20 0 1 MB
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.A DENGAN DIAGNOSA HIPOSPADIA DENGAN TINDAKAN URETROPLASTY DI RUANG DI RUANG IBS
OLEH NAMA : IGO GUNAWAN NIM : 2018.C.10A.0969
YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PRODI SARJANA KEPERAWATAN TAHUN AJARAN 2021/2022
LEMBAR PENGESAHAN Nama
: Igo Gunawan
Nim
: 2018.C.10a.0969
Program Studi
: S-1 Keperawatan
Judul
: “Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan pada Tn. A Dengan Diagnosa hipospadia dengan tindakan uretroplasty Di Ruang IBS Telah melakukan asuhan keperawatan sebagai persyaratan
untuk
menyelesaikan Praktik Pra Klinik Keperawatan IV Program Studi S-1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka Raya: Laporan keperawatan ini telah disetujui oleh :
Pembimbing Akademik
Pembimbing Lahan
Rimba Aprianti, S.Kep.,Ners
Hazelel Poni, S.Kep.,Ners
Mengetahui Ketua Prodi Sarja Keperawatan
Meilitha Carolina, Ners, M.Kep.
KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan anugerah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Laporan Pendahuluan yang berjudul “Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Dengan Diagnosa Medis Diagnosa hipospadia Di Keperawatan Perioperatif”. Laporan pendahuluan ini disusun guna melengkapi tugas (PPK IV). Laporan Pendahuluan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes selaku Ketua STIKES Eka Harap Palangka Raya. 2. Ibu Meilitha Carolina, Ners., M.Kep selaku Ketua Program Studi Ners STIKES Eka Harap Palangka Raya. 3. Ibu Hazelel Poni, S.Kep. selaku pembimbing lahan yang telah banyak memberikan arahan, masukkan, dan bimbingan dalam penyelesaian asuhan keperawatan ini 4. Ibu Rimba Aprianti, S.Kep., Ners selaku pembimbing akademik yang telah banyak memberikan arahan, masukkan, dan bimbingan dalam penyelesaian asuhan keperawatan ini. 5. Ibu Ika Paskaria, S.Kep., Ners selaku koordinator Praktik Pra Klinik Keperawatan IV Program Studi Sarjana Keperawatan. 6. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini. Saya menyadari bahwa laporan pendahuluan ini mungkin terdapat kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca dan mudah-mudahan laporan pendahuluan ini dapat mencapai sasaran yang diharapkan sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua. Palangka Raya, 4 November 2021 Penyusun
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN................................................................................i KATA PENGANTAR.......................................................................................ii DAFTAR ISI.....................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1 1.1 Latar Belakang..................................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah............................................................................................2 1.3 Tujuan Penulisan..............................................................................................3 1.4 Manfaat Penulisan............................................................................................3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................5 2.1 Konsep Penyakit............................................................................................5 2.1.1 Definisi...........................................................................................................5 2.1.2 Anatomi..........................................................................................................6 2.1.3 Etiologi...........................................................................................................6 2.1.4 Klasifikasi......................................................................................................7 2.1.5 Patofisiologi...................................................................................................8 2.1.6 Manifestasi Klinis (Tanda dan Gejala).....................................................10 2.1.7 Komplikasi...................................................................................................10 2.1.8 Pemeriksaan Penunjang..............................................................................11 2.1.9 Penatalaksaan Medis...................................................................................11 2.2. Konsep Dasar uretopalsy............................................................................12 2.3. Manajeman Asuhan Keperawatan.............................................................18 2.3.1 Pengkajian....................................................................................................18 2.3.2 Diagnosa Keperawatan...............................................................................20 2.3.3 Intervensi Keperawatan..............................................................................21 2.3.4 Implementasi Keperawatan........................................................................27 2.3.5 Evaluasi Keperawatan................................................................................27 BAB III ASUHAN KEPERAWATAN..........................................................28 3.1 Pengkajian.......................................................................................................28 3.2 Prioritas Masalah............................................................................................35 3.3 Rencana Keperawatan...................................................................................36 3.4 Implementasi Dan Evaluasi Keperawatan...................................................40 BAB IV PENUTUP..........................................................................................45 4.1 Kesimpulan.....................................................................................................45 4.2 Saran................................................................................................................45 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................46
BAB 1 PENDAHULUAN
.1
Latar Belakang Hipospadia adalah kelainan kongenital berupa muara uretra yang terletak di
sebelah ventral dan sebelah proksimal ujung penis. Pada hipospadia tidak didapatkan prepusium ventral sehingga prepusium dorsal menjadi berlebihan (dorsal hood) dan sering disertai dengan korde (penis angulasi ke ventral). Kadang-kadang didapatkan stenosis meatus uretra, dan anomaly bawaan berupa testis maldesensus atau hernia inguinalis. Letak meatus uretra bisa terletak pada glandular hingga perineal. Pravalensi hipospadia secara umum sangat bervariasi dari 0,37 sampai 41/10000 bayi. Kejadian hipospadia telah dilaporkan di beberapa negara seperti Inggris, Wales, Swedia, Norwegia, Denmark, Finlandia, Spanyol, New Zealand, Australia dan Cekoslavika. Penelitian di Amerika melaporkan kejadian yang lebih tinggi pada kulit putih daripada kulit hitam, sedangkan di Finlandia kejadiannya lebih rendah yaitu 5/10000 dibandingkan dengan negara-negara Skandinavia lainnya yaitu 14/10000 bayibayi (Vos, 2013). Kejadian seluruh hipospadia yang bersamaan dengan kriporkismus adalah 9%, tetapi pada hipospadia posterior sebesar 32% (Schwartz, 2008). Jumlah pasien di RSUD Dr. Soetomo per 2013 sekitar 50 pasien. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa belum bisa dijelaskan secara pasti penyebabnya, namun penelitian lain menyebutkan bahwa kasus hipospadia disebabkan oleh multifaktorial dan beberapa kasus ditemukan sebagai hasil mutasi gen tunggal ataupun gangguan ekspresi gen. Penelitian lain menemukan bahwa dari segi familial, ayah dari 7% pasien dengan hipospadia diketahui menderita hipospadia dan saudara dari 14% pasien 2 diketahui menderita hipospadia serta pola penurunannya cenderung bersifat poligenik (Sunarno, 2009) Kasus hipospadia dilaporkan juga sebanyak 20-25% ada hubungan dengan genetis. Beberapa penyebab yang lain dihubungkan dengan endokrin dan faktor lingkungan. Pada kehamilan kembar laki-laki lebih sering terjadi
hipospadia, hal ini diduga akibat kekurangan hormon korionik gonadotropin yang diproduksi oleh satu plasenta yang dibutuhkan oleh dua fetus. Bila ayah menderita hipospadia, maka 8% anak akan menderita hipospadia juga. Kelebihan estrogen dapat juga sebagai pemicu terjadi hipospadia, hal ini terbukti pada hewan coba. Kelebihan estrogen dapat terjadi akibat makan buahbuahan dan sayuran yang diberi pestisida, minum susu sapi yang diambil dari sapi yang sedang hamil (Pedoman Diagnosis dan Terapi, 2011) Penelitian lain menyatakan bahwa hipospadia adalah malforasi kongenital yang umum terjadi pada anak-anak, dan pada stadium dewasa memiliki jumlah sperma yang subnormal. Kemudian peneliti lain mengatakan bahwa kualitas semen yang buruk, kanker testis, undescended testis dan hipospadia adalah gejala yang mendasari adanya peningkatan kejadian Testicular Dysgenesis Syndrome (TDS) (Sunarno, 2011). Tidak ada masalah fisik yang berhubungan dengan hipospadia pada bayi baru lahir atau pada anak-anak remaja. Namun pada orang dewasa nanti, chordee akan menghalangi hubungan seksual, infertilitas dapat terjadi pada hipospadia penoskrotal atau perineal, dapat timbul stenosis meatus, menyebabkan kesulitan dalam mengatur aliran urin dan sering terjadi kriptorkidisme (Price, 2005) Infeksi pada era modern ini jarang terjadi, karena penggunaan antibiotika profilaksis yang diberikan preoperative dan dilanjutkan pasca operasi sampai stent atau kateter dilepas (Pedoman Penggunaan Antibiotik, 3 2011). Komplikasi lanjut adalah fistula uretrokutan, komplikasi ini cukup sering terjadi. Secara umum fistula terjadi kurang dari 10%, namun resiko fistula pada hipospadia yang berat kurang lebih 40%. Fistula jarang sekali menutup secara spontan dan terapi yang tepat adalah dilakukan flap lokal kulit. Dianjurkan untuk melakukan teknik pembedahan yang baik, pemilihan benang serta penutupan kulit yang baik. Bila fistulanya kecil dapat dilakukan eksisi dan dijahit. Bila besar dapat dilakukan onlay flap. Stenosis muara uretra, biasanya terjadi karena tidak kuatnya suplai darah pada daerah distal uretra, hal ini lebih mudah dicegah daripada melakukan terapi sesudah terjadi (Gatti, 2006). Terapi yang digunakan yaitu dengan cara dilakukan pembedahan. Tujuan pembedahan adalah agar penis menjadi lurus dengan cara melakukan eksisi korde
(orthoplasty), memindahkan muara uretra pada ujung penis (urehtroplasty), dan membentuk glans penis seanatomis mungkin (glanulosplasty) (Pedoman Diagnosis dan Terapi, 2010). Pembedahan orthoplasty, urehtroplasty, dan glanuloplasty merupakan jenis pembedahan bersih terkontaminasi Pembedahan bersih terkontaminasi adalah pembedahan yang membuka traktus digestivus, traktus bilier, traktus urinarius, traktus respiratorius sampai orofaring, traktus reproduksi kecuali ovarium ataupun operasi yang tanpa pencemaran nyata. Komplikasi dini yang dapat terjadi adalah edema lokal dan perdarahan. Perdarahan pasca operasi dini dapat diatasi dengan kompresi hingga perdarahan akan
berhenti
dengan
sendirinya.
Berdasarkan
Pedoman
Penggunaan
Antibiotik, fungsi penggunaan antibiotika profilaksis digunakan pada penderita yang belum terkena infeksi atau bila terkena infeksi dapat menimbulkan dampak buruk bagi penderita dan diperlukan protokol tersendiri tatacara penggunaannya. Profilaksis bedah merupakan pemberian antibiotika sebelum adanya tanda-tanda dan gejala suatu infeksi. 4 Pemberian antibiotika terapetik dilakukan atas dasar penggunaannya secara empirik atau terarah pada kuman penyebab yang ditemukannya. Penggunaan antibiotika secara empirik adalah pemberian antibiotika pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis kumannya (Pedoman Penggunaan Antibiotik, 2014) .2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diambil suatu rumusan
masalah, yaitu Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Tn.A dengan diagnosa medis Hipospadia 1.3
Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum Penulis mampu memahami konsep Hipospadia dan mempelajari Asuhan Keperawatan pada pasien yang mengalami Diabetes Melitus serta memberi pemahaman pada penulis agar dapat belajar dengan lebih baik lagi. 1.3.2 Tujuan Khusus Adapun Tujuan Khusus penulisan Laporan Pendahuluan ini yaitu penulis mampu :
1.3.2.1 Mahasiswa mampu menjelaskan konsep penyakit Hipospadia 1.3.2.2 Mahasiswa mampu menjelaskan manajemen asuhan keperawatan pada pasien Hipospadia 1.3.2.3 Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada pasien keluarga dengan diagnosa medis Hipospadia 1.3.2.4 Mahasiswa mampu menentukan diagnosa pada keluarga dengan diagnosa medis Hipospadia 1.3.2.5 Mahasiswa dapat menentukan intervensi pada keluarga dengan diagnosa medis Hipospadia 1.3.2.6 Mahasiswa dapat melakukan implementasi pada keluarga dengan diagnosa medis Hipospadia 1.3.2.7 Mahasiswa mampu melakukan evaluasi pada keluarga dengan diagnosa medis Hipospadia 1.3.2.8 Mahasiswa mampu membuat dokumentasi pada keluarga dengan diagnosa medis Hipospadia 1.4
Manfaat Penulisan
1.4.1
Untuk Mahasiswa Untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan agar dapat mengetahui
dan memahami konsep Penyakit hiperglikemiadan agar dapat melakukan pencegahan untuk diri sendiri dan orang disekitar agar tidak mengalami hiperglikemia 1.3.2
Untuk Klien dan Keluarga Manfaat penulisan bagi klien dan keluarga yaitu agar klien dan keluarga
dapat mengetahui gambaran umum dari Hipospadia beserta tanda gejala serta perawatan yang benar bagi klien agar penderita mendapat perawatan yang tepat dalam lingkungan keluarganya. 1.3.3
Untuk Institusi (Pendidikan dan Rumah Sakit) Manfaat penulisan bagi Pendidikan yaitu dapat digunakan sebagai
referensi bagi institusi pendidikan untuk mengembangkan ilmu tentang \
Manfaat penulisan bagi Rumah Sakit yaitu agar dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan tindakan asuhan keperawatan keluarga bagi pasien khusunya Hipospadia 1.3.4
Untuk IPTEK Mampu mengembangkan lebih dalam lagi mengenai pengetahuan di
bidang kesehatan khususnya pada asuhan keperawatan Hipospadia
pada pasien dengan
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit Hipospadia 2.2.1 Definisi Hipospadia Hipospadia merupakan kongenital anomali yang mana uretra bermuara pada sisi bawah penis atau perineum. Hipospadia adalah kelainan kongenital berupa kelainan letak lubang uretra pada pria dari ujung penis ke sisi ventral. Hipospadia merupakan kelainan abnormal dari perkembangan uretra anterior dimana muara dari uretra terletak ektopik pada bagian ventral dari penis proksimal hingga glands penis. Muara dari uretra dapat pula terletak pada skrotum atau perineum. Semakin ke proksimal defek uretra maka penis akan semakin
mengalami
pemendekan
dan
membentuk
kurvatur
yang
disebut “chordee”. Pravalensi hipospadia secara umum sangat bervariasi dari 0,37 sampai 41/10000 bayi. Kejadian hipospadia telah dilaporkan di beberapa negara seperti Inggris, Wales, Swedia, Norwegia, Denmark, Finlandia, Spanyol, New Zealand, Australia dan Cekoslavika. Penelitian di Amerika melaporkan kejadian yang lebih tinggi pada kulit putih daripada kulit hitam, sedangkan di Finlandia kejadiannya lebih rendah yaitu 5/10000 dibandingkan dengan negara-negara .2.2 Anatomi Fisiologi Hipospadia dibagi menjadi beberapa tipe menurut letak orifisium uretra eksternum yaitu sebagai berikut : a. Tipe Sederhana / Tipe Anterior Pada tipe ini, meatus terletak pada pangkal glands penis. Secara klinis, kelainan ini bersifat asimtomatik dan tidak memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak sempit dapat dilakukan dilatasi atau meatotomi. b. Tipe Penil / Tipe Middle Middle yang terdiri dari distal penile, proksimal penile, dan pene-escrotal. Pada tipe ini, meatus terletak antara glands penis dan skrotum. Biasanya
disertai dengan kelainan penyerta, yaitu tidak adanya kulit prepusium bagian ventral, sehingga penis terlihat melengkung ke bawah atau glands penis menjadi pipih. Tipe Penoskrotal dan Tipe Perineal / Tipe Posterior Pada tipe ini, umumnya pertumbuhan penis akan terganggu, kadang disertai dengan skrotum bifida, meatus uretra terbuka lebar dan umumnya testis tidak turun.
.1.3 Etiologi Penyebab kelainan ini kemungkinan bermula dari proses kehamilan juga karena maskulinisasi inkomplit dari genetalia karena involusi yang premature dari sel interstitial testis. Didalam kehamilan terjadi penyatuan di garis tengah lipatan uretra tidak lengkap sehingga meatus uretra terbuka pada sisi ventral
penis. Perkembangan uretra in utero normalnya dimulai sekitar 8 minggu dan selesai dalam 15 minggu (Nurarif & Kusuma, 2015). Penyebab sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui penyebab pasti dari hipospadia. Beberapa etiologi dari hipospadia menurut (Gatti, 2017) yaitu: 1. Faktor Genetik Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi. 2. Faktor Gangguan dan Ketidakseimbangan Hormon Hormone yang dimaksud di sini adalah hormone androgen yang mengatur organogenesis kelamin (pria). Atau bisa juga karena reseptor hormone androgennya sendiri di dalam tubuh yang kurang atau tidak ada. Sehingga walaupun hormone androgen sendiri telah terbentuk cukup akan tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap saja tidak akan memberikan suatu efek yang semestinya. Atau enzim yang berperan dalam sintesis hormone androgen tidak mencukupi pun akan berdampak sama. 3. Faktor Lingkungan Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.
.2.4 Klasifikasi Tipe hipospadia berdasarkan letak orifisium uretra eksternum/ meatus :
a.
Tipe sederhana/ Tipe anterior Terletak di anterior yang terdiri dari tipe glandular dan coronal. Pada tipe ini, meatus terletak pada pangkal glands penis. Secara klinis, kelainan ini bersifat asimtomatik dan tidak memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak sempit dapat dilakukan dilatasi atau meatotomi.
b.
Tipe penil/ Tipe Middle Middle yang terdiri dari distal penile, proksimal penile, dan peneescrotal. Pada tipe ini, meatus terletak antara glands penis dan skrotum. Biasanya disertai dengan kelainan penyerta, yaitu tidak adanya kulit prepusium bagian ventral, sehingga penis terlihat melengkung ke bawah atau glands penis menjadi pipih. Pada kelainan tipe ini, diperlukan intervensi tindakan bedah secara bertahap, mengingat kulit di bagian ventral prepusium tidak ada maka sebaiknya pada bayi tidak dilakukan sirkumsisi karena sisa kulit yang ada dapat berguna untuk tindakan bedah selanjutnya.
c.
Tipe Posterior Posterior yang terdiri dari tipe scrotal dan perineal. Pada tipe ini, umumnya pertumbuhan penis akan terganggu, kadang disertai dengan skrotum bifida, meatus uretra terbuka lebar dan umumnya testis tidak turun.
.2.5 Patofisiologi Fusi dari garis tengah dari lipatan uretra tidak lengkap terjadi sehingga meatus uretra terbuka pada sisi ventral dari penis. Ada berbagai derajat kelainan letak meatus ini, dari yang ringan yaitu sedikit pergeseran pada glans, kemudian disepanjang batang penis, hingga akhirnya di perineum. Prepusium tidak ada pada sisi ventral dan menyerupai topi yang menutup sisi dorsal dari glans. Pita jaringan fibrosa yang dikenal sebagai chordee, pada sisi ventral menyebabkan kurvatura (lengkungan) ventral dari penis. Hipospadia terjadi dari pengembangan tidak lengkap uretra dalam rahim. Penyebab pasti cacat diperkirakan terkait dengan pengaruh lingkungan dan hormonal genetik (Sugar, 1995). Perpindahan dari meatus uretra biasanya tidak mengganggu kontinensia kemih. Namun, stenosis pembukaan dapat terjadi, yang akan menimbulkan obstruksi parsial outflowing urin. Hal ini dapat mengakibatkan ISK atau hidronefrosis (Kumor, 1992). Selanjutnya, penempatan ventral pembukaan urethral bisa mengganggu kesuburan pada pria dewasa, jika dibiarkan tidak terkoreksi (Jean Weiler Ashwill, 1997)
Faktor Genetik :Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi Faktor Gangguan dan Ketidakseimbangan Hormon :Hormone yang dimaksud di sini adalah hormone androgen yang mengatur organogenesis kelamin (pria). Atau bisa juga karena reseptor hormone androgennya sendiri di dalam tubuh yang kurang atau tidak ada.
Lubang penis tidak pada tempatnya
Penyempitan lumen
Stricture penis B1 (Breath) Tidak Ada Masalah
B2 (Blood) pengemban
B3 (Brain)
Pembedahan
Penekanan akibat jaringan parut
Terputusnya kontinuitas jaringan lunak Perdarahan meningkat
Risiko Perdarahan
Strangulasi Penekanan
B4 (Bledder)
B5 (Bowel)
Jaringan parut
Tidak Ada Masalah
pengembangan tidak lengkap uretra dalam rahim
Inkontinensia
Nyeri Akut Gangguan Eleminasi Urin
B6 (Bone) Pembedahan Terputusnya kontinuitas jaringan lunak Destruksi pertahanan
Masuknya mikroorganisme Resiko Infeksi
Urin keluar tidak keluar
Inkontinensia Area penis nyeri
Resiko terjadi lecet Gangguan Integritas Kulit
Kongenital Anomali saluran kemih Jaringan parut
gangguan akibat ejakulasi tidak normal. Anak kesulitan untuk belajar buang air kecil di kamar kecil. Penis melengkung tidak normal saat ereksi.
Penyempitan lumen
Stricture penis Pre Operatif Prosedur tindakan pembedahan Kurang terpapar informasi MK : Ansietas
Intra Operatif
Post Operatif
Pembedahan
Pembedahan
Terputusnya kontinuitas jaringan lunak
Terputusnya kontinuitas jaringan lunak
MK : Risiko Perdarahan
Strangulasi Penekanan pada saraf MK : Nyeri Akut
.2.6 Manifestasi Klinis a. Pembukaan uretra di lokasi selain ujung penis b. Penis tampak seperti berkerudung karena adanya kelainan pada kulit depan penis c. Penis melengkung ke bawah d. Lubang penis tidak terdapat di ujung penis, tetapi berada di bawah atau di dasar penis e. Semprotan air seni yang keluar abnormal f. Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian bawah penis yang menyerupai meatus uretra eksternus. g. Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian punggung penis. h. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang hingga ke glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar. i. Kulit penis bagian bawah sangat tipis. j. Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada. k. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glans penis. l. Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok. m. Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum).
.2.7 Komplikas a. Pseudohermatroditisme (keadaan yang ditandai dengan alat-alat kelamin dalam 1 jenis kelamin tetapi dengan satu beberapa ciri sexsual tertentu) b. Psikis (malu) karena perubahan posisi BAK. c. Kesukaran saat berhubungan sexsual, bila tidak segera dioperasi saat dewasa. d. Infertility e. Resiko hernia inguinalis f. Gangguan psikososial Komplikasi pasca operasi yang terjadi :
1. Edema / pembengkakan yang terjadi akibat reaksi jaringan besarnya dapat bervariasi, juga terbentuknya hematom / kumpulan darah dibawah kulit, yang biasanya dicegah dengan balut tekan selama 2 sampai 3 hari paska operasi. 2. Striktur, pada proksimal anastomosis yang kemungkinan disebabkan oleh angulasi dari anastomosis. 3. Rambut dalam uretra, yang dapat mengakibatkan infeksi saluran kencing berulang atau pembentukan batu saat pubertas. 4. Fitula uretrokutan, merupakan komplikasi yang sering dan digunakan sebagai parameter untuk menilai keberhasilan operasi. Pada prosedur satu tahap saat ini angka kejadian yang dapat diterima adalah 5-10 %. 5. Residual chordee/rekuren chordee, akibat dari rilis korde yang tidak sempurna, dimana tidak melakukan ereksi artifisial saat operasi atau pembentukan skar yang berlebihan di ventral penis walaupun sangat jarang. 6. Divertikulum, terjadi pada pembentukan neouretra yang terlalu lebar, atau adanya stenosis meatal yang mengakibatkan dilatasi yang lanjut.
.2.8 Pemeriksaan Penunjang Diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir atau bayi. Karena kelainan dapat menyertai hipospadia, dianjurkan pemeriksaan yang menyeluruh termasuk pemeriksaan kromosom. a. Rontgen b. USG sistem kemih kelamin c. BNO-IVP karena biasanya pada hipospadia juga disertai dengan kelainan kongenital ginjal. d. Kultur urin .2.9 Penatalaksanaan Medis
Untuk penatalaksanaan hipospadia pada bayi dan anak biasanya dilakukan dengan prosedur pembedahan. Tujuaan utama pembedahan ini adalah untuk merekontruksi penis menjadi lurus dengan meatus uretra ditempat yang normal atau dekat normal sehingga pancaran kencing arahnya kedepan. Keberhasilan pembedahan atau operasi dipengaruhi oleh tipe hipospadia dan besar penis. Semakin kecil penis dan semakin ke proksimal tipe hipospadia semakin sukar tehnik dan keberhasilan operasinya. Persiapan Operasi : Evaluasi preoperatif yang diperlukan termasuk ultrasonografi (untuk meyakinkan sistem urinari atas normal) dan standar prosedur pemeriksaan darah dan urin lengkap. Sebelum dilakukan operasi pasien diberikan antibiotik profilaksis. Sebelum dioperasi dilakukan uretroskopi untuk memastikan tidak ada anomali urinary tract seperti veromontanum, valve uretra atau striktur uretra. Jahitan traksi diletakkan di dorsal glans sehingga tekanan yang konstan ditempatkan pada penis sehingga mengurangi perdarahan Langkah – Langkah Pada Operasi Hipospadia 1. Koreksi meatus 2. Koreksi chordee bila ada 3. Rekonstruksi uretra 4. Pengalihan kulit dorsal penis yang berlebihan ke ventral 5. Koreksi malformasi – malformasi yg berhubungan Teknik operasi Teknik Operasi Secara Garis Besar 1.
Perbaikan multi tahap Perbaikan dua tahap
Tahap I : Chordectomy, Chordectomy dgn memotong uretra plat distal, meluruskan penis sehingga meatus tertarik lebih proksimal
Tahap II: Urethroplasty, Penutupan kulit bagian, ventral dilakukan dengan memindahkan prepusium dorsal dan kulit penis mengelilingi bagian ventral dalam tahap uretroplasti Contoh : Browne (1953), Byars (1955), dan Smith (1981)
2.
Perbaikan Satu Tahap Akhir tahun 1950, pelepasan korde
kendala utama, tetapi dapat
dihilangkan sejak ditemukan teknik ereksi buatan). Contoh : Broadbent (1961), McCormack (1954), Devine & Horton (1961), Teknik Y-V modifikasi Mathieu, Teknik Lateral Based (LB)Flap a.
Teknik Y-V Modifikasi Mathieu
b.
Teknik Lateral Based (LB) Flap
Perawatan Pasca Operasi Suatu tekanan ringan dan elastis dari perban dipakai untuk memberikan kompres post operatif bagi reparasi hipospadia, untuk mengatasi oedema dan untuk mencegah pendarahan setelah operasi. Dressing harus segera dihentikan bila terlihat keadaan sudah membiru disekitar daerah tersebut, dan bila terjadi hematoma harus segera diatasi. Setiap kelebihan tekanan yang terjadi karena hematoma akan bisa menyebabkan nekrosis. Oleh karena efek tekanan pada penyembuhan, maka pemakaian kateter yang dipergunakan harus kecil, dan juga steril, dan terbuat dari plastik dan dipergunakan kateter dari kateter yang lunak. Dalam keadaan dimana terjadi luka yang memburuk sebagai akibat edema pada luka, ereksi atau hematoma, maka sebaiknya dikompres dengan mempergunakan bantalan saline steril yang hangat. Diversi urine terus dilanjutkan sampai daerah yang luka itu sembuh. Bila jaringan tersebut telah sembuh, maka masalahnya bisa direparasi dalam operasi yang kedua 6 – 12 bulan yang akan datang. Terapi lain: 1.
KA-EN 3B Indikasi:
a. Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air dan elektrolit dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas b. Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam)
c. Mensuplai kalium sebesar 10 mEq/L untuk KA-EN 3A d. Mensuplai kalium sebesar 20 mEq/L untuk KA-EN 3B 2.
Cefotaxime Cefotaxime adalah kelompok obat yang disebut cephalosporin antibiotics. Cefotaxime bekerja dengan cara memperlemah dan memecah dinding sel, membunuh bakteri. Cefotaxime digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi bakteri, termasuk keadaan parah atau yang mengancam nyawa. Indikasi: Untuk mengobati infeksi bakteri atau mencegah infeksi bakteri sebelum, selama atau setelah pembedahan tertentu. Dosis: 1-2 gr melalui pembuluh darah (intra vascular), lakukan setiap 8-12 jam Dosis maksimum: 12 gr/hari Efek Samping: a. Dosis tinggi bisa dihubungkan dengan efek CNS (encephalopathy, convulsion); Efek hematologis yang jarang; pengaruh terhadap ginjal dan hati juga terjadi. b. Perpanjangan PT (prothrombin time), perpanjangan APTT (activated partial thromboplastin time), dan atau hypoprothrombinemia (dengan atau tanpa pendarahan) dikabarkan terjadi, kebanyakan terjadi dengan rangkaian sisi NMTT yang mengandung cephalosporins.
3.
Antrain Cara kerja: Metamizole Na adalah turunan methanesulphonate dari aminopyrine dengan aktivitas analgesik. Mekanisme kerja adalah pusat dan perifer menghambat transmisi nyeri. Na Metamizole bertindak sebagai analgesik. Hal ini diserap dari saluran pencernaan, dengan setengah-hidup 1-4 jam Indikasi : Untuk mengurangi rasa sakit, terutama di kolik dan pasca-operasi. Kontra indikasi:
a. Pasien yang diketahui hipersensitif terhadap Metamizole Na. b. Hamil atau menyusui perempuan. c. Pasien dengan tekanan darah sistolik