Laporan Praktikum Farmakoterapi Lanjutan Infeksi Saluran Kemih [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI LANJUTAN “Analisis Infeksi Saluran Kemih”



Disusun oleh: Nama



: Meydiana Ayusti



Nim



: 1911102415107



Kelas



:C



Dosen Pengampu : Apt. Deasy Nur Chairin Hanifa M. Clin. Pharm.



Program Studi S1 Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur 2022



A. Tujuan Praktikum Pada praktikum ini mahasiswa mampu menganalisa kasus penyakit Infeksi Saluran Kemih dan pengobatan pada penyakit Infeksi Saluran Kemih. B. Batasan Klinis Kasus Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi akibat adanya mikroorganisme dalam urin dan memiliki potensi untuk menginvasi jaringan-jaringan pada saluran kemih. Infeksi saluran kemih (ISK) bergantung pada banyak faktor seperti usia, jenis kelamin, prevalensi bakteriuria dan faktor predisposisi yang menyebabkan perubahan struktur saluran kemih termasuk ginjal. Dalam keadaan normal, urin juga mengandung mikroorganisme, umumnya sekitar 10² hingga 104 bakteri/ml urin. Pasien didiagnosis infeksi saluran kemih bila urinnya mengandung lebih dari 105 bakteri/ml. (B, 2003). Infeksi saluran kemih (ISK) adalah salah satu penyakit infeksi yang paling dominan yang memiliki beban finansial yang penting di tengah masyarakat. Di AS, ISK bertanggung jawab atas lebih dari 7 juta kunjungan dokter setiap tahunnya. Kurang lebih 15% dari semua antibiotik yang diresepkan untuk masyarakat di AS diberikan pada ISK dan data dari beberapa negara Eropa menunjukkan level yang setara. Di AS, ISK terhitung mencapai lebih dari 100,000 kunjungan rumah sakit setiap tahunnya. Infeksi saluran kemih dapat dibagi menjadi dua kategori umum berdasarkan lokasi anatomi, yaitu : 1. Infeksi saluran kemih bawah 2. Infeksi saluran kemih atas, infeksi saluran kemih atas terbagi menjadi 2, yaitu : a.



Pielonefritis akut adalah suatu reaksi inflamasi yang terjadi karena infeksi pada pielum dan parenkim ginjal. Biasanya kuman berasal dari saluran kemih bagian bawah naik ke ginjal melalui ureter. Kuman kuman itu antara lain adalah E Colli, Proteus, Klebsiella, Strep faecalis dan enterokokus. Kuman Stafilokokus aureus dapat menyebabkan pielonefritis melalui penularan secara hematogen, meskipun sekarang jarang dijumpai.



b.



Pielonefritis kronis adalah cedera ginjal yang disebabkan oleh infeksi



ginjal berulang atau persisten. Hal ini terjadi hampir secara eksklusif pada pasien dengan anomali anatomi utama, termasuk obstruksi saluran kemih, bate struvite, displasia ginjal, atau, paling sering, refluks vesicoureteral (Vur) pada anak-anak. Kadang-kadang, diagnosis ini didirikan berdasarkan bukti radiologis diperoleh selama evaluasi untuk infeksi saluran kemih berulang (ISK) pada anak-anak. Vur adalah cacat bawaan yang mengakibatkan inkompetensi katup ureterovesical karena segmen intrauniversitas pendek. Kondisi ini hadir dalam 30-40% anak muda dengan gejala UTI dan di hampir semua anak dengan bekas luka ginjal. Vur juga dapat diperoleh oleh pasien dengan kandung kemih lembek karena cedera saraf tulang belakang. Vur diklasifikasikan menjadi 5 kelas (IV), menurut tingkat peningkatan refluks. C. Etiologi Mikroorganisme yang paling umum menyebabkan infeksi saluran kemih sejauh ini adalah Escherichia coli yang diperkirakan bertanggung jawab terhadap 80% kasus infeksi, 20% sisanya disebabkan oleh bakteri Gram negatif lain seperti Klebsiella dan spesies proteus, dan bakteri Gram positif seperti Cocci, Enterococci, dan Staphylococcus saprophyticus. Organisme terakhir dapat ditemui pada kasus-kasus infeksi saluran kemih wanita muda yang aktif kegiatan seksualnya. Infeksi saluran kemih yang berhubungan dengan abnormalitas struktur saluran kemih sering disebabkan oleh bakteri yang lebih resisten seperti Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter dan spesies Serratia. Bakteri-bakteri ini juga sering ditemui pada kasus infeksi saluran kemih, terutama pada pasien yang mendapatkan diagnosa infeksi saluran kemih. (B, 2003) Selain karena bakteri, faktor lain yang dapat meningkatkan resiko terjadinya infeksi saluran kemih antara lain kehamilan, menopause, batu ginjal, memiliki banyak pasangan dalam aktivitas seksual, penggunaan diafragma sebagai alat kontrasepsi, inflamasi atau pembesaran pada prostat, kelainan pada uretra, immobilitas, kurang masukan cairan, dan kateterisasi urin. (B, 2003) D. Patofisiologi



Dua jalur utama terjadinya infeksi saluran kemih adalah hematogen dan asending, tetapi dari kedua cara ini jalur asending yang paling sering terjadi. (E, 2006) 1. Infeksi hematogen Infeksi hematogen kebanyakan terjadi pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah, karena menderita suatu penyakit kronik, atau pada pasien yang sementara mendapat pengobatan imunosupresif. Penyebaran hematogen bisa juga timbul akibat adanya fokus infeksi di salah satu tempat. Misalnya infeksi Staphylococus aureus pada ginjal bisa terjadi akibat penyebaran hematogen dari fokus infeksi di tulang, kulit, endotel, atau di tempat lain. Salmonela, Pseudomonas, candida, dan proteus termasuk jenis bakteri yang dapat menyebar secara hematogen. Ginjal yang normal biasanya mempunyai daya tahan terhadap infeksi bakteri Escherichia coli karena itu jarang ada infeksi hematogen Escherichia coli. Walaupun jarang terjadi, penyebaran hematogen ini dapat mengakibatkan infeksi ginjal yang berat misalnya infeksi stafilokokus dapat menimbulkan abses pada ginjal. 2. Infeksi ascending a.



Kolonisasi uretra dan daerah introitus vagina Saluran



kemih



yang



normal



umumnya



tidak



mengandung



mikroorganisme kecuali pada bagian distal uretra yang biasanya juga dihuni oleh bakteri normal kulit seperti basil difteroid, streptokokus. Di samping bakteri normal flora kulit, pada wanita, daerah 1/3 bagian distal uretra ini disertai jaringan periuretral dan vestibula vaginalis juga banyak dihuni bakteri yang berasal dari usus karena letak anus tidak jauh dari tempat tersebut. Pada wanita, kuman penghuni terbanyak pada daerah tersebut adalah Escherichia coli di samping golongan enterobakter dan S. fecalis. b.



Masuknya mikroorganisme dalam kandung kemih Proses masuknya mikroorganisme ke dalam kandung kemih belum diketahui dengan jelas. Beberapa faktor yang mempengaruhi masuknya mikroorganisme ke dalam kandung kemih adalah faktor anatomi, faktor tekanan urin pada waktu miksi, manipulasi uretra atau pada hubungan kelamin, perubahan hormonal waktu menstruasi, kebersihan alat



kelamin bagian luar, adanya bahan antibakteri dalam urin,dan pemakaian obat kontrasepsi oral. c.



Multiplikasi bakteri dalam kandung kemih dan pertahanan kandung kemih Dalam keadaan normal mikroorganisme yang masuk ke dalam kandung kemih manusia atau binatang akan cepat menghilang, sehingga tidak sempat berkembang biak dalam urin. Pertahanan yang normal dari kandung kemih ini tergantung dari interaksi tiga faktor, yaitu : eradikasi organisme yang disebabkan oleh efek pembilasan dan pengenceran urin, efek antibakteri dari urin, dan mekanisme pertahanan mukosa kandung kemih yang intrinsik.



d.



Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal Hal ini disebabkan oleh refluks vasikoureter dan menyebarnya infeksi dari pelvis ke korteks karena refluks intrarenal. Refluks vasikoureter adalah keadaan patologis karena tidak berfungsinya valvula vasikureter sehingga aliran urin naik dari kandung kemih ke ginjal. Penggunaan kateter seringkali menyebabkan mikroorganisme masuk kedalam kandung kemih, hal ini biasanya disebabkan kurang higienisnya alat ataupun tenaga kesehatan yang memasukkan kateter. Orang lanjut usia yang sukar buang air kecil umumnya menggunakan kateter untuk memudahkan pengeluaran urin, itulah sebabnya mengapa penderita infeksi saluran kemih cenderung meningkat pada rentang usia ini.



e.



Klasifikasi Infeksi Saluran Kemih Jenis-jenis infeksi saluran kemih dapat dibedakan dalam 2 bentuk, yaitu : (1) Infeksi saluran kemih bagian bawah (uncomplicated), umumnya radang kandung kemih pada pasien dengan saluran kemih normal. (2) Infeksi saluran kemih bagian atas (complicated), terdapat pada pasien dengan saluran kemih abnormal, misalnya adanya batu, penyumbatan, atau diabetes.



E. Tata Laksana Terapi



Penatalaksanaan infeksi saluran kemih (ISK) atau urinary tract infection yang utama adalah pemberian antibiotik. ISK hanya diterapi jika menimbulkan keluhan. Pemilihan terapi juga perlu mempertimbangkan adanya komorbiditas, tingkat keparahan penyakit, dan potensi resistensi obat. 1. Terapi Antibiotik Terapi antibiotik per oral yang efektif terhadap bakteri coliform aerobik gram negatif, seperti E coli, adalah pilihan terapi pada pasien dengan infeksi saluran



kemih



bagian



bawah.



Pemilihan



terapi



antibiotik



perlu



mempertimbangkan adanya resistensi obat, riwayat terapi sebelumnya, dan hasis kultur dan resistensi. Sistitis Uncomplicated Pada sistitis uncomplicated, dapat diberikan nitrofurantoin selama 5 hari. Pilihan antibiotik lain adalah kotrimoksazol dengan durasi terapi 7 hari. Nitrofurantoin monohidrat diberikan 100 mg, 2 kali sehari selama setidaknya 5 hari. Sementara itu, kotrimoksazol dapat diberikan 160/800 mg, 2 kali sehari selama 7 hari. Kotrimoksazol hanya dipilih jika tingkat resistensi lokal di bawah 20%. Pilihan antibiotik lain adalah fosfomycin trometamol dosis tunggal 3 gram; atau pivmecillinam 400 mg, 3 kali sehari selama setidaknya 3 hari. Sistitis Complicated Pasien dengan sistitis complicated mengalami peningkatan risiko kegagalan terapi. Sistitis complicated dapat timbul pada pasien dengan diabetes, gejala selama 7 hari atau lebih sebelum mencari perawatan, gagal ginjal, kelainan fungsional atau anatomi saluran kemih, transplantasi ginjal, terpasang kateter, atau imunosupresi. Pilihan terapi pada pasien dengan sistitis complicated adalah: a.



Ciprofloxacin 500 mg, 2 kali sehari, per oral, selama 7-14 hari



b.



Levofloxacin 750 mg, sekali sehari, per oral, selama 5 hari



c.



Ciprofloxacin 400 mg IV setiap 12 jam selama 7-14 hari



d.



Levofloxacin 750 mg IV, sekali sehari selama 5 hari



e.



Ampicillin 1-2 g IV setiap 6 jam, dengan gentamicin 2 mg/kg/dosis setiap 8 jam selama 7-14 hari



f.



Doripenem 500 mg IV setiap 8 jam selama 10 hariImipenem-cilastatin 500 mg IV setiap 6 jam selama 7-14 hari



g.



Meropenem 1 g IV setiap 8 jam selama 7-14 hari



Terapi yang diutamakan adalah terapi oral. Terapi intravena dapat dipilih jika pasien tidak dapat mentoleransi terapi oral. Durasi terapi adalah sesingkat mungkin sesuai dengan respon klinis pasien. Jika dirasa perlu, maka dapat digunakan terapi dengan durasi lebih panjang (10-14 hari). Pada pasien yang mendapat terapi intravena, dapat dilakukan konversi ke terapi oral segera setelah gejala klinis membaik. Pyelonephritis Uncomplicated Pada pasien pyelonephritis uncomplicated, masih dapat dilakukan terapi rawat jalan. Untuk pemberian antibiotik empiris awal pada pasien dengan pyelonephritis akut yang tidak memerlukan rawat inap, dapat diberikan 1-2 g ceftriaxone intravena, diikuti dengan fluoroquinolone oral sampai diperoleh hasil dari tes kultur. Pilihan terapi oral antara lain: a.



Ciprofloxacin 500 mg, 2 kali sehari, selama 7 hari



b.



Levofloxacin 750 mg, sekali sehari, selama 5 hari



c.



Ceftibuten 400 mg, sekali sehari, selama 10 hari



d.



Cefpodoxime proxetil 200 mg, 2 kali sehari, selama 10 hari



e.



Kotrimoksazol 16/800 mg, 2 kali sehari, selama 14 hari



Pada pasien rawat inap, disarankan untuk langsung diberikan regimen antibiotik parenteral. Pilihan antibiotik empiris antara lain: a.



Ciprofloxacin 400 mg IV, 2 kali sehari



b.



Levofloxacin 500–750 mg IV, sekali sehari



c.



Cefuroxime 750 mg IV setiap 8 jam



d.



Ceftriaxone 1–2 g IV, sekali sehari



e.



Cefepime 1–2 g IV, 2 kali sehari



f.



Meropenem 500–1000 mg IV, setiap 8 jam



g.



Imipenem-cilastatin 500 mg IV, setiap 6–8 jam



h.



Doripenem 500 mg, setiap 8 jam



i.



Ertapenem 1 g IV, sekali sehari



Setelah demam berkurang, antibiotik harus diubah menjadi antibiotik oral yang dipilih berdasarkan kerentanan antibiotik dan resistensi bakteri penyebab. Pyelonephritis Complicated Meskipun tidak semua kasus pyelonephritis complicated memerlukan rawat inap, perawatan perlu dipertimbangkan pada pasien yang tampak sakit berat atau menunjukkan gejala sepsis. Pasien juga mungkin perlu dirawat inap jika mengalami demam dan nyeri persisten, tidak mampu mempertahankan hidrasi, atau tidak mampu mengonsumsi obat per oral. Antibiotik empiris untuk pasien dengan pyelonephritis complicated atau yang berhubungan dengan obstruksi saluran kemih sebetulnya serupa dengan pilihan antibiotik pada pyelonephritis tanpa komplikasi. Fluoroquinolone, βlaktam/ β-laktamase inhibitor, sefalosporin generasi ketiga, aminoglikosida, dan karbapenem dapat digunakan sebagai antibiotik empiris awal. Namun, jika gejala klinis berat, maka pemilihan antibiotik harus didasarkan pada protokol pengobatan untuk ISK berat yang disertai dengan sepsis. Pada kasus dimana pyelonephritis berkaitan dengan obstruksi saluran kemih, pemberian antibiotik perlu dibarengi dengan dekompresi. Intervensi harus dimulai dari yang bersifat invasif minimal seperti, nefrostomi perkutan atau insersi stent ureter. Reseksi ginjal haruslah menjadi pilihan tata laksana akhir. Terapi Infeksi Saluran Kemih pada Anak Tujuan terapi ISK pada anak adalah menghilangkan gejala dan bakteriuria pada episode akut, mencegah jaringan parut ginjal, mencegah rekurensi, dan megoreksi lesi urologi. Pencegahan sekuele dan rekurensi dilakukan dengan



penatalaksanaan adekuat, pemeriksaan radiologi untuk menilai adanya kelainan anatomi di saluran kemih, serta pemantauan jangka panjang. Pilihan



antibiotik



oral



mencakup



kotrimoksazol,



sefalosporin,



dan



amoxicillin clavulanate selama 5-7 hari pada ISK simpleks. Sementara itu, antibiotik parenteral dapat diberikan pada anak dengan pyelonephritis atau kasus berat. Pilihan antibiotik parenteral adalah ceftriaxone 75 mg/kgbb tiap 12-24 jam sekali; ataupun gentamicin 2,5 mg/kgbb dosis tunggal bagi pasien yang alergi sefalosporin. Penggunaan kloramfenikol, sulfonamid, tetrasiklin, rifampicin, amphotericin B, dan kuinolon pada anak harus dihindari. Terapi Infeksi Saluran Kemih pada Kehamilan ISK pada kehamilan umumnya tergolong dalam ISK complicated. Pada pasien dengan gejala ringan dapat dilakukan rawat jalan. Akan tetapi, pada pasien hamil dengan gejala demam, peningkatan leukosit, muntah, dan dehidrasi, sebaiknya dilakukan rawat inap. Antibiotik golongan penicillin, sefalosporin, dan nitrofurantoin umumnya dapat digunakan pada kehamilan. Akan tetapi, nitrofurantoin tidak disarankan penggunaannya pada kehamilan aterm dikarenakan risiko anemia hemolitik pada bayi. Sulfonamid, seperti kotrimoksazol, juga harus dihindari pemakaiannya pada trimester awal dan menjelang kelahiran dikarenakan efek teratogenik dan kemungkinan kernikterus. Fluorokuinolon dihindari dikarenakan kemungkinan efek pada pertumbuhan kartilago fetus. Pilihan terapi untuk ISK pada kehamilan adalah: a.



Nitrofurantoin monohidrat 100 mg, 2 kali sehari, selama 5-7 hari



b.



Amoxicillin 500 mg, 2-3 kali sehari, selama 5-7 hari



c.



Amoxicillin-clavulanate 500/125 mg, 2 kali sehari, selama 3-7 hari



d.



Cephalexin500 mg, 2 kali sehari, selama 3-7 hari



F. Kasus Pasien berusia 24 tahun dan sekarang sedang hamil 5 bulan datang ke Rumah Sakit. Sudah 4 hari ini mengeluh nyeri pada bagian bawah. Jika buang air kecil sakit. Frekuensi berkemih sering namun hanya sedikit. Satu tahun yang lalu menderita kelainan yang sama tetapi tidak ingat diberi obat apa. Memiliki riwayat alergi obat golongan penisilin. Selain itu pasien juga mengeluhkan gatal pada area perut, bintik berair dan terasa panas. Hasil pemeriksaan dokter : Herpes. Dokter meresepkan Co Amoxiclav 3 x 500 mg, acyclovir 200 mg 7 x sehari dan Neurodex. Hasil pemeriksaan fisik : TD



: 140/100 mmHg



Suhu



: 39,8oC



RR



: 20 kali/menit



Nadi



: 60 kali/menit



Pemeriksaan laboratorium : Hb



: 10 g/dL



Hct



: 40 %



GDS



: 267 mg/dl



Leukosit : 13,5 ribu/mm3 Eritrosit : 3,8 juta/mm3 G. SOAP No



Problem Medik 1. Infeksi Saluran Kemih



Subjektif Hasil pemeriksaan fisik : TD : 140/100 mmHg Suhu: 39,8oC RR : 20 kali/menit Nadi : 60 kali/menit Pemeriksaan laboratorium :



Objektif Pasien mengeluh nyeri pada perut bagian bawah. Jika buang air kecil sakit. Frekuensi berkemih sering namun hanya sedikit. Memiliki riwayat alergi obat golongan



Assessment Obat Kurang Tepat



Plan Karena pasien memiliki riwayat alergi dengan golongan obat penisilin, dan Co Amoxiclav adalah golongan penisilin maka sebaiknya penggunaan obat tersebut dihentikan, dan dapat diganti dengan eritromisin,



Hb : 10 g/dL Hct : 40 % GDS: 267 mg/dl Leukosit : 13,5 ribu/mm3 Eritrosit : 3,8 juta/mm3



penisilin. Selain itu pasien juga mengeluhkan gatal pada area perut, bintik berair dan terasa panas. Hasil pemeriksaan Diberi terapi : Co Amoxiclav 3 x dokter pasien didiagnosa 500 mg, Herpes



acyclovir 200 mg 7 x sehari dan Neurodex.



dengan dosis 1–2 g per hari yang dibagi dalam 2-4 kali pemberian. Dosis dapat ditingkatkan menjadi 4 g per hari untuk infeksi parah . Obat tidak diberikan



Dosis untuk neurodex adalah satu tablet sehari



Indikasi tanpa obat



Hasil pemeriksaan fisik : pasien demam, GDS meningkat dan hipertensi namun belum ada terapi



H. Pembahasan Pasien berusia 24 tahun dan sekarang sedang hamil 5 bulan datang ke Rumah Sakit. Sudah 4 hari ini mengeluh nyeri pada bagian bawah. Jika buang air kecil sakit. Frekuensi berkemih sering namun hanya sedikit. Satu tahun yang lalu menderita kelainan yang sama tetapi tidak ingat diberi obat apa. Memiliki riwayat alergi obat golongan penisilin. Selain itu pasien juga mengeluhkan gatal pada area perut, bintik berair dan terasa panas. Kemudian setelah menjalani beberapa tes medis pasien di diagnosa mengalami Herpes. Dokter meresepkan beberapa terapi yaitu Co Amoxiclav 3 x 500 mg, acyclovir 200 mg 7 x sehari dan Neurodex. Namun dengan terapi yang diberikan, ada beberapa obat yang tidak sesuai indikasi. Seperti pemilihan obat kurang tepat pada terapi Co Amoxiclav 3 x 500 mg. Pasien mengaku memiliki riwayat alergi pada obat golongan penisilin dan Co Amoxiclav adalah golongan penisilin maka sebaiknya penggunaan obat tersebut dihentikan, dan dapat diganti dengan eritromisin. Eritromisin aman utuk ibu hamil trimester pertama karena FDA memasukan obat ini dalam kategori B, yaitu studi reproduksi pada hewan menunjukkan efek buruk pada fetus, dan belum ada cukup bukti ilmiah pada fetus manusia. Sedangkan TGA memasukan ke dalam kategori A, yaitu obat ini telah dikonsumsi oleh banyak wanita hamil,



juga wanita usia reproduktif, dan tidak menunjukkan peningkatan frekuensi malformasi atau dampak buruk baik langsung maupun tidak langsung pada fetus. Dosis dapat diberikan 1–2 g per hari yang dibagi dalam 2-4 kali pemberian. Dosis dapat ditingkatkan menjadi 4 g per hari untuk infeksi parah. Ada juga beberapa indikasi penyakit yang belum diberi terapi. Pasien mengalami demam, GDS meningkat dan hipertensi namun belum ada terapi. Untuk demam dapat diberikan paracetamol dengan dosis rendah. Pasien dapat mengonsumsi metformin untuk menurunkan gds, dan untuk hipertensi dapat mengonsumsi Metildopa.



DAFTAR PUSTAKA Aulia D, L. A. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6, Jilid I. Jakarta: Internal Publishing. B, B. 2003. Penyakit Infeksi Saluran Kencing; Sistitis dan Pielonefritis in Dasar Biologis Klinis Penyeakit Infeksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2017.. Cek produk. Erythromycin. Bono MJ, Reygaert WC. 2022. Urinary Tract Infection. In: StatPearls. Treasure Island



(FL):



StatPearls



Publishing;



2022



Jan-.



https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470195/ Bremer, et al. 2017. Paracetamol Medication During Pregnancy: Insights on Intake Brown, C. and Garovic, V. 2014. Drug Treatment of Hypertension in Pregnancy. Drugs, 74(3), pp.283-296. E, S. 2006. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi IV . Jakarta: Pusat Penerbit IPD FK UI. Klein RD, Hultgren SJ. 2020. Urinary tract infections: microbial pathogenesis, host pathogen interactions and new treatment strategies. Nat Rev Microbiol. 2020;18(4):211-226. doi:10.1038/s41579-020-0324-0 Kardeh, et al. 2019. Efficacy of Azithromycin in Treatment of Acne Vulgaris: A Mini Review. World J Plast Surg, 8(2), pp. 127–134. Mališová, et al. 2019. Surveillance of Antibiotic Resistance of Streptococcus Pneumoniae in the Czech Republic. Respiratory Study Results. 2010-2017. Epidemiol Mikrobiol Imunol. 68(2), pp. 75-81. Pardede, Sudung., Tambunan,T., 2011. Konsensus Infeksi Saluran Kemih Pada Anak. Jakarta. Tim penyusun. 2010. Informasi Spesialite Obat, volume 45. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. Jakarta. TGA. 2017. Prescribing medicines in pregnancy database | Therapeutic Goods Administration



(TGA).



25



October



2017;



Available



https://www.tga.gov.au/prescribing-medicines-pregnancydatabase#searchname



from: