LP Skoliosis - Dhanny Pratiwi - 41201095000039 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN STASE KEPERAWATAN ANAK “SKOLIOSIS IDIOPATIK PADA AN.E” RUANG KEMUNING BAWAH RSU KABUPATEN TANGERANG



Disusun oleh: Dhanny Pratiwi 41201095000039



PROGRAM PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FEBRUARI / 2021



1. Anatomi dan Struktur Tulang Belakang Tulang belakang atau kolumna vertebra berlokasi di bagian sentral atau posterior dari tubuh. Merupakan bagian yang penting dari tubuh dan memiliki banyak fungsi. Tulang belakang sangat diperlukan sebagai pembentuk struktur tubuh, flexibilitas, menyokong dan pergerakan dari tubuh. Pergerakan dengan melekat pada otot di bagian belakang, yang berada di bagian posterior tulang iga.Tulang belakang juga berfungsi untuk menutupi dan melindungi sumsum tulang. Anatomi dan struktur tulang belakang antara lain: a) Tujuh vertebra servikal atau ruas tulang bagian leher yang membentuk daerah tengkuk. Vertebra Cervicalis adalah yang paling kecil dan dapat digerakkan, serta terletak di antara cranium dan vertebra thorakalis. b) Dua belas vertebra torakalis atau ruas tulang punggung yang membentuk bagian belakang torax atau dada. Vertebra thorakalis adalah vertebra-vertebra yang berada di punggung bagian atas dan berfungsi sebagai tempat melekatnya tulangtulang rusuk/iga. Ciri khas dari vertebra thorakalis adalah adanya fovea costalis yang merupakan tempat berhubungannya vertebra dengan tulang iga. c) Lima vertebra lumbalis atau ruas tulang pinggang yang membentuk daerah lumbal atau pinggang. Vertebra lumbalis terletak di punggung bagian bawah, tepatnya di antara thorax dan sacrum. Ciri khas dari vertebra lumbalis adalah memiliki corpus yang sangat besar dan jika dilihat dari atas akan terlihat seperti ginjal. d) Lima vertebra sakralis atau ruas tulang kelangkang yang membentuk sakrum atau



tulang kelangkang. Salah satu fungsi dari Sacrum adalah memberikan



kekuatan dan stabilitas bagi pelvis serta meneruskan beban tubuh ke pelvic girdle e) Empat vertebra kosigeus atau ruas tulang tungging atau ekor yang membentuk tulang ekor. (Mashudi, 2019



Vertebra servikalis atau ruas tulang leher adalah yang paling kecil dibandingkan dengan ruas tulang lainnya, ciri dari ruas tulang punggung adalah semakin ke bawah semakin membesar dilihat dari segi ukurannya yang memuat persendian untuk tulang iga. Ruas tulang pinggang adalah yang terbesar dibandingkan dengan badan vertebra lainnya. Sakrum atau tulang kelangkang terletak di bagian bawah tulang belakang dengan bentuk segitiga, dan ruas tulang ekor terdiri dari 4 atau 5 vertebra yang bergabung menjadi satu dan letaknya berada di bagian paling bawah dari tulang belakang atau spine. Ruas-ruas tulang belakang diikat oleh serabut yang dinamakan dengan ligament. Tulang belakang dapat patah akibat dari pukulan keras atau rusak karena faktor kecelakaan atau faktor usia, selain itu tulang belakang juga dapat mengalami kelainan seperti lengkungan tulang dada yang berlebihan mengakibatkan bongkok atau kifosis, lengkung lumbal atau pinggang yang belebihan mengakibatkan lordosis, dan bengkoknya ruas tulang punggung dan pinggang yang mengarah ke arah samping kiri atau kanan yang disebut dengan Scoliosis. 2. Definisi Skoliosis Skoliosis berasal dari kata Yunani yang berarti lengkungan, mengandung arti kondisi patologi. Skoliosis adalah deformitas dari tulang belakang yang dicirikan dengan adanya abnormalitas kelengkungan tulang belakang ke arah lateral. Selain itu, pada skoliosis juga dapat ditemukan adanya rotasi dari vertebra. Skoliosis



didefinisikan sebagai kelengkungan tulang belakang ke arah lateral yang memiliki sudut Cobb lebih dari 10o. Kelengkungan yang abnormal tersebut bisa terjadi karena kelainan kongenital, kelainan pembentukan tulang atau kelainan neurologis, tapi pada sebagian kasus bersifat idiopatik. (Martiana dan Alaydrus, 2019) 3. Etiologi Skoliosis Terdapat 3 penyebab terjadinya skoliosis (Ultarini, 2019): a) Congenital (bawaan). Biasanya berhubungan dengan suatu kelainan pembentukan tulang belakang atau tulang rusuk yang menyatu. Skoliosis congenital sekunder terhadap perkembangan vertebra yang abnormal. Anomali dapat disebabkan oleh kegagalan pembentukan vertebra parsial. Anomali yang paling lazim dari kategori ini adalah hemivertebra. Malformasi vertebra juga bisa disebabkan oleh kegagalan segmentasi, yang paling jelas adalah batang unilateral yang tidak bersegmen. Anomali-anomali vertebra ini dapat menyebabkan skoliosis struktural nyata sejak kehidupan dini. Batang unilateral yang tidak berseragam, terutama mempunyai resiko progresivitas lengkung yang cepat. Skoliosis congenital dapat berhubungan dengan anomali congenital dari sistem organ-organ lain terutama ginjal dan jantung. Gambar Skoliosis kongenital pada bayi laki-laki usia 13 bulan



b) Neuromuskuler Pengendalian otot yang buruk atau kelemahan / kelumpuhan akibat beberapa penyakit berikut : Cerebral Palsy, Distrofi otot, Polio, Osteoporosis juvenile



Gambar Skoliosis Neuromuskular



c) Idiopatik Penyebabnya tidak diketahui. Dapat diperoleh melalui beberapa ciri genetik. Bentuk skoliosis ini tampak pada tulang belakang yang sebelunya tumbuh lurus selama bertahun-tahun. Skoliosis



idiopatik



dapat



melumpuhkan



anak-anak



(paling



banyak



menyerang bayi laki-laki antara lahir sampai usia 3 tahun), anak muda (menyerang kedua jenis kelamin antara 4-10 tahun), atau orang dewasa (biasanya menyerang anak perempuan usia 10 sampai usia subur). Skoliosis idiopatik bertambah parah selama pertumbuhan. Kelaianan ini biasanya asimptomatik pada usia remaja, tetapi kurvatura berat dapat menimbulkan gangguan fungsi paru atau nyeri pinggang bagian bawah pada tahun-tahun selanjutnya. Gambar Skoliosis idiopatik



Etiologi Skoliosis a) Kelainan fisik Ketidak seimbangan pertumbuhan tulang dan otot yang yang mengakibatkan kecendrungan untuk terjadinya suatu Scoliosis. Ketidak seimbangan otot sekitar tulang belakang yang mengakibatkan distrosi spinal atau perbedaan otot pada



saat pertumbuhan. Selain itu dapat disebabkan pula oleh gangguan pada tulang kaki, pinggul atau tulang belakang. Tapi, beberapa orang yang bahunya miring belum tentu karena Scoliosis, melainkan sekadar kebiasaan saja. b) Gangguan pada kelenjar Endokrin Ketidakseimbangan pada hormon yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin, seperti pituitary dan adrenal sebagai pendorong pertumbuhan otot dan tulang. c) Faktor hormonal Defisiensi melatonin diajukan sebgai penyebab skoliosis. Sekresi melatonin pada malam hari menyebabkan penurunan progresivitas skoliosis dibandingkan dengan pasien tanpa progresivitas. Hormon pertumbuhan juga diduga mempunyai peranan pada perkembangan skoliosis. Kecepatan progresivitas skoliosis pada umumnya dilaporkan pada pasien dengan growth hormone. d) Faktor Keturunan Kelainan Scoliosis dapat ditimbulkan oleh gen, artinya bahwa seorang anak dari penderita Scoliosis memiliki kemungkinan mengidap Scoliosis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa deformitas ini diturunkan secara autosomal dominan dan X-linked, sementara lainnya menyatakan bahwa penyakit ini dapat diturunkan secara multifaktorial atau poligenik, yang menjelaskan kenapa penyakit ini dapat tersebar luas di dalam sebuah keluarga. Miller dkk melaksanakan analisis keturunan dan uji saring genetik pada keluarga dengan skoliosis idiopatik pada tahun 2005. Dari analisis yang telah dilaksanakan, ditemukan keterlibatan kromosom 6,9, 16, dan 17 pada skoliosis idiopatik e) Faktor Biomekanik Faktor biomekanik telah diketahui untuk memiliki peran besar dalam mempengaruhi progresivitas dari skoliosis. Menurut Hueter – Volkmann principle, beban yang asimetris distribusinya dapat menimbulkan pertumbuhan tulang belakang yang asimetris pula f) Abnormalitas Jaringan. Beberapa teori diajukan sebagai komponen struktural pada komponen tulang belakang (otot, tulang, ligamentum dan atau diskus) sebagai penyebab skoliosis.



Beberapa teori didasari atas observasi pada kondisi seperti syndrome Marfan (gangguan fibrillin), duchenne muscular dystrophy (gangguan otot) dan displasia fibrosa pada tulang. g) Skoliosis struktural. Skoliosis stuktural di sebabkan oleh pertumbuhan tulang yang tidak nornal. Ciri –ciri fisiknya adalah sebagai berikut : Bahu tidak sama tinggi, Garis pinggang tidak sama tinggi, Badan belakang menjadi bongkok sebelah, Payudara besar sebelah ( pada wanita), Pinggul tidak sama tinggi, Badan kiri dan kanan menjadi tidak simetri. h) Skoliosis non stuktural biasanya disebabkan oleh : Seperti membawa tas yang berat pada sebelah bahu saja (menyebabkan sebelah menjadi tinggi), postur badan yang tidak bagus (seperti selalu membongkok atau badan tidak seimbang). Posisi duduk yang tidah simetris atau miring ke salah satu tulang belakang. Kaki tidak sama panjang. Kesakitan, biasanya yang disebabkan cidera pada ekstermitas bawah menyebabkan aantara tulang vertebra tidak simetris dan menekan jaringan saraf di daerah tersebut dan Olahraga yang tidak terorganisir. 4. Klasifikasi Skoliosis Berdasarkan etiologinya, skoliosis dapat dikategorikan menjadi skoliosis nonstruktural dan struktural (Kartika, 2017) a) Skoliosis Non-struktural Pada skoliosis non-struktural, lengkung dari tulang belakang yang abnormal dapat dikoreksi dengan membungkuk ke samping atau posisi supinasi. Kondisi ini dapat berlangsung sementara, dan tidak ada perubahan struktural. Skoliosis nonstruktural dapat dikelompokkan berdasar etiologinya menjadi: 1. Skoliosis Postural. Disebabkan oleh kebiasaan postur tubuh yang burk. Pada skoliosis postural, deformitas yang terjadi bersifat sekunder, yang diakibatkan oleh kompensasi suatu keadaan selain masalah tulang belakang, contohnya tungkai bawah yang pendek atau pinggul yang miring



karena kontraktur pinggul ; jika pasien duduk (yang



mengakibatkan hilangnya keasimetrisan kaki) , lengkung yang abnormal akan menghilang 2. Skoliosis Histerikal 3. Iritasi akar saraf 4. Inflamasi



5. Keadaan leg length disrepancy 6. Keadaan kontraktur sekitar sendi panggul b) Skoliosis Struktural Skoliosis struktural adalah deformitas tulang belakang yang tidak dapat dikoreksi dan rotasi dari vertebra. Pada kondisi ini, processus spinosus berputar ke arah kecekungan dari kurva, dan processus transversus pada area yang cembung berotasi ke arah posterior. Di regio thorakal, terjadi permukaan yang cembung di area skapular dan disebut sebagai “rib hump” atau “humping” yang disebabkan tulang rusuk yang menonjol. Kondisi ini adalah karakteristik dari deformitas tulang belakang pada skoliosis non-struktural. Rotasi pada vertebra terbentuk oleh tulang rusuk di area thorakal dan musculus erector spinae di daerah lumbal. Pada kelengkungan awal dan kecil, rotasi vertebra hanya dapat dilihat ketika pasien membungkuk ke depan dengan sudut 90 derajat pada pinggul Jika masih awal, deformitas mungkin dapat diperbaiki, tetapi jika deformitas telah mencapai titik tertentu dari kestabilan mekanis, vertebra akan melengkung dan berotasi mencapai deformitas yang bersifat menetap dan tidak dapat hilang dengan perubahan postur tubuh. Kelengkungan sekunder yang terbentuk untuk mengimbangi deformitas primer lebih mudah untuk diperbaiki, tetapi makin lama dapat menetap. Menurut etiologinya, skoliosis dapat diklasifikasikan menjadi : (Kartika, 2019) 1) Skoliosis Idiopatik a) Infantile skoliosis (0-3 tahun) b) Juvenile skoliosis (3-10 tahun) c) Adolescent skoliosis (> 10 tahun) 2) Skoliosis Neuromuskular a. Neuropathic / neurogenic (karena penyakit atau anomali pada jaringan saraf) 1. Upper motor neuron: Cerebral palsy, Degenerasi spinocerebellar, Syringomelia, Tumor medulla spinalis, Trauma medulla spinalis, Lainnya.



2. Lower motor neuron: Poliomyelitis, Viral myelitidies lainnya, Trauma, Spinal muscular atrophy, Meningomyelocele (paralitik) 3. Disautonomia 4. Lainnya b. Miopatik: Arthrogryposis, Muscular dystrophy, Fiber type disproportion, Congenital hypotonia, Myotonia dystrophica, Lainnya. c. Skoliosis Kongenital: Kegagalan pembentukan, Kegagalan segmentasi d. Neurofibromatosis e. Penyakit-penyakit mesenkim f. Penyakit rheumatoid g. Trauma L fraktur, pembedahan, irradiasi h. Osteochondrodystrophies i. Infeksi Tulang j. Penyakit metabolik k. Keadaan sendi lumbosacral l. Tumor pada columna vertebralis atau pada medulla spinalis Klasifikasi dari derajat kurva skoliosis : a. Skoliosis ringan : kurva kurang dari 20º b. Skoliosis sedang : kurva 20º –40º /50º. Mulai terjadi perubahan struktural vertebra dan costa. c. Skoliosis berat : lebih dari 40º /50º. Berkaitan dengan rotasi vertebra yang lebih besar, sering disertai nyeri, penyakit sendi degeneratif, dan pada sudut lebih dari 60º - 70º terjadi gangguan fungsi kardiopulmonal bahkan menurunnya harapan hidup. Sedangkan menurut letaknya, dapat di klafisikasikan menjadi thoracal, lumbal atau kombinasi. Menurut bentuknya dapat dapat di klafisikasikan menjadi: a. Kurva C : umumnya di thoracolumbal tidak terkompensasi, kemungkinan posisi asimetris dalam waktu yang lama, kelemahan otot atau sitting balance yang tidak baik b. Kurva S : lebih sering terjadi pada skoliosis idiophatik, di thoracal kanan dan lumbal kiri, umumnya struktural.



Tipe Skoliosis Idiopatik Skoliosis Idiopatik Lembaga Penelitian Skoliosis (The Skoliosis Research



Society)



merekomendasikan



bahwa



skoliosis



idiopatik



digolongkan berdasarkan umur pasien pada saat diagnosis ditegakkan. a) Skoliosis idiopatik infantile Kelengkungan vertebra berkembang saat lahir sampai usia 3 tahun. pada umumnya dideteksi sejak tahun pertama kelahiran, kasus ini lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dan sebagian besar torakal melengkung kiri. Mayoritas sembuh secara sepontan, walau tidak di obati dan mungkin hasil dari pembentukan di rahim. Beberapa kasus berkembang menjadi struktur lengkungan yang kaku, keras dan prognosisnya jelek. (Kartika, 2019) b) Skoliosis idiopatik juvenile Skoliosis idiopatik juvenil terjadi pada umur 4-10 tahun. Berbagai bentuk dapat terjadi namun kurva torakal biasanya kekanan. Skoliosis juvenil biasanya lebih progresif dari adolesent. Perbedaan antara kasus remaja awal dengan fase anak-anak biasanya sulit dipisahkan kecuali didasarkan atas pemeriksaan x-ray. Kebanyakan dari kasus ini dideteksi lebih dari usia 6 tahun dan berlokasi pada kurvathorak kanan. Pada kelompok umur ini, pravelensi kasus diantara perempuan dan laki –laki secara merata. c) Skoliosis idiopatik adolescent Skoliosis idiopatik adolescent didiagnosa ketika kurva dilihat pada usia 10 tahun dan skeletal yang matang. Bentuk dari thorak kanan dan thoracolumbal lebih dominan. Perubahan bentuk kurva ini lebih banyak dideteksi pada kelompok umur ini namun sudah terjadi sebelum umur 10 tahun, tetapi tidak terdeteksi hingga usia menjelang dewasa. Delapan pulauh persen skoliosis dewasa terjadi pada perempuan, dan kurva yang



terbantuk cendrung ke kanan.



5. Manifestasi Klinis Pada umumnya, pasien menyadari dan mengeluhkan gejala seperti “rib hump” pada bagian thorakal, dan pinggang yang tampak tidak simetris, ketidak simetrisan payudara, salah satu shoulder blade lebih tinggi dan menonjol dibandingkan yang lain, salah satu bahu lebih tinggi, dan postur tubuh yang kurang baik. Nyeri pada punggung adalah hal yang jarang terjadi, dan apabila ada harus dipikirkan penyebab yang lain. Nyeri punggung yang non-spesifik memiliki prevalensi sebesar 70% di populasi dan tidak harus langsung menduga skoliosis sebagai penyebabnya. Penekanan pada akar – akar saraf tulang belakang di bagian lumbal dapat menyebabkan sakit yang menjalar ke tungkai – tungkai bawah. Secara umum tanda-tanda skoliosis yang bisa diperhatikan pada penderitanya yaitu: (Rachmat dan Fauzi, 2019) a. Tulang bahu yang berbeda, dimana salah satu bahu akan kelihatan lebih tinggi dari bahu yang satunya (Elevated Shoulder) b. Tulang belikat yang menonjol, sebagai akibat dari terdorongnya otot oleh kurva primer Scoliosis (Prominent Scapula) c. Lengkungan tulang belakang yang nyata, yang dapat terlihat secara jelas dari arah samping penderita (Spinal Curve) d. Tulang panggul yang terlihat miring, sebagai penyesuaian dari kuva Scoliosis (Uneven Waist) e. Perbedaan ruang antara lengan dan tubuh (Asymmetrical Arm to Flank Distances)



Gejala pada pasien dewasa bergantung dengan pada lokasi lengkung



maksimum dari skoliosis terdapat. Jika lengkung maksimum terdapat pada regio lumbal, dapat menyebabkan nyeri pada bagian punggung, sedangkan lengkung maksimum pada regio thorakal yang lebih dari 80 derajat dapat menyebabkan gangguan kardiopulmoner. Fungsi pulmoner cenderung berkurang pada skoliosis yang terjadi pada regio thorakal dan dapat menyebabkan berkurangnya kapasitas vital paru dengan tingkat keparahan kelengkungan kurva. Ketidaklurusan tulang belakang ini akhirnya akan menyebabkan nyeri persendian di daerah tulang belakang pada usia dewasa dan kelainan bentuk dada, hal tersebut mengakibatkan : a. Penurunan kapasitas paru, pernafasan yang tertekan, penurunan level oksigen akibat penekanan rongga tulang rusuk pada sisi yang cekung. b. Pada skoliosis dengan kurva kelateral atau arah lengkungan ke kiri, jantung akan bergeser kearah bawah dan ini akan dapat mengakibatkan obstruksi intrapulmonal atau menimbulkan pembesaran jantung kanan, sehingga fungsi jantung akan



terganggu. Di bawah ini adalah efek



skoliosis terhadap paru dan jantung meliputi : Efek Mild skoliosis (kurang dari 20o tidak begitu serius, tidak memerlukan tindakan dan hanya dilakukan monitoring). Efek Moderate skoliosis (antara 25 – 40o ), tidaklah begitu jelas , namun suatu study terlihat tidak ada gangguan, namun baru ada keluhan kalau dilakukan exercise.Efek Severe skoliosis



(> 400 ) dapat menimbulkan penekanan pada paru, pernafasan yang tertekan, dan penurunan level oksigen, dimana kapasitas paru dapat berkurang sampai 80%. Pada keadaan ini juga dapat terjadi gangguan terhadap fungsi jantung. Efek Very Severe skoliosis (Over 1000 ). Pada keadaan ini dapat terjadi trauma pada pada paru dan jantung, osteopenia and osteoporosis (Rachmat dan Fauzi, 2019) 6. Patofisiologi Kelainan bentuk tulang punggung yang disebut skoliosis ini berawal dari adanya syaraf –syaraf yang lemah atau bahkan lumpuh yang menarik ruas –ruas tulang belakang. Tarikan ini berfungsi untuk menjaga ruas tulang belakang berada pada garis yang normal yang bentuk nya seperti penggaris atau lurus. Tetapi karena suatu hal, diantaranya kebiasaan duduk yang miring, membuat sebagian syaraf yang bekerja menjadi lemah. Bila ini terus berulang menjadi kebiasaan, maka syaraf itu bahkan akan mati. Ini berakibat pada ketidakseimbangan tarikan pada ruas tulang belakang. Oleh karena itu, tulang belakang yang menderita skoliosis itu bengkok atau seperti huruf “S” ataupun huruf “C”. Dari 4% populasi terdapat 10-15 tahun yang kebanyakan perempuan bentuk normal dari tulang belakang dilihat dari belakang berbentuk lurus dari atas sampai os coccygeus. Bentuk skoliosis yang paling sering dijumpai adalah deformitas tripanal dengan komponen lateral, anterior posterior dan rotasional (Rosadi, 2008). Gambaran patologi anatomi skoliosis non idhiopatik sangat berhubungan dengan penyebab (etiologi). Pada skoliosis idiopatik, terdapat gambaran yang khas yang dapat diikuti. Pada skoliosis idiopatik, kurva struktural dimulai sebagai kurva non struktural (fungsional). Tidak semua kurva non struktural akan menjadi struktural akan terjadi perubahan struktur jaringan lunak sebagai berikut: Kapsul sendi intervertebralis memendek pada sisi cekung (konkaf), terjadi komperesi pada sendi facet. Pemendekan ligamen-ligamen pada sisi cekung (ligamen longitudinal anterior, ligamen longitudinal posterior, ligamen interspinosus). Pada otot-otot juga terjadi suatu perubahan seperti kontraktur (pemendekan) otot-otot sisi konkaf yaitu: otot erector spine, otot kuadratus lumborum, otot psoas mayor dan minor, otot latisimus dorsi, otot perut obeliqus abdominis, Kecuali otot multifidus dikatakan lebih pendek disisi konveks akibat kurva kelateral bersama



rotasi vertebra. Apabila sudah terjadi ”malaligement” posisi struktur berubah kolumna vertebralis terjadi rotasi korpus vertebra kearah konveks. Perbedaan tekanan antara kedua sisi vertebra menyebabkan perbedaan kepadatan dan kesempatan bertumbuh. Terjadi kondisi asimetris dimana sisi konkaf cekung menjadi lebih pendek. Diskus intervertebralis sisi konkaf menipis. Vertebra yang mengalami gaya tekan terbesar akan terdorong lebih menjauh dari gaya kompresi tersebut akan menjadi apex puncak vertebra dari skoliosis. Ruas vertebra torakalis menyebabkan tulang-tulang iga pada sisi konveks tergeser kearah posterior, akan timbul tonjolan iga rib hump ke posterior. Tulang-tulang iga sisi konkaf bergeser ke anterior, sehingga rongga thorak bebentuk oval. Pada anak wanita akan tampak buah dada (mammae) sisi konvek lebih kecil. Terkadang ditemukan ”rib hump” yang ternyata pada skoliosis lumbalis sebagai akibat kompresi vertebra thorakalis, meskipun dari gambaran klinis dan radiologis terlihat skoliosis daerah thorakal sangat minim. Penamaan skoliosis dihubungkan dengan letak konveksitas (Keim HA, Rakasiwi, 2008). Skoliosis menyebabkan deformitas pada tulang vertebra dan costa. Pada skoliosis postural, deformitas terjadi karena akibat sekunder atau kompensasi dari beberapa kondisi di luar vertebrae, contoh: tungkai yang berbeda panjangnya dan pelvis yang miring oleh kerena kontraktur hip. Dengan posisi duduk, kurva struktur, deformitas awal segmen vertebra yang terlibat mungkin masih dapat sikap atau postur tubuh tidak akan menghilangkan bentuk deformitas. Deformitas



skala



tinggi



dapat



menyebabkan



gangguan



fungsi



kardiopulmonal akibat kompensasi dari ketidaknormalan tulang vertebra sehingga mempengaruhi bentuk costa. Akibat terus menerus berkontraksi. Jika berlanjut akan mengkibatkan pemendekan jaringan (kontraktur). Komplikasi dari kontraksi otot terus menerus di satu sisi tubuh. (Gitapradita Wiguna, 2018) 7. Pemeriksaan Penunjang 1) Test adam forward bending Salah satu cara untuk mengetahui apakah skoliosis atau tidak adalah dengan forward bending test. Karena pada posisi fleksi lumbal kedepan, deformitas rotasi dapat diamati paling mudah, dan penonjolan iga atau penonjolan para lumbal dapat dideteksi dengan komponen rotasinya. Pada umumnya, jika



deviasi lateral vertebrata meningkat, begitu juga deformitas rotasinya, tetapi hubungan ini tidak linier dan banyak lengkung minor memperlihatkan rotasi yang nyata sedangkan beberapa deformitas skoliotik sedang dan berat hanya memperlihatkan unsur rotasional yang lebih ringan. (Gitapradita Wiguna, 2018)



2) Scoliometer (inclinometer) Scoliometer (inclinometer) adalah sebuah alat untuk mengukur sudut kurva pada tulang belakang pada procesus spinosus yang asimetris (Gordon,et.al, 2008). Cara pengukuran dengan inclinometer dilakukan pada pasien dengan posisi membungkuk, kemudian atur posisi pasien karena posisi ini akan berubah-ubah tergantung pada lokasi kurvatura scoliosis, sebagai contoh kurva dibawah vertebra lumbal akan membutuhkan posisi membungkuk lebih jauh dibanding kurvapada thorokal. Kemudian letakkan inclinometer pada apeks kurva, biarkan inclinometer tanpa ditekan, kemudian baca angka derajat kurva. Pada screening, pengukuran ini signifikan apabila hasil yang diperoleh labih besar dari 5 derajat, hal ini biasanya menunjukkan derajat adanya rib hump. Ini disebabkan karna adanya rotasi pada daerah vertebra thorakal, dan ini juga dapat menunjukan kelengkungan vertebra. Perlu dicatat hal ini hanya menunjukan adanya kelainan pada spine akan tetapi tidak menunjukan tingkat keparahan dan deformitas tersebut. (Nabila, 2020)



3) Skilot Pemeriksaan lain yang di lakukan oleh fisioterpi adalah menggunakan skilot, sejenis bandul panjang yang melewti kepala, badan, dan garis tengah gluteal. Caranya orang yang akan di test dalam posisi berdiri dengan kaki terbuka. Kemudian letakkna ujung tali yang bebas pada poe dan biarkan bandulnya jatuh melewati garis tengah gluteal. Jika bandul tidak melewati garis tengah gluteal dengan penyimpangan kira –kira lebih dari 10 derajat, maka memungkunan terjadi scoliosis. 4) Pemeriksaan radiologi X-Ray Proyeksi Foto polos harus diambil dengan posterior dan lateral penuh terhadap tulang belakang dan krista iliaka dengan posisi tegak, untuk menilai derajat kurva dengan metode Cobb dan menilai maturitas skeletal dengan metode Risser. Kurva strutural akan memperlihatkan rotasi vertebrata pada proyeksi posterior-anterior, vertebrata yang mengarah ke puncak prosessus spinosus menyimpang kegaris tengah pada ujung atas dan bawah kurva diidentifikasi sewaktu tingkat simetri vertebrata diperoleh kembali. Cobb Angel di ukur dengan menggambar garis tegak lurus dari batas superior dari vertebra paling atas pada lengkungan dan garis tegang lurus dari akhir inferior vertebra paling bawah. Perpotongan kedua garis ini membentuk suatu sudut yang diukur. Metode Cobb Metode Cobb sudah digunakan sejak tahun 1984 untuk mengukur sudut pada posisi erect PA. Pengukuran dengan sudut Cobb sangat berguna pada pemeriksaan pasien dengan posisi PA/AP. Sudut Cobb ditemukan dengan menarik garis dari sudut inferior dan superior vertebrae dari kelengkungan. Sudut tersebut menghubungkan garis tegak lurus dengan endplates. Sudut Cobb sangat berguna dalam menentukan beda antara skoliosis dan asimetris dari vertebrae. Sudut kurang 100 hingga 150 pada sudut Cobb lebih menunjukkan bahwa telah terjadi asimetris daripada skoliosis. Sudut Cobb juga dapat memonitor kemajuan koreksi dari



kelengkungan selama penggunaan bracing atau observasi perbaikan. Bagaimanapun, pada pengukuran sudut Cobb tidak bisa menentukan adanya vertebral rotation atau aligment dari tulang belakang. Metode lippman-cobb di ambil dan di standarisasi oleh Scoliosis Research Society dan digunakan untuk mengklasifikasikan jenis kelengkungan skoliosis menjadi tujuh bagian



Caranya : Mengukur sudut Cobb dengan menggambar garis tegak lurus dari lempeng ujung superior dari vertebra paling atas pada lengkungan (mengukur dari puncak T9) dan garis tegak lurus dari lempeng akhir inferior vertebra paling bawah dari lengkungan (mengukur dari alas L3). Perpotongan dari kedua garis ini membentuk suatu sudut yang diukur. Metode Cobb ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan metode lain. Selain itu metode ini lebih tepat bahkan jika pasien diperiksa oleh pemeriksa lainnya. Selain itu juga masih ada metode lain yaitu metode Risser-Ferguson, yang lebih jarang digunakan. Pada awalnya, seseorang harus ditentukan terlebih dahulu apa jenis/tipe dari kelengkungan pada skoliosisnya tersebut. Lengkungannya bisa jadi akut, seperti yang terlihat pada fraktur atau hemivertebra. Setiap adanya anomali pada costa atau vertebre harus dilaporkan. Scoliosis secara umum dapat digambarkan berdasarkan lokasi kelengkungannya, seperti yang ada digambar berikut ini :



Gambar Pola skoliosis Pemeriksa seharusnya juga menentukan apakah titik kelengkungan tersebut mengarah ke kanan atau ke kiri. Jika kelengkungannya ada ada dua, maka masing-masing harus digambarkan dan diukur. Untuk menggunakan metode Cobb, pertama kita harus menetukan mana saja yang merupakan end vertebrae. Masing-masing dari end vertbrae ini adalah yang dibatasan atas dan bawah dari kelengkungan yang miring paling jauh mengarah ke kelengkungannya. Jika kita sudah memilih vertebrae tersebut, lalu gambarlah garis sepanjang endplate bagian atas dan bawah, sebagimana digambarkan dibawah ini.



Gambar Pengukuran skoliosis berdasarkan metode Cobb Jika ujung endplate sulit dinilai, maka garis ini dapat digambarkan disepanjang atas dan bawah dari pedikel. Sudut yang didapatkan adalah sudut yang terdapat diantara dua



garis tersebut. namun, jika sudut yang terbentuk itu kecil, bisa saja kedua garis tersebut berpotongan di gambarnya saja, seperti Downtown Seattle. Pada saat melaporkan penghitungan sudut skoliosis ini maka kita harus menerangkan bahwa metode yang dipakai dalam pengukuran ini adalah metode Cobb dan juga mana ujung-ujung dari vertebrae yang telah kita pilih unutk diukur. Peranannya disini adalah jika kita telah memilih vertebrae tersebut, maka kita harus menggunakan vertebrae yang sama dalam proses follow up selanjutnya, agar hasil yang didapatkan lebih tepat dan pasti dalm menilai kemajuan atau perbaikan yang ada. 8. Penatalaksanaan Jenis terapi  yang dibutuhkan untuk skoliosis tergantung pada banyak faktor. Sebelum menentukan jenis terapi yang digunakan, dilakukan observasi terlebih dahulu. Terapi disesuaikan dengan etiologi,umur skeletal, besarnya lengkungan, dan ada tidaknya progresivitas dari deformitas. Keberhasilan terapi sebagian tergantung pada deteksi dini dari skoliosis. Medikamentosa Tujuan pemberian obat adalah untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan kemungkinan infeksi baik dari alat ataupun pembedahan, bukan untuk mengobati skoliosis. Obat yang digunakan antara lain : 1. Analgesik : a) Asam Asetil Salisilat 3 x 500 mg b) Paracetamol 3 x 500 mg c) Indometacin 3 x 25 mg 2. NSAID (Non Steroid Anti Inflamation Drug) 1) Non Medikamentosa : Terapi panas (kompres hangat), alat penyangga digunakan untuk skoliosis dengan kurva 25°-40° dengan skeletal yang tidak matang (immature). Alat penyangga tersebut antara lain: peyangga milwaukee, boston Tujuan dilakukannya tatalaksana pada skoliosis meliputi 3 hal penting : Mencegah progresifitas dan mempertahankan keseimbangan, Mempertahankan fungsi respirasi. Mengurangi nyeri dan memperbaiki status neurologis. Adapun pilihan terapi yang dapat dipilih, dikenal sebagai “The three O’s” adalah : a) Observasi



Pemantauan dilakukan jika derajat skoliosis tidak begitu berat, yaitu 40-45 derajat pada anak yang sedang tumbuh 3. Terdapat kegagalan setelah dilakukan pemakaian alat orthosis



Penanganan operatif dilakukan apabila kurva telah lebih dari 30˚ yang secara kosmetik tidak baik, dan untuk deformitas yang ringan namun tidak membaik setelah menjalankan penanganan konservatif. Tujuan dari penanganan operatif adalah untuk meluruskan kurva termasuk komponen vertebra yang telah berotasi. Umumnya, jika kelengkungan lebih dari 40 derajat dan pasien skeletalnya imatur, operasi direkomendasikan. Lengkung dengan sudut besar tersebut, progresivitasnya meningkat secara bertahap, bahkan pada masa dewasa. Tujuan terapi bedah dari skoliosis adalah memperbaiki deformitas dan mempertahankan perbaikan tersebut sampai terjadi fusi vertebra. Beberapa tindakan pembedahan untuk terapi skoliosis antara lain : a. Penanaman Harrington rods (batangan Harrington) Batangan Harrington adalah bentuk peralatan spinal yang dipasang melalui pembedahan yang terdiri dari satu atau sepasang batangan logam untuk meluruskan atau menstabilkan tulang belakang dengan fiksasi internal. Peralatan yang kaku ini terdiri dari pengait yang terpasang pada daerah mendatar pada kedua sisi tulang vertebrata yang letaknya di atas dan di bawah lengkungan tulang belakang. Keuntungan utama dari penggunaan batangan Harrington adalah dapat mengurangi



kelengkungan



tulang



belakang



ke



arah



samping



(lateral),



pemasangannya relatif sederhana dan komplikasinya rendah. Kerugian utamanya adalah setelah pembedahan memerlukan pemasangan gips yang lama. Seperti pemasangan pada spinal lainnya , batangan Harrington tidak dapat dipasang pada penderita osteoporosis yang signifikan.



Gambar Penggunaan batangan Harrington



b. Pemasangan peralatan Cotrell-Dubousset Peralatan Cotrell-Dubousset meliputi pemasangan beberapa batangan dan pengait untuk menarik, menekan, menderotasi tulang belakang. Alat yang dipasang melintang antara kedua batangan untuk menjaga tulang belakang lebih stabil. Pemasangan peralatan Cotrell-Dubousset spinal dikerjakan oleh dokter ahli bedah yang berpengalaman dan asistennya (Rachmat dan Fauzi, 2019) 9. Komplikasi Skoliosis adalah penyakit 3 dimensi yang sangat komplek walaupun prinsipnya berasal dari kurva ke arah lateral yang kemudian membuat vertebra berputar. Perputaran vertebra merubah bentuk dan volume dari rongga thorak maupun rongga abdominal. Sehingga berujung pada organ di dalamnya misalnya berkurangnya system kerja kardiopulmonal, jantung, dan dapaat menimbulkan nyeri (harjono,2006). Skoliosis merupakan kelainan bentuk kurva tulang belakang. Bentuk tulang belakang yang melengkung ke kiri ataupun ke kanan dengan tingkat derajad kelengkungan besar akan mendesak organ-organ dalam tubuh. Akibatnya terjadi, mempengaruhi sistem pencarnaan, pernapasan, jantung dan tentunya muscular dengan manifestasinya berbagai macam, yaitu nyeri otot, spasme otot, kontraktur otot, penurunan elasisitas otot, penurunan kekuatan otot dan penurunan lingkup



gerak sendi pada tulang belakang. Skoliosis dengan derajat kurva tulang belakang yang besar dapat menyebabkan gangguan fungsi kardiopulmonal yang disebabkan kompensasi dari ketidaknormalan tulang vertebra sehingga mempengaruhi bentuk costa. Akibat terus menerus berkontraksi, sehingga akan mengkibatkan pemendekan jaringan, kontraktur, komplikasi dari kontraksi otot terus menerus di satu sisi tubuh (Ultarini, 2019) 10. Asuhan Keperawatan 1) Pengkajian Identitas klien nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis. a) Keluhan Utama Pada umumnya pada pasien yang mengalami scoliosis yang lengkungan scoliosis nya melebihi 400 akan mengalami gangguan pola penafasan akibat penekanan paru. Nyeri juga dirasakan pada pasien skoliosi, karena posis tubuh yang miring ke lateral, sehingga ,menyebabkan posisi tubuh yang tidak anatomis. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien perawat dapat menggunkan PQRST, yaitu :  Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.  Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.  Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.  Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.  Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.



b) Riwayat Penyakit Sekarang Pengumpulan data yang dilakukan untuk mengetahui penyebab terjadinya skoliosis,serta derajat kelengkungan scoliosis karena hal ini berguna dalam penentuan penanganan yang akan dilakukan. c) Riwayat Penyakit Dahulu Pada pengkajian ini ditemukan penyebab terjadinya scoliosis dan kemungkinan dalam perbaikan kembali scoliosis ke posisi anatomisnya. d) Riwayat Penyakit Keluarga Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya scoliosis, karena adanya teori yang menyatakan bahwasanya pasien yang memiliki riwayat keluarga yang terkena scoliosis akan menigkatkan insiden scoliosis. e) Riwayat Psikososial Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995). 2) Pemeriksaan fisik meliputi : a) Mengkaji skelet tubuh. Adanya deformitas dan kesejajaran. Pertumbuhan tulang yang abnormal akibat tumor tulang. Pemendekan ekstremitas, amputasi dan bagian tubuh yang tidak dalam kesejajaran anatomis. Angulasi abnormal pada tulang panjang atau gerakan pada titik selain sendi biasanya menandakan adanya patah tulang. b)Mengkaji tulang belakang. Skoliosis (deviasi kurvatura lateral tulang belakang) c) Mengkaji sistem persendian. Luas gerakan dievaluasi baik aktif maupun pasif, deformitas, stabilitas, dan adanya benjolan, adanya kekakuan sendi d)Mengkaji system otot. Kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi, dan ukuran masing-masing otot. Lingkar ekstremitas untuk mementau adanya edema atau atropfi, nyeri otot. e) Mengkaji cara berjalan. Adanya gerakan yang tidak teratur dianggap tidak



normal. Bila salah satu ekstremitas lebih pendek dari yang lain. Berbagai kondisi neurologist yang berhubungan dengan caraberjalan abnormal (mis. cara berjalan spastic hemiparesis - stroke, cara berjalan selangkahselangkah – penyakit lower motor neuron, cara berjalan bergetar – penyakit Parkinson). f) Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer. Palpasi adanya dan



suhu



yang



kulit



dapat



lebih panas atau lebih dingin



menunjukkan dari



lainnya



adanya edema. Sirkulasi perifer dievaluasi dengan mengkaji denyut



perifer, warna, suhu dan waktu pengisian kapiler. g)



Kaji status neuromuskular.



h)



Status pernapasan pasien, kesulitan bernapas,



sianosis, takipnea, dan batuk. i)Penurunan



sensasi



dan



aktivitas



motorik



pada



ekstremitas. j)Status sirkulasi ekstremitas, perubahan warna kulit, nadi dan suhu k)



Kelurusan



tubuh



dan



terdapatnya



alat



imoblisasi. l)Kaji lokasi, intensitas, dan durasi nyeri. m)



Karakter dan jumlah drainase luka.



n)



Drainase hemovac jika terpasang.



o)Pengeluaran urine. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan mencakup darah lengkap, elektrolit, pemeriksaan radiologi spinal, dam pemeriksaan kultur urine. 3) Diagnosa Keperawatan a)



Pola nafas tidak efektif b/d depresi pernapasan



b)



Nyeri akut b/d agen pencedera fisik (post operasi)



c)



Resiko infeksi b/d efek prosedur invasif



4) Rencana Asuhan Keperawatan



No 1.



2.



Dx Keperawatan Pola nafas tidak efektif b/d depresi pernapasan



SLKI



SIKI



Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan ventilasi adekuat dengan kriteria hasil : a. Pola nafas - Dispnea menurun - Penggunaan otot bantu napas menurun - Frekuensi nafas membaik - Kedalaman napas membaik b. Status neurologis - Tingkat kesadaran meningkat - Reaksi pupil meningkat - Fungsi sensorik spinal membaik - Fungsi motorik spinal meningkat - TTV dalam batas normal



1. Manajemen Jalan Nafas Observasi - Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha napas) - Monitor bunyi napas tambahan - Monitor sputum (jumlah, warna, aroma) Terapeutik - Pertahankan kepatenan jalan napas - Posisikan semi fowler atau fowler - Berikan minuman hangat - Lakukan fisioterapi dada, jika perlu Edukasi - Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak ada kontraindikasi - Ajarkan teknik batuk efektif Kolaborasi - Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu 2. Pemantauan Respirasi Observasi - Identifikasi faktor pencetus dan pereda nyeri - Monitor kualitas nyeri - Monitor lokasi dan penyebaran nyeri - Monitor intensitas nyeri dengan menggunakan skala - Monitor durasi dan frekuensi nyeri Terapeutik - Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien - Dokumentasi hasil pemantauan Edukasi - Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan - Informasikan hasil pemantauan, jika prlu Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan 1. Manajemen nyeri b/d agen keperawatan di harapkan klien : Observasi pencedera 1.Tingkat nyeri - Identifikasi lokasi, durasi, karakteristik, fisik - Keluhan nyeri menurun frekuensi, kualitas, intensitas nyeri -



Ekspresi meringis menurun



-



Identifikasi skala nyeri



-



Kesulitan tidur menurun



-



Identifikasi respons nyeri non verbal



-



Nafsu makan membaik



-



-



Pola tidur membaik



Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri



-



Identifikasi pengetahuan dan keyakinan



2.Mobilitas fisik



-



Pergerakan ekstremitas meningkat



tentang nyeri -



Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri



-



Kekuatan otot meningkat



-



Rentang gerak (ROM) meningkat



-



Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup



-



Nyeri menurun



-



-



Kecemasan menurun



Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan



-



Kaku sendi menurun



-



Gerakan terbatas menurun



-



Kelemahan fisik menurun



Terapeutik - Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri -



Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri



-



Fasilitas istirahat dan tidur



-



Pertimbangan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri



Edukasi - Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri -



Jelaskan strategi meredakan nyeri



-



Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri



-



Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri 2. Terapi relaksasi Observasi



-



Identifikasi penurunan tingkat energi, ketidakmampuan berkonsenrasi atau gejala lain yang menganggu kemampuan kognitif



-



Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif digunakan



-



Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan darah, dan suhu



-



Monitor respons terhadap terapi relaksasi Terapeutik



-



Ciptakan lingkungan tenang



-



Berikan informasi tertulis mengenai persiapan dan prosedur teknik relaksasi



-



Gunakan pakaian longgar



-



Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang dengan analgetik aatau tindakan medis lain jika sesuai Edukasi



3.



Resiko



Setelah



dilakukan



tindakan



-



Jelaskan tujuan, mandaat, batasan, an jenis relaksasi yang tersedia (teknik nafas dalam)



-



Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi yang dipilih



-



Anjurkan mengambil posisi nyaman



-



Anjurkan rileks dan merasakan sensasi relaksasi



-



Anjurkan sering mengulangi atau melatih teknik nafas dalam



-



Demonstrasikan dan latih teknik napas dalam



1. Pencegahan infeksi Observasi infeksi b.d keperawatan diharapkan : a. Monitor tanda gejala infeksi lokal dan efek prosedur 1. Tingkat infeksi sisteik a. Demam menurun Terapeutik invasif b. Kemerahan menurun a. Batasi jumlah pengunjung c. Nyeri menurun b. Berikan perawatan kulit pada area d. Kadar sel darah putih edema membaik c. Cuci tangan sebelum dan sesudah e. Kultur darah kontak dengan pasien membaik d. Pertahankan teknik aseptik pada f. Kultur area luka pasien beresiko tinggi membaik Edukasi a. Jelaskan tanda dan gejala infeksi b. Ajarkan memeriksa kondisi luka c. Anjurkan meningkatkan asupan cairan dan makanan’ajarkan teknik mencuci tangan yang benar 2. Perawatan Area Insisi Observasi - Periksa luka insisi adanya kemerahan, bengkak atau tanda-tanda dehisen



- Indentifikasi karakteristik drainase - Monitor proses penyembuhan area insisi - Monitor tanda dan gejala infeksi Terapeutik - Bersihkan area insisi dengan pembersih yang tepat - Usap area insisi dari yang bersih menuju area yang kurang bersih - Bersihkan area di sekitar tempat pembuangan atau tabung drainase - Pertahankan posisi tabung drainase - Berikan salep antiseptik, jika perlu - Ganti balutan sesuai jadwal Edukasi - Jelaskan prosedur kepada pasien, dengan menggunakan alat bantu - Ajarkan meminimalkan tekanan pada tempat insisi - Ajarkan merawat area insisi



DAFTAR PUSTAKA Gitapradita, Nyoman Gde dan Wiguna, Artha. (2018). Adolescent Idhiopatic Scoliosis. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Kartika. (2017). Peranan Radiologi pada Skoliosis : Pengukuran dan Klasifikasi. Jurnal Radiologi Indonesia, Vol 2 (2), 129-134 Martiana, I Ketut dan Alaydrus, M. (2019). Degenerative Scoliosis: A Case Report. Journal Orthopedi and Traumatology Surabaya, Vol 8 (2), 104-110 Mashudi, Sugeng. (2019). Buku Ajar Anatomi dan Fisiologi Dasar. Jakarta: Salemba Medika Nabila. (2020). Efektivitas Skoliometer Sebagai Alat Deteksi Dini Skoliosis. Jurnal Heme, Vol 2(1), 58-61. Rachmat, Nur dan Fauzi, Rizki. (2019). Gambaran Kepercayaan Diri Penderita Skoliosis dengan Penggunaan Scoliosis Brace. Jurnal Skala Kesehatan, Vol



10(2), 62-73 Tim Pokja SDKI PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI Tim Pokja SIKI PPNI. (2017). Standar Intervensi Keperawatan indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI Tim Pokja SLKI PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI Ultarini,



Dina. (2019). Identifikasi Skoliosis Pada Anak Usia 11-13 Tahun di



Yogyakarta. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Aisyiyah Yogyakarta