LP Periformis Muscla Sindrome [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN DEGAN DIAGNOSA MEDIS PIRIFORMIS MUSCLE SYNDROME DI RUANGAN EDELWEIS II



VIRGINIA PIPIT DAMAYANTI 18102



AKADEMI KEPERAWATAN POLRI JAKARTA 2021



A. Pengertian Periformis syndrom dalah gangguan neuromuskular yang terjadi ketika N. Ischiadicus terkompresi atau teriritasi oleh M. Piriformis. Sindrome piriformis akan meningkat dengan adanya kontraksi pada otot piriformis, duduk yang lama, atau tekanan langsung pada otot. B. Etiologi Etiologi sindrom piriformis masih belum jelas namun gejalanya mungkin akibat neuritis bagian proksimal nervus iskiadikus. Muskulus piriformis selain mengiritasi, dapat pula menekan nervus iskiadikus, terkait dengan spasme dan/atau kontrakturnya, masalah ini menyerupai iskialgia diskogenik (pseudoiskialgia). Berdasarkan etiologi, sindrom piriformis dapat dibagi atas penyebab primer dan sekunder, yaitu: a. Penyebab primer Terjadi akibat kompresi saraf langsung. Tampilan posterior panggul yang menunjukkan perjalanan nervus iskiadikus. Akibat trauma atau faktor intrinsik muskulus piriformis, termasuk variasi anomali anatomi otot, hipertrofi otot, inflamasi kronik otot, dan perubahan



sekunder akibat



trauma semacam perlengketan (adhesi). b. Penyebab sekunder Termasuk gejala yang terkait lesi massa dalam pelvis, infeksi, anomali pembuluh darah atau simpai fibrosis yang melintasi saraf, bursitis tendon piriformis, inflamasi sakroiliaka, dan adanya titik-titik picu myofasial. Penyebab lain dapat berasal dari: pseudoaneurisma arteri gluteus inferior, sindrom



piriformis



bilateral



terkait



dengan



posisi



duduk



yang



berkepanjangan, serebral palsy terkait dengan hipertonus dan kontraktur, artroplasti panggul total, dan myositis ossificans. C. Manifestasi Klinis Keluhan yang khas adalah kram atau nyeri di pantat atau di area hamstring, nyeri iskialgia di kaki tanpa nyeri punggung, dan gangguan sensorik maupun



motorik sesuai distribusi nervus iskiadikus. Keluhan pasien dapat pula berupa nyeri yang semakin menjadi saat membungkuk, berlama-lama duduk, bangun dari duduk, atau saat melakukan rotasi internal paha, begitu pula rasa nyeri saat miksi/defekasi dan dispareunia. Penegakan diagnosis sindrom piriformis sering dibuat setelah mengeksklusi penyebab iskialgia lain. Robinson pertama kali menyusun penegakan diagnosis berdasar 6 ciri: a. Riwayat jatuh pada bokong. b. Nyeri pada area: sendi sacroiliaca, foramen ischiadicum majus, dan otot piriformis. c. Nyeri akut yang kambuh saat membungkuk atau mengangkat. d. Adanya massa yang teraba diatas piriformis. e. Tanda laseque positif. f. Atrofi gluteus. Menurut Roy (2014), hampir 50% pasien sindrom piriformis pernah mengalami cedera langsung pada pantat ataupun trauma torsional pada panggul atau punggung bagian bawah, sisanya terjadi spontan tanpa penyebab yang dapat diidentifikasi. Kompresi atau iritasi nervus iskiadikus dapat terjadi jika muskulus piriformis meradang, bengkak, atau kaku. Hal ini dapat terjadi karena aktivitas berlebihan, duduk sepanjang hari, dan berbagai aktivitas yang melibatkan posisi duduk lama. Gejala paling sering adalah nyeri setelah duduk lebih dari 15 menit, terkadang penderita juga merasa sulit berjalan dan nyeri saat aktivitas melibatkan gerakan rotasi internal, seperti duduk berila. Kekakuan muskulus piriformis dan disfungsi sakral dapat menyebabkan tekanan pada ligamen sakrotuberus. Tekanan ini menyebabkan kompresi pada nervus pudendus atau pada tulang yang menyebabkan nyeri selangkangan dan pelvis. Kompresi cabang fibula dari nervus iskiadikus dapat menyebabkan nyeri dan kesemutan paha bagian belakang. Menurut Roy (2014), beberapa gejala antara lain: a. Kaku atau nyeri bagian pinggul atau pantat. b. Nyeri menjalar kebagian bokong atau hamstring atau betis.



c. Kesemutan ekstremitas bawah. d. Nyeri dan kaku saat adanya tekanan pada muskulus periformis, seperti saat duduk. e. Nyeri pinggang. f. Nyeri ketika duduk lebih dari 15 menit. g. Nyeri ketika berjalan. D. Patofisiologi dan Pathway Hiperlordosis lumbal dan kontraktur panggul pada posisi fleksi meningkatkan regangan muskulus piriformis juga cenderung menyebabkan gejala sindrom piriformis. Pasien dengan kelemahan otot-otot abduktor atau ketimpangan panjang tungkai bawah juga cenderung mengalami sindrom ini. Perubahan biomekanika gaya berjalan (gait) sebagai penyebab hipertrofi muskulus piriformis dan inflamasi kronik, juga akan memunculkan sindrom piriformis. Dalam proses melangkah, saat fase berdiri (stance phase) muskulus piriformis teregang sejalan dengan beban pada panggul yang dipertahankan dalam posisi rotasi internal. Saat panggul memasuki fase mengayun (swing phase), muskulus piriformis berkontraksi dan membantu rotasi eksternal. Muskulus piriformis tetap dalam kondisi teregang selama proses melangkah dan cenderung lebih hipertrofi dibanding otot lain di sekitarnya. Setiap abnormalitas proses melangkah yang melibatkan panggul dengan posisi rotasi internal atau adduksi yang meningkat dapat semakin meregangkan muskulus piriformis. Trauma tumpul dapat menyebabkan hematom dan fibrosis di antara nervus ischiadicus dan otot-otot rotator eksternal pendek. Suatu studi menunjukkan di antara 15 pasien sindroma piriformis pascatrauma langsung diarea bokong, aktifitas normal kembali 2 bulan setelah operasi pembebasan tendon piriformis tendon dan neurolisis nervus iskiadikus. Radikulopati lumbal bagian bawah mengakibatkan iritasi sekunder muskulus piriformis yang nantinya akan mempersulit diagnosis dan memperlambat fisioterapi metode peregangan punggung bawah dan panggul karena memperberat gejalagejala sindrom piriformis.



Gambar Pathway Periformis Muscle Syndrome (Mahendrakrisna, 2019) Trauma



Otot periformis



Memendek atau spasme Menekan atau menjepit saraf sciatic Muncul gejala



Periformis syndrome



Nyeri saat aktivitas



Adanya peradangan pada musculus piriformis



Gangguan mobilitas fisisk



Kekakuan musculus periformis Tekanan disfungsi sakral



Nyeri akut



Nyeri selangkangan dan pelvis Kesemutan paha bagian belakang



Disfungsi neurovaskuler perifer



E. Pemeriksaan Penunjang Modalitas



diagnostik



seperti



Magnetic



Resonance



Imaging



Computer (



Tomography-scan



MRI),



Ultrasound



(CT-scan),



(USG),



dan



Electromyography (EMG) sering berguna untuk menyingkirkan diagnosis banding. MRI dapat mengidentifikasi adanya anomali anatomis yang menyebabkan kompresi nervus iskiadikus. MRI lebih sensitif dibandingkann CT scan dan USG. CT-scan dan USG dapat mengidentifikasi adanya massa yang dapat menyebabkan kompresi nervus iskiadikus. Pada USG, muskulus piriformis yang sakit ditemukan lebih tebal dibandingkan yang sehat (rerata 10,9 mm pada sisi sehat dan 13,5 mm pada sisi sakit). EMG dan Nerve Conduction Studies (NCS) biasanya normal. EMG dapat membedakan sindrom piriformis dari herniasi diskus intravertebralis.3,9 Kelainan nervus



intraspinalis akan menimbulkan EMG abnormal pada muskulus piriformis bagian proksimal, tetapi tidak ditemukan pada sindrom piriformis. F. Komplikasi Jika tidak mendapat penanganan, sindrom piriformis dapat menyebabkan cedera pada saraf skiatik (skiatika). Kondisi ini dapat merusak saraf secara permanen dan menimbulkan sejumlah komplikasi. Komplikasi tersebut meliputi nyeri kronis, mati rasa permanen, dan kelumpuhan. Pada penderita piriformis syndrome adalah kontraktur otot. Kontraktur dapat terjadi selama proses penyembuhan, kurangnya aktivitas berupa gerakan aktif maupun pasif dapat mengakibatkan kontraktur otot pada M.Piriformis. G. Penatalaksanaan Medis Penatalaksaan



dalam



menanggulangi



sindrom



piriformis



ini



dapat



menggunakan intervensi farmakologis, non farmakologis dan pembedahan. Namum memang tatalaksana yang digunakan pada penyakit ini biasanya dikombinasikan antara farmakologis seperti NSAID dan non farmakologis seperti fisioterapi atau rehabilitasi. a. Farmakologis. Penanganan konservatif pertama yang dapat digunakan adalah pemberian NSAID. NSAID dan Paracetamol (Acetaminophen) telah menjadi pilihan dalam penatalaksaan dari banyak kondisi yang bermanifestasi seperti LBP, termasuk didalamnya sindrom Piriformis. Dari penelitian diketahui pasien dengan NSAID lebih cepat mengalami perbaikan gejala dalam 1 minggu dibandingkan dengan yang menggunakan placebo. Selain itu injeksi steroid (Triamcinolone 80 mg) dan/atau anestesi lokal (Lidokain 1%) menggunakan jarum spinal 3,5 inci (8.9 cm) atau lebih panjang pada pasien gemuk, dapat digunakan. Hindari injeksi langsung pada nervus ischiadicus dengan meminta pasien melaporkan setiap perubahan sensasi selama prosedur. Beberapa peneliti meyakini hanya sedikit atau bahkan tidak ada komponen inflamasi yang terkait, maka disarankan hanya menggunakan lidokain 1% diikuti peregangan piriformis segera. Injeksi



tanpa steroid ini dapat setiap minggu selama periode 4-5 minggu sembari dinilai keefektifannya dan kemungkinan perlunya tindakan bedah. Ada studi



yang



menggunakan 12.500 unit neurotoksin botulinum B atau



toksin botulinum A disertai fisioterapi, menunjukkan perbaikan setelah lebih dari 3 bulan. 17-19 Hampir 50% pasiennya mengalami efek samping berupa mulut kering dan disfagia. b. Nonfarmakologis. Pendekatan tatalaksana yang pertama dan utama ialah rehabilitasi, dimulai dari aktifitas dan terapi fisis, penekanannya pada komponen-komponen yang melibatkan otot piriformis. Tujuannya selain meregangkan dan menguatkan otot-otot abduktor/adduktor panggul juga mengurangi efek nyeri dan spasme. Peregangan mandiri dapat dibantu dengan diatermi, ultrasound, stimulasi elektrik, ataupun teknik-teknik manual lainnya. Bila teknik tersebut diaplikasikan sebelum peregangan otot piriformis, maka akan memudahkan pergerakan kapsul sendi panggul ke anterior dan posterior dan otot-otot abdomen untuk meregang sehingga tendon piriformis akan mengalami relaksasi dan peregangan yang efektif. Pasien sebaiknya tetap menjalani program peregangan mandiri di rumah, karena repetisi peregangan secara intensif sepanjang hari merupakan komponen esensial program. Saat fase awal, peregangan sangat dianjurkan dilakukan minimal tiap 6 jam. Peregangan musculus piriformis dapat dikerjakan diposisi telentang ataupun tegak dengan tungkai yang terkait difleksikan dan dirotasi internal/adduksi. c. Pembedahan. Pembedahan adalah jalan terakhir, namun dapat memberikan hasil signifikan. Pembedahan dalam kondisi ini meliputi reseksi musculus piriformis atau tendon didekat insersinya pada aspek superomedial dari trochanter major os femur. Peneliti lain memakai teknik kombinasi dengan membelah tendon. Latihan pada sindrom piriformis duduk dan telentang dengan posisi panggul difleksikan 900 dan tungkai kanan diadduksi menyilang tungkai kiri. Insersinya dan kemudian pada ototnya diarea keluarnya dari foramen ischiadicum majus guna memisahkan otot



ini dan mendekompresi nervus ischiadicus secara keseluruhan serta mencegah rekurensinya akibat pembentukan fibrosis. H. Pengkajian Keperawatan Menurut



NANDA



(2013),



fase



pengkajian



merupakan sebuah



komponen utama untuk mengumpulkan informasi, data, menvalidasi data, mengorganisasikan data, dan mendokumentasikan data. Pengumpulan data antara lain meliputi: a. Biodata 1) Identitas Pasien (nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, agama, suku, alamat, status, tanggal masuk, tanggal pengkajian, diagnosa medis). 2) Identitas penanggung jawab (nama, umur, pekerjaan, alamat, hubungan dengan pasien). b. Riwayat kesehatan 1) Keluhan utama, biasanya keluhan utama yang dirasakan pasien saat dilakukan pengkajian. Pada pasien dengan periformis muscle sydrome biasanya yaitu nyeri 6-8 (skala 0-10). 2) Riwayat kesehatan sekarang Data diambil saat pengkajian berisi tentang perjalanan penyakit pasien dari sebelum dibawa ke IGD sampai dengan mendapatkan perawatan di bangsal. 3) Riwayat kesehatan dahulu Adakah riwayat penyakit terdahulu yang pernah diderita oleh pasien tersebut, seperti pernah menjalani operasi berapa kali, dan dirawat di RS berapa kali. 4) Riwayat kesehatan keluarga Riwayat penyakit keluarga, adakah anggota keluarga dari pasien yang menderita penyakit yang sama dengan pasien atau ada penyakit lainnya. c. Pola Fungsional Gordon



1) Minuman, waktu berapa kali sehari, nafsu makan menurun/tidak, jenis Pola persepsi kesehatan: adakah riwayat jatuh sebelumnya, persepsi pasien dan keluarga mengenai pentingnya kesehatan bagi anggota keluarganya. 2) Pola nutrisi dan cairan: pola makan dan minum sehari–hari, jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi, jenis makanan dan makanan yang disukai, ada penurunan berat badan atau tidak. 3) Pola eliminasi: mengkaji pola BAB dan BAK sebelum dan selama sakit,



mencatat konsistensi, warna, bau, dan berapa kali sehari,



konstipasi. 4) Pola aktivitas dan latihan: reaksi setelah beraktivitas (muncul keringat dingin, adanya rasa nyeri saat aktivitas), perubahan pola nafas setelah aktifitas, kemampuan pasien dalam aktivitas secara mandiri. 5) Pola tidur dan istirahat: berapa jam sehari, terbiasa tidur siang, gangguan selama tidur (sering terbangun), nyenyak, nyaman. 6) Pola persepsi kognitif: konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan mengetahui tentang penyakitnya. 7) Pola persepsi dan konsep diri: adakah perasaan terisolasi diri atau perasaan tidak percaya diri karena sakitnya. 8) Pola reproduksi dan seksual 9) Pola mekanisme dan koping: emosi, ketakutan terhadap penyakitnya, kecemasan yang muncul tanpa alasan yang jelas. 10) Pola hubungan: hubungan antar keluarga harmonis, interaksi, komunikasi, car berkomunikasi. 11) Pola keyakinan dan spiritual: agama pasien, gangguan beribadah selama sakit, ketaatan dalam berdo’a dan beribadah. d. Pemeriksaan Fisik Temuan klinis yang sering adalah kekakuan pada palpasi muskulus piriformis. Pada palpasi dapat teraba massa berbentuk seperti sosis pada bokong yang merupakan muskulus piriformis yang berkontraksi. Pemeriksaan piriformis sign, Lasègue, Freiberg, atau Pace hasilnya positif. Piriformis sign adalah adanya rotasi eksternal kaki ipsi lateral pada



posisi berbaring relaks. Lasègue sign adalah rasa nyeri pada penekanan muskulus piriformis dan saat pengangkatan tungkai lurus 90 derajat. Freiberg sign adalah rasa nyeri pada gerakan rotasi internal pasif pinggang. Pace sign dikenal dengan tes FAIR (flexion, adduction, and internal rotation). Tes ini dilakukan dengan cara pasien berbaring posisi miring, bagian yang dicurigai kelainan berada diatas, pinggul fleksi 60°, lutut fleksi 60°-90°. Pemeriksa melakukan gerakan rotasi internal dan adduksi pinggul dengan memberi tekanan pada lutut. Pemeriksaan ini paling sensitif dan sering digunakan untuk membantu diagnosis. Beatty sign dilakukan dengan cara pasien berbaring miring pada sisi sehat, lalu mengangkat dan menahan lututnya setinggi 4 inci, tes dinyatakan positif apabila dirasakan nyeri (Mahendrakrisna, 2019). I. Diagnosa Keperawatan a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma otot/adanya massa). b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan trauma. c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan massa otot/gangguan neuromuskular/nyeri. d. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional. J. Perencanaan Keperawatan a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma otot/adanya massa). Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan masalah keperawatan nyeri akut dapat menurun. Keriteria hasil: tidak ada keluhan nyeri, skala nyeri 0, tidak berikap pritektif, pola tidur membaik, kemampuan menuntaskan aktivitas meningkat. Rencana Keperawatan: - Identifikasi lokasi, karakteristik, intensitas, kualitas nyeri. - Identifikasi skala nyeri.



- Identifikasi respon nyeri non verbal. - Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri. - Monitor efek samping penggunaan analgetik. - Berikan teknik relaksasi napas dalam. - Fasilitasi istirahat dan tidur. - Anjurkan monitor nyeri secara mandiri. Kolaborasi: - Beri obat analgetik. b. Risiko disfungsi neurovasukler perifer berhubungan dengan trauma. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan masalah keperawatan gangguan mobilitas fisik dapat meningkat. Kriteria hasil: tidak ada keluhan nyeri, skala nyeri 0, tidak ada perdarahan, tidak ada luka tekan, pergerakan sendi meningkat, pergerakan ekstremitas meningkat, TTV normal TD 100-140/60-90 mmHg, N 60-100 x/menit, RR 12-20 x/menit, T 36,5-37,50C, Rencana Keperawatan: - Monitor status oksigenasi sebelum dan sesudah mengubah posisi. - Tempatkan pada posisi teraupetik. - Atur posisi tidur yang disukai. - Imobilisasi dan topang bagian tubuh yang cedera dengan tepat. - Hindari menempatkan pada posisi yang dapat meningkatkan nyeri. Kolaborasi: - Pemberian premedikasi sebelum mengubah posisi. c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan massa otot/gangguan neuromuskular/nyeri. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan masalah keperawatan gangguan mobilitas fisik dapat meningkat. Keriteria hasil: TTV normal TD 100-140/60-90 mmHg, N 60-100 x/menit, RR 12-20 x/menit, T 36,5-37,50C, tidak mengeluh lelah, kemudahan dalam melakukan aktivitas sehari-hari meningkat.



Rencana Keperawatan: - Identifikasi defisit tingkat aktivitas. - Moitor respons emosional, fisik, sosial, dan spiritual terhadap aktivitas. - Fasilitasi fokus pada kemampuan, bukan defisit yang dialami. - Fasilitasi aktifitas fisik rutin (mis. Ambulasi, mobilisasi, dan perawatan diri). - Libatkan keluraga dalam aktivitas. d. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan masalah keperawatan anietas dapat menurun. Kriteria hasil: tidak pucat, tidak gelisah, tidak tegang, pola tidur membaik, TTV normal TD 100-140/60-90 mmHg, N 60-100 x/menit, RR 12-20 x/menit, T 36,5-37,50C. Rencana keperawatan: - Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (mis. Kondisi, waktu, stressor). - Identifikasi kemampuan menganbil keputusan. - Monitor tanda-tanda anietas (verbal dan nonverbal) - Ciptakan suasana teraupetik untuk menumbuhkan kepercayaan. - Latih teknik relaksasi napas dalam. K. Pelaksanaan Keperawatan Implementasi keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh perawat maupun tenaga medis lain untuk membantu pasien dalam proses penyembuhan dan perawatan serta masalah kesehatan yang dihadapi pasien yang sebelumnya disusun dalam rencana keperawatan (Nursallam, 2011). L. Evaluasi Keperawatan Menurut Nursalam (2011), evaluasi keperawatan terdiri dari dua jenis yaitu : a. Evaluasi formatif



Evaluasi ini disebut juga evaluasi berjalan dimana evaluasi dilakukan sampai dengan tujuan tercapai. b. Evaluasi somatif Merupakan



evaluasi



akhir



dimana



dalam



metode evaluasiini



menggunakan SOAP. M. Daftar Pustaka Mahendrakrisna, Daniel. (2019). Diagnosis sindrom periformis. Journal of periturning medical education 2(46), 61-64. PPNI. (2018). Standar luaran keperawatan indonesia: definisi dan kriteria hasil keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI. PPNI. (2018). Standar intervensi keperawatan indonesia: definisi dan tindakan keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI. PPNI. (2016). Standar diagnosis keperawatan indonesia:definisi dan indikator diagnostik. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI. Sri, Wijayanti. (2016). Aspek klinis dan penatalaksanaan periformis syndrome (karya rulis ilmiah). Fakultas Kedokteran Uiversitas Udayana, Bali, Indonesia.