Laporan Kasus Ppok [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS



“Penyakit Paru Obstruktif Kronik Eksaserbasi Akut”



Disusun Oleh : dr. Julinda Tri Jayanti



DOKTER INTERNSIP RS. BHAYANGKARA KOTA MANADO 2015



1



BAB I PENDAHULUAN Istilah penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructif Pulmonary Disease (COPD) ditujukan untuk mengelempokkan penyakit-penyakit yang mempunyai gejala berupa terhambatnya arus udara pernapasan. Istilah ini mulai dikenal pada akhir 1950an dan permulaan tahun 1960an. Masalah yang menyebabkan terhambatmya arus udara tersebut bisa terletak pada saluran pernapasan maupun pada parenkim paru. Kelompok penyakit yang dimasksud adalah Bronkitis Kronik (masalah dalam saluran pernapasan), emfisema (masalah dalam parenkim). Ada beberapa ahli yang menambahkan ke dalam kelompok ini yaitu Asma Bronkial Kronik, Fibrosis Kistik dan Bronkiektasis. Secara logika penyakit asma bronkial seharusnya dapat digolongkan ke dalam golongan arus napas yang terhambat, tetapi pada kenyataannya tidak dimasukkan ke dalam golongan PPOK.1,2 Pada tahun 2004, Institut Nasional Inggris mendefinisikan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) ditandai dengan obstruksi aliran udara. Obstruksi aliran udara biasanya progresif, tidak sepenuhnya reversibel dan tidak berubah tajam selama beberapa bulan. Penyakit ini didominasi disebabkan oleh merokok. Istilah PPOK yang lebih disukai untuk obstruksi aliran udara terkait dengan penyakit kronis bronkitis dan emfisema. Ini terkait erat dengan, tetapi tidak identik dengan, PPOK. Meskipun asma dikaitkan dengan obstruksi aliran udara biasanya dianggap sebagai entitas klinis terpisah. Beberapa pasien dengan asma kronis juga mengembangkan obstruksi aliran udara yang relatif tetap (konsekuensi dari saluran napas renovasi) dan sering dibedakan dari PPOK. Karena prevalensi tinggi asma dan PPOK, kondisi ini hidup berdampingan pada banyak pasien, menciptakan ketidakpastian diagnostik. Kondisi lainnya juga berhubungan dengan obstruksi aliran udara yang buruk reversibel termasuk cystic fibrosis, bronkiektasis, dan bronkiolitis obliteratif. Meskipun syarat yang harus dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial saluran napas obstruktif penyakit, mereka tidak konvensional dicakup oleh definisi PPOK.1 Berikut ini akan dibahas laporan kasus pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik.



2



BAB II LAPORAN KASUS I.



II.



IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis kelamin Status pernikahan Alamat Agama Tanggal Masuk



: Tn. BP : 71 tahun : Laki-laki : Menikah : Wanga Mongena Jaga IV Motoling Timur :Kristen Protestan : 2 juli 2015



ANAMNESIS Keluhan Utama



: Sesak Napas



Riwayat penyakit sekarang : Sesak napas dialami sejak kurang lebih 3 bulan, memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, dirasakan terus menerus tidak dipengaruhi oleh aktifitas. Batuk dialami penderita sejak kurang lebih 3 bulan sebelum masuk rumah sakit, batuk dirasakan berdahak warna putih tanpa disertai strep darah. Keluhan demam maupun riwayat demam disangkal oleh pasien. Pasien bisa tidur dengan satu bantal, tidak pernah terbangun malam hari karena sesak, sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca. Riwayat penurunan berat badan disangkal oleh pasien, keringat malam hari juga disangkal. Riwayat merokok sejak umur 20 tahun, penderita dapat menghabiskan dua bungkus rokok dalam satu hari. BAB dan BAK tidak ada kelainan. Riwayat penyakit dahulu : Riwayat hipertensi diketahui penderita sejak kurang lebih lima tahun yang lalu.



III.



PEMERIKSAAN FISIK Kesadaran Keadaan Umum Berat badan Tanda-tanda vital



: Compos Mentis : Sedang : 60 kg : 3



   



Tekanan darah : 140/90 mmHg Nadi : 96 x/menit Suhu : 37,5 ºC Pernapasan : 28 x/menit



Status Generalis : Kepala : normochephali Mata : pupil isokor, sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis -/Telinga : serumen -/-, cairan-/Hidung : rhinore-/-, epistasis -/Mulut : sianosis (-), atrofi papil (-) Thorax : Cor : Ictus cordis tidak tampak, IC tidak teraba, BJ I-II normal, bising (-) Pulmo : bentuk dada barrel chest, pergerakan dinding dada simetris, sela iga melebar, SP vesikuler, ekspirasi memanjang, Rh-/-, Wh+/+ Abdomen     Ekstremitas



: Inspeksi : datar, lemas Palpasi : NTE (-), NTSP (-), Hepar dan Lien tidak teraba Perkusi : redup, shifting dullnes (-) Auskultasi : bising usus normal : akral hangat, kekuatan otot 5/5/5/5



IV.



PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Laboratorium : Darah lengkap : Leukosit 11 ribu/uL Eritrosit 4,58 juta/uL Hb 11,9 g/dL Hematokrit 34,6 % Trombosit 276 ribu/uL b. Radiologi : direncanakan c. EKG : dalam batas normal



V.



DIAGNOSIS KERJA PPOK eksaserbasi akut Hipertensi gr II



VI.



PENATALAKSANAAN O2 2-3 Liter/menit Nebulizer combivent/8 jam 4



Ambroxol 30 mg 3x1 tab Amlodipin 5 mg 1-0-0 VII.



Rencana Pemeriksaan Laju endap darah Sputum BTA 3 kali SGOT, SGPT, Ureum, Creatinin, GDP Foto Thorax Tes Faal Paru



RESUME Seorang laki-laki umur 71 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan utama sesak. Sesak napas dialami sejak ± 3 bulan, memberat sejak 1 hari SMRS, dirasakan terus menerus tidak dipengaruhi oleh aktifitas. Batuk dialami penderita sejak ±3 bulan SMRS, batuk dirasakan berdahak warna putih tanpa disertai strep darah. Keluhan demam maupun riwayat demam (-). Pasien bisa tidur dengan satu bantal, tidak pernah terbangun malam hari karena sesak, sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca. Riwayat penurunan berat badan (-), keringat malam hari (-). Riwayat merokok sejak umur 20 tahun, penderita dapat menghabiskan dua bungkus rokok dalam satu hari. BAB dan BAK tidak ada kelainan. Riwayat penyakit dahulu hanya hipertensi yang diketahui penderita sejak 5 tahun yang lalu. Pemeriksaan fisik didapatkan tensi 140/90, nadi 96x/menit, respirasi 28 kali/menit, suhu badan 37,5 derajat celsius. Pada pemeriksaan thoraks ditemukan pergerakan dinding dada simetris, bentuk dada barrel chest, pergerakan dinding dada simetris, sela iga melebar, SP vesikuler, ekspirasi memanjang, Rh-/-, Wh+/+.



5



BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Istilah penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructif Pulmonary Disease (COPD) ditujukan untuk mengelempokkan penyakit-penyakit yang mempunyai gejala berupa terhambatnya arus udara pernapasan. Istilah ini mulai dikenal pada akhir 1950an dan permulaan tahun 1960an. Masalah yang menyebabkan terhambatmya arus udara tersebut bisa terletak pada saluran pernapasan maupun pada parenkim paru. Kelompok penyakit yang dimasksud adalah Bronkitis Kronik (masalah dalam saluran pernapasan), emfisema (masalah dalam parenkim). Ada beberapa ahli yang menambahkan ke dalam kelompok ini yaitu Asma Bronkial Kronik, Fibrosis Kistik dan Bronkiektasis. Secara logika penyakit asma bronkial seharusnya dapat digolongkan ke dalam golongan arus napas yang terhambat, tetapi pada kenyataannya tidak dimasukkan ke dalam golongan PPOK.2 Suatu kasus obstruksi aliran udara ekspirasi dapat digolongkan sebagai PPOK bila obstruksi aliran udara ekspirasi tersebut cenderung progresif. Kedua penyakit tadi (bronkitis kronik, emfisema) hanya dapat dimasukkan ke dalam kelompok PPOK jika keparahan penyakitnya telah berlanjut dan obstruksinya bersifat progresif. Pada fase awal, kedua penyakit ini belum dapat digabungkan ke dalam PPOK.2 Jika dilakukan pemeriksaan patologik pada pasien yang mengalami obstruksi saluran napas, diagonosis patologiknya ternyata sering berbeda satu sama lain. Diagnosis patologik tersebut dapat berupa emfisema sebesar 68%, bronkitis 66%, sedangkan



6



bronkiolitis sebesar 41%. Jadi dapat disimpulkan bahwa kelainan patologik yang berbeda menghasilkan gejala klinik yang serupa.2 B. Epidemiologi Insiden PPOK penduduk negeri Belanda ialah 10-15% pria dewasa , 5% wanita dewasa dan 5% anak-anak. Faktor risiko yang utama adalah rokok. Perokok mempunyai risiko 4 kali lebih besar daripada daripada bukan perokok, dimana faal paru cepat menurun. Penderita pria : wanita = 3-10 : 1. Pekerjaan penderita sering berhubungan erat dengan faktor alergi dan hiperreaktifitas bronkus. Di daerah perkotaan, insiden PPOM 1 ½ kali lebih banyak daripada pedesaan. Bila seseorang pada saat anak-anak sering batuk, berdahak, sering sesak, kelak pada masa tua timbul emfisema.3 C. Etiologi Infeksi saluran pernafasan adalah penyebab paling umum dari eksaserbasi PPOK. Namun, polusi udara, gagal jantung, emboli pulmonal, infeksi nonpulmonal, dan pneumothorax dapat memicu eksaserbasi akut. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa setidaknya 80 % dari PPOK eksaserbasi disebabkan oleh infeksi. Infeksi tersebut 40-50% disebabkan oleh bakteri, 30% oleh virus, dan 5-10% karena bakteri atipikal. Infeksi bersamaan oleh lebih dari satu patogen menular tampaknya terjadi dalam 10 sampai 20% pasien. Meskipun ada data epidemiologis menunjukkan bahwa peningkatan polusi yang berkaitan dengan peningkatan ringan pada eksaserbasi PPOK dan perawatan di rumah sakit, mekanisme yang terlibat sebagian besar tidak diketahui. Dalam sebuah studi di Eropa, meningkat dari 50 mg / m 3 di tingkat polutan harian menunjukkan peningkatan risiko relatif perawatan di rumah sakit untuk PPOK untuk SO2 (RR 1,02), NO2 (RR 1,02), dan ozon (RR 1,04). Emboli pulmonal juga dapat menyebabkan eksaserbasi PPOK akut, dan, dalam satu penelitian terbaru, Emboli Pulmonal sebesar 8,9% menunjukkan pasien rawat inap dengan eksaserbasi PPOK.4 D. Diagnosis Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri dan lain-lain). Diagnosis berdsarakan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK 7



sesuai derajat (PPOK ringan, PPOK sedang, dan PPOK berat). Diagnosis PPOK klinis ditegakkan apabila :



a. Anamnesis a. Ada faktor risiko : - Usia (pertengahan) - Riwayat pajanan (asap rokok, polusi udara, polusi tempat kerja) b. Gejala Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan. - Batuk Kronik Batuk kronik adalah batuk yang hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. - Berdahak Kronik Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. - Sesak nafas5 b. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan PPOK derajat sedang dan PPOK derajat berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks. Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut : a. Inspeksi - Bentuk dada barrel chest (dada seperti tong) - Terdapat cara bernapas purse lips bretahing (seperti orang meniup) - Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas. - Pelebaran sela iga. b. Palpasi 8



- Fremitus melemah c. Perkusi - Hipersonor d. Auskultasi - Suara nafas vesikuler melemah atau normal - Ekspirasi memanjang - Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi) - Ronki c. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain : - Radiologi (foto thoraks) - Spirometri - Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah terjadi hipoksia kronik) - Analisa gas darah - Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihhan antibiotik bila terjadi eksaserbasi) Meskipun kadang-kadang hasil pmeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dan keluhan pasien. Hasil pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan : - Paru hiperinflasi atau hiperlusen - Diafragma datar - Corakan bronkovaskular meningkat - Bulla - Jantung pendulum Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor resiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak nafas terutama saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.5 9



E. Eksaserbasi akut Pada seseorang yang telah didiagnosis sebagai penderita PPOK dalam keadaan normal penderita ini telah berada dalam keadaan dispnea, berdahak, dan batuk. Pada eksaserbasi akut, ketiga gejala ini bertambah. Eksaserbasi akut PPOK dapat disebabkan oleh infeksi sistem pernapasan, pengaruh polusi lingkungan, gagal jantung, infeksi sistemik, atau juga emboli paru. Eksaserbasi akut PPOK yang ringan belum memerlukan perawatan di rumah sakit, sedangkan eksaserbasi yang sedang dan berat harus dipertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit.3



10



F. Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada penyakit paru obstruksi bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi obstruksi yang terjadi seminimal mungkin dan secepatnya agar oksigenisasi dapat kembali normal; keadaan ini dipertahankan dan diusahakan menghindari perburukan penyakit atau timbulnya obstruksi kembali pada kasus dengan obstruksi yang reversibel. Dasar-dasar penatalaksanaan ini pada PPOK adalah :6



1) Usaha mencegah perburukan penyakit 2) Mobilisasi lendir 3) Mengatasi bronkospasme 4) Memberantas infeksi 5) Penanganan terhadap komplikasi 6) Fisioterapi, terapi inhalasi dan rehabilitasi. Pada asma dan PPOK, suatu serangan akut atau eksaserbasi akut memerlukan penatalaksanaan yang tepat agar obstruksi yang terjadi dapat diatasi seoptimal mungkin sehingga risiko komplikasi dan perburukan penyakit dapat dihindari sedapat mungkin. Pada obstruksi kronik yang terdapat pada PPOK dan SOPT penatalaksanaan bertujuan untuk memperlambat proses perburukan faal paru dengan menghindari eksaserbasi akut dan faktor11



faktor yang memperburuk penyakit. Pada penderita PPOK penurunan faal paru lebih besar dibandingkan orang normal. Penelitian di RSUP Persahabatan menunjukkan bahwa nilai volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) pada penderita PPOK menurun sebesar 52 ml setiap tahunnya.6 a. Penatalaksanaan Umum6 1) Pendidikan terhadap penderita dan keluarga. Mereka hendaklah mengetahui penyakitnya, yang meliputi berat penyakit, faktorfaktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi serta faktor yang bisa memperburuk penyakit.Perlu peranan aktif penderita untuk usaha pencegahan dan pengobatan 2) Menghindari rokok dan zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi. Rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk perjalanan penyakit. Penderita harus berhenti merokok. Di samping itu zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi harus dihindari, karena zat itu juga dapat menimbulkan eksaserbasi/memperburuk perjalanan penyakit. 3) Menghindan infeksi Infeksi saluran napas sedapat mungkin dihindan oleh karena dapat menimbulkan suatu eksaserbasi akut penyakit. 4) Lingkungan sehat. Perubahan cuaca yang mendadak, udara terlalu panas atau dingin dapat meningkatkan produksi sputum dan obstruksi saluran napas. Tempat ketinggian dengan kadar oksigen rendah dapat menurunkan tekanan oksigen dalam arteri. Pada penderita PPOK terjadinya hipertensi pulmonal dan kor pulmonale dapat diperlambat bila penderita pindah dari dataran tinggi ke tempat di permukaan laut. 5) Mencukupkan kebutuhan cairan. Hal ini penting untuk mengencerkan sputum sehingga mudah dikeluarkan. Pada keadaan dekompesasi kordis, pemakaian kortikosteroid dan hiponatremi memperbesar kemungkinan terjadinya kelebihan cairan. 6) Nutrien yang cukup. Pemberian makanan yang cukup perlu dipertahankan oleh karena penderita sering mengalami anoreksia oleh karena sesak napas, dan pemakaian obat -obatan yang menimbulkan rasa mual.



12



b. Pemberian obat-obatan 1. Bronkodilator Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengatasi atau mengurangi obstruksi saluran napas yang terdapat pada penyakit paru obstruksi. Ada 3 golongan bronkodilator utama yaitu golongan simpatomimetik, golongan antikolinergik dan golongan xanthin, ke tiga obat ini mempunyai cara kerja yang berbeda dalam mengatasi obstruksi saluran napas. Dalam otot saluran napas persarafan langsung simpatometik hanya sedikit; meskipun banyak terdapat adenoreseptor beta dalam otot polos bronkus, reseptor ini terutama adalah beta-2. Pemberian beta agonis menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor beta berhubungan erat dengan adenilsiklase, yaitu substansi penting yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan bronkodilatasi. Persarafan bronkus berasal dan sistem parasimpatis melalui nervus vagus Pada asma aktifitas refleks vagal dianggap sebagai komponen utama bronkokonstriksi; tetapi peranan vagus yang pasti tidak diketahui. Substansi penghantar



saraf



tersebut



adalah



asetilkolin



yang



dapat



menimbulkan



bronkokonstniksi. Atropin adalah zat antagonis kompetitif dan asetilkolin dan dapat menimbulkan relaksasi otot polos bronkus sehingga timbul bronkodilatasi. Obat golongan xanthin bekerja sebagai bronkodilator melalui mekanisme yang belum diketahui dengan jelas.6 Beberapa mekanisme yang diduga menyebabkan terjadinya bronkodilator adalah : - Blokade reseptor adenosin - Rangsangan pelepasan katekolamin endogen - Meningkatkan jumlah dan efektivitas sel T supresor -Meningkatkan ambilan kalsium ke dalam sel otot polos dan penghambatan penglepasan mediator dan sel mast. Cara kerja obat bronkodilator adalah dengan menimbulkan bronkodilatasi. Obat golongan simpatomimetik sperti adrenalin dan efedrin selain menimbulkan efek 13



bronkodilatasi juga menimbulkan takikardi dan palpitasi; pemakaian obat-obat yang selektif terhadap reseptor beta mengurangi efek samping ini. Golongan agonis beta-2 yang dianggap selektif antara lain adalah terbutalin, feneterol, salbutamol, orsiprenalin dan salmeterol. Di samping bersifat sebagai bronkodilator, bila diberikan secara inhalasi dapat memobilisasi lendir. Pemberian beta-2 dapat menimbulkan tremor tetapi bila terus diberikan maka gejala akan berkurang. Pemberian salbutamol lepas lambat juga dapat diberikan. Pada penderita asma obat ini mungkin bisa mengurangi timbulnya serangan asma malam. Dosis salbutamol lepas lambat 2 x 4 mg mempunyai manfaat yang sama dengan dosis 2 x 8 mg dengan efek samping yang lebih minima1. Antikolinergik seperti ipratropium bromide merupakan bronkodilator utama pada PPOK, kanena pada PPOK obstruksi saluran napas yang terjadi lebih dominan disebabkan oleh komponen vagal. Kombinasi obat antikolinergik dengan golongan bronkodilator lain seperti agonis beta-2 dan xanthin memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik, sehingga dosis dapat di turunkan sehingga efek samping juga menjadi sedikit. Pada penderita asma akut pemberian antikolinergik tidak direkomendasikan oleh karena efeknya lebih rendah dibandingkan golongan agonis beta-2;



tetapi



penambahan



obat



antikolinergik



dapat



meningkatkan



efek



bronkodilatasi. Pada asma kronik antikolinergik cukup aman,bronkodilatasi terjadi melalui blokade reseptor muskaninik non spesifik. Meskipun efeknya kurang dari gonis beta-2 tapi penambahan obat ini memberikan efek tambahan terutama pada penderita asma yang lebih tua. Golongan xanthin mempunyai efek bronkodilator yang lebih rendah, selain bersifat bronkodilator obat ini juga berperan dalam meningkatkan kekuatan otot diafragma. Pada penderita emfisema dan bronkitis kronik metabolisme obat golongan xanthin ini dipengaruhi oleh faktor uimur, merokok, gagal jantung, infeksi bakteri dan penggunaan obat simetidin dan eitromisin. Oleh karena itu penggunaan obat xanthin pada PPOK membutuhkan pemantauan yang ketat. Pemberian bronkodilator secara inhalasi sangat dianjurkan- oleh kanena cara ini memberikan berbagai keuntungan yaitu :6 • Obat bekerja langsung pada saluran napas • Onset kerja yang cepat 14



• Dosis obat yang kecil • Efek samping yang minimal karena kadar obat dalam darah rendah • Membantu mobilisasi lendir. Ada berbagai cara pemberian obat inhalasi yaitu dengan inhalasi dosis terukur, alat bantu spacer, nebuhaler, turbuhaler,dischaler, rotahaler dan nebuliser. Hal yang perlu diperhatikan adalah cara pemakaian yang tepat dan benar sehingga obat dapat mencapai saluran napas dengan dosis yang cukup.Pada orang tua dan anak-anak serta pada suatu serangan akut yang berat mungkin obat tidak bisa dihisap dengan baik sehingga sukar mendapatkan bronkodilatasi yang optimal pada pemakaian inhalasi dosis terukur. Pemberian inhalasi fenoterol 1 ml konsentrasi 0,1% dengan nebuliser pada serangan asma memberikan perbaikan faal paru yang sangat bermakna pada 32 penderita asma yang berobat ke poli Asma RSUP Persahabatan; tetapi pada 19 orang penderita PPOK dengan eksaserbasi akut, inhalasi ini memberikan perbaikan subjektif sedangkan peningkatan faal paru tidak bermakna.6 Pada penderita PPOK pemberian bronkodilator harus selalu dicoba, meskipun tidak terdapat perbaikan faal paru. Apabila selama 2–3 bulan pemberian obat tidak terlihat perubahan secara objektif maupun secara subjektif maka tidaklah tepat untuk meneruskan pemberian obat. Tetapi pemberian bronkodilator tetap diindikasikan pada suatu serangan akut. Pemberian bronkodilator jangka lama pada penderita sebaiknya diberikan dalam bentuk kombinasi, untuk mendapatkan efek yang optimal dengan efek samping yang minimal.6 2. Ekspektoran dan Mukolitik Pemberian cairan yang cukup dapat mengencerkan sekret, tetapi pada beberapa keadaan seperti gagal jantung perlu dilakukan pembatasan cairan. Obat yang menekan batuk seperti kodein tidak dianjurkan karena dapat mengganggu pembersihan sekret dan menyebabkan gangguan pertukaran udara; di samping itu obat ini dapat menekan pusat napas. Tetapi bila batuk sangat mengganggu seperti batuk yang menetap, iritasi saluran napas dan gangguan tidur obat ini dapat diberikan. Ekspektorans dan mukolitik lain seperti bromheksin, dan karboksi metil sistein diberikan pada keadaan eksaserbasi. Asetil 15



sistem selain bersifat mukolitik juga mempunyai efek anti oksidans yang melindungi saluran napas dan kerusakan yang disebabkan oleh oksidans.6



3. Antibiotika Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi, terutama pada keadaan eksaserbasi., Infeksi virus paling sering menimbulkan eksaserbasi diikuti oleh infeksi bakteri. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan makin memburuk.Penanganan infeksi yang cepat dan tepat sangat perlu dalam penatalaksanaan penyakit. Pemberian antibiotika dapat mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi.Perubahan warna sputum dapat merupakan indikasi infeksi bakteri. Antibiotika yang biasanya bermanfaat adalah golongan penisilin, eritromisin dan kotrimoksasol, biasanya diberikan selama 7–10 hari. Apabila antibiotika tidak memberikan perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan mikroorganisme.6 4. Kortikosteroid Pemberian kortikosteroid pada suatu serangan akut baik pada asma maupun PPOK memberikan perbaikan penyakit yang nyata. Steroid dapat diberikan intravena selama beberapa hari, dilanjutkan dengan prednison oral 60 mg selama 4–7 hari, kemudian diturunkan bertahap selama 7–10 hari. Pemberian dosis tinggi kurang dari 7 hari dapat dihentikan tanpa turun bertahap. Pada penderita dengan hipereaktivitas bronkus pemberian kortikosteroid inhalasi menunjukkan perbaikan fungsi paru dari gejala penyakit. Pemberian kortikosteroid jangka lama memperlambat progresivitas penyakit.6 c. Terapi Oksigen Pada penderita dengan hipoksemi, yaitu Pa 02 < 55 mmHg pemberian oksigen konsentrasi rendah 1–3 liter/menit secara terus menerus memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur. Hipoksemi dapat mencetuskan dekompensatio kordis pada penderita PPOK terutama pada saat adanya infeksi saluran napas. Gejala gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala mungkin merupakan petunjuk 16



perlunya oksigen tambahan. Pada penderita dengan infeksi saluran napas akut dan dekompensasi kordis pemberian Inspiratory Positive Pressure Breathing (IPPB) bermanfaat untuk mencegah dan menyembuhkan atelektasis.6 BAB IV PEMBAHASAN Pada kasus didapatkan Seorang laki-laki umur 71 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan utama sesak. Sesak napas dialami sejak kurang lebih 3 bulan, memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, dirasakan terus menerus tidak dipengaruhi oleh aktifitas. Batuk dialami penderita sejak kurang lebih 3 bulan SMRS, batuk dirasakan berdahak warna putih tanpa disertai strep darah. Keluhan demam maupun riwayat demam disangkal pasien. Pasien bisa tidur dengan satu bantal, tidak pernah terbangun malam hari karena sesak, sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca. Riwayat penurunan berat badan disangkal, keringat malam hari disangkal. Riwayat pwnggunaan OAT disangkal pasien. Riwayat merokok sejak umur 20 tahun, penderita dapat menghabiskan dua bungkus rokok dalam satu hari. BAB dan BAK tidak ada kelainan. Riwayat penyakit dahulu hanya hipertensi yang diketahui penderita sejak 5 tahun yang lalu. Pemeriksaan fisik didapatkan tensi 140/90, nadi 96x/menit, respirasi 28 kali/menit, suhu badan 37,5 derajat celsius. Pada pemeriksaan thoraks ditemukan pergerakan dinding dada simetris, bentuk dada barrel chest, pergerakan dinding dada simetris, sela iga melebar, SP vesikuler, ekspirasi memanjang, Rh-/-, Wh+/+. Maka berdasarkan gejala klinis berupa adanya sesak, batuk, lendir, riwayat merokok, serta pemeriksaan fisis dapat disimpulkan bahwa pasien ini merupakan pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis. Namun untuk menegakkan diagnosa perlu dilakukan tes faal paru (spirometri), selain itu juga dilakukan pemeriksaan sputum BTA 3x , gram, untuk menyingkirkan diagnosa TB. Adapun pemeriksaan darah rutin, LED, SGOT, SGPT, GDP, ureum, kreatinin adalah untuk memeriksa adanya kelainan lain. Penyakit paru obstruksi kronis merupakan penyakit paru kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara di dalam saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible, bersifat progresif, biasanya disebabkan oleh proses inflamasi paru yang disebabkan oleh pajanan gas berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan sistemik. Gangguan ini dapat dicegah 17



dan dapat diobati. Penyebab utama PPOK biasanya adalah rokok, asap polusi dari pembakaran, dan partikel gas berbahaya.



Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Sesak nafas, terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Pada terapi diberikan O2 2-3 L/menit hal ini bertujuan untuk perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur karen hipoksemi dapat mencetuskan dekompensatio kordis pada penderita PPOK terutama pada saat adanya infeksi saluran napas. Selanjutnya diberikan Nebulizer Combivent yang berisi Ipatropium bromida dan Salbutamol sulfat yang bertujuan sebagai bronkodilator utama pada PPOK, karena pada PPOK obstruksi saluran napas yang terjadi lebih dominan disebabkan oleh komponen vagal. Ambroxol juga diberikan untuk mengobati gejala batuk disertai lendir.



18



DAFTAR PUSTAKA 1. Devereux, Graham. Definition, epidemiology, and risk factor. In : ABC of chronic obstructive pulmonary disease. BMJ Vol.332; 2006; 1142.



2. Djojodibroto, R.Darmanto. Penyakit paru obstruktif kronik. Dalam : Respirologi. Jakarta: ECG; 2009; 120-5.



3. Assagaf, Hood. Mukty, Abdul. Penyakit paru obstruktif menahun. Dalam : Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Yogyakarta; UGM Press;2009.



4. Etiology of Acute COPD Exacerbations [online], [cited in 2011,October 30]. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/807143-overview



5.



Supari, Siti Fadilah. Pedoman pengendalian penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008; 3-51.



6. Yunus, Faisal. Penatalaksanaan penyakit paru obstruksi. Jakarta; Bagian pulmonologi fakultas kedokteran universitas indonesia; 2008; 28-32.



19