Laporan Kasus - SLE [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang



kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh yang bersifat kronik, sistemik, dan penyebabnya tidak diketahui. SLE adalah salah satu kelompok penyakit jaringan ikat difus yang etiologinya tidak diketahui. SLE ditandai dengan autoantibodi dalam sirkulasi terhadap asam deoksiribonukleat (DNA). Kelompok ini meliputi SLE, skleroderma, polimiositis, arthritis rheumatoid, dan sindrom Sjogren. Gangguan- gangguan ini seringkali memiliki gejala yang saling tumpang tindih satu dengan yang lainnya dan dapat tampil secara bersamaan, sehingga diagnosis menjadi semakin sulit untuk ditegakkan secara akurat. SLE dapat bervariasi dari suatu gangguan ringan sampai suatu gangguan yang bersifat fulminan dan mematikan. Namun demikian, keadaan yang paling sering ditemukan adalah keadaan eksaserbasi atau hampir remisi yang berlangsung untuk waktu yang lama. Diagnosis SLE dipastikan dari hasil tes yang positif terhadap faktor antinuklear (ANA) (suatu uji skrining yang berguna) dan uji yang lebih spesifik untuk antibodi anti-DNA. Lupus sering disebut sebagai ―the great imitator” atau ―the great mimicker” karena gejala klinisnya yang mirip dengan banyak penyakit lain, terutama jika ruam malar tidak ditemukan pada wajah. American College of Rheumatology (ACR) telah menyimpulkan suatu kriteria diagnosis berdasarkan pola gejala klinis yang sering muncul pada penderita lupus, diantaranya ruam malar, demam, nyeri sendi, fotosensitifitas, dan lainnya. Lupus yang didiagnosis pada usia sebelum 16 tahun atau lupus pediatrik mencapai 10% sampai 20% dari seluruh kasus SLE, dengan usia saat diagnosis paling sering saat 12 sampai 16 tahun. Insidens lupus pediatrik adalah 0.36 sampai 0.9 per 100 000 anak per tahun dan prevalensi mencapai 3.3 sampai 24 per 100 000 anak. Seperti halnya pada dewasa, lupus pediatrik juga predominan pada perempuan, sekitar 80% penderita adalah perempuan. Insiden tahunan SLE di 1



Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio gender wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010. Menurut hasil penelitian Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic lupus erythematosus). Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Manifestasi klinis dari SLE bermacammacam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan kematian janin. SLE merupakan penyakit yang sulit didiagnosis karena penyakit ini tidak berkembang sekaligus, tetapi secara perlahan-lahan menyerang organ vital, gejalanya hilang dan timbul dalm waktu lama sehingga akhirnya bisa diidentifikasi sebagai penyakit SLE. Tujuan penatalaksanaan pada penderita SLE adalah untuk meningkatkan keadaan umum penderita, mengontrol lesi yang ada, mengurangi bekas luka, dan untuk mencegah pertumbuhan lesi lebih lanjut. Penderita lupus juga perlu mengetahui kemungkinan adanya manifestasi sistemik yang berisiko serius, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium secara reguler. Pengobatan sesuai standar medis meliputi pemberian kortikosteroid dan antimalaria. Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi pasien SLE.



2



BAB II STATUS PEDIATRIK



I.



IDENTIFIKASI a. Nama



: Adelia Veronika



b. Umur



: 14 tahun (13-11-2002)



c. Jenis Kelamin



: laki-laki



d. Nama Ayah



: Heri



e. Nama Ibu



: Apriyanti



f. Bangsa



: Sumatera Selatan



g. Alamat



: Desa Teluk Limau, Kecamatan Gelumbang, Kab. Muara Enim



h. Dikirim oleh



:



i. MRS Tanggal



: 29 Agustus 2017



II. ANAMNESIS Tanggal



: 30 Agustus 2017



Diberikan oleh



: Ibu kandung dan Adik Ibu (yang mengasuh)



A. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG 1. Keluhan utama



: Nyeri pada sendi



2. Keluhan tambahan



: demam



3. Riwayat perjalanan penyakit : Sejak ± 1 bulan yang lalu, penderita mengeluh nyeri pada panggul, lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, hingga jari-jari tangan, nyeri hilang timbul terutama di pagi hari, bengkak dan kemerahan pada sendi (+) hilang sendiri, demam (+) yang hilang timbul terutama pada malam hari lalu penderita meminum obat parasetamol ketika demam, riwayat trauma (-), sesak nafas (-), rasa berdebar-debar (-), timbul benjolan pada kulit (-), pandangan kabur (-



3



), rambut rontok (+) kurang lebih 20 helai sehari, timbul kemerahan di wajah saat terkena sinar matahari (+), bercak kemerahan pada ujung jari kaki (+). sariawan yang hilang timbul (+), BAB dan BAK tidak ada keluhan . Penderita berobat ke dokter umum, penderita lupa diberi obat apa, tetapi keluhan tidak berkurang. ±1



harisebelum



datang



ke



rumah



sakit



penderita



mengeluhnyerisendi di kedua tungkai yang semakin berat hingga sulit digerakkan. Demam (+), sariawan berulang di langit-langit mulut (+), rambut rontok (+), batuk (-), pilek (-), sesak (-). Penurunan nafsu makan (+), penurunan berat badan perlahan (+) terlihat dari baju yang semakin longgar, dan badan semakin lemas penderita lalu dibawa ke IGD RSMH. B. RIWAYAT SEBELUM MASUK RUMAH SAKIT 1. Riwayat Penyakit yang pernah diderita Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal



2. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran G1P1A0  Masa kehamilan



: 37 minggu



 Partus



: spontan



 Tempat



: klinik bidan



 Ditolong oleh



: bidan



 Tanggal



: 13 November 2002



 BB



: 3.300 gram



 PB



: 49 cm



 Lingkar Kepala



: ibu lupa



 Keadaan saat lahir



: langsung menangis



3. Riwayat Makanan  ASI



: 0-6 bulan 4



 Susu botol



: 6 bulan



 Bubur nasi



: ibu lupa



 Nasi tim/lembek



: ibu lupa



 Nasi biasa



: ±2 tahun - sekarang



 Daging



: kadang-kadang (1 bulan sekali)



 Tempe



: ± 1 potong



 Tahu



: ± 1 potong



 Sayuran



: 3x sehari setiap makan



 Buah



: ± 3x seminggu



 Lain-lain



:-



 Kesan



: kualitas dan kuantitas cukup



4. Riwayat Imunisasi IMUNISASI DASAR BCG







DPT 1







DPT 2







DPT 3







Hepatitis B 1







Hepatitis B 2







Hepatitis B 3







Hib 1







Hib 2







Hib 3







Polio 1







Polio 2







Polio 3







Campak







Polio 4







Kesan : imunisasi dasar lengkap



5. Riwayat Keluarga



Perkawinan



Ibu



Ayah



pertama



pertama



SMA



SMA



Umur Pendidikan



Penyakit yang pernah diderita



5



6. Riwayat Perkembangan  Gigi pertama : ibu lupa  Berbalik



: ibu lupa



 Tengkurap



: ibu lupa



 Merangkak



: ibu lupa



 Duduk



: ibu lupa



 Berdiri



: ibu lupa



 Berjalan



: ibu lupa



 Berbicara



: ibu lupa



 Sekarang



: anak sulit berjalanakibat nyeri sendi, anak menjadi



jarang olahraga, bermain dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.  Kesan



: riwayat perkembangan sebelum pasien sakit



normal (menurut ibu)



7. Riwayat Perkembangan Mental  Isap jempol



:-



 Ngompol



:-



 Sering mimpi :  Aktivitas



: menjadi berkurang semenjak sakit



 Membangkang :  Ketakutan



:-



 Kesan



: perkembangan mental secara umum baik, hanya saja anak menjadi malas bergerak karena nyeri sendi



8. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita 



Riwayat infeksi (-)



6



III. PEMERIKSAAN FISIK A. Pemeriksaan Fisik Umum Keadaan umum



: tampak sakit sedang



Kesadaran



: compos mentis



BB



: 44 kg



TB



: 165 cm



Status gizi BB/U



: persentil 25- 50



PB/U



: persentil 50 - 75



BB/PB



: 74 %



Lingkar kepala



: 51 cm



Edema (-), sianosis (-), dispnue (-), anemia (-), ikterus (-), dismorfik (-) Suhu



: 36,7 oC



Respirasi



: 23x/menit



Tekanan darah



: 110/70 mmHg



Nadi



: 100 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup



Kulit



: tidak tampak kelainan



Pemeriksaan Fisik Khusus: KEPALA : Mata



: edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), refleks cahaya (+/+)



Mulut



: kelainan kongenital (-), sianosis (-), bibir pucat (-), ulserasi (+) di palatum mole



Gigi



: Gigi geligi lengkap



Lidah



: papil atropi (-), glositis (-)



Faring



: hiperemis (-)



Tonsil



: normal, hiperemis (-)



LEHER Inspeksi



: tidak tampak massa, tidak ada lesi



7



Palpasi



: pembesaran KGB (-)



AXILLA Tidak teraba massa



THORAX Inspeksi



: warna kulit normal, simetris kiri dan kanan, retraksi (-), venektasi (-)



Palpasi



: nyeri tekan (-), strem fremitus kanan=kiri, ictus cordis (), thrill (-)



PARU Perkusi



: sonor pada kedua lapangan paru



Auskultasi



: vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)



JANTUNG Perkusi



: batas jantung dalam batas normal



Auskultasi



: bunyi jantung I-II (+) normal, murmur (-), gallop (-)



ABDOMEN Inspeksi



: datar, massa (-), pelebaran pembuluh darah (-)



Palpasi



: nyeri tekan (-)



Perkusi



: timpani (+)



Auskultasi



: bising usus (+) normal



HEPAR Tidak teraba



LIEN Tidak teraba



8



GINJAL Ballotement (-), nyeri ketok (-)



EKSTREMITAS Inspeksi Bentuk



: edema(-), koilinikia (-)



Deformitas



: tidak ada



Edema



: ada



Atrofi



: tidak ada



Pergerakan



: kurang



Tremor



: tidak ada



Chorea



: tidak ada



Akral



: hangat



Palpasi Nyeri tekan



: tidak ada



Fraktur/krepitasi: tidak ada Edema



: non pitting, di ekstremitas inferior



INGUINAL Hernia (-), lesi (-) Kelenjar getah bening : normal GENITALIA Tidak diperiksa Pemeriksaan Neurologis 



Fungsi motorik



Pemeriksaan



Tungkai



Tungkai Kiri Lengan



Kanan Gerakan



luas



luas



9



Lengan



Kanan



Kiri



luas



Luas



Kekuatan



5



5



5



5



Tonus



eutoni



eutoni



eutoni



Eutoni



Klonus



-



-



-



-



Reflek fisiologis



normal



normal



normal



Normal



Reflek patologis



-



-



-



-







Fungsi sensorik



: Dalam batas normal







Fungsi nervi craniales



: Dalam batas normal







GRM



: Kaku kuduk tidak ada



PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan darah rutin (29 Agustus 2017) Jenis Pemeriksaan



Hasil



Nilai Rujukan



Hemoglobin(Hb)



7,6



11,3-14,1 gr%



Eritrosit (RBC)



2,95



4,40 – 4,48. 106/mm3



Leukosit (WBC)



2,0



4,5 – 13,5. 103/mm3



Hematokrit (Ht)



24



37 - 41%



Trombosit (PLT)



169



217 – 497.103/µL



MCV



79,7



85-95 fl



MCH



26



28-32 pg



MCHC



32



33-35 g/dl



RDW-CV



22,70



LED



11-15 %



56



< 20 mm/jam



Basofil



0



0–1



Eosinofil



2



1–6



Netrofil



37



50 – 70



Limfosit



53



20 – 40



Hitung Jenis



10



Monosit



12



2–8



Retikulosit



2,6



0,5-1,5



SGOT



141



0-38 mg/dl



SGPT



87



0-41 mg/dl



49



16,6-48,5 mg/dl



0,83



0,24-0.41 mg/dl



Ca



8,1



8,4-10,4 mg/dl



Na



142



135-155 mEq/l



K



4,5



3,5-5,5 mEq/l



C3



3,00



90-180 mg/dl



C4



2,00



10-40



Rf



Negatif



Hati



GINJAL Ureum Kreatinin Elektrolit



Negatif



Lupus Ana Test



> 1/3200



Negatif : < 1/100 Moderate : 1/100 Positif kuat : > 1/100



Anti ds-DNA



1526,19



Negatif : 0-200 Equivocal : 201-300 Positif sedang : 301-800 Positif kuat : >= 801



IV. RESUME Sejak ± 2 bulan yang lalu, penderita mengeluh nyeri pada panggul, lutut, pergelangan kaki, nyeri hilang timbul hingga sulit digerakkan terutama di pagi hari. Nyeri sendi juga dirasakan di siku dan pergelangan tangan, dan jari-jari tangan hinggga sulit untuk menggenggam, demam (+) hilang timbul terutama pada malam hari, lalu penderita meminum obat parasetamol ketika demam, riwayat trauma (-), sesak nafas (-), rasa berdebar-debar (-), timbul benjolan pada



11



kulit (-), pandangan kabur (-), rambut rontok (+) kurang lebih 20 helai sehari, timbul kemerahan di wajah saat terkena sinar matahari (+), sariawan yang hilang timbul (+), BAB dan BAK tidak ada keluhan. Penurunan nafsu makan (+), penurunan berat badan perlahan (+). Penderita berobat ke dokter umum, penderita lupa diberi obat apa, tetapi keluhan tidak berkurang. Riwayat imunisasi dasar lengkap, riwayat



kelahiran baik, riwayat



perkembangan fisik dan mental baik. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan, tanda-tanda vital dalam batas normal. Ekstremitas akral hangat, edema di tungkai kiri. Paru dan jantung dalam batas normal. Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 7,6 g%, eritrosit 2,95 x106/mm3, leukosit 2,0 x103/mm3, hematokrit 24 %, trombosit 169 x103/µL, LED 56 mm/jam, hitung jenis 0/2/37/53/12, retikulosit 2,6 %, SGOT 141 mg/dl, SGPT 87 mg/dl, ureum 49 mg/dl, kreatinin 0,83 mg/dl, Ca 8,1 mg/dl, Na 142 mEq/l, K 4,5 mEq/l, C3 3,00 mg/dL, rf (-).



V. DAFTAR MASALAH -



Nyeri dan kaku pada sendi



-



Demam



VI. DIAGNOSIS BANDING 



Lupus eritematosus sistemik







Juvenil Rheumatoid Artritis







Demam Rematik



VII. DIAGNOSIS KERJA Lupus Eritematosus Sistemik



VIII. TATALAKSANA a. Pemeriksaan Anjuran Darah perifer lengkap



12



Pemeriksaan CRP, ANA, anti-DNA, ant-Sm, Antiphospholipid Ab dan rheumatoid factor b. Terapi - Parasetamol (tablet 500mg) bila suhu >38,50 - Cefixim tab 3 x 100 mg per oral - Vitamin Neurobion tablet 1x sehari - Metilprednisolon 16 mg 3x sehari. c. Diet Hindari makanan berlemak dan berminyak d. Monitoring 1. Tanda vital 2. Keterlibatan sendi lain 3. Kontraktur dan keterbatasan gerak e. Edukasi Mengedukasi keluarga untuk memberikan obat secara teratur kepada penderita. Mengedukasi mengenai cara-cara latihan pergerakan yang dapat dilakukan di rumah



IX. PROGNOSIS Qua ad vitam



: dubia ad bonam



Qua ad functionam



: dubia



Qua ad sanationam



: dubia ad bonam



X. FOLLOW UP Tanggal 31 Agustus 2016 S : Nyeri sendi (+), demam (+), pucat (+) O: KU= Sens: CM KS : Kepala : NCH (-), CA (-), SI (-), Malar Rash (+), Alopesia (+) Leher



: t.a.k



13



Thorax : Cor : BJ I/II (+) N, m (-), g (-) Pulmo



: Vesikular (+) N, wh (-), rh(-)



Abdomen: Datar, lemas, BU (+) N Extremitas: CRT 1 pemeriksaan, 3) Limfopenia < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan, 4) Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat.



3.7 Penegakkan Diagnosis Diagnosis LES, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982, mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi SLE, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis SLE dapat ditegakkan. Kriteria tersebut adalah (Sudoyo, 2006) : 1. Ruam malar 2. Ruam diskoid 3. Fotosensitivitas 4. Ulserasi di mulut atau nasofaring 5. Arthritis 6. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis 7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten > 0,5 gr/hari, atau adanya silinder sel 8. Kelainan neurologik, yaitu kejang- kejang atau psikosis 9. Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik, atau lekopenia atau limfopenia atau trombositopenia. 10. Kelainan imunologik, yaitu sel LE positif atau anti DNA positif, atau anti Sm positif atau tes serologik untuk sifilis yang positif palsu. 11. Antibodi antinuklear (antinuclear antibody, ANA) Kecurigaan akan penyakit LES bila dijumpai 2 (dua) atau lebih keterlibatan organ di bawah ini, yaitu: 1. Jender wanita pada rentang usia reproduksi 2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan.



28



3. Muskuloskeletal: Artritis, artralgia, miositis 4. Kulit: ruam kupu- kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, LES membrane mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, dan vaskulitis. 5. Ginjal: Hematuria, proteinuria, cetakan, sindrom nefrotik 6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen 7. Paru- paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, LES parenkim paru 8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis 9. Retikulo-endotel:



organomegali



(limfadenopati,



splenomegali,



hepatomegali). 10. Hematologi: anemia, leucopenia, dan trombositopenia. 11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindrom otak organic, mielitis transversa, neuropati kranial dan perifer.



Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik Kriteria



Batasan Eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence dan



Ruam malar



lipat nasolabial Bercak eritema menonjol dengan gambaran LES keratotik dan



Ruam diskoid



sumbatan folikular. Pada LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik Ruam kulit yang disebabkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter



Fotosensitifitas



pemeriksa. Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh



Ulkus mulut



dokter pemeriksa



Arthritis



Melibatkan 2 atau lebih sendi perifer ditandai oleh rasa nyeri,



non



29



erosif



bengkak dan efusi a.



Pleuritis- riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang



didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura, atau b. Pleuritis



atau



Perikarditis, bukti rekaman EKG atau pericardial friction rub



yang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi perikardial



perikarditis a.



A. proteinuria menetap > 0,5 gram per hari atau > +3 atau



b.



Cetakan selular- berupa eritrosit, hemoglobin, granular,



tubular, atau Gangguan



Gabungan



renal a.



Kejang- tanpa disebabkan oleh obat- obatan atau gangguan



metabolic, misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit atau b.



Psikosis, tanpa disebabkan oleh obat- obatan atau gangguan



metabolic, misalnya uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan Gangguan



elektrolit



neurologi



Gangguan



a.



Anemia hemolitik dengan retikulosis atau



b.



Leucopenia < 4000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau



c.



Limfopenia < 1500/mm3 pada 2 kali pemeriksaan



d.



Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-



obatan



hematologik



30



a.



Anti DNA: antibody terhadap native DNA dengan titer yang



abnormal atau b.



Anti Sm: terdapatnya antibody terhadap antigen nuclear Sm



atau c.



Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang



didasarkan atas: 1. Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM 2. Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metode standart atau 3. Hasil tes positif palsu paling tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema Pallidum Gangguan



atau tes fluororesensi absorbs antibody treponemal.



imunologik Antibodi



Titer abnormal dari antibodi antinuclear berdasarkan pemeriksaan



antunuklear



imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun



positif (ANA)



waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat.



Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.



3.8 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang Diperlukan untuk Diagnosis dan Monitoring (IRA, 2011) 1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED) 2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin urin. 3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, pro•il lipid) 4. PT, APTT pada sindroma antifosfolipid 5. Serologi ANA§, anti-dsDNA†, komplemen †(C3,C4)) 6. Foto polos thorax



31







pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring. * Setiap 3-6 bulan bila stabil † Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif. ANA,



antibodi



antinuklear;



PT/PTT, protrombin



time/partial



tromboplastin time. Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE.



3.9



Penatalaksanaan Prinsip



tatalaksana



SLE



adalah



remisi,



menyelamatkan



organ,



menyelamatkan pasien, mencegah komplikasi, dan meningkatkan kualitas hidup. Penyakit SLE adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan relaps. Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan anak penting dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan. Edukasi dan konseling memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam menangani penyakit multisistem pada anak dan remaja, dan harus meliputi ahli reumatologi anak, perawat, petugas sosial dan psikologis. Nefrologis perlu dilibatkan pada awal penyakit untuk pengamatan yang optimal terhadap komplikasi ginjal. Demikian pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis juga diperlukan. Perpindahan terapi ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja. 1. Kortikosteroid Prednison hampir selalu menjadi pilihan dalam penatalaksanaan SLE. Meskipun efek samping jangka panjang kortikosteroid banyak, obat ini dianggap yang terbaik



untuk



nefritis



lupus



dan



SLE



pada



umumnya.



Harus



dipertimbangkan pada anak, bahwa efek samping kortikosteroid jangan sampai lebih buruk daripada penyakitnya itu sendiri. Hal ini dapat menyebabkan anak menjadi tidak mau melanjutkan terapi yang dijalaninya.Pemberian awal kortikosteroid dimulai dari dosis tinggi, yaitu 2 mg/kgBB/hari atau 60 mg/m2/hari (maksimum 80 mg/hari) dan diturunkan secara bertahap, bila terdapat perbaikan gejala penyakit, proteinuria, fungsi ginjal, normalisasi komplemen darah, dan penurunan titer anti ds-DNA. Penurunan dosis berlangsung selama 4-6 minggu.



32



Dosis prednison diturunkan secara bertahap sampai 5-10 mg/hari atau 0,1-0,2 mg/kgBB dan dipertahankan selama 4-6 minggu. Bila tidak terjadi relaps, pemberian steroid diuah manjadi selang sehari dan diberikan pada pagi hari. Bila timbul relaps, dosis dinaikkan lagi menjadi 2 mg/kgBB/hari. Efek samping yang paling mengganggu pada usia remaja terutama adalah peningkatan berat badan. Penggunaan dosis rendah harian kortikosteroid dengan dosis tinggi intermitten intravena disertai suplementasi vitamin D dan kalsium bisa mempertahankan densitas mineral tulang. Fraktur patologis jarang terjadi pada anak SLE. Resiko fraktur bisa dicegah dengan intake kalsium dan program exercise yang lebih baik. Melalui program alternate, efek samping steroid pada pertumbuhan bisa dikurangi. Sebelum menetapkan efek obat, penyebab endokrin seperti tiroiditis dan defisiensi hormon pertumbuhan harus dieksklusi. Nekrosis avaskuler bisa terjadi pada 10-15% pasien LES anak yang mendapat steroid dosis tinggi dan jangka panjang. Pada beberapa anak, pota tidur dapat terganggukarena pengaruh kortikosteroid. Sebagian anak menjadi lebih hiperaktif, moody, dan sulit memulai tidur. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan kortikosteroid malam hari lebih awal. Beberapa anak dengan terapi kostikosteroid dosis tinggi mengalami peningkatan dalam frekuensi BAK malam hari sehingga sulit untuk memulai tidur kembali. Jika ada efek negatif seperti ini, dosis kortikosteroid dapat disesuaikan.



2.



Hidroklorokuin Hidroklorokuin mulai diberikan sebagai terapi standar, digunakan pada



lupus derajat sedang atau sebagai kombinasi dengan obat lain pada lupus yang berat. Ada beberapa studi menunjukkan pemakaian obat ini secara berkala dapat menurunkan resiko kekambuhan penyakit. Hidroklorokuin juga memiliki efek pada lipid plasma dan dapat menurunkan resiko komplikasi kadriovaksular. Pemakaian jangka panjang hidroklorokuin dapat menyebabkan retinopati, namun resiko ini dapar diminimalisasi dengan mengatur pemberian tidak lebih dari 6 mg/kgBB/hari.



33



3.



Asam asetilsalisilat dan obat-obat AINS Asetil salisilat dosis rendah (3-5 mg/kgBB/hari) dapat digunakan sebagai



profilaksis episode trombositopeni. Biasanya digunakan pada anak dengan antibodi antifosfolipid yang tinggi dan/atau anak dengan lupus antikoagulan.Anti inflamasi non steroid (AINS) digunakan untuk gejala dan tanda pada muskuloskeletal, yang dapat menjadi parah secara tiba-tiba pada anak dengan terapi kortikosteroid dosis sedang atau tinggi. AINS juga dapat mengobati serositis.



4.



Obat-obatan Imunosupresif Pengobatan dengan agen imunosupresan (sitostatik) dipakai dalam



kombinasi dengan kortikosteroid. Obat yang paling sering dipakai adalah siklofosfamid dan azatioprin.Indikasi pemakaian obat sitostatik adalah: - Bila dengan kortikosteroid hasil yang didapat tidak memuaskan untuk mengontrol penyakit - Bila timbul efek samping pada penggunaan kortikosteroid, misalnya hipertensi - Bila NL berat yaitu NL proliferatif difus, sejak awal diberikan kombinasi kortikosteroid dan sitostatik. Biasanya obat sitistatik diberikan secara oral, tetapi akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan sitistatik secara parenteral yaitu siklofosfamid dengan cara pulse terapi yaitu dengan memberi bolus intravena 0,5-1 gram/m2 secara infus selama 1 jam. Pada hari pemberian infus anak dianjurkan sering kencing untuk mencegah timbulnya komplikasi sistitis hemoragik. Lehman dkk (1989) melaporkan hasil baik dengan pemberian pulse siklofosfamid sekali sebulan selama 6-12 bulan dengan hasil perbaikan fungsi ginjal pada NL proliferasi difus. Dosis yang dipakai adalah 500 mg/m 2 pada bulan pertama, 750 mg/m2 pada bulan kedua dan selanjutnya 1 gram/m2 (dosis maksimal 40 mg/kgBB). Pada pasien dengan kelainan fungsi ginjal atau hepar hanya dipakai dosis 500 mg/m2. Bila jumlah leukosit