10 0 218 KB
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN BATU URETER
Oleh:
OLEH : NI PUTU SONIYA DARMAYANTI NIM. P07120319018 PROFESI NERS
KEMENTERIAN KESEHATAN RI POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR JURUSAN KEPERAWATAN TAHUN AJARAN 2019
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN BATU URETER I.
KONSEP DASAR BATU URETER
A.
Pengertian Ureter adalah suatu saluran muskuler berbentuk silinder yang menghantarkan urin dari ginjal menuju kandung kemih. Panjang ureter adalah sekitar 20-30 cm dengan diameter maksimum sekitar 1,7 cm di dekat kandung kemih dan berjalan dari hilus ginjal menuju kandung kemih (Fillingham dan Douglass, 2000). Ureter dibagi menjadi pars abdominalis, pelvis,dan intravesikalis (Brunner dan Suddarth, 2003). Batu saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi (Sja’bani, 2006). Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis. Batu saluran kemih (urolithiasis), sudah dikenal sejak zaman Babilonia dan Mesir kuno dengan diketemukannya batu pada kandung kemih mummi (Muslim, 2007). Batu saluran kemih dapat diketemukan sepanjang saluran kemih mulai dari sistem kaliks ginjal, pielum, ureter, buli-buli dan ureter. Batu ini mungkin terbentuk di di ginjal kemudian turun ke saluran kemih bagian bawah atau memang terbentuk di saluran kemih bagian bawah karena adanya stasis urine seperti pada batu buli-buli karena hiperplasia prostat atau batu uretra yang terbentu di dalam divertikel uretra. Batu ginjal adalah batu yang terbentuk di tubuli ginjal kemudian berada di kaliks, infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal dan merupakan batu saluran kemih yang paling sering terjadi (Brunner dan Suddarth,2003).
B.
Etiologi Batu Ureter Penyebab terbentuknya batu saluran kemih bisa terjadi karena air kemih jenuh dengan garam-garam yang dapat membentuk batu atau karena air kemih kekurangan penghambat pembentuka batu yang normal (Sja’bani, 2006). Sekitar 80% batu terdiri dari kalsium, sisanya mengandung berbagai bahan, termasuk asam urat, sistin dan mineral struvit (Sja’bani, 2006). Batu struvit (campuran dari magnesium, amonium dan fosfat) juga disebut batu infeksi karena batu ini hanya terbentuk di dalam air kemih yang terinfeksi (Muslim, 2007). Ukuran batu bervariasi, mulai dari yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang sampai yang sebesar 2,5 sentimeter atau lebih. Batuyang besar disebut kalkulus staghorn. Batu ini bisa mengisi hampir keseluruhan pelvis renalis dan kalises renalis. Brunner dan Sudarth (2003) dan Nurlina (2008) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan batu saluran kemih, yaitu: a. Faktor Endogen Faktor
genetik,
familial,
pada
hypersistinuria, hiperkalsiuria
dan hiperoksalouria. b. Faktor Eksogen Faktor lingkungan, pekerjaan, makanan, infeksi dan kejenuhan mineral dalam air minum. Muslim (2007) menyebutkan beberapa hal yang mempengaruhi pembentukan saluran kemih antara lain: a. Infeksi Infeksi Saluran Kencing (ISK) dapat menyebabkan nekrosis jaringan ginjal dan akan menjadi inti pembentuk batu saluran kemih. Infeksi bakteri akan memecah ureum dan membentuk amonium yang akan mengubah pH Urine menjadi alkali. b. Stasis dan Obstruksi Urine Adanya
obstruksi
dan
stasis urine pada
sistem perkemihan
akan mempermudah Infeksi Saluran Kencing (ISK). c. Jenis Kelamin Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding wanita dengan perbandingan 3:1 d. Ras Batu saluran kemih lebih banyak ditemukan di Afrika dan Asia e. Keturunan
Orang dengan anggota keluarga yang memiliki penyakit batu saluran kemih memiliki resiko untuk menderita batu saluran kemih dibanding dengan yang tidak memiliki anggota keluarga dengan batu saluran kemih. f. Air Minum Faktor utama pemenuhan urine adalah hidrasi adekuat yang didapat dari minum air. Memperbanyak diuresis dengan cara banyak minum air akan mengurangi kemungkinan terbentuknya batu, sedangkan kurang minum menyebabkan kadar semua substansi dalam urine meningkat g. Pekerjaan Pekerja keras yang banyak bergerak mengurangi kemungkinan terbentuknya batu dari pada pekerja yang lebih banyak duduk. h. Suhu Tempat yang bersuhu panas menyebabkan banyak mengeluarkan panas sehingga pengeluaran cairan menjadi meningkat, apabila tidak didukung oleh hidrasi yang adekuat akan meningkatkan resiko batu saluran kemih. i. Makanan Jenis makanan tertentu berpengaruh pada pembentukan saluran kemih. Berikut adalah pengaruh dari setiap komponen makanan. 1. Protein
Kebutuhan protein untuk hidup normal per hari 600 mg/kg berat badan, bila berlebihan maka resiko pembentukan batu saluran kemih akan naik. Protein hewan akan menurunkan keasaman (pH) air. Akibatnya reabsorpsi kalsium dalam tubulus berkurang sehingga kadar kalsium air kemih naik. Keasaman (pH) air penting sekali karena batu kalsium oksalat yang merupakan jenis batu terbanyak terbentuk pada pH air kemih 5,2 (Menon, 2002 dan Trinchieri, 2003). Protein yang berasal dari tumbuh-tumbuhan tidak menurunkan pH dan menaikkan kalsium air kemih (Menon, 2002 dan Parivar, 1996). Berdasarkan hal tersebut maka mengkonsumsi protein hewani berlebihan tidak baik karena memudahkan timbul batu saluran kemih. 2. Lemak
Konsumsi lemak berlebihan akan menaikkan kadar oksalat air kemih, sehingga memudahkan timbulnya batu kalsium oksalat ginjal. Lemak mengikat kalsium bebas di lumen usus dan mengandung asam arakidonat. Hal
ini
menyebabkan
penyerapan
oksalat
meningkat
sehingga
menimbulkan kenaikan kadar oksalat air kemih. Selain itu konsumsi lemak berlebihan dapat menaikkan adar kolesterol yang juga dapat menimbulkan batu saluran kemih (Rose,1997) . 3. Buah
Sebagian besar buah merupakan alkali ash food yang penting untuk mencegah timbulnya batu saluran kemih. Banyak jenis buah yang mengandung sitrat terutaman golongan jeruk yang penting sekali untuk mencegah timbulnya batu saluran kemih karena sitrat merupakan inhibitor yang paling kuat. Pada penelitian jeruk nipis lebih banyak kandungan sitratnya dibandingkan dengan jeruk lemon. Oleh karena itu, konsumsi buah akan memperkecil kemungkinan terjadinya batu saluran kemih (Iguchi, 1990). 4. Makanan suplemen
Makanan suplemen baik yang berbentuk padat maupun cair dapat berpengaruh pada pembentukan batu saluran kemih. Suplemen yang mengandung vitamin C dosis tinggi bila dikonsumsi jangka lama dapat berbahaya sebab vitamin C akan diubah dalam tubuh menjadi oksalat (Sja’bani, karena
2006).
Kenaikan
kadar
oksalat
berbahaya
akan meningkatkan batu kalsium oksalat. Suplemen yang
mengandung kalsium dosis tinggi yang disebutkan dapat mencegah osteoporosis dapat berbahaya karena menimbulkan batu kalsium jika dikonsumsi di luar waktu makan, dan tidak berbahaya bila dikonsumsi di waktu sebelum atau sesudah makan. 5. Junk Food
Istilah junk-food diberikan kepada kelompok makanan ayam goreng, burger, pizza yang menggunakan jenis dan cara masak tertentu. Kelompok makanan ini dipandang dari segi kesehatan bermutu rendah karena mengandung lemak dan protein hewan terlalu banyak dan serat atau sayuran yang terlalu sedikit. Konsumsi berlebihan lemak dan protein hewani serta kurangnya serat/sayuran dapat memicu terjadinya batu saluran kemih (Resnick, 1990).
C.
Patofisiologi Batu Ureter 1. Teori Intimatriks Sja’bani (2006) meyebutkan terbentuknya batu saluran kencing memerlukan adanya substansi organik sebagai inti. Substansi ini terdiri dari mukopolisakarida dan mukoprotein A yang mempermudah kristalisasi dan agregasi substansi pembentukan batu. 2. Teori Supersaturasi Sja’bani (2006) menyebutkan erjadi kejenuhan substansi pembentuk batu dalam urineseperti sistin, santin, asam urat,
kalsium oksalat akan mempermudah
terbentuknya batu. 3. Teori Presipitasi-Kristalisasi Sja’bani (2006) menyebutkan perubahan pH urine akan mempengaruhi solubilitas substansi dalam urine. Urine yang bersifat asam akan mengendap sistin, santin dan garam urat, urine alkali akan mengendap garam-garam fosfat. 4. Teori Berkurangnya Faktor Penghambat (Muslim, 2007)Berkurangnya faktor penghambat seperti peptid fosfat, pirofosfat, polifosfat, sitrat magnesium, asam mukopolisakarida
akan
mempermudah
terbentuknya batu saluran kemi D. E.
Pathway (terlampir) Manifestasi Klinis Batu Ureter Batu, terutama yang kecil, bisa tidak menimbulkan gejala. Batu di dalam kandung kemih bisa menyebabkan nyeri di perut bagian bawah. Batu yang menyumbat ureter, pelvis renalis maupun tubulus renalis bisa menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis (nyeri kolik yang hebat). Kolik renalis ditandai dengan nyeri hebat yang hilang-timbul, biasanya di daerah antara tulang rusuk dan tulang pinggang, yang menjalar ke perut, daerah kemaluan dan paha sebelah dalam (Brunner dan Suddarth, 2003). Gejala lainnya adalah mual dan muntah, perut menggelembung, demam, menggigil dan darah di dalam air kemih. Penderita mungkin menjadi sering berkemih, terutama ketika batu melewati ureter. Batu bisa menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika batu menyumbat aliran kemih, bakteri akan terperangkap di dalam air kemih yang terkumpul diatas penyumbatan, sehingga terjadilah infeksi. Jika penyumbatan ini berlangsung lama, air kemih akan mengalir balik ke saluran di dalam ginjal, menyebabkan penekanan yang akan menggelembungkan ginjal (hidronefrosis) dan pada akhirnya bisa terjadi kerusakan ginjal.
Menurut Fillingham dan Douglass (2000), ketika batu menghambat dari saluran urin, terjadi obstruksi, meningkatkan tekanan hidrostatik. Bila nyeri mendadak terjadi akut disertai nyeri tekan disaluran osteovertebral dan muncul mual muntah maka klien sedang mengalami episode kolik renal. Diare, demam dan perasaan tidak nyaman di abdominal dapat terjadi. Gejala gastrointestinal ini akibat refleks dan proxsimitas anatomik ginjal kelambung, pangkereas dan usus besar. Batu yang terjebak dikandung kemih menyebabkan gelombang nyeri luar biasa, akut dan kolik yang menyebar kepala obdomen dan genitalia. Klien sering merasa ingin kemih, namun hanya sedikit urin yang keluar, dan biasanya mengandung darah akibat aksi abrasi batu gejala ini disebabkan kolik ureter. Pada laki-laki nyeri khas terasa menyebar di sekitar testis, sedangkan pada wanita nyeri terasa menyebar di bawah kandung kemih (Ganong (1992) dan Brunner
dan Sudarth (2003)).
Umumnya klien akan mengeluarkan batu yang berdiameter 0,5 sampai dengan 1 cm secara spontan. Batu yang berdiameter lebih dari 1 cm biasanya harus diangkat atau dihancurkan sehingga dapat dikeluarkan secara spontan dan saluran urin membaik F.
danlancar. Pemeriksaan Diagnostik Batu Ureter Adapun pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien batu saluran kemih adalah (American Urological Association, 2005) : 1. Urinalisa Warna kuning, coklat atau gelap. : warna : normal kekuning-kuningan, abnormal merah menunjukkan hematuri (kemungkinan obstruksi urine, kalkulus renalis, tumor,kegagalan ginjal). pH : normal 4,6 – 6,8 (rata-rata 6,0), asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat), alkali (meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat), Urine 24 jam : Kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat, atau sistin mungkin meningkat), kultur urine menunjukkan Infeksi Saluran Kencing , BUN hasil normal 5 – 20 mg/dl tujuan untuk memperlihatkan kemampuan ginjal untuk mengekskresi sisa yang bemitrogen. BUN menjelaskan secara kasar perkiraan Glomerular Filtration Rate. BUN dapat dipengaruhi oleh diet tinggi protein, darah dalam saluran pencernaan status katabolik (cedera, infeksi). Kreatinin serum hasil normal laki-laki 0,85 sampai 15mg/dl perempuan 0,70 sampai 1,25 mg/dl tujuannya untuk memperlihatkan kemampuan ginjal untuk mengekskresi sisa yang bemitrogen. Abnormal (tinggi pada serum/rendah pada urine) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan iskemia/nekrosis. 2. Laboratorium
a. Darah lengkap : Hb, Ht, abnormal bila pasien dehidrasi berat atau
polisitemia. b. Hormon Paratyroid mungkin meningkat bila ada gagal ginjal (PTH
merangsang reabsorbsi kalsium dari tulang, meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urine. 3. Foto KUB (Kidney Ureter Bladder) Menunjukkan ukuran ginjal, ureter dan bladder serta menunjukan adanya batu di sekitar saluran kemih. 4. Endoskopi ginjal Menentukan pelvis ginjal, dan untuk mengeluarkan batu yang kecil. 5. USG Ginjal Untuk menentukan perubahan obstruksi dan lokasi batu 6. EKG (Elektrokardiografi) Menunjukan ketidak seimbangan cairan, asam basa dan elektrolit 7. Foto Rontgen Menunjukan adanya batu didalam
kandung
kemih
yang
abnormal,
menunjukkan adanya calculi atau perubahan anatomik pada area ginjal dan sepanjang ureter. 8. IVP (Intra Venous Pyelografi ) Menunjukan perlambatan pengosongan kandung kemih, membedakan derajat obstruksi kandung kemih divertikuli kandung kemih dan penebalan abnormal otot kandung kemih dan memberikan konfirmasi cepat urolithiasis seperti penyebab nyeri abdominal atau panggul. Menunjukkan abnormalitas pada struktur anatomik (distensi ureter). 9. Pielogram retrograde Menunjukan abnormalitas pelvis saluran ureter dan kandung kemih. Diagnosis ditegakan dengan studi ginjal, ureter, kandung kemih, urografi intravena atau pielografi retrograde. Uji kimia darah dengan urine dalam 24 jam untuk mengukur kalsium, asam urat, kreatinin, natrium, dan volume total merupakan upaya dari diagnostik. Riwayat diet dan medikasi serta adanya riwayat batu ginjal, ureter, dan kandung kemih dalam keluarga di dapatkan untuk mengidentifikasi faktor yang mencetuskan terbentuknya batu kandung kemih pada klien. G.
Penatalaksanaan medis Batu Uretra
Tujuan dasar penatalaksanaan adalah untuk menghilangkan batu, menentukan jenis batu, mencegah kerusakan
nefron, mengidentifikasi
infeksi,
serta
mengurangi obstruksi akibat batu (Sja’bani, 2006). Cara yang biasanya digunakan untuk mengatasi batu kandung kemih adalah terapi konservatif, medikamentosa, pemecahan batu, dan operasi terbuka. 1. Terapi konservatif Sebagian besar batu ureter mempunyai diameter kurang dari 5 mm. Batu ureter yang besarnya kurang dari 5 mm bisa keluar spontan (Fillingham dan Douglass, 2000). Untuk mengeluarkan batu kecil tersebut terdapat pilihan terapi konservatif berupa (American Urological Association, 2005): a. Minum sehingga diuresis 2 liter/ hari b. α – blocker c. NSAID Batas lama terapi konservatif adalah 6 minggu. Di samping ukuran batu syarat lain untuk terapi konservatif adalah berat ringannya keluhan pasien, ada tidaknya infeksi dan obstruksi. Adanya kolik berulang atau ISK menyebabkan konservatif bukan merupakan pilihan. Begitu juga dengan adanya obstruksi, apalagi pada pasien-pasien tertentu (misalnya ginjal tunggal, ginjal
trasplan
dan penurunan fungsi ginjal ) tidak ada toleransi terhadap obstruksi. Pasien seperti ini harus segera dilakukan intervensi (American Urological Association, 2005). 2. Extracorporal Shock Wave Lithotripsy ( ESWL ) ESWL banyak digunakan dalam penanganan batu saluran kemih. Badlani (2002) menyebutkan prinsip dari ESWL adalah memecah batu saluran kemih dengan menggunakan gelombang kejut yang dihasilkan oleh mesin dari luar tubuh. Gelombang kejut yang dihasilkan oleh mesin di luar tubuh dapat difokuskan ke arah batu dengan berbagai cara. Sesampainya di batu, gelombang kejut tadi akan melepas energinya. Diperlukan beberapa ribu kali gelombang kejut untuk memecah batu hingga menjadi pecahan-pecahan kecil, selanjutnya keluar bersama kencing tanpa menimbulkan sakit. Al-Ansari (2005) menyebutkan komplikasi ESWL untuk terapi batu ureter hampir tidak ada. Keterbatasan ESWL antara lain sulit memecah batu keras (misalnya kalsium oksalat monohidrat), perlu beberapa kali tindakan, dan sulit pada orang bertubuh gemuk. Penggunaan ESWL untuk terapi batu ureter distal
pada wanita dan anak-anak juga harus dipertimbangkan dengan serius karena ada kemungkinan terjadi kerusakan pada ovarium. 3. Ureterorenoskopic (URS) Pengembangan ureteroskopi sejak tahun 1980 an telah mengubah secara dramatis terapi batu ureter. Kombinasi ureteroskopi dengan pemecah batu ultrasound, EHL, laser dan pneumatik telah sukses dalam memecah batu ureter. Keterbatasan URS adalah tidak bisa untuk ekstraksi langsung batu ureter yang besar, sehingga diperlukan alat pemecah batu seperti yang disebutkan di atas. Pilihan untuk menggunakan jenis pemecah batu tertentu, tergantung pada pengalaman masing-masing operator dan ketersediaan alat tersebut. 4. Percutaneous Nefro Litotripsy (PCNL) PCNL yang berkembang sejak dekade 1980 secara teoritis dapat digunakan sebagai terapi semua batu ureter. Namun, URS dan ESWL menjadi pilihan pertama sebelum melakukan PCNL. Meskipun demikian untuk batu ureter proksimal yang besar dan melekat memiliki peluang untuk dipecahkan dengan PCNL (Al-Kohlany, 2005). Menurut Al-Kohlany (2005), prinsip dari PCNL adalah membuat akses ke kalik atau pielum secara perkutan. Kemudian melalui akses tersebut dimasukkan nefroskop rigid atau fleksibel, atau ureteroskop, untuk selanjutnya batu ureter diambil secara utuh atau dipecah. Keuntungan dari PCNL adalah apabila letak batu jelas terlihat, batu pasti dapat diambil atau dihancurkan dan fragmen dapat diambil semua karena ureter bisa dilihat dengan jelas. Proses PCNL berlangsung cepat dan dapat diketahui keberhasilannya dengan segera. Kelemahan PCNL adalah PCNL perlu keterampilan khusus bagi ahli urologi. 5. Operasi Terbuka Fillingham dan Douglass (2000) menyebutkan bahwa beberapa variasi operasi terbuka untuk batu ureter mungkin masih dilakukan. Hal tersebut tergantung pada anatomi dan posisi batu, ureterolitotomi bisa dilakukan lewat insisi pada flank, dorsal atau anterior. Saat ini operasi terbuka pada batu ureter kurang lebih tinggal 1 -2 persen saja, terutama pada penderita-penderita dengan kelainan anatomi atau ukuran batu ureter yang besar.
II. 1)
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PENGKAJIAN KEPERAWATAN a. Identitas Klien Kaji nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, pekerjaan, kebangsaan, suku, pendidikan, no register, diagnosa medis. b. Keluhan Utama Kaji keluhan pasien yang menyebabkan ia datang ke pelayanan kesehatan. c. Riwayat Penyakit 1) Riwayat Penyakit Sekarang. Menggambarkan keluhan utama klien, kaji tentang proses perjalanan penyakit sampai timbulnya keluhan, faktor apa saja yang memperberat dan meringankan. 2) Riwayat Penyakit Dahulu. Tanyakan masalah kesehatan yang lalu yang relavan baik yang berkaitan langsung dengan penyakit sekarang maupun yang tidak ada kaitannya. 3) Riwayat Penyakit Keluarga. Kaji apakah pada keluarga klien ada / tidak yang menderita osteoporosis, arthritis dan tuberkolosis atau penyakit lain yang sifatnya menurun dan menular. d. Pola Fungsi Kesehatan. 1) Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan Pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak. 2) Pola Nutrisi dan Metabolisme Kaji frekuensi/porsi makan, jenis makanan, tinggi badan, berat badan, serta nafsu makan. Pada umumnya tidak akan mengalami gangguan penurunan nafsu makan, meskipun menu berubah. 3) Pola Eliminasi Pengkajian gangguan pada pola eliminasi, perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak 4) Pola Tidur dan Istirahat Semua klien batu ureter timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien.Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur. 5) Pola Aktivitas dan Latihan Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh
orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain 6) Pola Hubungan Peran Pola hubungan dan peran akan mengalami gangguankarena keterbatasan dalam beraktivitas. 7) Pola Persepsi dan Konsep Diri Kaji adanya ketakutan akan tindakan operasi, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah . 8) Pola Sensori dan Kognitif 9) Pola Stres Adaptasi Dalam hal ini pola penanggulangan stress sangat tergantung pada sistem mekanisme klien itu sendiri misalnya pergi kerumah sakit untuk dilakukan perawatan. Kaji cara pasien untuk menangani stress yang dihadapi. 10) Pola reproduksi dan seksual Bila klien sudah berkeluarga dan mempunyai anak maka akan mengalami gangguan pola seksual dan reproduksi, jika klien belum berkeluarga klein tidak akan mengalami gangguan. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya 11) Pola tata nilai dan kepercayaan Untuk klien dengan batu ureter tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien. e. Pemeriksaan Fisik 1) Keadaan umum: kesadaran, tanda – tanda vital, sikap, keluhan nyeri 2) Kepala: bentuk, keadaan rambut dan kepala, adanya kelainan atau lesi 3) Mata: bentuk bola mata, pergerakan, keadaan pupil, konjungtiva,dll 4) Hidung: adanya secret, pergerakan cuping hidung, adanya suara napas tambahan, dll 5) Telinga: kebersihan, keadaan alat pendengaran 6) Mulut: kebersihan daerah sekitar mulut, keadaan selaput lendir, keadaan gigi, keadaan lidah 7) Leher: pembesaran kelenjar/pembuluh darah, kaku kuduk, pergerakan leher 8) Thoraks: bentuk dada, irama pernapasan, tarikan otot bantu pernapasan, adanya suara napas tambahan 9) Jantung: bunyi, pembesaran 10) Abdomen: bentuk, pembesaran organ, keadaan pusat, nyeri pada perabaan, distensi
11) Ekstremitas: kelainan bentuk, pergerakan, reflex lutut, adanya edema 12) Alat kelamin : Kebersihan, kelainan 13) Anus : kebersihan, kelainan 2)
Diagnosa Keperawatan Menurut Brunner dan Sudarth (2003) dan NANDA (2012) pada pasien dengan batu saluran
kemih sebelum
penatalaksanaan
operasi dapat
ditegakkan diagnosa keperawatan seperti berikut ini: Diagnosa Pra Operasi 1. Nyeri berhubungan dengan peningkatan frekuensi / dorongan kontraksi ureteral, trauma jaringan, pembentukan edema, iskemia selular. 2. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan stimulasi kandung kemih oleh batu, iritasi ginjal atau ureteral, obstruksi mekanik, inflamasi. 3. Resti kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual / muntah (iritasi sarah abdominal dan pelvic umum dari ginjal atau kolik uretral), diuresis pasca obstruksi. 4. Defisiensi pengetahuan kebutuhan belajar tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/ mengingat; salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi. Diagnosa Post Operasi 1. Nyeri berhubungan dengan adanya insisi bedah 2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif : alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering. Trauma jaringan, insisi bedah. (PPNI, 2017)
3) Rencana Asuhan Keperawatan Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
(SDKI)
(SLKI)
(SIKI)
No 1
Nyeri Akut
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ……. X …… diharapkan nyeri akut berkurang dengan kriteria
Penyebab : Agen pencedera fisiologis ( mis : inflamasi, iskemia, neoplasma) Agen pencedera kimiawi (mis : terbakar, bahan kimia iritan) Agen pencedera fisik (mis : abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik
hasil : Tingkat Nyeri
Keluhan nyeri menurun Meringis menurun Sikap protektif menurun Gelisah menurun Kesulitan tidur menurun Menarik diri menurun Berfokus pada diri sendiri
menurun Diaforesis menurun Perasaan depresi (tertekan) menurun Perasaan takut mengalami
Manajemen Nyeri Observasi Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri Identifikasi skala nyeri Identifikasi respon nyeri non verbal Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri Identifikasi pengaruh budaya terhadap repson nyeri Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan Monitor efek samping penggunaan analgetik
berlebihan)
Gejala dan Tanda Mayor Mengeluh nyeri Tampak meringis Bersikap protektif (mis : waspada, posisi menghindari nyeri) Gelisah Frekuensi nadi meningkat Sulit tidur
Gejala dan tanda Minor
Tekanan darah meningkat Pola nafas berubah Nafsu makan berubah Proses berfikir terganggu Menarik diri Berfokus pada diri sendiri Diaforesis
cidera berulang menurun Anoreksia menurun Frekuensi nadi membaik Pola nafas membaik Tekanan darah membaik Proses berpikir membaik Fokus membaik Fungsi berkemih membaik Perilaku membaik Nafsu makan membaik Pola tidur membaik
Terapeutik Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis : TENS, hypnosis, akupresure, terapi music, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat atau dingin, terapi bermain) Kontrol lingkungn yang memperberat rasa nyeri (mis : suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan) Fasilitasi istirahat dan tidur Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemeliharaan strategi meredakan nyeri Edukasi Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri Jelaskan strategi meredakan nyeri Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat Ajarkan teknik nonfarmakaologis untuk mengurangi rasa nyeri Kolaborasi Memberikan analgetik jika perlu
Pemberian Analgetik Observasi Identifikasi karakteristik nyeri ( mis: pencetus, Pereda, kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi, durasi) Identifikasi riwayat alergi obat Identifikasi kesesuaian jenis analgetik (mis: narkotika, non narkotik atau NSAID) dengan tingkat keparahan nyeri Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian analgetik Monitor efektivitas analgetik Terapeutik Diskusikan jenis analgetik yang disukai untuk mencapai analgesial optimal, jika perlu Pertimbangkan penggunaan infus continue, atau bolus oploid untuk mempertahankan kadar dalam serum Tetapkan target efektifitas analgetik untuk mengoptimalakan respon pasien Dokumentasikan respon terhadap efek analgetik dan efek yang tidak diinginkan
Edukasi Jelaskan efek terapi dan efek samping obat Kolaborasi Kolaborasi pemberian dosis dan 2
Ansietas
analgetik, sesuai indikasi Setelah dilakukan asuhan keperawatan Reduksi ansietas selama ……. X …… pasien
tidak
diharapkan Observasi
mengalami
ansietas
dengan kriteria hasil :
o Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (missal kondisi, waktu, stressor)
Tingkat ansietas
o Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
o Verbalisasi kebingingan
o Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan non
o Verbalisasi khawatir
verbal
o Prilaku gelisah
Terapeutik
o Prilaku tegang
o Ciptakan suasana terapiutik untuk menumbuhkan kepercayaan
Tingkat pengetahuan
o Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika
o Prilaku sesuai anjuran o Verbalisasi minat dalam belajar o Kemampuan pengetahuan
menjelaskan tentang
suatu
memungkinkan o Pahami situasi yang membuat ansietas o Dengarkan dengan penuh perhatian
topik o Prilaku
o Gunakan sesuai
dengan
pengetahuan o Pertanyaan
yang
tenang
dan
meyakinkan o Tempatkan barang pribadi yang memberikan
tentang
nasalah
yang dihadapi o Persepsi yang keliru terhadap masalah
pendekatan
kenyamanan o Motivasi mengidentifiaksi sirtuasi yang memicu kecemasan o Diskusikan
perencanaan
realistis
tentang
peristiwa yang akan datang Edukasi o Jelaskan
prosedur,
termasuk
sensasi
yang
mungkin dialami o Informasikan secara factual mengenai diagnosis, pengobatan, dan prognosis o Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu o Anjurkan
melakukan
kegiatan
yang
tidak
kompetitif, sesuai kebutuhan o Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi o Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan
o Latih penggunaan mekanisme pertehanan diri yang tepat o Latih teknik relaksasi Kolaborasi o Kolaborasi pemberian obat anti ansietas, jika perlu Konseling Observasi o Identifikasi kemampuan dan beri penguatan o Identifikasi prilaku keluarga yang mempengaruhi pasien Terapiutik o Bina
hubungan
terapiutik
berdasarkan
rasa
percaya dan penghargaan o Berikan empati, kehangatan, dan kejujuran o Tetapkan tujuan dan lama hubungan konseling o Berikan prifasi dan pertahankan kerahasiaan o Berikan penguatan terhadap keterampilan baru o Fasilitasi untuk mengidentifikasi masalah’
Edukasi o Anjurkan mengekspresikan perasaan o Anjurkan membuat daftar alternative penyelesaian masalah o Anjurkan pengembangan keterampilan baru, jika perlu o Anjurkan menganti kebaisaan
maladaptive
dengan ngan adaptif Anjurkan untuk menunda pengambilan keputusan saat stres 3
Risiko Infeksi
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ……. X …… diharapkan risiko infeksi berkurang dengan
Faktor risiko
Penyakit kronis Efek prosedur invasive Malnutrisi Peningkatan paparan organisme pathogen
lingkungan Ketidakadekuatan
kriteria hasil : Tingkat Infeksi
Demam menurun Kemerahan menurun Nyeri menurun Bengkak menurun Vesikel menurun
Pencegahan Infeksi Observasi Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik Terapeutik Batasi jumlah pengunjung Berikan perawatan kulit pada area edema Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien
4
pertahanan tubuh primer Gangguan peristaltic Kerusakan integritas kulit Perubahan sekresi pH Penurunan kerja siliaris Merokok Statis cairan tubuh Ketidakadekuatan
pertahanan tubuh sekunder Penurunan hemoglobin Imunosupresi Leukopenia Supresi respon inflamasi Vaksinasi tidak adekuat
Defisit Pengetahuan Penyebab 1. Keterbatasan kognitif 2. Gangguan fungsi kognitif
Cairan berbau busuk menurun Sputum berwarna hijau
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama …x… jam diharapkan tingkat pengetahuan meningkat dengan kriteria hasil : Perilaku sesuai anjuran meningkat Verbalisasi minat dalam belajar
3. Kekeliruan mengikuti anjuran 4. Kurang terpapar informasi 5. Kurang minat dalam belajar
menurun Drainase purulent menurun Piuna menurun Periode malaise menurun Periode mengigil menurun Lelargi menurun Gangguan kognitif menurun Kadar sel darah putih membaik Kultur darah membaik Kultur urine membaik Kultur sputum membaik Kultur area luka membaik Kultur feses membaik
meningkat Kemampuan menjelaskan pengetahuan tentang suatu topik meningkat
Pertahankan
teknik
aseptic
pada
pasien
berisiko tinggi Edukasi
Jelaskan tanda dan gejala infeksi Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar Ajarkan etika batuk Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau
luka operasi Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi Anjurkan meningkatkan asupan cairan Kolaborasi Kolaborasi pemberian imunisasi
Edukasi Menyusui Observasi identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi identifikasi tujuan atau keinginan menyusui Terapeutik sediakan materi dan media pendidikan kesehatan Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
6. Kurang mampu mengingat 7. Ketidaktahuan menemukan sumber
pengalaman sebelumnya yang sesuai
informasi
topik meningkat Perilaku sesuai dengan pengetahuan Pertanyaan tentang masalah yang
dihadapi menurun Persepsi yang keliru terhadap masalah
Gejala dan tanda mayor Subjektif :
Menanyakan
masalah
yang
dihadapi
Objektif :
Menunjukkan perilaku tidak sesuai anjuran
Menunjukkan persepsi yang keliru terhadap masalah
Gejala dan tanda minor Subjektif : Objektif :
Menjalani pemeriksaan tidak tepat
Menunjukkan
perilaku
Kemampuan menggambarkan
menurun Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat menurun Perilaku membaik
Berikan kesempatan untuk bertanya Dukung ibu meningkatkan kepercayaan diri dalam
menyusui Libatkan sistem pendukung : suami, keluarga,
tenaga kesehatan dan masyarakat Edukasi Berikan konseling menyusui Jelaskan manfaat menyusui bagi ibu dan bayi Ajarkan 4 posisi menyusui dan perlekatan dengan
benar Ajarkan perawatan payudara antepartum dengan mengkompres dengan kapas yang telah diberikan
minyak kelapa Ajarkan perawatan payudara post partum ( mis memerah ASI, pijat payudara, pijat oksitosin)
berlebihan
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth. 2010. Keperawatan Medikal Bedah. Jilid 2. Edisi Ketiga. Jakarta: EGC Gipson, John. 2003. Fisiologi dan Anatomi Modern Untuk Perawat. Alih Bahasa, Bertha Sugiarto. Edisi 2. Jakarta: EGC. Harris, Robert M. 2006. Rockwood & Grenn’s Fractures in Adults. Lippincott Williams & Wilkins Moore, K.L., A.M.R. Agur. 2002. Essensial Clinical Anatomy. Jakarta: Hipokrates. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia. Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia. Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia. Al-Ansari,A., Shamsodini,A., Younis,N., et al. (2005). Extracorporeal shock wave lithotripsy monotherapy for treatment of patients with urethral and bladder stone presenting with acute urinary retention. Journal Urology; 66(6):1169-1171. Al-Kohlany, KM., Shokeir,AA., Mosbah,A., Mohsen, T., Shoma,AM., Eraky,I, et
al. (2005). Treatment of complete staghorn stones : a prospective randomized comparison of open surgery versus percutaneous nephrolithotomy. J Urol; 173: 469 – 73. American Urological Association. (2005). AUA Guideline on the Management of Staghorn Calculi:Diagnosis and Treatment Recommendations. Assimos, Dean G. and Holmes Ross. 2000. Role of diet in the therapy of urolithiasis.Vol 27. 2:255-268. The Urologic Clinic of North America. Badlani , GH. (2002). Campbell’s urology. In : Walsh PC.,eds. Saunders. Barclay L and Lie D. 2005. Obesity and weight gain may increase the risk of kidney stone. 293: 455-462 . JAMA Ganong, W. 1992. Review of Medical Physiology. Fisiologi Kedokteran. . Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Hesse, Alrecht, Goran, Tiselius. 2002. Urinary Stone Diagnosis, Treatment and Prevention of Recurrence: 2nd edition. Iguchi, M., Umekawa, T., Ishikawa . 1990.
Dietary
Japanese Renal Stone Patiens. J. Urol.; 1093-1095.
intake
and
Habits
of
Males, J. 1969. External factor in the genesis of urolithiasis. 59-60. London Churchill: Renal Stone Reserach Symposium. Rose, B.D. 1997. Water and electrolyte phsyology. 34-35. Tokyo: Mc. Graw-Hill Kokagusha. Sja’bani. (2006). Ilmu penyakit dalam. Jilid I Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Menon, M., Martin I. 2002. Urinary lithiasis: etiology and endourolgy in Campbell’s Urology. 8th Edition. Vol.4: 3230-3292. Philadelphia: WB. Saunders Company. NANDA International. 2012. Nursing Diagnosis: definition and classification. Jakarta: EGC. Brunner & Sudarth. (2003). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC Borghi L, Meschi T, Amato F, Briganti A, Novarini A & Giannini (1996): Urinary volume, water and recurrences in idiopathic calcium nephrolithiasis: a 5-year randomized prospective study. J. Urol. 155, 839– 843. Fillingham and Douglas. 2000. Urological nursing. Tokyo: Bailliere Tindall Flagg, Laura. 2007. Dietary and Holistic Treatment of Recurrent Calcium Oxalate Kidney Stones: Review of Literature toGuide Patient Education. Vol 7.(2). Urologic Nursing Journal.
…………., ………………..2019 Nama Pembimbing / CI
Nama Mahasiswa
……………………………….……
Ni Putu Soniya Darmayanti
NIP.
NIM. P07120319018
Nama Pembimbing / CT
................................................................... NIP.