LP Fraktur Tibia Plateau Sinistra [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KEPERAWATAN BEDAH LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN NY. NS DENGAN FRAKTUR TIBIA PLATEAU SINISTRA (POST OP)



OLEH: I KADEK ASPRIADHI BATESTHUTHA NIM. 2114901178



FAKULTAS KESEHATAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS



INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI DENPASAR 2021



FRAKTUR TIBIA PLATEAU SINISTRA (POST OP)



A. TINJAUAN KASUS 1. Pengertian Tulang adalah suatu jaringan dan organ yang terstruktur dengan baik, tulang terdiri atas daerah yang kompak pada bagian luar yang disebut dengan korteks dan bagian dalam yang bersifat spongiosa berbentuk trabekula dan dilapisi oleh periosteum pada bagian luamya sedangkan yang membatasi tulang dari cavitas medullaris adalah endosteum. Tibia sendiri termasuk tulang panjang , dimana daerah batas disebut diafisis dan daerah yang berdekatan dengan garis epifisis disebut metafisis. Tulang tibia turut membentuk rangka badan, sebagai pengumpil dan tempat melekat otot, berfungsi juga sebagai bagian dari tubuh untuk melindungi dan mempertahankan alat-alat dalam, dan menjadi tempat deposit kalsium, fosfor, magnesium dan garam. Fraktur adalah hilanganya kontinuitias tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial. Fraktur dibagi atas fraktur terbuka yaitu jika patahan tulang itu menembus kulit sehingga berhubungan dengan udara luar dan fraktur tertutup yaitu jika fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar. Fraktur tibia (bumper fracture/fraktur tibia plateau) adalah fraktur yang terjadi akibat trauma langsung dari arah samping lutut dengan kaki yang masih terfiksasi ke tanah. Fraktur tibial plateau dapat diklasifikasikan dengan Schatzker yaitu berdasarkan lokasi dan konfigurasi fraktur. 2. Etiologi Etiologi fraktur tibia berupa trauma akibat kecelakaan dengan berkecepatan sangat tinggi. Di daerah di mana orang-orang mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan dengan potensi tinggi untuk trauma kaki (misalnya :ski, sepak bola), jumlah fraktur tibia pada keadaan gawat darurat tergolong tinggi. Sementara trauma langsung pada tibia merupakan penyebab paling umum, tidak ada etiologi lain yang dijumpai untuk fraktur tibia shaft. Dua yang paling umum adalah jatuh atau melompat dari ketinggian yang signifikan dan luka tembak pada kaki bagian bawah.



Menurut Appley (1995:212) faktor-faktor yang dapat menyebabkan fraktur adalah: a. Fraktur akibat trauma Terjadi akibat benturan dan cidera yang disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan. b. Trauma langsung Tulang dapat patah pada area yang terkena jaringan lunak.  Pemukulan menyebabkan fraktur melintang.  Penghancuran menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas. c. Trauma tidak langsung Tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang tertekan kekuatan itu.  Kekuatan dapat berupa: 1) Pemuntiran, menyebabkan fraktur spinal 2) Penekukan, menyebabkan fraktur melintang 3) Penekukan dan penekanan menyebabkan fraktur yang sebagian melintang tetapi disertai fragmen kupu-kupu berbentuk segitiga terpisah. d. Fraktur kelelahan Terjadi akibat tekanan berulang-ulang sering ditemukan pada tibia, fibula, metatarsal, terutama pada atlet dan penari. e. Fraktur patologik Fraktur yang dapat terjadi oleh tekanan yang normal jika tulang itu lemah (misal: oleh tumor atau tulang itu sangat rapuh atau osteoporosis). 3. Patofisiologi Menurut Brunner dan Suddarth, trauma dan kondisi patologis yang terjadi pada tulang yang menyebabkan fraktur. Fraktur menyebabkan diskontinuitas jaringan tulang yang dapat membuat penderita mengalami kerusakan mobilitas fisiknya. Diskontinuitas jaringan tulang dapat mengenai 3 bagian yaitu jaringan lunak, pembuluh darah dan saraf serta tulang itu sendiri. Jika mengenai jaringan lunak makan akan terjadi spasme otot yang menekan ujung saraf dan pembuluh darah dapat mengakibatkan nyeri, deformitas serta syndrome compartement. Fraktur adalah semua kerusakan pada kontinuitas tulang, fraktur beragam dalam hal keparahan berdasarkan lokasi dan jenis fraktur. Meskipun



fraktur terjadi pada 15 semua kelompok usia, kondisi ini lebih umum pada orang yang mengalami trauma yang terus-menerus dan pada pasien lansia. Fraktur dapat terjadi akibat pukulan langsung, kekuatan tabrakan, gerakan memutar tiba-tiba, kontraksi otot berat, atau penyakit yang melemahkan tulang. Dua mekanisme dasar yang fraktur: kekuatan langsung atau kekuatan tidak langsung. Dengan kekuatan langsung, energi kinetik diberikan pada atau dekat tempat fraktur. Tulang tidak dapat menahan kekuatan. Dengan kekuatan tidak langsung, energi kinetik di transmisikan dari titik dampak ke tempat tulang yang lemah. Fraktur terjadi pada titik yang lemah. Sewaktu tulang patah, pendarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi pendarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorpsi dan selsel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan pembekakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pebekakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom compartment (Brunner dan Suddarth dalam Fajar Watulangi, 2019). Jika satu tulang sudah patah, jaringan lunak sekitarnya juga rusak, periosteum terpisah dari tulang, dan terjadi perdarahan yang cukup berat. Bekuan darah terbentuk pada daerah tersebut. Bekuan akan membentuk jaringan granulasi didalamnya dengan sel-sel pembentuk tulang primitif (osteogenik) berdiferensiasi menjadi chondroblast dan osteoblast. Chondroblast akan mensekresi fosfat, yang merangsang deposisi kalsium. Terbentuk lapisan tebal (callus) di sekitar lokasi fraktur. Lapisan ini terus menebal dan meluas, bertemu dengan lapisan callus dari fragmen satunya, dan menyatu. Penyatuan dari kedua fragmen (penyembuhan fraktur) terus berlanjut dengan terbentuknya trabekula dan osteoblast yang melekat pada tulang dan meluas menyeberangi lokasi fraktur. Penyatuan tulang provisional ini akan menjalani transformasi metaplastik untuk menjadi lebih kuat dan lebih terorganisasi. Callus tulang akan mengalami remodeling untuk



mengambil bentuk tulang yang utuh seperti bentuk osteoblast tulang baru dan osteoclast akan menyingkirkan bagian yang rusak dan tulang sementara.



4. Manifestasi Klinis Mendiagnosis fraktur harus berdasarkan manifestasi klinis klien, riwayat, pemeriksaan fisik, dan temuan radiologis. Tanda dan gejala terjadinya fraktur antara lain: a. Deformitas Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas rotasional, atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki deformitas yang nyata. b. Pembengkakan Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar. c. Memar Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur. d. Spasme otot Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur. e. Nyeri Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi fraktur, intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-masing klien. Nyeri biasanya terus-menerus , meningkat jika fraktur dimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya. f. Ketegangan Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi. g. Kehilangan fungsi Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera saraf.



h. Gerakan abnormal dan krepitasi Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau gesekan antar fragmen fraktur. i. Perubahan neurovascular Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur j. Syok Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau tersembunyi dapat menyebabkan syok. 5. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik Untuk memperjelas dan menegakkan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan tes diagnostik seperti : a. Laboratorium : Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui: Hb, hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa penyembuhan Ca dan P meningkat di dalam darah. b. CT scan Sebuah mesin CT scan khusus menggunakan komputer untuk mengambil gambar dari klavikula Pasien. Pasien mungkin akan diberi pewarna sebelum gambar diambil. Pewarna biasanya diberikan dalam pembuluh darah Pasien (Intra Vena). Pewarna ini dapat membantu petugas melihat foto yang lebih baik. Orang yang alergi terhadap yodium atau kerang (lobster, kepiting, atau udang) mungkin alergi terhadap beberapa pewarna. Beritahu petugas jika Pasien alergi terhadap kerang, atau memiliki alergi atau kondisi medis lainnya. c. Magnetic resonance imaging scan/ MRI MRI menggunakan gelombang magnetik untuk mengambil gambar tulang selangka/ klavikula, tulang dada, dan daerah bahu. Selama MRI, gambar diambil dari tulang, otot, sendi, atau pembuluh darah. Pasien perlu berbaring diam selama MRI. d. X-ray



X-ray digunakan untuk memeriksa patah tulang atau masalah lain. X-ray dari kedua klavikula Pasien terluka dan terluka dapat diambil. 6. Penatalaksanaan Medis 1) Tindakan umum menurut Handerson (1997:222) yaitu: a. Reposisi Setiap pergeseran atau angulasi pada ujung patahan harus direposisi dengan hatihati melalui tindakan manipulasi yang biasanya dengan anestesi umum. b. Imobilisasi Untuk memungkinkan kesembuhan fragmen yang diperlukan: a) Fiksasi Interna Ujung patahan tulang disatukan dan difiksasi pada operasi misalnya : dengan sekrup, paku, plat logam. b) Fiksasi Interna Fraktur diimobilisasi menggunakan bidai luas dan traksi. c. Fisioterapi dan mobilisasi Untuk memperbaiki otot yang dapat mengecil secara cepat jika tidak dipakai. d. Penatalaksanaan medis dengan ORIF ORIF atau Open Reduction Internal Fixation adalah reduksi terbuka dari fiksasi internal di mana dilakukan insisi pada tempat yang mengalami fraktur. Kemudian direposisi untuk mendapatkan posisi yang normal dan setelah direduksi, fragmen-fragmen tulang dipertahankan dengan alat orthopedik berupa pen, sekrup, plat dan paku (Price,1996:374). 2) Penatalaksanaan keperawatan Tindakan pada fraktur terbuka harus dilakukan secepat mungkin: a. Berikan toksin anti tetanus b. Berikan antibiotik untuk kuman gram positif dan negatif. c. Dengan teknik debridement. Prosedur teknik debridement adalah: melakukan nekrosis umum atau anestesis lokal bila luka ringan dan kecil, bila cukup luas pasang tourniquet, cuci seluruh ekstremitas selama 5-10 menit, kemudian lakukan pencukuran, luka diirigasi dengan hall steril, lakukan tindakan



desinfeksi dan pemasangan duk, eksisi luka lapis demi lapis mulai dari kulit, sub kulit fasia otot, eksisi otot-otot yang tidak vital dan dibuang, lalu buang tulangtulang kecil yang tidak melekat periosteum. Pertahankan program tulang besar yang perlu untuk stabilitas, luka fraktur terbuka dan lalu dibiarkan terbuka dan perlu ditutup satu minggu, kemudian setelah edema menghilang (secondary sature) atau dapat juga hanya dijahit pada situasi bila luka tidak terlalu terbuka atau lebar (jahit luka jarang) B. TINJAUAN ASKEP 1. Pengkajian Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien (Setiadi,2012). Menurut Padila (2012), data yang perlu dikaji yaitu: a.



Anamnesa 1) Identitas pasien Meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi golongan darah, nomor register, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS), dan diagnosis medis. 2) Keluhan utama Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap mengenai rasa nyeri pasien, perawat dapat menggunakan PQRST yaitu: a. Provocating incident



: Hal yang menjadi faktor presipitasi  nyeri.



b. Quality of pain



: Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan  pasien,



apakah



seperti



terbakar,



berdenyut/menusuk. c. Region, radiation, relief



: Apakah rasa sakit bisa reda, apakah  rasa sakit menjalar/menyebar dan dimana rasa sakit terjadi. 



d. Severity (scale) of pain



: Seberapa jauh rasa nyeri yang  dirasakan



pasien,



bisa



berdasarkan



skala



nyeri/pasien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.  e. Time



: Berapa lama nyeri berlangsung,  kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.



3) Riwayat penyakit sekarang Pada pasien fraktur/patah tulang dapat disebabkan oleh trauma/kecelakaan degenerative dan patologis yang didahului dengan perdarahan, kerusakan jaringan sekitar yang mengakibatkan nyeri, bengkak, kebiruan, pucat/perubhan warna kulit dan kesemutan. 4) Riwayat penyakit dahulu Apakah pasien pernah mengalami penyakit ini atau pernah punya penyakit yang menular/menurun sebelumnya. 5) Riwayat penyakit keluarga Pada keluarga pasien ada/tidak yang menderita osteoporosis, arthritis, dan tuberkolosis/penyakit lain yang sifatnya menurun dan menular. 6) Riwayat psikososial spiritual Kaji respons emosi pasien terhadap penyakit yang dideritanya, peran pasien dalam keluarga dan masyarakat, serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.  7) Pola fungsi kesehatan Dalam tahap pengkajian perawat juga perlu mengetahui pola-pola fungsi kesehatan dalam proses keperwatan pasien fraktur.  8) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat Pasien fraktur akan merasa takut terjadi kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup pasien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengonsumsian alkohol yang



dapat mengganggu keseimbangan pasien dan apakah pasien melakukan olahraga atau tidak. 9) Pola nutrisi dan metabolisme  Pada fraktur tidak akan mengalami penurunan nafsu makan, meskipun menu berubah misalnya makan dirumah gizi tetap sama sedangkan ketika di RS disesuaikan dengan penyakit dan diet pasien. 10) Pola eliminasi  Kebiasaan miksi/defekasi sehari-hari, kesulitan waktu defekasi dikarenakan imobilisasi.  11) Pola aktivitas dan latihan  Aktivitas dan latihan mengalami perubahan/gangguan akibat dari fraktur sehingga kebutuhan pasien perlu dibantu oleh perawat/keluarga.  12) Pola persepsi dan konsep diri  Dampak yang timbul pada pasien fraktur adalah timbul ketakutan akan kecacatan akibat fraktur yang dialaminya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah atau gangguan citra diri.  13) Pola sensori dan kognitif  Daya raba pasien fraktur berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedangkan indra yang lain dan kognitifnya tidak mengalami gangguan, selain itu timbul nyeri akibat fraktur.  14) Pola penanggulangan stres  Pada pasien fraktur timbul rasa cemas akan keadaan dirinya, yaitu ketakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh pasien dapat tidak efektif.  15) Pola tata nilai dan keyakinan  Pasien fraktur tidak dapat melaksanakan ibadah dengan baik, terutama frekuensi dan konsentrasi dalam beribadah. Hal ini dapat disebabkan oleh nyeri dan keterbatasan gerak pasien. Adanya kecemasan dan stress sebagai pertahanan dan pasien meminta perlindungan/mendekatkan diri dengan Tuhan.



2. Pemeriksaan fisik 1) Keadaan umum klien  Penampilan klien, ekspresi wajah, bicara, mood, berpakaian dan kebersihan umum, tinggi badan, BB, gaya berjalan.  2) Tanda-tanda vital  Pemeriksaan pada tanda-tanda vital mencakup suhu, nadi, pernapasan dan tekanan darah. 3) Pada pemeriksaan fisik regional fraktur batang femur terbuka, umumnya di dapatkan hal-hal berikut ini: a) Look Terlihat adanya luka terbuka dengan deformitas yang jelas. Kaji berapa luas kerusakan jaringan lunak yang terlibat. Kaji apakah pada luka terbuka ada fragmen tulang yang keluar dan apakah terdapat adanya kerusakan pada arteri yang beresiko akan meningkatkan respons syok hipovolemik. Pada fase awal trauma sering didapatkan adanya serpihan di dalam luka terutama pada trauma kecelakaan lalu lintas darat yang mempunyai indikasi pada resiko tinggi infeksi.  b) Feel (Adanya keluhan nyeri tekan (tenderness) dan adanya krepitasi). c) Move  Gerakan pada daerah tungkai yang patah tidak boleh dilakukan karena akan memberikan respons trauma pada jaringan lunak disekitar ujung fragmen tulang yang patah. Pasien terlihat tidak mampu melakukan pergerakkan pada sisi yang patah (Helmi,2014). 4) Pada pemeriksaan fisik regional fraktur femur tertutup, umumnya didapatkan hal-hal berikut: a) Look  Pasien fraktur mempunyai komplikasi delayed union, non-union, dan malunion. Pada pemeriksaan look akan didapatkan adanya pemendekan ekstremitas dan akan lebih jelas derajat pemendekan dengan cara mengukur kedua sisi tungkai dari spina iliaka ke maleolus.  b) Feel (Adanya nyeri tekan (tenderness) dan krepitasi pada daerah paha).  c) Move



Pemeriksaan yang di dapat seperti adanya gangguan/keterbatasan gerak tungkai. Didapatkan ketidakmampuan menggerakkan kaki dan penurunan kekuatan otot ekstremitas bawah dan melakukan pergerakkan. 3. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual atau potensial. Setelah mengumpulkan data-data klien yang relevan, informasi tersebut dibandingkan dengan ukuran normal sesuai umur klien, jenis kelamin, tingkat perkembangan,



latar



belakang



sosial



dan



psikologis.



Diagnosa



keperawatan



menggunakan Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (PPNI, 2017): a. Diagnosa Keperawatan Post-Operasi 1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik, spasme otot, gerakan fragmen tulang, cedera jaringan lunak 2) Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, dan luka/kerusakan kulit yang menjadi tempat invasi kuman. 3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobiliasai pemasangan pen/gips. 4) Kerusakan intregritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, secrub) 4. Perencanaan/Intervensi Keperawatan Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian kelinis untuk mencapai luaran (outcome) yang diharapkan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). a. Post Operasi 1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik, spasme otot, gerakan fragmen tulang, cedera jaringan lunak. a) Tujuan dan kriteria hasil Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan tingkat nyeri menurun dan kontrol nyeri meningkat dengan kriteria hasil: (1) Tanda-tanda vital dalam rentang normal Tekanan darah



: 110-120 (sistolik) 60-90 (diastolik)



Nadi



: 60-100 x/menit



Respirasi



: 16-24 x/menit



Suhu



: 36,5-37.5° C



(2) Kemampuan mengenali penyebab nyeri (3) Kemampuan menggunakan teknik non-farmakologis b) Intervensi  (1) Observasi tanda-tanda vital Rasional



: TTV merupakan salah satu indikator respon fisiologis



terhadap nyeri. (2) Kaji skala nyeri Rasional



: Nyeri dipengaruhi oleh kecemasan, ketegangan, suhu,



distensi kandung kemih, dan berbaring lama. (3) Jelaskan dan bantu pasien terkait dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan noninvasif. Rasional



: Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan non



farmakologi lainnya efektif dalam mengurangi nyeri. (4) Ajarkan relaksasi yaitu teknik-teknik mengurangi ketegangan otot rangka yang dapat mengurangi intensitas nyeri.  Rasional



: Teknik ini akan melancarkan peredaran darah sehingga



kebutuhan oksigen pada jaringan terpenuhi dan nyeri berkurang. (5) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman, misalnya waktu tidur, belakang tubuh pasien dipasang bantal kecil. Rasional



: Istirahat merelaksasi semua jaringan sehingga akan



meningkatkan kenyamanan. (6) Kolaborasi dalam pemberian obat (baik analgesic, antibiotik maupun antiinflamasi) Rasional



: Pemberian obat analgesic, antibiotic maupun antiinflamasi



dapat memblok lintasan nyeri serta membunuh kuman bakteri. Setengah dari



obat-obatan



analgesik



adalah



obat



antiinflamasi,



menghilangkan rasa nyeri dengan mengurangi radang yang terjadi.



yang



2) Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, dan luka/kerusakan kulit yang menjadi tempat invasi kuman. a) Tujuan dan kriteria hasil Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan infeksi tidak terjadi dengan kriteria hasil: (1) Tidak ada kemerahan (2) Tidak ada hematoma (3) Tingkat nyeri berkurang b) Intervensi  (1) Monitor tanda-tanda infeksi Rasional



: Tanda-tanda infeksi dalam menunjukan intervensi



selanjutnya (2) Lakukan perawatan luka dengan dengan teknik steril Rasional



: Untuk mempertahankan area luka dari mikroorganisme



(3) Analisa hasil pemeriksaan laboratorium Rasional



: Pemeriksaan laboratorium salah satu indikator dalam



menilai infeksi (4) Jelaskan tanda dan gejala infeksi Rasional



: Meningkatkan pengetahuan pasien dalam menilai kondisi



lukanya (5) Kolaborasi pemberian antibiotic Rasional



: Antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme



patogen pada daerah yang beresiko terjadi infeksi. 3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobiliasai pemasangan pen/gips. a) Tujuan dan Kriteria hasil: Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan tidak ada intoleransi aktivitas pada pasien dengan kriteria hasil: (1) Pasien mampu untuk memenuhi kebutuhan sendiri (2) Pasien mengungkapkan mampu untuk memenuhi beberapa      aktivitas tanpa di bantu (3) Koordinasi otot, tulang dan agnggota lainnya baik



b) Intervensi (1) Rencanakan periode istirahat yang cukup Rasional



: Mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi



yang terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunnya secara optimal. (2) Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakuka Rasional



: Mengetahui tingkat aktivitas yang mampu dilakukan oleh



pasien (3) Berikan latihan aktivitas secara bertahan Rasional



: Tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses



aktivitas secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat adalah mobilisasi dini. (4) Kaji respon pasien setelah diberikan Latihan Rasional



: Menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari



tubuh sebagai akibat dari Latihan (5) Kolaborasikan dengan tenaga medik dalam merencanakan program terapi yang tepat. Rasional



: Terapi yang tepat dapat meningkatkan kondisi pasien.



1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolik, terdapat luka terbuka, terdapat jaringan nekrosis. a) Tujuan dan kriteria hasil Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kerusakan integritas kulit tidak terjadi dengan kriteria hasil: (1) Tidak ada tanda-tanda infeksi  (2) Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor (3) Tanda-tanda vital dalam batas normal b) Intervensi (1) Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka  Rasional



: Mengetahui sejauh mana perkembangan luka



mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat. (2) Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan yang luka 



Rasional



: Mengidentifikasi tingkat keparahan luka sehingga



mempermudah intervensi. (3) Pantau peningkatan suhu tubuh  Rasional



:



Suhu



tubuh



yang



meningkat



dapat



diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan. (4) Berikan perawatan luka dengan teknik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril. Rasional



: Teknik aseptik membantu mempercepat penyembuhan



luka dan mencegah terjadinya infeksi. (5) Ganti balutan sesuai kebutuhan Rasional



: Balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari



tergantung kondisi parah atau tidaknya luka, agar tidak terjadi infeksi.  (6) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi  Rasional



:



Antibiotik



berguna



untuk



mematikan



mikroorganisme patogen pada daerah yang beresiko terjadi infeksi. 5. Pelaksanaan/Implementasi Keperawatan Implementasi adalah pengelolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang



telah disusun pada tahap perencanaan. Menurut Wahyuni (2016) implementasi



tindakan keperawatan dibedakan berdasarkan kewenangan dan tanggung jawab perawat secara



professional antara lain: 



a. Independent yaitu suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dan perintah dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya. b. Interdependent yaitu suatu kegiatan yang memerlukan suatu kerja sama dengan tenaga kesehatan lainnya, misalnya tenaga sosial, ahli gizi, fisioterapi dan dokter. c. Dependent yaitu pelaksanaan rencana tindakan medis. Tujuan dari implementasi adalah membantu dalam mencapai tujuan yang telah di tetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping (Efendi & Makhfudli, 2010). Implementasi keperawatan terdiri dari 7 proses yaitu: a.



Bekerja sama dengan pasien dalam pelaksanaan tindakan Keperawatan.



b. Kolaborasi profesi kesehatan, meningkatkan status kesehatan. c.



Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah kesehatan klien.



d. Melakukan supervisi terhadap tenaga pelaksanaan, tenaga keperawatan dibawah tanggung jawabnya. e.



Menjadi coordinator pelayanan dan advokasi terhadap klien tentang status kesehatan dan fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada.



f.



Memberikan pendidikan kepada klien tentang status keluarga mengenai konsep, keterampilan asuhan diri serta membantu klien memodifikasi lingkungan yang digunakan.



g.



Mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan respon klien.



6. Evaluasi Keperawatan Tahap penilaiaan atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara bersambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan tenaga kesehatan. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil pada perencanaan (Wahyuni,2016). Terdapat dua jenis evaluasi yaitu evaluasi sumatif dan formatif dengan menggunakan beberapa metode (Yustiana Olfah, 2016). a. Evaluasi proses (evaluasi formatif)  Fokus padaevaluasi ini adalah aktivitas dari proses keperawatan dan hasil kualitas pelayanan asuhan keperawatan. Evaluasi ini harus dilaksanakan segera setelah perencanaan keperawatan diimplementasikan untuk membantu menilai efektifitas intervensi tersebut. Metode pengumpulan data evaluasi ini menggunakan analisis rencana sduhan keperawatan, open chart audit, pertemuaan kelompok, wawancara, observasi,



dan



menggunakan



form



evaluasi.



System



penulisannya



dapat



menggunakan system SOAP yaitu:



1) S (Subjektif) yaitu perkembangan keadaan yang didasarkan pada apa yang di rasakan, dikeluhkan, dan dikemukakan klien.



2) O (Objektif) yaitu perkembangan yang bisa diamati dan diukur oleh perawat atau tim kesehatan lain.



3) A (Analisis) yaitu penilaian dari kedua jenis data (baik subjektif maupun objektif) apakah berkembang kearah perbaikan atau kemunduran.



4) P (Perencanaan) yaitu rencana penanganan klien yang didasarkan pada hasil analisis diatas yang berisi melanjutkan perencanaan sebelumnya apabila keadaan atau masalah belum teratasi. b. Evaluasi hasil (evaluasi sumatif)  Fokus pada evaluasi hasil (evaluasi sumatif) adalah pada perubahan perilaku atau status kesehatan klien pada akhir asuhan keperawatan. Evaluasi ini dilakukan pada akhirnya asuhan keperawatan secara paripurna. Evaluasi hasil bersifat objektif, fleksibel, dan efesien. Metode pelaksanaannya terdiri dari close chart audit, wawancara pada pertemuan terakhir asuhan, dan pertanyaan kepada klien dan keluarga.



WOC



Daftar Pustaka