5 0 251 KB
LAPORAN KASUS Epilepsi Anak
Disusun Oleh: dr. Salsabila Rahma
Narasumber: dr. Zidnie Prissilla Primawati, Sp.A
Pembimbing : dr. Afifah Is, Sp.PD
PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA PERIODE 4 FEBRUARI 2020 - 3 FEBRUARI 2021 RSUD BUDHI ASIH JAKARTA 2020
BAB I STATUS PASIEN I. IDENTITAS Nama
: An. RA
Jenis kelamin
: Laki-laki
Tempat dan tanggal lahir
: 21 Februari 2019
Umur
: 13 bulan 11 hari
Alamat
: Jl. H. Taiman Utara, Jakarta Timur
Pendidikan
:-
Nama Ayah
: Tn. R
Pekerjaan
: Karyawan Swasta
Nama Ibu
: Ny. R
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Hubungan dengan orang tua
: Anak kandung
Alamat Rumah
: Jl. H. Taiman Utara, Jakarta Timur
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
No. rekam medis
: 01159XXX
Tanggal masuk rumah sakit
: 03 Maret 2020
II. ANAMNESA Alloanamnesa dengan orangtua pasien pada tanggal 04 Maret 2020 pukul 09.00 WIB di ruang Dahlia Timur, RSUD Budhi Asih. Keluhan utama
:
Kejang 30 menit sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien diantar orang tuanya datang dengan keluhan kejang 30 menit SMRS ketika sedang berbaring dikasur. Kejang diawali dari sisi tubuh bagian kiri, kemudian kejang terjadi di seluruh tubuh, mata mendelik keatas. Lamanya kejang 6 menit, dan kejang tidak berulang. Pasien diberi obat ikalep dirumah dan langsung dibawa ke klinik terdekat, sampai disana kejang sudah berhenti dan langsung dirujuk ke RSUD Budhi Asih. Keluhan diawali demam sepanjang hari sejak 1 hari SMRS, semakin lama dirasa semakin tinggi, orangtua pasien mengatakan tidak mengukur suhu dirumah, dan belum minum obat penurun panas. Demam disertai batuk dan pilek. Batuk berdahak, dahak sulit keluar, warna putih, darah tidak ada. Pasien tidak mau makan dan minum sejak demam muncul. Tidak ada keluhan lain seperti sesak nafas, mual, maupun muntah. Mimisan (-), gusi berdarah (-). BAK dan BAB pasien tidak ada masalah. Sekarang pasien masih demam, kejang tidak ada, pasien masih batuk dan pilek. Pasien sudah mau makan sedikit-sedikit, pasien mau minum ASI. Riwayat Penyakit Sebelumnya Berdasarkan pernyataan orangtua, pasien pernah mengalami keluhan kejang ketika usia beberapa hari, pasien dirawat di NICU selama 37 hari dan di ruang perawatan perinatologi selama empat hari Pada usia 1 bulan 3 minggu pasien sedang kontrol ke poli anak dan ketika dilakukan pemeriksaan lab, dokter mengatakan trombosit pasien turun sehingga pasien dirawat selama tiga hari. Pada usia 2 bulan, orang tua mengatakan pasien kembali mengalami kejang pada sisi tubuh bagian kiri dan pasien tidak demam, pasien dirawat selama lima hari dan dokter mendiagnosa pasien mengalami epilepsi Pada usia 5 bulan, beberapa kali anaknya sempat seperti kaget-kagetan, pasien lalu dirawat inap selama satu hari Menurut ibu pasien, riwayat trauma dan riwayat alergi tidak ada. Pasien belum pernah diperiksa maupun didiagnosa oleh dokter terkait alergi Berdasarkan pengakuan orangtua, pasien sedang menjalani terapi motorik
Riwayat Pengobatan Ikalep Riwayat Penyakit keluarga Riwayat kejang atau epilepsi pada keluarga tidak ada Dirumah atau lingkungan sekitar sedang terjadi wabah DBD Riwayat Kehamilan Ibu
Ibu pasien mengatakan telah melakukan pemeriksaan kehamilan rutin ke puskesmas dengan jumlah 1 kali saat trimester pertama, 1 kali saat trimester kedua dan 1 kali saat trimester ketiga.
Ibu pasien juga mengatakan belum pernah melakukan pemeriksaan USG selama kehamilan.
Selama kehamilan ibu pasien mengaku tidak mengonsumsi obat-obatan selain vitamin kehamilan, tidak pernah minum minuman beralkohol, dan tidak merokok.
Ibu pasien mengalami ketuban pecah dini
Riwayat abortus dan lahir mati tidak ada
Golongan darah ibu pasien O dan golongan darah ayah pasien B.
Riwayat kelahiran Penolong
:
Bidan
Cara persalinan
:
Spontan
Berat lahir
:
2800 gram
Panjang lahir
:
49 cm
Masa gestasi
:
Cukup bulan
Keadaan bayi setelah lahir
:
Langsung menangis, bergerak aktif, terdapat respon melawan, frekuensi nadi dalam batas normal dan warna kulit tubuh tampak kemerahan
Nilai APGAR
:
Tidak diketahui
Kelainan bawaan
:
Tidak ada
Riwayat Imunisasi Jenis Imunisasi
I
BCG
1 minggu
II
III
IV
V
VI
DPT Polio
1 minggu
Hepatitis B
1 minggu
Campak Hib Pneumokokus MMR Kesan : imunisasi dasar lengkap. Riwayat Perkembangan Dan Pertumbuhan Anak
Motorik kasar
: Anak belum bisa duduk atau berjalan
Motorik halus
: Anak sudah bisa menyusun kubus
Komunikasi berbicara
: Anak sudah bisa mengucapkan 3 kata
Sosial & kemandirian
: Anak sudah bisa melambaikan tangan
Gangguan perkembangan mental/emosi
: Tidak ada
Kesimpulan : Perkembangan dan pertumbuhan tidak sesuai usia Riwayat Makanan Usia ( bulan ) 0–2
ASI / PASI ASI
Kesan : Asupan makanan cukup.
Buah / Biskuit +/+
Bubur susu +
Nasi tim +
Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita Penyakit Diare Otitis Radang paru Tuberkulosis Kejang Ginjal Jantung Darah Difteri Asma Penyakit kuning Batuk berulang
Usia -
Penyakit Morbili Parotitis Demam berdarah Demam tifoid Cacingan Alergi Pertusis Varicella Biduran Kecelakaan Operasi Epilepsi
Usia +
Riwayat keluarga No
Umur
Jenis Kelamin
Hidup
Lahir Mati
Abortus
Mati (sebab)
Keterangan
1
13 bulan
Laki-laki
Ya
-
-
-
Sakit (pasien)
Corak reproduksi : P1A0 Anggota keluarga lain yang serumah
:
Orangtua.
Status rumah tinggal
:
Rumah milik keluarga
Keadaan rumah
:
Terdapat 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, ventilasi baik, pencahayaan baik, rumah dibersihkan 2 kali seminggu, menggunakan air PAM dan air sumur untuk keperluan sehari-hari.
Keadaan lingkungan
:
Lingkungan
padat
penduduk,
memiliki
jadwal gotong royong, tidak banjir, sanitasi
baik, ada taman dan jumlah pepohonan cukup.
III. PEMERIKSAAN FISIK 3.1 Pemeriksaan Umum Dilakukan pada tanggal 04 Maret 2020, pukul 09.00 WIB.
Keadaan umum
:
Tampak sakit sedang
Kesadaran
:
Composmentis
Tanda vital Tekanan darah
:
- mmHg
Frekuensi nadi
:
177 kali per menit, reguler, isi cukup, equal
Frekuensi nafas
:
22 kali per menit, regular, tipe pernafasan torako-abdominal
Suhu tubuh
:
37,2 oC
Berat badan
:
8100 gram
Panjang badan
:
72 cm
Data antropometri
Status Gizi (menurut grafik WHO untuk anak Laki-laki usia 0-36 bulan) : PB/U
= Z score terletak diantara +2SD: normal (0>Z score>-2)
BB/U.
= Z score terletak diantara +2SD: berat badan cukup (2>Z score>0)
BB/PB
= Z score terletak diantara +2SD: gizi baik/cukup (0>Z score>-2)
Kesan status gizi : gizi baik. 3.2 Status Generalis Dilakukan pada tanggal 04 Maret 2020, pukul 09.00 WIB. Kepala
Bentuk dan ukuran
:
Mikrosefali. Lingkar kepala: 41 cm, 38Celcius
SpO2 : 99% Suhu : 36,50C Kepala : Mikrosefali Mata : palpebra tidak edema,
Ambroxol 5mg
tidak
perdarahan
terdapat pada
konjungtiva, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik THT : liang telinga
lapang,
tidak
terdapat
pernafasan cuping hidung, tidak ada sekret hidung, tidak
ada
epistaksis,
faring
tidak
hiperemis,
T1-T1 tenang Mulut
: mukosa bibir
lembab, lidah bersih dan tidak terdapat perdarahan gusi Leher : tidak terdapat pembesaran KGB Thorak : simetris - Jantung : BJ I dan II murni,
reguler,
tidak ada murmur dan gallop - Paru
: Suara nafas
vesikuler kanan dan kiri,
tidak
ronchi
terdapat
pada
kedua
lapang paru dan tidak ada wheezing. Abdomen
:
cembung,
bising
usus
positif
normal,
tidak
terdapat
ascites, hepar tidak teraba membesar,
lien
tidak
teraba membesar. Ekstremitas
:
akral
hangat, CRT < 2 detik,
tidak
ada
edema
dan
sianosis. Hb/Ht/E/L/T
:
10.7/31/4.0/7300/200.000 A : Observasi kejang pada riwayat epilepsi + Obs Febris hari ke 2 ec susp DF + ISPA + Delay development 05/03/2020 (14.00)
S : Orangtua mengatakan bahwa demam sudah turun, batuk (+), pilek(+), kejang (-), mual (-), muntah (-), sesak (-). Nafsu makan membaik. O : KU : Tampak sakit sedang Kesadaran : Composmentis (GCS=15) Frekuensi nadi : 138 x/menit Frekuensi nafas : 26 x/mnt SpO2 : 98% Suhu : 36,60C Kepala : Mikrosefali Mata : palpebra tidak edema, tidak terdapat perdarahan pada konjungtiva, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
STOP IVFD Pasien pulang
diperbolehkan
ikterik THT : liang telinga lapang, tidak terdapat pernafasan cuping hidung, tidak ada sekret hidung, tidak ada epistaksis, faring tidak hiperemis, T1-T1 tenang Mulut : mukosa bibir lembab, lidah bersih dan tidak terdapat perdarahan gusi Leher : tidak terdapat pembesaran KGB Thorak : simetris - Jantung : BJ I dan II murni, reguler, tidak ada murmur dan gallop - Paru
: Suara nafas
vesikuler kanan dan kiri, tidak terdapat ronchi pada kedua lapang paru dan tidak ada wheezing. Abdomen : cembung, bising usus positif normal, tidak terdapat ascites, hepar tidak teraba membesar, lien tidak teraba membesar.
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, tidak ada edema dan sianosis. A : Observasi kejang pada riwayat epilepsi + Obs Febris hari ke 3 ec susp DF + ISPA + Delay development
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Status Epileptikus Sampai saat ini, belum terdapat keseragaman mengenai definisi status epileptikus (SE) karena International League Againts Epilepsy (ILAE) hanya menyatakan bahwa SE adalah kejang yang berlangsung terus menerus selama periode waktu tertentu atau berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang. Kekurangan definisi menurut ILAE tersebut adalah batasan lama kejang tersebut berlangsung. Oleh sebab itu, sebagian para ahli membuat kesepakatan batasan waktunya adalah selama 30 menit. Epidemiologi Insidens SE pada anak diperkirakan sekitar 10-58 per 100.000 anak. Status epileptikus lebih sering terjadi pada anak usia muda, terutama usia kurang dari 1 tahun dengan estimasi insidens 1 per 1000 bayi. Etiologi Secara umum, etiologi SE dibagi menjadi : 1. Simtomatis: penyebab diketahui a. Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan elektrolit, trauma kepala, perdarahan, atau stroke. b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya: ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak kongenital c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolik, otoimun (contohnya vaskulitis) d. Epilepsi
2. Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui
Faktor risiko Berikut adalah beberapa kelompok pasien yang berisiko mengalami status epileptikus: 1. Epilepsi Sekitar 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu kali episode status epileptikus dalam perjalanan sakitnya. Selain itu, SE dapat merupakan manifestasi epilepsi pertama kali pada 12% pasien baru epilepsi. 2. Pasien sakit kritis Pasien yang mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi SSP, penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan (terutama post-operatif), dan ensefalopati hipertensi. Patofisiologi Status epileptikus terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk membatasi penyebaran kejang baik karena aktivitas neurotransmiter eksitasi yang berlebihan dan atau aktivitas neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif. Neurotransmiter eksitasi utama tersebut adalah neurotran dan asetilkolin, sedangkan neurotransmiter inhibisi adalah gamma-aminobutyric acid (GABA). Tata laksana Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus dilakukan seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat serta dosis anti-konvulsan pada tata laksana SE sangat bervariasi antar institusi. Berikut ini adalah algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus berdasarkan Konsensus UKK Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Keterangan: Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit. Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan. Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan yang sama Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan kelompok usia; • 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan) • 5 mg (usia 1 – 5 tahun) • 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
• 10 mg (usia ≥ 10 tahun) Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang. Midazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun disesuaikan dengan kondisi rumah sakit Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan tidak kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan dengan pemberian rumatan bila diperlukan.
EPILEPSI Definisi Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak. Terjadi dua atau lebih bangkitan kejang tanpa provokasi yang dipisahkan oleh interval lebih dari 24 jam yang bersifal lokal/parsial maupun general/umum. Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposis yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, dan psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. Epidemiologi Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100.000, sementara di negara berkembang mencapai 100/100.000.
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibanding kan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan usia lanjut diatas 65 tahun (81/100.000 kasus). Menurut Irawan Mangunatmadja dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta angka kejadian epilepsi pada anak cukup tinggi, yaitu pada usia 1 bulan sampai 16 tahun berkisar 40/100.000 kasus.
Etiologi Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu : 1. Epilepsi idiopatik Penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposis genetik, awitan biasanya pada usia >3 tahun. 2. Epilepsi simptomatik Disebabkan oleh kelainan/ lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat, gangguan metabolik, malformasi otak kongenital, asfiksia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), kelainan neurodegeneratif. 3. Epilepsi kriptogenik Dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik.
Klasifiksi Klasifikasi epilepsi menurut International Leage Against Epilepsy (ILAE) 1981 : 1. Kejang parsial (fokal) a. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
Dengan gejala motorik
Dengan gejala sensorik
Dengan gejala otonomik
Dengan gejala psikis
b. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
Awalnya parsial sederhana, kemudian dikuti dengan gangguan kesadaran -
Kejang parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
-
Dengan automatisme
Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang -
Dengan gangguan kesadaran saja
-
Dengan automatisme
c. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik), tonik atau klonik)
Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan berkembang menjadi kejang umum.
1. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
Lena/ absens
Mioklonik
Tonik
Klonik
Tonik-klonik
Atonik
2. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan
Klasifikasi epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 : 1. Berkaitan dengan letak fokus a. Idiopatik
Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
Childhood epilepsy with occipital paroxysm
b. Simptomatik
Lobus temporalis
Lobus frontalis
Lobus parietalis
Lobus oksipitalis
2. Epilepsi umum a. Idiopatik
Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
Benign myoclonic epilepsy in infancy
Childhood absence epilepsy
Juvenile absence epilepsy
Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
Other generalized idiopathic epilepsies
b. Epilepsi umum kriptogenik atau simptomatik
West’s syndrome (infantile spasms)
Lennox gastaut syndrome
Epilepsy with myoclonic astatic seizures
Epilepsy with myoclonic absences
c. Simptomatic
Etiologi non spesifik
Early myoclonic encephalopathy
Specific disease states presenting with seizures.
A. Patofisiologi Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan tranmisi pada sinaps. Ada 2 jenis neurotransmitter, yaitu neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel nauron lebih
stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepilefrin dan asetilkolin. Sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik. Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau menggangu fungsi membran neuron sehingga memran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intraseluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi adalah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinapik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak..
B. Gejala 1. Kejang parsial simpleks Kejang dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan menglami gejala berupa :
Deja vu : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.
Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan.
Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubuh tertentu.
Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu.
Halusinasi.
2. Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi :
Gerakan seperti mencucur atau mengunyah.
Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang.
Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam keadaan seperti bingung.
Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
3. Kejang tonik-klonik Merupakan kejang yang paling sering. Dimana terdapat 2 tahap : tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelojotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasanya didahului dengan aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan, dapat berupa : merasa sakit perut, baal, kunang-kunag, telinga berdengung. Pada tahap klonik pasien dapat : kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik : terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini. C. Diagnosis Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. 1. Anamnesis Anamnesis menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis encefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan obatobatan tertentu. Anamnesis meliputi ;
Pola/bentuk serangan
Lama serangan
Gejala sebelum, selama dan pasca serangan
Frekuensi serangan
Faktor pencetus
Ada/tidak penyakit lain yang diderita sekarang
Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembanga
Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperi taruma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anakanak
pemeriksa
harus
memperhatikan
adanya
keterlambatan
perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral. 3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium tidak rutin dilakukan hanya atas indikasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, ditunjukkan untuk menyingkirkan adanya penyebab kejang ekstrakranial. Pemeriksaan yang dilakukakan dapat meliputi darah tepi lengkap, gula darah, elektrolit, kalsium serum, magnesium dan BUN. Pemeriksaan kadar obat antikonvulsan mungkin diperlukan pada kecurigaan ketidakpatuhan pasien terhadap regimen pengobatan.
Elektro ensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi EEG bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural diotak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal : -
Asimetris irama dan voltae gelombang pada daerah yang sama pada kesua hemisfer otak
-
Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta.
-
Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), dan gelombang lambat yang timbul secara paroksismal.
Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging. Bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan.
D. Penatalaksanaan Tujuan terapi epilepsi adalah :
Obat Anti Epilepsi (OAE) mulai diberikan bila diagnosis apilepsi sudah dipastikan, terdapat minimal 2 kali bangkita dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya.
Strategi pengobatan. Dimulai dengan monoterapi OAE lini pertama sesuai dosis, kemudian ditingkatkan dosisnya sampai bangkitan teratasi/ didapat hasil yang optimal dan konsentrasi plasma OAE pada kadar yang maksimal. Jika bangkitan masih tidak teratasi, secara bertahap ganti ke OAE lini kedua sebelum pemberian politerapi.
Konseling. Beritahukan kepada keluarga dan pasien bahwa penggunaan OAE jangka lama tidak akan menimbulkan perlambatan mental permanen dan pencegahan kejang untuk 1-2 tahun dapat menurunkan kemungkinan bangkitan berulang..
Penanganan jangka panjang. Teruskan pengobatan OAE sampai pasien bebas bangkitan sekurang-kurangnya 1-2 tahun. Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk memulai terapi bila kemungkinan
kekambuhan tinggi, yaitu bila : dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG, terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala disertai penurunan kesadaran.
Jika sudah jelas diagnosis epilepsi obat anti epilepsi (OAE) dapat diberikan sesuai jenis dan klasifikasi epilepsi. Sesuai kesepakatan dokter neurologi anak IDAI terapi dimulai jika interval antara 2 episode kejang kurang dari 6 bulan. Prinsip pengobatan epilepsi adalah monoterapi dengan dosis yang bisa memberantas kejang. Mulai dengan dosis kecil terlebih dahulu, naikkan secara bertahap jika masih terdapat kejang. Obat anti epilepsi dapat dinaikkan sampai dosis maksimal, jika dengan dosis 2 OAE kejang sudah terkontrol OAE pertama dapat dicoba diturunkan secara bertahap. Jika dengan monoterapi kedua kejang kembali ada maka tetap diberikan politerapi dengan 2 OAE. Lama pemberian OAE sampai 2 tahun bebas kejang, EEG ulang dilakukan untuk evaluasi jika hasil EEG normal OAE dapat diturunkan bertahap selama 34 bulan. Jika EEG abnormal, OAE dianjurkan sampai 3 tahun bebas kejang, setelah itu dilakukan evaluasi EEG ulang. Selama pengobatan jika masih ada kejang, sebelum menaikkan dosis OAE atau menambah OAE dinilai dahulu kepatuhan minum obat, adakah faktor pencetus kejang. Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :
Meningkatkan neurotransmitter inhibisi (GABA)
Menurunkan eksitasi : melalui modifikasi konduksi ion Na, Ca, K dan Cl atau aktivitas neurotransmitter.
Penghentian pemberian OAE : Pada anak-anak penghentian pemberian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun bebas serangan. Syarat umum menghentikan OAE adalah :
Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah 2 tahun bebas serangan.
Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan utama.
Pilihan OAE pertama Nama obat Fenobarbital
Indikasi Epilepsi umum
Kontraindikasi Absans
Epilepsi fokal
Dosis 4-6
mg/kg/hari
dibagi 2 dosis
Fenitoin
Epilepsi fokal
Asam valproat
Epilepsi umum
dibagi 2 dosis 15-40 mg/kg/hari
Epilepsi fokal
dibagi 2 dosis
Absans
Target awal : 15-20
Karbamazepin
Mioklonik Epilepsi fokal
Mioklonik
5-7
mg/kg/hari
Mioklonik
mg/kg/hari 10-30 mg/kg/hari
Absans
dibagi 2-3 dosis Mulai dengan dosis 5-10 mg/kg/hari Dinaikkan setiap 57
hari,
5
mg/kg/hari Target awal : 15-20 mg/kg/hari
Pilihan OAE lini kedua
Nama obat Topiramat
Indikasi Epilepsi umum
Dosis 3-9 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis
Epilepsi fokal
Mulai dari dosis 0.5-1 mg/kg/hari Dinaikkan setiap 1-2 minggu hingga
Levitiracetam
Epilepsi fokal
dosis 5-9 mg/kg/hari 10-30 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis
Epilepsi umum
Mulai dari dosis 5-10 mg/kg/hari
Absans
Dapat dinaikkan setiap 5-7 hari hingga
Oxcarbazepine
Mioklonik Epilepsi fokal Benign
Lamotrigine
dosis 30 mg/kg/hari 10-30 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis rolandic Mulai dengan dosis 5-10 mg/kg/hari
epilepsy
Dapat dinaikkan setiap 5-7 hari hingga
Epilepsi umum
dosis 30 mg/kg/hari 0.5-5 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis
Epilepsi fokal
Mulai dengan dosis 5-10 mg/kg/hari
Absans
Dapat dinaikkan setiap 2 minggu hingga
Mioklonik
dosis 5 mg/kg/hari
Medikamentosa Jika pasien datang dalam keadaan kejang, penghentian kejang harus segera dilakukan tanpa menunggu anamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap Bila diagnosis epilepsi telah ditegakkan, ditentukan regimen terapi antikonvulsan sesuai jenis epilepsi. Terapi antikonvulsan diberikan sampai pasien bebas kejang selama 2 tahun. Edukasi Edukasi mengenai penyakit dan pengobatannya, termasuk kepatuhan minum obat dan efek samping obat. Edukasi mengenai fungsi dalam kehidupan sehari-hari :
Pasien dapat beraktivitas normal seperti anak-anak lain seusianya, termasuk berolahraga
Pada aktivitas fisik tertentu, seperti berenang sebaiknya pasien ditemani orang lain.
Aktivitas fisik yang ekstrem, kurang tidur, stress psikis sebaiknya dihindari. Pemantauan Pemantauan dilakukan untuk mengetahui kepatuhan minum obat, respon terhadap obat dan timbulnya efek samping obat (bila perlu dilakukan pemeriksaan darah tepi dan fungsi hati) juga perlu dilakukan evaluasi neurologik ulang secara berkala.
E. Prognosis
Terkadang pasien mengalami perjalanan penyakit yang memburuk sejak permulaan penyakit dan mungkin meninggal dalam beberapa tahun sejak pertama kali timbul gejala.
DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2 FK UI. Jakarta : Info Medika Jakarta 2. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 1. Jakarta: EGC. 3. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 vol 2. Jakarta: EGC 4. PERDOSSI. Pedoman tatalaksana epilepsi. Ed: 3. Jakarta. 2008 5. Price dan wilson. 2006. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC 6. Tjahjadi, dkk. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In: Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta; gadjah Mada University Press. 2005