LP Peritonitis - Armelia Widiarti - Kasus Perioperatif [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN KEPADA Tn. B DENGAN DIAGNOSA MEDIS PERITONITIS DI RUANG INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA



OLEH : ARMELIA WIDIARTI (NIM : 2017.C.09a.0878)



YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PRODI SARJANA KEPERAWATAN TAHUN AJARAN 2020/2021



LEMBAR PENGESAHAN Laporan ini di susun oleh : Nama



: Armelia Widiarti



NIM



: 2017.C09a.0878



Program Studi



: Sarjana Keperawatan



Judul : Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Kepada Tn. B Dengan Diagnosa Medis Peritonitis Di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya Telah



melakukan



asuhan



keperawatan



sebagai



persyaratan



untuk



menyelesaikan Praktik Pra Klinik Keperawatan IV (PPK IV) Program Studi Sarjana Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangkaraya.



Laporan keperawatan ini telah disetujui oleh : Pembimbing Akademik



Meida Sinta Araini,S.Kep.,Ners



KATA PENGANTAR Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas Rahmat dan karunia-Nya lah penulisan laporan praktikum yang berjudul “Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Kepada Tn. B Dengan Diagnosa Medis Peritonitis Di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya”. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang kepada : 1. Maria Adelheid Ensia,S.Pd.,M.Kes. Selaku Ketua STIKes Eka Harap Palangka Raya. 2. Meilitha Carolina, Ners., M.Kep. Selaku Ketua Prodi S1 Keperawatan 3. Ika Paskaria., S.Kep.,Ners,. Selaku Koordinator PPK IV. 4. Meida Sinta Araini,S.Kep.,Ners. Selaku pembimbing klilik yang telah banyak memberi saran dan bimbingan dalam menyelesaikan laporan ini. Serta perawat senior di ruang OK yang telah memberi saya kesempatan untuk praktek di ruang OK dan teman-teman dikelas IV-B yang telah memberikan dukungan dan sarannya. Serta kepada Orang Tua yang selalu mendukung dan mendoakan saya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan praktikum ini masih jauh dari sempurna. Maka dengan ini penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak. Akhir



kata,



semoga



laporan



praktikum



ini



dapat



berguna



bagi



pengembangan ilmu keperawatan dan semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan berkat dan karunia-Nya kepada kita semua. Amin. Palangka Raya, 27 Oktober 2020



Penyusun



DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................i KATA PENGANTAR..........................................................................................ii DAFTAR ISI........................................................................................................iii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...............................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................2 1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................2 1.4 Manfaat Penulisan..........................................................................................3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Teori...............................................................................................4 2.1.1 Definisi.........................................................................................................4 2.1.2 Anatomi Fisiologi........................................................................................5 2.1.3 Etiologi.........................................................................................................6 2.1.4 Klasifikasi....................................................................................................9 2.1.5 Patofisiologi.................................................................................................10 2.1.6 Manifestasi klinik.......................................................................................14 2.1.7 Komplikasi..................................................................................................16 2.1.8 Pemeriksaan Penunjang............................................................................9 2.1.9 Penatalaksanaan Medik.............................................................................22 2.2 Konsep Asuhan Keperawatan......................................................................23 2.2.1 Pengkajian...................................................................................................23 2.2.2 Diagnosa......................................................................................................25 2.2.3 Intervensi.....................................................................................................27 2.2.4 Implementasi...............................................................................................32 2.2.5 Evaluasi.......................................................................................................32 BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Pengkajian......................................................................................................33 3.2 Diagnosa Keperawatan.................................................................................42 3.3 Rencana Keperawatan..................................................................................43 3.4 Implementasi Dan Evaluasi Keperawatan..................................................44 DAFTAR PUSTAKA



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang Peritonitis merupakan inflamasi peritoneum yang dapat terjadi karena



kontaminasi mikroorganisme dalam rongga peritoneum, bahan kimiawi, atau keduanya. (King.). Infeksi peritonitis dibagi menjadi primer, sekunder, dan tersier. Peritonitis perforasi disebut juga peritonitis sekunder, terjadi karena adanya proses



dalam



intra-abdomen,



seperti



apendiks



yang



ruptur,



perforasi



gastrointestinal, ataupun perforasi pada organ kolon dan rectum. (Marshall). Infeksi intra-abdominal



diidentifikasikan sebagai penyebab kedua



terbanyak severe sepsis. Penelitian terbaru menunjukkan hubungan antara infeksi intra-abdominal dengan tingkat mortalitas yang signifikan. (Lopez, et al., 2011). Tingkat mortalitasnya dapat hanya 1% saja pada pasien dengan apendisitis perforasi, namun bisa mencapai 20% atau lebih pada pasien dengan perforasi colon atau trauma tajam pada abdomen, bahkan dapat



mencapai 81% pada



pasien yang mendapatkan infeksi intra abdominal pasca operasi. (Marshall.). Pada tahun 1983 di Jerman, Wach dan Linder membuat skor MPI untuk memprediksi kematian pada pasien peritonitis yang diambil berdasarkan analisa retrospektif dari medikal record, terdapat 8 variabel yang dinilai yaitu usia, jenis kelamin, gagal organ, keganasan, durasi pre operasi, origin sepsis, diffuse generalized peritonitis dan eksudat. (Batra, et al., 2013). Skor MPI tidak spesifik untuk memprediksi kematian pada pasien dengan ulkus peptik. (Thorsen, et al.2013; Nichakankitti & Athigakunagorn., 2016). Akurasi MPI dalam memprediksi terjadinya morbiditas cukup rendah. (Thorsen, et al., 2013). Validasi statistik dari Mannheims Peritonitis Index cukup bervariasi, Billing et al seri 1 tahun 1994 menunjukkan sensitivitas 70% dan spesifisitas 67%. Seri 3 tahun 1994, sensitivitas 85%, spesifisitas 61%. Seri 4 tahun 1994 sensitifitas 69%, spesifisitas 97%. Lambordoand et al tahun 1998 menunjukkan sensitifitas skor MPI 87%, spesifisitas 88%. Sedangkan penelitian dari Van-Laarhosen et al tahun 1988 dengan sensitifitas 24% dan spesifisitas 35%. (Dani, et al., 2015). Dengan hasil yang tidak konsisten itu menyebabkan terjadinya perdebatan bahwa sistem skoring tersebut tidak dapat dipakai untuk menentukan terapeutik. (Krishna, et al.,



2016). Usia merupakan faktor prognostik yang penting pada perforasi ulkus peptik. (Testini, et al., 2003). Pasien yang berusia lebih dari 60 tahun mempunyai risiko signifikan terjadinya mortalitas setelah pembedahan pada peritonitis perforasi daripada pasien muda dikarenakan mempunyai banyak faktor komorbiditas. (Kim, et al., 2012). 11,5-40% pasien dengan penyakit peritonitis perforasi mempunyai faktor komorbid. (Ko, et al., 2004). Faktor-faktor yang signifikan menyebabkan morbiditas pasca operasi adalah Hipertensi (P=0,01), diabetes mellitus (P=0,04), dan pneumonia (P=0,04).



Pasien dengan



komorbiditas mempunyai risiko yang signifikan terhadap terjadinya mortalitas dan morbiditas pasca operasi. (Kim, et al., 2012). Penelitian oleh Ali Yaghoobi memperlihatkan bahwa onset mulai gejala sampai dilakukan operasi lebih dari 24 jam berisiko terjadi mortalitas sebesar 25%, sedangkan penelitian oleh Rodolfo menunjukkan semua pasien meninggal bila onset lebih dari 24 jam. (Dani, et al., 2015). Multi Organ Dysfuction Syndrome juga dapat menentukan tingginya kejadian mortalitas. Satu kegagalan sistem organ berhubungan dengan 30-40% kematian, dua kegagalan fungsi organ mengakibatkan 60% kematian dan bila terdapat 3 kegagalan fungsi organ maka resiko terjadinya kematian sebesar 90%. (Murray & Coursin). Kriteria MODS menurut Knaus dkk meliputi enam organ yaitu cardiovascular, renal, respiratory, neurologi, hematologi dan hepatic. Prognosis merupakan bahan pertimbangan yang penting dalam membuat keputusan klinis dan sebagai dasar pemberian inform consent yang realistis bagi keluarga pasien. Dari sudut pandang sosioekonomi, model prognostik dengan melihat data awal saat masuk rumah sakit merupakan faktor penting dalam mendukung keputusan klinis yang cost effective. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka penulis mengambil rumusan masalah bagaimana cara memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan Peritonitis, khususnya pada Tn.B dengan Peritonitis di ruang OK RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.



1.3 Tujuan Penulisan 1.3.1



Tujuan umum Agar penulis mampu berpikir secara logis dan ilmiah dalam memberikan



asuhan keperawatan pada Tn. B dengan peritonitis menggunakan pendekatan manajemen keperawatan secara benar, tepat dan sesuai dengan standart keperawatan secara professional 1.3.2



Tujuan Khusus



1. Melakukan pengkajian pada pasien dengan Menganalisa kasus dan merumuskan masalah keperawatan pada pasien dengan Peritonitis. 2. Menganalisa Kasus dan merumuskan masalah keperawatan pada pasien Peritonitis. 3. Menyusun asuhan keperawatan yang mencakup intervensi pada pasien dengan Peritonitis. 4. Melakukan implementasi atau pelaksanaan tindakan keperawatan pada pasien dengan Peritonitis. 5. Mengevaluasi hasil dari asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien dengan Peritonitis. 1.4 Manfaat Penulisan Agar dapat menambah wawasan serta pengetahuan bagi para pembaca tentang Peritonitis.



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1



Konsep Dasar



2.1.1



Definisi Peritonitis adalah peradangan peritoneum yang merupakan komplikasi



berbahaya akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (apendiksitis, pankreatitis, dan lain-lain) ruptur saluran cerna dan luka tembus abdomen. (Padila, 2012). Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum ( lapisan membran serosa rongga abdomen ) dan organ didalamnya (Muttaqin & Sari, 2011). Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum, suatu lapisan endotelial tipis yang kaya akan vaskularisasi dan aliran limpa (Jitwiyono& Kristiyanasari, 2012). Peritonitis adalah inflamasi peritoneum, lapisan membrane serosa rongga abdomen dan meliputi visera yang merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronik / kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular dan tanda – tanda umum inflamasi. Peritonitis adalah suatu peradangan dari peritoneum, membrane serosa, pada bagian rongga perut . Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput rongga perut (peritoneum) lapisan membrane serosa rongga abdomen dan dinding perut bagian dalam. 2.1.2



Anatomi Fisiologi Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam



tubuh. Peritoneum terdiri atas dua bagian utama yailu peritoneum parietal, yang melapisi dinding rongga abdominal dan peritoneum viseral yang menyelaputi semua organ yang bcrada di dalam rongga itu. Ruang yang bisa lerdapat di antara dua lapis ini disebut rongga peritoneum atau cavum peritoneum. Normalnya terdapat 50 mL cairan bebas dalam rongga peritoneum, yang memelihara permukaan peritoneum tetap licin. Pada orang laki-laki peritoneum berupa



kantong tertutup; pada orang perempuan saluran telur (tuba Fallopi) membuka masuk ke dalam rongga peritoneum (Pierce, 2006).



Dilihat secara embriologi peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesodermtersebut kemudian menjadi peritonium. (Mansjoer, 2000)



Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu: 1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis 2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.



3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis Pada beberapa tempat peritoneum visceral dan mesenterium dorsal mendekati peritoneum dorsal dan terjadi perlekatan. Akibat perlekatan ini, ada bagian-bagian usus yang tidak mempunyai alat-alat penggantung, dan akhirnya berada disebelah dorsal peritonium sehingga disebut retroperitoneal. Bagian-bagian yang masih mempunyai alat penggantung terletak di dalam rongga yang dindingnya dibentuk oleh peritoneum parietal, dengan demikian: 1. Duodenum terletak retroperitoneal 2. Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium; 3. Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal; 4. Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat penggantung disebut mesocolon transversum; 5. Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat penggatung mesosigmoideum; cecum terletak intraperitoneal; 6. Processus



vermiformis



terletak



intraperitoneal



dengan



alat



penggantung mesenterium. Fungsi utama peritoneum adalah menjaga keutuhan atau integritas organ intraperitoneum. Peritoneum parietal disarafi oleh saraf aferen somatik dan visceral yang cukup sensitif terutama pada peritoneum parietal bagian anterior, sedangkan pada bagian pelvis agak kurang sensitif. Peritoneum visceral disarafi oleh cabang aferen sistem otonom yang kurang sensitif. Saraf ini terutama memberikan respon terhadap tarikan dan distensi, tetapi kurang respon terhadap tekanan dan tidak dapat menyalurkan rasa nyeri dan temperatur (Pierce). Fungsi peritoneum yaitu : a. Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis b. Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga peritoneum tidak saling bergesekan c. Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap dinding posterior abdomen d. Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi



terhadap infeksi. 2.1.3



Etiologi 2.1.3.1 Infeksi bakteri 1) Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta hemolitik, stapilokokus aureus, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii. 2) Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal 3) Appendiksitis yang meradang dan perforasi 4) Tukak peptik (lambung / dudenum) 5) Tukak thypoid 6) Tukak pada tumor 7) Secara langsung dari luar.



8) Operasi yang tidak steril 9) Terkontaminasi



talcum



venetum,



lycopodium,



sulfonamida,



terjadi



peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa 10) Trauma pada kecelakaan peritonitis lokal seperti rupturs limpa, ruptur hati 11) Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. 2.1.3.2 Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang



saluran



pernapasan



bagian



atas,



otitis



media,



mastoiditis,



glomerulonepritis. Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus. 2.1.4



Klasifikasi



Berdasarkan pathogenesis peritonitis dapat di klasifikasikan sebagai berikut: 2.1.4.1



Peritonitis bacterial primer Akibat kontaminasi bacterial secara hematogen pada cavum peritoneum



dan tidak ditemukan focus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya



E.coli,



Streotokokus



atau



P neumococus,



peritonitis ini dibagi menjadi dua yaitu: Spesifik : Seperti Tuberculosa. Nonspesifik : P neumonia non tuberculosis dan tonsillitis. Factor yang beresiko pada peritonitis ini adalah malnutrisi, keganasan intra abdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi adalah dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites. 2.1.4.2



Peritonitis bacterial akut sekunder Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akaut atau perforasi traktus



gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umunya organism tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. S inergisme dari multiple organis m dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya bacteroides



dapat



spesies



memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan



infeksi. Luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat peritonitis. Kuman dapat berasal: Luka trauma atau penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal. Perforasi organ-organ dalam perut, seperti di akibatkan oleh bahan kimia. Perforasi usus sehingga feces keluar dari usus. Komplikasi dari proses inflamasi organ- organ



intra abdominal,



misalnya



appendicitis. 2.1.4.3



Peritonitis Tersier Peritonitis ini terjadi akibat timbulnya abses atau flagmon dengan atau



tanpa fistula. Yang disebabkan oleh jamur, peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.



Seperti disebabkan



oleh



iritan



langsung, seperti



misalnya empedu, getah lambung, getah pancreas, dan urine (Andra & Yessie, 2013) 2.1.5



Tanda dan Gejala Gejala peritonitis tergantung pada jenis dan penyebaran infeksinya.



Biasanya penderita muntah, demam tinggi dan merasakan nyeri tumpul di perutnya. Bisa terbentuk satu atau beberapa abses. Infeksi dapat meninggalkan jaringan parut dalam bentuk pita jaringan (perlengketan, adhesi) yang akhirnya bisa menyumbat usus. Bila peritonitis tidak diobati dengan seksama, komplikasi bisa berkembang dengan cepat. Gerakan peristaltik usus akan menghilang dan cairan tertahan di usus halus dan usus besar. Cairan juga akan merembes dari peredaran darah ke dalam rongga peritoneum. Terjadi dehidrasi berat dan darah kehilangan elektrolit. Selanjutnya bisa terjadi komplikasi utama, seperti kegagalan paru-paru, ginjal atau hati dan bekuan darah yang menyebar. Tanda-tanda peritonitis relatif sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan



imunosupresi



(misalnya



diabetes



berat,



penggunaan



steroid,



pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric.



2.1.6



Patofisiologi “ WOC PERITONITIS



Bakteri, virus Masuk saluran cerna Peradangan saluran cerna Masuk ke rongga peritoneom Peritonitis B1



Pelepasan berbagai mediator kimiawi (histamin, bradikinin



B2 Trauma jaringan menurun Penurunan kelembaban luka



Merangsang saraf perangsang nyeri di cerebrum Pergerakan abdomen tidak teratur Takipnea MK : Pola nafas tidak efektif



B3 Peradangan peritoneum



B4 Peningkatan HCI



B5



Peradangan peritoneum Inflamasi pada peritoneum Merangsang saraf nyeri di cerebrum



Proses penyakit



Medula oblongata



Nyeri abdomen



Sistem limbik



Aktivitas peristaltik usus meningkat



MK : Nyeri Akut



Reaksi mual



Ileus



Post Operasi



MK : Risikon Hipovolemia, Defisit Nutrisi



Usus menjadi meregang



Kelemahan fisik



Infeksi bakteri MK : Risiko infeksi



B6



MK : Konstipasi



Nyeri



MK : Intoleransi aktivitas



2.1.7



Komplikasi



2.1.7.1 Penumpukan cairan mengakibatkan penurunan tekanan vena sentral yang menyebabkan gangguan elektrolit bahkan hipovolemik, syok dan gagal ginjal. 2.1.7.2 Abses peritoneal 2.1.7.3 Cairan dapat mendorong diafragma sehingga menyebabkan kesulitan bernafas. 2.1.7.4 Sepsis. 2.1.8 Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium 1) Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra abdomen menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ µL) dengan adanya shift to the left. Namun pada pasien dengan immunocompromised dan pasien dengan beberapa tipe infeksi (seperti fungal dan CMV) keadaan leukositosis dapat tidak ditemukan atau malah leukopeniaMPT, PTT dan INR 2) Test fungsi hati jika diindikasikan 3) Amilase dan lipase jika adanya dugaan pankreatitis 4) Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih (seperti pyelonephritis, renal stone disease) 5) Kultur darah, untuk menentukan jenis kuman dan antobiotik 6) BGA, untuk melihat adanya asidosis metabolik 7) Diagnostic Peritoneal Lavage.• Pemeriksaan cairan peritonium 8) Pada SBP dapat ditemukan WBC > 250 – 500 sel/µL dengan dominan PMN merupakan indikasi dari pemberian antibiotik. Kadar glukosa < 50 mg/dL, LDH cairan peritoneum > serum LDH, pH < 7,0, amilase meningkat, didapatkan multipel organisme. 2.



Radiologis Foto polos abdomen (tegak/supine, setengah duduk dan lateral dekubitus)



adalah pemeriksaan radiologis utama yang paling sering dilakukan pada penderita dengan kecurigaan peritonitis. Ditemukannya gambaran udara bebas sering ditemukan pada perforasi gaster dan duodenum, tetapi jarang ditemukan pada perforasi kolon dan juga appendiks. Posisi setengah duduk berguna untuk



mengidentifikasi udara bebas di bawag diafragma (seringkali pada sebelah kanan) yang merupakan indikasi adanya perforasi organ. 3.



USG USG abdomen dapat membantu dalam evaluasi pada kuadran kanan atas



(abses perihepatik, kolesistitis, dll), kuadran kanan bawah dan kelainan di daerah pelvis. Tetapi kadang pemeriksaan akan terganggu karena penderita merasa tidak nyaman, adanya distensi abdomen dan gangguan distribusi gas abdomen. USG juga dapat mendeteksi peningkatan jumalah cairan peritoneum (asites), tetapi kemampuan mendeteksi jumlah cairan < 100 ml sangat terbatas. Area sentral dari rongga abdomen tidak dapat divisualisasikan dengan baik dengan USG tranabdominal. Pemeriksaan melalui daerah flank atau punggung bisa meningkatkan ketajaman diagnostik. USG dapat dijadikan penuntun untuk dilakukannya aspirasi dan penempatan drain yang termasuk sebagai salah satu diagnosis dan terapi pada peritonitis. 4.



CT Scan Jika diagnosa peritonitis dapat ditegakkan secara klinis, maka CT Scam tidak



lagi diperlukan. CT Scan abdomen dan pelvis lebih sering digunakan pada kasus intraabdominal abses atau penyakita pada organ dalam lainnya. Jika memungkinkan, CT Scan dilakukan dengan menggunakan kontra ntravena. CT Scan dapat mendeteksi cairan dalam jumlah yang sangat minimal, area inflamasi dan kelainan patologi GIT lainnya dengan akurasi mendekati 100%. Abses peritoneal dan pengumpulan cairan bisa dilakukan aspirasi dan drain dengan panduan CT Scan. 2.1.9



Penatalaksanaan Medis Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang



yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri. 1.



Konservatif



Indikasi terapi konservatif, antara lain: 1) Infeksi terlokalisisr, mis: massa appendiks



2) Penyebab peritonitis tidak memerlukan pembedahan (pankreatitis akut) 3) Penderita tidak cukup baik untuk dilakukan general anestesi; pada orang tua dan komorbid 4) Fasilitas tidak memungkinkan dilakukannya terapi pembedahan. 5) Prinsip terapinya meliputi rehidrasi dan pemberian antibiotik broad spectrum. Terapi suportif harus diberikan termasuk pemberian nutrisi parenteral pada penderita dengan sepsis abdomen di ICU. Terapi konservatif meliputi: 1) Cairan intravena Pada peritonitis terjadi pindahnya CIS ke dalam rongga peritoneum, jumlah cairan ini harus diganti dengan jumlah yan sesuai. Jika ditemukan toksisitas sistemik atau pada penderita dengan usia tua dan keadaan umum yang buruk, CVP (central venous pressure) dan kateter perlu dilakukan, balans cairan harus diperhatikan, pengukuran berat badan serial diperlukan untuk memonitoring kebutuhan cairan. Cairan yang dipakai biasanya Ringer Laktat dan harus diinfuskan dengan cepat untuk mengoreksi hipovolemia mengembalikan tekanan darah dan urin output yang memuaskan. 2) Antibiotik Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian diubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi. 3) Oksigenasi Sangat diperlukan pada penderita dengan syok. Hipoksia dapat dimonitor dengan pulse oximetry atau dengan pemeriksaan BGA. 4) Pemasangan NGT Akan mengurangi muntah dan mengurangi resiko terjadinya pneumonia aspirasi 5) Nutrisi Parenteral 6) Pemberian analgetik, biasanya golongan opiat (i.v.) dan juga anti muntah.



2.



Definitif / Pembedahan 1) Tindakan Preoperatif Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus mempersiapkan pasien untuk tindakan bedah antara lain : a. Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna. b. Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung. c. Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin. d. Pemberian terapi cairan melalui I.V e. Pemberian antibiotic 2) Tindakan Operatif Terapi bedah pada peritonitis antara lain: a.



Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe



dan luas dari pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya. b.



Pencucian



ronga



peritoneum:



dilakukan



dengan



debridement,



suctioning, kain kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang nekrosis c.



Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin



d.



Irigasi kontinyu pasca operasi



3. Laparotomi Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi. Pemberian antibiotik diteruskan samapai dengan 5 hari post operasi terutama pada peritonitis generalisata. Re-laparotomi sangat penting terutama pada penderita dengan SP yang parah yang dengan dilakukan laparotomi pertama terus mengalami perburukan atau



jatuh ke dalam keadaan sepsis. 4. Lavase peritoneum dan Drainase Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan kristaloid (saline). Pemberian antiseptik maupun antibiotik (tetrasiklin, povidone iodine) tidak dianjurkan karena akan menyebabkan terjadinya adesi. Antibioyik diberikan secara parenteral akan mencapai level bakterisidal dalam cairan peritoneum. Setelah lavase selsai dilakukan dilakukan aspirasi seluruh cairan dalam rongga abdomen karena akan menghambat mekanisme defens lokal. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi. 5. Terapi post-operatif Tercapainya stabilitas hemodinamik dan perfusi organ yang baik dalam hal ini perlu diperhatikan pemberian cairan dan suplai darah. Pemberian antibiotik dilanjutkan 10 – 14 hari post operasi, tergantung pada tingkat keparahan peritonitis. (LNG) Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus pulih, dan tidak ada distensi abdomen. 2.1.10 Tindakan Laparotomi 2.1.10.1 Operasi Laparatomi 1.



Pengertian Laparatomi merupakan prosedur pembedahan yang melibatkan suatu insisi



pada dinding abdomen hingga ke cavitas abdomen (Sjamsurihidayat dan Jong, 2010). Laparatomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan obgyn. Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan dengan tenik insisi laparatomi ini adalah herniotomi, gasterektomi, kolesistoduodenostomi, hepatorektomi, splenoktomi, apendektomi, kolostomi, hemoroidektomi dfan fistuloktomi. Sedangkan tindakan



bedah obgyn yang sering dilakukan dengan tindakan laoparatomi adalah berbagai jenis operasi pada uterus, operasi pada tuba fallopi, dan operasi ovarium, yang meliputi hissterektomi, baik histerektomi total, radikal, eksenterasi pelvic, salpingooferektomi bilateral (Smeltzer, 2014). 2.



Tujuan Prosedur ini dapat direkomendasikan pada pasien yang mengalami nyeri



abdomen yang tidak diketahui penyebabnya atau pasien yang mengalami trauma abdomen. Laparatomy eksplorasi digunakan untuk mengetahui sumber nyeri atau akibat trauma dan perbaikan bila diindikasikan (Smeltzer, 2014). 3.



Indikasi



1) Trauma abdomen (tumpul atau tajam) 2) Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk (Ignativicus & Workman, 2006). Dibedakan atas 2 jenis yaitu : a.



Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium)



yang disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak. b.



Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritoneum)



yang dapat disebabkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (sit-belt). 3) Peritonitis Peritonitis adalah inflamasi peritoneum lapisan membrane serosa rongga abdomen, yang diklasifikasikan atas primer, sekunder dan tersier. Peritonitis primer dapat disebabkan oleh spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Peritonitis sekunder disebabkan oleh perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid), sementara proses pembedahan merupakan penyebab peritonitis tersier (Ignativicus & Workman, 2006).



4) Sumbatan pada usus halus dan besar (Obstruksi) Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun penyebabnya) aliran normal isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus biasanya mengenai



kolon sebagai akibat karsinoma dan perkembangannya lambat. Sebagian dasar dari obstruksi justru mengenai usus halus. Obstruksi total usus halus merupakan keadaan gawat yang memerlukan diagnosis dini dan tindakan pembedahan darurat bila penderita ingin tetap hidup. Penyebabnya dapat berupa perlengketan (lengkung usus menjadi melekat pada area yang sembuh secara lambat atau pada jaringan parut setelah pembedahan abdomen), Intusepsi



(salah satu bagian dari



usus menyusup kedalam bagian lain yang ada dibawahnya akibat penyempitan lumen usus), Volvulus (usus besar yang mempunyai mesocolon dapat terpuntir sendiri dengan demikian menimbulkan penyumbatan gelungan usus yang terjadi amat distensi),



dengan menutupnya



hernia (protrusi usus melalui area



yang lemah dalam usus atau dinding dan otot abdomen), dan tumor (tumor yang ada dalam dinding usus meluas kelumen usus atau tumor diluar usus menyebabkan tekanan pada dinding usus) (Ignativicus & Workman). 5) Apendisitis mengacu pada radang apendiks Suatu tambahan seperti kantong yang tak berfungsi terletak pada bagian inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari apendisitis adalah obstruksi lumen oleh fases yang akhirnya merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi. 1) Tumor abdomen 2) Pancreatitis (inflammation of the pancreas) 3) Abscesses (a localized area of infection) 4) Adhesions (bands of scar tissue that form after trauma or surgery) 5) Diverticulitis (inflammation of sac-like structures in the walls of the intestines) 6) Intestinal perforation 7) Ectopic pregnancy (pregnancy occurring outside of the uterus) 8) Foreign bodies (e.g., a bullet in a gunshot victim) 9) Internal bleeding (Sjamsurihidayat dan Jong, 2010). 4. Penatalaksanaan/Jenis-Jenis Tindakan Ada 4 cara insisi pembedahan yang dilakukan, antara lain: a. Midline incision Metode insisi yang paling sering digunakan, karena sedikit perdarahan, eksplorasi dapat lebih luas, cepat di buka dan di tutup, serta tidak memotong



ligamen dan saraf. Namun demikian, kerugian jenis insis ini adalah terjadinya hernia cikatrialis. Indikasinya pada eksplorasi gaster, pankreas, hepar, dan lien serta di bawah umbilicus untuk eksplorasi ginekologis, rektosigmoid, dan organ dalam pelvis b. Paramedian Yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah (± 2,5 cm), panjang (12,5 cm). Terbagi atas 2 yaitu, paramedian kanan dan kiri, dengan indikasi pada jenis operasi lambung, eksplorasi pankreas, organ pelvis, usus bagian



bagian bawah, serta



plenoktomi. Paramedian insicion memiliki keuntungan antara lain : merupakan bentuk insisi anatomis dan fisiologis, tidak memotong ligamen dan saraf, dan insisi mudah diperluas ke arah atas dan bawah (Yenichrist). c. Transverse upper abdomen incision Yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy d. Transverse lower abdomen incision Yaitu; insisi melintang di bagian bawah ± 4 cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi appendectomy (Yenichrist). 5. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang menurut (wong, ) sebagai berikut: a. Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ; kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing. b.



Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine. c.



Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi. d. IVP/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran kencing. e.



Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang



diragukan adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang disertai dengan trauma kepala yang berat, dilakukan dengan menggunakan jarum pungsi no 18 atau 20 yang ditusukkan melalui dinding perut didaerah kuadran bawah atau digaris tengah dibawah pusat dengan menggosokkan buli-buli terlebih dahulu. f.



Lavase peritoneal : pungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan



memasukkan cairan garam fisiologis melalui kanula yang dimasukkan kedalam rongga peritonium. 2.1.10.2 Post Operasi Laparatomi 1. Perngertian Laparatomi adalah pembedahan perut, membuka selaput perut dengan operasi. Bedah laparatomi merupakan tindakan operasi pada daerah abdomen, bedah laparatomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan kandungan. Pembedahan perut sampai membukaselaput perut. Ada 4 cara pembedahan laparatomi yaitu: 1)



Midline incision



2)



Paramedian, yaitu sedikit ke tepi dari garis tengah ( 2,5 cm), panjang (12,5



cm). 3)



Transverse



upper



abdomen



incision,



yaitu



insisi



di



bagian



atas,misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy. 4)



Transverse lower abdomen incision, yaitu



bawah



4



cm



di



atas



anterior



spinal



insisi melintang di bagian



iliaka,



misalnya pada operasi



appendictomy. 5)



Latihan-latihan fisik seperti latihan napas dalam, latihan batuk,menggerakan



otot-otot kaki, menggerakkan otot-otot bokong, Latihan alih baring dan turun dari tempat tidur. Semuanya dilakukan hari ke 2 post operasi (Sjamsurihidayat dan Jong, 2010). 2. Fase – fase penyembuhan luka Menurut Kozier (2010) a. Fase Inflamatori Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3 – 4 hari. Dua proses utama terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan pagositosis. Hemostasis (penghentian perdarahan) akibat fase konstriksi pembuluh darah besar di daerah luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan jaringan) dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Bekuan darah dibentuk oleh platelet yang menyiapkan matrik fibrin yang menjadi kerangka bagi pengambilan sel. Scab (keropeng) juga dibentuk dipermukaan luka. Bekuan dan jaringan mati, scab membantu



hemostasis



dan



mencegah



kontaminasi



luka



oleh



mikroorganisme. Dibawah scab epithelial sel berpindah dari luka ke tepi. Sel



epitel



membantu



sebagai



barier



antara



tubuh



dengan lingkungan dan



mencegah masuknya mikroorganisme (Kozier, 2010). Fase



inflamatori



juga



memerlukan pembuluh darah dan respon seluler digunakan untuk mengangkat benda-benda asing dan jaringan mati. Suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan- bahan dan nutrisi yang diperlukan pada proses penyembuhan. Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak (Kozier, 2010). Selama sel lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial. Tempat ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 2 jam setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut pagositosis. Makrofag juga mengeluarkan angiogenesis growth factor (AGF) yang merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses penyembuhan (Kozier, 2010). b. Fase Proliferatif Fase kedua ini berlangsung dari hari ke-3 atau 4 sampai hari ke-21 setelah pembedahan. Fibroblast (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama setelah pembedahan. Diawali dengan mensintesis kolagen dan substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Selama waktu itu sebuah lapisan penyembuhan nampak dibawah garis irisan luka Kapilarisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan. Fibroblast berpindah dar pembuluh darah ke luka membawa fibrin. Seiring perkembangan kapilarisasi jaringan perlahan berwarna merah. Jaringan ini disebut granulasi jaringan yang lunak dan mudah pecah (Kozier, 2010). c. Fase Maturasi Fase maturasi dimulai hari ke-21 dan berakhir 1-2 tahun setelah pembedahan. Fibroblast terus mensintesis kolagen. Kolagen menjalin dirinya , menyatukan dalam struktur yang lebih kuat. Bekas luka menjadi kecil, kehilangan elastisitas



dan meninggalkan garis putih (Kozier, 2010). 3. Prinsip – Prinsip Perawatan Luka Post Operasi Ada beberapa prinsip dalam penyembuhan luka menurut Taylor (2011)yaitu: 1)



Kemampuan tubuh untuk menangani trauma jaringan dipengaruhi oleh



luasnya kerusakan dan keadaan umum kesehatan tiap orang 2)



Respon tubuh pada luka lebih efektif jika nutrisi yang tepat tetap dijaga c.



Respon tubuh secara sistemik pada trauma 3)



Aliran darah ke dan dari jaringan yang luka



4)



Keutuhan kulit dan mukosa membran disiapkan sebagai garis pertama untuk



mempertahankan diri dari Mikroorganisme 5)



Penyembuhan normal ditingkatkan ketika luka bebas dari benda asing tubuh



termasuk bakteri. 4. Komplikasi – Komplikasi Dari Penyembuhan Luka Komplikasi penyembuhan luka meliputi infeksi, perdarahan, dehiscence dan eviscerasi. 1) Infeksi Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 2 – 7 hari setelah pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulent, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih (Sjamsurihidayat dan Jong, 2010). 2) Perdarahan Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain). Hipovolemia mungkin tidak cepat ada tanda. Sehingga balutan (dan luka di bawah balutan) jika mungkin harus sering dilihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu.Jika perdarahan berlebihan terjadi, penambahan tekanan balutan luka steril mungkin diperlukan. Pemberian cairan dan intervensi pembedahan mungkin diperlukan (Sjamsurihidayat dan Jong, 2010). 3) Dehiscence dan Eviscerasi



Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling serius. Dehiscence adalah terbukanya lapisan luka partial atau total. Eviscerasi adalah keluarnya pembuluh melalui daerah irisan. Sejumlah faktor meliputi, kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, gagal untuk menyatu, batuk yang berlebihan, muntah, dan dehidrasi, mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence luka. Dehiscence luka dapat terjadi 4 –5 hari setelah operasi sebelum kollagen meluas di daerah luka. Ketika dehiscence dan eviscerasi terjadi luka harus segera ditutup dengan balutan steril yang lebar, kompres dengan normal saline. Klien disiapkan untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah luka (Sjamsurihidayat dan Jong, 2010). 2.2



Manajemen Asuhan Keperawatan



2.2.1 Pengkajian Keluhan utama yang sering muncul adalah nyeri kesakitan di bagian perut sebelah kanan dan menjalar ke pinggang. 1.



Riwayat Penyakit Sekarang Peritinotis dapat terjadi pada seseorang dengan peradangan iskemia,



peritoneal diawali terkontaminasi material, sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus, dan sirosis hepatis dengan asites. 2.



Riwayat Penyakit Dahulu Seseorang dengan peritonotis pernah ruptur saluran cerna, komplikasi post



operasi, operasi yang tidak steril dan akibat pembedahan, trauma pada kecelakaan seperti ruptur limpa dan ruptur hati. 3.



Riwayat Penyakit Keluarga Secara patologi peritonitis tidak diturunkan, namun jika peritonitis ini



disebabkan oleh bakterial primer, seperti: Tubercolosis. Maka kemungkinan diturunkan ada. 4.



Pengkajian primer



a.



Airway Jalan nafas tersumbat atau terancam tersumbat, Stridor, Frekuensi nafas < 8



x/mnt atau > 35 x/mnt, Distress respiratorik (penggunaan otot pernafasan tambahan,sulit berbicara), SPO2 < 90%, Peningkatan Pao2 < 60 dengan Fi o2 >



60 %, Peningkatan PcO2 > 50 dengan Fi o2 20% b.



Breathing Sesak nafas, menggunakan alat bantu nafas nafas, hiverpentilasi, kulit hangat.



c.



Circulation Henti jantung, Frekuensi nadi < 40x/mnt atau >140x/mnt, TD Sistolik 20x/menit), dispnea, retraksi otot bantu pernafasan serta menggunakan otot bantu pernafasan. 2) Sistem kardiovaskuler (B2) Klien mengalami takikardi karena mediator inflamasi dan hipovelemia vaskular karena anoreksia dan vomit. Didapatkan irama jantung irregular akibat pasien syok  (neurogenik, hipovolemik atau septik), akral : dingin, basah, dan pucat. 3) Sistem Persarafan (B3) Klien dengan peritonitis tidak mengalami gangguan pada otak namun hanya mengalami penurunan kesadaran. 4) Sistem Perkemihan (B4) Terjadi penurunan produksi urin. 5) Sistem Pencernaan (B5) Klien akan mengalami anoreksia dan nausea. Vomit dapat muncul akibat proses ptologis organ visceral (seperti obstruksi) atau secara sekunder akibat iritasi peritoneal. Selain itu terjadi distensi abdomen, bising usus menurun, dan gerakan peristaltic usus turun (