LAPORAN KASUS Kejang Demam Dhea.2 PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS KEJANG DEMAM KOMPLEKS Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dokter Internship di RSUD. Dr. Zainal Umar Sidiki



Oleh : dr. Dhea Farisky Pembimbing : dr. Zulfito Marendra, Sp.A



PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA RSUD. Dr. ZAINAL UMAR SIDIKI KAB. GORONTALO UTARA GORONTALO
 2022



HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN KASUS Kejang Demam Kompleks Oleh:
dr. Dhea Farisky Telah diterima sebagai salah satu tugas dokter internship di program internship dokter indonesia di RSUD. Dr. Zainal Umar Sidiki, Kab. Gorontalo Utara – Gorontalo
 2022



Kwandang,



2022



Pembimbing



dr. Zulfito Marendra, Sp.A



i



DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................i DAFTAR ISI.........................................................................................................ii DAFTAR GAMBAR............................................................................................iv BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................2 2.1. Tinjauan Kejang Demam..............................................................................2 2.1.1 Definisi.............. .....................................................................................2 2.1.2 Epidemiologi ..........................................................................................2 2.1.3 Klasifikasi .............................................................................................3 2.1.4 Etiologi dan faktor risiko .......................................................................4 2.1.5 Patofisiologi ...........................................................................................8 2.1.6 Penegakan diagnosis .............................................................................13 2.1.7 Penatalaksanaan ....................................................................................15 2.1.8 Diagnosa Banding .................................................................................19 2.1.9 Edukasi Orang Tua................................................................................19 2.1.10 Kriteria Rujukan..................................................................................19 2.1.11 Prognosis.............................................................................................19 2.2. Tinjauan Faringitis......................................................................................20 2.2.1 Definisi.............. ...................................................................................20 2.1.2 Epidemiologi ........................................................................................20 2.1.3 Etiologi dan faktor risiko .....................................................................20 2.1.4 Patofisiologi .........................................................................................21 2.1.5 Manifestasi Klinis ................................................................................21 2.1.6 Penegakan Diagnosis ...........................................................................24 2.1.7 Penatalaksanaan ...................................................................................26 2.1.7 Komplikasi ...........................................................................................26 2.1.8 Diagnosa Banding ................................................................................27 2.1.9 Konseling dan Edukasi.........................................................................27



ii



2.1.10 Kriteria Rujukan..................................................................................27 2.1.11 Prognosis.............................................................................................27 BAB III LAPORAN KASUS..............................................................................28 BAB IV PEMBAHASAN ...................................................................................37 BAB V KESIMPULAN.......................................................................................39 BAB VI DAFTAR PUSTAKA............................................................................40



iii



DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Patofisiologi Kejang demam……………………………….......... 11 Gambar 2.2 Tataalaksana Kejang demam……………………………….......... 16 Gambar 2.3 Mekanisme Kerja Obat Antikonvulsan…………………………...18 Gambar 2.4 Patofisiologi Faringitis ……………………………………….......22



iv



BAB I PENDAHULUAN



Kejang demam merupakan kelainan neurologik yang paling sering dijumpai dan terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan hingga 5 tahun. Kejadian terbanyak adalah pada usia 17-23 bulan. Kejang demam perlu segera diatasi dengan tepat dan cepat. Kejang demam adalah bangkitan kejang yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu diatas 380C, dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak di sebabkan oleh proses intrakranial.1,2 Setiap tahunnya kejadian kejang demam di USA hampir 1,5 juta dan sebagian besar terjadi dalam rentang usia 6 hingga 36 bulan dengan puncak pada usia 18 bulan. Angka kejadian kejang demam bervariasi di berbagai negara. Daerah Eropa barat dan Amerika tercatat 2-4% angka kejadian kejang demam pertahunnya. Sedangkan di India sebesar 5-10% dan di Jepang 8,8%. Hampir 80% kasus adalah kejang demam sederhana.2 Penyebab kejang demam hingga kini belum diketahui dengan pasti. Kejang demam tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi dan kadang-kadang demam tidak terlalu tinggi dapat menyebabkan kejang salah satu penyebab kejang demam adalah infeksi saluran pernapasan atas dengan peningkatan suhu yang akan dapat mengakibatkan bangkitan kejang.2 Angka kejadian kejang demam di Indonesia mencapai 2% sampai 40%. Berdasarkan fenomena yang banyak terjadi di Indonesia sering terjadi saat demam tidak ditangani dengan baik oleh orang tua, seperti tidak segera memberikan kompres pada anak ketika terjadi demam, tidak memberikan obat penurun demam, dan sebagian orang tua justru membawa anaknya ke dukun sehingga sering terjadi keterlambatan bagi petugas dalam menangani kejang demam.2 Secara umum kejang demam memiliki prognosis yang baik, namun sekitar 30-35% anak dengan kejang demam pertama akan mengalami kejang berulang.2



1



BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Kejang Demam 2.1.1 Definisi Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu diatas 38C, dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial.1 Keterangan : 1. Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan elektrolit atau metabolik lainnya.1 2. Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang demam.1 3. Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang sekali.1 4. Nasional Institute of Health (1980) menggunakan batasan lebih dari 3 bulan, sedangkan Nelson dan Ellenberg (1978), serta ILAE (1993) menggunakan batasan usia lebih dari 1 bulan. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama susunan saraf pusat.1 5. Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi ini melainkan termasuk dalam kejang neonatus.1 2.1.2 Epidemiologi Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berusia 6 bulan-5 tahun. Kejadian terbanyak adalah pada usia 17-23 bulan. Pada penelitian kohort prospektif yang besar, 2-7% kejang demam mengalami kejang tanpa demam atau epilepsy di kemudian hari. Kejadian kejang demam ada kaitannya dengan faktor genetik. Anak dengan kejang demam 25-40% mempunyai riwayat keluarga dengan kejang demam. 1,3



2



3



Orang tua harus diberitahu bahwa kejang demam dapat kambuh kembali. Beberapa studi kohort telah menemukan bahwa semua anak yang memiliki faktor risiko 80% beresiko kejang demam berulang. Anak yang tidak memiliki faktor risiko memiliki 4% untuk kejang berulang. Sekitar 30-35% anak dengan kejang demam pertama akan mengalami kejang berulang.2,4 Setiap tahunnya kejadian kejang demam di USA hampir 1,5 juta dan sebagian besar terjadi dalam rentang usia 6 hingga 36 bulan, dengan puncaknya pada usia 18 bulan. Angka kejadian kejang demam bervairiasi di berbagai negara. Daerah Eropa Barat dan Amerika tercatata 2-4% angka kejadian kejang demam pertahunnya. Sedangkan di India sebesar 5-10% dan di jepang 8,8%. Hampir 80% kasus adalah kejang demam sederhana. Angka kejadian kejang demam di Indonesia mencapai 2% sampai 4%.2 2.1.3 Klasifikasi 1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) 2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) 1. Kejang demam sederhana Karakteristik kejang demam sederhana • Durasi kurang dari 15 menit • Kejang umum (tonik atau klonik) • Tidak ada masalah neurologis sebelumnya • Terjadi sekali dalam 24 jam.1,5 Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri.1,5 2. Kejang Demam Kompleks Karakteristik kejang demam kompleks • Kejang lama durasi 15 menit atau lebih • Kejang Fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului



4



kejang parsial • Berulang lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam.1,5 Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.1 Kejang Fokal adalah kejang parsial atau satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial.1 Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 2 hari dan diantara 2 bangkitan kejang anak sadar, Kejang berulang terjadi pada 16% anak yang mengalami kejang demam.1 2.1.4 Etiologi dan Faktor risiko Faktor risiko kejang demam yang penting adalah demam. Selain itu terdapat riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung, perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium yang rendah. Etiologi demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, radang telinga tengah, infeksi saluran cerna dan infeki saluran kemih.4 a. Faktor Demam Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi pada anak tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor utama timbulnya bangkitan kejang demam. Perubahan kenaikan temperature tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan eksibilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolism seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan 1° Celcius akan meningkatkan metabolism 10 sampai 15% sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan kebutuhan glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan dapat mengakibatkan Hipoksia jaringan termasuk jaringan otak.4 b. Faktor Usia



5



Tahap perkembangan otak dibagi 6 Fase yaitu : 1) neurulasi, 2) perkembangan prosensefali, 3) Proliferasi neuron, 4) migrasi seural, 5)organisasi dan 6)mielinisasi. Tahapan perekembangan otak intrauteri dimulai dari fase neurulasi sampai migrasi neural. Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih berlanjut sampai bertahun-bertahun pertama pascanatal. Pembentukan reseptor untuk eksitator lebih awal dibandingkan dengan inhibitor. Pada keadaan otak belum matang reseptor untuk asam glutamate sebagai reseptor eksitator yang aktif sedangkan GABA sebagai inhibitor yang kurang aktif, sehingga eksitasi lebih dominan dibandingkan inhibisi. Corticotropin releasing hormone (CRH)



merupakan



neuropeptide



eksitator,



berpotensi



sebagai



prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi sehingga berpotensi untuk terjadinya bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam.4 c. Faktor riwayat keluarga Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam. Namun pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan, Penetrasi autosomal dominan diperkirakan 60-80%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah kejang demam mempunyai resiko untuk terjadi bangkitan kejang demam sebesar 20%-22%. Dan apabila kedua orang tua tersebut mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam menungkat menjadi 59%-64%, tetapi sebaliknya apabila kedua orang tua penderita tidak pernah mempunyai riwayat kejang demam maka resiko terjainya kejang demam hanya 9%.4 d. Usia saat ibu hamil Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai komplikasi dalam kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus



6



lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai.4 e. Kehamilan dengan eklampsia dan hipertensi Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta previa dan eklampsia dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklampsia dapat terjadi pada kehamilan primipara atau usia pada saat hamil diatas 30 tahun. Penelitian terhadap penderita kejang pada anak sebesar 9% disebabkan oleh karena adanya riwayat eklampsia selama kehamilan. Asfiksia disebabkan oleh karena adanya hipoksia pada bayi dapat berakibat timbulnya kejang. Hipertensi pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang sehingga berakibat keterlambatan pertumbuhan intrauterine dan bayi berat lahir rendah.4 f. Kehamilan primipara atau multipara. Urutan Persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang. Insiden kejang ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan besar disebabkan pada primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan. Penyulit persalinan yang mungkin terjadi adalah partus lama, dan kelainan letak. Penyulit persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi kepala yang berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi perdarahan atau udem otak. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya.4 g. Asfiksia Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau perdarahan intrakranial. Penyebab paling banyak akibat gangguan dan prenatal dan proses persalinan adalah asfikisa yang akan menimbulkan lesi pada hipokampus dan selanjutnya menimbulkan kejang. Pada asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia dan iskemi di jaringan otak.



7



Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan kejang, yang baik pada stadium akut dengan frekuensi bergantung pada derajat beratnya asfiksia, Hipoksia dan iskemia akan menyebabkan peninggian cairan dan Na intraseluler sehingga terjadi edema otak. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai.4 h. Bayi berat lahir rendah BBLR dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak dan perdarahan intraventrikular. Iskemia otak dapat menyebabkan kejang. Bayi



BBLR



dapat



mengalami



gangguan



metabolisme



yaitu



hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya kerusakan otak dapat menyebabkan kejang pada perkembangan selanjutnya.4 i. Kelahiran prematur dan postmatur Pada bayi prematur, perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna sehingga belum berfungsi dengan baik. Pada 60% bayi prematur menderita apnea, asfiksia berat, dan sindrom gangguan pernapasan sehingga bayi menjadi hipoksia. Keadaan ini menyebabkan aliran darah ke otak berkurang. Bila keadaan ini sering timbul dan tiap serangan lebih dari 20 detik maka kemungkinan timbulnya kerusakan otak yang permanen lebih besar.4 Pada bayi yang dilahirkan lewat waktu atau postmatur akan terjadi proses penuaan plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan menurun. Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang lahir post matur adalah suhu yang tidak stabil, hipoglikemia, dan kelaianan neurologik.4 j. Partus lama Persalinan yang sukar dan lama meningkatkan resiko cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis dari cedera mekanik dan hipoksia dapat berupa kejang.4



8



k. Perdarahan intakranial Merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang diakibatkan oleh gangguan perdarahan primer atau anomali kongenital. Perdarahan subdural biasanya berhubungan dengan persalinan yang sulit terutama terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik. Perdarahan subarachoid terutama terjadi pada bayi prematur yang biasanya bersama dengan perdarahan intraventricular. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan struktur serebral dengan kejang.4 l. Infeksi sistem saraf pusat. Resiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi SSP seperti Ensefalitis virus berat seringkali menyebabkan terjadinya kejang. Di negara-negara barat penyebab paling umum adalah Herpes simpleks tipe 1 yang menyerang lobus temporalis. Kejang yang timbul berbentuk serangan parsial kompleks dengan sering diikuti serangan umum sekunder dan biasanya sulit diobati. Infeksi Virus ini dapat juga menyebabkan daya ingat yang berat dan kejang dengan kerusakan otak yang dapat berakibat fatal. Pada meningitis dapat terjadi sequel yang secara langsung menimbulkan cacat berupa cerebral palsy, retradasi mental, hidrosefalus, dan defisit nervus kranialis serta kejang. Dapat pula cacat yang terjadi sangat ringan berupa sikatrik pada sekelompok neuron atau jaringan sekitar neuron sehingga terjadilah fokus epilepsy dalam waktu 2-3 tahun kemudian menimbulkan kejang. 4 2.1.5 Patofisilogi Kejang Demam Kejang merupakan manifestasi klinis akibat terjadinya pelepasan listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebuk baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel saaf seperti itu juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membrane. Potensial membrane yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih negative dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam



9



keadaan istirahat potensial membran berkisar antara 30-100mV, selisih potensial membrane ini terjadi akibat perbedaan perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na+, K+,dan Ca++. Bila sel saraf mengalami stimulasi akan mengakibatkan menurunnya potensial membrane. Penurunan potensial membrane ini akan mengakibatkan permeabilitas membrane terhadap ion Na+ akan lebih banyak masuk kedalam sel. Selama serangan ini lemah, perubahan potensial membrane masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan ion K+, sehingga selisih potensial kembali ke keadaan istirahat. Perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar yang disebut sebagai respon lokal.6 Bila rangsang cukup kuat, perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap (firing level), maka permeabilitas membran terhadap Na+ akan meningkat secara besar-besaran sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial aksi ini akan dihantarkan oleh sel saraf berikutnya melalui sinaps dengan perantara zat kimia yang dikenal sebagai neurotransmitter. Bila perangsangan telah selesai maka permeabilitas membrane kembali ke keadaan istirahat, dengan cara Na+ akan kembal ke luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa Na-K yang membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen. 6 Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori : a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya pada hipoksia, iskemia dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.6 b. Perubahan permeabilitas membrane sel saraf, misalnya hipokalsemia dan hypomagnesemia.6 c. Perubahan relatif neurotransmitter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan neuritransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamate yang akan menimbulkan kejang.6 Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celcius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10-15% sehingga dengan adanya peningkatan



10



suhu akan menagkibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jarungan termasuk jarungan otak. Pada keadaan metabolism di siklus Creb normal satu molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP. Sedangkan pada keadaan hipoksia jaringan metabolism berjalan anaerob, satu molekul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksia akan kekurangan energi dan menganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamate oleh sel glia, dimana pada keadaan normal membran sel yang melingkupi sel terdiri dari permukaan dalam yang lipoid dan permukaan luar yang ionik sehingga membrane sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion K+ dan sangat sulit dilalui ion Na+ dan elektrolit lainnya, kecuali ion Cl.6 Dengan demikian konsentrasi K+ dalam neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terjadi keadaan sebaliknya. Keseimbangan potensial membrane ini dapat terus dijaga oleh adanya enzim Na+/K+/ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Namun pada kenaikan suhu tubuh tertentu kedua hal tersebut mengakibatkan suhu tubuh tertentu kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya Na+ kedalam sel meningkat dan timbunan ekstrasel akan meningkatkan permeabilitas membrane sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkat ion Na+ masuk ke dalam sel yang menyebabkan dapat terjadi perubahan keseimbangan membran sel neuron dan dalam kurun waktu singkat terjadi difusi ion kalium dan natrium melalui membran tadi sehingga menimbulkan lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel disekitarnya dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang. Balita beresiko untuk mengalami kejang demam jika suhu tubuh 38C hal ini berhubungan dengan ketahanan tubuh balita dalam mengendalikan kenaikan suhu di dalam tubuh karena tubuh balita tidak mampu mengendalikan setiap kenaikkan suhu ditubuhnya.2



11



12



13



2.1.6 Penegakan Diagnosis Diagnosis kejang demam hanya dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyakit-penyakit lain yang dapat menyebabkan kejang, diantaranya: infeksi susunan saraf pusat, perubahan akut pada keseimbangan homeostasis air dan elektrolit, dan saraf pusat, perubahan akut pada keseimbangan homeostasis air dan elektrolit, dan adanya lesi struktutral pada system saraf misalnya epilepsi. Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk mendiagnosis ini.7 a. Anamnesis.7 1. Kesadaran sebelum dan sesudah kejang 2. Riwayat gangguan neurologis 3. Riwayat demam (sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap atau naik turun) 4.Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, gastroenteritis) 5. waktu terjadinya kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan 6. Sifat kejang (fokal atau umum) 7. Bentuk kejang (tonik, klonik,tonik-klonik) 8. Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun disertai demam atau epilepsy) 9. Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan 10. Trauma 11. Riwayat kejang demam dalam keluarga b. Pemeriksaan Fisik.7 1. Tanda-tanda vital 2. Pemeriksaan umum ditujukan untuk untuk menentukan peyakit yang mendasari terjadinya demam (infeksi saluran napas, otitis media, gastroenteritis) 3. Pemeriksaan neurologis meliputi kepala, ubun-ubun besar, tanda



14



rangsang meningeal, pupil, saraf kranial, motorik, tonus otot. 4. Pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis c. Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah.1 b. Pungsi lumbal Pemeriksaan menegakkan



atau



cairan



serebrospinal



menyingkirkan



dilakukan



kemungkinan



untuk



meningitis.



Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia