Laporan Resmi Infeksi Saluran Kemih (Isk) Maulida Hasanah Praktikum Farmakoterapi Lanjutan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI LANJUTAN “INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)”



Dosen Pengampu : Apt. Sylvan Septian Ressandy, S.Farm., M.Farm



DISUSUN OLEH : NAMA



: Maulida Hasanah



NIM



: 1811102415066



KELAS



:A



PROGRAM STUDI S1 FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR 2021



A. Judul : Infeksi Saluran Kemih (ISK) B. Tujuan : Pada praktikum ini, mahasiswa mampu menganalisa kasus penyakit dan pengobatan pada penyakit syaraf, hati dan infeksi saluran kemih. C. Batasan Klinis Kasus : Infeksi saluran kemih merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme di dalam saluran kemih manusia. Saluran kemih manusia merupakan organ-organ yang bekerja untuk mengumpul dan menyimpan urin serta organ yang mengeluarkan urin dari tubuh, yaitu ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra. Menurut National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse (NKUDIC), ISK merupakan penyakit infeksi kedua tersering setelah infeksi saluran pernafasan dan sebanyak 8,3 juta kasus dilaporkan per tahun. Infeksi saluran kemih dapat menyerang pasien dari segala usia mulai bayi baru lahir hingga orang tua (Sari, 2018). Infeksi saluran kemih adalah salah satu penyakit infeksi dimana jumlah bakteriuria berkembang biak dengan jumlah kuman biakan urin >100.000 /ml urin. Bakteriuria asimtomatik didefinisikan sebagai kultur urin



positif



tanpa



keluhan,



sedangkan



bakteriuria



simtomatik



didefinisikan sebagai kultur urin positif disertai keluhan. Infeksi saluran kemih disebabkan oleh berbagai macam bakteri diantaranya E.coli, klebsiella sp, proteus sp,providensiac, citrobacter, P.aeruginosa, acinetobacter, enterococu faecali,dan staphylococcus saprophyticus namun, sekitar 90% ISK secara umum disebabkan oleh E.coli. Infeksi saluran kemih disebabkan invasi mikroorganisme ascending dari uretra ke dalam kandung kemih. Invasi mikroorganisme dapat mencapai ginjal dipermudah dengan refluks vesikoureter. Pada wanita, mula-mula kuman darianal berkoloni di vulva kemudian masuk ke kandung kemih melalui uretra yang pendek secara spontan atau mekanik akibat hubungan seksual dan perubahan pH dan flora vulva dalam siklus menstruasi (Sari, 2018).



Infeksi saluran kemih merupakan salah satu infeksi yang paling sering terjadi pada wanita yaitu sekitar 25% dari semua infeksi yang terjadi pada wanita. Sekitar 50-60% dari wanita akan merasakan infeksi saluran kemih selama dari hidupnya. Berdasarkan epidemiologi, E.coli dan Staphylococcus saprophyticus merupakan penyebab yang paling sering menyebabkan infeksi saluran kemih yaitu sebesar 80% terutama pada usia kurang dari 50 tahun (Sari, 2018). Infeksi saluran kemih dapat menyerang pasien dari segala usia, perempuan lebih sering mengalami episode ISK daripada laki-laki, hal ini karena uretra perempuan lebih pendek. Prevalensi ISK meningkat secara signifikan dari 5%-10% pada usia 70 tahun menjadi 20% pada usia 80 tahun. Diperkirakan 150 juta orang didiagnosis menderita ISK setiap tahunnya (Afrilina, 2017). Proses berkemih merupakan proses pembersihan bakteri dari kandung kemih, sehingga kebiasaan menahan kencing atau berkemih yang tidak sempurna akan meningkatkan risiko untuk terjadinya infeksi. Refluks vesikoureter (RVU) dan kelainan anatomi adalah gangguan pada



vesikaurinaria yang paling



sering



menyebabkan sulitnya



pengeluaran urin dari kantung kemih. Ketika urin sulit keluar dari kantung kemih, terjadi kolonisasi mikroorganisme dan memasuki saluran kemih bagian atas secara ascending dan merusak epitel saluran kemih sebagai host. Hal ini disebabkan karena pertahanan tubuh dari host yang menurun dan virulensi agen meningkat (Sari, 2018). Urinalisis dapat dilakukan dengan pemeriksaan makroskopis, mikroskopis dan carik celup. Pada pemeriksaan carik celup, leukosit esterase digunakan sebagai petunjuk adanya sel leukosit di dalam urin. Hasil positif dari leukositesterase memiliki hubungan yang bermakna terhadap jumlah sel neutrofil, baik dalam keadaan utuh maupun lisis. Sedangkan pemeriksaan nitrit dalam urin dengan carik celup adalah untuk mengetahui adanya bakteri di urin yang merubah nitrat (yang berasal dari makanan) menjadi nitrit. Secara klinis ISK disertai dengan hasil positif pada pemeriksaan nitrit dan leukosit esterase dapat



memastikan adanya infeksi saluran kemih, tetapi bila pemeriksaan leukosit esterase negatif maka ISK belum dapat disingkirkan. Begitu pula hasil nitrit negatif tidak dapat diinterpretasikan tidak ada bakteriuria (Sari, 2018). Kuman penyebab infeksi saluran kemih umumnya adalah kuman yang berasal dari flora normal usus dan hidup secara komensal di introitus vagina, prepusium penis, kulit perineum, dan sekitar anus. Infeksi dapat juga disebabkan kontaminasi bakteri pada tangan petugas medis dan perlengkapan medis. Bakteri patogen dapat memasuki saluran kemih melalui rute extra-luminal di sepanjang sisi luar kateter dan melalui rute intra-luminal di sepanjang lumen internal kateter dari kantong pengumpul atau dari catheter drainage tube junction yang terkontaminasi. Kondisi menetapnya kateter urine yang terpasang di saluran kemih menjadi media bagi bakteri untuk kolonisasi (biofilm) (Afrilina, 2017). Kateter urine merusak pertahanan saluran kemih sebagai jalur artifisial untuk masuknya bakteri dengan laju pertambahan sebesar 310% per hari. Risiko infeksi saluran kemih meningkat sekitar 5% setiap harinya dari pemakaian kateter urine. Keadaan ini berdampak pada peningkatan mobiditas dan mortalitas, perawatan lebih lama dengan biaya perawatan lebih mahal. Infeksi saluran kemih dapat berkembang menjadi bakteriemia, sepsis dan kematian.12 Diperkirakan lebih dari 50.000 kematian terjadi setiap tahunnya di Amerika Serikat disebabkan oleh infeksi saluran kemih (Afrilina, 2017). D. Etiologi/Faktor Resiko : Infeksi saluran kemih disebabkan berbagai jenis mikroba, seperi bakteri, virus, dan jamur. Penyebab ISK paling sering adalah bakteri Escherichia coli. Bakteri lain yang juga menyebabkan ISK adalah Enterobacter sp, Proteus mirabilis, Providencia stuartii, Morganella morganii,



Klebsiella



pneumoniae,



Pseudomonas



aeruginosa,



Staphylococcus epidermidis, Streptococcus faecalis, dan bakteri lainnya. Bakteri Proteus dan Pseudomonas sering dikaitkan dengan ISK



berulang, tindakan instrumentasi, dan infeksi nosokomial. Bakteri patogen dengan virulensi rendah maupun jamur dapat sebagai penyebab ISK pada pasien dengan imunokompromais. Infeksi Candida albicans relatif sering sebagai penyebab ISK pada imunokompromais dan yang mendapat antimikroba jangka lama (Pardede, 2018). Pada beberapa penelitian buruknya faktor kebersihan diri baik kebersihan



pada



organ



vital



maupun



kebersihan



diri



akan



mempermudah terjadinya infeksi saluran kemih. Dikarenakan bakteri patogen saluran kemih berasal dari rektum dan vagina sehingga ketika kebersihan diri yang baik akan menyebabkan bakteri patogen tidak dapat menetap dan berkolonisasi pada saluran kemih (Sari, 2018). Pengamatan faktor penyebab terjadinya ISK akibat pemasangan kateter menjadi perhatian bagi profesional kesehatan karena dapat menjadi patokan keberhasian asuhan keperawatan yang diberikan dan tidak hanya itu ISK merupakan indikator pasient safety di rumah sakit sehingga dapat meningkatkan mutu tidak hanya asuhan keperawatan tetapi mutu pelayanan rumah sakit yang diberikan. Hal ini yang mendorong penulis untuk meniliti tentang analisa factor-faktor penyebab infeksi saluran kemih akibat pemasangan kateter untuk mendapatkan gambaran faktor apa yang paling menyebabkan terjadinya infeksi saluran kemih akibat pemasangan kateter sehingga dapat menentukan asuhan keperawatan dan rencana tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien (Hariati, 2019). Pada individu yang memiliki kebiasaan menahan buang air kecil akan mengganggu fungsi pertahanan tubuh pada saluran kemih dalam melawan infeksi yaitu akan terganggunya fungsi pengeluaran urin yang merupakan mekanisme untuk mengeluarkan mikroogranisme secara alami. Kebiasaan menahan buang air kecil juga akan menyebabkan stasis urin dan menyebabkan infeksi saluran kemih (Sari, 2018). Terdapat



peran



potensial



hubungan



asupan



cairan



pada



pencegahan infeksi saluran kemih termasuk mempertahankan pH optimal urin. Kurangnya asupan minum akan berkaitan dengan



peningkatan osmolalitas dan keasaman urin. Sebagai konsekuensinya epitel di saluran kemih akan secara tidak langsung akan memudahkan adhesi bakteri yang akan menyebabkan peningkatan resiko infeksi saluran kemih (Sari, 2018). Etiologi dari ISK dapat dari bakteri gram positif atau gram negatif. Patogen yang paling sering menyebabkan ISK yang berkomplikasi atau tidak berkomplikasi adala Uropathogen E.coli (UPEC). Sedangkan patogen paling sering kedua pada ISK berkomplikasi yaitu Enterococcus sp, K. Pneumoniae, Candida sp, dan pada ISK tidak berkomplikasi yaitu K. pneumoniae, Staphylococcus saphrophyticus, Enterococcus facialis dan GBS (Adnan, 2019). Faktor risiko terjadinya ISK pada wanita hamil dapat terjadi karena perubahan anatomis selama kehamilan yang memengaruhi jarak uretra dengan vagina dan rektum. Riwayat ISK sebelum kehamilan juga dapat menjadi faktor risiko timbulnya ISK selama kehamilan yang dapat berimplikasi pada proses kelahiran. Selain itu, ibu hamil yang mengalami diabetes juga dapat meningkatkan risiko karena adanya penurunan fungsi imun, tingginya kadar glukosa pada urin dan kemungkinan neuropati (Adnan, 2019). Faktor resiko terjadinya infeksi saluran kemih diantaranya personal hyegiene, kontrasepsi, aktivitas seksual, genetik, hormonal, diabetes dan imun. Infeksi saluran kemih lebih banyak pada pasien DM terutama perempuan. Prevalensi ISK pada pasien DM berdasarkan jenis kelamin sebanyak 43% adalah perempuan dan 30% pada laki laki. Hampir 50 % perempuan pernah mengalami satu kali ISK dalam hidupnya. Faktorfaktor predisposisi dalam perkembangan infeksi saluran kemih dan pielonefritis kronik yaitu obstruksi saluran kemih, jenis kelamin, umur kehamilan, reflik vesikuler, peralatan kedokteran, kandung kemih neurogenik, penyalahgunaan analgesik secara kronik, penyakit ginjal, penyakit metabolik (diabetes,gout, batu) (Herlina, 2019). E. Patofisiologi :



Wanita hamil yang mengalami ISK dapat meningkatkan risiko kejadian preeklampasia, kelahiran prematur dan berat badan lahir rendah (BBLR). Kejadian ISK pada wanita hamil berhubungan dengan perubahan fungsional dan struktural. Hal ini dikarenakan adanya penurunan tonus otot yang memperlambat peristaltik uretra dan memperlemah sfingter ureter. Selain itu, karena efek perjembangan janin yang menekan vesika urinaria sehingga mengakibatkan refluks vesico-ureteral dan retensi urin sehingga dapat menjadi tempat pertumbuhan bakteri (Adnan, 2019). Perkembangan dari ISK berawal dari patogen yang menginvasi dan mengkolonisasi periuretra yang seterusnya bergerak hingga ke vesika urinaria dengan mengekspresikan pili dan adhesin untuk membantu pergerakan



bakteri.



Akibat



dari



pergerakan



bakteri



tersebut



menyebabkan migrasi neutrofil ke jaringan. Beberapa bakteri mampu mengembangkan resistensi dengan menghasilkan biofilm maupun perubahan morfologi. Bakteri tersebut akan menghasilan zat toksik dan protease yang akan menghancurkan jaringan inang untuk menggunakan nutrisi untuk pergerakan bakteri ke ginjal dan mengolonisasi ginjal. Bila infeksi bakteri tidak segera ditangani, bakteri akan merusak epitel tubular ginjal dan menyebabkan bakteremia (Adnan, 2019). Faktor-faktor seperti hormonal, mekanik dan perubahan fisiologis selama kehamilan merupakan hal penting dalam saluran kemih. Hal ini diduga memiliki dampak yang kuat terhadap perolehan infeksi (Adnan, 2019). Perubahan fisiologis meliputi pembesaran uterus, penurunan aliran urin melalui ureter (peristaltik urin) dan penurunan tonus kandung kemih. Perubahan ini juga menyebabkan peningkatan volume plasma sehingga memicu pertumbuhan bakteri. Pelebaran ureter dimulai pada delapan minggu kehamilan yang mengakibatkan perpindahan kandung kemih. Akibat dari pembesaran uterus yang terjadi karena kompresi mekanik menyebabkan



hidroureter



dan



hidronefrosis.



Progesteron



yang



diproduksi selama kehamilan memungkinkan relaksasi otot polos yang



menyebabkan penurunan peristaltik dari ureter yang bisa meningkatkan kapasitas berbilah dan stasis urin. Perubahan ini dapat memfasilitasi pertumbuhan bakteri (Adnan, 2019). Volume



plasma



yang



meningkat



selama



kehamilan



dapat



mengurangi konsentrasi urin dan dapat meningkatkan kadar hormon progesteron dan estrogen. Hal ini dapat menurunkan kemampuan saluran kemih bagian bawah untuk bertahan melawan patogen. Berbagai faktor seperti pelebaran ureter, peningkatan volume kandung kemih dan penurunan tonus kandung kemih menyebabkan peningkatan stasis kemih dan ureterovescical refluks. Hal ini juga dapat meningkatkan lingkup urine untuk tetap berada di kandung kemih sehingga berfungsi sebagai media pertumbuhan yang baik bagi patogen untuk memperbanyak diri. Jumlah bakteri dan sel-sel darah putih dalam sampel urin menentukan keparahan infeksi. Ada beberapa kasus di mana ibu hamil dengan tes urin positif tidak memiliki gejala infeksi. Studi penelitian terdahulu menyatakan adanya keterlibatan berbagai kesatuan klinis yang terkait dengan ISK seperti uretritis, sistitis, pielonefritis berat dan pielonefritis persisten. Kehadiran mikroorganisme dalam urin merupakan tanda yang penting dalam mengindikasikan bahwa infeksi mulai terjadi. Kondisi tanpa gejala dan dengan gejala terbatas pada kolonisasi urin tanpa respon pemicu. Keberadaan sel nanah dalam urin tanpa gejala sangat penting untuk mengindikasikan kondisi bakteriuria asimtomatik dan adanya sel-sel nanah dalam urine dikenal sebagai piuria. Individu dengan bakteriuria asimtomatik sangat rentan untuk terjadi bakteriuria simptomatik yang dapat mengakibatkan konsekuensi yang parah tergantung pada tahap infeksi dan kondisi pasien (Adnan, 2019). F. Tata Laksana Terapi Terbaru : Penatalaksanaan dari ISK pada ibu hamil berupa pemberian antibiotik dalam jangka waktu 4-7 hari. Pemberian ampisilin 250mg 4x/hari, amoksisilin 500mg 3x/hari, cephalosporin 250 mg 4x/hari dan nitrofurantoin 50-100mg 4x/hari cukup aman diberikan pada ibu hamil.



Pemberian antibiotik dosis tunggal juga dapat diberikan untuk meningkatkan kepatuhan konsumsi antibiotik. Efek samping yang dapat ditimbulkan dari konsumsi antibiotik dapat berupa mual, muntah dan diare (Adnan, 2019). Disarankan pada pasien mengubah arah membersihkan vagina dari depan ke belakang memiliki tujuan untuk mencegah migrasi bakteri E.coli untuk menginvasi uretra. Penggunaan IUD sebagai alat kontrasepsi pilihan dokter juga bertujuan untuk mencegah kematian flora normal yang ada di organ genitalia seperti Lactobacillus crispatus dan Lactobacillus jensenii akibat penggunaan kontrasepsi yang mengandung



spermasid



seperti



nonoxynol-9



sehingga



dapat



menurunkan risiko kejadian ISK akibat invasi E.coli (Adnan, 2019). Tata laksana ISK terdiri atas eradikasi infeksi akut, deteksi dan tata laksana kelainan anatomi dan fungsional pada ginjal dan saluran kemih, dan deteksi dan mencegah infeksi berulang. Tujuan pemberian antibiotik adalah mengatasi infeksi akut, mencegah urosepsis, dan mencegah atau mengurangi kerusakan ginjal. Prinsip pemilihan terapi antibiotik untuk ISK sama dengan panduan yang digunakan untuk memilih antibiotik untuk penyakit infeksi lain, yakni sensitivitas bakteri, antibiotik spektrum sempit, toleransi pasien terhadap terapi, toksisitas rendah, dan cost-effectiveness. Terapi didasarkan pada lokasi infeksi sehingga penting membedakan ISK atas dan ISK bawah karena mempunyai implikasi yang berbeda. Parut ginjal terjadi pada pielonefritis, dan tidak terjadi pada sistitis, sehingga tata laksana (pemeriksaan lanjutan, pemberian antibiotik, dan lama terapi) sangat berbeda antara pielonefritis berdasarkan



dan



sistitis.



kombinasi



Menentukasi klinik,



tempat



laboratorium,



infeksi dan



dilakukan



pemeriksaan



pencitraan (Pardede, 2018). Umumnya, bakteriuria asimtomatik tidak diterapi dengan antibiotik, sedangkan ISK simtomatik harus segera mendapatkan antibiotik. Sebelum pemberian antibiotik, sebaiknya dilakukan biakan urin untuk menentukan jenis bakteridan sensitivitasnya. Keterlambatan pemberian



antibiotik merupakan salah satu faktor risiko terbentuknya parut ginjal pada pielonefritis. Dengan demikian, antibiotik harus diberikan secara empirik dan kemudian disesuaikan dengan hasil biakan urin Terapi empirik inisial, pada awal ISK didiagnosis hasil biakan urin belum ada karena dibutuhkan beberapa hari untuk memperoleh hasil, sehingga antibiotik diberikan sebelum ada hasil biakan urin. Dengan demikian, pemberian antibiotik di dasarkan secara empirik, dengan memperhatikan pola jenis bakteri penyebab ISK dan uji sensitivitas dalam komunitas. Sebagai terapi empirik inisial, biasanya digunakan trimetoprim-sulfametoksazol, sefalosporin generasi kedua dan ketiga, serta



amoksisilin-klavulanat.



Dilaporkan



bahwa



4053%



bakteri



uropatogen sudah resisten terhadap ampisilin atau amoksisilin, dan 5% resisten terhadap trimetoprim-sulfametoksazol (Pardede, 2018). Lama pemberian antibiotik pada ISK tergantung pada jenis ISK. Infeksi saluran kemih pada bayi dan ISK kompleks, biasanya diterapi selama 10 hingga 14 hari, dan untuk ISK simpleks diobati selama 7-10 hari. Pengobatan jangka pendek dengan lama pengobatan 1 hingga 3 hari tidak direkomendasikan untuk anak (Pardede, 2018). Berbagai antbiotik dapat digunakan baik oral ataupun parenteral. Antibiotik



oral



antara



lain



kotrimoksazol,



sefaleksin,



sefiksim,



sefadroksil, asam pipemidat, asam nalidiksik, amoksisilin-klavulanat, sefpodiksim, sefprozil, lorakarbef, siprofloksazin. Antibiotik parenteral antara lain sefotaksim, seftriakson, seftazidim, sefazolin, gentamisin, amikasin, tobramisin, tikarsilin, ampisilin (Pardede, 2018). G. Kasus : Ibu Gn (24 th), BB 61 kg, TB 161 cm, sekarang sedang hamil 5 bulan. Sudah 4 hari ini mengeluh nyeri pada bagian bawah. Jika buang air kecil sakit. Frekuensi berkemih sering namun hanya sedikit. Satu tahun yang lalu menderita kelainan yang sama tetapi tidak ingat diberi obat apa. Memiliki riwayat alergi obat golongan penisilin. Selain itu pasien juga mengeluhkan gatal pada area perut, bintik berair dan terasa panas.



Hasil pemeriksaan dokter : Herpes. Dokter meresepkan Co Amoxiclav 3 x 500 mg, acyclovir 200 mg 7 x sehari dan Neurodex. •



Hasil pemeriksaan fisik : 1. TD : 140/100 mmHg 2. Suhu : 39,8oC 3. RR : 20 kali/menit 4. Nadi : 60 kali/menit







Pemeriksaan laboratorium : 1. Hb : 10 g/dL 2. Hct : 40 % 3. GDS : 267 mg/dl 4. Leukosit : 13,5 ribu/mm3 5. Eritrosit : 3,8 juta/mm3







Pemeriksaan urin : leukosit (+), eritrosit (+), protein ( ), bakteri (+4), sedimen negatif



Bagaimana penatalaksanaan kasus di atas ?



H. Form SOAP :



N o 1.



Proble Subjektif m Medik Infeksi • Pasien Saluran memiliki Kemih keluhan (ISK) sudah 4 hari ini mengeluh nyeri pada bagian bawah. Jika buang air kecil sakit. Frekuensi berkemih sering namun hanya sedikit. • Satu tahun yang lalu menderita kelainan yang sama tetapi tidak ingat diberi obat apa. • Memiliki riwayat alergi obat golongan penisilin. • Selain itu pasien juga mengeluhk an gatal pada area perut, bintik berair dan



Objektif •







1.



2. 3. 4. •



1. 2. 3. 4.



5.



Hasil • pemeriksa an dokter : Herpes. Dokter meresepk an Co Amoxiclav 3 x 500 mg, acyclovir 200 mg 7 x sehari dan Neurodex. Hasil pemeriksa an fisik : TD : 140/100 mmHg Suhu : 39,8oC RR : 20 kali/menit Nadi : 60 kali/menit Pemeriksa • an laboratori um : Hb : 10 g/dL Hct : 40 % GDS : 267 mg/dl Leukosit : 13,5 ribu/mm3 Eritrosit : 3,8 juta/mm3



Assessment



Plan



Pengguna • Direkomendasi an obat kan kepada kurang pasien untuk tepat, mengonsumsi Pasien cephalosporin memiliki 250 mg 4x/hari riwayat cukup aman alergi diberikan pada penisilin ibu hamil. dan Pemberian dokter antibiotik dosis meresepk tunggal juga an dapat diberikan antibiotik untuk golongan meningkatkan penisilin. kepatuhan Terapi konsumsi dapat antibiotik. diganti Monitoring : Efek dengan samping yang pilihan dapat ditimbulkan antibiotik dari konsumsi lain yang antibiotik tentunya • Direkomendasi aman bagi kan kepada ibu hamil pasien untuk Terdapat mengonsumsi indikasi paracetamol tanpa 3×sehari 500 obat, mg untuk berdasark mengatasi an hasil demam pemeriksa • Penggunaan an fisik terapi insulin diketahui pada pasien pasien yang mengalam mengalami i demam, diabetes GDS dengan gula meningka darah yang t dan



terasa panas.







Pemeriksa an urin : leukosit (+), eritrosit (+), protein ( ), bakteri (+4), sedimen negatif



hipertensi namun belum ada • terapi.







tidak dapat terkontrol Memberikan pada pasien suplementasi kalsium 1,5-2 g/hari dan aspirin 75mg/hari pada pengobatan hipertensi Selain pemberian terapi farmakologi diberikan pula terapi non farmakologi yaitu pencegahan infeksi saluran kemih dapat dilakukan dengan minum air sebanyak 8 sampai 10 gelas per hari, menghindari mandi busa dan sabun berparfum karena dapat menyebabkan iritasi pada uretra, mengganti celana dalam secara rutin, menghindari kontak terlalu lama antara feses dengan daerah genital yang akan memberikan kesempatan kepada bakteri untuk bergerak



naik ke uretra kemudian ke kandung kemih, pada anak perempuan berhati-hatilah dalam membersihkan genital dan lakukan dengan benar dengan cara membersihkan dari depan ke belakang setelah buang air kecil maupun buang air besar karena akan mengurangi pajanan uretra terhadap infeksi yang disebabkan oleh bakteri dari feses, menggunakan celana dalam dengan bahan kain katun karena dapat mengurangi pertumbuhan bakteri pada uretra dibandingkan dengan bahan lainnya, dan buang air kecil secara tetatur Monitoring : Pantau tekanan darah, urin dan kondisi janin setiap minggu



I. Pembahasan : Pada praktikum kali ini berdasarkan kasus yang diberikan seorang pasien berjenis kelamin perempuan berusia 24 tahun dengan berat badan 61 kg, dengan tinggi badan 161 cm dan sedang hamil 5 bulan. Pasien memiliki keluhan sudah 4 hari ini mengeluh nyeri pada bagian bawah. Jika buang air kecil sakit. Frekuensi berkemih sering namun hanya sedikit. Dalam satu tahun yang lalu menderita kelainan yang sama tetapi tidak ingat diberi terapi. Pasien juga memiliki riwayat alergi obat golongan penisilin. Selain itu pasien juga mengeluhkan gatal pada area perut, bintik berair dan terasa panas. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter : Herpes. Sehingga dokter meresepkan Co Amoxiclav 3 x 500 mg, acyclovir 200 mg 7 x sehari dan Neurodex. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik : TD : 140/100 mmHg, Suhu : 39,8°C, RR : 20 kali/menit, Nadi : 60 kali/menit. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium : Hb : 10 g/dL, Hct : 40 %, GDS : 267 mg/dl, Leukosit : 13,5 ribu/mm3, Eritrosit : 3,8 juta/mm3. Berdasarkan pemeriksaan urin : leukosit (+), eritrosit (+), protein ( ), bakteri (+4), sedimen negatif. Berdasarkan kasus yang diberikan masih terdapat pemberian terapi yang kurang tepat seperti penggunaan obat kurang tepat, Pasien memiliki riwayat alergi penisilin dan dokter meresepkan antibiotik golongan penisilin. Terapi dapat diganti dengan pilihan antibiotik lain yang tentunya aman bagi ibu hamil. Lalu terdapat indikasi tanpa obat, berdasarkan hasil pemeriksaan fisik diketahui pasien mengalami demam, GDS meningkat dan hipertensi namun belum ada terapi. Oleh karena itu, direkomendasikan kepada pasien untuk mengonsumsi cephalosporin 250 mg 4x/hari cukup aman diberikan pada ibu hamil. Pemberian antibiotik dosis tunggal juga dapat diberikan untuk meningkatkan kepatuhan konsumsi antibiotik. Selain itu dimonitoring efek samping yang dapat ditimbulkan dari konsumsi antibiotik tersebut. Direkomendasikan



pula



kepada



pasien



untuk



mengonsumsi



paracetamol 3×sehari 500 mg untuk mengatasi demamyang diderita



dan diberikan terapi insulin pada pasien yang mengalami diabetes dengan gula darah yang tidak dapat terkontrol. Pasien juga diberikan suplementasi kalsium 1,5-2 g/hari dan aspirin 75mg/hari pada pengobatan hipertensi. Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit kehamilan dan merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami oleh semua ibu hamil sehingga pengetahuan tentang pengelolaan hipertensi dalam kehamilan harus benar-benar dipahami Oleh semua tenaga medik baik di pusat maupun di daerah. Selain pemberian terapi farmakologi diberikan pula terapi non farmakologi yaitu pencegahan infeksi saluran kemih dapat dilakukan dengan minum air sebanyak 8 sampai 10 gelas per hari, menghindari mandi busa dan sabun berparfum karena dapat menyebabkan iritasi pada uretra, mengganti celana dalam secara rutin, menghindari kontak terlalu lama antara



feses



dengan



daerah



genital



yang



akan



memberikan



kesempatan kepada bakteri untuk bergerak naik ke uretra kemudian ke kandung kemih, pada perempuan berhati-hatilah dalam membersihkan genital dan lakukan dengan benar dengan cara membersihkan dari depan ke belakang setelah buang air kecil maupun buang air besar karena akan mengurangi pajanan uretra terhadap infeksi yang disebabkan oleh bakteri dari feses, menggunakan celana dalam dengan bahan kain katun karena dapat mengurangi pertumbuhan bakteri pada uretra dibandingkan dengan bahan lainnya, dan buang air kecil secara tetatur. Dimonitoring dengan memantau tekanan darah, urin dan kondisi janin setiap minggu pada pasien. J. Kesimpulan : Berdasarkan kasus dan hasil soap yang diperoleh, dapat disimpulkan pasien dapat mengonsumsi obat Co Amoxiclav 3 x 500 mg, acyclovir 200 mg 7 x sehari, Neurodex, cephalosporin 250 mg 4x/hari, Paracetamol



3×sehari



500



mg,



Penggunaan



terapi



insulin,



Suplementasi kalsium 1,5-2 g/hari dan aspirin 75mg/hari. Selain



diberikan terapi farmakologi diberikan pula terapi non-farmakologi yaitu pencegahan infeksi saluran kemih dapat dilakukan dengan minum air sebanyak 8 sampai 10 gelas per hari, menghindari mandi busa dan sabun berparfum karena dapat menyebabkan iritasi pada uretra, mengganti celana dalam secara rutin, menghindari kontak terlalu lama antara



feses



dengan



daerah



genital



yang



akan



memberikan



kesempatan kepada bakteri untuk bergerak naik ke uretra kemudian ke kandung kemih, pada perempuan berhati-hatilah dalam membersihkan genital dan lakukan dengan benar dengan cara membersihkan dari depan ke belakang setelah buang air kecil maupun buang air besar karena akan mengurangi pajanan uretra terhadap infeksi yang disebabkan oleh bakteri dari feses, menggunakan celana dalam dengan bahan kain katun karena dapat mengurangi pertumbuhan bakteri pada uretra dibandingkan dengan bahan lainnya, dan buang air kecil secara tetatur. Dilakukan pula pemantauan pada tekanan darah, urin dan kondisi janin pasien setiap minggu dan memonitoring efek samping yang dapat ditimbulkan dari konsumsi antibiotik.



DAFTAR PUSTAKA Adnan, M. L. (2019). Wanita Usia 26 Tahun, Multigravida Hamil 35 Minggu Dengan Diagnosis Infeksi Saluran Kemih. Jimki: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia, 7(2), 54-59. Afrilina, I., Erly, E., & Almurdi, A. (2017). Identifikasi Mikroorganisme Penyebab Infeksi Saluran Kemih Pada Pasien Pengguna Kateter Urine Di Icu Rsup Dr. M. Djamil Padang Periode 01 Agustus-30 November 2014. Jurnal Kesehatan Andalas, 6(1), 196-201. Hariati, H., Suza, D. E., & Tarigan, R. (2019). Faktor Resiko Infeksi Saluran Kemih Akibat Penggunaan Kateter. Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah Stikes Kendal, 9(4), 401-406. Herlina, S., & Yanah, A. K. M. (2019). Determinan Terjadinya Infeksi Saluran Kemih Pada Pasien Dewasa Di Rsud Kota Bekasi. Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat: Media Komunikasi Komunitas Kesehatan Masyarakat, 11(1), 60-71. Pardede, S. O. (2018). Infeksi Pada Ginjal Dan Saluran Kemih Anak: Manifestasi Klinis Dan Tata Laksana. Sari Pediatri, 19(6), 364-374. Rohmawati, N. (2018). Hubungan Hipertensi Dengan Diabetes Gestasional Pada Ibu Hamil Di Rsud Wonosari (Doctoral Dissertation, Universitas Alma Ata Yogyakarta). 14. Sari, R. P., & Muhartono, M. (2018). Angka Kejadian Infeksi Saluran Kemih (ISK) Dan Faktor Resiko Yang Mempengaruhi Pada Karyawan Wanita Di Universitas Lampung. Jurnal Majority, 7(3), 115-120.