Laporan Kasus Miller Fisher Syndrome [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS



MILLER FISHER SYNDROME



Oleh dr. Luh Ayu Bangkitaryani



Pembimbing dr. Yoanes Gondowardaja, M.Biomed, Sp.S



Pendamping dr. Valery Vinsenzo Patiwael dr. Gusti Ayu Puteri Saraswati



PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA RUMAH SAKIT UMUM KASIH IBU DENPASAR, BALI 2019



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Miller Fisher Syndrome” ini tepat pada waktunya. Laporan kasus ini disusun dalam rangka mengikuti Program Internsip Dokter Indonesia di Rumah Sakit Umum Kasih Ibu, Denpasar, Bali. Dalam penulisan laporan kasus ini penulis banyak mendapatkan bimbingan maupun bantuan, baik berupa informasi maupun bimbingan moril. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. dr. Yoanes Gondowardaja, Sp.S selaku dokter pembimbing laporan kasus yang telah banyak membimbing dan memberikan saran. 2. dr. Valery Patiwael dan dr. IGA Puteri Saraswati selaku dokter pembimbing internsip yang telah mendampingi penulis dalam Program Intersip Dokter Indonesia ini. 3. Dr. I Wayan Kesumadana, Sp.OG-KFER selaku Direktur Utama RSU Kaish Ibu Denpasar atas dukungannya terhadap kegiatan dokter Internsip. 4. Seluruh staf RSU Kasih Ibu Denpasar, Bali. 5. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan laporan kasus ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya penulis mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat di bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran.



Denpasar, Januari 2019



Penulis



ii



LEMBAR PENGESAHAN



LAPORAN KASUS MILLER FISHER SYNDROME



Laporan kasus ini telah disetujui pada hari/tanggal …………………………………………………2018



Pembimbing



dr. Yoanes Gondowardaja, Sp.S



Pendamping I



Pendamping II



dr. Valery Vinsenzo Patiwael



dr. Gusti Ayu Puteri Saraswati



iii



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................



i



KATA PENGANTAR .....................................................................................



ii



LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................



iii



DAFTAR ISI ....................................................................................................



iv



BAB I. PENDAHULUAN ...............................................................................



1



BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................



4



2.1 Definisi .............................................................................................



4



2.2 Epidemiologi.....................................................................................



4



2.3 Etiologi .............................................................................................



4



2.4 Patogenesis .......................................................................................



5



2.5 Diagnosis ..........................................................................................



7



2.6 Diagnosis Banding ............................................................................



12



2.7 Penatalaksanaan ................................................................................



14



2.8 Prognosis dan Komplikasi ................................................................



17



BAB III. LAPORAN KASUS ..........................................................................



18



BAB IV. PEMBAHASAN ...............................................................................



28



BAB V. PENUTUP ..........................................................................................



32



DAFTAR PUSTAKA



iv



BAB I PENDAHULUAN



Polineuropati adalah suatu kondisi disfungsi multipel dari sel saraf yang terbagi ke dalam 2 kelompok besar yakni polineuropati aksonal dan demyelinisasi. Neuropati aksonal menyebabkan gejala yang berhubungan dengan kerusakan aksonal. Neuropati berupa demyelinisasi menyebabkan suatu abnormalitas karena sel Schwann tidak dapat melakukan kontak baik dengan akson. Sel Schwann merupakan sel glial yang memegang peranan penting pada sistem saraf tepi termasuk konduksi saltatori impuls antar akson, perkembangan dan regenerasi saraf, modulasi aktivitas sinaps neuromuscular, dan presentasi antigen terhadap sel limfosit T. Etiologi dari neuropati demyelinisasi antara lain disebabkan oleh toksin, faktor keturunan, dan factor imun, dimana dapat diklasifikasikan menjadi akut dan kronik berdasarkan onsetnya.1 Salah satu polineuropati yang bersifat akut adalah Guillain-Barre Syndrome yang memiliki 6 spektrum penyakit. Guillain-Barre Syndrome (GBS) atau disebut juga dengan polineuritis idiopatik akut merupakan suatu penyakit kelainan sistem imun yang menyerang sistem saraf perifer dan menyebabkan kerusakan selubung myelin yang ditandai dengan adanya kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya progresif. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim dan dapat menyerang semua umur. Angka kejadian tahunan keseluruhan GBS di Amerika Serikat adalah 1,65-1,79 per 100.000 orang dengan rasio kejadian pada laki-laki dan wanita 3:2.2 Terdapat beberapa subtipe GBS diantaranya: 1. Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP) merupakan bentuk paling umum dari GBS dimana terdapat kelemahan otot yang simetris, 2. Acute motor axonal neuropathy (AMAN), dikenal sebagai Chinese paralytic syndrome dimana menyerang nodus ranvier motorik, jenis GBS ini menyerang saraf motorik dan saraf sensorik serta sering terjadi pada anak 3. Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN), mirip dengan AMAN, tetapi juga menyerang nervus sensorik dengan kerusakan akson parah, sering terjadi pada orang dewasa



2



4. Bickerstaff’s Brainstem Encephalitis (BBE), ditandai dengan serangan akut ophthalmoplegia, ataxia, gangguan kesadaran, hyperreflexia atau tanda Babinski. Dan merupakan versi lanjutan dari GBS. 5. Acute panautonomic neuropathy merupakan varian GBS dengan angka kematian tertinggi, dimana terjadi kerusakan sistem simpatis dan parasimpatis, gangguan kardiovaskular berupa disritmia, anhidrosis, dan sering dijumpai juga gangguan sensorik. Varian ini merupakan yang paling langka dari GBS. 6. Varian yang terakhir yakni Miller Fisher Syndrome (MFS) juga salah satu varian GBS



yang jarang ditemukan



memiliki



trias klasik berupa



ophtalmoplegia, ataxia, dan areflexia.2 Penyakit GBS pertama kali ditemukan pada tahun 1961 oleh Guillain dan Barre yang menjelaskan mengenai karakteristik temuan cairan serebrospinal (CSS) dimana ditemukan peningkatan konsentrasi protein namun tanpa disertai dengan kenaikan jumlah sel pada dua prajurit Perancis yang mengalami kelemahan. Selanjutnya pada tahun 1956 dr. Miller Fisher menemukan tiga pasien yang memiliki gejala khas berupa trias ophtalmoplegia, areflexia, dan ataxia sejak saat itu pasien GBS dengan gejala khas trias tersebut dinamakan Miller Fisher Syndrome.3 Angka kejadian MFS dari seluruh kasus GBS hanya menyentuh angka 3% dengan prevalensi kasus lebih banyak ditemukan di benua Asia dan lebih sering terjadi pada jenis kelamin laki-laki.4 Penyebab pasti terjadinya MFS masih belum jelas, namun mayoritas penelitian menyatakan bahwa patogenesisnya mirip dengan patogenesis GBS yakni adanya neuropati inflamasi yang disebabkan oleh reaktivitas silang antara antigen dan antibodi saraf yang disebabkan oleh infeksi tertentu yaitu organisme menular, seperti C. jejuni, yang memiliki struktur dinding bakteri yang mirip dengan gangliosida. Molekular mimikri ini akan menciptakan antibodi anti-gangliosida yang akan menyerang saraf. Yang membedakannya dengan GBS adalah pada MFS keterlibatan antibodi anti-gangliosida yang ditemukan pada fase akut MFS mayoritas adalah antibodi anti-GQ1b yakni sebanyak 90% dari total antibodi anti-gangliosida.5 Walaupun MFS merupakan varian GBS yang paling jarang namun kasusnya tetap dapat kita temui dalam praktik kedokteran sehari-hari, oleh karena itu pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai MFS dari segi aspek klinis,



3



penatalaksanaan hingga contoh laporan kasus. Penting bagi kita untuk mengetahui penyakit ini karena gejela klinis yang dimilikinya mirip dengan beberapa diagnosis banding. Sehingga kita harus mampu membedakan secara tepat gejala klinis yang ada merujuk ke diagnosis tertentu agar dapat memebrikan penanganan yang tepat pula.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1



Definisi Miller Fisher Syndrome Miller Fisher Syndrome (MFS) adalah penyakit polineuropati akut dan



merupakan varian langka dari penyakit Guillain Barre Syndrome (GBS) yang ditemukan oleh Dr. Miller Fisher pada tahun 1956.3 Penyakit ini ditandai dengan trias klasik berupa ophthalmoflegia yakni kelemahan otot di sekitar mata, ataxia yakni adanya gerakan abnormal dan tidak terkoordinasi yang berpengaruh pada keseimbangan, serta areflexia yaitu hilangnya reflex pada tendon dalam. Selain trias tersebut terdapat juga gejala klinis yang lain seperti kelemahan fasial dan bulbar, serta kelemahan pada badan dan ekstremitas.3,4 2.2



Epidemiologi Insiden GBS di seluruh dunia adalah sebanyak 1-2 per 100.000 orang



pertahunnya dengan persentase MFS bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya. 1,2 Kasus MFS dilaporkan sebanyak 1-7% dari kasus GBS di belahan dunia bagian barat, sedangkan di benua Asia MFS lebih banyak dijumpai yakni sebanyak 18-19% dari kasus GBS di Taiwan dan sebanyak 25% di Jepang. Berbeda halnya dengan penyakit autoimun lainnya Miller Fisher Syndrome lebih banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan yakni dengan rasio 2:1. Penyakit ini dapat menyerang segala kelompok usia dari bayi hingga dewasa, meskipun angka kejadiannya lebih banyak pada dewasa. Sebuah studi retrospekstif yang melibatkan 466 pasien menunjukkan rerata (median) umur penderita adalah 44 tahun dengan jumlah terbanyak berada pada kelompok usia 30-39 tahun dan 50-59 tahun.4,6 2.3



Etiologi Menurut beberapa studi etiologi MFS diyakini mirip dengan etiologi dari GBS



dimana berasal dari respon imun akut yang menyimpang terhadap suatu reaksi infeksi. Patogen penyebab infeksi yang seringkali menimbulkan respons imun ini antara lain



5



Campylobacter jejuni, kelompok Cytomegalovirus, Epsteinn-Barr virus, dan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Adanya reaksi silang antara antigen saraf perifer dengan komponen virus atau bakteri tersebut melalui proses mimikri molekuler dicurigai sebagai awal mula penyebab terjadinya proses inflamasi dari MFS. Sekitar dua pertiga kasus MFS diawali oleh adanya infeksi saluran nafas atas (ISPA) atau adanya diare, dan sekitar 50% nya berkembang setelah infeksi terjadi. Hingga saat ini peneliti belum mengetahui secara jelas mekanisme pasti dari pathogenesis MFS. Proses infeksi yang terjadi dapat berkembang menuju myelin atau akson dari saraf perifer. 5,7 Sebagian besar kasus MFS mengalami gangguan pada nervus cranialis II, IV, dan VI. Beberapa laporan kasus menyebutkan bahwa antibodi ganglioside anti GQ1b merupakan temuan serologis yang khas pada kasus MFS, namun tidak adanya antibodi tersebut juga tidak menjamin ekslusi penyakit MFS.7 Beberapa faktor risiko lain yang berhubungan dengan MFS adalah penggunaan beberapa obat-obatan seperti heroin, suramin, streptokinase, isotretinoin serta penggunaan terapi antagonis TNF alfa. Selain itu adanya penyakit autoimun seperti sistemik lupus eritematosus (SLE), limfoma Hodgkin, sarcoidosis, terapi pembedahan, penggunaan anestesi epidural, transplantasi sumsum tulang, dan imunisasi juga dapat menjadi pencetus MFS.8



2.4



Patogenesis Miller Fisher Syndrome Studi oleh Kuroki et al menyatakan bahwa patogen eksogen seperti



Campylobacter jejuni kemungkinan memiliki antigen kapsular spesifik yang memiliki epitope mirip dengan myelin saraf perifer sehingga menyebabkan respons imun salah mengenali atau mekanisme ini disebut molekuler mimikri yang menyebabkan respons imun bereaksi silang dengan myelin sehingga menyebabkan proses demyelinasi. 6 Proses tersebut menghasilkan suatu antibodi antigaliosida. Antibodi antigangliosida merupakan respon imunitas dimana diciptakan antibodi yang bereaksi terhadap ganglion saraf kita sendiri sehingga menimbulkan suatu kerusakan saraf atau neuropati.6,7 Studi oleh Chiba et al dalam Paparounas, 2008 menyatakan antibodi gangliosida yang signifikan ditemukan adalah antibodi anti GQ1b. Adanya temuan berupa pekatnya konsentrasi ganglioside GQ1b pada nervus okulomotorik, trochlear,



6



dan abdusens menjelaskan hubungan antara antibodi anti GQ1b dengan gejala ophthalmoplegia yang mayoritas ditemukan pada MFS. Selain itu antibodi anti GQ1b juga ditemukan pada Bickerstaff brainstem encephalitis (BBE) sehingga baik MFS dan BBE berasal dari spektrum penyakit yang sama.5



Gambar 2.1 Patogenesis Miller Fisher Syndrome5



Adanya proses mimikri molekuler antara saraf perifer dengan antigen patogen diyakini terjadi melalui aktivasi sistem imun adaptif dimana sistem kekebalan humoral dan seluler memegang peranan penting. Gangliosida merupakan karbohidrat penting penentu untuk aktivitas autoimun. Beberapa studi menunjukkan bahwa antiboti anti gangliosida yakni antibodi anti GQ1b merupakan fitur spesifik dari MFS.8 Kondisi ophthalmoparesis pada MFS diyakini akibat adanya interaksi langsung antara antibodi



7



anti GQ1b dengan neuromuskular junction antara nervus cranialis dan otot okuler. Sekitar 70-90% pasien akan memiliki hasil positif dari pemeriksaan ELISA. Hanya sekitar 10-30% pasien saja yang memiliki hasil sero negative, hal ini kemungkinan diakibatkan oleh dibutuhkannya calcium-dependent ligands untuk berikatan dengan antibodi. Dari sisi perjalanan penyakitnya MFS biasanya terjadi secara akut, diawali dengan adanya gejala defisit neurologis yang berlangsung kira-kira 8-10 hari. Gejalagejala tersebut kemudian mengalami perkembangan hingga mencapai puncak klinis yakni sekitar seminggu setelah gejala neurologis awal. 8,9



2.5



Diagnosis Terdapat kriteria klinis yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis MFS



diantaranya yaitu: 1. Adanya kelemahan otot ekstraokuler dan ptosis yang terjadi bilateral yang cenderung simetris. 2. Adanya limb and gait ataxia 3. Adanya areflexia di seluruh ekstremitas 4. Adanya perburukan dari ketiga gejala pertama di atas dalam hitungan hari hingga 3 bulan 5. Adanya kelemahan pada ekstremitas pada otot-otot fasial dan orofaringeal 6. Kesadaran baik, tidak adanya disartria. 7. Hasil pemerikaaan cairan serebrospinal menunjukkan adanya disosiasi sitoalbumin.10 Diagnosis Miller Fisher Syndrome dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien MFS mayoritas memiliki gejala berupa diplopia (78%), ataxia (48%), dan adanya areflexia (60%). Gejala awal yang ditemukan adalah adanya diplopia kemudian akan diikuti oleh adanya gangguan berjalan, gejala lainnya yang selanjutnya muncul adalah dysesthesia atau gangguan pada indera peraba dimana apabila dilakukan sentuhan akan timbul perasaan tidak nyaman. Gejela lain yang juga dapat ditemukan adalah blepharoptosis, kelemahan anggota gerak namun derajatnya ringan, adanya



8



disfagia, fotofobia, pandangan kabur, pusing, nyeri kepala dan kelemahan otot wajah.1,6,11 1. Opthalmoplegia Opthalmoplegia merupakan gejala yang paling sering dan paling konsisten ditemui pada pasien MFS pada fase akut penyakit. Gejala ophtalmoplegia berhubungan erat dengan adanya antibodi anti GQ1b walaupun antibodi ini juga dapat ditemukan pada pasien yang tidak mengalami kelainan pada mata. Mayoritas pasien dengan MFS mengalami opthalmoplegi bilateral dan cenderung simetris. Sepertiga dari pasien MFS mengalami opthalmoplegia komplit bilateral. Sebuah studi yang melibatkan 31 pasien dengan opthlamoplegi komplit bilateral diketemukan MFS sebagai penyebab utamanya. Hubungan antara opthalmoplegia dengan antibodi GQ1B dijelaskan oleh studi dari Chiba et al yang menemukan dari 5 pasien dengan opthalmoplegia 4 orang mengalami gejala flu pada fase awal dan satu orang mengalami diare, keseluruhan pasien ditemukanm mengalami kelemahan bada nervus cranialis VI dan hasil tes menunjukkan adanya antibodi anti GQ1b.5,11,13 2. Ataxia Ataxia juga merupakan satu dari trias gejala MFS yang sering ditemukan pada fase akut, ataxia yang terjadi menyebabkan gangguan berjalan pada pasien dimana sebanyak 30% dari total pasien menjadi tidak dapat berjalan mandiri dan harus dibopong. Ataxia pada MFS juga berkaitan dengan antibodi anti GQ1b, sebuah studi menyatakan pasien dengan antibodi anti GQ1b yang positif memiliki tipe ataxia yang lebih berat disbanding dengan pasien dengan antibodi anti GQ1b negative. Pathogenesis terjadinya ataxia pada MFS belum diketahui secara pasti. Baik mekanisme perifer maupun sentral turut berperan. Studi menyatakan adanya hubungan antara kelainan pada serat-serat otot aferen dan keparahan ataxia menunjukkan adanya kelainan proprioseptif sebagai penyebabnya.12,13 3. Areflexia Adanya areflexia tendon dalam merupakan salah satu trias MFS. Hilangnya reflex pada awalnya diyakini ada pasa semua pasien MFS, namun ternyata tidak sedikit pula



9



pasien dengan MFS yang masih memiliki reflex yang baik. Sebagai contoh suatu studi yang melibatkan 581 pasien dengan MFS yang memiliki geala opthalmoplegia dan ataxia, ternyata sebanyak 12% nya masih memiliki refleks yang baik. Studi di Korea yang melibatkan 13 pasien dengan opthalmoplegia, ataxia, dan antibodi anti GQ1b yang positif ditemukan memiliki reflex yang masih normal.13 4. Gejala Lainnya Gejala lain yang ditemukan pada pasien MFS yakni blepharoptosis dan nystagmus (58%), disestesia (45%), selain itu terdapat pula kelemahan otot namun dengan derajat kelemahan yang masih rendah. Beberapa studi menyebutkan pula terdapat optic neuritis yang dapat terjadi bilateral atau unilateral. Nyeri kepala, nyeri periokuler, dan hilangnya reflex kornea juga ditemukan pada pasien MFS. Gangguan saat berkemih dan retensi urin juga pernah ditemukan pada pasien MFS.4 Pemeriksaan Fisik Gejala khas dari MFS meliputi akut ophthalmoplegia, areflexia, dan ataxia yang terjadi setelah infeksi bakteri atau virus. Adanya parestesia pada ekstremitas distal dengan atau tanpa adanya kelemahan juga bisa ditemukan. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah diplopia atau pandangan kabur, disartria, pusing, dan sensasi kesemutan. Keterlibatan nervus cranialis juga khas ditemukan menghasilkan gejala kelemahan pada otot wajah, okulomotor atau bulbar dan bisa juga hingga ke ekstremitas. Pemeriksaan fisik seperti pada GBS juga dapat ditemukan pada kasus MFS seperti parese pada wajah, hiporefleksia ekstremitas distal, dan hilangnya sensasi raba pada esktremitas distal. Disfungsi otonom seperti kondisi hipertensi, hipotensi atau aritmia dapat juga ditemukan pada pasien MFS yang tidak ditangani. Selain itu hal menarik yang ditemukan adalah hilangnya reflex kornea.10,14 Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan lumbal pungsi Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan MFS salah satunya adalah dengan pemeriksaan lumbal pungsi. Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal pada MFS akan menunjukkan adanya disosiasi sitoalbumin,



10



yakni kondisi dimana terdapat jumlah sel normal namun terdapat peningkatan level protein. Hasil ini mayoritas ditemukan pada 90% pasien saat puncak penyakitnya. Namun hanya setengah dari total pasien yang menunjukkan adanya kondisi disosiasi sitoalbumin pada awal penyakitnya, oleh karena itu level protein yang normal pada onset awal penyakit belum dapat mengeksklusi diagnosis MFS pada pasien dengan gejala klinis yang jelas. 10,13 2. Pemeriksaan elektroneuromiografi (ENMG) Gambaran elektroneuromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ketiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada minggu pertama serangan gejala, didapatkan perpanjangan respon (88%), perpanjangan distal latensi (75%), konduksi blok (58%) dan penurunan kecepatan konduksi motor (50%). Pada minggu kedua, potensi penurunan tindakan berbagai otot (CMAP, 100%), perpanjangan distal latensi (92%) dan penurunan kecepatan konduksi motor (84%). Manifestasi elektrofisiologis yang khas tersebut, yakni, prolongasi masa laten motorik distal yang menandai blok konduksi distal dan prolongasi atau absennya respon gelombang F yang menandakan keterlibatan bagian proksimal saraf, blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya konduksi hantar saraf.14 3. Pemeriksaan antibodi anti-GQ1b Antibodi anti GQ1b yang bekerja melawan GQ1b yakni komponen gangliosida dari saraf dengan menghambat pelepasan asetilkolin dari saraf terminal motorik. Antibodi ini berhubungan dengan penyakit MFS dan digunakan sebagai marker terjadinya MFS. Gangliosida GQ1b merupakan komponen permukaan sel yang terkonsentrasi pada area paranodal di saraf cranialis III, IV, dan VI. Gangliosida tersebut mengandung polisakarida yang identik dengan lipopolisakarida yang terdapat pada membrane luar beberapa bakteri, oleh karena itu gangliosida tersebut menjadi target awal dari respon imunitas. Studi oleh Yuki et al menunjukkan adanya antibodi monoklonal pada gangliosida GQ1b bereaksi terhadap lapisan liopolisakarida pada isolate bakteri



11



Campylobacter jejuni pada pasien MFS. Temuan tersebut menunjukkan bahwa mekanisme mimikri molekuler yang terjadi pada MFS bukan hanya berperan sebagai penanda penyakit MFS namun juga memainkan peran dalam pathogenesis MFS. Antibodi anti GQ1b juga berikatan dengan liopolisakarida pada beberapa strain bakteri Haemophillus influenza. Antibodi anti GQ1b menyerang bagian neuromuskular junction termasuk dengerasi akson dan sel Schwann melalui jalur complement-mediated. Gangiosida kompleks yang emngandung GQ1b ditemukan sebagai target utnuk terjadinya autoantibodi yang sangat spesifik untuk gejala klinis MFS.5,6 Nishimoto et al dalam Koga et al, 2005 membandingkan antara kondisi disosiasi sitoalbumin dengan adanya antibodi anti GQ1b pada pasien MFS didapatkan hasil bahwa, pada 1 minggu sejak onset awal penyakit MFS antibodi anti GQ1b hampir selalu ada sedangkan disosiasi sitoalbumin pada cairan serebrospinal hanya didapatkan pada 25% pasien saja. Studi tersebut menyimpulkan bahwa temuan disosiasi sitoalbumin pada CSF tidak sesensitif pemeriksaan antibodi anti GQ1b dalam mendiagnosis MFS pada fase awal penyakit. Selain itu tingginya titer antibodi anti GQ1b juga memiliki korelasi dengan keparahan penyakit khususnya gejala ophthalmoplegia. 9 4. Pemeriksaan Histopatologi Temuan histopatologi pada MFS pertama kali dijelaskan pada laporan kasus oleh Philips dan Anderson pada tahun 1984, pada kasus tersebut jaringan otak pasien yang meninggal akibat bronkopneumonia. Pemeriksaan mikroskopik menggunakan pewarna solochrome cyanine menunjukkan adanya bercakbercak dan demyelinisasi segmental yang dibentuk oelh makrofag dan limfosit. Perubahan tersebut berdampak pada akar saraf sensorik dan motorik pada sistem saraf tepi. Sedangkan bagian batang otak dan sumsum tulang belakang serta bagian lain dari susunan saraf pusat tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron mengkonfirmasi temuan tersebut dimana ditemukan demyelinisasi total pada akson di sitoplasma sel Schwann yang dikelilingi makrofag dan limfosit.14,15



12



Kriteria Brighton merupakan metode kuantitatif yang sudah tervalidasi dimana criteria tersebut mengakomodasi gejala klis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan penunjang untuk mendiagnosa GBS dan variannya, termasuk MFS. Sistem penilainnya meliputi keriteria berikut : 



Adanya kelemahan bilateral pada ekstremitas







Adanya penurunan atau hilangnya reflex tendon dalam pada esktremitas distal







Jangka waktu antara onset awal dengan puncak gejala klinis adalah antara 12 jam hingga 28 hari







Dari lumbal pungsi cairan serebrospinal ditemukan jumlah sel kurang dari 50/mikroliter







Dari lumbal pungsi cairan serebrospinal ditemukan konsentrasi protein lebih besar dari rentang normal







Dari pemeriksaan konduksi saraf, hasil konsisten dengan salah satu subtype GBS







Kurangnya diagnosis banding untuk gejala kelemahan



Kriteria Brighton berkisar dari level 1 hingga level 4. Dimana level 1 merupakan menunjukkan diagnosis pasti untuk GBS dan variannya, sedangkan level 4 untuk kemungkinan paling lemah.16 2.6



Diagnosis Banding Diagnosis banding MFS meliputi beberapa penyakit dengan gejala klinis yang



mirip. Diagnosis klinis MFS meliputi: ataxia, areflexia, dan ophthalmoplegia. Namun ketiga gejala tersebut juga dapat ditemukan pada penyakit lain. Adanya ophthalmoplegia bilateral pada MFS dapat dibedakan dengan kondisi ophthalmoplegia pada penyakit kronis lain seperti myasthenia gravis (MG), thyroid eye disease (TED), dan myotonic dystrophy (MD). Pada MG paralisis okuler dapat berpindah dari satu mata ke mata sebelahnya dan dapat mengalami perbaikan serta perburukan hanya dalam jangka waktu satu hari. Sedangkan kondisi ophthalmoplegia pada MFS memburuk secara progresif hingga mencapai puncak gejala klinis. Sedangkan untuk



13



TED biasanya terjadi pada pasien dengan riwayat penyakit tiroid dan sangat jarang menjadi gejala awal dari penyakit tersebut. Keluhan okuler pada TED meliputi mata kering, epifora, mata merah, mata menonjol, kesulitan menutup mata, dan masalah pada visus pasien.10,17 Gejala areflexia dapat terjadi pada beberapa kondisi neurologis dimana terdapat kerusakan lower motor neuron pada sumsum tulang belakang atau pada saraf tepi. Penyakit diabetes dan defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan neuropati perifer dan menimbulkan gejala areflexia. Penyakit lain yang juga memiliki gejala klinis areflexia adalah amyotrophic lateral sclerosis (ALS) dan polio. Selain itu gangguan metabolic seperti hipomagnesemia, intoksikasi alcohol serta penggunaan obat-obatan anti depressant.10 Sangat penting untuk dapat membedakan MFS dari GBS dimana kita ketahui kasus MFS murni sangat jarang terjadi. MFS dan GBS dapat dibedakan dari gejalanya, dimana defisit neurologis pada MFS mengikuti pola descending dimulai dari ophthalmoplegia sedangkan defisit neurologis pada GBS terjadi secara ascending. Diagnosis banding lainnya adalah stroke akut dimana pasien stroke dengan iskemia cerebellum akan memiliki gejala berupa gaya berjalan tdiak stabil, pusing, nyeri kepala, gangguan pergerakan mata, dan mual muntah. Walaupun keduanya memiliki gejala akut, pasien dengan iskemia cerebellar menunjukkan ataxia dengan lateralisasi sedangkan pada pasien MFS biasanya tidak mengalami lateralisasi. 13,17 Selain itu adanya toksin dan penggunaan obat-obatan yang mengatur kanal natrium seperti fenitoin serta obat kemoterapi seperti fluorouracil juga dapat memicu episode ataxia. Dimana kondisi dengan etiologi tersebut disebut dengan ataxia sekunder dengan karakteristik berupa ataxia pada ekstremitas bawah, control motorik tangan yang buruk, bicara cadel atau pelo, dan gangguan penglihatan. Ataxia pada kondisi tersebut dapat dibedakan dengan ataxia pada MFS karena progresi kelemahannya bersifat dari atas ke bawah.3 Diagnosis banding yang lain adalah Bickerstaff brainstem enchepalitis (BBE) dan varian



GBS



dengan



kelemahan



phyaringeal-cervical-brachial.



Gejala



yang



membedakan MFS dan BBE adalah adanya hiperreflexia dan ensefalopati pada BBE.



14



Sedangkan MFS dibedakan dengan pharyngeal-cervical-brachial weakness adalah adanya kelemahan akut pada otot orofaringeal, leher, bahu, gejala disfagia dan adanya paresis wajah tanpa diserta abnormalitas pada ekstremitas bawah. Selain itu untuk membedakan dengan stroke batang otak akut adalah onset gejala pada MFS bersifat gradual.11 2.7



Penatalaksanaan Penatalaksanan MFS secara garis besar meliputi terapi definitive yakni



penggunaan imunoglublin intravena ata plasmaparesis serta terapi suportif seperti manajemen nyeri. 1.



Imunoglobulin intravena Penggunaan



immunoglobulin



intravena



dan



penggantian



plasma



(plasmapharesis) ditemukan efektif untuk penatalaksanaan GBS dan MFS. Dan tidak ditemukan perbedaan signifikan pada kedua terapi tersebut baik dari segi mortalitas, disabilitas, dan lama rawat pasien. Pasien dengan MFS biasanya tidak membutuhkan imunoterapi karena MFS memiliki prognosis yang baik dan dapat sembuh spontan. Penggunaan immunoglobulin intravena dapat diindikasikan pada pasien yang mengalami gejala berat seperti kesulitan bernafas dan menelan. Namun secara umum penggunaan imunoglobuin lebih disukai karena praktis, ketersediaan yang luas dan minim efek samping, namun kelemahannya adalah harga yang mahal. Sebelum



dilakukan



penatalaksanaan



dengan



menggunakan



antimunoglubulin dokter harus melakukan evaluasi terhadap kadar IgA karena pada pasien-pasien dengan defisiensi IgA memiliki risiko lebih tinggi untuk emngalami reaksi anafilaksis. Dosis immunoglobulin intravena yang biasa digunakan adalah sebanyak 2 gram/kilogram berat badan dan dibagi menjadi 2-5 hari. Terapi kedua dengan immunoglobulin mungkin diperlukan bagi beberapa pasien. Pada anak-anak dan remaja dosis sebanyak 1 gram kg/BB selama dua hari dapat diberikan atau dengan dosis alternative sebanyak 400 miligram per kilogram BB diberikan setiap hari selama 5 hari. Untuk pasien dengan gangguan



15



ginjal, dokter sebaiknya menurunkan dosis sebanyak 50% dari dosis yang direkomendasikan.2 gram perkilogram berat badan dibagi selama 5 hari. 18 2.



Terapi penggantian plasma (plasmaparesis) Terapi plasmaparesis diyakini efektif dalam penatalaksanaan MFS karena antibodi anti GQ1b terdapat pada serum darah pasien MFS maka menghilangkan antibodi tersebut dengan plasmaparesis dapat membantu mengatasi gejala MFS. Terapi dengan penggantian plasma (plasmaparesis) efektif diberikan dalam 2 minggu onset awal penyakit pada pasien yang mengalami kelumpuhan, dan mencapai efektivitas tertinggi apabila diberikan dalam 7 hari sejak onset awal penyakit. Kontraindikasi penggunaan plasmaparesis antara lain: sudah pernah mendapat terapi immunoglobulin intravena, terdapat instabilitas hemodinamik, kondisi kehamilan, sepsis, dan hipokalsemia.19



3.



Terapi suportif Sebanyak 75% pasien MFS membutuhkan terapi opioid oral atau injeksi untuk mengatasi nyeri yang dialaminya. Kombinasi regimen antinyeri yang tepat sangat dibutuhkan untuk mempercepat proses penyembuhan. Medikamentosa yang dapat digunakan antara lain: gabapentin, pregabalin, carbamazepine, dan amitriptilin. Sedangkan untuk penggunaan kortikosteroid dapat diberikan apabila terdapat nyeri neuropatik atau nyeri radikuler. Penggunaan opioid oral atau injeksi seperti contoh morfin intravena sebanyak 1 hingga 7 mg/jam harus diberikan dengan pengawasan ketat karena efek sampingnya terhadap otot-otot pernafasan serta efek samping autonomic seperti retensi urin.4 Untuk penggunaan kortikosteroid, studi menyebutkan bahwa penggunaan kortikosteroid sudah tidak relevan digunakan baik secara oral maupun intravena karena tidak efektif. Penggunaan kortikosteroid hanya direkomendasikan pada kasus nyeri radikular atau nyeri neuropatik saja. Namun beberapa penelitian juga menyebutkan dapat dilakukan pemberian kortikosteroid seperti metilprednisolon sebanyak 1 gram sehari selama 3 hari.4,6 Profilaksis untuk thrombosis vena dalam (DVT) harus dimulai segera untuk mengurangi risiko terjadinya emboli paru utamanya pada pasien MFS yang



16



imobilisasi total. Administrasi heparin subkutan atau enoxaparin dapat dilakukan. Selain itu dapat pula digunakan stoking kompresi pada pasien dewasa yang mengalami kelumpuhan total. Apabila terdapat gejala disfungsi otonom terapi suportif tambahan mungkin diperlukan, seperti misalnya apabila pasien mengalami bradikardi berat atau terdapat risiko asystole pasien kemungkinan membutuhkan obat pacu jantung. Apabila pasien mengalami disfagia pemasangan nasogastric tube (NGT) dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien. Penggunaan kateter juga dapat dilakukan pada pasien dengan retensi urin serta pemberian pelunak feses pada pasien dengan konstipasi. Fisioterapi juga penting dilakukan sebagai tahap rehabilitasi awal ketika pasien sudah menunjukkan perbaikan kondisi.6,11 4.



Indikasi perawatan di ruang intensif (ICU) Indikasi perawatan pasien di ruang intensif (ICU) dilakukan berdasarkan keparahan penyakitnya terutama pada fungsi sistem respirasinya. Ventilasi mekanik dibutuhkan pada 20-30% pasien yang mengalami gagal nafas. Tanda dari terjadinya kelemahan otot-otot nafas antara lain adanya takikardi, takipneu, serta pergerakan dada dan abdomen yang tidak sinkron. Pasien dengan gejalagejala tersebut dapat dilakukan perawatan di ruang intensif dengan mengacu pada kriteria paling tidak memenuhi 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Kriteria mayor meliputi hiperkapnia dengan nilai PaCO2 > 48 mmHg, hipoksemia dengan PaO2 < 56 mmHg pada udara ruangan, kapasitas vital paru < 15 ml/kgBB, dan tekanan inspirasi negative < -30 cmH2O. sedangkan kriteria minor meliputi usaha batuk yang lemah/tidak efektif, disfagia, dan gambaran rontgen dada atelectasis.6,11



2.8



Prognosis dan Komplikasi Miller Fisher Syndrome merupakan penyakit yang dapat sembuh spontan. Gejala



ataksia dan ophtalmoplegia biasanya sembuh dalam satu hingga tiga bulan setelah onset awal dan pasien MFS biasanya mengalami kesembuhan total dalam 6 bulan. Hasil penelitian menunjukkan waktu rata-rata durasi penyakit MFS dari onset awal



17



hingga penyembuhan adaah sebanyak 12 hari untuk gejala ataxia dan 15 hari utnuk ophthalmoplegia. Sedangkan waktu rata-rata untuk penyembuhan total adalah 1 bulan untuk ataxia dan 3 bulan untuk ophthalmoplegia. Pada 6 bulan setelah onset awal penyakit. Waktu penyembuhan pasien MFS tidak berhubungan dengan faktor usia, jenis kelamin, adanya proses infeksi serta kondisi disabilitas. 20 Meskipun MFS merupakan penyakit yang dapat sembuh spontan, pemberian terapi berupa immunoglobulin intravena atau plasmaparesis dapat mempercepat proses penyembuhan dan mencegah perburukan penyakit menjadi GBS. Angka kekambuhan GBS adalah sebesar 3-6% sedangkan kekambuhan MFS masih belum diketahui, suatu laporan kasus di India menunjukkan adanya rekurensi MFS pada satu pasien dimana ditemukan adanya antibodi anti GQ1b.13 Komplikasi serius seperti aritmia dan gagal napas dapat terjadi meskipun sangat jarang. Komplikasi serius lainnya antara lain koma, kardiomyopati akibat disfungsi autonomic, laktat asidosis, disfungsi kortiko bulbar, dan hyponatremia akibat syndrome inappropriate secretion of antiduretic hormone (SIADH). Sedangkan untuk kasus kematian pada MFS sangat jarang ditemukan. 6



BAB III LAPORAN KASUS



1. Identitas Pasien Nama



: BM



Umur



: 46 tahun



Jenis Kelamin



: Laki-laki



Kewarganegaraaan



: Indonesia



Alamat



: Br. Jasri, Blahbatuh, Gianyar, Bali



Agama



: Islam



Pekerjaan



: Karyawan swasta



Tgl MRS



: 5 Oktober 2018



Tgl Dipulangkan



: 17 Oktober 2018



2. Anamnesis Keluhan utama : Pandangan mata dobel Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang diantar oleh keluarga ke UGD RSU Kasih Ibu Denpasar pada tanggal 5 Oktober 2018 dalam keadaan sadar dengan keluhan utama yaitu pandangan mata dobel. Pandangan mata dobel dirasakan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit (2 Oktober 2018) keluhan tersebut membuat pasien merasa pusing setiap kali membuka mata, sehingga pasien memilih untuk menutup terus kedua matanya. Karena merasa pusing setiap kali membuka mata hal tersebut membuat pasien kesulitan untuk berjalan karena terasa sempoyongan. Sebelum keluhan pandangan mata dobel muncul pasien mengeluhkan suara sengau serta kesulitan untuk menggerakkan wajah sebelah kiri, kedua keluhan tersebut muncul lebih dahulu dibandingkan keluhan mata dobel. Keluhan suara sengau dan kesulitan menggerakkan wajah sebelah kiri dirasakan sejak seminggu sebelum masuk rumah sakit (28 September 2018). Pasien juga mengeluhkan kesulitan menelan makanan terutama makanan cair. Keluhan



19



tersebut juga dirasakan sejak seminggu yang lalu (28 September 2018). Namun pasien mengatakan tidak pernah sampai tersedak. Pasien sempat melakukan rawat jalan ke Poliklinik Saraf di RSU Sanjiwani namun keluhannya tidak kunjung membaik. Setelah melakukan rawat jalan di RSUD Sanjiwani, pasien tidak mengalami perbaikan kondisi malahan muncul keluhan pandangan mata dobel yang membuat pasien sangat pusing dan kesulitan berjalan sehingga pasien memutuskan untuk berobat ke RSU Kasih Ibu Denpasar. Setelah keluhan pandangan mata dobel muncul, pasien merasa agak sulit menggerakkan kedua tangannya, pasien terutama sangat kesulitan untuk mengangkat tangannya yang sebelah kiri. Pasien merasa kesemutan pada kedua tangannya. Adanya keluhan demam saat pemeriksaan dikatakan tidak ada. Adanya keluhan nyeri kepala, penurunan kesadaran, kejang serta trauma pada kepala juga dikatakan tidak ada. Buuang air besar dan buang air kecil pasien dikatakan tidak ada keluhan. Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan Keluhan yang sama tidak pernah dialami pasien sebelumnya. Namun pasien mengaku sempat naik haji pada bulan September dan semat sakit flu sepulang dari naik haji. Namun keluhan tersebut sembuh setelah pasien membeli obat sendiri di apotek. Adanya riwayat penyakit stroke seperti lumpuh separuh tubuh, bicara pelo, penurunan kesadaran tiba-tiba dikatakan tidak ada. Adanya riwayat penyakit jantung, hipertensi, dan diabetes mellitus juga dikatakan tidak ada. Riwayat Keluarga Riwayat penyakit jantung, hipertensi, diabetes, dan penyakit ginjal pada keluarga disangkal. Namun ayah dan ibu pasien dikatakan memiliki riwayat stroke.



20



Riwayat Personal dan Sosial Pasien adalah seorang karyawan swasta di perusahaan meubel yang pekerjaannya lebih banyak duduk di depan komputer dan sesekali meninjau proses produksi di lapangan. Pasien mengaku sehari-hari jarang beraktivitas fisik ritmik seperti berolahraga. Pasien tinggal dengan istri dan kedua anaknya. Keluhan yang sama seperti pasien pada anggota keluarga pasien dikatakan tidak ada. 3. Pemeriksaan Fisik Status Present Kondisi umum



: Sakit sedang



Kesadaran



: Compos mentis



GCS



: E4V5M6



Gizi



: Baik



Tekanan darah



: 120/80 mmHg



Nadi



: 82 kali/menit reguler



Respirasi



: 20 kali/menit reguler



Suhu aksila



: 36oC



Berat badan



: 60 kg



Tinggi Badan



: 168 cm



BMI



: 21,26 kg/m2



Status Generalis Mata



: Anemis -/- edema palpebra -/-



THT



Telinga



: Sekret -/-, hiperemis -/-



Hidung



: Sekret (-)



Tenggorokan



: Tonsil T2/T2, faring hiperemi (-)



Leher



: Pembesaran kelenjar getah bening (-). Trakea tidak tampak pendorongan. JVP 0cm H20



Thorax : Cor : Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis



21



Palpasi



: Tidak teraba iktus kordis



Perkusi



: Batas jantung dalam batas normal



Auskultasi : S1S2 tunggal regular murmur (-) Pulmo : Inspeksi Palpasi



: Simetris kir kanan statis dan dinamis, retraksi (-) : Fokal fremitus normal, pergerakan dada simetris tidak ada



Perkusi



: Sonor di seluruh lapangan paru



Auskultasi : Vesikuler +/+, Ronki -/-, Wheezing -/+/+ -/-/+/+ -/-/Abdomen : Inspeksi



: distensi (-)



Auskultasi : bising usus (+) normal Palpasi



: hepar/lien tidak teraba, ginjal tidak teraba, nyeri tekan (-).



Perkusi



: timpani



Inguinal dan genetalia : dalam batas normal Ekstremitas : Hangat +/+, edema -/+/+ -/Corpus Vertebrae Inspeksi : Deformitas (-) Palpasi : Massa (-), deformitas (-) Status Neurologis Kesadaran : GCS 15 (E4M6V5) Tanda Rangsangan Meningeal : Kaku kuduk :Brudzinski I :Brudzinski II : Kernig : Tanda Peningkatan Tekanan Intrakranial : Pupil : isokor, Ф 3mm/3mm, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+, papil edema +/+



22



Pemeriksaan Nervus Cranialis : N. I : kemampuan menghidu kanan dan kiri kesan normal N. II : tajam penglihatan, lapangan pandang dan melihat warna dalam batas normal. N. III, IV, VI : bola mata posisi ortho, ptosis +/+, pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+), diplopia (+), strabismus (-), nistagmus (-/-). fixed eye (-/-) N. V : membuka mulut (+), menggerakkan rahang (+), menggigit (+), mengunyah (+), sensorik menurun (hipestesi), refleks kornea (+/+) N. VII : Raut muka kurang simetris, plika nasolabialis asimetris, mengerutkan dahi (+), menutup mata (+), bersiul (+), memperlihatkan gigi berkurang sebelah kiri, sekresi air mata (+), sensasi lidah 2/3 depan (+). N. VIII : suara berbisik (+), detik arloji (+), test rinne, weber, scwabach tidak dilakukan. N. IX : refleks muntah (+), sensasi lidah 1/3 belakang (+) N. X : arkus faring simetris kiri dan kanan, uvula di tengah, menelan agak kesulitan, disfagia (+), disfonia (-) N. XI : menoleh ke kanan dan kiri (+), mengangkat bahu (+) N. XII : kedudukan lidah di dalam dan saat dijulurkan simetris, tremor (-), fasikulasi (-), atropi (-). Pemeriksaan Koordinasi : Cara berjalan Romberg tes Ataksia Rebound phenomen Test tumit lutut Pemeriksaan Motorik Pemeriksaan Sensorik Pemeriksaan Otonom - Miksi



:



ataxic gait + -



Disartria Disgrafia Supinasi-pronasi Tes jari hidung Tes hidung jari



+ +



444 333 , eutonus, eutrofi. 555 555 : kesemutan pada kedua tangan (parestesia gloves +/+) : : normal



23



- Defekasi : normal - Sekresi keringat : normal Refleks Fisiologis - · Biceps : +1/+1 - · Triceps : +1/+1 - · APR : +1/+1 - · KPR : +1/+1 Refleks Patologis - · Babinski : -/- · Chaddok : -/- · Oppenheim : -/- · Gordon : -/- · Schaeffer : -/- · Hoffman Tromner : -/Refleks Regresi - Refleks Glabella :- Refleks Snout :- Refleks Mengisap :- Refleks Memegang :- Refleks Palmomental : 4. Pemeriksaan Penunjang Parameter



Hasil



Satuan



Reference Range



Darah Lengkap Leukosit



10.38



10^3/uL



4.5-11.0



Eritrosit



4.99



10^6/uL



4.6-6.2



Hemoglobin



15.10



g/dl



13.5-18.0



Hematokrit



43.80



%



40.0-54.0



MCV



87.80



FL



80.0-100.0



MCH



30.30



Pg



27.0-31.0



MCHC



34.50



g/dl



32.0-36.0



Trombosit



267



10^3/uL



150.0-440.0



RDW-SD



38.20



FL



37.0-54.0



24



RDW-CV



11.90



%



11.5-14.5



PDW



9.80



FL



15.5-17.1



MPV



9.40



FL



6.3-11.1



P-LCR



19.20



%



13.0-43.0



PCT



0.25



%



0.15-0.4



Limfosit%



20.70



%



20.0-50.0



Monosit%



8.00



%



0.0-6.0



Eosinofil%



0.40



%



1.0-5.0



Basofil%



0.60



%



0.0-2.0



Neutrofil%



70.30



%



50.0-75.0



Limfosit#



2.15



10^3/uL



1.0-7.25



Monosit#



0.83



10^3/uL



0.0-0.9



Eosinofil#



0.04



10^3/uL



0.0-0.75



Basofi#



0.06



10^3/uL



0.0-0.22



Neutrofil#



7.30



10^3/uL



2.25-8.83



LED



14.00



mm/hour 0.0-15.0



SGOT



20



U/L



< 40



SGPT



26



U/L



< 41



Gula Darah Acak



102



mg/dl



74-199



Natrium



137



mmol/L



137.0-145.0



Kalium



3.6



mmol/L



3.5-5.1



Klorida



103



mmol/L



98.0-107.0



121.30



ng/mL



< 500.0



0.33



mg/L



< 5.0



Kimia Klinik



Elektrolit



Hematologi D-Dimer Imunoserologi Hs-CRP Analisa LCS



25



Reaksi Pandy



Positif (++)



Negatif



Reaksi None



Positif (++)



Negatif



Makroskopis Warna



Jernih



Darah



Negatif



Bekuan



Negatif



Mikroskopis Mono



55



%



Poly



45



%



Eritrosit



Negatif



/lp



Jumlah Sel Liquor



5



0-5



Glukosa



70



TP Liquor/MTP



73.20



60-70% dari glukosa darah mg/dl



Tinggi Normalnya: 18-58 mg/dL



Kultur LCS Tidak ada pertumbuhan bakteri aerob. Hasil Pemeriksaan Elektroneuromiografi (ENMG) CMAP (Compound Muscle Action Potental) : N. Medianus, N. Ulnaris dan N. Radialis kanan: amplitude rendah, KHST dan distal latensi normal, N. Medianus dan N. Radialis kiri: normal, N. Ulnaris kiri amplitude rendah, KHST dan distal latensi normal. N. Peroneus dan N. Tibialis kanan: amplitude rendah dan KHST memanjang N. Peroneus dan N. Tibialis kiri: amplitude rendah dan KHST memanjang SNAP (Sensory Nerve Action Potential) : N. Medianus, N. Ulnaris dan N. Radialis kanan kiri: amplitude rendah N. Suralis kanan kiri: amplitude rendah Konklusi: Degenerasi aksonal sesuai dengan Acute Motor Axonal Neuropathy



26



5. Diagnosis Diagnosis klinis



: Miller Fisher Syndrome



Diagnosis topis



: Gangliosida GQ1b



Diagnosis etiologis



: Autoimun



6. Terapi -



IVFD NaCl 0,9% 16 tetes per menit



-



Sanexon (Metilprednisolon) 250 mg tiap 6 jam intravena bolus pelan



-



Esomax (Esomeprazole) 40 mg tiap 12 jam intravena



-



Acitral (Antasida) 3 x C I



-



Kalmeco (Mecobalamin) 1 ampul tiap 8 jam intravena



-



Sanmol (Paracetamol) 1 gram intravena prn nyeri atau merasa panas



-



Pemberian Gammaras (Imunoglobulin intravena) 8 vial per hari dengan kecepatan 14 tetes per menit selama 5 hari



7. Monitoring -



Tanda distress nafas



-



Gangguan menelan



-



Perburukan deficit neurologis pada ekstremitas



8. Prognosis -



Ad vitam Ad fungsionam Ad sanationam



: ad bonam : ad bonam : ad bonam



9. Follow Up Pasien dipulangkan pada tanggal 17 Oktober 2018 (hari rawat ke-13) S : keluhan pandangan mata dobel masih Kelemahan dan kesemutan pada kedua tangan membaik Kelopak mata sudah bsa membuka dan menutup dengan baik\ Bicara sengau membaik, kesulitan menelan tidak ada



27



Mobilisasi membaik O:



TD : 120/80 mmHg Nadi :82 x/menit



RR : 20x/menit SUhu : 36,5 oC



Status Neurologis : diplopia +/+ Motorik 555 555 555 555 Sensorik : parestesia gloves -/Nervus cranialis : A : Miller Fisher Syndrome (membaik) P: Kalmeco (Mecobalamin) kapsul satu kapsul setiap 8 jam Prednicort (Metilprednisolon) tablet 16 mg setiap 8 jam selama 5 hari Neuroaid II 1 tablet setiap 8 jam Pasien control kembali 5 hari setelah BPL



BAB IV PEMBAHASAN



Dari anamnesis didapatkan data berupa pasien laki-laki usia 46 tahun mengeluh pandangan mata dobel yang dirasakan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sebelum keluhan pandangan mata dobel muncul, seminggu sebelumnya pasien memiliki keluhan suara sengau, kesulitan menggerakkan wajah sebelah kiri, dan kesulitan menelan. Setelah itu muncul keluhan pandangan mata dobel. Keluhan pandangan mata dobel tersebut membuat pasien menghindari membuka mata karena terasa pusing setiap kali membuka mata. Pasien juga kesulitan untuk berjalan karena merasa pusing setiap kali berjalan. Selain itu pada pasien juga ditemukan keluhan kesulitan menggerakkan kedua tangan utamanya kesulitan mengangkat tangan kirinya. Pasien merasakan keluhan sensorik yakni merasa kesemutan pada kedua tangan atau disebut paresthesia gloves. Adanya riwayat demam dikatakan tidak ada. Adanya keluhan nyeri kepala, penurunan kesadaran, kejang serta trauma pada kepala juga dikatakan tidak ada. Tanda-tanda vital pasien ditemukan stabil, dari status generalis pada mata ditemukan ptosis mata kiri kanan, sedangkan dari organ tubuh lain masih dalam batas normal. Dari status neurologis tidak ditemukan adanya rangsangan meningeal, tidak terdapat tanda peningkatan intrakranial, tidak terdapat disfungsi otonom, tidak terdapat refleks patologis positif dan refleks regresi ditemukan negatif. Temuan yang positif adalah gangguan pada nervus cranialis III, IV, VI berupa diplopia (+/+) dan ptosis (+/+), pada nervus V terdapat penurunan sensorik wajah sebelah kiri, kemudian dari pemeriksaan nervs VII ditemukan pasien kesulitan menggerakkan wajah sebelah kiri, dari nervus X pasien mengalami kesulitan menelan dan disfagia. Dari motorik didapatkan kelemahan mata kedua tangan terutama pada tangan kiri dengan kekuatan 4+/4 serta dari sensorik didapatkan parestesia hand pada kedua tangan. Dari pemeriksaan koordinasi didapatkan ataxic gait dan refleks fisiologisnya menurun. Dari keluhan dan pemeriksaan fisik pasien disimpulkan bahwa pasien mengarah ke diagnosis Miller Fisher Syndrome yakni salah satu varian langka dari Guillan-Barre Syndrome. Berdasarkan teori pada pasien MFS akan didapatkan trias



29



gejala ophthalmoplegia, ataxia, dan areflexia dimana pada pasien ini juga ditemukan trias gejala tersebut. Gejala lainnya yang juga dapat ditemukan pada MFS yakni keluhan sensoris seperti kesemutan, kesulitan menelan, serta kelemahan pada otot fasialis termasuk otot-otot okulomotorik yang menimbulkan gejala blepharoptosis. Gejala yang khas paling menonjol pada MFS yakni pasien akan mengeluhkan pandangan dobel seperti yang juga dikeluhkan pada pasien di laporan kasus ini. 6,11 Secara teori pasien MFS biasanya datang dengan kesadaran yang baik yakni compos mentis, pada pasien ini juga kesadaran pasien masih baik yakni GCS E4V5M6. Dari segi pemeriksaan penunjang pada pasien ini ditemukan hasil pemeriksaan darah lengkap dalam batas normal, elektrolit dalam batas normal, gula darah acak dan fungsi hati dalam batas normal, hasil pemeriksaan D-dimer dan hs CRP dalam batas normal. Dari analisa lumbal pungsi liquor cerebrospinal (LCS) ditemukan reaksi Pandy (++) dan Nonne (++) dimana pada kondisi normal seharusnya kedua reaksi tersebut negatif. Reaksi Pandy dan None yang positif merujuk pada kondisi LCS yang banyak mengandung protein globulin yang bisa mengindikasikan adanya proses infeksi atau inflamasi pada otak, jumlah sel ditemukan normal yakni 5 sel per lapang pandang, kadar glukosa normal yakni 70 mg/dl, namun kadar protein ditemukan tinggi yakni 73.20 dimana kadar normalnya 18-58 mg/dl. Hasil analisa LCS pada pasien ini sudah termasuk ke kondisi disosiasi sitoalbumin yakni kondisi dimana terdapat peningkatan jumlah protein dengan jumlah sel yang normal. Hal ini sejalan dengan hasil pemeriksaan LCS pada pasien dengan MFS dimana ditemukan kondisi disosiasi sitoalbumin. Pemeriksaan lain yang dikerjakan pada pasien ini adalah ENMG dimana hasilnya ditemukan dari segi CMAP atau potensiasi ototnya N. Medianus, N. Ulnaris dan N. Radialis kanan: amplitude rendah, KHST dan distal latensi normal, N. Medianus dan N. Radialis kiri: normal, N. Ulnaris kiri amplitude rendah, KHST dan distal latensi normal.N. Peroneus dan N. Tibialis kanan: amplitude rendah dan KHST memanjang N. Peroneus dan N. Tibialis kiri: amplitude rendah dan KHST memanjang. Dari segi potensiasi saraf sensoris ditemukan N. Medianus, N. Ulnaris dan N. Radialis kanan kiri: amplitude rendah, N. Suralis kanan kiri: amplitude rendah. Didapatkan kesimpulan ENMG berupa gambaran degenerasi aksonal sesuai dengan Acute Motor



30



Axonal Neuropathy. Apabila dibandingkan dnegan teori hasil ENMG pada pasien MFS akan ditemukan



Berdasarkan teori pemeriksaan penunjang lain yang memiliki



sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk mendiagnosis MFS adalah pemeriksaan antibodi anti-GQ1b dengan menggunakan ELISA (enzyme linked immunoabsorbent assay) namun pada pasien ini tidak dikerjakan. Dari segi etiologi, berdasarkan teori etiologi tersering untuk MFS adalah adanya patogen eksogen seperti bakteri C. Jejuni, H. Influenza, dan kelompok bakteri serta virus lainnya yang menyebabkan molekuler mimikri sehingga menginduksi proses autoimun.5,9 Etiologi dari pasien ini belum jelas, karena informasi riwayat infeksi yang minim. Namun pada pasien ini sumber infeksi yang paling dicurigai adalah pasien sempat mengalami influenza pada bulan September setelah naik haji. Dari sisi penatalaksanaan berdasarkan teori terapi definitif pada kasus Miller Fisher Syndrome adalah dengan pemberian imunoglobulin intravena atau dengan plasmaparesis (terapi penggantian plasma). Pada pasien ini terapi definitif yang dipilih adalah dengan pemberian imunoglobulin intravena sebanyak 8 vial (sediaan per vialnya 2.5 gram/50 cc) selama 5 hari. Menurut teori pemberian imunoglobulin intravena pada pasien MFS dewasa adalah sebanyak 2 gram/kgBB dibagi selama 5 hari.18 Apabila dilakukan penghitungan secara teori, pasien pasa laporan kasus ini memiliki bobot = 60 kilogram. Maka dosis imunoglobulin intravenanya adalah 2 gram x BB = 2 m x 60 = 120 gram. Tetapi pada penatalaksanaannya pasien ini emndapat imunoglobulin intravena total selama 5 hari sebayak = 2, 5 gram x 8 x 5 = 100 gram. Pemberian imunoglobulin intravena lebih dipilih dibandingkan plasmaparesis karena lebih cepat, mudah dilakukan, tidak merepotkan pasien, namun sayangnya harganya mahal yakni sekitar 3,5 juta rupiah per vialnya. Pada pasien ini juga diberikan terapi suportif berupa pemberian kortikosteroid, mecobalamin, antimual, serta antinyeri. Pada pasien ini perawatan dilakukan di ruang rawat inap biasanya bukan di ruang intensif hal ini sesuai dengan teori dimana perawatan di ruang intensif filakukan hanya bila terdapat tanda distress nafas atau disfungsi otonom yang berat seperti aritmia. Berdasarkan teori prognosis ad vitam, ad fungsionam dan ad sanationam pada kasus MFS adalah bonam. Prognosis ad vitam adalah prognosis yang merujuk kepada



31



pengaruh penyakit terhadap proses kehidupan dimana pada pasien ini gejala MFS yang dialami tidak sampai mengancam nyawa. Kemudian prognosis ad fungsional merujuk pada pengaruh penyakit terhadap fungsi organ atau fungsi manusia dalam melakukan tugasnya, pada pasien di laporan kasus ini seluruh keluhannya membaik dan tidak terdapat suatu disfungsi organ atau adanya disabilitas, sehingga prognosisnya bonam. Dan prognosis yang terakhir yakni pengaruh penyakit apakah dapat sembuh total sehingga dapat beraktivitas seperti biasa. Berdasarkan teori pasien MFS akan sembuh total dalam 6 bulan pasca onset awal terjadinya penyakit.20 Pada laporan kasus ini pasien sudah dapat beraktivitas dan bekerja seperti biasa setelah 3 bulan dari onset awal penyakit, jadi prognosisnya bonam.



BAB V PENUTUP



5.1



Simpulan Miller Fisher Syndrome (MFS) adalah penyakit polineuropati akut dan



merupakan varian langka dari penyakit Guillain Barre Syndrome (GBS) yang ditemukan oleh Dr. C Miller Fisher pada tahun 1956. Penyakit ini ditandai dengan trias klasik berupa ophthalmoflegia yakni kelemahan otot di sekitar mata, ataxia yakni adanya gerakan abnormal dan tidak terkoordinasi yang berpengaruh pada keseimbangan, dan areflexia yakni hilangnya reflex pada tendon dalam. Kasus MFS dilaporkan sebanyak 1-7% dari kasus GBS di belahan dunia bagian barat, sedangkan di benua Asia MFS lebih banyak dijumpai yakni sebanyak 18-19% dari kasus GBS di Taiwan dan sebanyak 25% di Jepang. Miller Fisher Syndrome lebih banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan yakni dengan rasio 2:1. Patogenesis terjadinya MFS diyakini melalui proses molekuler mimikri yang melibatkan gangliosida GQ1b yang banyak terdapat pada paranodal nervus cranialis III, IV, dan VI. Adanya reaksi silang antara antigen saraf perifer dengan komponen virus atau bakteri tersebut melalui proses mimikri molekuler dicurigai sebagai awal mula penyebab terjadinya proses inflamasi dari MFS Pemeriksaan penunjang yang dapat dialkukan untuk menegakkan diagnosis MFS adalah dengan pemeriksaan analisa liquor ceresrospinal (LCS) yang menunjukkan adanya disosiasi sitoalbumin, pemeriksaan antibodi anti GQ1b dengan ELISA, serta ENMG yang emnunjukkan perlambatan konduksi saraf. Penatalaksanaan MFS dapat berupa imunoglobulin intravena, plasmaparesis, serta terapi suportif. Miller Fisher Syndrome merupakan penyakit yang dapat sembuh spontan dalam kurun waktu kurang lebih 6 bulan, angka rekurensinya sangat rendah dan jarang menimbulkan kematian.



DAFTAR PUSTAKA



1. Doorn P, Ruts L, Jacobs BC. Clinical features, pathogenesis, and treatment of GuillainBarré syndrome. Lancet Neurology. 2008; 7: 939–50 2. Hughes RA, Rees JH. Clinical and Epidemiologic Features of Guillain-Barre Syndrome. The Journal of Infectious Diseases. 2007;176(2): 92–8 3. Masahiro M. Clinical features and prognosis of Miller Fisher syndrome. Masahiro Mori et al. Journal of Neurology. 2011; 56:1104–1106 4. Bukhari S, Taboada J. 2017. A Case of Miller Fisher Syndrome and Literature Review. Cureus 9(2): e1048. DOI 10.7759/cureus.1048 5. Paparounas K. Anti-GQ1b ganglioside antibody in peripheral nervous system disorders: pathophysiologic role and clinical relevance. Arch. Neurol. 2004 Jul;61(7):1013-6. 6. Cabrero FR, Morrison EH. Miller Fisher Syndrome. 2018. Available at : 7. Salloway S et al. Miller-Fisher Syndrome Associated with Campylobacter jejuni Bearing Lipopolysaccharide Molecules That Mimic Human Ganglioside GQ1b. Journal of Infection and Immunity. 2016; 64(8): p2945–2949 8. Willison HJ, O’Hanlon G. The immunopathogenesis of Miller Fisher syndrome. Journal of Neuroimmunology. 2009: 3–12 9. Koga M. Antecedent infections in Fisher syndrome: a common pathogenesis of molecular mimicry. Neurology. 2005; 64: 1605–1611 10. Lo YL: Clinical and immunological spectrum of the Miller Fisher syndrome. Muscle Nerve. 2007, 36:615-627. 10.1002/mus.20835 11. Berlit P, Rakicky J: The Miller Fisher syndrome. Review of the literature. Journal of Clinical Neuroophthalmolology. 2012, 12:57-63. 12. Overell JR, Willison HJ. Recent developments in Miller Fisher syndrome and related disorders. Current Opinion in Neurology 2005, 18:562–566 13. Negi S, Shah AN, Tilara M, Shah R. A Case of Miller Fischer variant of Guillain Barre Syndrome. International Journal of Scientific and Research Publications. 2014; 4(8): 2250-3153



14. Fross RD, Daube JR. Neuropathy in the Miller Fisher syndrome: clinical and electrophysiologic findings. Neurology. 2007 Sep;37(9):1493-8 15. Bushra JS. Miller Fisher syndrome: an uncommon acute neuropathy. Journal of Emergency Medicine. 2010 May;18(4):427-30. 16. Roodbol J, de Wit MY, van den Berg B, Kahlmann V, Drenthen J, Catsman-Berrevoets CE, Jacobs BC. Diagnosis of Guillain-Barré syndrome in children and validation of the Brighton criteria. J. Neurol. 2017 May;264(5):856-861. 17. Snyder LA, Rismondo V, Miller NR: The Fisher variant of Guillain-Barré syndrome (Fisher syndrome). Journal of Neuroophthalmology. 2009, 29:312-324. 18. Mori M, Kuwabara S, Fukutake T. Intravenous immunoglobulin therapy for Miller Fisher syndrome. Journal of Neurology. 2007;68:1144–1146 19. Yeh J, Chen W. Miller Fisher Syndrome with central involvement: a successful treatment with plasmapheresis. Journal of Therapeutic Apharesis. 2009; 31:69-71 20. Mori M, Kuwabara S, Fukutake T, et al.: Clinical features and prognosis of Miller Fisher syndrome. Neurology. 2001, 56:1104-1106. 10.1212/WNL.56.8.1104