah bagian depan-tengah meatus medius yang sempit, yang disebut kompleks ostiomeatal. Daerah ini penting karena hampir semua lubang saluran dari sinus paranasal terdapat di sana. 5



Gambar 2.1 Anatomi Sinus Paranasal Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai dari pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid sudah ada sejak saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero



3



superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.5 2.1.1. Sinus Maksilaris Sinus maksila merupakan sinus pertama yang muncul (7-10 minggu masa janin). Sinus maksila adalah sinus paranasal yang terbesar dan bervolume 6 - 8 ml saat lahir.6 Proses terbentuknya sinus maksila berasal dari ekspansi infundibulum etmoid ke dalam maksila hingga membuat suatu massa. Proses ekspansi tersebut menghasilkan suatu rongga kecil pada saat lahir yang berukuran 7 x 4 x 4 mm. Pertumbuhan dan perkembangannya terus berlanjut pada masa anak-anak kira-kira 2 mm secara vertikal dan 3 mm anteroposterior. Proses perkembangan tersebut mulai menurun pada usia 7 tahun, diikuti fase pertumbuhan kedua berikutnya. Pada usia 12 tahun, pneumatisasi mencapai bagian lateral, yaitu di bawah bagian lateral dinding orbita pada sisipan prosesus zigomatikus, secara inferior ke bagian dasar hidung dan setelah pertumbuhan gigi (dentisi) kedua di bawah dasar hidung. Setelah proses dentisi, sinus hanya akan membesar secara perlahan-lahan dan mencapai ukuran maksimum pada usia 17 hingga 18 tahun. Ukuran standar volume sinus maksila pada orang dewasa adalah sekitar 15 cm2 dan secara kasar bentuknya menyerupai piramid. Dasar piramid dibentuk oleh dinding medial sinus maksilaris dengan sisi apeks piramid ke arah resesus zigomatikus.7 Anatomi sinus maksila berdasarkan segi klinis adalah bahwa dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan terkadang gigi taring (C) dan gigi moral M3. Selanjutnya sinusitis maksilaris juga dapat menimbulkan komplikasi orbita. Selain itu, letak ostium sinus maksila yang lebih tinggi dari dasar sinus menyebabkan drenase hanya tergantung dari gerak silia. Drenase yang harus melalui infundibulum yang sempit juga dapat menyebabkan sinusitis jika di daerah tersebut mengalami inflamasi. Suplai darah terbanyak melalui cabang dari arteri maksilaris. Inervasi mukosa sinus melalui cabang dari nervus maksilaris.6 2.2. FUNGSI SINUS PARANASAL Menurut beberapa ahli, sinus paranasal memiliki beberapa fungsi fisiologis namun sampai saat ini belum ada persetujuan pendapat mengenai hal tersebut. Berikut merupakan beberapa fungsi dari sinus paranasal antara lain sebagai pengatur kondisi udara, sebagai penahan suhu, membantu keseimbangan kepala, membantu resonansi suara, peredam perubahan tekanan udara dan membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung. 6 4



2.3. DEFINISI Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus paranasalis dapat berupa sinus maksilaris, etmoid, frontal maupun sphenoid yang terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur.1 pada beberapa kasus yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maksilari dan sinusitis etmoid, sedangkan kasus sinusitis frontal dan sphenoid jarang ditemukan. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan pembentukan cairan atau kerusakan tulang di bawahnya., terutama pada daerah fossa kanina dan menyebabkan sekret purulen, nafas bau, post nasal drip.5 sinusitis maksilaris merupakan peradangan yang terjadi pada sinus maksilaris, yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri pada daerah belakang dan atas mata yang berhubungan denganletak sinus maksilaris.1



2.4. ETIOLOGI sinusitis dapat dibagi menjadi tipe akut (kurang dari 4 minggu), subakut (4 sampai 8 minggu) dan kronis (lebih dari 8 minggu). Sinusitis akut terjadi beberapa hari sampai beberapa minggu dan terdapat tanda-tanda radang akut, sinusitis subakut terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan dimana tanda-tanda radang akut sudah reda dan perubahan histologik mukosa sinus masih reversibel, dan dikatakan kronis bila durasi penyakit beberapa bulan sampai beberapa tahun. Berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi tipe rinogenik dan dentogen, tipe rinogenik merupakan segala sesuatu yang dapat menyebabkan hidung tersumbat dan menyebabkan sinusitis, sedangkan tipe dentogen penyebabnya adalah kelainan gigi dan yang tersering adalah infeksi pada geraham atas. 8 Sinusitis maksilaris disebabkan oleh beberapa faktor pejamu yaitu genetik, kondisi kongenital, alergi dan imun, abnormalitas anatomi. Faktor lingkungan yaitu infeksi bakteri, trauma, medikamentosa, tindakan bedah. Terjadinya sinusitis dapat merupakan perluasan infeksi dari hidung (rinogen), gigi dan gusi (dentogen), faring, tonsil serta penyebaran hematogen walaupun jarang. Sinusitis juga dapat terjadi akibat trauma langsung, barotrauma, berenang atau menyelam. Faktor predisposisi yang mempermudah terjadinya sinusitis adalah kelainan anatomi hidung, hipertrofi konka, polip hidung, dan rinitis alergi.8 2.5. PATOFISIOLOGI Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) didalam kompleks osteo-meatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel 5



respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba sertamengandungi zat- zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan. 6,3 Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus.6 Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak. Pada pulpa yang terbuka, kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis maksila. 6 Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis.



2.6. MANIFESTASI KLINIS gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala local. Gejala sistemik ialah demam dan rasa lesu. Gejala local pada hidung terdapat secret kental yng kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat, rasa nyeri didaerah infraorbital dan kadang- kadang menyebar ke alveolar, sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan didepan telinga. Penciuman terganggu da nada perasaan penuh di pipi waktu



6



membungkuk kedepan. Terdapat perasaan sakit kepala waktu bangun tidur dan dapat menghilang hanya bila sumbatan sewaktu aring dihilangkan. 4 gejala objektif pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak pembengkakan di pipi dan kelopak mata mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis etmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).



Gambar 2.2 Pembengkakak Pipi Pada Pasien Sinusitis Anak-anak memiliki sedikit perbedaan cenderung gejala disertai dengan demam. Kotoran hidung awalnya mungkin berair, kemudian berubah menjadi bernanah. Infeksi saluran pernapasan sinusitis bakterial akut. Gejala yang parah lebih menunjukkan penyebab bakteri termasuk demam tinggi lebih dari 39 C disertai dengan cairan hidung bernanah atau nyeri wajah selama tiga sampai empat hari berturut-turut pada awal penyakit. Sinusitis disebabkan virus biasanya sembuh setelah tiga sampai lima hari.3



2.7. DIAGNOSA 2.7.1. Pemeriksaan Fisik Untuk melihat tanda - tanda klinis dapat dilakukan pemeriksaan ; a. Rhinoskopi anterior, tampak mukosa hidung hiperemis dan edema, terlihat pus pada meatus nasi media. b. Rhinoskopi posterior, tampak sekret kental di nasofaring (post nasal drip) c. Transiluminasi, Pemeriksaan transiluminasi akan memberikan informasi objektif atas kondisi



sinus



maksilaris



dan



frontalis.



Pada sinus normal tampak



gambaran bulan sabit yang terang di bawah mata, dan bila ada sinusitis, sinus yang sakit 7



akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna apabila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram dibandingkan sisi yang normal. Kriteria diagnostik untuk sinusitis adalah pasien mengalami paling sedikit dua gejala mayor atau satu mayor ditambah dua atau lebih gejala minor. Kriteria pada anak-anak serupa kecuali bahwa ada lebih banyak penekanan pada sekret hidung. Mayor



Minor



Sakit dan nyeri tekan di wajah



Sakit kepala



Pembengkakan diwajah



Fatique



Obstruksi hidung



Halitosis



Secret dari hidung dan postnasal



Sakit gigi



Hiposmia / anosmia



Batuk



demam



Nyeri atau rasa tertekan / penuh pada telinga



2.7.2. Pemeriksaan Penunjang A. Foto kepala posisi Caldwell



Gambar 2.3 Foto posisi Caldwell Posisi kepala meghadap film, bidang midsagital kepala tegak lurus pada film. Idealnya pada film tampak pyramid tulang petrosum diproyeksi pada 1/3 bawah orbita atau pada dasar orbita. Hal ini dapat tercapai apabila orbito-meatal line tegak lurus pada film dan membentuk 150 ̊ kaudal. 10



8



B. Foto kepala lateral



Gambar 2.4 adanya gambaran air fluid level pada sinus maksila Dilakukan dengan film terletak di sebelah lateral dengan sentrasi di luar kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksilaris berhimpit satu sama lain.10 C. Foto kepala posisi Water’s



Gambar 2.5 foto posisi Waters Foto ini dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap film, garis orbito meatus membentuk sudut 37 ̊ dengan film. Pada foto ini, secara ideal piramid tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maksilaris sehingga kedua sinus maksilaris dapat dievaluasi sepenuhnya. Foto Water’s umumnya dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan dapat menilai dinding posterior sinus sfenoid dengan baik. 10



9



D. Foto kepala posisi Submentoverteks



Gambar 2.6 Foto posisi submentoverteks Pemeriksaan foto polos kepala air fluid level merupakan gambaran yang paling umum pada sinusitis bakteri akut dan umumnya tidak terlihat dalam bentuk lain dari sinusitis. Pemeriksaan ini paling baik dan paling utama untuk mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur-unsur tulang dan jaringan lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus paranasal, kelainan-kelainan jaringan lunak, erosi tulang kadang-kadang sulit dievaluasi. Pemeriksaan ini dari sudut biaya cukup ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi yang minimal.10 Pemeriksaan CT Scan CT-scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus 2.8. PENATALAKSANAAN Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, dimana antibiotik berfungsi untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilinklavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik 10



diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pemberian antibiotik pada penderita sinusitis kronik harus disesuaikan. Pemberian antihistamin pada penderita tidak rutin diberikan, karena antihistamin memiliki sifat antikolinergik yang dapat menyebabkan sekret menjadi lebih kental. Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat dan jika penderita menderita alergi berat maka imunoterapi harus dipertimbangkan. 1.



Istirahat



2.



Antibiotika Antibiotika yang dipilih adalah antibiotika spektrum luas yang relatif murah dan aman. Lama pemberian antibiotika yang disarankan oleh beberapa kepustakaan juga bervariasi tergantung kondisi penderita. Pada kasus akut, antibiotika diberikan selama 5-7 hari sedangkan pada kasus kronik diberikan selama 2 minggu hingga bebas gejala selama 7 hari. Antibiotika yang dapat diberikan antara lain : a. Sol Efedrin 1-2 % sebagai tetes hidung b. Sol Oksimetasolin HCL 0,05% (semprot hidung untuk dewasa) c. Oksimetasolin HCL 0,025% (semprot hidung untuk anak-anak) d. Tablet pseudoefedrin 3 kali 60 mg (dewasa)



3. Dekongestan lokal (tetes hidung) atau sistemik (oral) merupakan Alpha adrenergik agonis menyebabkan vasokontriksi, sehingga memperlancar drainase sinus. a. Sol Efedrin 1-2 % sebagai tetes hidung b. Sol Oksimetasolin HCL 0,05% (semprot hidung untuk dewasa) c. Oksimetasolin HCL 0,025% (semprot hidung untuk anak-anak) d. Tablet pseudoefedrin 3 kali 60 mg (dewasa) 4. Analgetika dan antipiretik parasetamol atau metampiron 5. Antihistamin Antagonis histamine H1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H1 sel target. Bekerja dengan menghambat hipersekresi kelenjar mukosa dan sel goblet dan menghambat peningkatan permeabilitas kapiler sehingga mencegah rinore dan sebagai vasokontriksi sinusoid untuk mencegah hidung tersumbat. Antihistamin berguna untuk mengurangi obstruksi KOM pada pasien alergi yang menderita sinusitis akut. Terapi 11



antihistamin ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada pasien dengan sinusitis akut, karena dapat menimbulkan komplikasi melalui efeknya yang mengentalkan dan mengumpulkan sekresi sinonasal. 6. Mukolitik Secara teori, mukolitik seperti bromehexin atau ambroxol hidroklorida memiliki kelebihan dalam mengurangi sekresi dan memperbaiki drainase. Namun tidak biasa digunakan dalam praktek klinis untuk mengobati sinusitis akut. 7. Tindakan operatif a. Pungsi dan Irigasi sinus maksilaris (antrum wash out) Tujuan dilakukan Irigasi antrum adalah 1) sebagai tindakan diagnostik untuk memastikan ada tidaknya sekret pada sinus maksilaris 2) untuk mengeluarkan sekret yang terkumpul didalam rongga sinus maksilaris, 3) memperbaiki aliran mukosiliar 4) jika dalam waktu 10 hari, penderita tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan dengan terapi konservatif, atau telah didapatkan adanya air fluid level dalam antrum 5) untuk memperoleh material yang dapat digunakan untuk kultur dan tes sensitifitas. b. Nasal Antrostomy. Indikasi tindakan ini adalah infeksi kronis,infeksi yang rekuren dan adanya oklusi ostium sinus. Tindakan ini biasanya dilakukan melalui meatus inferior,prosedur ini juga dikenal dengan naso antral window dan dapat dilakukan secara lokal maupun general anestesi. c. Operasi Caldwell-Luc. Prinsip dari operasi ini yaitu membuka dinding depan sinus maksila pada daerah fosa kanina (transbuccal antrostomy),dan membuat nasoantral window melalui meatus inferior. Dengan cara ini memungkinkan visualisasi yang lebih baik ke dalam sinus maksila,sehingga penilaian penyakit di antrum dapat lebih baik. d. Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS). Konsep endoskopi untuk diagnosis dan terapi operatif dari sinusitis rekuren. Indikasi tindakan FESS ini meliputi : 1) Sinusitis akut rekuren atau kronis pada semua sinus paranasalis 12



2) Poliposis nasi 3) Mukokel pada sinus paranasalis 4) Mikosis pada semua sinus paranasalis 5) Benda asing 6) Osteoma yang kecil 7) Fistula liquorserebrospinalis dan meningoensefalokel 2.9. KOMPLIKASI 1)



Komplikasi Orbita 9 Sinus etmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tesering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi etmoiditis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat pula menimbulkan infeksi isi orbita.



2) Mukokel Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus. Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. 3) Komplikasi Intrakranial Meningitis Akut, abses dura, dan abses otak 4) Osteomielitis dan Abses Subperiosteal penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri dan nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam, dan menggigil. Pembengkakan di atas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dalam hal mana terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup. Timbul fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri tekan.



13



BAB III DATA PASIEN N I NO.



NAMA KANDIDAT : RAHMADANI ALFITRA SANTRI



KL



L



TANGGAL UJIAN : APRIL 2021



/L



A I



I.



ACTUAL MARK / PENILAIAN KOMPETENSI 1. Kemampuan Anamnesis : A. Identitas : Nama, Umur, Alamat, Pekerjaan, dst. - Nama



: Nn. Siti Munawaroh



- Usia



: 20 tahun



- Alamat



: Kerjen, Serengat, Kab. Blitar, Jawa Timur



- Pekerjaan : Swasta - Suku



: Jawa



- Agama



: Islam



- Status



: Belum Menikah



- Pendidikan terakhir : SMK



B. Keluhan Utama : Telinga / Hidung / Tenggorok. - Keluhan Utama : Hidung kanan keluar ingus bercampur darah - RPS : Pasien datang dengan keluhan keluar cairan seperti ingus bercampur darah di hidung sebelah kanan, keluhan dirasakan 2 minggu yang lalu selama 3 hari berturut – turut. Pasien mengaku keluar cairan dengan karakteristik cairan tidak kental disertai adanya darah. Keluhan muncul disaat pasien sering kelelahan saat bekerja. Selain itu pasien mengeluh sering pusing dikepala bagian kanan dan bagian dahi terasa seperti diikat. Tidak ada riwayat sakit yang sama seperti ini sebelumnya. Pasien tidak ada riwayat sakit gigi.



14



Sebelumya pasien belum melakukan pengobatan terhadap keluhan yang dirasakan. Pasien memeriksakan diri ke poli bedah dikarenakan adanya benjolan pada telinga dengan diagnosa lymphadenitis, dan dilakukan rujukan ke poli THT berdasarkan keluhan yang dialami pasien. C. Kronologis Keluhan Lain dari Telinga / Hidung / Tenggorok yang berhubungan. Anamnesis semua keluhan Telinga / Hidung / Tenggorok akan menambah nilai. Pasien mengatakan awalnya cairan keluar pada hidung kanan dan kiri namun lebih banyak pada hidung kanan setelah 3 hari. Saat munculnya keluhan pasien mengaku hidung kanan terasa buntu dan disertai meriang. Pasien mengeluhkan adanya benjolan pada telinga TELINGA : Otorea ka./ki. - / Terus-terus / kadang-kadang - / Pendengaran menurun ka./ki -/Tinnitus ka./ki. - / Nyeri - / Sakit kepala - / Pusing - / Mau jatuh ke ka./ki. - / Muka miring ke ka./ki. - / Panas - / Keluhan lain - / -



HIDUNG Pilek ka./ki. + /Lamanya 3 hari berturut - turut 2 minggu yang lalu Terus menerus/kadang-kadang Buntu ka./ki. + /Lamanya: sampai saat pemeriksaan Terus-menerus / kadang-kadang Sekret encer/kental/tidak bisa keluar 15



Berbau - / Bercampur darah + / Bersin-bersin - / Epistaksis ka/ki : - / -, sisa darah kering -/-. Anosmia -/Sakit kepala +/Sakit di hidung - / Keluhan lain: -/-



TENGGOROK : Sakit menelan lamanya - / sering-sering - / yang terakhir - / Trismus - / Ptialismus - / Panas sering-sering - / yang terakhir - / Sakit kepala - / Rasa ngganjel - / Rasa mukus - / Keluhan lain : - / Ada lendir yang masuk ke tenggorokan (post nasal drip) - / -



LARING : Sakit menelan - / Parau / serak lamanya - / terus-terus / kadang-kadang Sesak - / Rasa ngganjel - / Keluhan lain - / -



16



D. RPD : HT, DM, Gastritis, Alergi Obat tertentu, Alergi Terhadap bahanbahan lain dan riwayat alergi di keluarga. - RPD : disangkal RPK : disangkal - R. Pengobatan : disangkal - R. Alergi : Tidak ada riwayat alergi obat, suhu, debu dan makanan. - R. Kebiasaan : Kebiasaan makan dan minum teratur, pekerjaan sehari-hari pasien Swasta 2. Kemampuan Pemeriksaan Fisik : A. Cuci tangan sebelum memeriksa pasien. B. Vital Signs : Tensi, Nadi, Respiratory Rate, Suhu, Berat Badan dan Tinggi Badan. - Keadaan Umum : Baik, Tampak compos mentis, Kesadaran CM (GCS 456) - Vital Sign : TD (110/70 mmHg), RR (20x/menit), Suhu (360C), dan Nadi (80x/menit). C. Cara Duduk Kandidat Saat Melakukan Pemeriksaan Pada Pasien THT. - Cara duduk yang baik adalah kaki kiri pasien dan kaki kiri pemeriksa berimpitan dan saat melakukan pemeriksaan hanya kepala pasien yang bergerak / menoleh ke kiri dan kanan. D. Pemeriksaan Telinga : Cara Memegang Auricula, Otoscopy, Tes Bisik, Tes Garpu Tala Batas Atas dan Batas Bawah, Rinne Test, Weber Test dan Schwabach Test.



TELINGA : LIANG TELINGA LUAR (Meatus Akustikus Externus) : Bau Busuk : - / Sekret : tak ada / sedikit / banyak Granulasi / polip : tak ada / sedikit / banyak Dinding belakang atas : turun / tidak Fistula : - / Gejala fistula pre aurikularis : 17



Gejala intracranial : Gejala labirin : Saraf fasialis / N.VII : Parese / Paralise : Udem / abses aurikularis : Fistel retro aurikularis : Nyeri tekan : -/MEMBRANA TIMPANI : Intak + / + Retraksi - / Bombans - / Perforasi - / Sekret - / Hiperemi - / -



Tes Telinga Sisi



Kanan



Kiri



9/10



9/10



+ + + + + + +



+ + + + + + +



Schwabach Test



Normal



Normal



Weber Test Lateralisasi ke



Tidak ada Lateralisasi



Tes Bisik 1 meter : Tes Garpu Tala Frekuensi : - 1024 Hz - 952 Hz - 512 Hz - 426 Hz - 341 Hz - 286 Hz Rinne Test



Kesimpulan Test Bisik dan Garpu Tala: - Normal/Tuli konduksi/Prsepsi D -



Normal/Tuli konduksi/Prsepsi S



E. Pemeriksaan Hidung : Rinoskopi Anterior, Nyeri Tekan Fossa Canina (-), Trans-iluminasi sinus paranasalis (Diaphanoscopy) yaitu Sinus Maxillaris dan Sinus Frontalis.



18



HIDUNG Keadaan luar : bentuk normal, deformitas (-), odem (-), hiperemia (-). Rhinoskopia anterior : tidak dilakukan Vestibulum nasi



: sekret - / -, krusta - / -, bisul - / -



Dasar kavum nasi



: sekret - / - (minimal),



Meatus nasi inferior



: dBN/dBN



Konka nasi inferior



: hiperemia - / -



Meatus nasi media



: mukopus purulen (-).



Konka nasi media



: hiperemia - / -



Fisura olfaktoria



: deviasi septum - / -



Septum nasi



:-/-



Benda asing



:-



Fenomena Palatum Molle : -/Rinoskopia posterior



: Tidak dilakukan



Koana



:-



Kauda konka nasi



:-



Nasofaring : - Atap



:-



- Dinding posterior : - Dinding lateral



:-



Ostium tubae



:-



Torus tubarius



:-



Fosa rosenmuller : Transiluminasi : Tidak dilakukan Gejala lain : -



Dorsum nasi : krepitasi (-), deformitas (-)



-



Regio Frontalis : nyeri tekan -/-



Regio Maksilaris: nyeri tekan fossa kanina +/- Pemeriksaan Rhinoscopy anterior dilakukan menggunakan speculum hidung yang di operasikan menggunakan tangan kiri pemeriksa dan tangan kanan mengoperasikan instrument lain yang diperlukan sehingga dapat dievaluasi kelainan yang ada dalam cavum nasi. Hasil: berdasarkan inspeksi luar tidak ditemukan deviasi septum nasi (-), oedema (-), saddle 19



nose (-), lorgnette nose (-), vulnus (-), maserasi bibir (-), eritema sekitar nares anteriores (-), krusta (-), posisi septum nasi baik ditengah. Pemeriksaan dengan Spekulum : Vestibulum tidak tampak kelainan, cavum nasi bagian bawah tidak tampak hiperemi, tanpa pembengkakan konka atau penyempitan meatus nasalis inferior serta sekret (-). Fenomena palatum molle (-), pemeriksaan cavum nasi bagian atas tidak tampak kelainan sekret (-), pus (-), polip (-) dan septum nasi tidak tampak kelainan. - Pemeriksaan Sinus : Nyeri tekan Fossa canina (+ / -), didapatkan fossa canina dekstra terasa nyeri, sedangkan fossa canina kiri tidak adanya rasa nyeri. - pemeriksaan Diaphanoscopy (Trans-illuminasi) : - SM : T/T - SF : T/T F. Pemeriksaan Mulut dan Tenggorok : Cara Pegang dan Masukkan Spatel Lidah, dilakukan sebagai berikut : 1. Tangan kiri memegang spatel, tangan kanan memegang senter 2. Penderita diminta untuk membuka mulut lebar-lebar dan diminta untuk menjulurkan lidah dan mengucapkan “aaa” 3. Penderitan diminta bernapas ( tidak boleh menahan nafas, tidak boleh bernafas keras-keras, tidak boleh ekspirasi atau mengucap “ch” 4. Lidah ditekan dengan spatula ke arah anterior dari tonsil, hingga kelihatan pola bawah tonsil.



TENGGOROK : Bibir



: kering (-), ulkus (-), stomatitis angularis (-)



Mulut



: trismus (-), ptialismus (-), gerakan bibir dan sudut mulut dBN



Gusi



: hiperemia (-), ulkus (-), odem (-)



Lidah



: stomatitis aftosa (-), atrofi (-), tumor/massa (-)



Palatum durum : Torus palatinus (-) Palatum mole



: hiperemia (-), ulkus (-)



Uvula : bentuk : dBN posisi : Selalu menunjuk ke bawah tumor : 20



radang : (-) Arkus anterior : posisi



: dBN



radang : -/tumor



:-



Arkus posterior : posisi



: dBN



radang : -/tumor



:-



Tonsil : Kanan : T 1



Kiri : T 1



Besar : dBN Hiperemia : - / Udem: - / Kripte melebar: - / Detritus: - / Membran: - / Ulkus: - / Tumor: - / Mobilitas: dBN Faring : warna



: merah muda



udem



:-



granula



:-



lateral band



: dBN



secret



:-



reflex muntah



:+



lain – lain



: tidak ditemukan



Kelenjar getah bening : warna kulit



: sama dengan kulit sekitar



soliter / multiple



:-/-



ukuran



:-



konsistensi



:-/-



nyeri tekan



:-/21



mobilitas



:-/-



PEMERIKSAAN LAIN-LAIN : -



Laringoskopi direk (tidak dilakukan)



-



Laringoskopi indirek (Tidak Dilakukan)



Epiglotis ( - ) Aritenoid ( - ) Plica Ventrikularis ( - ) Korda vokalis ( - )



- Pemeriksaan Mulut : Tidak didapatkan kelainan pada bagian mukosa, lidah Subglotik ( - )



maupun ginggiva.



- Pemeriksaan rongga tenggorok tidak tampak kelainan yang bermakna yaitu tonsilla palatina (T1 / T1), arkus faring posterior hiperemis (-), granulagranula multiple (-), lesi (-). G. Cuci Tangan Setelah Memeriksa Pasien.



3. Melakukan Tes / Prosedur Klinik / Interpretasi Data Untuk Menunjang Diagnosis Banding / Diagnosis Utama : A. Audiogram Tidak Dilakukan B. Hasil Laboratorium Pre-Operasi Tidak dilakukan C. Swab tonsil bila diperlukan. Tidak dilakukan D. Foto Roentgen apa saja jika diperlukan. Tidak dilakukan 



Ro. Posisi Water’s untuk melihat sinus maksilaris dan sinus frontalis apakah terjadi peradangan atau tidak.



E. Prick Test ( Untuk Rhinitis Alergi ). Tidak dilakukan. F. Biopsi Nasofaring pada pasien Suspect Carcinoma Nasofaring. Tidak dilakukan. 4. Penegakan Diagnosis / Diagnosis Banding : A. Diagnosis Utama



: Sinusitis Maksilaris Akut Dekstra 22



B. Diagnosis Sekunder : C. Diagnosis Banding : 1. Rhinitis Alergi 2. Rhinitis vasomotor 3. Sinusitis maksilaris dekstra et causa odontogenik 4. Sinusitis maksilaris dekstra kronis



5. Tatalaksana Non-Farmakologis / Tindakan : (Uraian Operasi Tekniknya / Opteknya). Irigasi sinus maksilaris indikasi adanya air fluid level pada foto water’s 



Pasien duduk di kursi pemeriksaan kemudian dipasang schort







Tampon lidokain dicabut dari lubang hidung kemudian disemprotkan xylocain spray







Trocar dimasukkan kedalam sinus maksilaris melalui lubang hidung dibawah konka inferior yang sakit, setelah masuk trocar dicabut dan kanul tetap didalam







Sambungkan kanul dengan selang penghubung dengan blass spuit steril







Dilakukan irigasi dengan aquadest hingga didapatkan cairan bersih







Irigasi yang terakhir dengan menggunakan cairan betadin sebagai antibiotic pada sinus







Kemudian udara disemprotkan disinus untuk memastikan tidak ada cairan yang tertinggal







Kanul dapat dilepaskan dari sinus







Hidung pasien dibersihkan hingga tidak ada secret







Kemudian hidung pasien yang sakit dilakukan pemasangan tampon



23



L 6. Tatalaksana Farmakologis : tulis 5 resep rasional dengan lengkap dan benar meliputi: A. Tepat Indikasi. B. Tepat Dosis ( mg, gr, cc ). C. Tepat Sediaan ( untuk berapa hari ). D. Tepat Cara Pemberian ( Cara minum sebelum / sesudah makan, cara oles salep, cara pemberian tetes telinga / hidung) dan E. Tepat Harga ( tulis resep generik bila ada resep generiknya ). Disingkat : I DO SEDIA CA-HAR - Terapi Farmakologis dr. Rahmadani Alfitra Santri SIP 22004101053 Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang Alamat Praktik : Jl. Batam No.1



Blitar, 29 Maret 2021 R/



Amoxicilin tab 500 mg tab S 3dd tab 1 po. pc



No. XII



R/



Demacolin tab S 3 dd tab 1 po. pc



No.XII



R/



Vit B Complex tab S 3 dd tab 1 po. pc



No.XII



Pro Usia Alamat



: Nn.S : 20 tahun : kerjen, serengat, Blitar



 Kausatif : 



Antibiotik Amoxcicilin tablet po 3 x 500 mg diberikan selama 5 hari.



 Simptomatik :  Psudoefedrin untuk meredakan gejala flu : Demacolin tablet 3 kali setelah makan selama 5 hari



24



 Vitamin B complex 3 x 1 tab selama 5 hari sebagai multivitamin untuk regulasi metabolism, membantu pembentukkan sel darah merah, maintenance system saraf.



25



7. Komunikasi dan Atau Edukasi Pasien meliputi : A. KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) : posisi pasien tidur miring kekiri, larangan makan. 



Memberikan pengetahuan makanan yang harus dihindari dan makanan yang sebaiknya dikonsumsi oleh pasien, sehingga diharapkan tidak terjadinya kekambuhan







Memberikan pengetahuan terhadap pasien agar istirahat yang cukup agar kondisi pasien cepat membaik







Memberikan pengetahuan pasien untuk mengkonsumsi obat secara tertaur, apabila keluhan tidak hlang dan semakin memberat untuk segera kontrol







Memberikan pengetahuan pasien tidur dalam keadaan miring kekiri untuk memperbaiki aliran drainase sinus.



B. Komplikasi yang akan terjadi jika penyakit tersebut tidak diobati dengan baik dan benar. 



Komplikasi orbita







Meningitis akut







Abses dura







Abses otak







Osteomyelitis







Abses subperiosteal







mukokel



C. Komunikasi dua arah antara kandidat dengan pasien. 



Dilakukan L



8. Perilaku Profesional : Melakukan tahap-tahap point 1-7 secara sistematis ( berurutan dan tidak lompat-lompat ) serta tegas dalam menyampaikan informasi kepada pasien. Juga menilai apakah kandidat telah :



26



 Menunjukkan rasa hormat kepada pasien dan



memperhatikan



kenyamanan pasien.  Melakukan tindakan sesuai prioritas.  Melakukan setiap tindakan dengan berhati-hati dan teliti, sehingga tidak membahayakan pasien dan diri sendiri. Kriteria Penilaian : 0 = Tak Menanyakan atau Tak Melakukan Apapun 1 = Melakukan 1 Item dari 3 Item Penting 2 = Melakukan 2 Item dari 3 Item Penting 3 = Melakukan 3 Item dari 3 Item Penting II.



GLOBAL RATING / PENILAIAN UMUM dari 5 Item antara lain : Kerapian, Kesopanan, Manajemen Waktu, Komunikasi dan Sistematis. Tidak Lulus (Tampilkan 2 Item) Border Line (Tampilkan 3 Item) Lulus



(Tampilkan 4 Item)



Superior



(Tampilkan 5 Item)



KETERANGAN : KL = KURANG LENGKAP, L = LENGKAP Dokumen Medik THT ini dibuat untuk : Laporan Kasus / Ujian Pasien. (*Coret yang tidak perlu)



Penguji:



( Dr. ERIE TRIJONO, Sp. THT-KL ) NIP. 19610923 198901 1 002



Blitar, 05 April 2021 Dokter Muda:



(RAHMADANI ALFITRA SANTRI) NIM. 22004101053



27



BAB IV PEMBAHASAN 4.1. Dasar Penegakkan Diagnosis Sinusitis maksilaris dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang Pasien datang dengan keluhan keluar cairan seperti ingus bercampur darah di hidung sebelah kanan, keluhan dirasakan 2 minggu yang lalu selama 3 hari berturut – turut. Pasien mengaku keluar cairan dengan karakteristik cairan tidak terlalu kental disertai adanya darah. Keluhan muncul disaat pasien sering kelelahan saat bekerja. Selain itu pasien mengeluh sering pusing dikepala bagian kanan dan bagian dahi terasa seperti diikat. Tidak ada riwayat sakit yang sama seperti ini sebelumnya. Pasien tidak ada riwayat sakit gigi atupun mencabut gigi. Pasien belum melakukan pengobatan terhadap keluhan yang dirasakan. Pasien memeriksakan diri ke poli bedah dikarenakan adanya benjolan pada telinga dengan diagnosa lymphadenitis, dan dilakukan rujukan ke poli THT berdasarkan keluhan yang dialami pasien. Pasien mengatakan awalnya cairan keluar pada hidung kanan dan kiri namun lebih banyak pada hidung kanan setelah 3 hari. Saat munculnya keluhan pasien mengaku disertai hitung kanan terasa buntu dan disertai meriang. Pasien mengeluhkan adanya benjolan pada telinga. Sinusitis akut dapat disebabkan oleh rinitis akut, infeksi faring, infeksi gigi rahang atas (dentogen), trauma. Gejala klinis dapat berupa demam dan rasa lesu. Pada hidung dijumpai ingus kental. Dirasakan nyeri didaerah infraorbita dan kadang-kadang menyebar ke alveolus. Dari pemeriksaan fisik pasien didapatkan adanya nyeri tekan pada fossa canina dekstra. Mayor



Minor



Sakit dan nyeri tekan di wajah



Sakit kepala



Pembengkakan diwajah



Fatique



Obstruksi hidung



Halitosis



Secret dari hidung dan postnasal



Sakit gigi



Hiposmia / anosmia



Batuk



demam



Nyeri atau rasa tertekan / penuh pada telinga



Untuk mengagkan diagnosa sinusitis pelu ditemukan adanya dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan dengan dua kriteria minor dengan gejala lebi dari 7 hari. Pada pasien didapatkan dua kriteri mayor yaitu sakit dan nyeri tekan pada wajah, dan adanya secret 28



hidung. Sedangkan kriteria minor yang ditemukan diantaranya sakit kepala dan rasa lelah yang berlangsung selama 2 minggu. Sehingga pasien ini dapat di diagnosa sinusitis maksilaris akut dekstra karena gejala yang ditemukan pada bagian sinus dekstra. 4.2. Dasar Penatalaksanaan Tatalaksana yang diberikan kepada pasien yaitu terapi medikamentosa serta KIE tentang lifestyle dan diet yang harus dilakukan pasien untuk memperbaiki kondisi pasien, serta mencegah terjadinya kekambuhan. Tatalaksana medikamentosa diberikan berdasarkan etiologi dari munculnya sinusitis terhadap pasien. Dugaan terhadap etiologi dari sinusitis maksilaris akut dekstra pada pasien ini termasuk kedalam tipe rhinogenik yang dapat pula disebabkan karena faktro lingkungan, yang dapat menyebabkan adanya infeksi pada sinus maksilaris dekstra pasien. Sehingga terapi yang diberikan yaitu antibiotic spectrum luas yaitu amoxcicilin 500 mg, sebagai terapi definitive untuk mengatasi infeksi pada sinus maksilaris. Antibiotik spectrum luas dipilih sebagai pengobatan, selain harga yang murah dan belum dilakukan kultur untuk mengetahui jenis bakteri penyebab infeksi. Pasien diberikan terapi simptomatik berupa pseudoefedrin yaitu demacolin untuk meredakan gejala flu dan secret yang keluar yang disebabkan infeksi yang terjadi pada sinus maksilaris. Terakhir pasien diberikan terapi berupa vitamin B Complex sebagai multivitamin untuk regulasi metabolism, membantu pembentukkan sel darah merah, dan maintenance system saraf.



29



BAB V KESIMPULAN 1. Berdasarkan anamnesis, dan pemeriksaan fisik yang dilakukan, diagnosis Nn.S adalah sinusitis maksilaris akut dekstra 2. Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus paranasalis dapat berupa sinus maksilaris, etmoid, frontal maupun sphenoid yang terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Pada beberapa kasus yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maksilari dan sinusitis etmoid 3. Penatalaksanaan pada pasien yaitu dengan perbaikan lifestyle, dan pemberian farmakoterpi berupa antibiotic, pseudoefedrin dan vitamin untuk memperbaiki kondisi pasien dan mencegah kekambuhan.



30



DAFTAR PUSTAKA 1. Posumah, Allan Hespie; ALI, Ramli Hadji; LOHO, Elvie. Gambaran Foto Waters pada Penderita dengan Dugaan Klinis Sinusitis Maksilaris di Bagian Radiologi FK UNSRAT/SMF Radiologi BLU RSUP PROF. Dr. RD Kandou Manado Periode 1 Januari 2011–31 Desember 2011. eBiomedik, 2013, 1.1. 2. Rosenfeld, Richard M. Acute sinusitis in adults. N Engl J Med, 2016, 375: 962-970. 3. Ardine, Yasinta. Profil pasien penderita rinosinusitis rronis di RS. PHC Surabaya tahun 2013. 2014. PhD Thesis. Widya Mandala Catholic University Surabaya. 4. Nurmalasari, Yesi; Nuryanti, Dera. Faktor-Faktor Prognostik Kesembuhan Pengobatan Medikamentosa Rinosinusitis Kronis Di Poli Tht Rsud A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung Tahun 2017. Jurnal Ilmu Kedokteran Dan Kesehatan, 2017, 4.3. 5. Stammberger, H. Nasal and paranasal sinus endoscopy a diagnostic and surgical approach to recurrent sinusitis. Endoscopy, 1986, 18.06: 213-218. 6. Mustafa, Murtaza, et al. Acute and chronic rhinosinusitis, pathophysiology and treatment. Int J Pharm Sci Invent, 2015, 4.2: 30-36. 7. Punagi, Abdul Qadar; SUJUTHI, Ade Rahmy. Efektifitas larutan cuci hidung air laut steril pada penderita Rinosinusitis Kronis berdasarkan patensi hidung dan kualitas hidup. Jurnal Kedokteran YARSI, 2009, 17.3: 204-211. 8. Sambuda, Abi. Korelasi antara rhinitis dengan sinusitis pada pemeriksaan sinus paranasalis di instalasi radiologi RSUD dr. Moewardi Surakarta. 2008. 9. Boies ET. Sinusitis. In: Harwood-Nuss A, Wolfson AB, Linden CA, Shepherd SM, Stenklyft PH. The Clinical Practice of Emergency Medicine. 3rd ed. Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2001. 10. Bell GW, Joshi BB and Macleod RI.Maxillary sinus disease: diagnosis and treatment. British Dental Journal. 2011. 210: (3). 113-118



31