LP. ATRIAL FIBRILASI-dikonversi [PDF]

  • Author / Uploaded
  • ARINA
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN ATRIAL FIBRILASI



NAMA : Siti Raudatul Dofi’ah NIM



: 20020098



PROGRAM STUDI PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN dr. SOEBANDI JEMBER YAYASAN JEMBER INTERNATIONAL SCHOOL 2020/2021



LAPORAN PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Atrial fibrilasi (AF) adalah takiaritmia supraventicular yang khas, dengan aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi sehingga fungsi mekanis atrium menjadi buruk. Ciri atrial fibrilasi adalah tidak adanya gambaran gelombang P yang jelas, pola interval RR yang ireguler pada elektrokardiogram. Pada atrial fibrilasi interval antara dua gelombang aktivasi atrium umumnya kecepatannya melebihi 450x/ menit (PERKI, 2014). Atrial fibrilasi dapat menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas, termasuk stroke,gagal jantung serta penurunan kualitas hidup jika tidak dikenali dan dirawat denganbenar. Peningkatan risiko mortalitas pada penderita AF mencapai 2 kali pada perempuandan 1,5 kali pada laki-laki. Pasien dengan AF memiliki risiko stroke 5 kali lebih tinggidan risiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi dibanding pasien tanpa atrial fibrilasi (PERKI, 2019). Fibrilasi atrium adalah depolarisasi muncul di banyak tempat di atrium, menyebabkan depolarisasi yang tidak terkoordinasi dengan frekuensi tinggi. Sentakan fokus ektopik pada struktur vena yang dekat dengan atrium (biasanya vena pulmonal) merupakan penyebab tertinggi (Dharma, 2012). Fibrilasi atrium didefinisikan sebagai irama jantung yang abnormal. Aktivitas listrik jantung yang cepat dan tidak beraturan mengakibatkan atrium bekerja terus menerus menghantarkan impuls ke nodus AV sehingga respon ventrikel menjadi ireguler. Atrial fibrilasi dapat bersifat akut maupun kronik dan umumnya terjadi pada usia di atas 50 tahun (Berry and Padgett, 2012). Atrial fibrilasi dapat terjadi pada 30-40% pasien dengan gagal jantung tergantung penyebabdari gagal jantung itu sendiri. Sebaliknya, gagal jantung simtomatis dengan kelasfungsional New York Heart Association (NYHA) II sampai IV dapat terjadi pada 30%pasien atrial fibrilasi (PERKI, 2019). Gagal jantung sendiri adalah sindrom klinis yang ditandai dengan gejala khasyang mungkin disertai dengan tanda-tanda yang disebabkan oleh kelainan struktural dan/ atau fungsional jantung sehingga menghasilkan penurunan curah jantung dan/ ataupeningkatan tekanan intrakardiak. Seseorang yang menderita gagal jantung selamabeberapa waktu dikatakan memiliki gagal jantung kronis. Gagal jantung yang dirawatdengan gejala dan tanda-tanda yang tetap secara umum tidak



berubah selama setidaknya1 bulan dikatakan 'stabil'. Jika gagal jantung kronis yang stabil memburuk, dapatdikatakan sebagai 'dekompensasi' dan ini dapat terjadi secara tiba-tiba atau lambat (Ponikowski et al., 2016). Banyak tipe atau klasifikasi atrial fibrilasi yang umum dibahas. Beberapa hal diantaranya berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi, berdasarkan ada tidaknya penyakit lain yang mendasari, dan terakhir berdasarkan bentuk gelombang P. Beberapa kepustakaan tertulis ada beberapa sistem klasifikasi atrial fibrilasi yang telah dikemukakan, seperti: 1. Berdasarkan laju respon ventrikel, atrial fibrilasi dibagi menjadi : a. Atrial fibrilasi respon cepat (rapid response) dimana laju ventrikel lebih dari 100 kali permenit. b. Atrial fibrilasi respon lambat (slow response) dimana laju ventrikel lebih kurang dari 60 kali permenit. c. Atrial fibrilasi respon normal (normo response) dimana laju ventrikel antara 60-100 kali permenit. 2. Berdasarkan keadaan Hemodinamik saat AF muncul, maka dapat diklasifikasikan menjadi : a. Atrial fibrilasi dengan hemodinamik tidak stabil (gagal jantung, angina atau infark miokard akut). b. Atrial fibrilasi dengan hemodinamik stabil. 3. Klasifikasi menurut AmericanHeartAssociation(AHA), atrialfibriasi (AF) dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu : a. Atrial fibrilasi deteksi pertama yaitu tahap dimana belum pernah terdeteksi atrial fibrilasi sebelumnya dan baru pertama kali terdeteksi. b. Atrial fibrilasi paroksimal bila atrial fibrilasi berlangsung kurang dari 7 hari. Lebih kurang 50% atrial fibrilasi paroksimal akan kembali ke irama sinus secara spontan dalam waktu 24 jam. Atrium fibrilasi yang episode pertamanya kurang dari 48 jam juga disebut atrium fibrilasi Paroksimal.



c. Atrial fibrilasi persisten bila atrial fibrilasi menetap lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 7 hari. Pada AF persisten diperlukan kardioversi untuk mengembalikan ke irama sinus. d. Atrial fibrilasi kronik atau permanen bila atrial fibrilasi berlangsung lebih dari 7 hari. Biasanya dengan kardioversi pun sulit untuk mengembalikan ke irama sinus (resisten) (PERKI, 2019). 1.2 Etiologi 1. Penyebab penyakit kardiovaskuler: a. Penyakit jantung iskemik b. Hipertensi kronis c. Kelainan katup mitral (stenosis mitral) d. Perikarditis e. Kardiomiopati, gagal jantung,sindrome WPW, dan LVH f. Tumor intracardiac 2.Penyebab non kardiovaskuler: a. Kelainan metabolik : Tiroksikosis , Alkohol akut/kronis b. Penyakit pada paru : Emboli paru, Pneumonia, PPOM, Kor pulmonal c. Gangguan elektrolit : Hipokalemia, Magnesium, dan Calsium d. Simpatomimetik obat-obatan dan listrik 1.3 Manifestasi Klinis 1. Palpitasi (perasaan yang kuat dari detak jantung yang cepat atau “berdebar” dalam dada). 2. Perasaan tidak nyaman di dada (nyeri dada). 3. Sesak napas/dispnea. 4. Pusing, atau sinkop (pingsan mendadak) yang dapat terjadi akibat peningkatan laju ventrikel atau tidak adanya pengisian sistolik ventrikel 5. Kelelahan, kelemahan/kesulitan berolahraga/beraktifitas. Namun, beberapa kasus atrial fibrilasi bersifat asimptomatik (National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006). Trombus dapat terbentuk dalam rongga atrium kiri atau bagian lainnya karena tidak adanya kontraksi atrium yang mengakibatkan stasis darah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya



emboli pada sirkulasi sistemik terutama otak dan ekstremitas sehingga atrial fibrilasi menjadi salah satu penyebab terjadinya serangan stroke (Philip and Jeremy, 2007). 1.4 Patofisiologi Adanya regangan akut dinding atrium dan fokus ektopik di lapisan dinding atrium diantara vena pulmonalis atau vena cavajunctions merupakan pencetus atrial fibrilasi. Daerah ini dalam keadaan normal memiliki aktifitas listrik yang sinkron, namun pada regangan akut dan aktifitas impuls yang cepat, dapat menyebabkan timbulnya after-depolarisation lambat dan aktifitas triggered. Triggered yang dijalarkan kedalam miokard atrium akan menyebabkan inisiasi lingkaran-lingkaran gelombang reentry yang pendek (wavelets of reentry) dan multiple. Lingkaran reentry yang terjadi pada AF tedapat pada banyak tempat (multiple) dan berukuran mikro, sehingga menghasilkan gelombang P yang banyak dalam berbagai ukuran dengan amplitudo yang rendah (microreentrant tachycardias).Berbeda halnya dengan flutter atrium yang merupakan suatu lingkaran reentry yang makro dan tunggal di dalam atrium (macroreentrant tachycardias) (PERKI, 2019). Atrial fibrilasi dimulai dengan adanya aktifitas listrik cepat yang berasal dari lapisan muskular dari vena pulmonalis. Aritmia ini akan berlangsung terus dengan adanya lingkaran sirkuit reentry yang multipel. Penurunan masa refrakter dan terhambatnya konduksi akan memfasilitasi terjadinya reentry (Setiati,2014). Setelah AF timbul secara kontinu, maka akan terjadi remodeling listrik (electrical remodeling) yang selanjutnya akan membuat AF permanen. Perubahan ini pada awalnya reversibel, namun akan menjadi permanen seiring terjadinya perubahan struktur, bila AF berlangsung lama. Atrium tidak adekuat memompa darah selama AF berlangsung. Walaupun demikian, darah akan mengalir secara pasif melalui atrium ke dalam ventrikel, dan efisiensi pompa ventrikel akan menurun hanya sebanyak 20 – 30 %. Oleh karena itu, dibanding dengan sifat yang mematikan dari fibrilasi ventrikel, orang dapat hidup selama beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan fibrilasi atrium, walaupun timbul penurunan efisiensi dari seluruh daya pompa jantung. Atrial fibrilasi (AF) biasanya menyebabkan ventrikel berkontraksi lebih cepat dari



biasanya. Ketika ini terjadi, ventrikel tidak memiliki cukup waktu untuk mengisi sepenuhnya dengan darah untuk memompa ke paru-paru dan tubuh. Terjadi penurunan atrial flow velocities yang menyebabkan statis pada atrium kiri dan memudahkan terbentuknya trombus. trombus ini meningkatkan resiko terjadinya stroke emboli dan gangguan hemostasis. Kelainan tersebut mungkin akibat dari statis atrial tetapi mungkin juga sebagai faktor terjadinya tromboemboli pada AF. Kelainan-kelainan tersebut adalah peningkatan faktor von Willebrand (faktor VII), fibrinogen, D- dimer, dan fragmen protrombin 1,2. AF akan meningkatkan agregasi trombosit, koagulasi dan hal ini dipengaruhi oleh lamanya atrial fibrilasi (PERKI, 2019). 1.5 Pathway/WOC 1.6 Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Fisik : a. Tanda vital :Denyut nadi berupa kecepatan dengan regularitasnya, tekanan darah, dan pernapasan meningkat. b. Tekanan vena jugularis. c. Ronkhi pada paru menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif. d. Irama



gallop



S3



pada



auskultasi



jantung



menunjukkan



kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif, terdapat bising pada auskultasi kemungkinan adanya penyakit katup jantung. e. Hepatomegali : kemungkinan terdapat gagal jantung kanan. f. Edema perifer : kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif. 2. Laboratorium : a. Darah rutin : Hb, Ht, Trombosit. b. TSH (Penyakit gondok) c. Enzim jantung bila dicurigai terdapat iskemia jantung. d. Elektrolit : K, Na, Ca, Mg. e. PT/APTT. 3.



Pemeriksaan EKG Merupakan standar baku cara diagnostik atrial fibrilasi a. Irama EKG umumnya tidak teratur dengan frekuensi bervariasi (bisa normal/lambat/cepat). Jika kurang dari 60x/menit disebut



atrial fibrilasi slow ventricular respons (SVR), 60-100x/menit disebut atrial fibrilasi normo ventricular respon (NVR) sedangkan jika >100x/menit disebut atrial fibrilasi rapid ventricular respon (RVR). b. Gelombang P tidak ada atau jikapun ada menunjukkan depolarisasi cepat dan kecil sehingga bentuknya tidak dapat didefinisikan. c. Interval segmen PR tidak dapat diukur. d. Kecepatan QRS biasanya normal atau cepat 4. Foto Rontgen Toraks : Gambaran emboli paru, pneumonia, PPOM, kor pulmonal. 5. Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup, ukuran dari atrium dan ventrikel, hipertrofi ventrikel kiri, fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow. 6. TEE (Trans Esophago Echocardiography) untuk melihat trombus di atrium kiri (Setiati, 2014). 1.7 Diagnosa Banding a. Atrial flutter 1.8 Komplikasi 1. Cardiac arrest / gagal jantung 2. Stroke 3. Demensia 1.9 Penatalakasaan AF paroksimal yang singkat, tujuan strategi pengobatan adalah dipusatkan pada kontrol aritmianya (rhytm control).Namun pada pasien dengan AF yang persisten,



terkadang



kita



dihadapkan



pada



dilema



apakah



mencoba



mengembalikan ke irama sinus (rhytm control) atau hanya mengendalikan laju denyut ventrikular (rate control) saja.Terdapat 3 kategori tujuan perawatan AF yaitu : 1. Terapi profilaksis untuk mencegah tromboemboli 2. Mengembalikan kerja ventrikuler dalam rentang normal 3. Memperbaiki irama yang tidak teratur.



Berikut penatalaksanaan AF berdasarkan Standar Pelayanan Medik (SPM) RS Harapan Kita Edisi III 2009, yaitu: 1. Farmakologi a. Rhythm control. Tujuannya adalah untuk mengembalikan ke irama sinus / irama jantung yang normal.Diberikan anti-aritmia gol. I (quinidine, disopiramide dan propafenon). Untuk gol.III dapat diberikan amiodaron. Dapat juga dikombinasi dengan kardioversi dengan DC shock. b. Rate control.Rate control bertujuan untuk mengembalikan / menurunkan frekwensi denyut jatung dapat diberikan obat-obat yang bekerja pada AV node seperti :digitalis, verapamil, dan obat penyekat beta (β bloker) seperti propanolol. Amiodaron juga dapat dipakai untuk rate control. c. Profilaksis



tromboemboli.Tanpa



melihat



pola



dan



strategi



pengobatan AF yang digunakan, pasien harus mendapatkan antikoagulan untuk mencegah terjadinya tromboemboli.Pasien yang mempunyai kontraindikasi terhadapwarfarin dapat di berikan antipletelet. 2. Non-farmakologi a. Kardioversi. Kardioversi eksternal dengan DC shock dapat dilakukan pada setiap AF paroksismal dan AF persisten. Untuk AF sekunder, seyogyanya penyakit yang mendasari dikoreksi terlebih dahulu. Bilamana AF terjadi lebih dari 48 jam, maka harus diberikan antikoagulan selama 4 minggu sebelum kardioversi dan selama 3 minggu setelah kardioversi untuk mencegah terjadinya stroke akibat emboli. Konversi dapat dilakukan tanpa pemberian antikoagulan, bila sebelumnya sudah dipastikan tidak terdapat trombus dengan transesofageal ekhokardiografi. b. Pemasangan



pacu



jantung



(pacemaker).



Beberapa



tahun



belakangan ini beberapa pabrik pacu jantung (pacemaker) membuat alat pacu jantung yang khusus dibuat untuk AF paroksismal.Penelitian menunjukkan bahwa pacu jantung kamar



ganda (dual chamber), terbukti dapat mencegah masalah AF dibandingkan pemasangan pacu jantung kamar tunggal (single chamber). c. Ablasi kateter. Ablasi saat ini dapat dilakukan secara bedah (MAZE procedure) dan transkateter.Ablasi transkateter difokuskan pada vena-vena pulmonalis sebagai trigger terjadinya AF. Ablasi nodus AV dilakukan pada penderita AF permanen, sekaligus pemasangan pacu jantung permanen. 1.10 Konsep Keperawatan 1.1.1 Pengkajian a. Aktivitas / istirahat Keluhan



kelemahan



fisik



secara



umum



dan



keletihan



berlebihan.Temuan fisik berupa disritmia, perubahan tekanan darah dan denyut jantung saa aktivitas b. Sirkulasi Melaporkan adanya riwayat penyakit jantung koroner (90 -95 % mengalami disritmia), penyakit katup jantung, hipertensi, kardiomiopati, dan CHF. Riwayat insersi pacemaker. Nadi cepat/lambat/tidak teratur, palpitasi. Temuan fisik meliputi hipotensi atau hipertensi selama episode disritmia. Nadi ireguler atau denyut berkurang. Auskultasi jantung ditemukan adanya irama ireguler, suara ekstrasisitole. Kulit mengalami diaforesis, pucat, sianosis. Edema dependen, distensi vena jugularis, penurunan urine output. c. Neurosensor Keluhan pening hilang timbul, sakit kepala,pingsan. Temuan fisik : status mental disorientasi,confusion,kehilangan memori, perubahan pola bicara,stupor dan koma. Letargi (mengantuk), gelisah, halusinasi; reaksi pupil berubah.Reflek tendon dalam hilang menggambarkan disritmia yang mengancam jiwa (ventrikuler tachicardi atau bradikardia berat). d. Kenyamanan Keluhan nyeri dada sedang dan berat (infark miokard) tidak hilang dengan pemberian obat anti angina. Temuan fisik gelisah.



e. Respirasi Keluhan sesak nafas, batuk (dengan atau tanpa sputum), riwayat penyakit paru,riwayat merokok.Temuan fisik perubahan pola nafas selam periode disritmia. Suara nafas krekels mengindikasikan oedem paru atau fenomena thromboemboli paru. f. Cairan dan Nutrisi Keluhan berupa intoleransi terhadap makanan, mual, muntah. Temuan fisik berupa tidak nafsu makan,perubahan turgor atau kelembapan kulit. Perubahan berat badan akibat odema. g. Apakah ada riwayat pengguna alkohol. h. Keamanan : Temuan fisik berupa hilangnya tonus otot. i. Psikologis : Merasa cemas, takut, menarik diri, marah, menangis, dan mudah tersinggung. 1.1.2 Diagnosa Keperawatan 1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan irama jantung yang ditandai oleh bradikardia/takikardia dan gambaran EKG aritmia atau gangguan konduksi (D.0008). 2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan yang ditandai oleh frekuensi jantung meningkat > 20% dari kondisi istirahat, gambaran EKG menunjukkan aritmia saat/setelah beraktvitas dan merasa lelah (D.0056). 3. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan peningkatan tekanan darah yang ditandai oleh warna kulit pucat, warna kulit menurun dan akral teraba dingin (D.0009). 4. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis yang ditandai oleh frekuensi nadi meningkat dan tekanan darah meningkat (D.0077). 5. Resiko syok berhubungan dengan hipoksia yang ditandai oleh sesak nafas, lemas (D.0039) 6. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas yang ditandai oleh penggunaan otot bantu nafas, pola nafas abnormal (D.0005). 7. Risiko konfusi akut berhubungan dengan gangguan fungsi metabolik yang ditandai oleh pasien mengalami penurunan kesadaran (D.0068)



8. keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis yang di tandai oleh mengeluh lelah, merasa kurang tenaga dan tidak mampu mempertahankan aktifitas rutin (D. 0057). 1.1.3 Perencanaan 1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan irama jantung yang ditandai oleh bradikardia/takikardia dan gambaran EKG aritmia atau gangguan konduksi (D.0008). STANDART LUARAN KEPERAWATAN INDONESIA (SLKI) Setelah diberikan asuhan



Perawatan jantung (1.02075)



keperawatan selama 3 jam, curah



Observasi :



jantung (L.02008) meningkat



STANDART INTERVENSI KEPERAWATAN INDONESIA (SIKI)



a. Identifikasi tanda dan gejala primer



dengan kriteria hasil: No. 1. 2. 3 4.



SLKI



Kekuatan nadi perifer Takikardia Gambaran EKG aritmia Pucat/sianosis



Keterangan : Indikator No. 1 1 : Meningkat 2 : Cukup meningkat 3 : Sedang 4 : Cukup menurun 5 : Menurun



penurunan SA ST



curah



(meliputi



dispnea, kelelahan, edema, ortopnea,



2



5



paroxymal



2



5



peningkatan CVP



2



5



nocturnal



dyspnea,



b. Identifikasi tanda dan gejala sekunder penurunan



2



jantung



5



curah



jantung



(meliputi



peningkatan berat badan, hepatomegali, distensi vena jugularis, palpitasi, ronki basah, oliguria, batuk, kulit pucat). c. Monitor tekanan darah d. Monitor saturasi oksigen e. Monitor aritmia (kelainan iramma dan frekuensi



Indikator no. 2 1 : Menurun 2 : Cukup menurun 3 : sedang 4 : Cukup meningkat 5 : Meningkat



Terapeutik : a.



Posisikan semi fowler atau fowler dengan kaki ke bawah atau posisi nyaman



b.



Berikan diet jantung yang sesuai (mis. Batasi asupan kafein, natrium,



kolesterol, dan makanan tinggi lemak). c.



Berikan



oksigen



untuk



mempertahankan saturasi oksigen > 94%. d.



Berikan



terapi



relaksasi



untuk



mengurangi stres Edukasi : a. Ajarkan beraktivitas fisik



sesuai



toleransi Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake dan output cairan harian Kolaborasi : a.



Kolaborasi pemberian aritmia



2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan yang ditandai oleh frekuensi jantung meningkat > 20% dari kondisi istirahat, gambaran EKG menunjukkan aritmia saat/setelah beraktvitas dan merasa lelah (D.0056). STANDART LUARAN STANDART INTERVENSI KEPERAWATAN INDONESIA KEPERAWATAN INDONESIA (SIKI) (SLKI) Setelah diberikan asuhan Manajemen energi (1.05178) keperawatan toleransi



selama



aktivitas



2



jam, Observasi :



(L.05047)



meningkat.



yang mengakibatkan kelelahan



dengan kriteria hasil: No. 1. 2. 3 4.



a. Identifikasi gangguan fungsi tubuh



NOC



Frekuensi nadi Keluhan lelah Dispnea saat beraktivitas Dispnea setelah beraktivitas



b. Monitor kelelahan fisik SA ST 2 5 2 5 2



5



2



5



c. Monitor pola dan jam tidur Terapeutik : a. Berikan



aktivitas



distraksi



menenangkan b. Latihan rentan gerak pasif/aktif Edukasi :



yang



a. Anjurkan tirah baring Keterangan : Indikator no.1 1 : Meningkat 2 : Cukup meningkat 3 : Sedang 4 : Cukup menurun 5 : Menurun



b. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan . Kolaborasi : d.



Indikator no. 2 1 : Menurun 2 : Cukup menurun 3 : sedang 4 : Cukup meningkat 5 : Meningkat



Kolaborasi dengan tim medis terkait pengobatan



3. perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan peningkatan tekanan darah yang ditandai oleh warna kulit pucat, warna kulit menurun dan akral teraba dingin (D.0009). STANDART LUARAN STANDART INTERVENSI KEPERAWATAN KEPERAWATAN INDONESIA (SIKI) INDONESIA (SLKI) Setelah diberikan asuhan Perawatan sirkulasi (1.02079) keperawatan selama 2 jam, perfusi



Observasi :



perifer (L.02011) meningkat



a. Periksa sirkulasi perifer



dengan kriteria hasil:



b. Monitor panas, kemerahan, nyeri,



No.



1. 2. 3 4.



NOC



Denyut nadi perifer Warna kulit pucat Akral Turgor kulit



Keterangan : Indikator no.1 1 : Meningkat 2 : Cukup meningkat 3 : Sedang



SA ST 2



5



2



5



2



5



2



5



atau bengkak pada ekstremitas Terapeutik : a. Hindari



pemasangan



pengambilan



darah



infus



atau



di



area



keterbatasan perfusi b. Lakukan pencegahan infeksi Edukasi : a. Anjurkan



program



rehabilitasi



vaskular b. Ajarkan



program



diet



untuk



4 : Cukup menurun 5 : Menurun



memperbaiki sirkulasi (mis. Rendah lemak jenuh, minyak ikan omega 3) c. Informasikan tanda dan gejala darurat



Indikator no. 2 1 : Menurun 2 : Cukup menurun 3 : sedang 4 : Cukup meningkat 5 : Meningkat



yang harus dilaporkan (mis. Rasa sakit yang tidak hilang saat istirahat, luka tidak sembuh, hilangnya rasa). Kolaborasi : a. Kolaborasi terkait pengobatan



Indikator no. 3 1 : Memburuk 2 : cukup memburuk 3 : sedang 4 : Cukup membaik 5 : membaik



4. Resiko syok berhubungan dengan hipoksia yang ditandai oleh sesak nafas, lemas (D.0039) STANDART LUARAN KEPERAWATAN INDONESIA (SLKI) Setelah diberikan asuhan keperawatan



selama



2



STANDART INTERVENSI KEPERAWATAN INDONESIA (SIKI) Pencegahan syok (1.02068)



jam, Observasi ;



tingkat syok (L.03032) menurun



a. Monitor status kardiopulmonal



dengan kriteria hasil:



b. Monitor status oksigenasi



No.



1. 2. 3 4. 5.



NOC



Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolik Tekanan nadi Frekuensi nafas Akral dingin



SA ST



c. Monitor status cairan



2



5



2



5



2



5



>94%



2



5



b. Persiapkan



3



5



mekanis



Terapeutik : a. Berikan



oksigen



mempertahankan



saturasi



intubasi



untuk oksigen



dan



ventilasi



memperbanyak



asupan



c. Pasang jalur IV Keterangan : Indikator 1 : Meningkat 2 : Cukup meningkat



Edukasi : a. Anjurkan cairan oral



3 : Sedang 4 : Cukup menurun 5 : Menurun



Kolaborasi : a. Kolaborasi pemberian IV b. Kolaborasi pemberian transfusi darah



5. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas yang ditandai oleh penggunaan otot bantu nafas, pola nafas abnormal (D.0005). STANDART LUARAN KEPERAWATAN INDONESIA (SLKI) Setelah diberikan asuhan



Manajemen jalan napas (1.01011)



keperawatan selama 2 jam, pola



Observasi ;



nafas (L.01004) membaik



a. Monitor



dengan kriteria hasil: No.



NOC



1. 2.



dispnea Penggunaan otot bantu nafas Frekuensi nafas



3.



Keterangan : Indikator 1 1 : Meningkat 2 : Cukup meningkat 3 : Sedang 4 : Cukup menurun 5 : Menurun Indikator 2 1 : memburuk 2 : cukup memburuk 3 : sedang 4 : cukup membaik 5 : membaik



STANDART INTERVENSI KEPERAWATAN INDONESIA (SIKI)



pola



nafas (frekuensi,



kedalaman, usaha napas) SA ST 2 5 2



5



b. Monitor bunyi napas tambahan Terapeutik : a. Posisikan semi fowler b. Berikan oksigen, jika perlu



2



5



c. Anjurkan napas dalam Edukasi : a. Anjurkan 2000ml/hari,



asupan



cairan



jika



tidak



kontraindikasi Kolaborasi : a. Kolaborasi terkait pemberian obat



6. keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis yang di tandai oleh mengeluh lelah, merasa kurang tenaga dan tidak mampu mempertahankan aktifitas rutin (D. 0057). STANDART LUARAN STANDART INTERVENSI KEPERAWATAN KEPERAWATAN INDONESIA (SIKI) INDONESIA (SLKI) Setelah diberikan asuhan Manajemen energi (1.05178) keperawatan tingkat



selama



keletihan



2



jam, Observasi :



(L.05046)



membaik



kelelahan



fisik



dan



emosional



dengan kriteria hasil: No.



NOC



1. 2.



Tenaga Kemampuan melakukan aktivitas rutin Frekuensi nafas



3.



a. Monitor



Keterangan : Indikator 1 1 : Meningkat 2 : Cukup meningkat 3 : Sedang 4 : Cukup menurun 5 : Menurun Indikator 2 1 : memburuk 2 : cukup memburuk 3 : sedang 4 : cukup membaik 5 : membaik



b. Monitor SA ST 2 5 2



5



lokasi



dan



ketidaknyamanan



selama



melakukan aktivitas Terapeutik : a. Lakukan latihan rentang gerak



2



5



pasif/aktif b. Berikan aktifitas distraksi yang menenangkan Edukasi : a. Anjurkan



melakukan



aktivitas



secara bertahap b. Ajarkan



strategi



koping



untuk



mengurangi kelelahan Kolaborasi : a. Kolaborasi terkait pemberian obat



7. Risiko konfusi akut berhubungan dengan gangguan fungsi metabolik yang ditandai oleh pasien mengalami penurunan kesadaran (D.0068) STANDART LUARAN STANDART INTERVENSI KEPERAWATAN KEPERAWATAN INDONESIA (SIKI) INDONESIA (SLKI) Setelah diberikan asuhan Manajemen demensia (1.09286) keperawatan tingkat



selama



konfusi



2



jam, Observasi :



(L.06054)



menurun



psikologis, dan kebiasaan



dengan kriteria hasil: No.



1. 2.



a. Identifikasi riwayat fisik, sosial,



NOC



Tingkat kesadaran Respon terhadap stimulus



Keterangan : Indikator 1 1 : Meningkat 2 : Cukup meningkat 3 : Sedang 4 : Cukup menurun 5 : Menurun Indikator 2 1 : memburuk 2 : cukup memburuk 3 : sedang 4 : cukup membaik 5 : membaik



b. Identifikasi pola aktivitas SA ST 2



5



Terapeutik : a. Sediakan



lingkungan



aman,



nyaman, konsisten, dan rendah 2



5



stimulus b. Gunakan distraksi untuk mengatasi masalah perilaku c. Libatkan kegiatan individu atau kelompok



sesuai



kemampuan



kognitif dan minat Edukasi : a. Anjurkan memprbanyak istirahat c. Ajarkan keluarga cara perawatan demensia Kolaborasi : a. Kolaborasi terkait pemberian obat



8. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis yang ditandai oleh tampak meringis, frekuensi nadi meningkat, pola nafas berubah (D.0077). STANDART LUARAN STANDART INTERVENSI KEPERAWATAN INDONESIA KEPERAWATAN INDONESIA (SIKI) (SLKI) Setelah diberikan asuhan Manajemen Nyeri (1.08238) keperawatan selama 2 jam, tingkat Observasi : nyeri (L.08066) membaik



f. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,



dengan kriteria hasil: No. 1. 2. 3 4.



NOC



Keluhan nyeri Meringis Gelisah Frekuensi nadi



frekuensi, kualitas, intensitas nyeri SA ST 2 5 2 5 3



5



3



5



g. Identifikasi respon nyeri non verbal Terapeutik : e.



mengurangi rasa nyeri f.



Keterangan : Indikator 1 : Meningkat 2 : Cukup meningkat 3 : Sedang 4 : Cukup menurun 5 : Menurun



Berikan tehnik non farmakologis untuk Fasilitas istirahat dan tidur



Edukasi : d.



Jelaskan



penyebab,



periode,



dan



pemicu nyeri e.



Ajarkan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri



Kolaborasi : b.



Kolaborasi pemberian analgesik



DAFTAR PUSTAKA Dharma, Surya. 2012. Pedoman Praktis Sistematika Interpretasi EKG. Jakarta : EGC PERKI. 2014. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. PERKI. 2019. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium Nonvalvuvar, Edisi 2.Jakarta: PT. Trans Medical International Ponikowski. 2016. ESC Guidelines for the Diagnosis and Treathment of Acute and Cronic Heart Failure: The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure of the European Society of Cardiology (ESC). Developed with the Spesial Contribution ot the Heart Failure Association (HFA) of the ESC. Eur J Heart Fail. 18: 891975. Setiati, Siti. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Internal Publishing