9 0 239 KB
LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN INTEGRITAS KULIT DAN LUKA
Di Susun Oleh: Reren Yulandari (2214901016)
Pembimbing Akademik
Pembimbing Klinik
( Ns. Willady Rasyid, M.Kep, Sp.Kep.MB )
( Ns. Devizar Putri,S.Kep )
PRAKTIK PROFESI KEPERAWATAN DASAR (PPKD) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG T.A. 2022/2023
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Konsep Kebutuhan Dasar Manusia 1. Pengertian Haswita dan Sulistyowati (2017), mengemukakan kebutuhan dasar manusia adalah
unsur-unsur
yang
dibutuhkan
manusia
dalam
mempertahankan
keseimbangan fisiologis maupun psikologis, yang tentunya untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatan. Menurut Abraham Maslow teori hierarki kebutuhan dasar manusia dapat dikembangkan untuk menjelaskan kebutuhan dasar manusia sebagai berikut: a. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan paling dasar, yaitu kebutuhan
fisiologis seperti oksigen, cairan (minuman), nutrisi (makanan), keseimbangan suhu tubuh, eliminasi, tempat tinggal, istirahat dan tidur, serta kebutuhan seksual. b. Kebutuhan rasa aman dan perlindungan dibagi menjadi perlindungan fisik dan
perlindungan psikologis. Perlindungan fisik meliputi perlindungan atas ancaman tubuh atau hidup. Ancaman tersebut dapat berupa penyakit, kecelakaan,
bahaya
dari
lingkungan
dan
sebagainnya.
Sedangkan,
perlindungan psikologis yaitu perlindungan atas ancaman dari pengalaman yang baru dan asing. c. Kebutuhan rasa cinta serta rasa memiliki dan dimiliki, antara lain memberi dan
menerima kasih sayang, mendapatkan kehangatan keluarga, memiliki sahabat, diterima oleh kelompok sosial dan sebagainya. d. Kebutuhan akan harga diri maupun perasaan dihargai oleh orang lain.
Kebutuhan ini terkait dengan keinginan untuk mendapatkan kekuatan, meraih
prestasi, rasa percaya diri, dan kemerdekaan diri. Selain itu, orang juga memerlukan pengakuan dari orang lain. e. Kebutuhan aktualisasi diri, merupakan kebutuhan tertinggi dalam Hierarki
Maslow, berupa kebutuhan untuk berkontribusi pada orang lain/lingkungan serta mencapai potensi diri sepenuhnya. 2. Gangguan Keselamatan dan Keamanan Kebutuhan Dasar Manusia Konsep keselamatan dan keamanan terkait dengan kemampuan seseorang dalam menghindari bahaya, yang ditentukan oleh pengetahuan dan kesadaran serta motivasi orang tersebut untuk melakukan tindakan pencegahan. Ada 3 faktor penting yang terkait dengan keselamatan dan keamanan, yaitu tingkat pengetahuan dan kesadaran individu, kemampuan fisik dan mental dalam mempraktikkan upaya pencegahan, serta lingkungan fisik yang membahayakan atau berpotensi menimbulkan bahaya, (Nancy Roper, 2002 dikutip dalam Mubarak & Chayatin, 2008). a. Definisi keamanan dan proteksi
Keamanan bisa didefinisikan sebagai keadaan bebas dari cedera fisik dan psikologis, salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Dalam lingkungan pelayanan kesehatan memiliki rasa aman merupakan hal yang penting dalam perawatan pasien terutama bagi seorang perawat yang sudah tugasnya menjaga keamanan diri serta orang yang dirawat baik yang sakit maupun sehat yang berkaitan terhadap kehidupan dan kelangsungan hidup pasien, (Potter & Perry, 2006). Keselamatan (safety) adalah suatu keadaan seseorang (individu) kelompok, atau masyarakat terhindar dari ancaman bahaya/kecelakaan, (Tarwoto & Wartonah, 2010).
b. Faktor yang mempengaruhi keselamatan dan keamanan
Wahit dan Nurul (2008) mengemukakan, kemampuan seseorang untuk melindungi dirinya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya genetik, usia, status kesehatan, lingkungan, status psikososial, penggunaan alkohol, dan obatobatan tertentu. 1) Usia Usia erat kaitannya dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki individu. Anak-anak biasanya belum mengetahui tingkat kebahayaan dari suhu lingkungan yang dapat menyebabkan cedera pada mereka. Sedangkan lansia umumnya akan mengalami sejumlah fungsi organ yang dapat menghambat kemampuan mereka untuk melindungi diri, salah satunya adalah kemampuan persepsi-sensorik. 2) Perubahan persepsi-sensorik Persepsi-sensorik yang akurat terhadap stimulus lingkungan merupakan hal yang vital bagi keselamatan individu. Individu yang mengalami
gangguan
persepsi-sensorik
(pendengaran,
penglihatan,
penciuman, sentuhan) berisiko tinggi mengalami cedera. 3) Gangguan kesadaran Segala bentuk gangguan kesadaran (mis, pengaruh narkotik, obat penenang, alcohol, disorientasi, tidak sadar, kurang tidur, halusinasi) dapat membahayakan keselamatan dan keamanan seseorang. 4) Mobilitas dan status kesehatan Klien dengan gangguan ekstremitas (misalnya paralisis, lemah otot, gangguan keseimbangan tubuh, inkoordinasi) berisiko tidak mengalami cedera. Sedangkan klien yang lemah karena penyakit atau prosedur pembedahan tidak selalu waspada dengan kondisi mereka.
5) Keadaan emosi Emosi yang tidak stabil akan mengubah kemampuan seseorang dalam mempersepsikan bahaya lingkungan. Situasi yang penuh tekanan dapat menurunkan tingkat konsentrasi, mengganggu penilaian, dan menurunkan kewaspadaan terhadap stimulus eksternal. 6) Kemampuan berkomunikasi Klien dengan gangguan bicara atau afasia, individu dengan hambatan bahasa, dan mereka yang tidak dapat membaca atau buta huruf berisiko mengalami cedera. 7) Pengetahuan tentang keamanan Informasi tentang keamanan sangat penting guna menurunkan tingkat kebahayaan lingkungan. Dalam hal ini perawat bertanggung jawab memberikan informasi yang akurat kepada klien yang berada di rumah sakit. 8) Gaya hidup Gaya hidup yang menyebabkan individu berisiko tinggi antara lain lingkungan kerja yang tidak aman, lingkungan perumahan di daerah rawan (misalnya sungai, lereng pegunungan, jalan raya), tingkat sosial ekonomi yang rendah, akses yang mudah untuk mendapatkan obat-obatan, dll. 9) Lingkungan Kondisi Lingkungan yang tidak aman dapat mengancam keselamatan dan keamanan individu. Stimulus lingkungan seperti bunyi yang sangat keras dapat menyebabkan gangguan pada fungsi pendengaran. Bahan-bahan berbahaya seperti racun, zat kimia, emisi, logam berat (merkuri), racun bakteri (tetanus, difteri, botulisme) dapat mengakibatkan kerusakan pada
jaringan saraf. Lebih lanjut, kondisi ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi normal tubuh, baik yang sifatnya sementara atau menetap. B. Konsep Gangguan Integritas Kulit 1. Definisi Kerusakan integritas jaringan kulit adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami atau beresiko terhadap kerusakan jaringan epidermis dan dermis atau jaringan (membran mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi dan ligamen) (PPNI, 2016). 2. Anatomi Fisiologi Kulit
Menurut (Evvendy, 2013) kulit menutupi dan melindungi permukaan tubuh dan bersambung dengan selaput lendir yang melapisi rongga-rongga dan lubanglubang masuk. Kulit mempunyai banyak fungsi di dalamnya terdapat ujung saraf peraba, membantu mengatur suhu tubuh dan mengendalikan hilangnya air dari tubuh. Kulit dibagi menjadi dua lapisan yaitu Epidermis dan Dermis. a. Epidermis tersusun atas epitelium berlapis dan terdiri atas sejumlah lapisan sel
yang tersusun atas dua lapisan tampak yaitu selapis lapisan tanduk dan selapis zona germinalis. Lapisan tanduk terletak paling luar dan tersusun atas tiga lapisan sel yang membentuk epidermis yaitu:
1) Stratum Korneum: Selnya tipis, datar, seperti sisik dan terus menerus
dilepaskan. 2) Stratum Lusidum: Selnya mempunyai batas tegas tetapi tidak ada intinya. 3) Stratum Granulosum: Selapis sel yang jelas tampak berisi inti dan juga
granulosum. 4) Zona Germinalis terletak dibawa lapisan tanduk dan terdiri atas dua lapis
sel epitel yang berbentuk tegas yaitu: -
Sel berduri: Sel dengan fibril halus yang menyambung sel satu dengan yang lainnya.
-
Sel basal: Sel ini terus memproduksi sel epidermis baru.
b. Dermis adalah lapisan kulit yang tersusun atas jaringan fibrus dan jaringan ikat
yang elastik. Lapisan kulit yang lebih tebal berisi ikatan kolagen dan serat elastis menyokong epidermis. Ujung akhir saraf sensoris, yaitu puting peraba, terletak di dalam dermis. Pelengkap Kulit: rambut, kuku, dan kelenjar sebaseus. Fungsi Kulit: 1) Perlindungan Lapisan epidermis atau lapisan terkematu merupakan lapisan perlindungan daripada kemasukan bakteria, ini merupakan perlindungan tahap pertama. Lapisan berkematu yang senantiasa gugur, menyebabkan bakteria sukar membiak dan bertapak tetap pada kulit. 2) Kulit sebagai organ pengatur panas kulit adalah organ utama yang berurusan dengan pelepasan panas dari tubuh, dengan cara: Penguapan: jumlah keringat yang dibuat tergantung dari banyaknya darah yang mengalir melalui pembuluh dalam kulit. Pemancaran: panas dilepas pada udara sekitar. Konduksi: panas dialihkan ke benda yang disentuh. Konveksi: udara yang telah menyentuh permukaan tubuh diganti dengan udara yang lebih dingin.
3) Kulit sebagai indra peraba Rasa sentuhan disebabkan rangsangan pada ujung saraf di dalam kulit, berbeda-beda menurut ujung saraf yang dirangsang. 4) Tempat penyimpanan air, jaringan adipose di bawah kulit merupakan tempat penyimpanan lemak yang utama pada tubuh. 5) Sintesis vitamin D. Apabila lapisan kulit ini terdedah kepada sinaran ultraungu, sinaran ultraungu ini akan diserap oleh kulit dan bertindak ke atas prekursor, seterusnya menukarkannya kepada vitamin D. 3. Tanda dan Gejala Kerusakan Integritas Kulit Menurut (SDKI, 2016) tanda dan gejala untuk diagnosa kerusakan integritas kulit adalah: a. Tanda dan gejala mayor:
Subyektif: Objektif : - kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit. b. Tanda dan gejala minor:
Subjektif: Objektif:
- Nyeri - Perdarahan - Kemerahan - Hematoma
4. Penyebab Kerusakan Integritas Kulit\ Menurut (SDKI, 2016) penyebab kerusakan integritas kulit adalah: a. Perubahan sirkulasi b. Perubahan status nutrisi (kelebihan atau kekurangan) c. Kekurangan atau kelebihan volume cairan d. Penurunan mobilitas
e. Bahan kimia iritatif f. Suhu lingkungan yang ekstrim g. Faktor mekanis (misalnya penekanan pada tonjolan tulang, gesekan) atau faktor elekris (elektrodiatermi, energi listrik bertegangan tinggi) h. Efek samping terapi radiasi i. Kelembapan j. Proses penuaan k. Neuropati perifer l. Perubahan pigmentasi m. Peruabahan hormonal n. Kurang terpapar informasi tentang upaya mempertahankan atau melindungi integritas jaringan. 5. Kondisi Klinis Kondisi klinis yang memiliki risiko gangguan integritas kulit, antara lain : a. Imobilisasi b. Gagal jantung kongestif c. Gagal ginjal d. Diabetes Melitus e. Imunodefisiensi (mis. AIDS) f.
Kateterisasi jantungg (Tim Pokja DPP PPNI tahun 2017).
6. Dampak Gangguan Integritas Kulit Menurut Wijaya (2013), dampak apabila terjadi gangguan integritas kulit sebagai berikut: a. Nyeri daerah luka tekan b. Intoleransi aktivitas
c. Gangguan pola tidur d. Penyebaran infeksi sehingga memperlambat proses penyembuhan.
7. Komplikasi Menurut Mulyati (2014) terdapat kompikasi akibat gangguan integritas kulit, yaitu : a. Neuropati sensorik yang menyebabkan hilangnya perasaan nyeri dan
sensibilitas tekanan. b. Neuropati otonom yang menyebabkan timbulnya peningkatan kekeringan
akibat penurunan perspirasi. c. Vaskuler perifer yang menyebabkan sirkulasi buruk yang menghambat
lamanya kesembuhan luka sehingga menyebabkan terjadinya kompikasi ulkus dekubitus. C. Konsep Luka 1. Pengertian Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan (Sjamsuhidajat, 2017). Luka adalah terputusnya kontinuitas jaringan karena cedera atau pembedahan. Luka bisa diklasifikasikan berdasarkan struktur anatomis, sifat, proses penyembuhan, dan lama penyembuhan (Kartika, 2015). Luka merupakan suatu keadaan terputusnya kontinuitas jaringan tubuh yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi tubuh, sehingga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari (Hidayat, 2014). Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka adalah kerusakan kontinuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul seperti : hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan serta pembekuan darah,
kontaminasi bakteri, dan kematian sel (Kozier, 1995). Berdasarkan waktu penyembuhan, luka dibedakan menjadi : a. Luka akut: luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah diharapkan. b. Luka kronis : luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen. 2. Penyebab Luka Bentuk luka bermacam-macam bergantung penyebabnya, misalnya luka sayat atau vulnus scissum yang disebabkan oleh benda tajam, sedangkan luka tusuk yang disebut vulnus punctum akibat benda runcing. Luka robek, laserasi atau vulnus laceratum merupakan luka yang tepinya tidak rata atau compangcamping disebabkan oleh benda yang permukaanya tidak rata. Luka lecet pada permukan kulit akibat gesekan disebut ekskoriasi. Panas dan zat kimia juga dapat menyebabkan luka bakar atau vulnus kombusi (Sjamsuhidajat, 2017). Sedangkan menurut Dealey (2005), ada beberapa penyebab luka yaitu traumatis misalnya luka karena trauma mekanik, kimia, fisik; luka yang disengaja misalnya luka 9 operasi; luka iskemia misalnya ulkus kaki diabetes; dan luka karena tekanan misalnya ulkus tekan/ulkus dekubitus. 3. Fase Penyembuhan Luka
Menurut Arisanty (2014), secara fisiologis tubuh dapat memperbaiki kerusakan jaringan kulit (luka) sendiri yang dikenal dengan penyembuhan luka. Penyembuhan luka dapat dibagi ke dalam tiga fase, yaitu fase inflamasi, proliferasi, dan fase maturasi atau remodelling. a. Fase Inflamasi Fase inflamasi terjadi pada awal kejadian atau saat luka terjadi (hari ke-0) hingga hari ke-3 atau ke-5 (Arisanty, 2014). Menurut Sjamsuhidajat (2017), pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan, dan tubuh berusaha menghentikannya dengan vasokontriksi, pengerutan ujung pembuluh darah yang putus (retraksi), dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melekat, dan bersama jala fibrin yang terbentuk, membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah. Setelah hemostasis, proses koagulasi akan mengaktifkan kaskade komplemen. Dari kaskade ini akan dikeluarkan bradikinin dan anafilatoksin C3a dan C5a yang menyebabkan vasodilatasi dan permeabilitas vaskular meningkat sehingga terjadi eksudasi, penyebukan sel radang, disertasi vasodilatasi setempat yang menyebabkan edema dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinis reaksi radang semakin jelas, berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), rasa hangat (kalor), nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor). Aktivitas seluler yang terjadi yaitu pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh darah (diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik 10 yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka. Monosit dan limfosit yang kemudian muncul, ikut menghancurkan dan memakan kotoran luka dan bakteri (fagositosis). Fase ini disebut juga fase lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit, dan luka hanya dipertautkan oleh fibrin yang amat lemah.
b. Fase Proliferasi Terjadi mulai hari ke-2 sampai ke-24 yang terdiri atas proses destruktif (fase pembersihan), proses proliferasi atau granulasi (pelepasan sel-sel baru/pertumbuhan), dan epitelisasi (migrasi sel/penutupan) (Arisanty, 2014). Pada fase destruktif terjadi pembersihan terhadap jaringan mati (yang mengalami devitalisasi) dan bakteri oleh polimorf dan makrofag. Polimorf dan makrofag juga merangsang pembentukan fibroblas yang melakukan sintesa struktur protein kolagen dan menghasilkan sebuah faktor yang dapat merangsang angiogenesis atau pembentukan pembuluh darah. Fibroblas akan meletakkan substansi dasar dan serabut-serabut kolagen serta pembuluh darah baru mulai menginfiltrasi luka. Begitu kolagen diletakkan, maka terjadi peningkatan yang cepat pada kekuatan regangan luka (Morison, 2003). Selain itu juga terbentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan berbenjol halus yang disebut jaringan granulasi. Setelah tumbuh jaringan granulasi terjadi proses epitelisasi, tepi luka yang terdiri atas sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka, proses fibroblasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase maturasi (Sjamsuhidajat, 2017). c. Fase Maturasi Fase maturasi atau remodelling terjadi mulai hari ke-24 hingga satu atau dua tahun, yaitu fase penguatan kulit baru. Pada fase ini terjadi proses epitelisasi, kontraksi, dan reorganisasi jaringan ikat. Dalam setiap cidera yang mengakibatkan hilangnya kulit, sel epitel pada pinggir luka dan dari sisa-sisa
folikel rambut, serta glandula sebasea dan glandula sudorifera, membelah dan mulai bermigrasi di atas jaringan granula baru. Kontraksi luka disebabkan karena miofibroblas kontraktil yang membantu menyatukan tepi-tepi luka. Terdapat suatu penuruan progresif dalam vaskularisasi jaringan parut, yang berubah dalam penampilannya dari merah kehitaman menjadi putih. Serabutserabut kolagen mengadakan reorganisasi dan kekuatan regangan luka meningkat (Morison, 2003). Kondisi yang umum terjadi pada fase ini adalah terasa gatal dan penonjolan epitel (keloid) pada permukaan kulit. Pada fase ini, kolagen bekerja lebih teratur dan lebih memiliki fungsi sebagai penguat ikatan sel kulit baru, kulit masih rentan terhadap gesekan dan tekanan sehingga memerlukan perlindungan. Dengan memberikan kondisi lembap yang seimbang pada bekas luka dapat melindungi dari risiko luka baru. Perlu diingat bahwa kualitas kulit baru hanya kembali 80%, tidak sempurna seperti kulit sebelumnya atau sebelum kejadian luka (Arisanty, 2014).
D. Standar Operasional Perawatan Luka
PERAWATAN LUKA
STANDARD OPERSIONAL PROSEDUR
PENGERTIAN Membersihkan luka, mengobati luka dan menutup kembali luka dengan tekhnik steril. GAMBAR
TUJUAN
1. 2. 3. 4.
Mencegah masuknya kuman dan kotoran ke dalam luka. Memberi pengobatan pada luka. Memberikan rasa aman dan nyaman pada pasien. Mengevaluasi tingkat kesembuhan luka.
INDIKASI
1.
Pasien yang luka baru maupun luka lama, luka post oprasi, luka bersih dan luka kotor.
PETUGAS
Perawat
PERALATAN
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pinset anatomis Pinset chirurgis Gunting debridemand / gunting jaringan. Kassa steril. Kom kecil 2 buah. Peralatan lain terdiri dari : a. Sarung tangan. b. Gunting plester. c. Plester. d. Desinfektan (Bethadin). e. Cairan NaCl 0,9% f. Bengkok g. Perlak / pengalas. h. Verband.
PROSEDUR PELAKSANAA N
i. Obat luka sesuai kebutuhan. A. Tahap pra interaksi 1. Cek catatan keperawatan 2. Siapkan alat-alat 3. Cuci tangan B. Tahap orientasi 1. Berikan salam, panggil klien dengan namanya. 2. Jelaskan tujuan, prosedur dan lamanya tindakan pada klien dan keluarga. C. Tahap kerja 1. Dekatkan alat-alat dengan klien 2. Menjaga privasy pasien. 3. Mengatur posisi pasien sesuai kebutuhan. 4. Pasang perlak / pengalas di bawah daerah luka. 5. Membuka peralatan. 6. Memakai sarung tangan. 7. Basahi kasa dengan bethadin kemudian dengan menggunakan pinset bersihkan area sekitar luka bagian luar sampai bersih dari kotoran. (gunakan teknik memutar searah jarum jam) 8. Basahi kasa dengan cairan NaCl 0,9% kemudian dengan menggunakan pinset bersihkan area luka bagian dalam. (gunakan teknik usapan dari atas ke bawah) 9. Keringkan daerah luka dan Pastikan area daerah luka bersih dari kotoran. 10. Beri obat luka sesuai kebutuhan jika perlu. 11. Pasang kasa steril pada area luka sampai tepi luka. 12. Fiksasi balutan menggunakan plester atau balautan verband sesuai kebutuhan. 13. Mengatur posisi pasien seperti semula. 14. Alat-alat dibereskan. 15. Buka sarung tangan. D. Tahap terminasi 1. Evaluasi hasil tindakan. 2. Catat tindakan. 3. Berpamitan.
E. Tinjauan Asuhan Keperawatan Kebutuhan Keamanan Dan Proteksi Kerusakan Integritas Kulit
1. Pengkajian Pengkajian keperawatan adalah tahap pertama dalam proses perawatan. Tahap ini sangat penting dan menentukan dalam tahap-tahap selanjutnya. Data yang komprehensif dan valid akan menentukan penetapan diagnosis keperawatan dengan tepat dan benar, serta selanjutnya akan berpengaruh dalam perencanaan keperawatan. Tujuan
dari pengkajian adalah didapatkannya data yang
komprehensif yang mencakup data biopsiko dan spiritual, (Tarwoto & Wartonah, 2015). a. Pemeriksaan fisik 1) Pemeriksaan fisik integumen Menurut Smeltzer
(2002), dikutip
dalam Risnawati
(2019),
Pemeriksaan kulit dilakukan untuk menilai warna, adanya sianosis, ikterus, ekzema, pucat, purpura, eritema, makula, papula, vesikula, pushtula, ulkus, turgor kulit, kelembapan kulit, tekstur kulit, dan edema. Penilaian warna kulit untuk mengetahui adanya pigmentasi dan kondisi normal yang dapat disebabkan oleh melanin kulit. a) Pemeriksaan Kulit Periksa seluruh permukaan kulit di bawah cahaya yang baik, inspeksi, dan palpasi setiap area. Perhatikan : (1)Warna : sianosis, ikterus, kerotenemia, perubahan melanin. (2)Kelembaban : lembab, kering, berminyak. (3)Temperatur : Dingin, hangat (4)Tekstur : Licin, kasar. (5)Mobilitas – Kemudahan : Menurun pada edema lipatan kulit untuk
dapat digerakkan. (6)Turgor- kecepatan : Menurun pada dehidrasi lipatan kulit kembali ke keadaan semula. (7)Perhatikan adanya lesi dan Lokasi dan distribusi : merata Terlokalisasi anatominya. (8)Susunan dan bentuknya : linier, berkumpul, dermatomal. (9)Tipe : makula, papula, pustula, bula, tumor. b) Pemeriksaan Rambut Pemeriksaan rambut dilakukan untuk menilai adanya warna, kelebatan, distribusi, dan karakteristik rambut lainnya. Dalam keadaan normal, rambut menutupi semua bagian tubuh kecuali telapak tangan kaki, dan permukaan labia sebelah dalam. Rambut yang kering, rapuh, dan kekurangan pigmen dapat menunjukkan adanya kekurangan gizi. Rambut yang jarang/ tumbuh kurang subur dapat menunjukkan adanya malnutrisi, penyakit hipotiroidisme, efek obat, dll. Inspeksi dan palpasi rambut, perhatikan : (1)Kuantitas
: tipis, tebal.
(2)Distribusi
: alopesia sebagian atau total.
(3)Tekstur
: halus, kasar.
c) Pemeriksaan Kuku Pemeriksaan kuku dilakukan dengan mengadakan inspeksi terhadap warna, bentuk, dan keadaan kuku. Adanya jari tabuh (Clubbing fingers) dapat menunjukkan penyakit pernafasan kronis, atau penyakit jantung. Bentuk kuku yang cekung atau cembung menunjukkan adanya cedera defisiensi besi, atau infeksi. Inspeksi dan palpasi kuku
jari tangan dan kaki, perhatikan : (1)Warna
: sianosis, pucat.
(2)Bentuk : jari tabuh (clubbing) (3)Adanya lesi : paronkia, onikolisis. 2. Diagnosis keperawatan Menurut Standar Diagnosis keperawatan Indonesia (SDKI) Tahun 2017 Edisi I Cetakan II diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien yang mengalami dermatitis adalah : Gangguan Integritas Kulit 3. Intervensi Keperawatan Intervensi keperawatan pada masalah keamanan dan proteksi tergantung dari diagnosa keperawatan. Berdasarkan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) tahun 2018 Edisi 1 Cetakan II intervensi dari diagnosa gangguan integritas kulit adalah sebagai berikut :
Diagnosa
Tabel Intervensi Keperawatan gangguan integritas kulit Intervensi Utama Intervensi
Keperawatan
Pendukung
Gangguan
Perawatan
Integritas Kulit
kulit
integritas 1. Dukungan perawatan diri
Observasi :
2. Edukasi
1. Identifikasi penyebab
perawatan diri
gangguan integritas 3. Edukasi kulit
perawatan kulit
Terapeutik :
4. Edukasi
1. Ubah posisi tiap 2 jam
jika
tirah
baring.
perilaku upaya kesehatan 5. Edukasi
2. Lakukan pemijatan pada
area
pola perilaku kebersihan
tulang 6. Edukasi
penonjolan
program
jika perlu 3. Bersihkan parineal
pengobatan
dengan air hangat, 7. Konsultasi selama 8. Latihan
terutama
rentang gerak
periode diare 4. Gunakan
9. Manajemen nyeri
produk
10. Pelaporan
berbahan petroleum
status kesehatan
atau minyak pada 11. Pemberian obat kulit kering
12. Pemberian
5. Gunakan produk alami
obat intradermal berbahan 13. Pemberian
ringan
hipoalergik
dan pada
kulit sensitive 6. Hindari produk
intramuscular 14. Pemberian obat intravena
berbahan 15. Pemberian obat
dasar alkohol pada kulit kering Edukasi :
obat
kulit 16. Pemberian obat subkutan
1. Anjurkan
17. Pemberian
menggunakan
obat topical
pelembab
18. Penjahitan luka
2. Anjurkan minum air 19. Perawatan area yang cukup
insisi
3. Anjurkan
20. Perawatan
meningkatkan
imobilisasi
asupan nutrisi
21. Perawatan kuku
4. Anjurkan
22. Perawatan
meningkatkan asupan
luka bakar
buah
dan 23. Perawatan
sayur
luka tekan
5. Anjurkan
24. Perawatan
menghindari
pasca seksio
terpapar
suhu
ekstrem
sesaria. 25. Perawatan skin
6. Anjurkan
graft
menggunakan tabir 26. Teknik surya SPF minimal
latihan
30
penguatan
saat
berada
diluar rumah. 7. Anjurkan mandi
otot
dan sendi 27. Terapi lintah
menggunakan sabun 28. Skrining kanker secukupnya Sumber : Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (2018)
4. Implementasi Keperawatan Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana perawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri (independen) dan tindakan kolaborasi. Tindakan mandiri (independen) adalah aktivitas perawat yang didasarkan pada kesimpulan atau keputusan sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau perintah dari petugas kesehatan lain. Sedangkan tindakan kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan hasil keputusan bersama, seperti dokter dan petugas kesehatan lainnya, (Tarwoto & Wartonah, 2015). 5. Evaluasi Keperawatan Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan
untuk dapat
menemukan keberhasilan dalam asuhan keperawatan untuk dapat menemukan keberhasilan
dalam
asuhan
keperawatan.
Evaluasi
pada
dasarnya
adalah
membandingkan status keadaan kesehatan pasien dengan tujuan atau kriteria hasil yang telah ditetapkan, (Tarwoto & Wartonah, 2015). Berdasarkan Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) Edisi I Cetakan II Tahun (2019), didapatkan hasil evaluasi dari diagnosa keperawatan gangguan integritas kulit adalah sebagai berikut : Tabel Standar Luaran Keperawatan Indonesia Gangguan Integritas Kulit Dan Jaringan Luaran Utama Integritas kulit dan jaringan Definisi : Keutuhan kulit (dermis dan/atau epidermis) atau jaringan (membran mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi dan/atau ligamen). Ekspektasi : Meningkat Kriteria Hasil : Menurun Elastisitas Hidrasi Perfusi Jaringan
1 1 1 Meningkat
Kerusakan
1
Cukup Menurun 2 2 2 Cukup Meningkat 2
Sedang 3 3 3 Sedang 3
Cukup Meningkat 4 4 4 Cukup Menurun 4
Meningkat 5 5 5 Menurun 5
jaringan Kerusakan lapisan kulit Nyeri Perdarahan Kemerahan Hematoma Pigmentasi abnormal Jaringan parut Nekrosis Abrasi kornea
1
2
3
4
5
1 1 1 1 1
2 2 2 2 2
3 3 3 3 3
4 4 4 4 4
5 5 5 5 5
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
Memburuk Suhu kulit Sensasi Tekstur Pertumbuhan rambut
1 1 1 1
Cukup Memburuk 2 2 2 2
Sedang 3 3 3 3
Sumber : Standar Luaran Keperawatan Indonesia (2019)
Cukup Membaik 4 4 4 4
Membaik 5 5 5 5
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. (E. A. Mardella, Ed.). Jakarta: EGC. Association, A. D. (2014). Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes Care, 37(SUPPL.1), 81–90. https://doi.org/10.2337/dc14-S081 Dinarti, Aryani, R., Nurhaeni, H., & Chairani, R. (2009). Dokumentasi Keperawatan. (Jusirman, Ed.) (1st ed.). Jakarta Timur: Cv. Trans Info Media. Gde, T., Pemayun, D., & Naibaho, R. M. (2017). Clinical profile and outcome of diabetic foot ulcer , a view from tertiary care hospital in Semarang , Indonesia. Diabetic Foot & Ankle, 8(1), 1–8. https://doi.org/10.1080/2000625X.2017.1312974 Hasona, N., & Elasbali, A. (2016). Evaluation of Electrolytes Imbalance and 64 Dyslipidemia in Diabetic Patients. Medical Sciences, 4(2), 7. https://doi.org/10.3390/medsci4020007 Hetharia, R. (2009). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen. (S. Mulyani, Ed.). Jakarta: Trans Info Media. Interasional Diabetes Federation. (2015). IDF Diabetes Atlas. (D. Cavan, J. da R. Fernandes, L. Makaroff, K. Ogurtsova, & S. Webber, Eds.), International Diabetes Federation (7th ed.). https://doi.org/10.1289/image.ehp.v119.i03
International Diabetes Federation. (2013). IDF ATLAS DIABETES Sixth edition. (L. Guariguata, T. Nolan, J. Beagley, U. Linnenkamp, & O. Jacqmain, Eds.) (6th ed.). Retrieved from https://www.idf.org/e-library/epidemiologyresearch/diabetes-atlas/19-atlas-6thedition.html
Janmohammadi, N., Roushan, M. R. H., Moazezi, Z., Rouhi, M., Gangi, S. M. E., & Bahrami, M. (2011). Epidemiological characteristics of diabetic foot ulcer in Babol, North of Iran: A study on 450 cases. Caspian Journal of Internal Medicine, 2(4), 321–325. Karnadihardja, W. (2005). Infeksi. In R. Sjamsuhidajat & W. De Jong (Eds.), Buku Ajar Ilmu Bedah (2nd ed., pp. 12–65). Jakarta: EGC. Koizer, B., Erb, G., Berman, A., & Synder, S. J. (2011). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, & Praktik. (D. Widiarti, A. O. Tampubolon, & N. B. Subekti, Eds.) (7th ed.). Jakarta: EGC. Manda, V., Sreedharan, J., Muttappallymyalil, J., Das, R., & Hisamatsu, E. (2012). Foot ulcers and risk factors among diabetic patients visiting Surgery Department in a University Teaching Hospital in Ajman, UAE. International Journal of Medicine and Public Health, 2(3), 34–38. https://doi.org/10.5530/ijmedph.2.3.8 R. Sjamsuhidajat & W. De Jong (Eds.), Buku Ajar Ilmu Bedah (2nd ed., pp. 165– 174). Jakarta: EGC. Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2008). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing (12th ed.). USA: Elsevier inc Wang, A., Xu, Z., & Mu, Y. (2014). Clinical Characteristics and Medical Costs in Patients With Diabetic Amputation and Nondiabetic Patients With Nonacute Amputation in Central Urban Hospitals in China. The International Journal of Lower Extremity Wounds, (December), 1–5. https://doi.org/10.1177/1534734614521235
Waspadji, S. (2010). Kaki Diabetik. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. S. K., & S. Setiati (Eds.), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edisi V). Jakarta: InternalPublishing. Wibowo, B. S. A. (2015). Asuhan Keperawatan Klien Diabetes Melitus Dengan 67 Kerusakan Integritas Jaringan (Luka Gangren) Di Ruang Bougenvile Rsud Dr. Moch Soewandhie Surabaya. Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013). KMB 2 Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan Dewasa) (II). Yogyakarta: Nuha Medika. World Health Organization. (2016). Global Report on Diabetes. WHO (Vol. 978). France: WHO. https://doi.org/ISBN 978 92 4 156525 7 Yulianawati, R. (2017). Asuhan Keperawatan Klien Yang Mengalami Diabetes Melitus Dengan Kerusakan Integritas Jaringan Di Ruang Cempaka RSUD DR.Soedirman Kebumen. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong