Laporan Pendahuluan Wound Dehiscence [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN DAN WEB OF CAUTION WOUND DEHISCENCE



A. Pengertian Wound dehiscence adalah terbukanya tepi-tepi luka sehingga menyebabkan evirasi atau pengeluaran isi organ-organ dalam seperti usus, hal ini merupakan salah satu komplikasi post operasi dari penutupan luka (Black & Hawks, 2009). Wound dehiscence adalah salah satu komplikasi luka operasi yang terinfeksi. Komplikasi lain penyembuhan luka dipindah; yang lambat, morbiditas dan mortalitas yang meningkat, serta lama rawat yang berkepanjangan (Khan, 2009).



Wound Dehiscence atau luka operasi terbuka, didefinisikan sebagai suatu komplikasi dari proses penyembuhan luka yang ditandai terbukanya sebagian atau seluruh luka operasi yang disertai protrusi. Keadaan ini sebagai akibat kegagalan proses penyembuhan luka operasi (Spiolitis, 2009). Wound dehiscence merupakan komplikasi utama dari pembedahan abdominal. Insidensinya sekitar 0,2%-0,6% dengan angka mortalitas cukup tinggi, mencapai 10%-40%, disebabkan penyembuhan luka operasi yang inadekuat. Luka operasi dikatakan sehat/ baik adalah ketika luka mengisi dengan jaringan baru, yang disebut "granulasi" atau "jaringan granulasi" yang mengait antar tepi luka sayatan. Pada pasien dengan Wound Dehiscence jaringan baru (granulasi) tidak sekuat kulit normal, seperti baru dan tidak memiliki waktu untuk memperkuat (Jennifer Whitlock, 2014).



B.



Anatomi Fisiologi Secara anatomi fisiologi, anterior dinding perut terdiri atas otot-otot multilaminar, yang behubungan dengan aponeurosis, fasia, lemak, dan kulit. Pada bagian lateral, terdapat tiga lapisan otot dengan fasia oblik yang berhubungan satu sama lain. Pada setiap otot terdapat tendon yang disebut dengan aponeurosis (Mutaqin, 2011).



Otot transversus abdominis adalah otot internal dari otot-otot dinding perut dan merupakan lapisan dinding perut yang mencegah hernia inguinalis. Bagian kauda otot membentuk lengkungan aponeurotik transversus abdominis sebagai tepi atas cincin inguinal internal dan di atas dasar medial kanalis inguinalis. Ligamentum inguinal menghubungkan antara tuberkulum pubikum dan SIAS (spina iliaka anterior superior). Kanalis inguinalis dibatasi dibatasi kraniolateral oleh anulus inguinalis internus yang



merupakan bagian terbuka dari aponeurosis muskulus oblikus eksternus. Bagian atas terdapat aponeurosis muskulus oblikus eksternus, dan pada bagian bawah terdapat ligamen inguinalis (Ericson, 2009).



C. Fase Penyembuhan Luka Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak, membersihkan sel dan benda asing dan perkembangan awal seluler bagian dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses penyembuhan. Sebagai contoh, melindungi area yang luka bebas dari kotoran dengan menjaga kebersihan membantu untuk meningkatkan penyembuhan jaringan. 1. Fase Inflamasi Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira – kira hari kelima.. pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi), dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket, dan bersama dengan jala fibrin yang terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah. Sementara itu terjadi reaksi inflamasi.



Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamine yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, penyebukan sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang menyebabkan udem dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinik reaksi radang menjadi jelas berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor). Aktifitas seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh darah (diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka. Limfosit dan monosit yang kemudian muncul ikut menghancurkan dan memakan kotoran luka dan bakteri (fagositosis). Fase ini disebut juga fase lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit dan luka hanya dipertautkan oleh fibrin yang amat lemah.



Gambar 4. Fase Inflamasi 2. Fase Proliferasi Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira – kira akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asama aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka.



Pada fase ini serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk penyesuaian diri dengan tegangan pada luka yang cenderung mengerut. Sifat ini, bersama dengan sifat kontraktil miofibroblast, menyebabkan tarikan pada tepi luka. Pada akhir fase ini kekuatan regangan luka mencapai 25% jaringan normal. Nantinya, dalam proses penyudahan kekuatan serat kolagen bertambah karena ikatan intramolekul dan antar molekul. Pada fase fibroplasia ini, luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan kolagen, membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan yang berbenjol halus yang disebut jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya bisa terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar, sebab epitel tak dapat bermigrasi ke arah yang lebih tinggi. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase penyudahan.



Gambar 5. Fase Proliferasi



3. Fase Penyudahan (Remodelling) Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini dapat berlangsung berbulan – bulan dan dinyatakan berkahir kalau semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan. Udem dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan lemas serta mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira – kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira – kira 3-6 bulan setelah penyembuhan.



Gambar 6. Fase Remodelling



D. Etiologi Wound dehiscence dapat terjadi pada saat sebelum pasien mengalami pembedahan, adapun faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya wound dehiscence tersebut adalah batuk dikarenakan dengan batuk akan terjadi tekanan pada abdomen sehingga luka akan mengalami penekanan, selain itu pada pasien yang mengalami anemia, malnutrisi, dan hypoalbumin beresiko terjadinya wound dehiscence karena berkaitan dengan nutrisi yang tidak adekuat. Dimana nutrisi yang adekuat dibutuhkan oleh pasien dalam fase penyembuhan luka (Black & Hawks, 2009). Tipe dari insisi dan jahitan luka sangat mempengaruhi terjadinya wound dehiscence. Perburukan luka (wound dehiscence) akibat pembedahan (post operasi) dapat terjadi disebebkan karena faktor distensi abdominal, kebocoran usus, terjadinya infeksi, hematoma, ketidak seimbangan elektrolit, pemenuhan nutrisi yang tidak adekuat danvomiting. Sehingga luka tidak dapat menutup dan melakukan penyembuhan luka dengan baik (Stillman, 2010).



E. Patofisiologi Burst Abdomen bisa disebabkan oleh faktor pre operasi, operasi dan post operasi. Pada faktor pre operasi, hal-hal yang berpengaruh dalam factor pre operasi ini adalah usia, kebiasaan merokok, penyakit diabetes mellitus, dan malnutrisi. Pada umur tua otot dinding rongga perut melemah. Sejalan dengan bertambahnya umur, organ dan jaringan tubuh mengalami proses degenerasi. Kejadian tertinggi burst abdomen sering terjadi pada umur > 50-65 tahun. Selain itu adanya anemia, hypoproteinaemia, dan beberapa kekurangan vitamin bisa menyebabkan terjadinya burst abdomen. Hemoglobin menyumbang oksigen untuk regenerasi jaringan granulasi dan penurunan tingkat hemoglobin mempengaruhi penyembuhan luka. Kebiasaan merokok sejak muda menyebabkan batuk-batuk yang persisten, batuk yang kuat dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen. Penyakit-penyakit tersebut tentu saja amat sangat berpengaruh terhadap daya tahan tubuh sehingga akan mengganggu proses penyembuhan luka operasi. Hypoproteinemia adalah salah satu faktor yang penting dalam penundaan penyembuhan, seseorang yang memiliki tingkat protein serum di bawah 6 g / dl. Untuk perbaikan jaringan, sejumlah besar asam amino diperlukan. VitaminC sangat penting untuk memperoleh kekuatan dalam penyembuhan luka. Kekurangan vitamin C dapat mengganggu penyembuhan dan merupakan predisposisi kegagalan luka. Kekurangan vitamin C terkait dengan delapan kali lipat peningkatan dalam insiden wound dehiscence. Seng adalah co-faktor untuk berbagai proses enzimatik dan mitosis.



Factor operasi, tergantung pada tipe insisi, penutupan sayatan, penutupan peritoneum, dan jahitan bahan. Kontraksi dari dinding abdomen menyebabkan tekanan tinggi di daerah lateral pada saat penutupan. Pada insisi midline, ini memungkinkan menyebabkan bahan jahitan dipotong dengan pemisahan lemak transversal. Dan sebaliknya, pada insisi transversal, lemak dilawankan dengan kontraksi. Otot perut rektus segmental memiliki suplai darah dan saraf. Jika irisan sedikit lebih lateral, medial bagian dari otot perut rektus mendapat denervated dan akhirnya berhenti tumbuh. Ini menciptakan titik lemah di dinding dan pecah perut.



Faktor post operasi terdiri dari peningkatan dari intra-abdominal pressure yang menyebabkan suatu kelemahan mungkin disebabkan dinding abdominal yang tipis atau tidak cukup kuatnya pada daerah tersebut, dimana kondisi itu ada sejak atau terjadi dari proses perkembangan yang cukup lama, pembedahan abdominal dan kegemukan. Dapat



dipicu juga jika mengangkat beban berat, batuk dan bersin yang kuat, mengejan akibat konstipasi. Terapi radiasi dapat mengganggu sintesis protein normal, mitosis, migrasi dari faktor peradangan, dan pematangan kolagen. Antineoplastic agents menghambat penyembuhan luka dan luka penundaan perolehan dalam kekuatan tarik (Stillman, 2010).



Penyembuhan luka tidak sempurna bisa diakibatkan karena pada fase proliferasi terjadi pembentukan jaringan granulasi terganggu yang dimulai pada hari ketiga pasca operasi dan berakhir beberapa minggu.Terpenting pada fase tersebut fibroblas bergerak ke arah luka dan merespon sintesis kolagen. Namun pada kasus wound dehiscence fibroglas tidak dapat bergerak ke arah luka yang mengakibatkan deposit kolagen berkurang sehingga luka membuka kembali (Khan, 2009).



Wound dehiscene pada post hernioraphy dapat mengakibatkan peradangan pada usus yang akirnya menjadi obstruksi. Untuk menangani kejadian ini, maka dilakukan tindakan medis pembuatan kolostomi yang bertujuan untuk mengalihkan feses agar tidak melewati kolon yang mengalami obstruksi. Tindakan selanjutnya akan dilakukan relokasi stoma dan penutupan defek hernia setelah terjadi perbaikan pada kolon yang mengalami obstruksi (Gruendemann & Farnsebner, 2006).



F. Klasifikasi Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi menjadi dua: 1. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari paska operasi



yang



biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding perut yang tidak baik. 2. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari sampai 12 hari paska operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan dengan usia, adanya infeksi, status gizi dan faktor lainnya (Sjamsudidajat. 2009).



G. Manifestasi Klinis Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya penderita sering merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang bergerak keluar disertai keluarnya cairan serous berwarna merah muda dari luka operasi (85% kasus). Pada pemeriksaan didapatkan luka operasi yang terbuka. Terdapat pula tanda-tanda infeksi umum seperti



adanya rasa nyeri, edema dan hiperemis pada daerah sekitar luka operasi, dapat pula terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka operasi (Sjamsudidajat. 2009).



Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara klinis terjadi pada hari keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita datang dengan klinis febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit yang sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan di sekitar luka operasi didapatkan reaksi radang berupa kemerahan, hangat, pembengkakan, nyeri, fluktuasi dan pus (Afzal,2008; Spioloitis et al, 2009).



Gambar:Burst abdomen pascaoperasi abdomen



H. Komplikasi Terjadinya perburukan luka atau terbukanya luka abdomen kembali akan beresiko bagi pasien untuk mengalami peradangan pada usus yang akan mengakibatkan obstruksi usus dan dampak terburuknya maka akan terjadi nekrosis pada usus (Stillman, 2010). Komplikasi vistel yang dilakukan pada pasien dengan wound dehiscence adalah: 1. Penempatan letak vistel yang tidak tepat Dimana disini mengakibatkan pemakaian colostomy bag menjadi sulit akan cenderung menjadi bocor sehingga merusak kulit, ini akan menghalangi aktivitas sehari-hari.



2. Nekrosis Vaskularisasi yang tidak memadai pada stoma akan segera mengakibatkan iskemia atau nekrosis segera setelah operasi, perkembangan nekrosis harus segera dievaluasi dan ditentukan perluasannya. Bila nekrosis hanya terjadi pada bagian permukaan serosa tidak perlu dilakukan tindakan segera, mungkin jaringan yang nekrotik akan mengelupas atau perlu debridement. Bila nekrosis meluas hingga dibawah fasia maka perlu segera dilakukan laparatomy untuk mencegah terjadinya peritonitis.



3. Kerusakan kulit Pengotoran cairan produk vistel dikulit sekitar luka mengakibatkan kulit maserasi dan rusak. Hal ini lebih sering terjadi dimana cairan mengandung zat proteolitik dari enzim pancreas, hal ini bisa pula terjadi pada colostomy di proksimal dari pleksura lienalis. Biasanya terjadi oleh karena pemasangan stoma bag / appliance yang jelek sehingga bocor. Kerusakan kulit mungkin juga terjadi oleh karena folikulitis peristomal, dermatitis kontak / alergi. Produk ileostomi yang tinggi, penyakit crohn’s yang kambuh, obstruksi parsial usus halus, sepsis intra abdominal stenosis soma



dan



gastro



enteritis



juga



berperan



terhadap



kejadian



kerusakan



kulit.(Gruendemann & Farnsebner, 2006)



I.



Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan untuk menunjang pemeriksaan pada kasus wound dehiscence adalah: 1. Laboratorium Darah lengkap: dapat menunjukkan anemia hiperkromik (penyakit aktif umum terjadi sehubungan dengan kehilangan darah dan kekurangan besi), leukositosis dapat terjadi, kususnya pada kasus berat atau komplikasi dan pada pasien dengan terapi steroid. 2. Rontgen Foto polos abdomen untuk mendeteksi adanya udara pada pada usus dan untuk mendeteksi adanya ileus. 3. EKG Terjadi peningkatan nadi, takikardi, akibat adanya nyeri. 4. CT scan Untuk mendeteksi adanya obstruksi usus lebih detail dan mengidentifikasi terjadinya nekrosis pada usus.



5. Tes BGA (Darah lengkap) Hemoglobin, serum protein, gula darah, serum kreatinin, dan urea. Hitung darah lengkap dan serum elektrolit dapat menunjukkan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit), peningkatan sel darah putih, dan ketidakseimbangan elektrolit. 6. CT scan atau MRI Untuk menggambarkan atau mengetahui keadaan obsruksi usus dengan lebih jelas. 7. Sinar X abdomen (Laft Lateral Decubitus) Sinar X abdomen menunjukkan abnormalnya tinggi kadar gas dalam usus atau obstruksi usus (Stillman, 2010). Pemeriksaan penunjang post vistel adalah: a. Contoh feses (pemeriksaan digunakan dalam diagnosa awal dans elama kemajuan penyakit): terutama yang mengandung mukosa, darah, pus, dan organisme usus, khususnya Entamoeba histolytica (tahap aktif). b. Protosigmoidoscopy: memperlihatkan ulkus, edema, hiperemia, dan ingflamasi (akibat infeksi sekunder mukosa dan submukosa). Area yang menurun fungsinya dan perdarahan karena nekrosis dan ulkus terjadi pada 85% bagian pada pasien ini. c. Sitologi dan biopsi rektal: membedakan antara proses infeksi dan karsinoma (terjadi 10-20 kali lebih sering daripada populasi umum). Perubahan neoplastik dapat dideteksi, juga karakter infiltrat inflamasi yang disebut abses lapisa bawah. d. Kolonoskopi: mengidentifikasi adesi, perubahan lumen dinding (menyempit atau tak teratur), menunjukkan obstruksi usus. e. Darah lengkap: Dapat menunjukkan anemia hiperkromik (penyakit aktif umum terjadi sehubungan dengan kehilangan darah dan kekurangan besi), leukositosis dapat terjadi, kuususnya pada kasus berat atau komplikasi dan pada pasien dengan terapi steroid. f. Trombositosis: Dapat terjadi karena proses penyakit inflamasi. g. Elektrolit: Penurunan kalium dan magnesium pada penyakit berat. h. Kadar albumin: penurunan karena kehilangan protein plasma atau gangguan fungsi hati (Sjamsudidajat. 2009).



J.



Penatalaksanaan Penatalaksanaan Wound Dehiscence dibedakan menjadi penatalaksanaan non operatif atau konservatif dan penatalaksanaan operatif tergantung atas keadaan umum penderita. 1. Penanganan Nonoperatif/ Konservatif Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang sangat tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi.Hal ini dilakukan dengan penderita berbaring di tempat tidur dan menutup luka operasi dengan kassa steril atau pakaian khusus steril.Penggunaan jahitan penguat abdominal dapat dipertimbangkan untuk mengurangi perburukan luka operasi terbuka (Anonim, 2008; Ismail, 2008). Selain perawatan luka yang baik, diberikan nutrisi yang adekuat untuk mempercepat penutupan kembali luka operasi.Diberikan pula antibiotik yang memadai untuk mencegah perburukan dehisensi luka (Singh, 2008; Ismail, 2008). 2. Penanganan Operatif Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita dehisensi. Ada beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi luka yang dilakukan antara lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi yang terbuka, mesh repair, vacuum pack, abdominal packing, dan Bogota bag repair (Sukumar, 2009).



Jenis operasi rehecting atau penjahitan ulang paling sering dilakukan hingga saat ini.Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan keadaan stabil, dan penyebab terbukanya luka operasi murni karena kesalahan tekhnik penjahitan (Sukumar, 2009). Pada luka yang sudah terkontaminasi dilakukan tindakan debridemen terlebih dahulu sebelum penutupan kembali luka operasi.Dalam perencanaan jahitan ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang baik seperti laboratorium lengkap dan foto throraks.Selain penjahitan ulang dilakukan pula tindakan debridement pada luka (Spiloitis et al, 2009; Sjamsudidajat, 2009).



Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi luka jahitan secara hati-hati dan memperlebar sayatan jahitan lalu mengidentifikasi sumber terjadinya dehisensi jahitan. Tindakan eksplorasi dilakukan dalam 48 ± 72 jam sejak diagnosis dehisensi luka operasi di tegakkan. Tehnik yang sering digunakan adalah dengan melepas jahitan lama dan menjahit kembali luka operasi dengan cara satu lapisan sekaligus. Pemberian antibiotik sebelum operasi dilakukan, membebaskan omentum dan usus di sekitar luka.Penjahitan ulang luka operasi



dilakukan secara dalam, yaitu dengan menjahit seluruh lapisan abdomen menjadi satu lapis.Pastikan mengambil jaringan cukup dalam dan hindari tekanan berlebihan pada luka. Tutup kulit secara erat dan dapat dipertimbangkan penggunaan drain luka intraabdominal. Jika terdapat tanda- tanda sepsis akibat luka, buka kembali jahitan luka operasi dan lakukan perawatan luka operasi secara terbuka dan pastikan kelembaban jaringan terjaga (Anonim, 2008; Ismail, 2008; Spiloitis, 2009).



Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang adalah benang monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan tehnik terputus sekurangnya 3 cm dari tepi luka dan jarak maksimal antar jahitan 3 cm, baik pada jahitan dalam ataupun pada kulit.Jahitan penguat dengan karet atau tabung plastic lunak (5-6cm) dapat dipertimbangkan guna mengurangi erosi pada kulit.Jangan mengikat terlalu erat.Jahitan penguat luar diangkat setidaknya setelah 3 minggu (Anonim, 2008; Ismail, 2008).



Selain Rehecting, banyak tekhnik yang dilakukan untuk menutup dehisensi luka secara sementara maupun permanen. Metode yang biasa dilakukan antara lainmesh repair, yaitu penutupan luka dengan bahan sintetis yaitu mesh yang berbentuk semacam kasa halus elastis yang berfungsi sebagai pelapis pada jaringan yang terbuka tersebut dan bersifat diserap oleh tubuh. Namun mesh repair menimbulkan angka komplikasi yang cukup tinggi. Dilaporkan terdapat sekitar 80% pasien dengan mesh repair mengalami komlplikasi dengan 23% mengalami enteric fistulation (Sukumar, 2009).



Selain itu digunakan pula vacuum pack. Tekhnik ini menggunakan sponge steril untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali setelah itu ditutup dengan vacuum bag dengan sambungan semacam suction di bagian bawahnya. Tekhnik lain yang digunakan adalah Bogota bag. Tekhnik ini dilakukan pada dehisensi yang telah mengalami eviserasi.Bogota bag adalah kantung dengan bahan dasar plastik steril yang merupakan kantong irigasi genitourin dengan daya tampung 3 liter yang digunakan untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali.Plastik ini dijahit ke kulit atau fascia pada dinding abdomen anterior (Sukumar, 2009).



K. Pencegahan Pencegahan dehisensi pada luka operasi dapat dilakukan dengan cara mengenali dengan baik dan sedini mungkin faktor-faktor risiko yang dimiliki penderita, penggunaan tehnik operasi/penjahitan yang tepat, cara penjahitan dan perawatan luka setelah penjahitan yang baik. Penanganan pada penderita dehisensi luka operasi adalah dengan mengobati penyebab dari dehisensi yang terjadi. Prinsip dasarnya adalah dengan melakukan perawatan luka dengan baik. Pengetahuan akan faktor penyebab dehisensi luka (mekanik, metabolik dan infeksi) sangat berperan dalam pencegahannya. Koreksi terhadap faktor penyebab tersebut akan sangat bermakna dalam keberhasilan pencegahan dehisensi luka operasi. Pada kasus risiko tinggi, pemberian antibiotik dapat diberikan sebelum tindakan dan diet tinggi kalori dan protein dapat memberikan arti klinis yang sangat bermakna.



L. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian A. Kondisi Luka 1) Warna dasar luka 



Slough (yellow)







Necrotic tissue (black)







Infected tissue (green)







Granulating tissue (red)



2) Epithelialising (pink) lokasi ukuran dan kedalaman luka 3) Eksudat dan bau 4) Tanda-tanda infeksi 5) Keadaan kulit sekitar luka : warna dan kelembaban 6) Hasil pemeriksaan laboratorium yang mendukung B. Status nutrisi klien : BMI, kadar albumin C. Status vascular : Hb, TcO2 D. Status imunitas: terapi kortikosteroid atau obat-obatan immunosupresan yang lain E. Penyakit yang mendasari : diabetes atau kelainan vaskularisasi lainnya



2. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri akut 2. Ketidakefektifan pola napas 3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan 4. Kerusakan integritas kulit 5. Resiko infeksi