LP Tetraparese [PDF]

  • Author / Uploaded
  • reda
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.U DENGAN TETRAPARESE DI RUANG DHAHA RSUD GAMBIRAN KOTA KEDIRI



Untuk Memenuhi Tugas Profesi Keperawatan Medikal Bedah



Oleh : ANANDA GALUH RAKA SIWI NIM. 40221003



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS KESEHATAN INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KOTA KEDIRI 2022



LAPORAN PENDAHULUAN TETRAPARESE 1. Definisi Tetraparese Tetraparese adalah kelumpuhan/ kelemahan yang disebabkan oleh penyakit atau trauma pada manusia yang menyebabkan hilangannya sebagian



fungsi



motorik



pada



keempat



anggota



gerak,



dengan



kelumpuhan/ kelemahan lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai.



Hal ini diakibatkan oleh adanya kerusakan otak,



kerusakan tulang belakang pada tingkat tinggi (khususnya pada vertebra cervikalis), kerusakan system saraf perifer, kerusakan neuromuscular atau penyakit otot.K erusakan diketahui karena adanya lesi yang menyebabkan hilangnya fungsi motorik pada keempat anggota gerak, yaitu lengan dan tungkai (Baehr, 2010). Pada tetraparese kadang terjadi kerusakan atau kehilangan kemampuan



dalam mengontrol sistem pencernaan, fungsi seksual,



pengosongan saluran kemih dan rektum, sistem pernafasan atau fungsi otonom.



Selanjutnya,



dapat



terjadi



penurunan/kehilangan



fungsi



sensorik.Walaupun pada tetraparese itu terjadi kelumpuhan pada keempat anggota gerak tapi terkadang tungkai dan lengan masih dapat digunakan atau jari-jari tangan yang tidak dapat memegang kuat suatu benda tapi jari-jari tersebut masih bisa digerakkan, atau tidak bisa menggerakkan tangan tapi lengannya masih bisa digerakkan. Hal ini semua tergantung dari luas tidaknyanya kerusakan (Armon, Camel. 2011)) 2. Klasifikasi Tetraparese Pembagian tetraparese menurut Mardjono (2006) dibagi menjadi dua berdasarkan kerusakan topisnya, yaitu: a. Tetraparese spastic Tetraparese spastik terjadi karena kerusakan yang mengenai upper motor neuron (UMN), sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau hipertoni.



b. Tetraparese flaksid Tetraparese flaksid terjadi karena kerusakan yang mengenai lower motor neuron (LMN),sehingga menyebabkan penurunan tonus otot atau hipotoni. 3. Etiologi Tetraparese Penyebab penyakit tetraparese menurut Mardjono (2006) : 1. Tabrakan mobil/ motor dan jatuh (sport injury) 2. Polio 3. Spina bifida 4. Polio 4. Manifestasi Klinis Tetraparese a. Kelumpuhan UMN Dicirikan oleh tanda-tanda kelumpuhan UMN, yakni sebagai berikut (Harsono, 2010) : 1) Tonus otot meninggi atau hipertonia Gejala tersebut terjadi karena hilangnya pengaruh inhibisi korteks motorik tambahan terhadap inti-inti intrinsik medulla spinalis. Hipertonia merupakan ciri khas dari disfungsi komponen ekstrapiramidal susunan UMN. Hipertonia yang mengiringi kelumpuhan UMN tidak melibatkan semua otot skeletal, tergantung pada jumlah serabut penghantar impuls pyramidal dan ekstrapiramidal yang terkena. 2) Hiperefleksia Hiperefleksia merupakan keadaan setelah impuls inhibisi dari susunan pyramidal dan ektrapiramidal tidak dapat disampaikan ke motoneuron. 3) Klonus Tanda ini adalah gerak otot reflektorik, yang bangkit secara berulang-ulang selama perangsangan masih berlangsung. 4) Refleks patologi Pada kerusakan UMN sering ditemukan reflex patologik, yang tidak ditemukan pada orang normal. 5) Tidak ada atrofi pada otot-otot yang lumpuh



Rusaknya motoneuron dapat menyebabkan rusaknya serabutserabut otot yang tercakup dalam kesatuan motorik sehingga otototot yang terkena menjadi kecil (atrofi). Dalam hal kerusakan serabut-serabut otot penghantar impuls motorik UMN, tidak melibatkan motoneuron. Tanda-tanda kelumpuhan UMN dapat ditemukan sebagian atau seluruhnya setelah terjadinya lesi UMN. b. Kelumpuhan LMN Lesi paralitik di susunan LMN merupakan suatu lesi yang merusak mptoneuron, akson, motor end plate, atau otot skeletal, sehingga tidak terdapat gerakan apapun, walaupun impuls motorik tiba di motoneuron. Adapun tanda-tanda kelumpuhan LMN yakni : 1) Seluruh gerakan, baik yang voluntar maupun yang reflector tidak dapat dibangkitkan. Ini berarti bahwa kelumpuhan disertai oleh hilangnya reflex tendon dan tidak adanya reflex patologis 2) Tonus otot menghilang 3) Atrofi otot cepat terjadi. 5. Patofisiologi Tetraparese Tetraparese dapat disebabkan karena kerusakan Upper Motor Neuron (UMN) atau kerusakan Lower Kelumpuhan/ kelemahan Neuron



(UMN)



yang



terjadi



disebabkan



karena



Motor



Neuron (LMN).



pada kerusakan Upper Motor adanya



lesi



di



medula



spinalis.Kerusakannya bisa dalam bentuk jaringan scar, atau kerusakan karena tekanan dari vertebra atau diskus intervetebralis. Hal ini berbeda dengan lesi pada LMN yang berpengaruh pada serabut saraf yang berjalan dari horn anterior medula spinalis sampai ke otot. Pada columna vertebralis terdapat nervus spinalis, yaitu nervus servikal, thorakal, lumbal, dan sakral. Kelumpuhan berpengaruh pada nervus spinalis dari servikal dan lumbo sakral dapat menyebabkan kelemahan/ kelumpuhan pada keempat anggota gerak. Wilayah ini penting, jika terjadi kerusakan pada daerah ini maka akan berpengaruh pada otot, organ, dan sensorik yang dipersarafannya.



Ada dua tipe lesi, yaitu lesi komplit dan inkomplit. Lesi komplit dapat menyebabkan kehilangan kontrol otot dan sensorik secara total dari bagian dibawah lesi, sedangkan lesi inkomplit mungkin hanya terjadi kelumpuhan otot ringan (parese) dan atau mungkin kerusakan sensorik. Lesi pada UMN dapat menyebabkan parese spastic sedangkan lesi pada LMN menyebabkan parese flaksid (Baehr, 2010). 6. Komplikasi Tetraparese Komplikasi yang dapat terjadi pada tetraparese adalah: a. Masalah pernapasan seperti hipersekresi, bronkospasme, edema paru dan pneumonia b. Terjadi trombo emboli paru atau lainnya (pembekuan darah) c. Infeksi saluran kencing dan paru d. Dekubitus e. Hilangnya kontrol kandung kemih dan peristaltic usus f. Nyeri (Baehr, 2010). 7. Pemeriksaan Penunjang Tetraparese a. Pemeriksaan laboraturium Pada pemeriksaan darah rutin dapat dilihat nilai dari jumlah leukosit yang dapat menunjukan adanya tanda-tanda infeksi yang merupakan petanda adanya lesi akibat infeksi. Pemeriksaan kimia darah untuk mengetahui elektrolit tubuh juga merupakan pemeriksaan yang penting untuk menilai lesi. Kelumpuhan keempat anggota gerak yang bersifat LMN, mutlak motorik dianggap kelumpuhan miogenik. Patofisiologi nya masih kurang jelas, tetapi secara klinis terbukti mempunyai hubungan yang erat dengan ion kalium. Dikenal 3 macam paralisis periodic. Yang pertama ialah paralisis periodik hipokalemik familial, kedua yaitu paralisis periodic hiperkalemik familial dan yang ketiga adalah paralisis periodik normokalemik. Perbedaan yang ditonjolkan oleh klasifikasi tersebut berdasarkan kadar kalium dalam serum. Pada jenis hipokalemik familial, paralisis bangkit pada waktu pagi hari atau setelah beristirahat atau setelah bekerja, atau setelah makan makanan tinggi karbohidrat. Paralisis dapat berlangsung



beberapa jam bahkan sampai beberapa hari. Kadar kalium dibawah 3 mEq/L . pada jenis hiperkalemik, kelumpuhan keempat anggota gerak bangkit selalu setelah bekerja. Sebagian dengan miotonia atau sebagian tidak, paralisis biasanya tidak berlangsung lama dan kadar kalium dalam serum lebih dari 4,2 mEq/L. Jenis normokalemik sering menimbulkan kesukaran, baik dalam diagnosis maupun terapi. Serangan paralisis nya sering bersifat total dan berlangsung lama. Pemberian kalium dapat memperburuk keadaan. b. Pemeriksaan Radiologis Selain anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboraturium yang mengarahkan ke diagnosis tetraparese tipe lower maupun upper motor neuron, maka diperlukan pemeriksaan radiologi untuk menyingkirkan penyebab yang lain. Pemeriksaan rontgen thoracolumbal juga dapat membantu menegakkan diagnosis (Lumbantobing, 2010). 8. Penatalaksanaan Tetraparese a. Terapi Farmakologi Tujuan



pengobatan



adalah



mengobati



gejala



simptom



dan



memperbaiki keadaan umum penderita. Pencegahan sebaiknya disesuaikan dengan faktor pencetusnya, Bila faktor pencetusnya karena gangguan elektrolit, maka pemberian cairan elektrolit yang sesuai selama serangan dapat mengurangi gejala. Pengobatan yang dianjurkan adalah pemberian kalium per oral, jika keadaan berat mungkin dibutuhkan pemberian kalium intra vena. Penderita mendapat pengobatan pencegahan dengan menghindari faktor-faktor pencetus dan pemberian preparat kalium peroral. b. Terapi non farmakologi Rehabilitasi secara komprehensif dengan melakukan fisioterapi yang dilakukan setelah onset terbukti meningkatkan fungsi saraf motorik dengan tetraparese (Harsono, 2010).



9. WOC Trauma (seperti tabrakan mobil, jatuh, atau sport injury), cedera medula spinalis atau karena penyakit reaksi autoimun dan infeksi (seperti mielitis transversal, polio, atau spina bifida). Merusak selaput myelin Kehilangan selaput myelin Impuls saraf menurun dalam menghantarkan rangsangan Kelemahan/ paralisis Kelumpuhan Motorik Mobilitas lama Luka dekubitus Gg. Integritas kulit



Sensorik Bising usus menurun



Sendi kaku Gg. Mobilitas Fisik



Kontraktilitas usus menurun Konstipasi



Paralisis Penurunan fungsi sendi Gg. Mobilitas Fisik



Sfingter uretra terganggu Retensi urin



Autoimun Refleks menelan menurun Penurunan intake nutrisi Risiko Defisit



CO2 menurun Sirkulasi darah ke tubuh mnurun Kebutuhan O2 dalam paru berkurang Sesak napas



Pola Napas Tidak Efektif



10. Asuhan Keperawatan Teori a. Pengkajian Data – data yang sering muncul saat dilakukannya pengkajian pada pasien dengan tetraparese, antara lain (Baehr, 2010) : 1. Riwayat a) Riwayat Penyakit Sekarang Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari penyakit itu sendiri, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut. b) Riwayat Penyakit Dahulu Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab penyakit, kemungkinan komplikasi yang akan muncul akibat penyakit dan memberi petunjuk berapa lama pengobatan yang harus dilakukan. 2. Pola Gordon a) Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan Pada kasus tetraparese akan timbul ketidakadekuatan, bisa terjadi



kecacatan



pada



dirinya



dan



harus



menjalani



penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat yang dapat mengganggu metabolism, pengkonsumsian



alkohol



yang



bisa



mengganggu



keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak. b) Pola Nutrisi dan Metabolisme Pada klien tetraparese harus mengkonsumsi nutrisi yang dibutuhkan sehari-hari untuk membantu proses penyembuhan. Evaluasi



terhadap



pola



nutrisi



klien



bisa



membantu



menentukan penyebab masalah dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak.



c) Pola Eliminasi Dalam pola eliminasi perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi bowel. Sedangkan pada pola eliminasi bladder dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. d) Pola Aktivitas dan Latihan Karena keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien, seperti memenuhi kebutuhan sehari hari menjadi berkurang. Misalnya makan, mandi, berjalan sehingga kebutuhan klien perlu dibantu oleh orang lain. e) Pola Tidur dan Istirahat Pada klien tetraparese akan timbul keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur. f) Pola Sensori dan Kognitif Pada klien tetraparese daya rabanya berkurang terutama pada bagian ekstremitas bawah maupun ekstremitas atas. g) Pola Persepsi dan Konsep Diri Dampak yang timbul pada klien tetraparese yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat penyakitnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan gangguan citra diri. h) Pola Hubungan Peran Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap, klien biasanya



merasa



rendah



diri



terhadap



perubahan



penampilan, klien mengalami emosi yang tidak stabil.



dalam



i) Pola Reproduksi Seksual Dampak pada klien tetraparese yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak pada ektremitasnya. j) Pola Mekanisme Koping Pada klien tetraparese akan timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif k) Pola Nilai dan Keyakinan Untuk klien tetraparese tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena keterbatasan gerak klien. 3. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik yang terdapat masalah adalah ekstremitas atas maupun bawah yaitu kurangnya kekuatan otot pada klien b. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri Akut b.d Sendi kaku d.d Mengeluh nyeri 2. Gangguan Mobilitas Fisik b.d Penurunan fungsi sendi d.d Mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas 3. Gangguan Integritas Kulit b.d Dekubitus d.d Kerusakan jaringan dan/ atau lapisan kulit 4. Risiko



Defisit



Nutrisi



b.d



Penurunan



intake



Ketidakmampuan menelan makanan 5. Pola napas tidak efektif b.d Sesak napas d.d Dispnea



nutrisi



d.d



c. Intervensi Keperawatan No. 1.



Diagnosa Keperawatan Nyeri Akut b.d Sensasi Nyeri



Tujuan Setalah dilakukan intervensi keperawatan Observasi



d.d Mengeluh nyeri



3x24 jam maka tingkat nyeri menurun,



Intervensi



1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri



dengan kriteria hasil : 1. Keluhan nyeri menurun (5)



2. Identifikasi skala nyeri



2. Meringis menurun (5)



3. Identifikasi faktor yang memperberat dan



3. Sikap protektif menurun (5)



Terapeutik



4. Gelisah menurun (5) 5. Toleransi



terhadap



makanan



meningkat (5) 6. Nafsu makan meningkat (5) 7. Mual menurun (5) 8. Muntah menurun (5)



memperingan nyeri 4. Berikan teknik nonfaramkologis untuk mengurangi rasa nyeri 5. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri Edukasi 6. Jelaskan penyebab, periode, pemicu nyeri 7. Jelaskan strategi meredakan nyeri Kolaborasi 8. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu



Gangguan Mobilitas Fisik b.d



2.



Kelemahan otot – otot



Setelah dilakukan intervensi keperawatan Observasi



ekstremitas d.d Mengeluh sulit



3x24 jam, maka mobilitas fisik membaik,



menggerakkan ekstremitas



dengan kriteria hasil:



1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya



1.Pergerakan ektremitas meningkat (5)



2. Identifikasi toleransi fisik melalui pergerakan



2.Kekuatan otot meningkat (5)



3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah



3.Rentang gerak meningkat (5) 4.Nyeri menurun (5) 5.Kaku sendi menurun (5) 6.Gerakan terbatas menurun (5)



sebelum memulai mobilisasi 4. Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi Terapeutik 5. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu 6. Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu 7. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan Edukasi 8. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi 9. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilalukan



Gangguan Integritas Kulit b.d



3.



Dekubitus d.d Kerusakan jaringan Setalah dilakukan intervensi keperawatan Observasi dan/ atau lapisan kulit



3x24 jam maka integritas kulit dan jaringan 1. Identifikasi penyebab gangguan integritas meningkat, dengan kriteria hasil : 1. Kerusakan jaringan menurun (5)



kulit 2. Monitor karakteristik luka



2. Kerusakan lapisan kulit menurun (5) 3. Monitor tanda-tanda infeksi 3. Nyeri menurun (5) 4. Perdarahan menurun (5)



Terapeutik 4. Lepaskan balutan dan plester secara perlahan 5. Bersihkan dengan cairan NaCl atau pembersih nontoksik, sesuai kebutuhan 6. Berikan salep yang sesuai ke kulit/lesi, jika perlu Edukasi 7. Jelaskan tanda dan gejala infeksi 8. Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan protein 9. Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri Kolaborasi 10. Kolaborasi prosedur debridement, jika perlu 11. Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu



Risiko Defisit Nutrisi b.d



4.



Penurunan intake nutrisi d.d



Setalah dilakukan intervensi keperawatan Observasi



Ketidakmampuan menelan



3x24 jam maka status nutrisi membaik,



makanan



dengan kriteria hasil : 1. Porsi makanan yang dihabiskan meningkat (5) 2. Perasaan cepat kenyang menurun (5) 3. Frekuensi makan membaik (5) 4. Nafsu makan membaik (5)



1. Monitor asupan dan keluarnya makanan dan cairan serta kebutuhan kalori 2. Identifikasi status nutrisi 3. Identifikasi



alergi dan



intoleransi



makanan 4. Identifikasi makanan yang disukai Terapeutik 5. Timbang berat badan scara rutin 6. Diskusikan perilaku makan dan jumlah aktivitas fisik (termasuk olahraga) yang sesuai Edukasi 7. Anjurkan pengaturan diet yang tepat 8. Ajarkan



keterampilan



koping



untuk



penyelesaian masalah perilaku makan Kolaborasi 9. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan, jika perlu



5.



Pola napas tidak efektif b.d Sesak napas d.d Dispnea



Setalah dilakukan intervensi keperawatan 3x24 jam maka pola napas membaik, dengan kriteria hasil :



Observasi 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)



5. Dispnea menurun (5)



2. Monitor bunyi napas tambahan



6. Penggunaan otot bantu napas menurun (5)



3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)



7. Pemanjangan fase ekspirasi menurun (5) 8. Frekuensi napas membaik (5) 9. Kedalaman napas membaik (5)



Terapeutik d. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift (jaw thrust jika curiga trauma servikal) e. Posisikan semi fowler atau fowler f. Berikan minum hangat g. Lakukan fisioterapi dada jika perlu h. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik i. Lakukan



hiperoksigenasi



sebelum



penghisapan endotrakeal j. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill k. Berikan oksigen jika perlu Edukasi l. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari



m. Ajarkan teknik batuk efektif Kolaborasi n. Kolaborasi



pemberian



bronkodilator,



ekspektoran, mukolitik, jika perlu



DAFTAR PUSTAKA Baehr, Mathias. 2010. Diagnosis Topik Neurologis Duus. Jakarta: ECG. Carmel Armon. 2011. Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) in Physical Medicine and Rehabilitation Available at http://emedicine.medscape.com/article/1170097- overview (diakses pada tanggal 5 November 2018). Lumbantobing SM. 2010. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 20-5. Mahar mardjono, Priguna S. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian rakyat. Harsono. 2010. Buku Ajar Neurologi Klinis. Jakarta : Gadjah Mada University Press. Hal 44 -7.