LP Fraktur Radius [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR RADIUS Disusun dalam rangka memenuhi tugas Stase Keperawatan Medikal Bedah



OLEH: SUHANDI I LASI 14420211065



CI LAHAN



CI INSTITUSI



(Nurwahida, S.Kep.,Ns.,M.Kes)



(Rahmat Hidayat,S.Kep.,Ns)



PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2021/2022



A. Konsep Medis 1. Definisi Fraktur Menurut (Purwanto, 2016) fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, baik yang bersifat total maupun sebagian. Menurut (Wahyuni, 2021) fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang secara utuh yang disebabkan karena trauma atau non trauma. Menurut (Gde et al., 2019) fraktur radius distal adalah salah satu fraktur yang biasa terjadi pada pergelangan tangan. Umumnya sering terjadi karena jatuh dalam keadaan tangan menumpu dan biasanya terjadi pada anak-anak dan lanjut usia. Bila seseorang jatuh dengan tangan yang menjulur,



tangan



akan



tiba-tiba



menjadi



kaku,



dan



kemudian



menyebabkan tangan memutar dan menekan lengan bawah. 2. Etiologi Menurut (Purwanto, 2016) penyebab fraktur yaitu karena trauma, gerakan pintir mendadak, kontraksi otot ekstem dan keadaan patologis (osteoporosis dan neoplasma). Menurut (Black & Hawks, 2014) fraktur batang radius dan ulna biasanya terjadi karena cedera langsung pada lengan bawah, kecelakaan lalu lintas, atau jatuh dengan lengan teregang. Fraktur radius dan ulna biasanya merupakan akibat cedera hebat. Menurut (Maryanto, 2014), ada empat jenis fraktur antebrachii yang khas beserta penyebabnya yaitu: a. Fraktur Colles Deformitas, pada fraktur ini berbentuk seperti sendok makan (dinner fork deformity). Pasien terjatuh dalam keadaan tangan terbuka dan pronasi, tubuh beserta lengan berputar ke ke dalam (endorotasi). Tangan terbuka yang terfiksasi di tanah berputar keluar (eksorotasi/supinasi). b. Fraktur Smith, merupakan fraktur dislokasi ke arah anterior (volar), karena itu sering disebut reverse Colles fracture. Fraktur ini biasa terjadi pada orang muda. Pasien jatuh dengan tangan



menahan badan sedang posisi tangan dalam keadaan volar fleksi pada pergelangan tangan dan pronasi. Garis patahan biasanya transversal, kadang-kadang intraartikular. c. Fraktur Galeazzi merupakan fraktur radius distal disertai dislokasi sendi radius ulna distal. Saat pasien jatuh dengan tangan terbuka yang menahan badan, terjadi pula rotasi lengan bawah dalam posisi pronasi waktu menahan berat badan yang memberi gaya supinasi. d. Fraktur Montegia merupakan fraktur sepertiga proksimal ulna disertai dislokasi sendi radius ulna proksimal. Terjadi karena trauma langsung. 3. Patofisiologi Menurut (Black & Hawks, 2014) Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur. Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkepingkeping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang kuat bahkan mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal dapat bergeser karena faktor penyebab patah maupun spasme pada otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu sudut (membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau berpindah. Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering terjadi cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medula), hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen tulang dan



dibawah periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan menciptakan respon peradangan yang hebat sehingga akan terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan leukosit. 4. Pathway Trauma



Fraktur



Deformatis Tulang



Gangguan Bentuk dan Pergerakan



Ketidaknyamanan Akibat



Rasa tidak nyaman



Bentuk yang tidak normal



karena inflamasi / peradangan



Gangguan mobilitas fisik



Ansietas



Nyeri



5. Manifestasi klinik Menurut (Mahartha et al., 2017) manifestasi fraktur yaitu: a. Nyeri, kontinue/terus-menerus dan meningkat semakin berat sampai fragmen tulang tidak bisa digerakkan. b. Gangguan fungsi, setelah terjadi fraktur ada bagian yang tidak dapat digunakan dan cenderung menunjukkan pergerakan abnormal, ekstremitas tidak berfungsi secara teratur karena fungsi normal otot



tergantung pada integritas tulang yang mana tulang tersebut saling berdekatan. c. Deformitas/kelainan disebabkan



oleh



bentuk perubahan deformitas



tulang



tulang pada fragmen yang



diketahui



ketika



dibandingkan dengan daerah yang tidak luka. d. Pemendekan Pada fraktur tulang panjang terjadi pemendekan yang nyata pada ekstremitas yang disebabkan oleh kontraksi otot yang berdempet di atas dan di bawah lokasi fraktur. e. Krepitasi Suara detik tulang yang dapat didengar atau dirasakan ketika fraktur digerakkan. f. Bengkak dan perubahan warna Hal ini disebabkan oleh trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur 6. Komplikasi Menurut (Purwanto, 2016) komplikasi fraktur yaitu : a. Malunion yaitu tulang yang telah sembuh akan tetapi tidak Kembali ke posisi seharusnya. b. Delayed union yaitu proses penyembuhan yang terus berjalan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal c. Non union yaitu tulang yang tidak tersambung kembali



7. Pemeriksaan penunjang Menurut (Purwanto, 2016) pemeriksaan penunjang fraktur yaitu : a. Pemeriksaan radiologi, untuk mengetahui lokasi dan luarnya fraktur b. Pemeriksaan darah lengkap c. Arteriografi, dilakukan jika dicurigai adanya kerusakan vaskuler d. Kreatinin, trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal e. X-ray image, Penggunaan x-ray sangat penting untuk melihat keadaan tulang. Sehingga dapat melihat jenis patahan tulang. Pada



penggunaan x-ray ini ada hal yang penting yang harus diperhatikan, yaitu rules of two. Setiap kali melakukan pemeriksaan x-ray ini, dokter atau pemeriksa harus menerapkan rules of two ini untuk mengurangi persentase kesalahan dalam menegakan diagnosis sekecil mungkin. Rules of two terdiri dari : 1) 2 posisi anteroposterior dan lateral 2) 2 sendi pada sendi atas dan bawah pada tulang yang patah 3) 2 ekstremitas kanan dan kiri, khususnya pada anak-anak dimana masih mempunyai lempeng pertumbuhan agar diagnosis tidak tertukar dengan celah lempeng pertumbuhan. 4) 2 kali (untuk memastikan fraktur tidak berubah dalam 1



minggu) (Mahartha et al., 2017). 8. Penatalaksanaan Prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal adalah rekognisi (mengenali), reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan rehabilitasi. Penanganan ortopedi adalah proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi, imobilisasi dengan fiksasi, reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi, reposisi dengan traksi, reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar, reposisi secara nonoperatif diikuti dengan pemasangan fiksasi dalam pada tulang secara operatif, reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan fiksasi interna, dan eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan prosthesis (Mahartha et al., 2017). 9. Prognosis Pada kasus fraktur, prognosisnya bergantung dari tingkat keparahan serta tata laksana dari tim medis terhadap pasien dengan korban fraktur. Jika penanganannya cepat, maka prognosisnya akan lebih baik. Begitu juga sebaliknya. Sedangkan dari tingkat keparahan, jika fraktur yang di alami ringan, maka proses penyembuhan akan berlangsung dengan cepat



dengan prognosis yang baik. Tapi jikalau pada kasus yang berat prognosisnya juga akan buruk. Bahkan jikalau parah, tindakan yang dapat diambil adalah cacat fisik hingga amputasi. Selain itu penderita dengan usia yang lebih muda akan lebih bagus prognosisnya dibanding penderita dengan usia lanjut



B. Konsep Keperawatan 1. Pengkajian Menurut (Mahartha et al., 2017) pengkajian fraktur yaitu: a. Anamnesa Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain. b. Pemeriksaan fisik 1) Look Cari apakah terdapat Deformitas, terdiri dari penonjolan yang abnomal (misalnya pada fraktur kondilus lateralis humérus), angulasi, rotasi, dan pemendekan. 2) Feel (nyeri tekan, krepitasi). Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi. Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit, pengembalian cairan kapler, sensasi. 3) Move 



Untuk mencari Krepitasi, terasa bila fraktur digerakkan.







Nyeri bila digerakkan, baik pada gerakan aktif maupun pasif.







Seberapa jauh gangguan-gangguan fungsi, gerakan-gerakan yang tidak mampu dilakukan, range of motion (derajat dari ruang lingkup gerakan sendi), dan kekuatan



c. Pemeriksaan penunjang 1) Pemeriksaan radiologi, untuk mengetahui lokasi dan luarnya fraktur



2) Pemeriksaan darah lengkap 3) Arteriografi, dilakukan jika dicurigai adanya kerusakan vaskuler 4) Kreatinin, trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal 2. Diagnosa keperawatan Diagnosis keperawatan yang dapat ditemukan pada dislokasi sendi berdasarkan (PPNI, 2016) yaitu : 



Pre Operasi



1) Nyeri Berhubungan agen pencedera fisiologis 2) Ansietas berhubungan kurang terpaparnya informasi 



Post Operasi



1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik 2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tukang 3) Ansietas berhubungan dengan kurang terpaparnya informasi 4) Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder (supresi respon inflamasi) 3. Intervensi Intervensi keperawatan berdasarkan diagnosa dalam (PPNI, 2018) yaitu: Diagnosa



Tujuan



Intervensi



Keperawatan Kriteria hasil Rasional Nyeri berhubungan Setelah dilakukan Manajemen Nyeri dengan pencedera fisik



agen tindakan 3x8



keperawatan Observasi



jam



diharapkan



1. Identifikasi



lokasi,



tingkat nyeri menurun



karakteristik,



dengan



frekuensi, kualitas, intensitas



kriteria



hasil



sebagai berikut : 1. Keluhan menurun



durasi,



nyeri. nyeri



2. Identifikasi skala nyeri 3. Identifikasi respon nyeri non



2. Meringis menurun 3. Frekuensi



nadi



membaik Tekanan membaik



verbal 4. Identifikasi



factor



yang



memperberat darah



dan



memperingan nyeri 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri. 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri 7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup 8. Monitor keberhasilan terapi komplementer



yang sudah



diberikan 9. Monitor



efek



samping



penggunaan analgetik Terapeutik 1. Berikan



teknik



nonfarmakologis



untuk



mengurangi rasa nyeri 2. Kontrol lingkungan yang memperberat (mis.



rasa



suhu



nyeri



ruangan,



pencahayaan, kebisingan) 3. Fasilitasi istirahat dan tidur 4. Pertimbangkan sumber



nyeri



pemilihan



jenis



dan dalam



strategi



meredakan nyeri. Edukasi 1. Jelaskan penyebab, periode



dan pemicu nyeri 2. Jelaskan strategi meredakan nyeri 3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri 4. Anjurkan



menggunakan



analgetik secara tepat 5. Ajarkan



teknik



nonfarmakologis



untuk



mengurangi rasa nyeri. Kolaborasi Kolaborasi peberian analgetik. Gangguan fisik dengan integritas tulang



mobilitas Setelah



dilakukan



berhubungan tindakan



Dukungan Ambulasi



keperawatan Observasi



kerusakan selama



2x24



jam



struktur kemampuan dalam gerak fisik meningkat dengan kriteria hasil:



1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya. 2. Identifikasi



toleransi



fisik



melakukan ambulasi



1. pergerakan ekstremitas 3. Monitor frekuensi jantung dan meningkat 2.



tekanan



Kekuatan



otot



meningkat Rentang



darah



sebelum



memulai ambulasi 4. Monitor kondisi umum selama



gerak



ROM



meningkat 4. kelemahan fisik menurun



melakukan ambulasi Terapeutik 1. Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan



alat



bantu



(mis.



Tongkat, kruk) 2. Fasilitasi



melakukan



mobilisasi fisik, jka perlu



3. Libatkan



keluarga



untuk



pasien



dalam



membantu



meningkatkan ambulasi Edukasi 1. Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi 2. Anjurkan



melakukan



ambulasi dini Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan (mis. Berjalan dari tempat tidur ke kursi



roda,



berjalan



dari



tempat tidur ke kamar mandi, Setelah



Ansietas berhubungan kurang informasi



dengan



terpaparnya



di



berjalan sesuai toleransi) lakukan Observasi



tindakan 3 x 8 jam di harapkan



Keluhan



tingkat ansietas menurun dengan kriteria hasil: 1. verbalisasi meningkat



2. identifikasi kemampuan mengambil keputusan ansietas terapeutik



menjadi menurun 2. verbalisasi



1. ciptakan suasana terapeutik untuk



akibat



kondisi yang di hadapi meningkat menjadi menurun 3. perilaku



ansietas berubah



3. menitor tanda-tanda



kebingungan



khawatir



1. identifikasi saat tingkat



gelisa



meningkat menjadi menurun



menumbuhkan kepercayaan 2. temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika perlu 3. pahami situasi yang membuat ansietas



4. dengarkan dengan penuh perhatian 5. gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan 6. tempatkan barang pribadi yang memberikan kenyamanan 7. motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan 8. diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang akan datang edukasi 1. jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami 2. informasikan secara factual mengenai diagnostis, pengobatan, dan prognosis 3. anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu 4. anjarkan untuk melakukan kegiatan yang tidak kompetitif, sesuai kebutuhan 5. anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi 6. latih kegiatan pengalihan



untuk mengurangi ketegangan 7. latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat 8. latih teknik relaksasi kolaborasi Resiko



infeksi Setelah dilakukan



berhubungan



dengan tindakan keperawatan



ketidakadekuatan pertahanan sekunder



3x8 jam, diharapkan



tubuh tidak ada infeksi dengan (supresi kriteria hasil sebagai



respon inflamasi)



berikut : 1. Bebas dari tanda dan gejala infeksi 2. Mendekskripsikan proses penularan penyakit 3. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi 4. Jumlah leukosit dalam batas normal 5. Menunjukkan perilaku hidup sehat



1. kolaborasi pemberian obat Observasi 1. Monitor kondisi luka 2. Monitor tanda dan gejala infeksi 3. Monitor status nutrisi Terapeutik 1. Bersihkan kulit disekitar luka dengan sabun dan air 2. Bersihkan



luka



dengan



menggunakan Nacl 0.9% 3. Lakukan pembalutan luka, jika perlu 4. Oleskan salep, jika perlu 5. Gunakan tempat tidur dan kasur khusus, jika perlu 6. Pertahankan kepala tempat tidur pada posisi terendah yang dapat ditoleransi 7. Jadwalkan



perubahan



posisi setiap 2 jam



atau



sesuai kondisi pasien 8. Berikan diet dengan kalori 30-35 kkal/kg BB/hari dan



protein



1.25-1.5



g/kgBB/hari 9. Berikan suplemen vitamin dan mineral Edukasi 1. Anjurkan



melaporkan



tanda-tanda



kerusakan



kulit 2. Anjurkan



menghindari



duduk dalam jangka waktu lama 3. Ajarkan



prosedur



perawatan luka Kolaborasi 1. Kolaborasi



prosedur



debridment 2. Kolaborasi



pemberian



antibiotic, jika perlu



DAFTAR PUSTAKA



Black, J., & Hawks, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen klinis untuk Hasil yang Diharapkan. Edisi 8. Salemba Medika. Gde, N., Panji, A., Sudharma, K., & Ekawiratnaya, I. G. (2019). PREVALENSI FRAKTUR RADIUS DISTAL PADA LANSIA DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2013-2014 Mahartha, G. R. A., Maliawan, S., & Kawiyana, K. S. (2017). Manajemen Fraktur Pada Trauma Muskuloskeletal. E-Jurnal Medika Udayana, 2(3), 1–11. Maryanto, I. (2014). Ringkasan orthopaedi. Ringkasan Orthopaedi. PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik Cetakan III (I). PPNI. PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Definisi dan Tindakan Keperawatan Edisi I Cetakan II (Edisi I). DPP PPNI. Purwanto, H. (2016). Keperawatan Medikal Bedah II. Kementrian Kesehatan RI. Wahyuni, T. D. (2021). Asuhan Keperawatan Gangguan Muskuloskeletal. Penerbit NEM.