Laporan Pkpa Puskesmas Fix Print1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PUSKESMAS SEDAYU II ANGKATAN 31



DISUSUN OLEH: Fajar Handayani



17811207



Rosmalina



17811208



Muhammad Sahindrawan Firmansyah



17811209



Femy Orshidina G



17811210



PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA



YOGYAKARTA JANUARI 2018



LEMBAR PENGESAHAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PUSKESMAS SEDAYU II TANGGAL 25 JANUARI



Disetujui Oleh:



Pembimbing



Program Studi Profesi



Apoteker Penanggung Jawab



(Dian Medisa, MPH.,Apt)



(E.Lenni Liestiono, S.Farm, Apt)



Mengetahui



Ketua Program Studi



Kepala Puskesmas



Profesi Apoteker



(Dimas Adhi Pradana, M.Sc.,Apt)



(drg.Elmi Yudhihapsari,MPH)



Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Kesehatan menurut definisi diartikan sebagai suatu keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis(1). Dalam mengupayakan peningkatan kesehatan, perlu adanya fasilitas kesehatan yang berguna untuk penyelenggaraan upaya kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan ataupun masyarakat. Salah satu fasilitas kesehatan yang dimaksud adalah Puskesmas(2). Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No 74 Tahun 2016 merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja(3). Puskesmas juga didefinisikan sebagai salah satu jenis fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif dalam pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerja(2). Pelayanan di Puskesmas diantaranya yakni pelayanan klinis dan pelayanan kesehatan masyarakat. Didalam pelayanan klinis terdapat pelayan obat atau kefarmasian. Pelayanan kefarmasian merupakan sutatu pelayan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud untuk mencapai hasil yang pasti dalam peningkatan mutu kehidupan pasien. Dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian di Puskesmas maka dibutuhkan apoteker yang memiliki kompetensi mampu menyediakan dan memberikan pelayanan kefarmasian yang bermutu, mampu mengambil keputusan secara professional, mampu berkomunikasi dengan baik dengan pasien maupun profesi kesehatan lain menggunakan bahasa verbal, non verbal maupun bahasa lokal serta selalu belajar sepanjang karir baik formal maupun informal, sehingga ilmu dan ketrampilan yang dimiliki selalu baru(4). Sebagaimana upaya dalam peningkatan wawasan, pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan bekerja sama dengan profesi kesehatan lainnya, maka dilakukan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) bagi calon apoteker yang diikuti oleh mahasiswa Program Pendidikan Profesi Apoteker dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta pada tanggal 15 Januari 2018 sampai dengan tanggal 25 Januari 2018 di Puskesmas Sedayu 2 Bantul, sehingga diharapkan dengan



PKPA ini calon apoteker memiliki bekal pengetahuan dan pengalaman yang dapat diterapkan dalam berbagai kegiatan dalam rangka mengabdikan diri untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.



B. Tujuan dan Manfaat PKPA Kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Puskesmas memiliki beberapa tujuan yaitu: 1. Memberikan pemahaman kepada calon Apoteker tentang kebijakan pengelolaan obat di Puskesmas. 2. Meningkatkan pemahaman calon Apoteker tentang peran, fungsi dan tanggung jawab apoteker dalam pengelolaan obat dan praktek kefarmasian pelayanan kefarmasian di Puskesmas. 3. Membekali calon Apoteker agar memiliki pengetahuan, keterampilan sikap perilaku (Profesionalism), serta wawasan dan pengalaman nyata (Reality) untuk melakukan praktek profesi dan pekerjaan kefarmasian di Puskesmas. 4. Memberikan kesempatan kepada calon Apoteker untuk melihat, mempelajari dan mempraktekkan pelayanan kefarmasian di Puskesmas. 5. Memberikan kesempatan kepada calon Apoteker untuk belajar berinteraksi, bekerjasama, dan berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lain di Puskesmas sesuai dengan etika profesi Apoteker yang benar. 6. Memberikan kesempatan kepada calon Apoteker untuk belajar pengalaman praktek profesi Apoteker di Puskesmas dalam kaitan dengan peran, tugas, dan fungsi Apoteker dalam bidang kesehatan masyarakat. Manfaat yang diperoleh mahasiswa setelah melakukan PKPA adalah 1. Memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang peran, fungsi dan tanggung jawab Apoteker dalam pengelolaan obat dan praktek pelayanan kefarmasian di Puskesmas. 2. Mendapatkan pengalaman praktis dan realisasi tentang cara pengelolaan obat dan pelayanan kefarmasian di Puskesmas. 3. Memperoleh pengalaman langsung tentang tata cara berkomunikasi dan berinteraksi yang baik dengan tenaga kesehatan lain di Puskesmas.



4. Membentuk sikap perilaku dan jiwa profesionalisme untuk memasuki dunia kerja dibidang kefarmasian.



Bab II KEGIATAN PRAKTEK KERJA DAN PEMBAHASAN MEMBANDINGKAN ANTARA TEORI DAN PRAKTEK



1. Aspek Umum Puskesmas Sedayu II berdiri pertama kali pada tahun 1981 dengan nama Puskesmas Sedayu. Pada saat itu kecamatan sedayu hanya memiliki 1 puskesmas yang berada dibagian utara balai Desa Argorejo, dan pada tahun 1985 Puskesmas Sedayu dirubah namanya menjadi Puskemas Sedayu II. a. Aspek Legal Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Puskesmas juga dapat berfungsi sebagai: a. Unit Pelaksana Teknis: Sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (UPTD), puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia. b. Pembangunan Kesehatan: Pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. c. Penanggungjawab Penyelenggaraan: Penanggungjawab utama penyelenggaraan seluruh upaya pembangunan kesehatan diwilayah kabupaten/kota adalah Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sedangkan puskesmas bertanggungjawab hanya sebagian upaya pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan kemampuannya. d. Wilayah Kerja: Secara nasional, standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan, tetapi apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari dari satu puskesmas, maka tanggungjawab wilayah kerja dibagi antar puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa/kelurahan atau RW). Masing-masing puskesmas tersebut secara operasional bertanggungjawab langsung kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota(5).



b. Struktur Organisasi dan SDM (Sumber Daya Manusia) di Puskesmas Sedayu 2 Struktur organisasi puskesmas tergantung dari kegiatan dan beban tugas masing-masing puskesmas. Penyusunan struktur organisasi puskesmas di satu kabupaten/kota dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota, sedangkan penetapannya dilakukan dengan Peraturan Daerah (5). Pola struktur organisasi puskesmas sedayu 2 dapat dilihat pada bagan struktur organisasi dibawah ini:



Kepala Puskesmas drg. Elmi Yudhapsari, MPH



KA.SUB.BAG.TATA USAHA Joko Waluyo, SKM



KEPEGAWAIAN Parjono



KEUANGAN Bendahara BLUD : Joko W, SKM Bendahara Penerimaan : D.A. Endang, Amd Bendahara Pengeluaran : Sumilah, Amd



SISTEM INFORMASI PUSKESMAS Prasinto R, Amd.Kep



RUMAH TANGGA Nanik Tejowati, Amd.Gz



UKM & Keperawatan Kesehatan Masyarakat Nanik Tejowati, Amd.Gz



ESENSIAL



UKP Kefarmasian dan Laboratorium dr. Kriessita Andiyanti



PENGEMBANGAN



PEM UMUM dr. Sri Rahayu



PUSTU Nurfarida



PUSLING Yoyok P. SKM



PROMKES Yoyok P. SKM



LANSIA Maryani, Amd.Keb



KES GILUT drg. Maryati



KESLING Eni S, Amd.KL



UKK Nurfarida



KIA-KB Sri Endar S, Amd.Keb



KIA-KB Sri Endar S, Amd.Keb



KESEHATAN JIWA Jawad, Amd.Kep



GIZI Nanik Tejowati, Amd.Gz



GIZI Nanik Tejowati, Amd.Gz



KEFARMASIAN E Lenni l, S.Farm,Apt



P2 dr. Kriessita Andiyanti



LABORATORIUM Anisah K, Amd.Ak



PERKESMAS Sartinah, Amd.Kep



Jaringan Yan Pusk & Jejaring Fasyankes drg. Ferika Ardiyawati



FISIOTERAPI Anton Ferry, Amd.Fis



BEDAH DESA Argorejo: Natya P, Amd.Keb Argodadi: Mangesti, Amd.Keb



JEJARING FASYANKES Rohani, Amd.Keb



Kepala Puskemas sedayu II membawahi empat sub bagian tata usaha, Bidang UKM dan Keperawatan Kesehatan Masyarakat, Bidang UKP Kefarmasian dan Laboratorium, serta Bidang Jaringan Yan Pusk dan Jejaring Fasyankes. Kepala sub bagian tata usaha dibantu oleh bagian kepegawaian, keuangan, sistem informasi puskemas dan keuangan. Pada Bidang UKM dan Keperawatan Kesehatan Masyarakat membawahi bidang Perkesmas, bidang Esensial (Promkes, Kesling, KIA-KB, Gizi, P2) dan bidang pengembangan (Lansia, UKK, Kesehatan Jiwa). Pada Bidang UKP Kefarmasian dan Laboratorium membawahi Pem Umum, Kes Gilut, KIA-KB, Kefarmasian, Laboratorium, dan Fisioterapi. Pada Bidang Jaringan Pusk dan Jejaring Fasyankes membawahi Pustu, Pusling, Bedah Desa (Argorejo, Argodadi), dan jejaring Fasyankes. Jenis Pelayanan yang ada di Puskesmas Sedayu II antara lain : a. Rekam Medis Pada Rekam Medis sistem pencatatan menggunakan sistem pencatatan manual, selain itu data rekam medis juga disimpan dalam Sistem Informasi Puskemas (SIMPUS), sehingga rekam medis pasien dapat di akses dengan cepat jika dibutuhkan. b. Badan Pelayanan Umum (BPU) pelayanan rawat jalan Pada bidang ini terdapat dokter dan perawat, dimana dokter melakukan pemeriksaan fisik, memberikan tindakan dan pengobatan melalui penulisan resep, selanjutnya dokter menulis rekam medic secara manual, sedangkan perawat membantu dokter dan melakukan pengisian rekam medik. c. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Pada bidang ini dilakukan pelayanan seperti konsultasi kehamilan, pemberian vitamin dan tambahan mineral bagi ibu hamil, pemantauan kesehatan janin dan ibu hamil, pemberian imunisasi pada bayi, penyuluhan kesehatan ibu hamil dan bayi, penggunaan alat KB, dan lain-lain yang dilakukan oleh bidan. d. Pelayanan Konseling e. Unit Gawat Darurat (UGD) Pada bidang ini dilakukan pelayanan pada kasus emergency (darurat). f.



Pelayanan gigi Pada bidang ini dilakukan pelayanan berupa pemeriksaan kelainan rongga mulut dan gigi, yang dilakukan oleh dokter dan didampingi oleh perawat.



g. Pelayanan Laboratorium Pada bidang ini dilakukan pelayanan berupa pemeriksaan dasar (kimia darah, hematologi, urin rutin, feses rutin, imunoserologi, tes kehamilan, tes BTA, dan malaria).



h. Pelayanan Farmasi Pada bidang ini dilakukan pelayanan berupa pelayan obat dan informasi tentang obat kepada pasien, dokter ataupun tenaga kesehatan lain. Pada bidang ini juga dilakukan pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai serta pelayanan kefarmasian. i.



Pelayanan Gizi Pada bidang ini dilakukan pelayanan berupa pemantauan status gizi masyarakat, terutama untuk balita dan lansia.



c. Peran dan Fungsi Apoteker di Puskesmas Sumber daya manusia untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di Puskesmas adalah Apoteker, menurut Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, telah mengatur bahwa yang berhak melaksanakan pekerjaan kefarmasian itu adalah Tenaga Kefarmasian yaitu Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian(6). Kompetensi apoteker di Puskesmas sebagai berikut (6): a. Mampu menyediakan dan memberikan pelayanan kefarmasian yang bermutu b. Mampu mengambil keputusan secara profesional c. Mampu berkomunikasi yang baik dengan pasien maupun profesi kesehatan lainnya dengan menggunakan bahasa verbal, nonverbal maupun bahasa lokal. d. Selalu belajar sepanjang karier baik pada jalur formal maupun informal, sehingga ilmu dan keterampilan yang dimiliki selalu baru (up to date). Sedangkan asisten apoteker hendaknya dapat membantu pekerjaan apoteker dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian tersebut(6). Tugas Apoteker dalam pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai di Puskesmas Sedayu II meliputi perencanaan kebutuhan Obat untuk satu tahun, melakukan pengadaan kebutuhan Obat untuk 2 bulan sekali ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, melakukan penyimpanan obat di gudang Obat Puskesmas, melakukan pendistribusian Obat ke Sub Unit pelayanan, Pustu, Pusling, dan juga laboratorium, melakukan pencatatan dan pelaporan pengeluaran dan sisa stok Obat serta melakukan evaluasi bulanan dalam bentuk LPLPO. Apoteker sedayu II juga melakukan pelayanan kefarmasian berupa pengkajian resep, penyerahan Obat, pemberian informasi Obat, Pelayanan Informasi Obat (PIO), konseling, oemantauan dan pelaporan efek samping obat, pemantauan terapi Obat, evaluasi penggunaan Obat. Selain itu Apoteker berperan



dalam promosi kesehatan melalui penyuluhan dan penyebaran leaflet/brosur. Apoteker sedayu II juga menjadi coordinator dan penanggung jawab ruang farmasi. Jumlan Apoteker di Puskemas Sedayu II sebanyak 1 orang dengan dibantu oleh 2 staf pegawai Puskesmas. Rata-rata pelayanan resep Obat sebanyak 80 resep per hari. Jika melihat Permenkes Nomor 74 tahun 2016 yang mengatur jumlah kebutuhan Apoteker di Puskesmas dihitung berdasarkan rasio kunjungan pasien, baik rawat inap maupun rawat jalan serta memperhatikan pengembangan Puskesmas (dengan rasio perbandingan 1:50). maka dapat dikatakan bahwa terdapatnya ketidak sesuaian antara peraturan dengan kondisi yang ada di Puskemas Sedayu II. Seharusnya, untuk jumlah pelayanan resep perhari (rata-rata 80 resep per hari) dibutuhkan setidaknya 2 orang Apoteker. d. Korelasi 10 Penyakit dan Penggunaan Obat Terbanyak Di Puskesmas Sedayu 2 Periode 2017 Tabel 1. Laporan diagnosis 10 Penyakit Terbanyak di Puskesmas Sedayu 2 Periode Tahun 2017 Kode



No.



Nama Penyakit



Diagnosis



Kunjungan



1



J00



Nasofaringitis akut (common cold)



1819



2



I10



Hipertensi essensial (primer)



1226



3



F20



Schizophrenia



534



4



K30



Dispepsia



373



5



R50



Demam Tanpa Sebab



328



6



E11



Diabetes Mellitus



273



7



R51



Cephalgia



230



8



A09



Diare dan gastroenteritis yang tidak spesifik



188



9



K00.6



Distrubance in tooth eruption



186



10



M79.1



Myalgia



170



Dapat dilihat pada Tabel 1 bahwa penyakit yang paling sering terjadi di Puskesmas Sedayu 2 adalah Nasofaringitis akut ataupun common cold dan untuk urutan kedua yaitu ada hipertensi primer. Sedangkan untuk urutan 10 yaitu ada Myalgia Tabel 2. Daftar Obat Yang Sering Diresepkan Dokter di Puskesmas Sedayu 2 Periode Tahun 2017. No.



Nama Obat



Bentuk sediaan



Jumlah Obat



1



Parasetamol 500 mg



Tablet



81.400



2



Captopril 25 mg



Tablet



52.200



3



Amlodipin



Tablet



39.600



4



Amoksisilin 500 mg



Tablet



39.600



5



Metformin 500 mg



Tablet



36.200



6



Vitamin C 50 mg



Tablet



32.300



7



Natrium Diklofenak 50 mg



Tablet



31.150



8



Vitamin B Complex



Tablet



29.800



9



Ranitidin



Tablet



29.600



10



Asam Mefenamat 500 mg



Tablet



25.800



Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa obat yang paling banyak diresepkan adalah parasetamol 500 mg. dan apabila dihubungkan dengan penyakit terbanak di urutan pertama adalah common cold yang kemungkinan diobat dengan paracetamol 500 mg. Selain digunakan untuk common cold, paracetamol 500 mg juga bisa menjadi obat untuk penyakit demam tanpa sebab, cephlagia ataupun myalgia dimana penyakit tersebut masuk dalah 10 besar penyakit. Hal ini menyebabkan tingginya penggunaan paracetamol 500 mg. Urutan kedua, captopril 25 mg yang indikasinya adalah obat hipertensi dimana hipertensi masuk dalam 10 penyakit terbanyak dan ada pada urutan ke dua. Urutan ketiga penggunaan obat terbanyak yaitu amlodipine yaitu obat untuk pasien hipertensi juga. Alasan penggunaan captopril 25 mg penggunaannya lebih banyak dari amlodipine karena dosis captopril 25 mg yang diminum 2 kali sehari sedangkan amlodipine diminum 1 kali sehari. Sehingga peresepan untuk 2 minggu terapi yaitu captopril diresepkan 30 tablet dan amlodipine 15 tablet. Urutan keempat penggunaan obat terbanyak yaitu amoksisilin 500 mg yang merupakan antibiotic yang biasa digunakan untuk mengobati infeksi bakteri. Pada 10 besar penyakit , amoksisilin bisa digunakan untuk common cold yang mengalami infeksi atau disturbance in tooth eruption ataupun penyakit lain yg mengalami infeksi. Urutan kelima adalah metformin 500 mg yang merupakan obat diabetes mellitus. Jika dilihat di 10 besar penyakit diabetes mellitus menempati urutan ke 6 dan metformin merupan pilihan pertama obat diabetes mellitus hal ini yang menyebabkan penggunaan metformin 500 mg tinggi. Urutan keenam yaitu vitamin C 50 mg pada penggunaan obat terbanyak. Alasannya karena vitamin C 50 mg juga diresepkan bersama obat yang lain untuk kasus seperti common cold dimana merupakan penyakit paling banyak dialami pasien dan demam tanpa sebab yang terjadi pada dewasa maupun anak-anak. Urutan ketujuh adalah natrium diklofenak 50 mg yang bisa diindikasikan untuk kasus seperti common cold, cephalgia, disturbance in tooth eruption, myalgia dan penyakit lainnya yang tidak masuk pada 10 penyakit terbanyak. Maka dari itu penggunaannya banyak. Urutan ke delapan yaitu vitamin b complex yang biasa digunakan untuk terapi penyerta dalam pengobatan penyakit hipertensi primer, diabetes mellitus, cephalgia, myalgia, dan penyakit lainnya selain 10 besar penyakit. Urutan terbanyak



selanjutnya yaitu ranitidine yang merupakan obat untuk kasus dyspepsia, dimana dyspepsia merupakan kasus pada urutan keempat dalam 10 penyakit terbanyak. Dan urutan terakhir pada 10 penggunaan obat terbanyak adalah asam mefenamat yang fungsinya sama juga denga natrium diklofenak digunakan untuk meredakan nyeri ataupun pegal-pegal.



2.



Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan di Puskesmas



a. Perencanaan dan Permintaan Perencanaan merupakan proses kegiatan seleksi Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai untuk menentukan jenis dan jumlah Sediaan Farmasi dalam rangka pemenuhan kebutuhan Puskesmas(3). Tujuan perencanaan adalah untuk mendapatkan: 1. Perkiraan jenis dan jumlah Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang mendekati kebutuhan; 2. Meningkatkan penggunaan Obat secara rasional; dan 3. Meningkatkan efisiensi penggunaan Obat(3). Berbagai kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan kebutuhan obat adalah (7). 



Tahap Pemilihan Pemilihan obat dan perbekalan kesehatan berfungsi untuk menentukan bahwa obat dengan



perbekalan kesehatan benar-benar diperlukan sesuai dengan jumlah penduduk dan pola penyakit di daerah. Pengadaan obat yang baik diawali dengan dasar-dasar seleksi kebutuhan obat, diantaranya adalah : a) Obat dan perbekalan kesehatan yang dipilih harus memiliki izin edar dari pemerintah Republik Indonesia. b) Obat dipilih berdasarkan seleksi ilmiah, medik, dan statistik yang memberikan efek terapi jauh lebih baik dibandingkan resiko efek samping yang akan ditimbulkan. c) Jenis obat yang dipilih seminimal mungkin menghindari duplikasi dan kesamaan jenis. d) Ada bukti yang spesifik dari obat baru untuk terapi yang lebih efektif. e) Hindari penggunaan obat kombinasi, kecuali jika obat kombinasi mempunyai efek yang lebih baik dibanding obat yang tunggal. f) Apabila jenis obat banyak, obat dipilih berdasarkan obat pilihan (drug of choice) dari penyakit yang prevalensinya tinggi. 1) Tahap Kompilasi Pemakaian Obat



Kompilasi pemakaian obat berfungsi untuk mengetahui pemakaian bulanan masing-masing dari jenis obat di unit pelayanan kesehatan/Puskesmas selama setahun dan sebagai data pembanding bagi stok optimum. Informasi yang didapat dari kompilasi pemakaian obat adalah: a) Jumlah pemakaian tiap jenis obat pada masing-masing unit pelayanan kesehatan/Puskesmas. b) Persentase pemakaian tiap jenis obat terhadap total pemakaian setahun seluruh unit pelayanan kesehatan/Puskesmas. c) Pemakaian rata-rata untuk setiap jenis obat untuk tingkat Kabupaten/Kota. 



Tahap Perhitungan Kebutuhan Obat Perhitungan kebutuhan obat yang membutuhkan perhatian khusus oleh tenaga farmasi



yang bekerja di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota maupun unit Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD). Masalah kekosongan obat atau kelebihan obat dapat terjadi jika dasar perhitungan kebutuhan obat hanya berdasarkan informasi yang teoritis. Koordinasi dan proses perencanaan dibutuhkan untuk pengadaan obat secara terpadu serta melalui tahapan seperti diatas, maka diharapkan obat yang direncanakan dapat tepat jenis, tepat jumlah, dan tepat waktu serta tersedia pada saat yang dibutuhkan. Metode yang dilakukan untuk merencanakan kebutuhan dapat obat diantaranya adalah sebagai berikut : a.



Metode Konsumsi Metode ini didasarkan pada data konsumsi obat tahun sebelumnya. Perhitungan jumlah obat yang dibutuhkan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal di bawah ini : 1. Pengumpulan dan pengolahan data. 2. Analisa data untuk informasi dan evaluasi. 3. Perhitungan perkiraan kebutuhan obat. 4. Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana. b. Metode Morbiditas Metode morbiditas adalah perhitungan kebutuhan obat berdasarkan pola penyakit, perkiraan kenaikan kunjungan, dan waktu tunggu (lead time). Proses yang dilakukan pada metode morbiditas adalah sebagai berikut : 1) Menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani.



2) Menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan frekuensi penyakit. 3) Menyediakan standar/pedoman pengobatan yang digunakan. 4) Menghitung perkiraan kebutuhan obat. 5) Penyesuaian dengan alokasi dana yang tersedia. Perencanaan kebutuhan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai di Puskesmas Sedayu 2 ada dua yaitu perencanaan bulanan dan tahunan. Untuk perencanaan bulanan puskesmas Sedayu 2 dilakukan setiap 2 bulan sekali yang dilakukan oleh apoteker di Puskesmas. Untuk perencanaan tahunan di Puskesmas Sedayu 2 dilakukan di awal tahun berdasarkan penggunaan obat pada tahun sebelumnya. Pertimbangan dalam melakukan perencanaan di Puskesmas Sedayu 2 yaitu berdasarkan pola penyakit dan pola konsumsi. Proses seleksi Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai juga harus mengacu pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) dan Formularium Nasional. Proses seleksi ini harus melibatkan tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas seperti dokter, dokter gigi, bidan, dan perawat, serta pengelola program yang berkaitan dengan pengobatan(3). Perencanaan kebutuhan tahunan sediaan Farmasi di Puskesmas Sedayu 2 dilakukan bersama dengan pembuatan Rencana Kebutuhan Obat (RKO) yang selanjutnya dikirim ke DINKES Kabupaten/Kota. Perencanaan tahunan dilakukan berdasarkan pola konsumsi dengan memperhitungkan Buffer stock dengan rumus yaitu 18 bulan dikalikan dengan rata-rata penggunaan sediaan farmasi per bulan. Perencanaan sediaan farmasi bulanan untuk periode berikutnya, apoteker diminta untuk membuat Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) yang selanjutnya dikirim ke DINKES Kabupaten/Kota. Puskesmas diminta menyediakan data pemakaian obat dengan menggunakan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) yang selanjutnya diberikan ke Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota untuk kemudian dilakukan analisa terhadap kebutuhan Sediaan Farmasi Puskesmas di wilayah kerjanya. Kebutuhan sediaan Farmasi juga disesuaikan dengan anggaran yang tersedia, memperhitungkan waktu kekosongan Obat, buffer stock, serta menghindari stok berlebih. (3). Permintaan obat untuk mendukung pelayanan obat di masing-masing Puskesmas diajukan oleh Kepala Puskesmas kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan format LPLPO, sedangkan permintaan dari sub unit ke kepala Puskesmas dilakukan secara periodik menggunakan LPLPO sub unit. Berdasarkan pertimbangan efisiensi dan ketepatan waktu penyerahan obat kepada Puskesmas, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat menyusun



petunjuk lebih lanjut mengenai alur permintaan dan penyerahan obat secara langsung dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota ke Puskesmas (8). Tujuan permintaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai adalah memenuhi kebutuhan Sediaan Farmasi dan BahanMedis Habis Pakai di Puskesmas, sesuai dengan perencanaankebutuhan yang telah dibuat. Permintaan diajukan kepada DinasKesehatan Kabupaten/Kota, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah daerah setempat(3). Permintaan obat yang dilakukan di Puskesmas Sedayu II berdasarkan dari FORNAS (Formularium Nasional), namun ada beberapa obat yang tidak terdapat didalam FORNAS seperti Valved dan GG, hal ini terjadi karena permintaan dokter yang sangat tinggi serta banyaknya pasien yang mengalami batuk dan flu. Valved mengandung pseudoefedrin Hcl dan tripolidine Hcl yang berkhasiat menghilangkan gejala-gejala gangguan saluran nafas atas seperti rinitis vasomotor alergika, selesma/pilek, dan flu dan GG yang berkhasiat sebagai ekspektoran dengan cara meningkatkan volume dan mengurangi viskositas sekresi dalam trakea dan bronkus. Dengan demikian, dapat meningkatkan efisiensi refleks batuk dan memperlancar pembuangan sekresi(24). Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam permintaan obat adalah : a. Menentukan jenis permintaan obat, 1) Permintaan Rutin : Dilakukan sesuai dengan jadwal yang disusun oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk masing-masing Puskesmas. Jadwal rutin permintaan obat di Puskesmas Sedayu 2 adalah setiap 2 bulan sekali menggunakan LPLPO. Setiap melakukan permintaan harus mempertimbangkan waktu tunggu sampai obat datang ke Puskesmas sehingga mencegah terjadinya kekosongan obat. 2) Permintaan Khusus : Dilakukan di luar jadwal distribusi rutin apabila : ¾ kebutuhan meningkat; ¾ terjadi kekosongan ; ¾ ada kejadian luar biasa (KLB/Bencana). b. Menentukan jumlah permintaan obat Data yang diperlukan antara lain : 1) Data pemakaian obat periode sebelumnya. 2) Jumlah kunjungan resep. 3) Jadwal distribusi obat dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota. 4) Sisa stok. c. Menghitung kebutuhan obat dengan cara :



Jumlah untuk periode yang akan datang diperkirakan sama dengan pemakaian pada periode sebelumnya. SO = SK + SWK + SWT + SP Sedangkan untuk menghitung permintaan obat dapat dilakukan dengan rumus : Permintaan = SO – SS Keterangan : SO



= Stok optimum



SK



= Stok Kerja (Stok pada periode berjalan)



SWK



= Jumlah yang dibutuhkan pada waktu kekosongan obat



SWT



= Jumlah yang dibutuhkan pada waktu tunggu (lead time)



SP = Stok penyangga SS = Sisa stok



Stok kerja



Pemakaian rata–rata per periode distribusi.



Waktu



Lamanya kekosongan obat dihitung dalam



kekosongan



hari.



Waktu tunggu



Waktu



tunggu,



dihitung



mulai



dari



permintaan obat oleh Puskesmas sampai dengan penerimaan obat di Puskesmas. Stok penyangga



Adalah



persediaan



mengantisipasi kunjungan,



obat



untuk



terjadinya



peningkatan



keterlambatan



kedatangan



obat. Besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan



antara



Puskesmas



dan



Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota. Sisa stok



Adalah sisa obat yang masih tersedia di Puskesmas pada akhir periode distribusi.



Stok optimum



Adalah stok ideal yang harus tersedia dalam waktu periode tertentu(8).



b. Penerimaan, Penyimpanan, Distribusi



Penerimaan Penerimaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai adalah suatu kegiatan dalam menerima Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota atau hasil pengadaan Puskesmas secara mandiri sesuai dengan permintaan yang telah diajukan. Tujuannya adalah agar Sediaan Farmasi yang diterima sesuai dengan kebutuhan berdasarkan permintaan yang diajukan oleh Puskesmas, dan memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu. Tenaga Kefarmasian wajib melakukan pengecekan terhadap Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang diserahkan, mencakup jumlah kemasan/peti, jenis dan jumlah Sediaan Farmasi, bentuk Sediaan Farmasi sesuai dengan isi dokumen LPLPO, ditandatangani oleh Tenaga Kefarmasian, dan diketahui oleh Kepala Puskesmas. Bila tidak memenuhi syarat, maka Tenaga Kefarmasian dapat mengajukan keberatan. Masa kedaluwarsa minimal dari Sediaan Farmasi yang diterima disesuaikan dengan periode pengelolaan di Puskesmas ditambah satu bulan(3). Penyimpanan Penyimpanan adalah suatu kegiatan pengamanan terhadap obat-obatan yang diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap terjamin. Tujuan dari penyimpanan adalah agar obat yang tersedia di unit pelayanan kesehatan terjamin mutu dan keamanannya(2). Tujuan penyimpanan adalah agar mutu Sediaan Farmasi yang tersedia di puskesmas dapat dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Penyimpanan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1. bentuk dan jenis sediaan; 2. kondisi yang dipersyaratkan dalam penandaan di kemasan Sediaan Farmasi, seperti suhu penyimpanan, cahaya, dan kelembaban; 3. mudah atau tidaknya meledak/terbakar; 4. narkotika dan psikotropika disimpan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan 5. tempat penyimpanan Sediaan Farmasi tidak dipergunakan untuk penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi. Kegiatan penyimpanan obat meliputi (9): 1) Pengaturan tata ruang



Pengaturan tata ruang dilakukan untuk memudahkan dalam penyimpanan, penyusunan, pencarian dan pengawasan obat-obatan. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam merancang gudang adalah sebagai berikut: a) Kemudahan bergerak. Untuk kemudahan bergerak, maka gudang perlu ditata sebagai berikut : - Gudang menggunakan sistem satu lantai jangan menggunakan sekat. - Berdasarkan arah arus penerimaan, dan pengeluaran obat, ruang gudang dapat ditata berdasarkan sistem Arus garis lurus, Arus U, atau Arus L. b) Sirkulasi udara yang baik. Sirkulasi yang baik akan memaksimalkan umur hidup dari obat sekaligus bermanfaat dalam memperpanjang dan memperbaiki kondisi kerja. c) Rak dan pallet. Penempatan rak yang tepat dan penggunaan pallet akan dapat meningkatkan sirkulasi udara dan perputaran stok obat. Penggunaan pallet memberikan keuntungan, antara lain: Sirkulasi udara dari bawah dan perlindungan terhadap banjir, Peningkatan efisiensi penanganan stok, Dapat menampung obat lebih banyak, dan penggunaan pallet lebih murah dari pada rak. Kondisi penyimpanan khusus untuk jenis obat dan bahan tertentu: - Vaksin memerlukan “Cold Chain” khusus dan harus dilindungi dari kemungkinan putusnya aliran listrik. - Narkotika dan bahan berbahaya harus disimpan dalam lemari khusus dan selalu terkunci, menggunakan kunci ganda. - Bahan-bahan mudah terbakar seperti alkohol dan eter harus disimpan dalam ruangan khusus. d) Pencegahan kebakaran. Alat pemadam kebakaran harus dipasang pada tempat yang mudah dijangkau dan dalam jumlah yang cukup. Tabung pemadam kebakaran agar diperiksa secara berkala, untuk memastikan masih berfungsi dengan baik atau tidak. 2) Untuk penyimpanan narkotika meliputi (10) : a) Tempat penyimpanan narkotika harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat. b) Harus mempunyai kunci yang kuat.



c) Lemari memiliki dua bagian dengan . kunci yang berbeda. d) Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40 x 80x 100 cm, rnaka lemari tersebut harus dibuat pada tembok atau lantai. e) Lemari penyimpanan tidak boleh menyimpan bahan lain kecuali ditentukan oleh mentri f) Anak kunci lemari khusus dikuasai oleh pegawai penanggung jawab atau pegawai lain yang dikuasakan. g) Lemari khusus harus di simpan di tempat khusus dan tidak terlihat oleh umum. 3) Penyusunan stok obat Obat disusun dan disimpan berdasarkan beberapa kategori, seperti kategori farmakoterapi, alphabet, bentuk sediaan, sistem acak (menggunakan kode yang berbeda seperti B-B1,B2), kode komoditas (penyimpanan secara acak menggunakan sistem kode abstrak sesuai kebijakan Puskesmas tersebut) (9). Obat disusun menurut bentuk sediaan dan alfabetis, dengan prinsip First Expired First Out (FEFO ), dan First In First Out (FIFO ) dalam penyusunan obat yaitu obat yang masa kadaluwarsanya lebih awal atau yang diterima lebih awal harus digunakan lebih awal sebab umumnya obat yang datang lebih awal biasanya juga diproduksi lebih awal dan umurnya relatif lebih tua dan masa kadaluwarsanya mungkin lebih awal (9). Untuk mencegah terjadinya terjadinya kesalahan akibat obat tergolong LASA dapat menggunakan beberapa cara: system penulisan nama obat dengan cara Tallman lettering dengan menggunakan huruf besar yang berbeda sebagai penekanan dapat diterapkan pada kemasan, wadah obat, ataupun etiket, kedua dengan pemisahan lokasi obat-obatan dengan nama dan pelafalan yang mirip pada rak terpisah, ketiga menggunakan system pengkodean dalam pemesanan, penerimaan, restock, dispensing, dan administrasi obat, keempat dengan memberi stiker LASA pada tempat penyimpanan namun jikas 1 obat memliki 3 kekuatan sediaan maka untuk obat yang kekuatan sediaan besar diberi stiker berwarna biru untuk kekuatan sediaan sedang diberi stiker LASA warna kuning dan kekuatan sediaan kecil diberi stiker LASA berwarna hijau, kelima melakukan pengecekan ulang obat LASA sebelum diberikan ke pasien, keenam menghindari pemesanan



melalui verbal atau telepon, ketujuh menghimbau pada dokter untuk menuliskan resep dengan tulisan yang jelas terbaca, menghindari singkatan(11) 4) Pencatatan stok obat Mutasi obat (penerimaan, pengeluaran, hilang, rusak atau kadaluwarsa) sebaiknya segera dicatat pada kartu stok obat. Fungsi kartu stok yaitu (12) : a) Kartu stok induk digunakan untuk mencatat mutasi obat b) Tiap lembar kartu stok induk hanya diperuntukkan mencatat data mutasi satu jenis obat yang berasal dari semua sumber anggaran c) Tiap baris data hanya diper untukan mencatat satu kejadian mutasi obat d) Data pada kartu stok induk digunakan sebagai alat kendali bagi Kepala Instalasi Farmasi Kabupaten atau Kota terhadap keadaan fisik obat dalam tempat penyimpanan, dan alat bantu untuk penyusunan laporan, perencanaan pengadaan dan distribusi serta pengendalian persediaan 5) Pengamatan mutu obat Mutu obat yang disimpan di gudang dapat mengalami perubahan baik karena faktor fisik maupun kimiawi. Perubahan mutu obat dapat diamati secara visual dan jika dari pengamatan visual diduga ada kerusakan yang tidak dapat ditetapkan dengan cara organoleptik, harus dilakukan sampling untuk pengujian laboratorium(9). Di Puskesmas Sedayu II obat dan alat kesehatan yang telah diterima disimpan di gudang obat Puskesmas, jenis dan jumlah obat kembali disesuaikan dengan jumlah yang tertulis dalam LPLPO. Jumlah obat datang di Puskesmas dituliskan pada kartu stok masing-masing obat sebagai stok masuk dengan keterangan asal barang dari UPT farmasi dan alat kesehatan. Pencatatan kartu stok dilakukan setelah obat diterima ataupun obat dikeluarkan. Pencatatan kartu stok meliputi tanggal, nomor, dari/kepada, jumlah obat masuk, jumlah obat keluar, jumlah obat yang tersisa, tanggal kadaluarsa, keterangan dan paraf petugas.Setelah menulis kartu stok obatobat dan alat kesehatan disimpan dalam lemari obat dengan sistem alfabetis, FEFO dan FIFO (obat yang datang lebih awal dan cepat kadaluarsa diletakan pada posisi mudah terjangkau untuk dikeluarkan terlebih dahulu). Penyimpanan obat-obat sirup, vitamin dan salep dipisahkan dari obat-obat tablet. Penyimpanan obat psikotropika di Puskesmas Sedayu II belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku, karena tempat



penyimpanan obat-obat psikotropika di Puskesmas Sedayu II masih dalam bentuk lemari coklat yang terbuat dari kayu yang tidak memiliki kunci ganda dan tidak di simpan di tempat khusus dan terlihat oleh umum. Distribusi Pendistribusian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai



merupakan



kegiatan pengeluaran dan penyerahan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub unit/satelit farmasi Puskesmas dan jaringannya. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan Sediaan Farmasi sub unit pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas dengan jenis, mutu, jumlah dan waktu yang tepat. Sub-sub unit di Puskesmas Sedayu 2 dan jaringannya antara lain: 1. Sub unit pelayanan kesehatan di dalam lingkungan Puskesmas; 2. Puskesmas Pembantu; 3. Puskesmas Keliling; Pendistribusian ke sub unit di Puskesmas Sedayu 2 (UGD, Poli Gigi, KIA, Laboratorium, dan lain-lain) dilakukan dengan cara pemberian Obat sesuai resep yang diterima (floor stock), pemberian Obat per sekali minum (dispensing dosis unit) atau kombinasi, sedangkan pendistribusian ke jaringan Puskesmas dilakukan dengan cara penyerahan Obat sesuai dengan kebutuhan (floor stock). Tujuan tahap distribusi ini adalah untuk memenuhi kebutuhan obat sub unit pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas dengan jenis, jumlah dan waktu yang tepat serta mutu terjamin. Kegiatan yang dilakukan pada tahap distribusi adalah sebagai berikut (13): 1) Menentukan frekuensi distribusi yang perlu dipertimbangkan yaitu meliputi jarak sub unit pelayanan, dan biaya distribusi yang tersedia. 2) Menentukan jumlah dan jenis obat yang diberikan yaitu pemakaian rata-rata per periode untuk setiap jenis obat, sisa stok, pola penyakit, dan jumlah kunjungan di masing-masing sub unit pelayanan kesehatan. 3) Melaksanakan penyerahan obat dan menerima sisa obat dari sub-sub unit. a) Penyerahan obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (7):



- Puskesmas menyerahkan atau mengirimkan obat dan diterima di sub unit pelayanan. - Obat diambil sendiri oleh sub-sub unit pelayanan. Obat diserahkan bersamasama dengan formulir LPLPO sub unit yang ditandatangani oleh penanggung jawab sub unit pelayanan Puskesmasdan Kepala Puskesmas sebagai penanggung jawab pemberi obat dan lembar pertama disimpan sebagai tanda bukti penerimaan obat. b) Tata cara distribusi obat meliputi : - Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota melaksanakan distribusi obat ke Puskesmas di wilayah kerjanya sesuai dengan kebutuhan masing-masing unit pelayanan kesehatan. - Puskesmas induk mendistribusikan kebutuhan obat-obatan untuk Puskesmas pembantu, Puskesmas keliling dan unit pelayanan kesehatan lainnya yang ada di wilayah binaan sekitar. - Distribusi obat-obatan dapat dilaksanakan secara langsung dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota ke Puskesmas Pembantu sesuai dengan situasi dan kondisi wilayah atas persetujuan Kepala Puskesmas yang membawahinya. - Tata cara distribusi obat ke UPK dapat dilakukan dengan cara dikirim oleh Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota atau diambil oleh Unit Pelayan Kesehatan (UPK). - Obat yang akan dikirim ke Puskesmas harus disertai dengan LPLPO. Sebelum dilakukan pengepakan atas obat-obatan yang akan dikirim, maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap jenis dan jumlah obat, kualitas/kondisi obat, isi kemasan dan kekuatan sediaan, kelengkapan dan kebenaran dokumen pengiriman obat, nomor batch, tanggal kadaluwarsa dan nama pabrik. -



Setiap pengeluaran obat dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota harus segera dicatat pada kartu stok obat dan kartu stok induk obat serta buku harian pengeluaran obat.



c. Pengendalian, Pencatatan, Pelaporan Pengendalian



Pengendalian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai adalah suatu kegiatan untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/kekosongan Obat di unit pelayanan kesehatan dasar. Tujuannya adalah agar tidak terjadi kelebihan dan kekosongan Obat di unit pelayanan kesehatan dasar. Pengendalian Sediaan Farmasi terdiri dari: 



Pengendalian persediaan;







Pengendalian penggunaan; dan







Penanganan Sediaan Farmasi hilang, rusak, dan kadaluwarsa(3).



Pengendalian obat di Puskesmas Sedayu II terdiri dari : a.



Pengendalian persediaan



b.



Pengendaliaan penggunaan, dan



c.



Penanganan obat hilang, rusak dan kadaluarsa. Untuk obat yang kadaluarsa dan



rusak di Puskesmas Sedayu II akan disisihkan kemudian akan dikembalikan ke dinas kesehatan untuk dilakukan pemusnahan. Pencatatan dan Pelaporan Pencatatan dan pelaporan data di Puskesmas merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka penatalaksanaan obat-obatan secara tertib, baik obat-obatan yang diterima, disimpan, didistribusikan dan digunakan di Puskesmas dan atau unit pelayanan lainnya. Puskesmas bertanggung jawab atas terlaksananya pencatatan dan pelaporan obat yang tertib dan lengkap serta tepat waktu untuk mendukung pelaksanaan seluruh pengelolaan obat (13). Tujuan pencatatan dan pelaporan adalah: 



Bukti bahwa pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai telah dilakukan;







Sumber data untuk melakukan pengaturan dan pengendalian; dan







Sumber data untuk pembuatan laporan. Sarana yang digunakan untuk pencatatan dan pelaporan obat di Puskesmas adalah



Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) dan kartu stok. Adapun halhal yang harus diperhatikan terkait LPLPO sebagai berikut (7):



a. LPLPO yang dibuat oleh petugas Puskesmas harus tepat data, tepat isi dan dikirim tepat waktu serta disimpan dan diarsipkan dengan baik. b. LPLPO juga dimanfaatkan untuk analisis penggunaan, perencanaan kebutuhan obat, pengendalian persediaan dan pembuatan laporan pengelolaan obat. Sarana pencatatan dapat dilakukan dengan (7) : 1) Gudang menggunakankartu stok obat dan LPLPO 2) Ruang obat melakukan catatan penggunaan obat LPLPO subunit 3) Ruang suntik terdapat LPLPO sub unit dan catatan penggunaan obat suntik 4) Puskesmas keliling melakukan pembuatan laporan pemakaian obat dan sisa stok 5) Posyandu terdapat laporan penggunaan obat dan sisa stok. Penyelenggaraan pencatatan penggunaan obat dan alat kesehatan di Puskesmas yaitu (7): a. Gudang Puskesmas 1) Setiap obat yang diterima dan dikeluarkan dari gudang dicatat di dalam buku penerimaan dan kartu stok. 2) Laporan penggunaan dan lembar permintaan obat dibuat berdasarkan kartu stok obat dan catatan harian penggunaan obat. 3) Data yang ada pada LPLPO merupakan laporan Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. b. Ruang obat 1) Setiap hari jumlah obat yang dikeluarkan kepada pasien dicatat pada buku catatan pemakaian obat harian. 2) Laporan pemakaian dan permintaan obat ke gudang obat dibuat berdasarkan catatan pemakaian harian dan sisa stok. c. Ruang suntik Obat yang akan digunakan dimintakan ke gudang obat. Pemakaian obat dicatat pada buku penggunaan obat suntik dan menjadi sumber data untuk permintaan obat. d. Di Puskesmas keliling, Puskesmas pembantu dan Poskesdes Pencatatan diselenggarakan seperti pada ruang obat. e. Klinik rumah tahanan Pencatatan menggunakan LPLPO sub unit



Alur pelaporan yang dilakukan di Puskesmas diperolerh dari data LPLPO yang merupakan kompilasi dari data LPLPO sub unit. LPLPO dibuat tiga rangkap, diberikan ke Dinkes Kabupaten/Kota melalui Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota, untuk diisi jumlah yang diserahkan. Setelah ditanda tangani oleh kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota, satu rangkap untuk Kepala Dinas Kesehatan, satu rangkap untuk Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota dan satu rangkap dikembalikan ke Puskesmas. Periode pelaporan LPLPO sudah harus diterima oleh Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota paling lambat tanggal 10 setiap bulannya (14). d. Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan Obat Supervisi atau monitoring adalah proses pengamatan secara terencana oleh petugas pengelola obat dari unit yang lebih tinggi (Instalasi Farmasi Provinsi/Kabupaten/Kota) terhadap pelaksanaan pengelolaan obat oleh petugas ke unit yang lebih rendah (Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota/Puskesmas/Puskesmas Pembantu/UPT lainnya). Evaluasi adalah serangkaian prosedur untuk menilai suatu program dan memperoleh informasi tentang keberhasilan pencapaian tujuan, kegiatan, hasil dan dapak serta biayanya. Fokus utama dari evaluasi adalah mencapai perkiraan yang sistematis dari dampak program(15). Tujuan dari monitoring dan evaluasi penggunaan obat adalah: 



mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai sehingga dapat menjaga kualitas maupun pemerataan pelayanan;







memperbaiki secara terus-menerus pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai; dan







memberikan penilaian terhadap capaian kinerja pengelolaan.



a. Indikator pengelolaan obat(3) Indikator adalah alat ukur yang dapat membandingkan kinerja yang sesungguhnya. Indikator dapat digunakan untuk mengukur sampai sejauhmana tujuan dan sasaran telah dicapai. Beberapa batasan tentang indikator pengelolaan obat, yakni(11) 1) Indikator merupakan jenis data berdasar sifat/gejala/keadaan yang dapat diukur dan diolah secara mudah dan cepat dengan tidak memerlukan data lain dalam pengukurannya,



2) Indikator merupakan ukuran untuk mengukur perubahan. Beberapa kriteria umum indikator dapat disingkat dengan istilah SMART yang meliputi (15): 1. Sustainable (berkesinambungan). Dapat dipergunakan secara berkesinambungan. 2. Measurable (keterukuran). Dapat diukur meskipun waktu yang tersedia singkat, kualitas yang berubah-ubah dan keterbatasan dana. 3. Accesibility (kemudahan). Mudah diakses atau didapat. 4. Realibility (kehandalan). Kehandalan setiap indikator harus dapat dipercaya. 5. Timely (waktu). Dapat digunakan untuk waktu yang berbeda. Indikator pengelolaan obatdi Puskesmas sendiri meliputi (11): a. Kesesuaian item obat dengan DOEN. b. Kesesuaian ketersediaan obat dengan pola penyakit. c. Tingkat ketersediaan obat. d. Ketepatan permintaan obat. e. Prosentase dan nilai obat rusak/kadaluarsa. f. Ketepatan distribusi obat. g. Prosentase rata-rata bobot dari variasi persediaan. h. Prosentase rata-rata waktu kekosongan obat. i. Prosentase obat yang tidak diresepkan. j. Prosentase penulisan resep obat generic Pelaporan penggunaan obat Rasional di Puskesmas Sedayu II dilakukan untuk memulai penggunaan obat secara rasional, biasanya pada beberapa kasus yang ada di Puskesmas Sedayu II yaitu, penggunaan antibiotik untuk penanganan common cold, antibiotik pada penanganan diare non spesifik dan injeksi pada penanganan myalgia. Pencatatan laporan Penggunaan Obat Rasional (POR) dilakukan setiap bulan.



Hasil monitoring POR di Puskesmas Sedayu II sudah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan yaitu kurang dari 10 %. b. Pelayanan Farmasi Klinis Di Puskesmas Puskesmas Sendayu 2 memusatkan pelayanan obat di ruang farmasi. Jumlah kebutuhan Apoteker di Puskesmas dihitung berdasarkan rasio kunjungan rawat jalan maupun rawat inap serta mempertimbangkan pembangunan puskesmas itu sendiri. Rasio untuk menentukan jumlah apoteker adalah 1 apoteker untuk untuk 50 pasien per hari(1). Apotek melayani permintaan perbekalan farmasi, baik itu dari pasien yang menggunakan BPJS, Jamkesmas, askes maupun tanpa menggunakan jaminan apapun.



Pelayanan



kefarmasian di Puskesmas Sendayu 2 dimulai dari pukul 07.30-14.30 pada hari senin sampai kamis, 07.30-11.30 pada hari jumat dan 07.30-13.00 pada hari sabtu. a. Pelayanan Farmasi Rawat Jalan dan Rawat Inap Pelayanan kefarmasian rawat jalan di Puskesmas Sendayu 2 dilakukan oleh 1 Apoteker beserta dengan 2 Staff. Pelayanan dilakukan sejak jam operasi puskesmas dimulai. Sebelum melakukan pelayanan, dipastikan bahwa semua alat untuk meracik sudah bersih, serta mengecek obat-obatan di ruang farmasi tersedia.Apabila obat di ruang farmasi kosong, dapat diambil stok obat yang ada di gudang. Saat semuanya sudah siap, pelayanan kefarmasian dapat dilakukan. Pelayanan kefarmasian di puskesmas meliputi beberapa hal mulai dari pengkajian resep, penyerahan obat, pemberian Informasi Obat (PIO), Konseling, Pemantauan Efek Samping Obat (ESO), Pemantauan Terapi Obat (PTO), dan Evaluasi Penggunaan Obat(2). Pada pasien rawat inap dilakukan kegiatan kunjungan ke pasien (visite) yang dilakukan secara mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya terdiri dari dokter, apoteker, perawat dan ahli gizi. Tujuan dilakukannya visite oleh Apoteker adalah untuk memeriksa obat pasien, memberikan rekomendasi kepada dokter dalam pemilihan obat dengan mempertimbangkan diagnosis dan kondisi pasien (klinis dan ekonomi), memantau perkembangan klinis pasien yang terkait dengan penggunaan obat, serta ikut berperan aktif dalam pengambilan keputusan tim profesi kesehatan dalam terapi pasien. Hal-hal yang perlu diperhatikan saat visite: 1. Memahami cara berkomunikasi yang efektif



2. Memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan pasien dan tim 3. Memahami teknik edukasi 4. Mencatat perkembangan pasien Pasien rawat inap yang telah pulang ke rumah ada kemungkinan terputusnya kelanjutan terapi dan kurangnya kepatuhan penggunaan obat. Peran pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) sangat dibutuhkan agar terwujud komitmen, keterlibatan, dan kemandirian pasien dalam penggunaan obat sehingga keberhasilan terapi obat dapat tercapai maksimal(2). Puskesmas Sedayu 2 merupakan puskesmas induk yang hanya memiliki rawat jalan saja dengan 2 puskesmas pembantu yaitu Selogedong dan Bakal. Pelayanan kefarmasian rawat jalan puskesmas Sendayu 2 antara lain, pengkajian resep, penyerahan obat, konseling, dan evaluasi penggunaan obat. b. Pengkajian dan Pelayanan Resep Pasien yang baru berobat dan mendapatkan resep biasanya akan mengantarkan resep ke apotek dan meletakannya di boks resep. Resep yang diterima dari pasien diskrining oleh petugas mulai dari kelengkapan administratif, kelengkapan farmasetis maupun kelengkapan persyaratan klinis. Kelengkapan administratif mencakup nama dokter, nama pasien, alamat pasien, umur pasien, berat badan pasien, tanggal resep serta unit asal resep. Sedangkan kesesuaian farmasetis meliputi seperti bentuk dan kekuatan sediaan, dosis, aturan pakai serta jumlah obat. Kelengkapan resep terakhir yang harus di skrining adalah persyaratan klinis yang bertujuan untuk memastikan bahwa obat yang diresepkan oleh dokter tepat untuk pasien, baik dari kesesuaian obat dengan diagnosa pasien, dosis, rute, ada atau tidaknya interaksi obat yang signifikan bermakna klinis, maupun kontraindikasi pada pasien. Setelah Dilakukan Skrining resep, maka dilakukan kegiatan penyerahan (Dispensing) meliputi menyiapkan/ meracik obat, memberikan etiket obat, dan menyerahkan obat oleh apoteker kepada pasien disertai pemberian informasi obat dan konseling obat kepada pasien mengenai cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pemakaian obat, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi(2). Setelah obat diserahkan kepada pasien, apoteker harus



melakukan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien kronis seperti pasien kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya(3). Kegiatan pelayanan resep di puskesmas di Sendayu 2 dimulai dengan penerimaan resep



lalu dilakukan pengkajian administrasi resep. Resep dokter yang ada di



puskesmas sendayu 2 dari segi administratif meliputi nama dokter, usia pasien, dan paraf dokter. Resep dokter tidak mencantumkan informasi berat badan pasien sehingga ketika kita hendak menentukan dosis untuk anak, maka perlu ditanyakan terlebih dahulu ke pasien bersangkutan terkait berat badan pasien. Pengkajian selanjutnya adalah pengkajian farmasetis. Pengkajian farmasetis pada resep telah sesuai yaitu mencantumkan bentuk sediaan obat, jumlah obat,kekuatan sediaan obat, dan aturan pakai. Lalu untuk pengkajian terakhir yaitu pengkajian klinis. Pengkajian klinis pada resep, dokter selalu mencantumkan informasi apabila pasien memiliki alergi obat. Pengkajian klinis lainnya sudah sesuai. Pengkajian resep di Puskesmas Sendayu 2 tidak memakai checklist khusus dikarenakan terbatasnya jumlah dokter di Puskesmas Sendayu 2 sehingga apabila ada ketidaksesuaian informasi bisa langsung ditanyakan dengan dokter bersangkutan. Kegiatan selanjutnya setelah dilakukan pengkajian resep adalah dispensing, yaitu meliputi : 1. Pengambilan obat dari rak penyimpanan obat kemudian dicek nama obat, kekuatan sediaan, keadaan fisik obat, dan tanggal kadaluarsa obat. 2. Penyiapan obat di Puskesmas Sendayu 2 terdiri dari 2 macam yaitu obat racikan (Salep dan Puyer) dan obat non racikan. 3. Pemberian etiket Puskesmas Sendayu 2 sudah sesuai yaitu etiket putih untuk obat minum dan etiket biru untuk obat luar. Hanya saja untuk penulisan etiket di Puskesmas Sendayu 2 tidak mencantumkan nama obat dan kekuatan sediaan obat dikarenakan langsung ditempel pada kemasan obat. 4. Obat dimasukkan dalam plastik klip berbeda dengan etiket yang diklip pada masing-masing obat. Hal ini untuk menghindari penggunaan obat yang salah dan menjaga mutu obat. 5. Pengecekan kembali meliputi penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan, jenis dan jumlah obat.



6. Memastikan bahwasannya yang menerima obat adalah pasien itu sendiri atau diwakilkan oleh keluarga pasien. 7. Penyerahan obat kepada pasien dilakukan dengan cara sopan, menggunakan bahasa yang dapat dimengerti orang awam, suara terdengar jelas, baik, terperinci agar informasi yang disampaikan dapat dipahami oleh pasien. 8. Memberikan informasi obat meliputi nama obat, manfaat obat, jumlah obat, bentuk sediaan obat, terapi non-farmakologi, kemungkinan efek samping, dan cara penyimpanan obat. c. Pelayanan Informasi Obat (PIO) Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien. Tujuan dilakukannya pelayanan informasi obat yaitu(2): 1) Menyediakan informasi mengenai obat kepada tenaga kesehatan lain di lingkungan Puskesmas, pasien dan masyarakat. 2) Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan obat. Informasi obat yang diperlukan pasien adalah: 1) Waktu penggunaan obat, seorang apoteker sebaiknya membuat jadwal minum obat pasien misalnya pada jam berapa obat digunakan, berapa kali digunakan dalam sehari dan diminum sebelum, sesudah atau saat makan atau diiringi dengan makanan. 2) Lama penggunaan, jumlah dan lama pemakaian antibiotika harus sesuai dengan standar penggunaan, untuk mencegah dan mengurangi resistensi. 3) Cara penggunaan obat yang benar, misalnya untuk obat-obatan yang membutuhkan cara pengunaan khusus seperti insulin, suppositoria, MDI, dll. (4) . 4) Efek yang akan ditimbulkan dari penggunaan obat, misalnya untuk obat yang dapat menyebabkan rasa kantuk, rasa pahit ditenggorokan atau rasa kering dibagian mulut, seorang apoteker harus memberikan informasi dan solusi terhadap hal tersebut. 5) Interaksi obat dengan obat lain atau makanan tertentu



6) Kontraindikasi obat tertentu dengan kondisi yang telah diderita pasien seperti kehamilan, menyusui, gangguan fungsi hati dan ginjal(16,11). 7) Cara penyimpanan obat, obat biasanya disimpan di dalam kotak obat atau almari yang terlindung dari cahaya matahari langsung, kecuali untuk obat dengan penggunaan khusus misalnya suppositoria, insulin dan lainnya. Kegiatan PIO yang dapat dilakukan berupa: 1) Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara pro aktif dan pasif. 2) Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon, surat atau tatap muka. 3) Membuat buletin, leaflet, poster, majalah dinding, video dan banner. 4) Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap, serta masyarakat. 5) Melakukan pendidikan atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan lainnya terkait dengan obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP). 6) Mengkoordinasikan penelitian terkait obat dan kegiatan Pelayanan Kefarmasian(2). Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien. Tujuan dilakukannya pelayanan informasi obat yaitu(2): 1) Menyediakan informasi mengenai obat kepada tenaga kesehatan lain di lingkungan Puskesmas, pasien dan masyarakat. 2) Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan obat. Informasi obat yang diperlukan pasien adalah: 1) Waktu penggunaan obat, seorang apoteker sebaiknya membuat jadwal minum obat pasien misalnya pada jam berapa obat digunakan, berapa kali digunakan dalam sehari dan diminum sebelum, sesudah atau saat makan atau diiringi dengan makanan. 2) Lama penggunaan, jumlah dan lama pemakaian antibiotika harus sesuai dengan standar penggunaan, untuk mencegah dan mengurangi resistensi. 3) Cara penggunaan obat yang benar, misalnya untuk obat-obatan yang membutuhkan cara pengunaan khusus seperti insulin, suppositoria, MDI, dll. (4) .



4) Efek yang akan ditimbulkan dari penggunaan obat, misalnya untuk obat yang dapat menyebabkan rasa kantuk, rasa pahit ditenggorokan atau rasa kering dibagian mulut, seorang apoteker harus memberikan informasi dan solusi terhadap hal tersebut. 5) Interaksi obat dengan obat lain atau makanan tertentu 6) Kontraindikasi obat tertentu dengan kondisi yang telah diderita pasien seperti kehamilan, menyusui, gangguan fungsi hati dan ginjal(2,5). 7) Cara penyimpanan obat, obat biasanya disimpan di dalam kotak obat atau almari yang terlindung dari cahaya matahari langsung, kecuali untuk obat dengan penggunaan khusus misalnya suppositoria, insulin dan lainnya. Kegiatan PIO yang dapat dilakukan berupa: 1) Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara pro aktif dan pasif. 2) Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon, surat atau tatap muka. 3) Membuat buletin, leaflet, poster, majalah dinding, video dan banner. 4) Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap, serta masyarakat. 5) Melakukan pendidikan atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan lainnya terkait dengan obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP). 6) Mengkoordinasikan penelitian terkait obat dan kegiatan Pelayanan Kefarmasian(2). Kegiatan PIO yang dilakukan di Puskesmas Sedayu 2 masih sebatas pemberian informasi pasif berupa memberikan informasi obat sebagai jawaban atas pertanyaan yang diterima. Sedangkan untuk kegiatan PIO lainnya seperti pembuatan leaflet, poster, dan buletin serta pelatihan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan lainnya terkait obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) masih sangat jarang dilakukan dipuskesmas Sedayu 2. Daftar pasien yang diberikan pelayanan informasi obat dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 1. Daftar Pasien yang Diberikan Pelayanan Informasi Obat No



Nama



Usia



Diagnosa



Terapi yang diberikan



1



Ny. Sarjiyem



51 tahun



DM dengan



Glimepirid, Metformin, Captopril,



Hipertensi



Amlodipin, dan Natrium Diklofenak



2



Ny. Panti Ani



58 tahun



Hipertensi



Captopril, Attapulgit, Oralit, dan Ibuprofren



3



Ny. Sri



63 tahun



Hipertensi



Amlodipin, Asam Mefenamat, dan



Rahayuningsih 4



Bp. Dadang



Vitamin B12 60 tahun



Hipertensi



Captopril, Amlodipin, Omeprazole, Vitamin B12, Parasetamol, Allopurinol, dan Simvastatin



Sumber acuan Puskesmas Sedayu 2 dalam memberikan pelayanan informasi obat bersumber dari buku Informasi Spesialite Obat Indonesia (ISO), Farmakope Indonesia, Informasi Obat Nasional (IONI), Farmakologi dan terapi ,dll. Pelayanan Informasi obat Puskesmas Sedayu 2 meliputi waktu penggunaan obat, lama penggunaan obat dan cara penggunaan obat yang benar. Pelayanan konseling di Puskesmas Sedayu II sudah berjalan namun masih kurang dalam hal sarana yaitu tidak adanya ruangan konseling. Ruang konseling sementara masih memakai ruang laktasi. Pasien-pasien yang diberikan konseling biasanya adalah pasien-pasien dengan penyakit kronis seperti hipertensi, DM , TBC dan pasien-pasien yang mendapat obat-obat dengan penggunaan khusus. Pelayanan Home Care di Puskesmas Sedayu II sudah berjalan namun apoteker tidak ditugaskan di dalamnya. Hal ini dikarenakan keterbatasan jumlah apoteker yang ada di puskesmas Sedayu II. d. Pelayanan Konseling dan/atau Home care Pasien yang datang dan melakukan penebusan obat di Puskesmas Sedayu 2 dan beresiko tinggi mengalami ESO akan diberikan pertanyaan terkait dengan manifestasi efek samping yang dirasakan, waktu terjadinya efek samping hingga kesudahan ESO (sembuh, sembuh dengan gejala sisa, belum sembuh dan lain-lain). Apabila terdapat pasien mengalami efek samping yang signifikan maka dibuat dokumentasi dengan cara mengisi formulir Pelaporan ESO. Selama kami PKPA, kami tidak menemukan adanya efek samping obat yang potensial, selain itu pelaporan terkait ESO sangat jarang ditemukan di kawasan kerja Puskemas Sedayu 2. Kegiatan yang seharusnya dilakukan pada saat ESO , yaitu:



a. Menganalisis laporan efek samping Obat. b. Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami efek samping Obat. c. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO). d. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional. e. Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat (ESO) Pemantauan Terapi Obat di Puskesmas Sendayu 2 dilakukan kepada pasien dengan penyakit kronis yang memerlukan pengobatan secara berkesinambungan, terutama untuk pasien dengan penyakit tuberkulosis (TB). Pasien TB selalu dipantau kepatuhannya dalam mengkonsumsi obat-obatan mengingat pengobatan untuk penyakit ini memerlukan jangka waktu yang panjang dan kedisiplinan yang tinggi. Bagian farmasi terlibat dalam penyediaan obat untuk pasien TB disertai dengan pemberian informasi saat penyerahan obat ke pasien dan dokumentasi. pemantauan untuk penyakit selain TB belum dapat didokumentasikan mengingat keterbatasan jumlah tenaga dibandingkan dengan jumlah pasien dengan penyakit kronis di Puskesmas Sendayu 2. Namun, pada pasien prolanis dengan penyakit kronis sudah ada lembar pemantauan obat yang diberikan. Pasien dengan riwayat DM tipe 2 dan Hipertensi, apoteker biasanya selalu menanyakan kadar gula atau tensi pada saat penyerahan obat, dan kemudian selalu mengingatkan untuk selalu kontrol. g. Evaluasi Penggunaan Obat Rasional Menilai penggunaan obat di suatu fasilitas kesehatan sangat penting dilakukan khususnya dalam mempromosikan penggunaan obat rasional di negara-negara berkembang dan menggunakan indikator penggunaan obat (19). Sejak tahun 1985 World Healt Organization (WHO) terus berupaya untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional, salah satunya adalah pengembangan indikator penggunaan obat (20). Penggunaan obat dikatakan tepat atau rasional bila pasien diberikan obat sesuai dengan kebutuhan klinisnya. Tujuan dari penggunaan obat yang rasional adalah meminimalisasi masalah yang timbul akibat penggunaan obat yang tidak tepat dan agar pasien mendapatkan obat yang sesuai dengan penyakit yang dideritanya, aman dan efektif. WHO mengembangkan tiga faktor utama dari indikator penggunaan obat yaitu pola peresepan, pelayanan yang diberikan bagi pasien,



dan tersedianya fasilitas untuk merasionalkan penggunaan obat(20). Ketiga faktor tersebut berperan penting pada tercapainya kerasionalan penggunaan obat. Indikator



Parameter Penilaian Rata-rata jumlah item obat tiap lembar resep



Peresepan



Persentase peresepan obat generik Persentase peresepan antibiotik Persentase peresepan injeksi Persentase peresepan obat dari formularium Rata-rata waktu untuk konsultasi



Pelayanan Pasien



Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk penyerahan obat Persentase obat yang diserahkan pada pasien Persentase obat yang pelabelannya mencukupi Pengetahuan pasien tentang pengobatan yang benar Ketersediaan formularium atau daftar obat-obat esensial



Fasilitas



Ketersediaan obat-obat esensial



Indikator tambahan penilaian rasionalitas penggunaan obat (20): Parameter Penilaian a.



Persentase pasien yang diterapi tanpa obat



b.



Rerata biaya obat tiap peresepan



c.



Persentase biaya untuk antibiotik



d.



Persentase biaya untuk injeksi



e.



Peresepan yang sesuai dengan pedoman pengobatan



f.



Persentase pasien yang puas dengan pelayanan yang diberikan



g.



Persentase fasilitas kesehatan yang mempunyai akses kepada informasi yang obyektif Indikator tersebut terutama digunakan di Negara-negara berkembang.Indikator penggunaan



obat ini digunakan untuk melihat pola penggunaan obat dan dapat menggambarkan secara langsung tentang penggunaan obat yang tidak sesuai. Indikator penggunaan obat seperti yang telah



didefinisikan oleh WHO telah memberikan langkah-langkah mudah dan nyaman dalam menilai penggunaan obat yang optimal di fasilitas kesehatan(20). Departemen Kesehatan Republik Indonesia belum memiliki standar dalam penggunaan obat sesuai di puskesmas, tetapi hanya memiliki target berdasarkan indikator peresepan WHO, yaitu(21): a) Rerata jumlah obat perlembar resep: 2,6 b) Persentase obat generik yang diresepkan: 100% c) Persentase peresepan antibiotik pada ISPA non pneumonia: 20% d) Persentase peresepan antibiotik pada diare non spesifik: 8% e) Persentase injeksi pada myalgia: 1% f)



Persentase obat yang diresepkan dari DOEN/Formularium Nasional: 100%



Pada indikator peresepan, terdapat lima parameter yang harus dinilai. Parameter tersebut dibuat berdasarkan masalah penggunaan obat yang umum terjadi yaitu polifarmasi, pemilihan obat yang mahal, penggunaan antibiotik dan injeksi yang berlebihan serta pemilihan obat yang tidak sesuai dengan standar terapi yang ada(20). Evaluasi penggunaan obat rasional yang kami lakukan di Puskesmas Sedayu 2 yaitu penggunaan obat antibiotik pada common cold, antibiotik pada diare dan pemberian injeksi pada myalgia. Persentase peresepan antibiotik untuk mengukur tingkat penggunaan antibiotik yang umumnya digunakan secara berlebihan dan banyak menghabiskan biaya, dimana antibiotik merupakan obat yang paling banyak digunakan pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Penggunaan antibiotika yang tidak rasional dan berlebihan dapat mendorong terjadinya resistensi terhadap bakteri tertentu(22). Peningkatan resistensi telah menyebabkan terjadinya peningkatan morbiditas dan mortilitas, sehingga turut pula meningkatkan biaya perawatan pasien. Masalah yang sering terjadi dalam penggunaan antibiotik yang tidak tepat adalah(23): (1) Penggunaan untuk infeksi gastrointestinal dan saluran nafas yang disebabkan oleh virus atau penyebab lain yang tidak membutuhkan antibiotik. (2) Pemilihan antibiotik yang memiliki spektrum luas padahal hanya dibutuhkan antibiotik yang berspektrum sempit. (3) Pemberian dosis yang tidak cukup akibat salah dosis, kurangnya durasi pemberian, atau pasien yang tidak sanggup membeli obat.



(4) Kecenderungan untuk memilih antibiotik generasi terbaru tanpa klinis yang cukup untuk keefektifannya. Oleh sebab itu, diperlukan evaluasi, standar terapi untuk penggunaan antibiotik, dan peningkatan sarana untuk penegakan diagnosis infeksi pada fasilitas pelayanan kesehatan. Rata-rata jumlah obat tiap lembar resep atau polifarmasi merupakan penggunaan obat dalam jumlah yang banyak dan tidak sesuai dengan kondisi kesehatan pasien. Meskipun istilah polifarmasi telah mengalami perubahan, tetapi arti dasar dari polifarmasi itu sendiri adalah obat dalam jumlah yang banyak dalam suatu resep (dan atau tanpa resep) untuk efek klinik yang tidak sesuai. Jumlah yang spesifik dari suatu obat yang diambil tidak selalu menjadi indikasi utama akan adanya polifarmasi akan tetapi juga dihubungkan dengan adanya efek klinis yang sesuai atau tidak sesuai pada pasien(24). Polifarmasi dapat menyebabkan efek negatif misalnya adanya efek samping obat yang tidak dikehendaki, berkurangnya kepatuhan pasien dalam menggunakan obat, serta dapat meningkatkan resiko pengobatan yang tidak tepat (interaksi obat dan duplikasi terapi)(25,26). Faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya polifarmasi adalah, tekanan dari pasien yang menginginkan gejala penyakit cepat hilang, pengetahuan dan kebiasaan dokter, tidak tersedianya standar terapi dan informasi komersial yang berlebihan dari pabrik obat. Tingginya tingkat polifarmasi dapat mengakibatkan penurunan kualitas terapi obat, pemborosan, peningkatan biaya terapi, peningkatan efek psikososial yang mengakibatkan pasien bergantung pada obat(27). Persentase peresepan injeksi bertujuan untuk mengukur tingkat penggunaan injeksi yang umumnya digunakan secara berlebihan dan banyak menghabiskan biaya Di Indonesia, penggunaan injeksi yang berlebihan umumnya terjadi pada sektor pelayanan kesehatan publik(28). Obat yang umunya diberikan dalam sediaan injeksi adalah antibiotik, vitamin, analgesik dan antihistamin.Sekitar lebih dari 80% pasien dengan diagnosis diare dan ISPA diberikan terapi injeksi antibiotik. Faktor-faktor penyebab penggunaan injeksi berlebihan di Indonesia adalah(29): (1)



Injeksi dipercaya lebih efektif dibandingkan dengan sediaan lainnya. Selain itu, tingkat kepatuhan pasien lebih dapat dijamin dibandingkan dengan pemberian obat secara oral.



(2)



Tenaga kesehatan mendapatkan kekuatan status mereka di puskesmas. Obat oral dapat diperoleh pada toko obat atau apotek, sedangkan injeksi hanya dapat diberikan di puskesmas.



(3)



Adanya keyakinan bahwa pasien menginginkan injeksi. Oleh sebab itu, para dokter atau perawat tidak ragu memberikan injeksi pada pasiennya.



(4)



Keyakinan pasien bahwa injeksi lebih cepat mengobati dibandingkan sediaan oral. Selain itu, pasien tidak perlu mengingat-ingat jadwal minum obat sehingga mereka merasa lebih praktis. Menurut WHO Persentase peresepan antibiotik pada ISPA non pneumonia adalah 20%, di



Puskesmas Sedayu 2 peresepan antibiotik pada common cold dilakukan oleh dua mahasiswa dengan mengambil sampel 30 resep setiap mahasiswa dan diperoleh hasil : Sampel 1 Persentase Antibiotik untuk 3,33 %



Sampel 2 3,33 %



common cold Polifarmasi



3,16



3,16



Menurut literatur yang ada, persentase peresepan antibiotik pada commond cold rasional. Karena hasil dari dua sampel tersebut < 20%. Tetapi ada polifarmasi, karena manurut literatur rerata jumlah obat perlembar resep adalah 2,6. Sedangkan hasil dari dua sampel peresepan antibiotik pada common cold adalah 3,16 yang berarti > 2,6. Persentase peresepan antibiotik pada diare non spesifik adalah 8% menurut WHO, sampel diambil sebanyak 30 resep dan diperoleh hasil: Persentase Antibiotik untuk 3,57 % diare Polifarmasi



2,6



Hasil dari perhitungan sampel resep persentase antibiotik untuk diare rasional, karena hasilnya < 8% menurut literatur. Dan tidak ada polifarmasi karena hasil dari perhitungan sampel resep adalah 2,6. Dimana menurut literatur rerata jumlah obat perlembar resep adalah 2,6. Persentase injeksi pada myalgia: 1% menurut WHO, sampel diambil sebanyak 30 resep dan diperoleh hasil:



Persentase



injeksi



pada 0 %



myalgia Polifarmasi



2



Hasil dari Hasil dari perhitungan sampel resep persentase injeksi pada myalgia adalah 0%, yang berarti adalah rasional. Karena meurut literatur adalah pemberian injeksi pada myalgia adalah 1%. Dan tidak ada polifarmasi karena manurut rerata jumlah obat perlembar resep adalah 2,6 sedangkan hasil yang diperoleh dari pengambilan sampel adalah 2. 4. Program Promosi Kesehatan Promosi kesehatan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong diri sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat dan didukung kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.



1. Tugas



Kasus I Oleh : Muhammad Sahindrawan Firmansyah Leptospirosis



1. Definisi Leptospirosis merupakan penyakit demam akut dengan manifestasi klinis bervariasi, disebabkan oleh mikroorganisme leptospira. Leptospira adalah mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit dengan manifestasi gejala klinis yang sangat luas(1). Leptospirosis memiliki penyebaran yang merata hampir di seluruh dunia dan merupakan penyakit endemik pada negara dengan iklim tropis. Leptospirosis merupakan salah satu penyakit zoonosis yang paling sering terjadi. Penyakit ini menyebar melalui kontak, baik langsung ataupun tidak langsung, antara mukosa atau kulit manusia yang mengalami luka dengan hewan yang terinfeksi seperti tikus, anjing, kucing, dan hewan rumahan lain(2). Penyakit Weil’s, muncul sebagai bentuk stadium ikterik dari leptospirosis. Penyakit Weil’s merupakan suatu bentuk leptospirosis berat yang melibatkan kegagalan beberapa organ seperti hati dan ginjal(3). Data dari Pusat Pengendalian Krisis Departemen Kesehatan, pasien leptospirosis di seluruh Jakarta, Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi mencapai 193 orang dengan 14 pasien meninggal selama Februari 2007(1). Penyakit leptospirosis pada umumnya ringan namun akan menjadi berat ketika bacteremia mampu mempengaruhi pembuluh darah kecil. Perbubahan transien pada fungsi ginjal serin



dijumpai. Pada umumnya akan membaik dalam 3 sampai 6 minggu. Pada kasus leptospirosis pemeriksaan laboratorium penting dilakukan untuk melihat gambaran klinis. 2. Etiologi Leptospira termasuk kedalam ordo Spirochaetales, family Leptospiracea dan genus spiroketa berukuran 6–20 μm dengan karakteristik berpilin seperti spiral, tipis, lentur dengan panjang 10-20 mikron dan tebal 0,1 mikron serta memiliki 2 lapis membran dengan ujung yang berbentuk kait. dengan motilitas yang tinggi. Genus Leptospira terdiri dari dua puluh jenis spesies, lima diantaranya termasuk spesies yang menyebabkan penyakit misalnya L. interrogans yang memiliki kurang lebih 250 serovar. Leptospira dideskripsikan dengan serovar untuk kepentingan klinis dan epidemiologi(2,4,5). Organisme Leptospira tidak dapat terlihat dengan menggunakan mikroskop cahaya biasa, namun dapat dilihat dalam kultur dan spesimen klinis dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap. Kebutuhan nutrisi Leptospira yang khas menyebabkan Leptospira tidak dapat tumbuh pada medium yang digunakan dalam proses kultur biasa. Leptospira secara khusus dapat dikultur pada media EMJH (Ellinghausen–McCullough–Johnson–Harris) yang ditambahkan 0,1% agar. Kultur dapat diperiksa dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap dalam interval mingguan(6).



3. Tanda dan Gejala Klinis Gambaran klinis infeksi Leptospira bervariasi dari gejala klinis ringan yang menyerupai penyakit lain seperti influenza, hingga bentuk klinis yang parah yakni penyakit Weil’s. Pada fase leptospiremia, organisme Leptospira dapat dikultur dari darah dan memberikan gejala sistemik seperti demam, sakit kepala, mialgia. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya injeksi konjungtiva (dilatasi pembuluh darah konjungtiva tanpa adanya sekret), eritema faring, nyeri otot terutama nyeri pada otot gastrocnemius, ditemukannya rhonchi atau pekak pada pemeriksaan toraks apabila terjadi perdarahan pada paru-paru, jaundice, maupun hiporefleksia terutama pada kaki(6). Penyakit Weil’s ditandai dengan adanya kombinasi dari jaundice, gagal ginjal akut (acute kidney injury), hipotensi dan perdarahan (pada umumnya pada paru). Keterlibatan organ lain seperti adanya aseptic meningitis, uveitis, kolesistitis, pankreatitis, dan akut abdomen juga dapat terjadi meskipun jarang. Pada jantung, dapat ditemukan perubahan segmen ST maupun gelombang T serta right-bundle-branchblock (RBBB) yang menggambarkan terjadinya miokarditis. Kelainan



kulit pada pasien Leptospira umumnya menggambarkan adanya kelainan di darah, seperti petechiae dan ekimosis. Pemeriksaan fisis pada abdomen dapat ditemukan adanya hepatomegaly dan nyeri tekan akibat kolesistitis maupun hepatitis(6). Gagal ginjal akut ditandai dengan adanya fase oliguria dengan gangguan kadar elektrolit darah yang menggambarkan disfungsi tubulus renal proksimal. Hipotensi berhubungan dengan nekrosis tubulus akut yang membutuhkan resusitasi cairan segera serta hemodialisa(6). 4. Jalur Penularan



Gambar 1. Siklus Penularan Leptospirosis(7) Sebagaimana gambar diatas dapat dilihat bahwasanya manusia dapat terinfeksi Leptospira melalui kontak langsung dengan urin, darah atau jaringan dari hewan karier leptospirosis . Kuman Leptospira dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang terluka atau melalui mukosa mulut, hidung atau mata ketika berenang di dalarn air yang terkontaminasi Leptospira, karena bakteri tersebut dapat bertahan hidup di dalam air bersifat basa sampai 6 bulan . Selain itu, penularan juga terjadi jika kontak Iangsung dengan tanah basah atau tanaman yang terkontaminasi urin hewan penderita leptospirosis(8). 5. Patofisiologi Leptospira dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui kontak langsung ataupun tidak langsung antara kulit yang terluka atau mukosa tubuh seperti mukosa konjungtiva ataupun mukosa oral dengan binatang ataupun ekskreta binatang yang terinfeksi Leptospira. Leptospira dapat berproliferasi dan menyebar dalam aliran darah ke seluruh tubuh kemudian berproliferasi dalam



organ-organ. Masa inkubasi bervariasi antara dua hingga tiga puluh hari dengan rata-rata lima hingga empat belas hari. Setelah antibody terhadap Leptospira terbentuk, Leptopspira mulai menghilang dari darah namun tetap bertahan hidup pada berbagai organ seperti otak, hati, paruparu, jantung, dan ginjal. Siklus hidup Leptospira telah lengkap ketika Leptospira mempenetrasi membran basalis dari tubulus ginjal proksimal dan berikatan dengan sel-sel tubulus dan kemudian diekskresikan bersama dengan urin(6). L. interrogans dengan serovar icterohaemorrhagie adalah salah satu serovar Leptospira yang berhubungan erat dengan kejadian penyakit Weil’s, yaitu suatu kondisi leptospirosis berat yang melibatkan kegagalan beberapa organ seperti hati dan ginjal yang ditandai dengan jaundice, gagal ginjal, syok dan perdarahan(3). Pada ginjal, kerusakan yang disebabkan oleh Leptospira dapat mengakibatkan kerusakan tubulus distal dan tubulus konvulus hingga menyebabkan gagal ginjal akut yang digambarkan dengan peningkatan kreatinin darah (9). Pada hati, Leptospira menyebabkan kerusakan ikatan antar sel hepatosit, penyumbatan pada kanalikuli hingga nekrosis fokal pada sel-sel periportal. Kerusakan intrahepatic ini dapat memberikan gambaran jaundice pada penderita. Pada paru, dapat terjadi perdarahan pulmonal yang diakibatkan lesi-lesi kapiler karena terjadinya aktivasi endotel yang diikuti dengan deposisi imunoglobulin dan deposisi komplemen serta adhesi platelet(6). 6. Terapi Terapi suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis. Keseimbangan cairtan akibat diare dan muntah-muntah memerlukan infus, anemia berat diperbaiki dengan transfusis darah.Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan spontan akan membaik dengan membaiknya kondisi pasien. Namun pada beberapa pasien membutuhkan tindakan hemodialisa temporer. Selama perlu dilakukan pemantauan tekanan darah, suhu, denyut nadi, dan respirasi secara berkala tiap jam atau 4 jam serta pemantauan jumlah urin. Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian dalam 4 hari setelah onset cukup efektif. Berbagai jenis antibiotik pilihan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:



Gambar 2. Pengobatan dan Kemoprofilaksis Leptospirosis(5) Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian intravena penicillin G, amoxicillin, ampicillin atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasuskasus ringan dapat diberikan antibiotika oral tetrasiklin, doksisiklin, ampisilin atau amoksisilin maupun sefalosporin. Sampai saat ini penisilin masih merupakan antibiotik pilihan utama, namun diingat bahwa antibiotika bermanfaat apabila leptosipra masih terdapat dalam darah (fase leptospiremia). Sebagai terapi alternatif dapat digunakan sefalosporin generasi ketiga dan fluorokuinolon (ciprofloxacin) 2 x 200-400mg dimana penetrasi ke jaringan baik. Penelitian di thailand tentang pemberian ceftriaxon dibandingkan peniccilin G pada leptospirosis berat menunjukkan tidak adanya perbedaan. Tindakan suportif diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. Keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diatur sebagaimana pada penanggulangan gagal ginjal secara umum. Bila terjadi uremia berat sebaiknya dilakukan dialisis. Penanganan pada kondisi khusus seperti hiperkalemia, asidosis metabolik, hipertensi, gagal jantung, kejang dan perdarahan. Hiperkalemia dapat menyebabkan cardiac arrest, dapat diberikan kalsium glukonas 1 gram atau glukosa-insulin (10-20 unit regular insulin dalam dektrosa 40 %). Asidosis metabolik diatasi dengan pemberian natrium bikarbonat. Pada hipertensi dapat diberikan obat hipertensi. Kejang dapat timbul karena hiponatremia, hipokalsemia atau hipertensi ensefalopati dan karena uremia, hal terpenting adalah mengatasi penyebab dasar serta diberikan obat anti konvulsi. Perdarahan dapat timbul karena trombopati.11



Pada terapi prognosis, leptospirosis ringan dapat sembuh sempurna. Mortalitas penderita pada kondisi yang berat berkisar antara 15-40% dan prognosis bergantung dari keganasan kuman, daya tahan dan keadaan umum penderita, usia, gagal multiorgan serta pemberian antibiotik dengan dosis kuat pada fase dini. Faktorfaktor sebagai indikator prognosis mortalitas, yaitu usia > 60 tahun, produksi urin < 600 mL/hari, kadar kreatinin > 10 mg/Dl, kadar ureum > 200 mg/dL, albumin < 3 g/dL, kadar bilirubin > 25 mg/dL, trombositopenia < 100.000/mm3, anemia < 12mg/Dl, adanya komplikasi, sesak nafas, abnormalitas EKG serta adanya infiltrat alveolar pada pencitraan paru(10,11). Mortalitas penderita pada penelitian yang dilakukan di Jakarta sebanyak 3%, meninggal karena syok septik dan gagal nafas(10). Pada terapi pencegahan, Doksisiklin 200 mg setiap minggu dapat digunakan untuk pencegahan leptospirosis dengan efektivitas hingga 95% dan direkomendasikan pada orang yang diperkirakan terpajan dalam jangka waktu tertentu. Hindari paparan dari air seni dan jaringan hewan terinfeksi, vaksinasi hewan peliharaan dan hewan ternak, eradikasi hewan liar reservoar. Terapi Non Farmakologi 1. Penerapan pola hidup sehat 2. Menjaga kebersihan 3. Konsultasikan kepada dokter terkait penyakit leptospirosis yang diderita. Terapi pada kondisi ikterus(12) Terapi Farmakologi Terapi farmakologi yang dilakukan pada pasien yang mengalami icterus yang disebabkan oleh suspek leptospirosis meliputi infus RL 20 tetes/menit, penicillin G dosis dewasa 4 x 1,5 juta unit intramskular, sucralfat sirup 3x1c, paracetamol tablet 3x500 mg, ranitidine tablet 2x150 mg. Terapi Non-Farmakologi Terapi non farmakologi yang dilakukan pada pasien yang mengalami icterus yang disebabkan oleh suspek leptospirosis meliputi tirah baring dan pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Kalori dianjurkan sekitar 2000-3000 kalori. Protein diberikan 0,2-0,5 gram/kgBB/hari yang cukup mengandung asam amino essensial. Daftar Pustaka 1. Wijaya K, 2008, Penegakan Diagnosis Leptospirosis, Dexa Media, No.1, Vol.21



2. Shieh W-J, Edwards C, Levett PN, Zaki SR. Leptospirosis. In: Guerrant RL, Walker DH, Weller PF, editors. Tropical Infectious Disease: Principles, Pathogens, and Practice. 2 ed. Philadelphia: Elsevier; 2006. p. 511-6. 3. McPhee SJ, Papadakis MA. Spirochetal Infection. In: McPhee SJ, Papadakis MA, editors. Current Medical Diagnosis and Treatment. 48 ed. San Fransisco: McGraw Hill; 2009. 4. Levett Paul N. Leptospirosis. Clin. Microbial. Reviews 2001; University of the West Indies, School of Clinical Medicine & Research, and Leptospira Laboratory, Ministry of Health, Barbados. Vol. 14(2):296-326 5. Speelman P. Leptospirosis. In : Braunwauld E, Kasper D, Fauci A, etc. Harrison’s Principles of Internal Medicine,16th ed. New York : McGraw-Hill, 2005 : 988-991 6. Vinetz JM. Leptospirosis. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J, editors. Harrison's Principle of Internal Medicine. 1. 18 ed. New York: McGraw Hill; 2012. p. 1392 - 6. 7. Kusmiyati, 2005, Leptospirosis pada hewan dan manusia di Indonesia, Balai Penelitian Vteriner, Wartazoa, Vol 12. No.4. 8. FAINE, S ., B. ADLER, C. BOLIN and P . PEROLAT. 1999 . Leptospira and leptospirosis, 2" d Ed. Med. Sci . Melbourne, Australia. 9. Amin I, Rusli B, Hardjoeno. Kadar Kreatinin dan bersihan Kreatinin Penderita Leptospirosis. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. 2007;13(2):53-5. 10. Pohan H. Kasus Leptospirosis di Jakarta. Dalam : Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine 2003. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2003: 68-75. 11. Soetanto T, Soeroso S, Ningsih S. Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI. 2004 12. Sucipto, M.P., Nababan, R.M., Falamy, R., 2017, Ikterus yang disebabkan oleh suspek leptospirosis.



Kasus II Nama



: Fajar Handayani



Scabies A. Pengertian Scabies atau kudis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitifitas terhadap Sarcoptes scabiei varian homonis dan telurnya. Scabies terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan, di semua daerah, semua kelompok usia, ras dan kelas sosial. Penyakit scabies banyak diderita di masyarakat, maka tidak heran banyak penamaan untuk penyakit ini sperti gudik, kudis, gatal agogo, dan budukan.\



B. Etiologi Scabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh Scabies atau kudis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitifitas terhadap Sarcoptes scabiei varian homonis dan telurnya. Siklus hidup tungau ini adalah: setelah kopulasi (perkawinan) di atas kulit, tungau jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat gidup beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh tungau betina. Tungau betina dapat bertahan hidup selama 1-2 bulan. Tungau betina



yang



telah



dibuahi



menggali



terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari, sambil meletakkan telurnya 2-4 butir sehari sampai mencapai 40-50 telur. Selama itu tungau betina



tidak



meninggalkan



terowongan.



Setelah 3-4 hari, larva berkaki enam akan



muncul dari telur dan keluar dari terowongan dengan memotong atapnya. Larva kemudian menggali terowongan pendek (moulting pockets) tempat mereka berubah menjadi nimfa. Setelah itu nimfa berkembang menjadi tungau jantan dan betina dewasa. Seluruh siklus hidup mulai dari telur sampai bentuk dewasa antara 8-12 hari. Tungau scabies lebih memilih area tertentu untuk membuat terowongan dan menghindari area yang memiliki banyak folikel pilosebaceus. Biasanya, pada satu individu terdapat 5-15 tungau, kecuali Norwegian scabies- individu bisa didiami lebih dari sejuta tungau ini. C. Tanda dan gejala Gejala yang paling umum ketika seseorang terkena scabies adalah gatal intens terutama pada malam hari, ruam seperti jerawat, lecet/luka yang disebabkan garukan. Lubang tungau tampak sebagai garis bergelombang dengan panjang sampai 2,5 cm, kadang pada ujungnya terdapat beruntusan kecil. Lubang/terowongan tungau dan gatal-gatal paling sering ditemukan dan dirasakan di sela-sela jari tangan, pada pergelangan tangan, sikut, ketiak, di sekitar puting payudara wanita, alat kelamin pria (penis dan kantung zakar), di sepanjang garis ikat pinggang dan bokong bagian bawah. Infeksi jarang mengenai wajah, kecuali pada anak-anak dimana lesinya muncul sebagai lepuhan berisi air. Lama-lama terowongan ini sulit untuk dilihat karena tertutup oleh peradangan yang terjadi akibat penggarukan. D. Jalur penularan Tungau parasit ditularkan terutama dengan kontak langsung antara kulit dengan kulit. Kemudian juga dapat melalui tempat tidur atau fasilitas lainnya. Masa inkubasi terjadi sekitar 1-2 bulan (terkadang beberapa bulan pada orang tua), gejala klisnis biasanya akan muncul letusan pada benjolan. Pada kasus scabies/kudis crusted, lapisan kulitnya sebagian besar mengandung S. scabiei. Dalam kasus tersebut tungau parasit dapat ditularkan tidak hanya melalui kontak langsung dengan kulit, tetapi juga melalui penyebaran tungau bersamaan dengan lapisan kulit yang mengering dan terkelupas. Hal tersebut yang menyebabkan wabah besar infeksi S. scabiei di rumah sakit, pesantren atau rumah. Masa inkubasi pada kasus tersebut kadang lebih pendek (4-5 hari) karena infeksi dengan jumlah tungau parasit S. scabiei yang banyak.



E. Patofisiologi Reaksi alergi yang sensitif terhadap tungau dan produknya memperlihatkan peran yang penting dalam perkembangan lesi dan terhadap timbulnya gatal. S. Scabiei melepaskan substansi sebagai respon hubungan antara tungau dengan keratinosit dan selsel



Langerhans



ketika



melakukan



penetrasi



ke



dalam



kulit.



Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe IV dan tipe I. Pada reaksi tipe I, pertemuan antigen tungau dengan Imunoglobulin-E pada sel mast yang berlangsung di epidermis menyebabkan degranulasi sel-sel mast. Sehingga terjadi peningkatan antibodi IgE. Keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe IV akan memperlihatkan gejala sekitar 10-30 hari setelah sensitisasi tungau dan akan memproduksi papul-papul dan nodul inflamasi yang dapat terlihat dari perubahan histologik dan jumlah sel limfosit T banyak pada infiltrat kutaneus. Kelainan kulit yang menyerupai dermatitis tersebut sering terjadi lebih luas dibandingkan lokasi tungau dengan efloresensi dapat berupa papul, nodul, vesikel, urtika dan lainnya. Akibat garukan yang dilakukan oleh pasien dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta hingga terjadinya infeksi sekunder. F. Terapi farmakologi Terdapat beberapa terapi untuk scabies yang memiliki tingkat efektifitas yang bervariasi. Faktor yang mempengaruhi dalam keberhasilan yang antara lain umur pasien, biaya pengobatan, berat derajat erupsi, dan faktor kegagalan terapi yang pernah diberikan sebelumnya. Terapi lini pertama pasien dewasa adalah skabisid topikal, dapat digunakan permethrin krim 5%. Dioleskan di seluruh permukaan tubuh, kecuali area wajah dan kulit kepala (daerah banyak terdapat kelenjar pilosebaceus), dan lebih difokuskan di selasela jari, inguinal, genital, area lipatan kulit sekitar kuku, dan area belakang telinga. Pada pasien anak dan skabies berkrusta, area wajah dan kulit kepala juga harus diolesi. Pasien harus diberitahu bahwa walaupun telah diberi terapi skabisidal yang adekuat, ruam dan rasa gatal di kulit dapat tetap menetap hingga 4 minggu. Steroid topikal, anti-histamin, ataupun steroid sistemik jangka pendek dapat diberikan untuk menghilangkan ruam dan gatal pada pasien yang tidak membaik setelah pemberian terapi skabisid.



Presipitat sulfur 4-20%. Preparat sulfur tersedia dalam bentuk krim dan salep. Tidak efektif untuk stadium telur. Pengobatan selama tiga hari berturut-turut, dapat dipakai untuk bayi/anak kurang dari 2 tahun. Benzil benzoat. Benzil benzoat bersifat neurotoksik pada tungau scabies. Digunakan dalam bentuk emulsi 25% dengan periode kontak 24 jam, diberikan setiap malam selama 3 hari. Terapi dikontraindikasikan pada wanita hamil dan menyusui, bayi dan anak-anak. Gamma benzene heksaklorida (Gammexana). Merupaka insektisida yang bekerja pada sistem syaraf pusat (SSP) tungau. Tersedia dalam bentuk 1% krim, lotion, gel, tidak berbau dan tidak berwarna. Pemakaian secara tunggal dioleskan ke seluruh tubuh dari leher ke bawah selama 12-24 jam. Setelah pemakaian, cuci bersih dan dapat diaplikasikan kembali setelah 1 minggu. Hal ini untuk memusnahkan larva-larva yang menetas dan tidak musnah oleh pengobatan sebelumnya. Tidak dianjurkan mengulang pengobatan dalam 7 hari, serta menggunakan konsentrasi selain 1% karena efek samping neurotoksik SSP (ataksia, tremor dan kejang) akibat pemakaian berlebihan. Crotamiton krim (crornyl-N-Ethyl-O-Toluidine). Sebagai krim 10% atau lotion. Tingkat keberhasilan bervariasi antara 50%-70%. Hasil terbaik diperoleh jika diaplikasikan dua kali sehari setelah mandi selama lima hari berturut-turut. Tidak dapat digunakan untuk wajah, disarankan mengganti semua pakaian dan sprei serta dicuci dengan air panas setelah penggunaan critamiton untuk mencegah kembai tungau. Efek samping iritasi bila digunakan jangka panjang; obat ini tidak mempunyai efek sistemik. Ivermectin. Ivermectin adalah bahan semisintetik yang dihasilkan oleh Streptomyces avermitilis, anti-parasit yang strukturnya mirip antibiotik makrolida, namun tidak mempunyai aktivitas antibiotik, diketahui aktif melawan ekto dan endo parasit. Diberikan oral dosis tunggal 200ug/kgBB untuk pasien umur lebih dari 5 tahun. Formulasi Ivermectin topikal dilaporkan efektif. Efek samping yang sering ditimbulkan adalah adalah dermatitis kontak, dapat juga terjadi hipotensi, edema laring dan ensefalopati. Jenis Obat Permethrin 5% krim



Dosis



Keterangan



Dioleskan selama 8-14 jam, diulangi Terapi lini pertama di AS dan 7



hari



kemudian.



sebanyak 3 kali.



Pemberian kehamilan kategori B



Lindane



1%



lotion Dioleskan selama 8 jam setelah itu Tidak dapat diberikan pada anak



(gammexane)



dibersihkan, oleskan kedua 1 minggu umur 2 tahun ke bawah, wanita kemudian.



Crotamiton 10% krim



hamil, dan laktasi.



Dioleskan selama 2 kali sehari, Memiliki selama 5 hari berturut-turut.



efek



anti-pruiritus,



tetapi efektivitasnya tidak sebaik topikal lainnya.



Precipitatum Sulfur 5-10%



Dioleskan



selama



3



hari



dibersihkan.



lalu Aman untuk anak kurang dari2 bulan dan wanita hamil dan laktasi, tetapi tampak kotor dan data efisiensi masih kurang.



Benzyl Benzoat 10% lotion



Dioleskan selama 24 jam lalu Efektif, dibersihkan.



namun



menyebabkan



dermatitis



dapat pada



wajah. Ivermectin 200ug/kg



Dosis tunggal oral, dapat diulang Efektivitasnya tinggi dan aman. setelah 10-14 hari



Dapat digunakan pada kasuskasus



skabies



berkrusta



dan



skabies resistensi.



-



Pengobatan komplikasi



Pada infeksi bakteri sekunder dapat digunakan antibiotik oral. -



Pengobatan simptomatik Obat anti-histamin dapat mengurangi gatal yang menetap selama beberapa



minggu setelah terapi anti-scabies yag adekuat. Untk bayi, dapat diberikan hidrokortison 1% pada lesi kulit yang sangat aktif dan aplikasi pelumas atau emolient pada lesi yang kurang aktif, pada orang dewasa dapat digunakan triamsinolon 0,1%. G. Terapi non-farmakologi Memberikan edukasi pada pasien scabies: -



Mandi air hangat dan keringkan badan.



-



Mengoleskan salep/obat topikal pada kulit dan sebaiknya dilakukan pada malam hari sebelum tidur.



-



Hindari menyentuh mulut dan mata dengan tangan.



-



Ganti pakaian, handuk, sprei yang digunakan, selalu mencuci dengan teratur dan bila perlu direndam/direbus menggunakan air panas.



-



Jangan ulangi penggunaan skabidid yang berlebihan dalam seminggu walaupun rasanya gatal yang mungkin masih timbul selama beberapa hari.



-



Setiap anggota keluarga sebaiknya mendapatkan pengobatan yang sama dan ikut menjaga kebersihan.



Daftar Pustaka 1. Anonim, 2008, Guidline for the diagnosis and treatment of scabies in Japan (second edition), Executive Committee of Guidline for the Diagnosis and Treatment of Scabies, The Japanese Dermatological Association, Tokyo, Japan. 2. Tansil S.T., Angelina J., Krisnataligan, 2017, Scabies: Terapi Berdasarkan Siklus Hidup, Continuing Medical Education, Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara, Jakarta. 3. https://www.webmd.com/skin-problems-and-treatments/ss/slideshow-scabies-overview 4. https://www.medicalnewstoday.com/articles/16961.php 5. https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&cad=rja&uact =8&ved=0ahUKEwiYw_WYn-7YAhVDsJQKHWxzBIQFghPMAY&url=http%3A%2F%2Fdokterpost.com%2Fterapi-skabies-permetrin-vssalep-2-4%2F&usg=AOvVaw1eHC1hhRuxHmm8hdNCHTTG – Terapi scabies: permetrin vs salep 2-4



Subjektif



- Nama : An. HA - Keluhan : kaki kiri terasa gatal sejak 1 minggu yang lalu. Sudah diberi salep salep gentamisin namun belum membaik. - Tinggal di pesantren.



Objektif



- Umur : 12 tahun - BB : 40,6 kg - UKK (ujud kelainan kulit): Ada papula berukuran kecil, t. Pedies at manus (infeksi jamur dermatofit pada kaki), dextra et sinistra (ukurannya normal, permukaannya rata, tidak tampak masa)



Assessment



- Pasien terdiagnosa scabies - Pasien mendapatkan terapi salep 2-4 sebanyak 1 tube dioleskan 3 kali sehari tipis-tipis dan terapi cetirizine syrup sebanyak 1 botol diminum 1 kali sehari 2 sendok takar. - Tidak ada DRP - Tidak ada ADR - Tidak terdeteksi adanya bakteri sekunder



Plan



Kasus III Nama : Rosmalina NIM



: 17811208



GONOCOCCAL INFECTION A. Definisi Infeksi Gonore adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae yang dapat menginfeksi lapisan dalam uretra, leher rahim, rektum dan tenggorokan atau bagian putih mata (konjungtiva) dan bagian tubuh yang lain. B. Etiologi Bakteri penyebab gonore adalah N gonorrhoeae. Bakteri N gonorrhoeae adalah bakteri gram negatif, intraselular, aerobic diplococcus, dan lebih dikenal sebagai Gonokokus. C. Jalur Penularan Penularan infeksi gonore dapat melalui hubungan seksual, menyentuh bagian yang terinfeksi dengan tangan secara langsung (tanpa sarung tangan) dan pada neonatus,infeksi gonore dapat ditularkan pada saat neonatus berada pada jalan kelahiran disaat ibu si neonatus sedang menderita infeksi gonore. D. Patofisiologi



Infeksi dimulai dengan adhesi pada sel mukosa ( urethra, vagina, rectum, tenggorokan)kemudian penetrasi ke submukosa dan menyebar baik secara langsung maupun hematogen. 1. Langsung pada pria menyebabkan prostatitis dan epididymitis, sedangkan pada wanita langsung menyebar ke kelenjar Bartholin, paraserviks, tuba falopii, dst. 2. Hematogen Hanya 1% kasus, kebanyakan dari asymptomatic infection pada wanita. Inidisebabkan adanya kelainan pertahanan tubuh, misalnya. Defisiensi C6-9 atau bakteri yang kebal terhadap antibodi dan komplemen, bakteri dengan protein porin A pada dinding sel kemudian menginaktivasi C3b. Manifestasi berupa arthritis, lesi kulit, dan tenosynovitis.



E. Terapi Farmakologi No. Usia



Infeksi



Rekomendasi



1.



Pasien



Infeksi gonokokus



Dewasa



uretra, serviks, atau



dalam



rektum yang tidak



Azitromisin (Zithromax), 1 g secara



rumit.



oral







Ceftriaxone (Rocephin), 250 mg IM dosis



dalam



tunggal



dosis



ditambah



tunggal,



atau



doksisiklin, 100 mg per oral dua kali sehari selama 7 hari *; 



Jika ceftriaxone tidak tersedia, gunakan cefixime (Suprax), 400 mg secara oral dalam



dosis



tunggal



ditambah



Azitromisin, 1 g secara oral dalam dosis tunggal, atau doksisiklin, 100 mg per oral dua kali sehari selama 7 hari lalu di kesembuhan dalam satu minggu. Infeksi Gonokokus yang







sudah



berat, gunakan azitromisin, 2 g secara



menyebar (disarankan inap)



Untuk pasien dengan alergi sefalosporin



oral dalam dosis tunggal ditambah rawat



Uji kesembuhan dalam satu minggu 



Ceftriaxone, 1 g IM atau IV setiap 24 jam sampai 24 sampai 48 jam setelah perbaikan



dimulai



atau 



Cefotaxime (Claforan), 1 g IV setiap 8 jam sampai 24 sampai 48 jam setelah perbaikan



dimulai



atau 



Ceftizoxime (Cefizox), 1 g IV setiap 8 jam sampai 24 sampai 48 jam setelah perbaikan dimulai 24 sampai 48 jam setelah perbaikan dimulai, beralih ke sefiksim, 400 mg per oral dua kali per



hari, untuk setidaknya satu minggu pengobatan antimikroba total. Konjuktivitis







Ceftriaxone, 1 g IM dalam dosis tunggal







Ceftriaxone, 1 sampai 2 g IV setiap 12



Gonokokus Menginitis Gonokokus



dan



jam selama 10 sampai 14 hari untuk



endokarditis



meningitis dan setidaknya 4 minggu untuk endokarditis



Infeksi



Faring







Gonokokus



Ceftriaxone, 250 mg IM dalam dosis tunggal ditambah Azitromisin, 1 g secara oral dalam dosis tunggal, atau doksisiklin, 100 mg per oral dua kali sehari selama 7 hari *



2.







Pasien Hamil



Ceftriaxone, 250 mg IM dalam dosis tunggal







Untuk pasien dengan alergi penisilin, gunakan azitromisin, 2 g secara oral dalam dosis tunggal



3.



Pasien Anak- Infeksi gonokokus Anak



pankreas, rektum,







serviks, atau



Anak-anak dengan berat> 45 kg (100 lb): sama seperti rekomendasi orang dewasa







faringeal



Anak dengan berat ≤ 45 kg: ceftriaxone, 125 mg IM dalam dosis tunggal Bakteremia atau artritis







Anak-anak



dengan



berat>



45



kg:



ceftriaxone, 50 mg per kg IV atau IM per hari selama 7 hari 



Anak dengan berat ≤ 45 kg: ceftriaxone, 50 mg per kg IV atau IM per hari (tidak melebihi 1 g per hari) selama 7 hari



4.







Pasien



Bayi yang lahir dari



Neonatus



ibu dengan infeksi



tidak diobati tanpa tanda-tanda infeksi



gonore yang tidak



dapat diberikan Ceftriaxone, 25 sampai



Bayi yang lahir dari ibu dengan gonore



diobati dan tanpa



50 mg per kg IV atau IM dalam dosis



tanda-tanda infeksi



tunggal, tidak melebihi 125 mg 



Infeksi gonokokus yang disebarluaskan neonatus



atau



abses



kulit



kepala



dapat diberikan Ceftriaxone, 25 sampai 50 mg per kg IV atau IM per hari selama 7 hari Infeksi Gonokokus yang







sudah



menyebar



atau



abses



kulit



pada



Ceftriaxone, 25 sampai 50 mg per kg IV atau IM per hari selama 7 hari atau







Cefotaxime, 25 mg per kg IV atau IM setiap



kepala



12



jam



Meningitis



selama



neonatal



7



hari



diberikan



Ceftriaxone, 25 sampai 50 mg per kg IV atau IM per hari selama 10 sampai 14 hari atau 



Cefotaxime, 25 mg per kg IV atau IM setiap 12 jam selama 10 sampai 14 hari Ophthalmia



neonatorum



diberikan



Ceftriaxone, 25 sampai 50 mg per kg IV atau IM dalam dosis tunggal, tidak melebihi 125 mg



F. Terapi Non-Farmakologi 1. Hindari melakukan hubungan seksual dengan penderita infeksi gonore. 2. Menggunakan pengaman seperti kondom untuk mencegah penularan. Daftar Pustaka



Subjektif



Nama : Sulis Lestari Keluhan : Keputihan (cair, ada gumpalan putih), gatal (-) Alergi : Tidak ada



Objektif



Diagnosis : Gonococcal infection, unspesicified Umur : 22 tahun 2 bulan BB : Tinggi : Alamat : Dingkikan RT.07 Jenis kelamin : Perempuan



Assesment



1. Pasien diberikan Nistin Vaginal Suppo untuk mengatasi keputihannya. 2. Pasien diberikan doksisiklin untuk mengatasi jerawatnya



Planning



1. Lanjutkan penggunaan Nistin Vaginal Suppo 2. Monitoring keputihan pasien apakah masih berlanjut atau tidak setelah menggunakan Nistin Vaginal Suppo



Kasus IV Oleh : Femmy Orshidina G Scabies 1. Definisi Skabies adalah penyakit yang disebabkan oleh ektoparasit, yang umumnya terabaikan sehingga menjadi masalah kesehatan yang umum di seluruh dunia (Heukelbach et al. 2006), dapat menjangkiti semua orang pada semua umur, ras dan level sosial ekonomi (Raza et al. 2009). Ektoparasit adalah organisme parasit yang hidup pada permukaan tubuh inang, menghisap darah atau mencari makan pada rambut, bulu, kulit dan menghisap cairan tubuh inang (Triplehorn dan Johnson, 2005). Tungau ektoparasit penyebab skabies adalah Sarcoptes scabiei var hominis. 2. Etiologi Tungau jantan dan betina berkopulasi pada terowongan yang dangkal pada kulit,9 setelah melakukan kopulasi S.scabei jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari terutama pada malam hari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari. Telur akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari dan menjadi larva yang setelah 2-3 hari akan menjadi nimfa. Terowongan pada kulit dapat sampai ke perbatasan stratum korneum dan stratum granulosum.10 Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8-12 hari. 2,4,5,6,8 Telur yang dihasilkan skabies betina ditularkan melalui kontak fisik yang erat, misalnya melalui pakaian dalam, handuk, sprei, dan tempat tidur. Skabies dapat hidup di luar kulit hanya 2 -3 hari dan pada suhu kamar 21°C dengan kelembaban relative 40-80% (Harahap M., 2000). Penyebaran terjadi dari satu orang ke orang lain melalui kontak langsung atau dua orang yang menggunakan tempat tidur yang sama. Penyebaran biasa terjadi di tempat-tempat yang padat populasi atau di rumah -rumah yang dihuni oleh banyak orang (Sembel, 2009). Faktor yang menyebabkan scabies adalah keterkaitan antara faktor sosio demografi dengan lingkungan (Baur et al. 2013). Penyakit scabies berasosiasi secara kuat dengan kemiskinan dan kepadatan penduduk (Heukelbach et al. 2006). Faktor yang mengakibatkan tinggginya prevalensi scabies antara lain kelembaban yang tinggi, rendahnya sanitasi, kepadatan, malnutrisi (Onayemi 2005), personal higiene yang buruk, pengetahuan, sikap dan perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat (Ma’rufi 2005). Baur (2013) juga melaporkan faktor personal higiene, ketersediaan air bersih, status



sosial ekonomi berpengaruh terhadap prevalensi skabies di India. Rendahnya status gizi mempengaruhi sistem imun, sehingga menurunkan sistem kekebalan tubuh juga menyebabkan tingginya prevalensi skabies (Melton 1978). Kebiasaan tidur, berbagi baju, handuk, praktek hygiene yang tidak benar, sering berpergian ke tempat yang beresiko dan berpotensi sebagai sumber penularan scabies merupakan faktor ganda yang menyebabkan scabies (Raza et al. 2009). Sanitasi lingkungan yang buruk di merupakan faktor dominan yang berperan dalam penularan dan tingginya angka prevalensi penyakit Scabies (Ma’rufi et al. 2005).



3. Tanda dan Gejala Gatal merupakan gejala utama sebelum gejala klinis lainnya muncul. Rasa gatal biasanya hanya pada lesi tetapi pada skabies kronis gatal dapat dirasakan pada seluruh tubuh. Pada orang dewasa, gejala yang timbul antara lain ada rasa gatal yang hebat pada malam hari ruam kulit yang terjadi terutama di bagian sela-sela jari tangan, bawah ketiak, pinggang, sekeliling siku, areola mammae, permukaan depan pergelangan tangan, skrotum, dan penis (Johnston G dan Sladden M, 2005). Pada bayi dan anak-anak, lesi biasanya mengenai wajah, kepala, leher, kulit kepala, dan telapak kaki. Pada bayi paling umum lesi yang nampak adalah papul-papul dan vesikopustul. Vesikopustul sering nampak di kulit kepala dan telapak kaki (Johnston G. dan Sladden M ., 2005). Ada 4 tanda kardinal gejala skabies: a. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari oleh karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas. b. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya , sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal juga keadaan hiposensitisasi, yaitu seluruh anggota keluarganya terkena, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier). c. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih keabuabuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papul, atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dan lain-lain). Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu : sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong, genitalia eksterna (pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki.



d. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. D apat ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini. Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda cardinal tersebut (Handoko, 2009). 4. Jalur Penularan Cara penularan yaitu melalui kontak langsung (kontak kulit dengan kulit) misalnya berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual. Penularan juga dapat secara tidak langsung (melalui benda) misalnya pakaian, handuk, seprei, bantal,dan lain-lain. Penularannya biasanya oleh Sarcoptes scabiei betina yang sudah dibuahi atau kadang-kadang oleh bentuk larva. Dikenal pula Sarcoptes scabiei var,animalis yang kadang-kadang dapat menulari manusia, terutama pada mereka yang banyak memelihara binatang peliharaan misalnya anjing.1,2,4,6,8 5. Patofisiologi Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garuk an. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kira –kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu dijumpai kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urticaria, dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder (Handoko, 2009). Tungau dapat hidup di dalam terowongan di tempat predileksi, yaitu jari tangan, pergelangan tangan bagian ventral, siku bagian luar, lipatan ketiak depan, umbilicus, gluteus, ekstremitas, genitalia eksterna pada laki-laki, dan areola mammae pada perempuan. Pada bayi , skabies dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki (Harahap M., 2000). Pada tempat predileksi dapat ditemukan terowongan berwarna putih abuabu dengan panjang yang bervariasi, rata -rata 1 mm, berbentuk lurus atau berkelok-kelok. Terowongan ditemukan bila belum terdapat infeksi sekunder. Di ujung terowongan dapat ditemukan vesikel atau papul kecil (Sutanto I. et al, 2009). Terowongan lebih banyak terdapat di daerah yang berkulit tipis dan tidak banyak mengandung folikel pilosebasea (Harahap M., 2000). Adanya periode asimptomatis bermanfaat sekali bagi parasit ini, karena dengan demikian mereka mempunyai waktu untuk membangun dirinya sebelum hospes membuat respons imunitas. Setelahnya, hidup mereka menjadi penuh bahaya karena terowongannya akan digaruk dan tungau -tungau serta telur mereka akan hancur. Dengan cara ini hospes mengendalikan populasi tungau dan pada kebanyakan penderita skabies, rata-rata jumlah tungau betina dewasa pada kulitnya tidak lebih dari selusin (Graham -Brown dan Burns, 2005).



6. Terapi Farmakologi Pengobatan



Terapi



Sistemik



Antihistamin sedative ringan, misal : CTM 0,34 mg/kg BB 3x sehari Antibiotic bila ditemukan infeksi sekunder, missal : ampisilin, amoksisilin, eritromisin Salep 2 – 4, penggunaan harus lebih dari 3



Topical



hari berturut-turut Emulsi benzyl-benzoas 20 – 25%, diberikan setiap malam selama 3 hari berturut-turut. Gamexan 1 % termasuk obat pilihan, namun tidak dianjurkan untuk wanita hamil maupun anak dibawah 6 tahun. Penggunaannya 1 kali dioleskan ke seluruh tubuh dan dapat diulang 1 minggu kemudian bila belum sembuh. Krotamiton 105 termasuk obat pilihan Permetrin HCL 5%, efektifitas sama dengan Gamexan namun tidak terlalu toksik dan penggunaannya cukup sekali 7. Terapi Non Farmakologi Lampiran 1. Lampiran Evaluasi Penggunaan obat Diare OLEH : Rosmalina Jumlah Tgl



No



Nama



Umur



Item Obat



1.



Tien Syofiah



44 tahun



4



Injeksi (Ya/Tidak)



Tidak



Nama Obat



Parasetamol 500mg



Dosis



Lama



Obat



Pemakaian



3x500mg



3 hari



Attapulgit



2 tab/



02-



600mg



diare



12-



Domperidone



2017



5mg Oralit Parasetamol 500mg



0512-



2.



Yatini



2017



42 tahun



3



Tidak



Attapulgit Ranitidine 150mg



06-



3.



Bayu Bintoro



12-



14



3



Tidak



Attapulgit



tahun



3x5mg



2 hari



3 hari



suc 3x500mg 2 tab/diare



3 hari



2 hari



2x150mg



5 hari



2



2 hari



tab/diare



2017



Oralit



Suc



Parasetamol



3x500mg



3 hari



1



3 hari



500mg



09-



Felley



7



12-



Marchianno



tahun



2017



Andarinsy



09-



4.



5.



12-



Muh.Caesar



2



Ananta Hito



tahun



Viana Dhanty



2



Kirana



tahun



Doni Prasetyo



4



4



Tidak



Attapulgit



tab/diare



2



Tidak



Zinc 20mg



1x20mg



10 hari



Oralit



Suc



Antasid



3x1/2 tab



4 hari



Zinc 20mg



1x20mg



10 hari



Oralit



Suc



Zinc 20mg



1x20mg



Oralit



Suc



Oralit



Suc



2017



11-



6.



12-



2



Tidak



2017



7.



bulan



1



Tidak



10 hari



12122017 12-



8.



12-



Raditya Budi



5



Sahadi



tahun



4



Tidak



Parasetamol



3x1 ½



Sirup



sendok



2017



teh Ranitidin



2x1/2 tab



5 hari



150mg



12-



9.



12-



Rayasasi Okta



5



Kurnia



tahun



4



Tidak



2017



Attapulgit



1



600mg



tab/diare



Oralit



Suc



Zinc 20mg



1x20mg



Oralit



Suc



Parasetamol



3x 1



sirup



sendok



10 hari



teh



12-



10.



12-



Fajar



24



Mustaqim



tahun



2



Tidak



2017



12-



Felley



7



12-



Marchiano



tahun



2017



Andarinsy



13-



11.



12.



12-



Sudi Harjono



66



Keman



tahun



-



Tidak



3



Tidak



2017



13.



2



Tidak



Attapulgit



1



600mg



tab/diare



Attapulgit



2



600mg



tab/diare



Oralit



Suc



Attapulgit



2



600mg



tab/diare



Antasid



3x1 tab



Oralit



Suc



Zinc 20mg



1x20mg



2 hari



2 hari



3 hari



10 hari



13122017 14-



14.



12-



Muhammad



3



Alkafilah



tahun



Zeni



31



Ristianingsih



tahun



4



Tidak



15.



Irma Kurniati



12-



20



2



Tidak



tahun



16.



Dwi Febrianti



12-



18



2



Tidak



tahun



17.



Ardian Aji



2



Nugroho



tahun



Khayla



1



12-



Arsyfa



tahun



2017



Anindita



12-



3x500mg



3 hari



Attapulgit



2



2 hari



600mg



tab/diare



Antasid



3x 1 tab



Oralit



Suc



Attapulgit



2tab/diare



3 hari



2 hari



Oralit



Suc



Attapulgit



2tab/diare



2 hari



600mg



2017



18-



Parasetamol



600mg



2017



15-



Suc



500mg



2017



15-



Oralit



2



Tidak



Oralit



Suc



Zinc 20mg



1x20mg



Oralit



Suc



Zinc 20mg



1x20mg



Oralit



Suc



Attapulgit



2tab/diare



10 hari



2017



19-



19122017



18.



19.



Anik



26



Setyaningsih



tahun



2



3



Tidak



Tidak



10 hari



2 hari



600mg Oralit



Suc



Ciprofloxacin



2x500mg



500mg



5 hari



19-



20.



12-



Dewi



24



Setyaningsih



tahun



2



Tidak



21.



12-



Ety Dwi



19



Lestari



tahun



2tab/diare



2 hari



600mg



2017



19-



Attapulgit



3



Tidak



Oralit



Suc



Domperidone



3x5mg



1 hari



5mg



2017



Attapulgit



2tab/diare



600mg



20-



22.



Dwi Cahyono



12-



32



3



Tidak



tahun



Oralit



Suc



Attapulgit



2tab/diare



600mg



2017



Oralit



Suc



Ranitidine



2x150mg



5 hari



3x500mg



3 hari



2tab/diare



2 hari



150mg



20-



23.



12-



Uswatun



22



Khasanah



tahun



3



Tidak



Parasetamol 500mg



2017



Attapulgit 600mg



21-



24.



12-



Mikima



22



Septiana



tahun



2



Tidak



122017



25.



Septiasa Nur



8



Salsatun



tahun



Suc



Attapulgit



2tab/diare



2 hari



600mg



2017



23-



Oralit



4



Tidak



Oralit



Suc



Attapulgit



1tab/diare



600mg Oralit



Suc



Zinc 20mg



1x20mg



10 hari



Parasetamol



3x1/2



sirup



sendok teh



23-



26.



12-



Pria Bernama



4



Arjuna



tahun



3



Tidak



2017



Zinc 20mg



1x20mg



Oralit



Suc



Parasetamol



Bila perlu



10 hari



Sirup



23-



27.



Suratini



12-



42



4



Tidak



tahun



Attapulgit



2tab/diare



2 hari



600mg



2017



Oralit



Suc



Amlodipin



1x5mg



15 hari



3x500mg



3 hari



5mg Parasetamol 500mg 27-



28.



Maraza



9



12-



Isnaini



bulan



2017



Ambarwati



5



Tidak



Kotrimoksazol



2x1/2cth



sirup Zinc



3x1



GG



bungkus



Valved Oralit



1. % pemakaian antibiotik = 2/28 x 100% = 7,14% Kesimpulan: Pemakaian Antibiotik dikatakan rasional karena