Laporan Kasus Radiologi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS



“Seorang Perempuan dengan Efusi Pleura Sinistra dan Multipel Kolelithiasis” Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Radiologi di RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro Kota Semarang



Pembimbing: dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp. Rad



Disusun oleh: Sugiarto Kamarudy Lay 406181076



KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI RSUD K.R.M.T. WONGSONEGORO KOTA SEMARANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA PERIODE 20 MEI 2019 – 30 JUNI 2019



LEMBAR PENGESAHAN



Nama



: Sugiarto Kamarudy Lay



NIM



: 406181076



Fakultas



: Kedokteran Umum



Universitas



: Universitas Tarumanagara



Bagian



: Ilmu Radiologi



Judul Laporan Kasus



: Seorang Perempuan dengan Efusi Pleura Sinistra dan Multipel Kolelithiasis



Diajukan



: Juni 2019



Pembimbing



: dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp. Rad



Telah diperiksa dan disahkan tanggal: ...........................................



Mengetahui, Pembimbing



dr. Luh Putu Endyah Santi M., Sp. Rad



Ketua SMF



dr. Luh Putu Endyah Santi M., Sp. Rad



KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Seorang Perempuan dengan Efusi Pleura Sinistra dan Multipel Kolelitiasis” guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang periode 20 Mei 2019 – 30 Juni 2019. Penulis sangat bersyukur atas keberhasilan penyusunan laporan kasus ini. Hal ini tidak terlepas dari dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp. Rad 2. dr. Lia Sasdesi Mangiri, Sp.Rad 3. dr. Oktina Rachmi Dachlia, Sp.Rad 4. Seluruh staff instalasi radiologi RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang 5. Rekan-rekan anggota kepaniteraan klinik ilmu Radiologi. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran bersifat membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan segala pihak yang telah membantu. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pembaca. Semarang, Juni 2019 Penulis



BAB I PENDAHULUAN Efusi pleura adalah penimbunan cairan didalam rongga pleura akibat transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Efusi pleura bukan merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit. 1 Akibat adanya cairan yang cukup banyak dalam rongga pleura, maka kapasitas paru akan berkurang dan di samping itu juga menyebabkan pendorongan organ-organ mediastinum, termasuk jantung. Hal ini mengakibatkan insufisiensi pernafasan dan juga dapat mengakibatkan gangguan pada jantung dan sirkulasi darah. 2 Di negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, lazim diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis. Efusi pleura keganasan merupakan salah satu komplikasi yang biasa ditemukan pada penderita keganasan dan terutama disebabkan oleh kanker paru dan kanker payudara. Efusi pleura merupakan manifestasi klinik yang dapat dijumpai pada sekitar 50-60% penderita keganasan pleura primer atau metastatik. Sementara 5% kasus mesotelioma (keganasan pleura primer) dapat disertai efusi pleura dan sekitar 50% penderita kanker payudara akhirnya akan mengalami efusi pleura. 2 Diperlukan penatalaksanaan yang baik dalam menanggulangi efusi pleura ini, yaitu pengeluaran cairan dengan segera serta pengobatan terhadap penyebabnya sehingga hasilnya akan memuaskan. 2 Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis berkeinginan menyajikan informasi mengenai efusi pleura agar dapat menjadi bahan masukan kepada diri penulis dan kita semua dapat mendiagnosis serta memberikan terapi yang tepat pada penderita efusi pleura.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Efusi pleura adalah adanya penumpukan cairan dalam rongga (kavum) pleura yang melebihi batas normal. Dalam keadaan normal terdapat 10-20 cc cairan. 1 Efusi pleura adalah penimbunan cairan pada rongga pleura atau Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura dalam jumlah yang berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran cairan pleura. 2 Dalam konteks ini perlu di ingat bahwa pada orang normal rongga pleura ini juga selalu ada cairannya yang berfungsi untuk mencegah melekatnya pleura viseralis dengan pleura parietalis, sehingga dengan demikian gerakan paru (mengembang dan mengecil) dapat berjalan dengan mulus. Dalam keadaan normal, jumlah cairan dalam rongga pleura sekitar 10-20 ml. Cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl. 1,2 Ada beberapa jenis cairan yang bisa berkumpul di dalam rongga pleura antara lain darah, pus, cairan seperti susu dan cairan yang mengandung kolesterol tinggi 1,2 a. Hidrotoraks Pada keadaan hipoalbuminemia berat, bisa timbul transudat. Dalam hal ini penyakitnya disebut hidrotorak dan biasanya ditemukan bilateral. Sebabsebab lain yang mungkin adalah kegagalan jantung kanan, sirosis hati dengan asites, serta sebgai salah satu tias dari syndroma meig (fibroma ovarii, asites dan hidrotorak). b. Hemotoraks  Hemotorak adalah adanya darah di dalam rongga pleura. Biasanya terjadi karena trauma toraks. Trauma ini bisa karna ledakan dasyat di dekat penderita, atau trauma tajam maupu trauma tumpul. Kadar Hb pada hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini



mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada. Penyebab lainnya hemotoraks adalah:  



Pecahnya sebuah pembuluh darah yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura.







Kebocoran aneurisma aorta (daerah yang menonjol di dalam aorta) yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura.







Gangguan pembekuan darah, akibatnya darah di dalam rongga pleura tidak membeku secara sempurna, sehingga biasanya mudah dikeluarkan melelui sebuah jarum atau selang. 



c. Empiema  Bila karena suatu infeksi primer maupun sekunder cairan pleura patologis iniakan berubah menjadi pus, maka keadaan ini disebut piotoraks atau empiema. Pada setiap kasus pneumonia perlu diingat kemungkinan terjadinya empiema sebagai salah satu komplikasinya.



Empiema bisa



merupakan komplikasi dari:  



Pneumonia 







Infeksi pada cedera di dada 







Pembedahan dada 



d. Chylotoraks   Kilotoraks adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan kil/getah bening pada rongga pleura. Adapun sebab-sebab terjadinya kilotoraks antara lain :



 Kongenital, sejak lahir tidak terbentuk (atresia) duktus torasikus, tapi terdapat fistula antara duktus torasikus rongga pleura.  Trauma yang berasal dari luar seperti penetrasi pada leher dan dada, atau pukulan pada dada (dengan/tanpa fratur). Yang berasal dari efek operasi daerah torakolumbal, reseksi esophagus 1/3 tengah dan atas, operasi leher, operasi kardiovaskular yang membutuhkan mobilisasi arkus aorta.



 Obstruksi Karena limfoma malignum, metastasis karsinima ke mediastinum,



granuloma



mediastinum



(tuberkulosis,



histoplasmosis). Penyakit-penyakit ini memberi efek obstruksi dan juga perforasi terhadap duktus torasikus secara kombinasi. Disamping itu terdapat juga penyakit trombosis vena subklavia dan nodul-nodul tiroid yang menekan duktus torasikus dan menyebabkan kilotoraks. 1,2 2.2 Anatomi dan Fisiologi Pleura Pleura adalah membran tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura visceralis dan parietalis. Secara histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel mesothelial, jaringaan ikat, dan dalam keadaan normal, berisikan lapisan cairan yang sangat tipis. Membran serosa yang membungkus parekim paru disebut pleura viseralis, sedangkan membran serosa yang melapisi dinding thorak, diafragma, dan mediastinum disebut pleura parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan dinding thoraks. Rongga pleura dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi sebagai pelumas antara kedua pleura. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hillus paru. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara pleura viseralis dan parietalis, diantaranya : 1,2,3 1. Pleura Visceralis Permukaan luarnya terdiri dari selapis sel mesothelial yang tipis < 30mm. Diantara celah-celah sel ini terdapat sel limfosit. Di bawah sel-sel mesothelial ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit, di bawahnya terdapat lapisan tengah berupa jaringan kolagen dan serat-serat elastik. Lapisan terbawah terdapat jaringan interstitial subpleura yang banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari a. Pulmonalis dan a. Brakhialis serta pembuluh limfe Menempel kuat pada jaringan paru Fungsinya. untuk mengabsorbsi cairan pleura. 2. Pleura Parietalis Jaringan lebih tebal terdiri dari sel-sel mesothelial dan jaringan ikat (kolagen dan elastis). Dalam jaringan ikat tersebut banyak mengandung



kapiler dari a. Intercostalis dan a. Mamaria interna, pembuluh limfe, dan banyak reseptor saraf sensoris yang peka terhadap rasa sakit dan perbedaan temperatur. Keseluruhan berasal n. Intercostalis dinding dada dan alirannya sesuai dengan dermatom dada. Mudah menempel dan lepas dari dinding dada di atasnya Fungsinya untuk memproduksi cairan pleura



Gambar 1. Tampilan depan paru dan pleuranya



FISIOLOGI Cairan pleura berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis bergerak selama pernapasan dan untuk mencegah pemisahan toraks dan paru yang dapat dianalogkan seperti dua buah kaca objek yang akan saling melekat jika ada air. Kedua kaca objek tersebut dapat bergeseran satu dengan yang lain tetapi keduanya sulit dipisahkan. Cairan pleura dalam keadaan normal akan bergerak dari kapiler di dalam pleura parietalis ke ruang pleura kemudian diserap kembali melalui pleura viseralis. Masing-masing dari kedua pleura merupakan membran serosa mesenkim yang berpori-pori, dimana sejumlah kecil transudat cairan intersisial dapat terus menerus melaluinya untuk masuk kedalam ruang pleura. Selisih perbedaan absorpsi cairan pleura melalui pleura viseralis lebih besar daripada selisih perbedaan pembentukan cairan oleh pleura parietalis dan



permukaan pleura viseralis lebih besar dari pada pleura parietalis sehingga dalam keadaan normal hanya ada beberapa mililiter cairan di dalam rongga pleura. (1)



Gambar 2 memperlihatkan dinamika pertukaran cairan dalam ruang pleura.



Jumlah total cairan dalam setiap rongga pleura sangat sedikit, hanya beberapa mililiter yaitu 1-5 ml. Dalam kepustakaan lain menyebutkan bahwa jumlah cairan pleura sebanyak 12-15 ml (1). Kapanpun jumlah ini menjadi lebih dari cukup untuk memisahkan kedua pleura, maka kelebihan tersebut akan dipompa keluar oleh pembuluh limfatik (yang membuka secara langsung) dari rongga pleura kedalam mediastinum, permukaan superior dari diafragma, dan permukaan lateral pleural parietalis (3). Oleh karena itu, ruang pleura (ruang antara pleura parietalis dan pleura visceralis) disebut ruang potensial, karena ruang ini normalnya begitu sempit sehingga bukan merupakan ruang fisik yang jelas. 1,2,3 2.3. Epidemiologi Estimasi prevalensi efusi pleura adalah 320 kasus per 100.000 orang di negara-negara industri, dengan distribusi etiologi terkait dengan prevalensi penyakit yang mendasarinya. Secara umum, kejadian efusi pleura adalah sama antara kedua jenis kelamin. Namun, penyebab tertentu memiliki kecenderungan seks. Sekitar dua pertiga dari efusi pleura ganas terjadi pada wanita. Efusi pleura ganas secara signifikan berhubungan dengan keganasan payudara dan ginekologi. Efusi pleura



yang terkait dengan lupus eritematosus sistemik juga lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria. 2 2.4 Etiologi Ruang pleura normal mengandung sekitar 1 mL cairan, hal ini memperlihatkan adanya keseimbangan antara tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik dalam pembuluh darah pleura viseral dan parietal dan drainase limfatik luas. Efusi pleura merupakan hasil dari ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik. 2 Efusi pleura merupakan indikator dari suatu penyakit paru atau non pulmonary, dapat bersifat akut atau kronis. Meskipun spektrum etiologi efusi pleura sangat luas, efusi pleura sebagian disebabkan oleh gagal jantung kongestif,. pneumonia, keganasan, atau emboli paru. Mekanisme sebagai berikut memainkan peran dalam pembentukan efusi pleura: 1. Perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya, radang, keganasan, emboli paru) 2. Pengurangan



tekanan



onkotik



intravaskular



(misalnya,



hipoalbuminemia, sirosis) 3. Peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan pembuluh darah (misalnya, trauma, keganasan, peradangan, infeksi, infark paru, obat hipersensitivitas, uremia, pankreatitis) 4. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler dalam sirkulasi sistemik dan / atau paru-paru (misalnya, gagal jantung kongestif, sindrom vena kava superior) 5. Pengurangan tekanan dalam ruang pleura, mencegah ekspansi paru penuh (misalnya, atelektasis yang luas, mesothelioma) 6. Penurunan drainase limfatik atau penyumbatan lengkap, termasuk obstruksi duktus toraks atau pecah (misalnya, keganasan, trauma) 7. Peningkatan cairan peritoneal, dengan migrasi di diafragma melalui limfatik atau cacat struktural (misalnya, sirosis, dialisis peritoneal) 8. Perpindahan cairan dari edema paru ke pleura viseral



9. Peningkatan tekanan onkotik di cairan pleura yang persisiten menyebabkan adanaya akumulasi cairan di pleura 10. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberkulosis, pneumonia, virus, bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura), karena tumor dan trauma 2.5 Klasifikasi Efusi pleura umumnya diklasifikasikan berdasarkan mekanisme pembentukan cairan dan kimiawi cairan menjadi 2 yaitu atas transudat atau eksudat. Transudat hasil dari ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dengan tekanan hidrostatik, sedangkan eksudat adalah hasil dari peradangan pleura atau drainase limfatik yang menurun. Dalam beberapa kasus mungkin terjadi kombinasi antara karakteristk cairan transudat dan eksudat. 1,2,3 1. Klasifikasi berasarkan mekanisme pembentukan cairan: a. Transudat Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah transudat. Transudat terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotic, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura melebihi reabsorpsinya oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada: 1. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik 2. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner 3. Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura 4. Menurunnya tekanan intra pleura Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah: a. Gagal jantung kiri (terbanyak) b. Sindrom nefrotik c. Obstruksi vena cava superior d. Asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek diafragma atau masuk melalui saluran getah bening) b. Eksudat



Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudat. Bila terjadi proses peradangan maka permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Protein yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan peningkatan konsentasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat. Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain: a. Infeksi (tuberkulosis, pneumonia) b. Tumor pada pleura c. Iinfark paru, d. Karsinoma bronkogenik e. Radiasi, f. Penyakit dan jaringan ikat/ kolagen/ SLE (Sistemic Lupus Eritematosis).



2.6 Patofisiologi Dalam keadaan normal, selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pada pleura parietalis tetapi cairan ini segera direabsorpsi oleh saluran limfe, sehingga terjadi keseimbangan antara produksi dan reabsorpsi. Kemampuan untuk reabsorpsinya dapat meningkat sampai 20 kali. Apabila antara produk dan reabsorpsinya tidak seimbang (produksinya meningkat atau reabsorpsinya menurun) maka akan timbul efusi pleura. 1,2,3,4 Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi



yang terjadi karena perbedaan tekanan osmotic plasma dan jaringan interstitial submesotelial kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura. Pergerakan cairan dari pleura parietalis ke pleura visceralis dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan koloid osmotik. Cairan kebanyakan diabsorpsi oleh sistem limfatik dan hanya sebagian kecil yang diabsorpsi oleh sistem kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan pada pleura visceralis adalah terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel-sel mesothelial. 1,2,3,4 Bila penumpukan cairan dalam rongga pleura disebabkan oleh peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga terjadi empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemotoraks. 1,2,3,4 penumpukan cairan pleura dapat terjadi bila: 1. Meningkatnya



tekanan



intravaskuler



dari



pleura



meningkatkan



pembentukan cairan pleura melalui pengaruh terhadap hukum Starling. Keadaan ni dapat terjadi pada gagal jantung kanan, gagal jantung kiri dan sindroma vena kava superior. 2. Tekanan intra pleura yang sangat rendah seperti terdapat pada atelektasis, baik karena obstruksi bronkus atau penebalan pleura visceralis. 3. Meningkatnya kadar protein dalam cairan pleura dapat menarik lebih banyak cairan masuk ke dalam rongga pleura 4. Hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal bisa menyebabkan transudasi cairan dari kapiler pleura ke arah rongga pleura 5. Obstruksi dari saluran limfe pada pleum parietalis. Saluran limfe bermuara pada vena untuk sistemik. Peningkatan dari tekanan vena sistemik akan menghambat pengosongan cairan limfe, gangguan kontraksi saluran limfe, infiltrasi pada kelenjar getah bening. Efusi pleura akan menghambat fungsi paru dengan membatasi pengembangannya. Derajat gangguan fungsi dan kelemahan bergantung pada ukuran dan cepatnya perkembangan penyakit. Bila cairan tertimbun secara perlahan-lahan maka jumlah cairan yang cukup besar mungkin akan terkumpul dengan sedikit gangguan fisik yang nyata.



Kondisi efusi pleura yang tidak ditangani, pada akhirnya akan menyebabkan gagal nafas. Gagal nafas didefinisikan sebagai kegagalan pernafasan bila tekanan partial Oksigen (Pa O2)≤ 60 mmHg atau tekanan partial Karbondioksida arteri (Pa Co2) ≥ 50 mmHg melalui pemeriksaan analisa gas darah. 2.7 Manifestasi Klinis Biasanya manifestasi klinisnya adalah yang disebabkan oleh penyakit dasar. Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis, sementara efusi malignan dapat mengakibatkan dispnea dan batuk. Ukuran efusi akan menentukan keparahan gejala. Pada kebanyakan penderita umumnya asimptomatis atau memberikan gejala demam, ringan ,dan berat badan yang menurun seperti pada efusi yang lain. 1,2,3,4,5 Dari anamnesa didapatkan : a.



Sesak nafas bila lokasi efusi luas. Sesak napas terjadi pada saat permulaan pleuritis disebabkan karena nyeri dadanya dan apabila jumlah cairan efusinya meningkat, terutama kalau cairannya penuh



b.



Rasa berat pada dada



c.



Batuk pada umumnya non produktif dan ringan, terutama apabila disertai dengan proses tuberkulosis di parunya, Batuk berdarah pada karsinoma bronchus atau metastasis



d.



Demam subfebris pada TBC, dernarn menggigil pada empiema



Dari pemeriksaan fisik didapatkan (pada sisi yang sakit) a.



Dinding dada lebih cembung dan gerakan tertinggal



b.



Vokal fremitus menurun



c.



Perkusi dull sampal flat



d.



Bunyi pernafasan menruun sampai menghilang



e.



Pendorongan mediastinum ke sisi yang sehat dapat dilihat atau diraba pada treakhea



Nyeri dada pada pleuritis :



Simptom yang dominan adalah sakit yang tiba-tiba seperti ditikam dan diperberat oleh bernafas dalam atau batuk. Pleura visceralis tidak sensitif, nyeri dihasilkan dari pleura parietalis yang inflamasi dan mendapat persarafan dari nervus intercostal. Nyeri biasanya dirasakan pada tempat-tempat terjadinya pleuritis, tapi bisa menjalar ke daerah lain : 1.



Iritasi dari diafragma pleura posterior dan perifer yang dipersarafi oleh G. Nervuis intercostal terbawah bisa menyebabkan nyeri pada dada dan abdomen.



2.



Iritasi bagian central diafragma pleura yang dipersarafi nervus phrenicus menyebabkan nyeri menjalar ke daerah leher dan bahu.



2.8 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan yang biasanya dilakukan untuk memperkuat diagnosa efusi pleura antara lain : 4,5,6 1. Rontgen dada Roentgen dada biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk mendiagnosis efusi pleura yang hasilnya menunjukkan adanya cairan. Foto dada juga dapat menerangkan asal mula terjadinya efusi pleura yakni bila terdapat jantung yang membesar, adanya masa tumor, adanya lesi tulang yang destruktif pada keganasan, dan adanya densitas parenkim yang lebih keras pada pneumonia atau abses paru. 2. USG Dada USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan. Jumlahnya sedikit dalam rongga pleusa. Pemeriksaan ini sangat membantu sebagai penuntun waktu melakukan aspirasi cairan dalam rongga pleura. Demikian juga dengan pemeriksaan CT Scan dada. 3. CT Scan Dada CT scan dada dapat menunjukkan adanya perbedaan densitas cairan dengan jaringan sekitarnya sehingga sangat memudahkan dalam menentukan adanya efusi pleura. Selain itu juga bisa menunjukkan adanya pneumonia, abses paru atau tumor. Hanya saja pemeriksaan ini tidak banyak dilakukan karena biayanya masih mahal.



4. Torakosentesis Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui torakosentesis. Torakosentesis adalah pengambilan cairan melalui sebuah jarum yang dimasukkan diantara sel iga ke dalam rongga dada di bawah pengaruh pembiasan lokal dalam dan berguna sebagai sarana untuk diuagnostik maupun terapeutik. Pelaksanaan torakosentesis sebaiknya dilakukan pada penderita dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan toraks, pada bagian bawah paru di sela iga v garis aksilaris media dengan memakai jarum Abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000 – 1500 cc pada setiap kali aspirasi. Adalah lebih baik mengerjakan aspirasi berulang-ulang daripada satu kali aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleural shock (hipotensi) atau edema paru. Edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat. Mekanisme sebenarnya belum diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya tekanan intra pleura yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan aliran darah melalui permeabilitas kapiler yang abnormal. 5. Biopsi Pleura Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya maka dilakukan biopsi dimana contoh lapisan pleura sebelah luar untuk dianalisa. Pemeriksaan histologi satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat menunjukkan 50 -75%



diagnosis kasus-kasus pleuritis



tuberkulosa dan tumor pleura. Bila ternaya hasil biopsi pertama tidak memuaskan, dapat dilakukan beberapa biopsi ulangan. Pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh, penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan. Komplikasi biopsi antara lain pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada. 6. Analisa cairan pleura



Untuk diagnostic cairan pleura, dilakukan pemeriksaan : a. Warna Cairan Biasanya cairan pleura berwama agak kekuning-kuningan (serousxantho-ctrorne. Bila agak kemerah-merahan, ini dapat terjadi pada trauma, infark paru, keganasan. adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kuning kehijauan dan agak purulen, ini menunjukkan adanya empiema. Bila merah tengguli, ini menunjukkan adanya abses karena ameba b. Biokimia Secara biokimia efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang perbedaannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Perbedaan - Kadar protein dalam efusi (g/dl)



Transudat < 3.



Eksudat > 3.



< 0,5



> 0,5



< 200



> 200



< 0,6



> 0,6



- Berat jenis cairan efusi



< 1,016



> 1,016



- Rivalta



negatif



positif



- Kadar protein dalam efusi Kadar protein dalam serum - Kadar LDH dalam efusi (I.U) - Kadar LDH dalam efusi Kadar LDH dalam Serum



Di. samping pemeriksaan tersebut di atas. secara biokimia diperiksakan juga pada cairan pleura : -



kadar pH dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakitpenyakit infeksi, artitis reumatoid dan neoplasma



-



kadar amilase. Biasanya meningkat pada pankreatitis dan metastasis adenokarsinoma.



c. Sitologi Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau dominasi sel-sel tertentu. -



Sel neutrofil : Menunjukkan adanya infeksi akut.



-



Sel limfosit : Menunjukkan adanya infeksi kronik seperti pleuritis tuberkulosa atau limfoma malignum



-



Sel mesotel : Bila jumlahnya meningkat, ini menunjukkan adanya



infark paru. Biasanya juga ditemukan



banyak sel



eritrosit. -



Sel mesotel maligna : Pada mesotelioma



-



Sel-sel besar dengan banyak inti : Pada arthritis rheumatoid



-



Sel L.E : Pada lupus eritematosus sistemik



d. Bakteriologi Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat mengandung mikroorganisme,



apalagi



bila



cairannya purulen, (menunjukkan



empiema). Efusi yang purulen dapat mengandung kuman-kuman yang aerob ataupun anaerob. Jenis kuman yang sering ditemukan dalam cairan pleura adalah : Pneumokok, E. coli, Kleibsiella, Pseudomonas, Entero-bacter. Pada pleuritis tuberkulosa, kultur cairan terhadap kuman tahan asam hanya dapat menunjukkan yang positif sampai 20%. Pemeriksaan Laboratorium terhadap cairan pleura dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Pemeriksaan Laboratorium Terhadap Cairan Pleura Hitung sel total



Hitung diferensial, hitung sel darah merah, sel jaringan



Protein total



Rasio protein cairan pleura terhadap seum > 0,5 menunjukkan suatu eksudat



Laktat dahidrogenase



Bila terdapat organisme, menunjukkan empiema



Pewarnaan Gram dan tahan asam Biakan



Biakan kuman aerob dan anerob, biakan jamur



dan mikobakteria harus ditanam pada lempeng Glukosa



Glukosa yang rendah (< 20 mg/dL) bila gula darah normal menunjukkan infeksi atau penyakit reumatoid



Amylase



Meningkat pada pankreatitis, robekan esofagus



pH



Efusi parapneumonik dengan pH > 7,2 dapat diharapkan untuk sembuh tanpa drainase kecuali bila berlokusi. Keadaan dengan pH < 7,0 menunjukkan infeksi yang memerlukan drainase atau adanya robekan esophagus.



Sitologi



Dapat mengidentifikasi neoplasma



Hematokrit



Pada cairan efusi yang banyak darahnya, dapat membantu



membedakan



hemotoraks



dari



torasentesis traumatik Komplemen



Dapat rendah pada lupus eritematosus sistemik



Preparat sel LE



Bila positif, mempunyai korelasi yang tinggi dengan diagnosis lupus aritematosus sistemik



7. Bronkoskopi Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan sumber cairan yang terkumpul. Bronkoskopi biasanya digunakan pada kasuskasus neoplasma, korpus alineum dalam paru, abses paru dan lain-lain 8. Scanning Isotop Scanning isotop biasanya digunakan pada kasus-kasus dengan emboli paru. 9. Torakoskopi (Fiber-optic pleuroscopy) Torakoskopi biasnya digunakan pada kasus dengan neoplasma atau tuberculosis pleura. Caranya yaitu dengan dilakukan insisi pada dinding dada (dengan resiko kecil terjadinya pneumotoraks). Cairan dikeluarkan



dengan memakai penghisap dan udara dimasukkan supaya bias melihat kedua pleura. Dengan



memakai bronkoskop yang lentur dilakukan



beberapa biopsy. 2.9 Diagnosa 1. Anamnesis dan gejala klinis Keluhan utama penderita adalah nyeri dada sehingga penderita membatasi pergerakan rongga dada dengan bernapas pendek atau tidur miring ke sisi yang sakit. Selain itu sesak napas terutama bila berbaring ke sisi yang sehat disertai batuk batuk dengan atau tanpa dahak. Berat ringannya sesak napas ini ditentukan oleh jumlah cairan efusi. Keluhan yang lain adalah sesuai dengan penyakit yang mendasarinya 2. Pemeriksaan fisis Pada pemeriksaan fisik toraks didapatkan dada yang terkena cembung selain melebar dan kurang bergerak pada pernapasan. Fremitus vokal melemah, redup sampai pekak pada perkusi, dan suara napas lemah atau menghilang. Jantung dan mediastinum terdorong ke sisi yang sehat. Bila tidak ada pendorongan, sangat mungkin disebabkan oleh keganasan 3. Pemeriksaan radiologik Pemeriksaan



radiologis



mempunyai



nilai



yang



tinggi



dalam



mendiagnosis efusi pleura, tetapi tidak mempunyai nilai apapun dalam menentukan penyebabnya. Secara radiologis jumlah cairan yang kurang dari 100 ml tidak akan tampak dan baru jelas bila jumlah cairan di atras 300 ml. Foto toraks dengan posisi Posterior Anterior akan memperjelas kemungkinan adanya efusi pleura masif. Pada sisi yang sakit tampak perselubungan masif dengan pendorongan jantung dan mediastinum ke sisi yang sehat. 4. Torakosentensi Tujuan torakosentesis (punksi pleura) di samping sebagai diagnostik juga sebagai terapeutik.



2.10 Penatalaksanaan Efusi pleura harus segera mendapatkan tindakan pengobatan karena cairan pleura akan menekan organ-organ vital dalam rongga dada. Beberapa macam pengobatan atau tindakan yang dapat dilakukan pada efusi pleura masif adalah sebagai berikut : 1,2,3,4,5,6 1. Obati penyakit yang mendasarinya a. Hemotoraks Jika darah memasuki rongga pleura hempotoraks biasanya dikeluarkan melalui sebuah selang. Melalui selang tersebut bisa juga dimasukkan obat untuk membantu memecahkan bekuan darah (misalnya streptokinase dan streptodornase). Jika perdarahan terus berlanjut atau jika darah tidak dapat dikeluarkan melalui selang, maka perlu dilakukan tindakan pembedahan b. Kilotoraks Pengobatan untuk kilotoraks dilakukan untuk memperbaiki kerusakan saluran getah bening. Bisa dilakukan pembedahan atau pemberian obat antikanker untuk tumor yang menyumbat aliran getah bening. c. Empiema Pada empiema diberikan antibiotik dan dilakukan pengeluaran nanah. Jika nanahnya sangat kental atau telah terkumpul di dalam bagian fibrosa, maka pengaliran nanah lebih sulit dilakukan dan sebagian dari tulang rusuk harus diangkat sehingga bisa dipasang selang yang lebih besar. Kadang perlu dilakukan pembedahan untuk memotong lapisan terluar dari pleura (dekortikasi). d. Pleuritis TB. Pengobatan dengan obat-obat antituberkulosis (Rimfapisin, INH, Pirazinamid/Etambutol/Streptomisin) memakan waktu 6-12 bulan. Dosis dan cara pemberian obat seperti pada pengobatan tuberkulosis paru. Pengobatan ini menyebabkan cairan efusi dapat diserap kembalai, tapi untuk menghilangkan eksudat ini dengan cepat dapat dilakukan torakosentesis. Umumnya cairan diresolusi



dengan



sempurna,



tapi



kadang-kdang



dapat



diberikan



kortikosteroid secara sistematik (Prednison 1 mg/kgBB selama 2 minggu, kemudian dosis diturunkan). (2) 2. Torakosentesis Keluarkan cairan seperlunya hingga sesak - berkurang (lega); jangan lebih 1-1,5 liter pada setiap kali aspirasi. Zangelbaum dan Pare menganjurkan jangan lebih 1.500 ml dengan waktu antara 20-30 menit. Torakosentesis ulang dapat dilakukan pada hari berikutnya. Torakosentesis untuk tujuan diagnosis setiap waktu dapat dikerjakan, sedangkan untuk tujuan terapeutik pada efusi pleura tuberkulosis dilakukan atas beberapa indikasi. a. Adanya keluhan subjektif yang berat misalnya nyeri dada, perasaan tertekan pada dada. b. Cairan sudah mencapai sela iga ke-2 atau lebih, sehingga akan mendorong dan menekan jantung dan alat mediastinum lainnya, yang dapat menyebabkan kematian secara tiba-tiba. c. Suhu badan dan keluhan subjektif masih ada, walaupun sudah melewati masa 3 minggu. Dalam hal seperti ini biasanya cairan sudah berubah menjadi pyotoraks. d. Penyerapan cairan yang terlambat dan waktu sudah mendekati 6 minggu, namun cairan masih tetap banyak. 3. Chest tube Jika efusi yang akan dikeluarkan jumlahnya banyak, lebih baik dipasang selang dada (chest tube), sehingga cairan dapat dialirkan dengan lambat tapi sempurna. Tidaklah bijaksana mengeluarkan lebih dari 500 ml cairan sekaligus. Selang dapat diklem selama beberapa jam sebelum 500 ml lainnya dikeluarkan. Drainase yang terlalu cepat akan menyebabkan distres pada pasien dan di samping itu dapat timbul edema paru. 2 4. Pleurodesis Pleurodesis dimaksudkan untuk menutup rongga pleura sehingga akan mencegah penumpukan cairan pluera kembali. Hal ini dipertimbangkan untuk efusi pleura yang rekuren seperti pada efusi karena keganasan



Sebelum dilakukan pleurodeSis cairan dikeluarkan terlebih dahulu melalui selang dada dan paru dalam keadaan mengembang Pleurodesis dilakukan dengan memakai bahan sklerosis yang dimasukkan ke dalam rongga pleura. Efektifitas dari bahan ini tergantung pada kemampuan untuk menimbulkan fibrosis dan obliterasi kapiler pleura.



Bahan-bahan



yang



dapat



dipergunakan



untuk



keperluan



pleurodesis ini yaitu : Bleomisin, Adriamisin, Siklofosfamid, ustard, Thiotepa, 5 Fluro urasil, perak nitrat, talk, Corynebacterium parvum dan tetrasiklin Tetrasiklin merupakan salah satu obat yang juga digunakan pada pleurodesis, harga murah dan mudah didapat dimana-mana. Setelah tidak ada lagi cairan yang keluar masukkanlah tetrasiklin sebanyak 500 mg yang sudah dilarutkan dalam 20-30 ml larutan garam fisiologis ke dalam rongga pleura, selanjutnya diikuti segera dengan 10 ml larutan garam fisiologis untuk pencucian selang dada dan 10 ml lidokain 2% untuk mengurangi rasa sakit atau dengan memberikan golongan narkotik 1,5-1 jam sebelum dilakukan pleurodesis. Kemudian kateter diklem selama 6 jam, ada juga yang melakukan selama 30 menit dan selama itu posisi penderita diubah-ubah agar tetrasiklin terdistribusi di seluruh rongga pleura. Bila dalam 24-48 jam cairan tidak keluar lagi selang dada dicabut. 2 5.



Pengobatan pembedahan mungkin diperukan untuk : a. Hematoraks terutama setelah trauma b. Empiema c. Pleurektomi yaitu mengangkat pleura parietalis; tindakan ini jarang dilakukan kecuali pada efusi pleura yang telah mengalami kegagalan setelah mendapat tindakan WSD, pleurodesis kimiawi, radiasi dan kemoterapi sistemik, penderita dengan prognosis yang buruk atau pada empiema atau hemotoraks yang tak diobati d. Ligasi



duktus



torasikus,



atau



pleuropritoneal



shunting



yaitu



menghubungkan rongga pleura dengan rongga peritoneum sehingga cairan pleura mengalir ke rongga peritoneum. Hal ini dilakukan terutama bila tindakan torakosentesis maupun pleurodesis tidak



memberikan hasil yang memuaskan; misalnya tumor atau trauma pada kelenjar getah bening. 2 2.11 Komplikasi 1. Infeksi. Pengumpulan



cairan



dalam



ruang



pleura



dapat



mengakibatkan



infeksi (empiema primer), dan efusi pleura dapat menjadi terinfeksi setelah tindakan torasentesis {empiema sekunader). Empiema primer dan sekunder harus didrainase dan diterapi dengan antibiotika untuk mencegah reaksi fibrotik. Antibiotika awal dipilih



gambaran klinik. Pilihan



antibiotika dapat diubah setelah hasil biakan diketahui. 2 2. Fibrosis Fibrosis pada sebagian paru-paru



dapat mengurangi ventilasi dengan



membatasi pengembangan paru. Pleura yang fibrotik juga dapat menjadi sumber infeksi kronis, menyebabkan sedikit demam. Dekortikasi-reseksi pleura lewat pembedahan-mungkin diperlukan untuk membasmi infeksi dan mengembalikan fungsi paru-paru. Dekortikasi paling baik dilakukan dalam 6 minggu setelah diagnosis empiema ditegakkan, karena selama jangka waktu ini lapisan pleura masih belum terorganisasi dengan baik (fibrotik) sehingga pengangkatannya lebih mudah. 1,3,5 2.12 Prognosis Prognosis pada efusi pleura bervariasi sesuai dengan etiologi yang mendasari kondisi itu. Namun pasien yang memperoleh diagnosis dan pengobantan lebih dini akan lebih jauh terhindar dari komplikasi daripada pasien yang tidak memedapatkan pengobatan dini. Efusi ganas menyampaikan prognosis yang sangat buruk, dengan kelangsungan hidup rata-rata 4 bulan dan berarti kelangsungan hidup kurang dari 1 tahun. Efusi dari kanker yang lebih responsif terhadap kemoterapi, seperti limfoma atau kanker payudara, lebih mungkin untuk dihubungkan dengan berkepanjangan kelangsungan hidup, dibandingkan dengan mereka dari kanker paru-paru atau mesothelioma.



Efusi parapneumonic, ketika diakui dan diobati segera, biasanya dapat di sembuhkan tanpa gejala sisa yang signifikan. Namun, efusi parapneumonik yang tidak terobati atau tidak tepat dalam pengobatannya dapat menyebabkan fibrosis konstriktif. 4,5 Kolelitiasis 2.1 Definisi Cholelithiasis atau pembentukan batu empedu; batu ini mungkin terdapat dalam kandung



empedu



(cholecystolithiasis)



atau



dalam



ductus



choledochus



(choledocholithiasis). Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang memiliki ukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi. Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor resiko,yaitu: obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik. Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.



Gambar 2.1. Gambaran batu dalam kandung empedu (Emedicine, 2007) 2.2 Anatomi



Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm. Kapasitasnya sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300 cc. Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar yang dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral hati. Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica kanan. Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu. Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus.



Gambar 2.1. Gambaran anatomi kandung empedu (Emedicine, 2007



2.3 Fisiologi Saluran Empedu Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50 ml. Vesica fellea mempunyai kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk membantu proses ini, mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu sama lain saling berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel- sel thorak yang membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli. Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum. Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam – garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak. Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu: a) Hormonal: Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum



akan



merangsang



mukosa



sehingga



hormon



Cholecystokinin akan terlepas. Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu. b) Neurogen:  Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.



 Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit. Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti batu. Komposisi Cairan Empedu Komponen



Dari Hati



Dari Kandung Empedu



Air



97,5



gm %



95



gm %



Garam Empedu



1,1



gm %



6



gm %



Bilirubin



0,04



gm %



0,3



gm %



Kolesterol



0,1



gm %



0,3 – 0,9



gm %



Asam Lemak



0,12



gm %



0,3 – 1,2



gm %



Lecithin



0,04



gm %



0,3



gm %



Elektrolit



-



 



-



 



a. Garam Empedu Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat. Fungsi garam empedu adalah: o



Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.



o



Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang larut dalam lemak.



Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kumankuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90 %) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi



kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu. b. Bilirubin Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80% oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak.



2.5 Epidemiologi Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang orang dewasa dan usia lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahu 1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi.



2.6 Faktor Resiko Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain: a. Jenis Kelamin Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu.



Kehamilan,



yang



menigkatkan



kadar



esterogen



juga



meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan



terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu. b. Usia Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda. c. Berat badan (BMI) Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu. d. Makanan Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu. e. Riwayat keluarga Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga. f. Aktifitas fisik Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi. g. Penyakit usus halus Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik. h. Nutrisi intravena jangka lama



Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu. 2.8 Patofisiologi 2.8.1 Patogenesis Bentukan Batu Empedu Avni Sali tahun 1984 membagi batu empedu berdasarkan komponen yang terbesar yang terkandung di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pembagian dari Tetsuo Maki tahun 1995 sebagai berikut: a) Batu kolesterol dimana paling sedikit 50 % adalah kolesterol. Ini bisa berupa sebagai:  Batu Kolesterol Murni  Batu Kombinasi  Batu Campuran (Mixed Stone) b) Batu bilirubin dimana garam bilirubin kadarnya paling banyak, kadar kolesterolnya paling banyak 25 %. Bisa berupa sebagai:  Batu Ca bilirubinat atau batu pigmen calcium  Batu pigmen murni c) Batu empedu lain yang jarang Sebagian ahli lain membagi batu empedu menjadi:  Batu Kolesterol  Batu Campuran (Mixed Stone)  Batu Pigmen.



 Batu Kolesterol Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase: a. Fase Supersaturasi Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio



kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan mengendap. Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut:



 Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan lecithin jauh lebih banyak.



 Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi supersaturasi.



 Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).  Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan tinggi.



 Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi enterohepatik).



 Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan



kadar



chenodeoxycholat



rendah,



padahal



chenodeoxycholat efeknya melarutkan batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun. b. Fase Pembentukan inti batu Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu. c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung



empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan, pada pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa keluar. 



 Batu bilirubin/Batu pigmen Batu bilirubin dibagi menjadi dua kelompok: a. Batu Calcium bilirubinat (batu infeksi). b. Batu pigmen murni (batu non infeksi). Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase: a. Saturasi bilirubin Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja glukuronidase. b. Pembentukan inti batu Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti batu adalah dari cacing tambang.



2.8.2 Patofisiologi Umum Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung 20-50% kolesterol). Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana mengandung < 20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan konsentrasi kalsium dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi



bersaturasi



tinggi



(supersaturated)



oleh



substansi



berpengaruh



(kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang yang terbentuk terbak dalam kandung empedu, kemuadian lama-kelamaan kristal tersubut bertambah ukuran,beragregasi, melebur dan membetuk batu. Faktor motilitas kandung empedu, biliary stasis, dan kandungan empedu merupakan predisposisi pembentukan batu empedu empedu. Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata. Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus



koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis. Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. 2.7 Manifestasi Klinis Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut bermigrasi menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat karena adanya komplikasi. Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang disertai kolik bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan sampai di daerah subkapula disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran kandung empedu dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus. Ikterus dijumpai pada 20 % kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatic. Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri viseral ini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh batu. Dengan istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu tidak memperlihatkan inflamasi akut. Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama antara 30 – 60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium. Nyeri dapat menjalar ke abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat menyerupai angina pektoris. Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang merupakan gejala umum pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis.



Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis akut, kolesistitis kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu, abses hepatik dan peritonitis karena perforasi



kandung



empedu.



Komplikasi



tersebut



akan



mempersulit



penanganannya dan dapat berakibat fatal. Sebagian besar (90 – 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan keadaan ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ tersebut.  Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah sering mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini menyebabkan penebalan dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai penyakit lain seperti koledo kolitiasis, panleneatitis dan kolongitis.  Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di dalam saluran empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif yang nyata.  Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga timbul pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar spontan akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat membesar. Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif, kolangitis dan pankreatitis.



Gambar 4: Manifestasi klinis yang umum terjadi 2.9 Diagnosis 2.9.1



Anamnesis



Kolelitiasis dapat dibagi menjadi beberapa stadium yaitu: asimptomatik (adanya batu empedu tanpa gejala), simptomatik (kolik bilier), dan kompleks ( menyebabkan kolesistitis, koledokolitiasis, serta kolangitis). Sekitar 60-80 % kolelitiasis adalah asimptomatik.1 Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimptomatis. Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahanlahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.



2.9.2



Pemeriksaan Fisik  Batu kandung empedu Apabila



ditemukan



kelainan,



biasanya



berhubungan



dengan



komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.  Batu saluran empedu Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.



2.9.3



Pemeriksaan Penunjang



Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan laboratorium Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.



b. Pemeriksaan radiologis Pada foto polos abdomen dapat dilihat gas atau kalsium didalam traktus biliaris. Kira-kira 10-15% batu kantung empedu mengapur (kalsifikasi) dan dapat diidentifikasi sebagai batu kandung empedu pada foto polos. Mungkin pula penimbunan kalsium di dalam kandung empedu yang mirip bahan kontras. Kadang-kadang dinding kandung empedu mengapur (kalsifikasi) yang disebut porcelain gallbladder, yang penting sebab dari hubungan kelainan ini dengan karsinoma kandung empedu. Gas dapat terlihat dipusat kandung empedu gambaran berbentuk segitiga (mercedez-ben sign), gas didalam duktus biliaris menyatakan secara tidak langsung hubungan abnormal anatara gas kandung empedu atau duktus choledochus. Ini dapat disebabkan oleh penetrasi ulkus duedeni ke dalam traktus biliaris atau erosi batu kedalam lambung, duodenum atau kolon. Gas kadang-kadang terlihat didalam duktus sebagai manifestasi cholangitis disebabkan oleh organisme pembentuk gas. Gas di dalam kandung empedu dan dindingnya (emphysematous cholecystitis) adalah manifestasi dari infeksi serupa dan biasanya timbul pada diabetes, sekunder terhadap kemacetan dari arteri kistik disebabkan diabetic angiopathy. Gas didalam vena porta, tampak perifer di dalam hepar, menyatakan secara tidak langsung usus necrosis tetapi itu dapat terjadi dengan cholecystitis hebat. Kolesistografi oral ditemukan pertama kali 70 tahun yang lalu dan banyak diadakan perubahan kontras nontoxic iodinated organic compound diberikan oral yang diserap didalam usus kecil, diekskresi oleh hati dan dipekatkan di dalam empedu memberikan kesempatan untuk menemukan batu kandung empedu yang tidak mengapur sebelum operasi. Dapat pula dideteksi kelainan intra abdominal lain dari kandung empedu. Kolesistografi



intra



vena



dikerjakan



sebagai



pengganti



kolesistografi oral. Bahan kontras di pergunakan adalah iodipamide (biligrafin yang mengandung iodine 50%). Ultrasonografi kandung



empedu (GB-US) telah membuat suatu pengaruh



yang hebat pada



diagnosa traktus biliaris. Ini telah menggantikan kolesistografi oral sebagai cara



imaging



utama



karena



ini



menawarkan



bermacam-macam



keuntungan. Tidak mempergunakan sinar x, tidak perlu menelan kontras. Kemampuan untuk menentukan ukuran duktus biliaris dan untuk mengevaluasi parenkim hepar dan pankreas sangat menguntungkan sekali. Seorang ultrasonografer yang mempunyai skill diperlukan untuk mendapatkan hasil yang optimum. Ultrasonografer memperlihatkan patologi



anatomi



dari



pada



patophysiology,



kolesistografi



oral



memperlihatkan kedua-duanya. Sebab banyak orang yang mempunyai batu kandung empedu asimptomatik. Ada suatu derajat tertentu agar batu tampak pada ultrasonografi kandung empedu adalah pasien mengeluh. Ultrasonografi kandung empedu dapat mendeteksi batu kecil dari pada kolesistografioral. Ultrasonografi dapat pula untuk menemukan masa intra luminal selain dari pada batu, seperti adenoma, polip kolestrol dan karsinoma kandung empedu. Kolesistografi telah berkembang sebagai studi dinamik dari patologi fisiologi dari sistem biliaris. Injeksi intravena dari technitium labeled imminodiacetic acid compounds memberikan imaging segera dari kandung empedu dan radioaktivitas dapat diikuti ke dalam duodenum. Kolelitiasis Batu empedu akan terlihat sebagai gambaran hiperekoik yang bebas pada kandung empedu serta khas membentuk bayangan akustik dibawahnya. Batu yang kecil dan tipis kadang-kadang tidak memperlihatkan bayangan akustik. Pada keadaan yang meragukan perubahan posisi penderita, misalnya duduk, sangat membantu. Kolesistitis akut Tanda utama pada kolesistitis akut ialah sering ditemukan batu, penebalan dinding kandung empedu, hidrops dan kadang-kadang terlihat eko cairan di sekelilingnya yang menandakan adanya perikolesistitis atau perforasi. Sering diikuti rasa nyeri pada penekanan dengan transuder yang dikenal sebagai morgan sign positif atau positif transuder sign.



Kolesistitis kronik Kandung empedu sering tidak atau sukar terlihat. Dinding menjadi sangat tebal dan eko cairan lebih terlihat hiperekoik. Sering terdapat pada kolesistitis kronik lanjut dimana kandung empedu sudah mengisut (contracted gallblader). Kadang-kadang terlihat hanya eko batunya saja yang terlihat pada fossa vessika felea. Saluran empedu Pada penderita-penderita yang diduga dengan obstruksi saluran empedu, USG merupakan pemeriksaan pertama dari serangkaian prosedur pencitraan. Saluran empedu intra hepatik akan mudah dilihat bila terjadi pelebaran karena selaluberjalan periportal anterior. Hal ini menjadi sangat penting karena pelebaran saluran empedu ini kadang-kadang sudah terlihat sebelum bilirubin darah meningkat. Bila kita ragu-ragu apakah suatu duktus koledukus melebar arau tidak, maka pemeriksaan dilakukan setelah penderita diberi makan lemak lebih dahulu. Pada keadaan obstruksi duktus koledukus, maka setelah fatty meal tersebut akan terlihat lebih lebar, sedangkan pelebaran fisiologik, misalnya pada usia tua, diman elastisitas dinding saluran sudah berkurang, maka diameternya akan menjadi lebih kecil. Pada dasarnya lebar saluran empedu sangat bergantung pada berat atau tidaknya obstruksi yang terjadi. Pada penderita-penderita yang mengalami obstruksi sebagian (partial obstruction) baik disebabkan oleh duktus koledukus, tumor papila vateri ataukolangitis sklerosis, kadang-kadang tidak memperlihatkan pelebaran saluran empedu sama sekali, tetapi mungkin saja dijumpai pelebaran yang berkala. Pada setiap pelebaran duktus koledukus, pemeriksaan terhadap kaput pankreas dan duktus pankreatikus wirsungi adalah sangat membantu dalam menentukan lokasi sumbatantersebut Pada umumnya terhadap penderita-penderita dengan ikterus yang tidak ditemukan adanya saluran empedu yang melebar, maka dugaan kita beralih kepada kelainan-kelainan parenkim hati misalnya pada sirosis hati,



hepatitis, maupun metastasis, yang pada umumnya dapat dibedakan dari parenkim hati normal. Ringkasan dibawah ini akan sangat membantu dalam mempelajari sistem traktus biliaris. Pada saat ini kegunaan utama USG dalam pemeriksaan saluran empedu adalah untuk menentukan ikterus, apakah berasal dari kelainan hepatoseluler atau karena obstruksi saluran empedu. Namun demikian sampai saat ini belum ada zat kontras yang dapat digunakan seperti halnya pada kolesistografi. Didalam parenkim hati, kita harus dapat membedakan pelebaran saluran empedu dari vena hepatika serta vena porta. Pelebaran saluran empedu Merupakan tabung (tubukus) yang anekoik (cairan) dengan dinding hiperekoik yang berkelok-kelok dan sering berlobulasi. Kadang-kadang berkonfluensi membentuk gambaran stellata yang tidak terdapat pada vena portae. Pada dinding bawah bagian posteriornya mengalami penguatan akustik (acoustic enhancement) Kadang-kadang dijumpai suatu keadaan dimana lokasi obstruksi traktus biliaris sangat sukar dideteksi, maka pemeriksaan lanjutan seperti kolongiografi



transhepatik



(PTC)



atau



retrograd



endoskopik



kolangiopankreatikografi (ERCP) sangat diperlukan. Kekurangan pengisian kandung empedu menunjukkan adanya obstruksi duktus sistikus dan tanda-tanda kolesistitis akuta. Kolesskintigrafi salah satu prosdur yang dapat mendeteksi obstruksi duktus biliaris sebelum dilatasi duktus timbul dan dapat dilihat dengang ultrasounografi. Berguna untuk mendeteksi atresia biliaris pada neonatus dan kebocoran empedu oleh berbagai penyebab. Endoscopy Retrograde Cholangiography (ERC) memberi injeksi langsung duktus koledokus dengan bahan kontras. Ini nilai spesial dalam mendeteksi batu di dalam duktus koledokus dan radang serta kelainan neoplastik duktus. Papilotomi, biopsi, mencari keterangan batu dari duktus biliaris, striktura dilatasi dan penempatan nasobiliari stent untuk membebaskan obstruksi semua mungkin



dengan ERCP “ Percutaneus Transhepatic Cholangiography” dilakukan dengan penyuntikan bahan kontras dibawah fluroscopy melalui jarum sempit, gauge berada di dalam parenkim hati.ini penting, sama alasannya dengan ERC dan keuntungannya memungkinkan operator mengadakan drainage empedu, bila perlu biopsi jarum (needle biopsy). Drainage dari kumpulan cairan dan menempatkan eksternal dan internal drainage stents dpat dikerjakan secara percutan. Computed tomography (CT): CT tidak begitu bernilai dalam mengevaluasi kandung empedu dan sistem duktus dari pada metoda yang lain, tetapi berguna pada studi neoplasma parenkim hati. Dalam penentuan gas di dalam vena porta lebih sensitif dari pada foto polos. CT sensitif dalam mendeteksi kalsifikasi dan menentukan komposisi batu.  Foto polos Abdomen Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.



Gambar 5: Foto rongent pada kolelitiasis



 Ultrasonografi (USG)



Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.



 Kolesistografi Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu. 



CT scan



Menunjukan batu empedu dan dilatasi saluran empedu.



Gb 5. CT-Scan abdomen atas menunjukkan batu empedu multiple 



ERCP ( Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)



Yaitu sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut. Fungsi ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian distal untuk mengambil batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk membedakan ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan ikterus yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan untuk menyelidiki



gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung empedunya sudah diangkat.ERCP ini berisiko terjadinya tanda-tanda perforasi/ infeksi.



Gb 6. ERCP menunjukkan batu empedu di duktus ekstrahepatik (panah pendek) dan di duktus intrahepatik (panah panjang)







Magnetic Resonance Cholangio-pancreatography (MRCP)



Magnetic resonance cholangio-pancreatography atau MRCP adalah modifikasi dari Magnetic Resonance Imaging (MRI), yang memungkinkan untuk mengamati duktus biliaris dan duktus pankreatikus. MRCP dapat mendeteksi batu empedu di duktus biliaris dan juga bila terdapat obstruksi duktus.



Gb 7. Hasil MRCP



Pankreatitis bilier 2 Batu empedu yang terdapat di duktus biliaris komunis sering memiliki hubungan dengan terjadinya pankreatitis akut. Obstruksi duktus pankreatikus karena impaksi batu atau obstruksi sementara oleh batu yang kemudian melewati ampulla dapat mengakibatkan pankreatitis. USG saluran empedu pada



pasien



dengan



pankreatitis merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Jika terdapat batu empedu dan pankreatitis yang disebabkan sifatnya berat, tindakan ERCP disertai dengan sfinkterektomi dan ekstraksi batu dapat menghentikan perjalanan penaykit pankreatitis. Setelah pankreatitis hilang, harus langsung dilakukan pengangkatan kandung empedu saat itu juga. Jika terdapat batu empedu dan pankreatitis yang terjadi tidak terlalu berat serta dapat sembuh spontan,maka hal ini menandakan bahwa batu empedu sudah melewati duktus / ampulla . Untuk pasien-pasien dengan kondisi seperti ini, perlu dilakukan kolesistektomi dengan kolangiogram intraoperatif atau ERCP preoperatif. 1. Kolesistitis USG abdomen merupakan prosedur standard dalam menentukan diagnosa adanya kolesistitis.



2



Pemeriksaan ini relatif sederhana, cepat dan aman bagi



pasien serta dapat dilakukan pada siapa saja termasuk wanita yang sedang hamil. Sensitivitas USG dalam hal ini bervariasi tergantung dari operator tetapi secara umum USG memiliki sensitivitas dan spesivisitas yang tinggi untuk mendeteksi adanya batu empedu dengan ukuran > 2mm. USG abdomen juga sangat bermanfaat dalam mendiagnosa kolesistitis akut tanpa komplikasi. Gambaran yang didapatkan pada keadaan ini adalah adanya penebalan dinding kandung empedu (> 5 mm), cairan perikolekistik, distensi kandung empedu > 5 mm. Ketika kandung empedu sudah dipenuhi oleh batu seluruhnya, batu-batu tersebut dapat tidak terlihat pada gambaran USG namun masih bisa didapatkan gambaran acoustic shadow. 1



Gambaran USG kandung empedu disertai dengan batu dan acoustic shadow.



Kolesistitis Akut 2 Sebanyak 90 - 95 % kolesistitis disebabkan sekunder karena kolelitiasis. Secara umum kolesistitis merupakan suatu proses inflamasi. Obstruksi batu pada duktus sistikus merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya distensi kandung empedu, inflamasi, serta edema dinding kandung empedu. Pada kolesistitis akut kandung empedu menjadi menebal dan kemerahan disertai dengan perdarahan subserosa dan cairan perikolestatik. Selain itu pada mukosa kandung empedu tampak hiperemis serta nekrosis di beberapa tempat. Jika disertai dengan adanya infeksi sekunder bakteri, dapat terjadi kolesisititis gangrenosa dan terbentuk abses atau empyema di dalam kandung empedu. Kadang kala juga dapat terjadi perforasi di dareah subhepatik. Manifestasi klinis 2



Kolesistitis akut dapat bermula dengan adanya serangan kolik bilier, tapi hal ini berlawanan dengan keadaan kolik bilier itu sendiri yaitu karena nyeri yang timbul tidak menghilang. Nyeri tersebut terus menerus menetap selama beberapa hari. Pasien sering kali mengalami demam dan mengeluhkan adanya anoreksia, mual, muntah , lemas, dan apabila proses inflamasi sudah menjalar ke peritoneum parietale, maka pasien akan malas untuk bergerak karena adanya nyeri. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri fokal pada abdomen kuadran kanan atas, dan Murphy sign yang positif merupakan tanda yang khas pada keadaan ini. Pada pemeriksaan laboratorium bisa didapatkan jumlah leukosit normal atau leukositosis sedang dengan jumlah 12.000 – 15.000/mm3 dan adanya peningkatan sedang dari bilirubin serum < 4mg/ml seiring dengan peningkatan fosfatase alkali, transaminase dan amilase. Adanya ikterus berat menandakan adanya batu pada duktus sistikus komunis atau obstruksi pada duktus sistikus karena inflamasi perikolestatik sebagai akibat dari impaksi batu pada infundibulum kandung empedu yang secara mekanis mengakibatkan obstruksi duktus sistikus ( Mirizzi syndrome). Pemeriksaan penunjang 2 USG abdomen merupakan pemeriksaan penunjang radiologis yang paling bermanfaat dalam mendiagnosa adanya kolesistitis akut dengan sensitivitas dan spesifisitas sebesar 95 %. Pada USG abdomen didapatkan gambaran berupa penebalan dinding kandung empedu disertai dengan cairan perikolestatik. Nyeri tekan pada daerah kandun emppedu saat probe USG menekan daerah tersebut juga mengindikasikan adanya kolesistitis akut (sonographic Murphy sign positif). Selain USG abdomen juga dapat dilakukan CT scan abdomen dengan gambaran yang didapatkan berupa adanya penebalan dinding kandung empedu disertai dengan cairan perikolestatik, dan batu empedu. Kolesistitis Kronik 2



Sekitar dua per tiga pasien dengan kolelitiasis juga mengalami kolesistitis yang dikarakteristikan dengan adanya serangan nyeri berulang dan keadaan ini sering juga dinamakan dengan kolik bilier. Nyeri terjadi ketika batu empedu menyumbat duktus sistikus sehingga menghasilkan peningkatan tekanan dinding kandung empedu yang progresif. Secara patologi terjadi perubahan kandung empedu mulai dari keadaan yang normal dengan hanya sedikit inflamasi kronik pada mukosa menjadi kandung empedu yang mengkerut dengan fibrosis transmural serta adhesi ke struktur sekitarnya. Manifestasi klinis 2 Keluhan utama pasien biasanya berupa nyeri terus menerus dan makin makin dirasa nyeri selama 1 jam pertama dan biasanya berlangsung selama 1-5 jam. Nyeri dirasakan terutama pada epigastrium atau abdomen kuadran kanan atas dan seringkali menyebar ke punggung kanan diantara skapula. Nyeri ini bisa sangat hebat dan muncul tiba-tiba, biasanya muncul pada malam hari atau stelah pasien mengkonsumsi makanan berlemak. Keluhan ini dapat juga disertai dengan mual dan muntah. Nyeri juga dapat bersifat episodik, pasien dapat mengeluhkan adanya serangan nyeri yang menyebar diselingi dengan keadaan normal tanpa gejala. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya nyeri tekan abdomen kuadran kanan atas pada saat timbul episode nyeri. Jika pasien sedang dalam keadaan bebas nyeri, maka pemeriksaan fisik dapat meberikan hasil yang normal. Pada pemeriksaan laboratorium biasanya didapatkan hasil tes fungsi hati dan leukosit yang normal pada pasien kolesistitis yang tidak memiliki komplikasi. Kondisi kolelitiasis yang atipikal juga sering muncul. Pada keadaan ini biasanya tidak ditemukan nyeri abdomen kanan atas meskipun terdapat batu di dalam kandung empedu nya. Jika nyeri berlangsung selama lebih dari 24 jam, harus segera dicurigai terjadinya impaksi batu di dalam duktus sistikus atau terjadi kolesistitis akut. Imapksi batu tersebut akan mengakibatkan kondisi yang dinamakan dengan hydrops kandung empdu dimana terjadi keadaan berikut yaitu cairan empdu diabsorbsi namun epitel kandung empedu terus menerus menghasilkan sekret mukus sehingga terjadi distensi kandung empedu oleh mukus.



2. Koledokolitiasis 2 Batu pada duktus sistikus komunis dapat memiliki ukuran yang bervariasi mulai dari ukuran kecil, besar, dengan jumlah tunggal maupun multipel dan dapat ditemukan pada 6 – 12 % pasien dengan kolelitiasis dan insidennya akan meningkat sesuai dengan meningkatnya usia. Adanya batu pada duktus sistikus ini disebabkan karena migrasi batu dari duktus sistikus. Manifestasi Klinis 2 Koledokolitiasis dapat bersifat asimptomatik dan seringkali ditemukan secara tidak sengaja. Koledokolitiasis dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi total maupun parsial dan dapat juga bermanifestasi sebagai kolangitis atau pankreatitis bilier. Nyeri yang ditemukan pada pasien relatif sama dengan nyeri yang dirasakan pada keadaan kolik bilier. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan hasil yang normal namun dapat juga ditemukan adanya nyeri tekan abdomen kuadran kanan atas atau pada daerah epigastrium disertai juga dengan adanya ikterus. Keluhan yang dirasakan bisa hilang timbul biasanya berupa nyeri dan ikterus hilang timbul yang diakibatkan karena adanya batu yang secara sementara mengimpaksi ampulla dan kemudian berpindah. Untuk batu yang kecil, maka batu ini dapat melewati ampulla secara spontan disertai dengan menghilangnya gejala-gejala klinis namun lambat laun batu akan mengimpaksi secara total dan mengakibatkan ikterus progresif. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan bilirubin serum, fosfatase alkali, dan transaminase. Pemeriksaan penunjang 2 USG abdomen merupakan pemeriksaan radiologis pertama yang berguna untuk mengidentifikasi adanya batu pada kandung empedu dan menentukan ukuran duktus sistikus komunis. Pada USG abdomen didapatkan gambaran berupa pelebaran duktus sistikus komunis > 8 mm. Selain USG abdomen juga dapat dilakukan pemeriksaan Magnetic



Resonance Cholangiography (MRC) yang dapat memberikan gambaran anatomis yang detail dalam mendeteksi koledokolitiasis dengan nilai sensitivitas dan spesivisitas sebesar 95 dan 89 %. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan Endoscopic Cholangiography yang merupakan gold standard untuk mendeteksi adanya koledokolitiasis. Dengan Endoscopic Cholangiography bisa didaptakan keuntungan yaitu selain dapat digunakan sebagai sarana diagnostik, juga berguna sekaligus sebagai sarana terapi.



Gambaran MRCP normal yang menunjukkan duktus sistikus komunis (panah biru) dan duktus pankreatikus (panah putih)



Gambaran MRCP yang menunjukkan 2 buah batu pada duktus sistikus komunis. b. Kolangitis 2 Kolangitis merupakan satu dari dua komplikasi utama dari batu duktus koledokus, sedangkan komplikasi lainnya lagi berupa pankreatitis bilier. Kolangitis akut merupakan suatu infeksi bakteri yang menyebar dari bawah ke atas yang disebabkan karena adanya obstruksi parsial maupun total dari duktus biliaris. Dalam keadaan normal, cairan empedu yang dihasilkan oleh hati bersifat steril, demikian pula dengan kondisi steril cairan empedu yang disimpan di dalam kandung empedu dipertahankan dengan aliran empedu yang berkesinambungan disertai dengan substansi antibakterial yang terdapat di dalam cairan empedu itu sendiri berupa imunoglobulin. Gabungan antara infeksi bakteri disertai dengan obstruksi bilier yang umumnya disebabkan karena batu empedu merupakan faktor yang penting dalam terjadinya kolangitis. Organisme-organisme yang umumnya menyebabkan kolangitis yaitu antara lain Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Streptococcus faecalis, dan Bacteroides fragilis. Manifestasi Klinis 2 Kolangitis dapat bermanifestasi sebagai suatu kondisi yang bervariasi mulai dari keadaan klinis yang ringan, sedang, dapat sembuh spontan sampai dengan suatu keadaan berat dan mengancam jiwa seperti pada keadaan septikemia. Gejala yang paling umum muncul adalah gejala-gejala yang dikenal sebagai Charcot triad dan muncul pada dua pertiga dari pasien-pasien yaitu berupa demam, nyeri epigastrium atau nyeri abdomen kuadran kanan atas, dan disertai dengan ikterus. Gejala klinis yang muncul dapat berkembang secara progresif disertai sepsis dan keadaan ini dikenal sebagai Reynolds pentad (adanya demam, ikterus, nyeri abdomen kuadran kanan atas, syok septik dan perubahan status mental). Namun demikian keadaan ini juga bisa bermanifestasi sebagai suatu keadaan yang atipikal yaitu berupa demam yang tidak terlalu tinggi, ikterus atau nyeri abdomen kanan atas. Keadaaan ini biasanya terjadi pada orang dewasa yang bila mengalami infeksi ini tidak memberikan gejala yang bermakna sampai suatu saat jatuh



kedalam kondisi sepsis. Pada pemeriksaan abdomen, hasil yang ditemukan tidak dapat dibedakan dari keadaan kolesistitis akut. Sedangkan pada pemeriksaan laboratorium bisa ditemukan adanya leukositosis, hiperbilirubinemia, dan peningkatan fosfatase alkali serta transaminase. Pemeriksaan Penunjang 2 Pemeriksaan USG abdomen berguna untuk mendeteksi adanya kolangitis apabila pada pasien tersebut belum pernah didiagnosa memiliki batu empedu sebelumnya karena dalam pemeriksaan akan nampak adanya batu empedu disertai dengan duktus yang berdilatasi. Pemeriksaan radiologis definitif yang juga berguna untuk diagnosa adalah Endoscopic Retrograde Cholangiopangcreatography (ERCP), namun apabila ERCP tidak tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC). Dengan ERCP dan PTC dapat ditentukan level sereta penyebab obstruksi, memungkinkan pengambilan cairan empedu untuk dikultur, pengambilan batu empedu apabila terdapat batu empedu, dan drainase cairan empedu dengan kateter drainase atau dengan stent. CT scan dan MRI juga dapat berguna untuk menetukan apakah terdapat masssa periampular sebagai penyebab dari dilatasi duktus.



Gambaran ERCP dengan batu empedu pada duktus sistikus komunis



Percutaneous Transhepatic Cholangiography



BAB III LAPORAN KASUS IDENTITAS PASIEN Nama



: Ny. S



Umur



: 77 tahun



Jenis Kelamin



: Perempuan



Alamat



: diketahui



Pekerjaan



: Tidak bekerja



Agama



: Islam



Suku Bangsa



: Indonesia



Status Pernikahan



: Sudah menikah



Pendidikan terakhir



: SMP



Tanggal / Jam masuk RSWN



: 20 Mei 2019 / pk. 12.33 WIB



ANAMNESIS Diambil dari: Autoanamnesa, tanggal 21 Mei 2019, jam 15.00 WIB Keluhan Utama



: Sesak Nafas, sejak ± 2 minggu sebelum masuk RSWN



Keluhan Tambahan



:



-



Batuk ± 2 bulan sebelum masuk RSWN



-



Pusing



-



Keringat dingin malam hari



Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien mengeluh sesak nafas ± 2 minggu sebelum masuk RSWN Kota Semarang. Sesak nafas dirasakan sewaktu-waktu, dan memberat apabila pasien berkativitas seperti berjalan jauh, serta mengerjakan pekerjaan rumah tangga serta ketika pasien berbaring di tempat tidur. Sesak nafas dirasakan sangat mengganggu pasien dalam beraktivitas sehari-hari.



Pasien mengeluh batuk ± 2 bulan sebelum masuk RSWN Kota Semarang. Batuk kering tidak berdahak, serta tidak membaik dengan obat batuk yang biasa pasien beli di warung. Pasien mengeluh sering pusing akhir-akhir ini, dan kadang sering mengeluarkan keringat dingin pada saat malam hari ketika sedang tidur. Riwayat Penyakit Keluarga : Di keluarga pasien tidak ada yang pernah mengalami keluhan serupa seperti pasien. Riwayat diabetes (-), riwayat hipertensi (-). Riwayat Penyakit Dahulu: Hipertensi (-), diabetes (+) sejak 17 tahun yang lalu. Riwayat Pengobatan: Saat ini pasien mengkonsusmi obat Metformin (tidak rutin) dan Insulin. Riwayat Operasi: Operasi Katarak 5 tahun lalu PEMERIKSAAN FISIK Diperiksa pada tanggal: 21 Mei 2019, jam 15.05 WIB 1. Status Generalis Keadaan Umum



: sakit ringan



Kesadaran



: Compos mentis



GCS



: 15 (E4M6V5)



Tekanan Darah



: 110/80 mmHg



Denyut Nadi



: 85x/menit



Suhu



: 36’C



Laju Pernapasan



: 18x/menit



Pemeriksaan Sistem Kepala



Normocephali



Mata



Palpebra normal, konjungtiva anemis (-/-), sklera



Telinga



normal, refleks cahaya (+/+) Bentuk normal, nyeri tekan (-/-), nyeri tarik



Hidung



aurikula (-/-), pembesaran KGB -/Normal, tidak ada deviasi septum nasi, tidak ada



Mulut



ragaden, mukosa tidak hiperemis. Tidak ada perioral sianosis, tonsil T1-T1, mukosa hiperemis (-), caries (-), lidah kotor (-), papil lidah



Leher



atrofi (-) Trakea di tengah, kelenjar tiroid tidak teraba



Thorax



membesar, pembesaran KGB (-) PARU I : bentuk normal, simetris dalam diam dan pergerakan nafas, retraksi (-). P : Stem fremitus kanan-kiri depan belakang sama kuat P : Sonor di seluruh lapang paru A : vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-). JANTUNG I : pulsasi ictus cordis tidak tampak P : pulsasi ictus cordis teraba di ICS V MCL sinistra P : redup, batas jantung kanan (midsternum), batas jantung kiri (ICS III PSL sinistra) A : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-),



Abdomen



gallop (-) I : tampak datar, tidak tampak benjolan. A : bising usus (+) 18x/menit, normoperistaltik P : Supel, hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri suprapubis (+)



Ekstremitas



P : timpani di seluruh lapang abdomen Dalam batas normal



Kulit



Turgor kulit baik, ikterik (-), tidak tampak kelainan



Kelenjar Bening



Getah Tidak ada pembesaran



PEMERIKSAAN PENUNJANG i.



Lab Darah (20-05-2019) Hemoglobin Hematokrit Leukosit Trombosit GDS Globulin Bilirubin direk Bilirubin indirek Ureum Creatinin Asam urat Kolesterol Total Trigliserida SGOT SGPT



ii.



11.8 35.8 5.6 398 315 4.5 0,19 0,32 28,7 0,6 4,4 222 129 8 6



g/dL % /uL /uL mg/dL g/dL mg/dL mg/dL mg/dL mg/dL mg/dL mg/dL mg/dL U/L U/L



Radiografi Toraks AP (21-05-2019) Kesan : -



Cor : curiga kardiomegali



-



Pulmo : gambaran pneumonia



-



Tulang : tidak tampak kelainan



iii.



USG Abdomen (21-05-2019) Kesan : -



Multipel Kolelitiasis (saling berkonglomerasi dengan ukuran rerata 0,6 cm)



-



Efusi Pleura Kiri



.



RESUME Telah diperiksa seorang pasien perempuan berusia 77 tahun dengan sesak nafas sejak ± 2 minggu sebelum masuk RSWN Kota Semarang. Keluhan dirasakan sewaktu-waktu, terutama sejak ± 1 minggu sebelum masuk RSWN Kota Semarang. Riwayat operasi katarak tahun 2014 (+). Riwayat diabetes (+) sejak 17 tahun yang lalu, pasien mengkonsumsi obat Metformin (tidak rutin) dan Insulin. Demam (-), keluar dahak / darah saat batuk disangkal, penurunan berat badan (-) Pemeriksaan fisik didapatkan semua dalam batas normal. Pemeriksaan lab darah didapatkan gula darah sewaktu (GDS) 315 mg/dL, globulin 4,5 g/dL, kolestrol total 222 mg/dL. Pemeriksaan foto thoraks AP didapatkan gambaran pneumonia dan curiga kardiomegali. Pemeriksaan USG didapatkan multipel kolelitiasis dengan ukuran rerata 0,6 cm, dan efusi pleura kiri. DIAGNOSIS



Diagnosis Kerja



: Multipel Kolelitiasis + Efusi Pleura Kiri



Diagnosis Banding



:



-



TB paru



-



Bronkopneumonia



TATALAKSANA 1) Rencana Diagnostik -



Foto Thoraks posisi RLD .



-



CT scan thoraks dan Abdomen



-



MRCP



2) Rencana Terapeutik -



Medikamentosa : o Ceftriaxon 2 x 1 tab 2g o Efedrin HCl 3 x 1 (syr) o Digoxin 1 x 1 tab o Vitamin B6 1x1 tab



-



Operatif : o Kolesistektomi.



PROGNOSIS 



Ad vitam



: ad bonam







Ad functionam



: dubia ad bonam







Ad sanationam



: ad bonam



PEMBAHASAN 1. Pasien mengeluhkan sesak nafas yang memberat terutama saat beraktivitas. Sesuai dengan teori efusi pleura, dimana dapat terjadi sesak nafas karena ada desakan cairan yang terdapat di rongga pleura ke parenkim paru. 2. Pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri perut. Sesuai dengan teori dimana tidak semua kasus kolelitiasis akan menimbulkan nyeri perut. 3. Pemeriksaan fisik ditemukan tidak ada nyeri pada perut kanan atas tanpa temuan laboratorium yang lain 4. Gambaran Radiologi: - Ditemukan batu multipel dengan ukuran 0,6 cm pada vesica fellea  kolelitiasis - Efusi pleura kiri. 2. Tidak ada demam, nyeri < 6jam eksklusi kolesistitis . 3. Tidak ada ikterus pada pasien  eksklusi koledokolitiasis, dan sumbatan duktus biliaris intrahepatal.



DAFTAR PUSTAKA 1. Firdaus, Denny. 2012. Efusi Pleura. RSUD Dr.H.Abdul Moeloek. Bandar Lampung. 2. Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta EGC. 3. Halim H. Penyakit-penyakit pleura, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam, Jilid II, edisi ke-3, Gaya Baru.Jakarta.2001; 927-38 4. HANLEY, M. E. & WELSH, C. H. 2003. Current diagnosis & treatment in pulmonary medicine. [New York]: McGraw-Hill Companies. 5.



Rofiq ahmad. 2001. Thorax. http://emedicine.medscape.com/article/299959overview diakses tanggal 8 Mei 2013



6. Bahar, Asril. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed. 3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI 7. Halim, Hadi. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed. 3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI 8. Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta EGC. 9. Rofiqahmad. 2008. Thorax. http://www.efusi pleura/080308/thorax/weblog.htm. diakses tanggal 13 Maret 2008 jam 13.20 WIB 10. Smeltzer c Suzanne, Buku Ajar Keperawatan medical Bedah, Brunner and Suddarth’s, Ed8. Vol.1, Jakarta, EGC, 2002.